Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Quran adalah kitab yang sangat penting bagi manusia di seluruh dunia
terutama bagi umat islam. Didalamnya terdapat banyak sekali pelajaran
hidup yang dapat kita kaji, bahkan saat ini banyak sekali orang-orang
diberbagai belahan dunia sedang mempelajarinya.
Sesungguhnya Al-Quran diturunkan ke dunia menyimpan berjuta rahasia.
Banyak rahasia yang belum terungkap sampai sekarang sehingga masih
menjadi perdebatan para ulama dan menjadi mesteri yang belum mampu
sepenuhnya terungkap.
Dan alangkah baiknya, sebelum mempelajari lebih dalam ilmu-ilmu yang
terkandung didalam Al-Quran, kita harus mengetahui terlebih dahulu
bagaimana sejarah dan awal mula Al-Quran diturukan kepada Nabi
Muhamad, tahapan-tahapan al-quran itu diturunkan kepada Nabi
Muhammad.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan menguraikan peristiwa tentang
nuzulul quran.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nuzulul quran?
2. Bagaimana sejarah nuzulul quran?
3. Bagaimana proses penurunan Al-Quran?
4. Bagaimana pelestarian Al-Quran pada masa nabi Muhammad SAW?
5. Bagaimana penulisan Al-Quran pada masa sahabat dan pelestariannya
pada masa selanjutnya?
6. Bagaimana percetakan Al-Quran?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nuzulul Quran


Nuzul Al-Quran atau yang di Indonesia sering ditulis Nuzulul Quran terdiri
dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Quran. Kata nazala di dalam bahasa Arab
berarti meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dalam
konteks ini, misalnya, bias ditemui kalimat di dalam salah satu ayat Al-
Quran yang berbunyi:




Tuhan, turunkanlah padaku sesuatu berkah, karena Engkau adalah Zat
pemberi berkah yang paling baik. (Q.S. Al-Muminun [23]: 29)
Di dalam hubungannya dengan pembahasan Nuzul Al-Quran, kata Syekh
Abd Al-Wahhab Abd Al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan fi Mabahitsi Ulum
Al-Quran-Nya, yang dimaksud dengan nuzul adalah turunnya sesuatu dari
tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sesuatu itu tidak lain
adalah Al-Quran. Hanya kemudian Syekh Gazlan berkomentar, Oleh karena
yang turun itu bukan berbentuk fisik, maka pengertian nuzul di sini bisa
mengandung pengertian kiasan (majazi), dan apabila yang dimaksud turun
adalah lafaz, maka nuzul berarti Al-Ishal (penyampaian) dan Al-Ilam
(penginformasian). [2]
Dr. Ahmad as Sayyid al Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al Qasim
mengatakan, bahwa nuzul mempunyai lima makna yakni:
1. Meluncurnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah
2. Jatuh, tiba, singgah
3. Tertib, teratur, urutan
4. Pertemuan
5. Turun secara berangsur-angsur dan terkadang sekaligus[3]

B. Sejarah Nuzulul Quran


1. Hari Pertama Al-quran Diturunkan dan Tempatnya
Al-Quran mulai diturunkan kepada Nabi ketika Nabi sedang berkhilwat di
gua Hira pada malam Senin, bertepatan dengan tanggal tujuh belas
Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW (6 Agustus 610 M).
Sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran Al-Quran, Allah menjadikan malam
permulaan turun Al-Quran itu malam Al-Qadar yaitu suatu malam yang
tinggi kadarnya. Hal ini diakui dalam Al-Quran sendiri.
Tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam menetapkan bahwa Al-
Quran diturunkan di malam bulan Ramadhan. Ketetapan ini ditegaskan juga
dalam Al-Quran sendiri. Semua ulama sepakat menetapkan yang demikian,
hanya mereka berlainan pendapat tentang tanggalnya.
Ibnu Ishaq seorang pujangga tarikh Islam yang ternama menetapkan
bahwa malam itu adalah malam tujuh belas Ramadhan. Penetapan ini dapat
dikuatkan dengan isyarat Al-Quran sendiri:
Firman Allah:








