http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51a5c46c6fb26/hukum-menggunakan-
sertifikat-tanah-orangtua-untuk-jaminan-bank
1. Penjual dan pembeli telah menandatangani Akta Jual Beli dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Proses balik nama sertifikat rumah tidak dapat
dilakukan jika akta jual beli belum ditandatangani oleh penjual, pembeli,
PPAT, dan saksi.
3. Pembeli dan penjual telah melunasi biaya Akta Jual Beli sekaligus bea balik
nama sertifikat pada PPAT yang ditunjuk. Untuk jasa pelayanan maksimal,
penjual dan pembeli sebaiknya membayar jasa PPAT di muka sehingga ketika
proses balik nama sertifikat rumah telah selesai maka pembeli tinggal
mengambil sertifikat yang telah balik nama tersebut tanpa keluar biaya lagi.
4. Kantor PPAT akan mengurus balik nama ke Badan Pertanahan Nasional (BPN)
setempat dengan disertakan sertifikat asli, akta jual beli, fotokopi KTP penjual
dan pembeli, bukti pelunasan PPh, bukti pelunasan BPHTB. Untuk proses balik
nama maka yang diserahkan ke BPN adalah sertifikat aslinya berikut salinan
akta jual beli.
5. Jika sesuai jadwal dan prosedur maka proses balik nama kurang lebih 2
minggu, namun dalam prakteknya antara 1 sampai 2 bulan. Hal ini terjadi
karena kantor PPAT mengurus balik nama sertifikat ke kantor BPN secara
kolektif.
Proses APHT
Dalam SKMHT ini intinya pemilik Setifikat (pemegang hak) memberi kuasa kepada pihak
Kreditur untuk membebankan Hak tanggungan diatas Hak Atas Tanah-nya (menjaminkan
tanahnya) . Dengan demikian ketika proses di BPN telah selesai maka pemilik jaminan tidak
perlu lagi menandatangani APHT karena telah memberikan kuasa pada kreditur sehingga
kreditur yang akan bertindak berdasarkan Kuasa dari pemilik jaminan sebagaimana dinyatakan
dalam SKMHT.
http://www.pvcfittingsonline.com/fittings/schedule-80-pvc/couplings.html
JIS - Japanese Industrial Standards menetapkan standar yang digunakan untuk kegiatan industri
di Jepang. Proses standarisasi dikoordinasikan oleh Komite Standar Industri Jepang - JISC - dan
dipublikasikan melalui Japanese Standards Association - JSA.
Tujuan dari Asosiasi Standar Jepang - JSA - adalah "untuk mendidik masyarakat mengenai
standardisasi dan penyatuan standar industri, dan dengan demikian memberikan kontribusi pada
peningkatan teknologi dan peningkatan efisiensi produksi".
AICA HPL diproduksi dan basis diuji pada persyaratan JIS K 6902 (metode pengujian untuk
thermosetting laminasi tekanan tinggi lembaran dekoratif).
Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di
Indonesia. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN (Badan Standarisasi
Nasional). SNI dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan utamanya yaitu untuk melindungi
konsumen selaku pemakai produk. Produk yang kualitasnya tidak sesuai standar SNI, tidak
diijinkan beredar di pasar.
Standar SNI dikenakan pada berbagai produk seperti tabung LPG, helm, lampu, kabel listrik,
pupuk, kopi, teh, kakao, minuman, berbagai jenis minyak, gula, tepung, produk besi dan baja,
kaca, karet, ban, dan berbagai bahan konstruksi. Bagi produsen, prosedur mengurus SNI tentu
menjadi hal yang penting untuk dipahami.
Oleh karena itu, berikut kami sampaikan tata cara permohonan Sertifikat Produk Penggunaan
Tanda (SPPT) SNI kepada Lembaga Sertifikasi Produk Pusat Standarisasi (LSPro-Pustan)
Departemen Perindustrian (Deperin) seperti yang dipaparkan dalam dokumen LSPro-
Pustan/P.19.:
a. Fotokopi Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu SNI 19-9001-2001 (ISO 9001:2000) yang
dilegalisir. Sertifikasi tersebut diterbitkan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) yang
diakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN).
b. Jika berupa produk impor perlu dilengkapi sertifikat dari LSSM negara asal dan yang telah
melakukan Perjanjian Saling Pengakuan (Mutual Recognition Arrangement/MRA) dengan KAN.
Proses pada tahap pertama ini biasanya berlangsung selama satu hari.
2. Verifikasi Permohonan
LSPro-Pustan melakukan verifikasi meliputi : semua persyaratan untuk SPPT SNI, jangkauan
lokasi audit, kemampuan memahami bahasa setempat (jika ada kesulitan, perlu penerjemah
bahasa setempat untuk audit kesesuaian). Selanjutnya akan terbit biaya (invoice) yang harus
dibayar produsen. Proses verifikasi perlu waktu satu hari.
Jika diperlukan pengambilan sampel untuk uji laboratorium, pemohon menjamin akses Tim
Asesor dan Petugas Pengambil Contoh (PPC) untuk memperoleh catatan dan dokumen yang
berkaitan dengan Sistem Manajemen Mutu. Sebaliknya, LSPro-Pustan Deperin menjamin para
petugasnya ahli di bidang tersebut. Pengujian dilakukan di laboratorium penguji atau lembaga
inspeksi yang sudah diakreditasi. Jika dilakukan di laboratorium milik produsen., diperlukan
saksi saat pengujian. Sampel produk diberi Label Contoh Uji (LCU) dan disagel. Proses ini
butuh waktu minimal 20 hari kerja.
Laboratorium penguji menerbitkan Sertifikasi Hasil Uji. Bila hasil pengujian tidak memenuhi
persyaratan SNI, pemohon diminta segera melakukan pengujian ulang. Jika hasil uji ulang tak
sesuai persyaratan SNI, permohonan SPPT SNI ditolak.
6. Keputusan Sertifikasi
Seluruh dokumen audit dan hasil uji menjadi bahan rapat panel Tinjauan SPPT SNI LSPro-
Pustan Deperin. Proses penyiapan bahan biasanya perlu waktu 7 hari kerja, sementara rapat
panel sehari.
7. Pemberian SPPT-SNI
LSPro-Pustan melakukan klarifikasi terhadap perusahaan atau produsen yang bersangkutan.
Proses klarifikasi ini perlu waktu 4 hari kerja. Keputusan pemberian sertifikat oleh Panel
Tinjauan SPPT SNI didasarkan pada hasil evaluasi produk yang memenuhi : kelengkapan
administrasi (aspek legalitas), ketentuan SNI, dan proses produksi serta sistem manajeman mutu
yang diterapkan dapat menjamin konsistensi mutu produk. Jika semua syarat terpenuhi, esoknya
LSPro-Pustan Deperin menerbitkan SPPT SNI untuk produk pemohon.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 63 tahun 2007, yang berlaku pada Kementerian
Perindustrian, biaya SNI sebagai berikut :
No Tarif
Satuan
. (RP)
Per
1. Biaya permohonan 100.000
perusahaan
Per
2. Jasa asesor untuk audit kecukupan 500.000
perusahaan
Per
Jasa asesor untuk audit kesesuaian dan pengawasan orang/hari
(surveillance) di dalam negeri Per 1.000.0
Biaya asesor.tenaga ahli/petugas pengambil contoh orang/hari 00
Asesor kepala Per 750.000
3.
Asesor orang/hari 500.000
Tenaga ahli Per 500.000
Petugas Pengambil Contoh (PPC) orang/hari 150.000
Biaya per diem Per
orang/hari
Per 1.500.0
4. Biaya proses sertifikasi
tahun/SNI 00
Per 1.000.0
5. Biaya pemeliharaan sertifikasi dalam rangka pengawasan
tahun/SNI 00
Per
6. Biaya sertifikat untuk permohonan baru 100.000
sertifikat
Catatan :
Biaya per diem adalah ongkos perjalanan auditor KAN, menuju dan kembali dari tempat
kegiatan asesmen dilakukan. Surveillance adalah kunjungan pengawasan minimal satu tahun
sekali pada Lembaga Sertifikasi atau Lembaga Pelatihan atau Lembaga Inspeksi yang telah
diakreditasi untuk menilai dan memantau kesesuaian akreditasinya terhadap standar akreditasi
yang telah ditetapkan.
Sistem Manajemen Mutu bekerja pada delapan prinsip manajemen dan Siklus PDCA
(Perencanaan, Pergerjaan, Pemeriksaan, Tindakan). Fungsi ini berdasarkan pada pendekatan
didalam proses. Standar atau Sertifikasi ISO 9001:2008 dibagi menjadi 8 klausul. Klausul 1
sampai 3 merupakan klausul umum yang terkait dengan ruang lingkup, peraturan, dan definisi.
Sistem fokus pada perbaikan yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan Rapat Tinjauan
Manajemen, Audit Internal, Tindakan Koreksi dan Pencegahan, Pemantauan dari Tujuan Mutu
dan Analisa Data.
3. ISO 9001 adalah Standar yang diakui secara internasional dan berbicara
diseluruh dunia, standar yang paling sering digunakan.
5. ISO 9001 berdasarkan delapan prinsip manajemen mutu yang terkait dan
Pendekatan proses.
ISO 9001 merupakan sertifikasi yang berorientasi pada layanan pelanggan dan standar
manajemen mutu yang diadopsi pada tahun 2000 oleh International Organization for
Standardization (ISO).
Menurut standar ini, sebuah organisasi harus menunjukkan kemampuan untuk memenuhi atau
melampaui kepuasan pelanggan dalam hal fungsi produk, kualitas, dan kinerja.
Demikian pula, organisasi tersebut juga harus selalu menerapkan peraturan, standar industri, dan
praktik terbaik mengenai proses produksi dan hasil.
ISO 9001 merupakan kesepakatan internasional yang digunakan untuk menentukan standar
universal yang berlaku untuk semua organisasi mengenai produk dan layanan yang memenuhi
harapan pelanggan dan syarat peraturan.
Kesesuaian dengan persyaratan peraturan dan harapan pelanggan, bagaimanapun, tidak cukup
untuk memenuhi standar ISO 9001.
Sebuah organisasi juga harus menciptakan sistem yang dirancang untuk memungkinkan
terjadinya perbaikan terus-menerus.
Audit internal, audit oleh klien, dan audit oleh lembaga sertifikasi pihak ketiga independen harus
didorong untuk membantu organisasi melakukan perbaikan terus-menerus.
Standar ISO 9001 dimaksudkan untuk berlaku bagi semua organisasi dengan berbagai skala dan
bidang industri.
ISO 9001 tidak mensyaratkan cara tertentu tentang bagaimana organisasi harus memenuhi
persyaratan, melainkan hanya menunjukkan mengenai pedoman yang harus dipenuhi.
Klausul khusus mungkin saja diterapkan pada organisasi tertentu untuk dikecualikan dari
beberapa poin persyaratan yang telah ditetapkan, tanpa harus menurunkan standar keseluruhan.
Di antara keluarga standar ISO 9000, ISO 9001, sebagaimana diubah pada tahun 2008 dan
ditambah pada tahun 2009, adalah satu-satunya standar dimana sebuah organisasi bisa
mendapatkan sertifikasi.
Sertifikasi bukanlah persyaratan kepatuhan, tetapi berfungsi untuk meyakinkan pelanggan bahwa
suatu organisasi beroperasi sesuai standar yang ditetapkan.
Ketika diterapkan pada lingkungan bisnis ke bisnis, sertifikasi ISO 9001 membantu menanamkan
kepercayaan, terutama dalam situasi yang melibatkan hubungan bisnis baru atau joint venture.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan di Amerika Serikat mungkin kesulitan menemukan informasi
valid tentang perusahaan di Indonesia.
Mengetahui bahwa perusahaan di Indonesia memiliki sertifikasi ISO 9001 dapat membantu
menanamkan kepercayaan perusahaan Amerika tersebut.[]
Manfaat Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 Untuk Pimpinan Puncak
Hampir di setiap kesempatan mengisi training pengenalan Sistem Manajemen Mutu ISO
9001:2008, pimpinan puncak atau stakeholder pasti menanyakan apa manfaat penerapan
sistem manajemen mutu ISO 9001 untuk mereka selaku pimpinan puncak dan penentu
kebijakan. Ini dikarenakan mereka memahami bahwa ISO 9001 hanya sekedar membenahi
administrasi perusahaan saja. Padahal, jika penerapan ISO 9001 bisa dioptimalkan, ISO 9001
akan menjadi alat yang powerfull untuk mengukur performa perusahaan. Bila ditanya demikian,
biasanya, Saya akan balik bertanya: Baik, Bapak direktur yang terhormat.. Apakah kinerja
perusahaan Bapak tahun ini lebih baik dibandingkan tahun lalu?. Kebanyakan mereka akan
terdiam dan berpikir, parameter apa yang akan mereka gunakan dalam rangka mengukur kinerja
perusahaan. Pada akhirnya, hanya sebagian yang bisa menjawab, meskipun satu-satunya
parameter yang diandalkan hanyalah seputar uang dan uang.
Ya! Meski kita tidak mengesampingkan pentingnya keuntungan dalam berbisnis, akan tetapi
apakah sah bila kita mengukur kinerja perusahaan hanya dari sales revenue yang meningkat?
Padahal, peningkatan pendapatan dari tahun ke tahun didukung dengan banyak faktor dan tidak
melulu soal kinerja yang meningkat. Betapa banyak perusahaan yang tata kelola administrasinya
biasa-biasa saja, tidak berubah dari tahun ke tahun, namun keuntungannya meningkat dari tahun
ke tahun yang lebih disebabkan karena kesuksesan tim marketing atau ada faktor lain di luar
perusahaan yang sedang bagus seperti iklim ekonomi yang kondusif, meningkatnya daya beli
masyarakat, dan sebagainya. Artinya, menjadikan peningkatan pendapatan sebagai satu-satunya
parameter penilaian kinerja perusahaan tidaklah Adil. Karena perusahaan bukan cuma marketing,
tapi ada divisi sdm, operasional, produksi, gudang, dan divisi lain sebagai satu kesatuan.
Sistem manajemen mutu ISO 9001 setidaknya menyediakan 5 parameter yang bisa digunakan
untuk mengukur kinerja perusahaan. Kelima parameter tersebut adalah:
2. Keluhan Pelanggan
Parameter kedua yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan adalah keluhan
pelanggan. ISO 9001 mewajibkan perusahaan untuk mencatat, menindaklanjuti, dan memonitor
keluhan pelanggan. Dengan begitu, perusahaan dapat dengan mudah mengevaluasi kinerja
perusahaannya dan memberikan perbaikan yang memuaskan bagi pelanggan. Keluhan yang
ditindaklanjuti sama saja membiarkan pelanggan setia Anda meninggalkan Anda.
3. Audit Internal
Tidak ada yang menjamin sistem yang Anda rancang dengan baik di awal akan berjalan mulus
ketika sudah sampai pada level pelaksana. Oleh karena itu, konsep PDCA (Plan-D0-Check-
Action) sangat penting untuk diterapkan. ISO 9001 mewajibkan perusahaan melakukan kegiatan
audit internal sebagai bentuk pelaksanaan Check dari konsep PDCA. Dengan melakukan audit
internal, akan diketahui masalah apa yang sering dialami oleh masing-masing divisi termasuk
divisi mana yang paling banyak bermasalah. Dengan demikian, perbaikan sistem dapat dilakukan
secara menyeluruh.
Selama menjadi konsultan ISO untuk beberapa perusahaan, seringkali penulis mendapati
pimpinan puncak yang hanya memikirkan hasil dan hasil. Baginya yang terpenting adalah target
produksinya tercapai dan sampai tepat waktu di tangan pelanggan. Tidak peduli untuk mencapai
target, berapa banyak barang reject yang dihasilkan dan pengulangan pekerjaan yang dilakukan.
Hasilnya, produktifitas sangat jauh dari kata efisien. Sikap semacam ini tentu membuang banyak
waktu, biaya, dan tenaga. ISO 9001 mewajibkan perusahaan membuat standar mutu produk
untuk kemudian dibuatkan standar pemeriksaan produk. Ini harus dilakukan untuk memastikan
produk yang dihasilkan benar-benar telah sesuai dengan spesifikasi yang diperyaratkan baik oleh
perusahaan, regulasi, maupun pelanggan. Dengan menetapkan standar ini, pelaksana di lapangan
dapat dengan mudah menetapkan mana produk yang lulus pemeriksaan dan yang ditolak. Selain
itu, ISO 9001 juga mewajibkan untuk mencatat dan melaporkan semua jenis ketidaksesuaian
produk untuk kemudian direkapitulasi dan dianalisis agar bisa diketahui berapa persen efesiensi
produksi.
Sasaran mutu adalah target kerja yang ditetapkan untuk setiap divisi. Biasanya, perusahaan yang
belum menerapkan sistem manajemen dengan baik cenderung hanya memberikan target untuk
divisi tertentu saja, terutama divisi yang menghasilkan uang atau menghabiskan uang. Sebut
saja misalnya divisi sales / marketing dan divisi produksi. Divisi lain apalagi divisi supporting
seperti HRD/SDM/Personalia dan Purchasing dibiarkan bekerja tanpa target! Sedangkan ISO
9001 mewajibkan pimpinan puncak untuk menetapkan target untuk seluruh divisi. Karena
perusahaan wajib memandang seluruh divisi yang ada sebagai satu kesatuan yang semuanya
memiliki sumbangsih dalam memajukan perusahaan.
Dengan membandingkan 5 parameter di atas, maka manajemen puncak dapat mengukur kinerja
perusahaannya secara meyakinkan. Seorang Direktur atau CEO dapat dengan meyakinkan
berkata, Melihat sales revenue yang meningkat, hasil survey kepuasan yang meningkat,
penurunan keluhan pelanggan yang signifikan, temuan audit internal yang semakin sedikit,
efesiensi produksi yang semakin bagus, dan pencapain target yang hampir 100%, maka Saya
menilai kinerja tahun 2013 jelas lebih baik dibanding 2012!. Demikianlah artikel singkat kami
tentang manfaat penerapan sistem manajemen mutu ISO 9001 untuk pimpinan puncak. Semoga
bermanfaat!
1. PPn Masukan (untuk mencatat jumlah pajak yang dibayar saat terjadinya
pembelian barang kena pajak).
2. PPn Keluaran (untuk mencatat jumlah pajak yang dipungut saat terjadinya
penjualan barang kena pajak).
3. PPn Terutang (untuk mencatat jumlah pajak penjualan yang harus dibayar ke
kas negara), yaitu selisih antara PPN Keluaran dikurangi PPn Masukan. PPn
Terutang bersaldo kredit apabila jumlah PPn Keluaran lebih besar dari PPn
Masukan, sedangkan PPn Terutang bersaldo debit apabila PPn Masukan lebih
besar dari PPn Keluaran (PPn Lebih Bayar)
1/3/2011 Dibeli secara kredit barang dagang sejumlah Rp 2.000.000 dan dikenakan
PPn 10%.
Pembelian Rp 2.000.000
Kas Rp 16.500.000
Penjualan Rp 15.000.000
Kas Rp 1.300.000
Pembelian Rp 20.000.000
Kas Rp 16.500.000
Penjualan Rp 15.000.000
Kelebihan bayar (PPn Terutang bersaldo debit) sejumlah Rp 500.000 tidak dapat
ditagih pada bulan April 2011 tetapi akan dikonpensasikan untuk bulan depan.
http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/02/perlakuan-akuntansi-ppn-dasar-dasar-
pajak-pertambahan-nilai/
Bisa dipahami?
Mengikuti bahasa teknis undang-undang pajak yang formal, bagi sebagian orang, memang
membingungkan. Jaman jadi mahasiswa dahulu, saya pribadi juga kesulitan. Setelah lama
berlalu, pemahaman saya lumayan meningkat tetapi ingatan saya yang jadi parahsusah untuk
mengingat definisi-definisi yang panjang.
Bagaimanapun juga, mungkin bahasa hukum memang harus lengkap (tak boleh menimbulkan
pemahaman yang bias.)
Jika saat ini anda masih mengalami kesulitan seperti saya dahulu (semoga saja tidak), saya ingin
share 2 tips sederhana untuk memahami konsep dasar PPN dengan lebih mudah, sekaligus akan
tetap ingat:
Kedua, yang perlu diingat hanya 2 kelompok kata berikut ini: (a)
Pertambahan nilai; dan (b) transaksi dagang.
Sehingga setiap kali mendengar atau membaca kata PPN, yang perlu anda ingat hanya 2 itu
(pertambahan nilai dan transaksi dagang). Itu saja dahulu. Kalau perlu hafalkan. Setelah
hafal baru coba pahami logikanya. Saya akan bahas logikanya di pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya. Yuk lanjut
Transaksi Apa Saja Yang Dikenakan PPN?
Dari penyederhanaan definisi PPN yang sudah anda hafalkan di awal, jawaban atas pertanyaan
ini sudah jelas, yaitu: Setiap transaksi penjualan yang didahului oleh pertambahan (mark-up)
nilai atau harga, sudah PASTI KENA PPN. Dalam hukum pajak ini disebut obyek PPN.
Misalnya:
Dan seterusnya.
Bisa dibilang nyaris semua transaksi jual-beli (dagang) termasuk obyek PPN. Namun demikian
ada beberapa barang dan jasayang karena alasan tertentudikecualikan dari pengenaan PPN.
Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos
Indonesia (Persero)
Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi
Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan
termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial
Khusus pada PPN, siapa yang menikmati manfaat atas pertambahan nilai yang terjadi?
Sudah pasti pengguna barang/jasa yang dihasilkan. Dalam hal ini adalah PEMBELI. Oleh sebab
itu pada PPN yang menanggung pajak adalah pembeli.
Tetapi karena alasan tertentu, yang wajib melakukan pemungutan (mewakili pemerintah)
dan menyetorkan hasil pemungutan adalah PENJUAL. Apa alasan tertentu itu?
Penjual lah yang paling tahu berapa pertambahan nilai yang terjadi atas
produk/jasa yang mereka jual.
Jika penjual lalai (tidak melakukan) kewajibannya untuk memungut, maka beban PPN harus
ditanggung olehnya.
Untuk penjualan retail biasanya perpindahan hak atas barang terjadi di tempat transaksi saat itu
juga, sehingga kewajiban timbul pada tanggal yang sama. Akan berbeda untuk penjualan jarak
jauh (antar-pulau misalnya). Karena perpindahan hak biasanya baru terjadi saat barang
dikirimkan. Untuk penyederhanaan, biasanya kantor pajak (DJP) menggunakan tanggal nota
tagihan (invoice) sebagai patokan, dengan asumsi bahwa perpindahan hak terjadi saat tanggal
pengakuan penjualan oleh penjual.
Catatan:
Tarif = 10% (Indonesia menganut sistim tunggal, yaitu 10%. Artinya tak
peduli apapun jenis barang dan jasanya (kecuali untuk barang tak kena PPN
di atas), berapapun besar nilai penjualannya, tarif yang dikenakan tetap 10%.
Atas PPN Dipungut, penjual mengeluarkan Faktur Pajak Keluaran (FPK). Karena kredit pajak
sama dengan FPM, maka kewajiban pajak sering dirumuskan dengan: FPK FPM.
Contoh perhitungan:
PT. JAK, grossir, sudah PKP, membeli snack sebesar Rp 50. Atas pembelian snack tersebut PT.
JAK menerima Faktur Pajak Masukan sebesar Rp 5. Snack tersebut di pasangi label harga Rp
100. Jika snack itu laku semua, maka atas penjualan snack PT. JAK memungut pajak kepada
konsumen (pembelinya) sebesar:
Sampai di sini, dasar-dasar pajak pertambahan nilai sudah habis (mengenai PPnBM
saya akan bahas secara terpisah.) Akan tetapi, rasanya masih ada yang
mengganjal.
Ada satu hal yang mungkin jarang dipertanyakan sehingga jarang dibahas, padahal
menurut saya sangat penting dan mendasar. Sebuah pertanyaan sederhana yang
bisa jadi bisa memberikan pemahaman kosep PPN dalam gambar besar, yaitu:
Mengapa harus pajak pertambahan nilai? Jika tertarik, monggo dilanjutkan
Ada 2 hal yang menjadi dasar pertimbangan mengapa pemerintah mengenakan pajak
pertambahan nilai atas barang dan jasa yang diperdagangkandan bukan pajak perdagangan
atau lainnya. Dua konsep tersebut tak jauh-jauh dari 2 kelompok kata yang sudah saya
sampaikan di awal, yaitu:
2. Jangan Sampai Terjadi apa yang disebut dengan Pajak Berganda (satu obyek dipajaki
2x atau lebih) Produk, dari hulu (kapas) hingga akhir (pakaian jadi) sesungguhnya mengalami
beberapa tahapan pertambahan nilai mengikuti alur distribusi (penyebaran) barang dagangan itu
sendiri. Perhatikan bagan di bawah:
Atas seluruh pertambahan nilai dari hilir hingga hulu (ujung atas s/d ujung bawah),
pemerintah hanya mengenakan pajak pada pertambahan nilai nya saja. Pada bagan di atas (dari
kapas hingga menjadi pakaian jadi), barang yang diperdagangkan telah mengalami pertambahan
nilai sebesar Rp 300 secara keseluruhan. Sehingga total PPN yang dikenakan oleh pemerintah
hanya sebesar Rp 30 saja (=10% x Rp 300)
Tetapi, untuk penyederhanaan pemungutan dilakukan di setiap tahapan proses pertambahan nilai.
Tidak sekaligus di akhir proses. Nah, agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda, maka besaran
nilai pajak terutang di masing-masing tahapan adalah Faktur Pajak Keluaran (FPK)
Faktur Pajak Masukan (FPM). Dengan kata lain, besarnya PPN yang disetorkan ke kas
negara hanya sebesar total PPN yang dipungut dari konsumen untuk periode tertentu (bulan
Februari 2012 misalnya), setelah dikurangi total nilai kredit pajak yang diperoleh dari membeli
barang (entah itu bahan baku, bahan penolong, peralatan, atau barang jadi) di periode yang sama.
Itulah 2 hal yang menjadi landasan pertimbangan mengapa pajak pertambahan nilai. Dan
itulah konsep PPN secara keseluruhan, yang saya ringkas menjadi satu bagan sederhana. Mudah-
mudahan cukup menjelaskan. Jika dirasa ada manfaatnya, silahkan dicopy (Catatan: Jika dirasa
bermanfaat untuk dipublikasikan ulang ditempat lain, silahkan. TETAPI mohon cantumkan
sumbernya: JurnalAkuntansiKeuangan.com tentunya dengan disertai link sebagai credit
bagi JAK.)
Di lanjutan seri perlakuan akuntansi pajak pertambahan nilai yang berikutnya saya
akan langsung masuk ke pembahasan jurnal-jurnal dan perlakuannya mulai dari bukti
transaksi, pengelompokannya ke akun-akun, hingga penyajiannya di laporan keuangan.
Untuk sementara saya ucapkan selamat bermalam minggu dan selamat menikmati akhir
pekan bersama keluarga masing-masing.
39 Komentar
PPN masuk ke Laba-Rugi atau Neraca? Tanya salah seorang pembaca JAK. Seringnya
mendengar dan melihat kata PPN dalam kehidupan sehari-hari (nyaris setiap kitir
belanja ada tulisan PPN) ternyata tidak serta-merta membuat kita sungguh-sungguh
ngeh apa itu PPN.
Entah karena terlihat sepele di mata kita (saking seringnya kita baca) atau faktor lainnya, yang
jelas begiu dihadapkan pada administrasi PPN (fiskal maupun komersial), masih banyak diantara
kita yang masih gagap. Boleh saja kita berpikir Ah.. toh sudah ada konsultan pajak. Perkara
laporan PPN pasti beres, nyatanya memang benar bahwa kehadiran konsultan pajak di
perusahaan lumayan membuat proses pelaporan PPN menjadi lebih lancar.
Tapi ya tidak apa-apa, yang penting pelaporan pajaknya benar dahulu. Untuk sinskronisasi di
laporan komersial bisa dilakukan pelan-pelan. Bagaimanapun juga, sebagian besar dari kita
berangkat dari tidak tahu, lalu belajar, membiasakan diri untuk disiplin, lama-lama pasti lancar.
Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa menjadi titik awal untuk mulai merapikan
administrasi dalam perusahaan, terutama sekali yang terkait dengan PPN.
Dasar-dasar PPN sudah di bahas di tulisan sebelumnya. Tulisan ini khusus membahas mengenai
perlakuan akuntansinya, yaitu: penjurnalan dan penyajian di laporan keuangan. Namun sebelum
itu, ada beberapa hal penting yang perlu diketahui sehubungan dengan PPN.
1. Nyaris setiap transaksi dagang adalah obyek PPN, namun ada beberapa golongan barang
dan jasa yang memang dikecualikan alias tidak kena PPN (lihat daftar kelompok barang/jasa yg
dikecualikan di dasar-dasar PPN).
2. Wajib pajak (baik perseorangan atau badan usaha), yang wajib melakukan pemungutan
dan pelaporan PPN adalah yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).
3. Batas minimal omset setahun untuk status PKP adalah 600 juta. Artinya, wajib pajak yang
omset per tahunnya 600 juta atau lebih, wajib hukumnya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha
kena pajak (PKP). Wajib pajak yang omset per tahunnya masih dibawah 600 juta bisa
mengajukan permintaan agar dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, namun TIDAK bersifat
wajib.
4. PENJUAL barang/jasa yang telah berstatus PKP, wajib melakukan pemungutan PPN atas
setiap barang (mereka) yang terjual, terlepas apakah pembelinya sudah berstatus PKP atau
belum.
5. Pembeli barang/jasa yang telah berstatus PKP, berhak menerima Faktur Pajak(FP)
sebagai bukti bahwa pembeliannya telah dipungut PPN. Baginya, faktur pajak yang diterima atas
pembelian ini disebut dengan Faktur Pajak Masukan (FPM) yang sering disebut dengan kredit
pajak. Sedangkan bagi penjual, faktur pajak yang ditebitkan (dikeluarkan) untuk pembeli
disebut dengan Faktur Pajak Keluaran (FPK).
7. Besarnya PPN Dipungut dihitung dengan = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif = Nilai invoice
x 10%.
8. Besarnya PPN Terutang dihitung dengan = PPN Dipungut Kredit Pajak (Faktur Pajak
Masukan)
9. Transaksi penjuaalan ekspor (ke luar wilayah pabean Indonesia) tarif PPN-nya nol,
sehingga PPN-nya otomatis juga nol.
Itu saja. Mengenai ketentuan dasar hukum dan lain-lainnya bisa baca Undang-Undang No.
8/1983 berikut revisinya-revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No.
18/2000. Mengenai konsep dasar PPN bisa baca seri sebelumnya (Perlakuan Akuntansi PPN:
Dasar-dasar Pajak Pertambahan Nilai). Selanjutnya langsung ke perlakuan akuntansi PPN:
penjurnalan dan penyajiannya di laporan keuangan.
Perlukah saya membuat jurnal PPN? Perlukah saya menyajikan PPN di Laporan Keuangan
perusahaan?
Jika perusahaannya BELUM berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka TIDAK PERLU.
Tetapi jika SUDAH berstatus PKP, maka WAJIB untuk melakukan pencatatan (penjurnalan) dan
penyajian (pelaporan) PPN di Laporan Keuangan.
Bagimana saya bisa tahu apakah perusahaan (atau wajib pajak) sudah berstatus PKP atau
belum?
(Untuk rekan-rekan yang sudah veteran pajak, mohon untuk tidak tertawa. Pada kenyataannya
banyak masyarakat awam yang belum tahu persis apa itu PKP, termasuk mungkin adik-adik yang
baru lulus kuliah.)
Jika saya tidak keliru, surat pengukuhan status pengusaha kena pajak itu berupa selembar kertas,
mirif lembaran sertifikat. Bentuknya seperti di bawah ini:
Lembar surat pengukuhan status pengusaha kena pajak ini biasanya diarsipkan bersama-sama
dengan NPWP. Kalau anda pegawai accounting yang baru bekerja di suatu perusahaan, ada
baiknya anda tanyakan apakah perusahaan sudah ada NPWP dan berstatus PKP.
Jika dibilang sudah ada, minta copy-nya, arsipkan sendiriagar tidak bingung mencarinya jika
suatu saat anda perlu. Jika dibilang belum, minta folder arsip NPWPkatakan bahwa anda perlu
photocopy NPWP-nya (sekalian anda periksa apakah ada PKP-nya atau tidak, siapa tahu mereka
lupa), bisa jadi juga di simpan di folder akte pendirian perusahaan.
Hal-hal yang terlihat sepele ini sangat sering dispelekan, setelah kena pemeriksaan pajak baru
kalang kabut. Bagaimanapun anda akan sangat memerlukan kedua lembar kertas ini untuk hal-
hal terkait dengan perpajakan perusahaan yang anda tangani.
Sekarang anda sudah tahu apakah perusahaannya sudah berstatus PKP atau belum.
(a) PEMBELIAN Jika perusahaannya belum PKP, maka setiap transaksi pembelian (baik itu
kena pajak atau tidak), dicatat sebesar Total Tagihan yang tertera di nota atau invoice.
Misalnya: anda bekerja untuk PT. JAK yang kebetulan belum PKP. JAK membeli plastik
pembungkus barang dagangan di PT. ABC yang kebetulan SUDAH PKP, sehingga atas
pembelian tersebut PT. JAK dikenakan PPN 10%, dengan surat tagihan(invoice) sbb:
Bagaimana menjurnal tagihan ini? Karena PT. JAK belum PKP maka dicatat sebesar Total
Tagihan. Sekedar mengingat kembali prosedur menjurnal:
Langkah-1. Akun apa saja yang terlibat? Jawab: (1) Akun Persediaan Bahan Penolong karena
plastic tersebut digunakan untuk membungkus barang dagangan; dan (2) akun Utang Dagang
karena pembelian kredit (jika pembelian tunai maka akun yang terlibat adalah akun Kas).
Langkah-2. Akun mana yang di sisi debit dan mana yang di kredit? Jawab: Akun Persediaan
Bahan Penolong saldonya bertambah, karena termasuk kelompok akun aktiva maka dimasukan
ke sisi debit. Akun Utang Dagang saldonya juga bertambah, tapi karena termasuk kelompok
akun passive di neraca maka dicatat di sisi kerdit.
Langkah-3. Berapa saldo bertambah atau berkurang? Jawab: masing-masing bertambah sebesar
Rp 3,300,000 (sebesar total tagihan).
Bagimana jika PT. ABC belum PKP? Jelas PT. ABC tidak akan memungut PPN, sehingga surat
tagihannya pasti hanya sebesar Rp 3,000,000. Itulah yang dicatat.
Intinya: Setiap pembelian dicatat sebesar total tagihan (lihat angka paling ujung bawah yang ada
tulisan Total Tagihan tidaj usah pedulikan ada PPN atau tidak). Artinya semua tagihan masuk
ke akun Persediaan atau Biaya tergantung apa yang dibeli.
(b) PENJUALAN Karena PT. JAK belum PKP, maka tidak boleh memungut PPN kepada
pembeli. Sehingga, setiap penjualan dicatat sebesar nilai barang yang dijual saja.
Misalnya: PT. JAK belum PKP, menjual barang dagangan kepada PT. XYZ sebesar Rp
5,000,000, dengan harga pokok penjualan sebesar Rp 4,000,000. Atas transaksi penjualan ini
dijurnal (ingat jurnal penjualan terdiri dari dua pasang):
Dan;
Secara keseluruhan: Perusahaan yang BELUM berstatus PKP samasekali tidak mencatat dan
tidak melaporkan adanya PPN baik itu di laporan komersial maupun fiskal.
Bagimana jika perusahaan SUDAH berstatus PKP? Nah ini dia yang sedikit lebih rumit.
Namun bisa diikuti pelan-pelan, tidak rumit-rumit amat. Oke. Kita bahas untuk perusahaan yang
SUDAH berstatus PKP.
(a) PEMBELIAN Supplier, dimana perusahaan membeli barang, bisa jadi sudah PKP atau
belum PKP. Ini akan mempengaruhi penjurnalan:
(1) Jika supplier belum PKP maka sudah pasti tidak akan ada PPN-nya. Artinya, mereka
tidak memungut PPN terlepas apakah perusahaan anda (sebagai pembeli) sudah berstatus PKP
atau belum. Artinya juga, atas pembelian pada supplier yang belum PKP tidak melibatkan akun
PPN, sehingga Total Tagihan diakui sebagai biaya atau persediaan sajatergantung barang
apa yang dibeli.
Misalnya: PT. JAK sudah PKP, membeli platic bag dari PT. Makmur Sentosa yang belum
berstatus PKP sebesar Rp 3,000,000 secara kredit. Maka jurnalnya:
[Debit]. Persediaan Bahan Penolong = Rp 3,000,000
[Kredit]. Utang Dagang PT. Makmur Sentosa = Rp 3,000,000
(2) Jika supplier sudah PKP, maka wajib memungut PPN. Misalnya: Tanggal 22 Februari
2012 PT. JAK Membeli benang jahit dari PT. Maju Jaya yang sudah PKP sebasar Rp 3,000,000.
Atas pebelian tersebut maka PT. Maju Jaya memungut PPN sebesar Rp 300,000 (=10% x
3,000,000). Sehingga invoicenya akan menjadi sbb:
Dan atas pemungutan tersebut PT. Maju Jaya wajib menerbitkan Faktur Pajak. Bagi PT. Maju
Jaya faktur pajak yang mereka terbitkan adalah Faktur Pajak Keluaran (FPK). Sedangkan bagi
PT. JAK faktur pajak yang sama adalah Faktur Pajak Masukan (FPM). Bagaimana menjurnal
pembelian tersebut?
Benang jahit yang nilainya Rp 3,000,000 sudah jelas diakui sebagai Persediaan Bahan Penolong.
Bagaimana dengan PPN-nya yang Rp 300,000, masuk ke akun mana? Debit atau kredit?
Bagi PT. JAK (yang sudah PKP), faktur pajak masukan senilai Rp 300,000 tersebut adalah
kredit pajakdengan kata lain: mengurangi Utang PPN yang akan dilaporkan nanti. Bisa
dibilang bahwa setiap lembar Faktur Pajak Masukan (yang diterima dari supplier) adalah
pengurang Utang PPN. Dengan demikian, maka nominal yang ada di Faktur Pajak Masukan
(FPM) dicatat sebagai Utang PPN namun dimasukan di sisi debit (alias pengurang saldo utang
yang biasanya ada di sisi kredit). Sehingga oleh PT. JAK pembelian benang tersebut dicatat
dengan jurnal sbb:
Sebagai tambahan, tanggal 25 Februari 2012 PT. JAK membeli bahan baku kain dari PT. PQR
(sudah PKP) sebesar Rp 20,000,000. Atas pembelian tersebut, PT. PQR meneribitkan invoice
sbb:
Intinya: setiap pembelian (apapun itu) yang disertai dengan Faktur Pajak Masukan (FPM), maka
nominal yang ada dalam FPM dicatat sebagai Utang PPN di sisi DEBIT (lihat contoh di atas).
(b) PENJUALAN Perusahaan yang sudah berstatus PKP wajib memungut PPN, terlepas
apakah pembelinya sudah PKP atau belum. Bedanya hanya soal menerbitkan faktur pajak atau
tidak saja. Untuk pembeli yang sudah PKP wajib diberikan Faktur Pajak, sedangkan yang belum
tentu saja tidak.
Misalnya: PT. JAK sudah PKP, tanggal 26 Februari 2012 menjual barang dagangan berupa
pakaian jadi kepada PT XYZ yang kebetulan juga sudah PKP sebesar Rp 100,000,000 (harga
pokok penjualannya sebesar Rp 80,000,000). Atas transaksi tersebut PT. JAK wajib memungut
PPN sebesa Rp 10,000,000 (10% x 100,000,000). Maka invoice yang diterbitkan menjadi:
Dan;
Karena pembeli berstatus PKP, maka PT. JAK menerbitkan Faktur Pajak. Bagi PT. JAK (penjual)
faktur ini adalah Faktur Pajak Keluaran (FPK) sedangkan bagi PT. XYZ faktur yang sama
sadalah Faktur Pajak Masukan (FPM).
Sebagai tambahan, tanggal 27 Februari 2012 PT. JAK menjual pakaian jadi ke Boutique
Cempaka yang belum PKP sebesar Rp 10,000,000. Karena PT. JAK sudah PKP maka wajib
memungut PPN sebesa Rp 1,000,000 (=10% x Rp 10,000,000) terlepas apakah pembelinya
sudah atau belum PKP. Hanya saja, karena Boutique Cempaka belum PKP maka PT. JAK tidak
perlu menerbitkan Faktur Pajak (standar DJP). Cukup hanya dengan menerbitkan invoice yang
mencantumkan PPN sbb:
Jurnalnya sama seperti yang sebelumnya. Untuk contoh-contoh penjurnalannya saya rasa sudah
cukup. Bagaimana dengan penyajiannya di Laporan Keuangan?
Dari semua transaksi pembelian dan penjualan PT. JAK di atas (mulai dari PT. Maju Jaya sampai
dengan Boutique Cempaka), jelas terlihat bahwa semua unsur PPN masuk ke akun Utang PPN.
Hanya beda sisi sebit dan kredit saja:
Untuk Pembelian yang ada Faktur Pajak Masukannya dicatat di sisi DEBIT
pada akun Utang PPN.
Untuk pembelian tanpa faktur Pajak Masukan, tidak ada pengakuan utang
PPN karena memang tidak dipungut PPN, sehingga tidak mempengaruhi
saldo akun Utang PPN
Untuk penjualanbaik yang ada Faktur Pajak Keluaran maupun yang tidak,
semuanya dicatat di sisi KREDIT akun Utang PPN.
Sehingga di penutupan buku PT. JAK untuk bulan Februari 2012, saldo buku besar akun Utang
Pajak akan nampak sbb (kita asumsikan saldo awal akun ini nol):
22-Feb 300,000
25-Feb 2,000,000
26-Feb 10,000,000
27-Feb 1,000,000
Total 2,300,000 11,000,000
Saldo 8,700,000
Saldo akun Utang PPN PT. JAK di penutupan buku 28 Februari 2012 yang sebesar Rp
8,700,000 (=11,00,000 2,300,000) itulah yang dibayarkan ke kas negara via bank persepsi.
Katakanlah tanggal 8 Maret 2012 pegawai accounting PT. JAK melunasi utang PPN tersebut via
bank. Maka atas pelunasan itu dicatat dengan jurnal:
Setelah jurnal tersebut dimasukan maka saldo Utang PPN, logikanya, jadi nol.
Mungkin tidak saldo Utang-PPN tidak nol setelah pelunasan? Jawabannya: Mungkin saja.
Itu bisa terjadi jika total nominal PPN-pembelian lebih tinggi dibandingkan PPN-penjualan.
Kasus seperti ini lumrah terjadi pada perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor (dimana
pungutan PPN-penjualan nyaris tidak ada karena tarif PPN penjualan ekspor nol) di satu sisinya,
sementara di sisi lainnya perusahaan memiliki banyak faktur pajak masukan dari pembelian
bahan baku, bahan penolong, dll. Untuk masalah ini saya akan bahas nanti secara khusus di
topik Restitusi Pajak (tax refund).
Sebagai simpulan akhir, untuk menjawab pertanyaan dalam judul tulisan ini: PPN
Masuk ke Laba-Rugi atau Neraca? Jawabannya: tergantung apakah perusahaan yang
ditangani sudah berstatus PKP atau belum. Jika sudah, maka setiap unsur PPN (baik atas
pembelian maupun penjualan) masuk ke NERACA, persisnya ke dalam akun Utang
PPN di sisi passiva. Sedangkan jika perusahaannya belum berstatus PKP maka tidak
perlu mencatat PPN, setiap pembelian (terlepas apakah supplier mengitung PPN atau
tidak) diakui sebesar total tagihan untuk kemudian dialokasikan entah itu ke akun biaya
(Laba-Rugi) atau atau akun persediaan barang (neraca) tergantung barang apa yang
dibeli.
CONTOH KASUS:
kita menjual jasa sbb:
saat penjualan:
Debet Kredit
Piutang Usaha 1.100.000
Penjualan 1.000.000
PPN (Hutang
100.000
pajak PPN)
Debet Kredit
Potongan
20
PPH23
Piutang Usaha 20
saat penjualan:
Input Penjualan
Debit Kredit
Piutang Usaha 1.100.000
Penjualan 1.000.000
PPN (Hutang
100.000
pajak PPN)
Debit Kredit
Hutang PPH23 20
Kas/Bank 20