Jika kamu telah beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah
Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari Al-Furqan, hari bertemu dua
pasukan. (Q.S. Al-Anfal [8]: 41 )
Dikehendaki dengan hari bertemu dua pasukan adalah hari bertemu
tentara Islam dengan tentara Quraisy dalam pertempuran Badar. Yang
demikian itu tepat pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun yang kedua
Hijrah. Dan hari Furqan ialah hari permulaan diturunkan Al-Quran. Maka
kedua hari itu bersatu sifatnya yaitu sama-sama pada hari Jumat tujuh belas
Ramadhan walaupun tidak dalam setahun.
Menurut hadits Bukhary dari Aisyah r.a. berkata: Permulaan wahyu yang
diterima Rasulullah ialah mimpi yang benar. Beliau bermimpi seakan-akan
melihat sinaran subuh dan terjadi persis seperti yang dimimpikan.
Sesudah itu beliau mulai gemar ber-khilwat. Beliau ber-khalwat di gua
Hira, beribadah beberapa malam, sebelum beliau kembali kepada
keluarganya untuk mengambil bekal. Sesudah beberapa malam beliau
berada dalam gua, beliau kembali kepada Khadijah sekedar untuk
mengambil makanan untuk beberapa hari. Beliau terus berbuat demikian
sampai datanglah haq (kebenaran) kepadanya. Malaikat datang kepadanya
lalu berkata: iqra (bacalah ini). Nabi menjawab: saya tidak pandai
membaca. Nabi menerangkan : Mendengar jawaban itu, malaikat pun
memelukku sampai aku terasa kepayahan karena kerasnya pelukan itu.
Kemudian dilepaskan serta disuruh membaca lagi. Aku menjawab seperti
yang pertama. Malaikat memelukku lagi. Sesudah itu barulah malaikat
berkata:







Sesudah itu Rasulullah segera kembali pulang dengan badan yang
gemetar karena ketakutan. Nabi menjumpai Khadijah dan berkata: Selimuti
aku, selimuti aku! Sesudah tenang perasaannya, beliau menceritakan
kepada Khadijah apa yang telah terjadi, seraya berkata: Saya khawatir
sekali terhadap diriku ini. Maka Khadijah menjawab: Tidak sekali-kali tidak,
demi Allah, Allah sekali-kali tidak mengabaikan engkau. Engkau seorang
yang selalu memikul beban orang, memberikan sesuatu kepada orang yang
tidak mampu, memuliakan dan menjamu tamu yang datang dan
memberikan bantuan-bantuan terhadap bencana-bencana yang menimpa
manusia.
Sesudah itu Khadijah pergi bersama nabi kepada waraqah ibn naufal,
anak dari paman Khadijah yang telah lama memeluk agama Nasrani dan
pandai menulis dalam tulisan ibrani. Dia seorang syekh yang sangat tua dan
matanya telah buta.
Khadijah berkata kepadanya: Wahai anak paman, dengarlah apa yang
dikatakan oleh anak saudaramu ini. Waraqah bertanya: Wahai anak
saudaraku, apakah gerangan yang menimpa engkau. Maka Rasul SAW
menerangkan apa yang telah dilihat dan dialaminya.
Mendengar itu waraqah berkata: itulah Namus (Jibril) yang telah Allah
turunkan kepada Musa. Alangkah baiknya jika aku kala itu (kala Muhammad
memulai nubuwahnya atau seruannya) masih muda dan kuat! Mudah-
mudahan kiranya diwaktu itu aku masih hidup, yaitu diwaktu engkau diusir
oleh kaummu. Maka Rasulullah bertanya : Apakah mereka akan
mengusirku? Waraqah menjawab: Ya benar sekali. Tidak ada seorang
lelaki yang membawa seperti yang engkau bawakan, kecuali akan dimusuhi.
Jika aku hidup sampai saat itu, aku akan menolongmu dengan
sesungguhnya. Tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dunia dan wahyu
pun berhenti untuk sementara waktu.[4]
2. Ayat-ayat yang Mula-mula Diturunkan
Ayat yang mula-mula diturunkan ketika Nabi di dalam gua Hira ialah:













Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan. Yang telah
menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu yang
paling mulia. Yang telah mengajarkan manusia apa yang manusia tidak
mengetahuinya. (Q.S. Al-Alaq [96]: 1-5)
Sesudah itu Allah menurunkan ayat:












Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah khabar takut dan
besarkanlah Tuhanmu, sucikanlah kainmu, jauhilah berhala-hala dan
janganlah kamu memberi nikmat untuk memandang banyak nikmat-nikmat
itu, dan bersabarlah karena Tuhanmu. Apabila telah ditiup sangkakala, maka
itulah hari yang sangat sulit dan sukar, terhadap segala orang kafir tidak
pula mudahnya. (Q.S. Al-Muddatstsir [74]: 1-10)
Jelasnya, sesudah Nabi menerima tugas yang terang untuk menyampaikan
unndang-undang Islam kepada para manusia dengan firman:



Bangunlah engkau lalu berilah pengajaran (menerangkan khabar yang
menakutkan. (Q.S. Al-Muddatstsir [74]: 2)
Kemudian wahyu berhenti, tidak turun lagi. Menurut pendapat Ibnu Ishaq,
tiga tahun lamanya wahyu tidak diturunkan. Dalam pada itu ada yang
mengatakan selama empat puluh hari, ada yang mengatakan selama lima
belas hari dan ada yang mengatakan selama tiga hari. Setelah Nabi merasa
kecewa karena tidak turun wahyu yang sangat dirindukannya, kemudian
turun surat Adh-Dhuha.
Dan dapat diketahui dari keadaan-keadaan yang mengitari turun surat ini,
bahwa dia diturunkan dalam tahun yang ketiga sesudah Nabi dibangkit, atau
ketika Nabi berumur empat puluh tiga tahun. Inilah surat yang ketiga yang
diturunkan dalam tahun yang ketiga dari kebangkitan Nabi. Sesudah itu baru
terus beriringan Al-Quran diturunkan menurut kejadian-kejadian yang
memerlukannya dan tidak pernah lagi putus.
Pada permulaan tahun yang keempat dari kebangkitannya, barulah
Rasulullah memulai tugasnya menjalankan dakwah secara terang-terangan
yaitu mengajak umat ke dalam agama yang dibawanya dengan cara terbuka
dan tidak lagi bersembunyi-sembunyi guna memenuhi kehendak ayat:
Maka janganlah apa yang engkau diperintahkan dan berpalinglah kamu dari
orang-orang musyrik. (Q.S. Al-Hajr [15]: 4)
Dan memenuhi kehendak ayat:







Dan beri khabar takutlah kepada keluargamu yang dekat-dekat dan
rendahkanlah sayapmu terhadap orang-orang mukmin yang telah
mengikutimu, kemudian jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah
bahwasanya saya terlepas dari apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Asy-
Syuara [26]: 214-216)[5]
3. Hari Terakhir Al-Quran Diturunkan dan Tempatnya
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa hari terakhir turunnya Al-Quran
ialah hari Jumat 9 Dzulhijjah tahun 10 H atau tahun 63 dari kelahiran Nabi
(Maret 632 M).
Pada saat itu Nabi sedang berwukuf di padang Arafah, mengerjakan haji
yang terkenal dengan haji Wada. Kebanyakan ulama tafsir menetapkan
bahwa sesudah hari itu Al-Quran tidak lagi diturunkan untuk menerangkan
hukum dan Nabi pun hidup sesudahnya hanya selama 81 malam. Ahli tarikh
menetapkan bahwa Nabi Saw hidup sesudahnya selama kurang lebih tiga
bulan. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah wafat pada hari Senin
tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H (7 Juni 632 M).[6]
4. Ayat Al-Quran yang Terakhir Diturunkan
Dalam masalah ayat yang paling akhir turun, tak satu pun terdapat
riwayat yang marfu kepada Nabi Muhammad SAW. Semua riwayat yang ada
bersumber dari sahabat dan tabiin. Itulah sebabnya saat mencari tahu ayat
yang paling akhir turun, terjadi kesimpangsiuran dan persilangan pendapat.
Berikut ini beberapa riwayat tentang ayat Al-Quran yang terakhir
diturunkan:
a. Q.S. Al-Baqarah [2]: 281
Dalil yang dipegang yaitu:
1) Riwayat yang dikeluarkan oleh NasaI dari Ikhrimah, dari Ibnu Abbas;
2) Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Said bin Jubair;
3) Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij;
4) Riwayat Al-Baihaqiy dari Ibnu Abbas.
b. Q.S. Al-Baqarah [2]: 278
Riwayat yang saama dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy.
c. Q.S. Al-Baqarah [2]: 282
Pendapat ini merujuk pada:
1) Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, dari Said bin Al-Musayyab;
2) Riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Ubaid, dari Ibnu Syihab.
d. Ayat kalalah adalah ayat Al-Quran yang terakhir turun. Pendapat ini
merujuk pada hadis mutaffaqun alayhi (riwayat Al-Bukhari dan Muslim) dari
Al-Barra bin Azib. Riwayat itu menyatakan bahwa surat yang paling akhir
turun adalah Baraah (At-Taubah) dan akhir ayat yang turun adalah
yastaftunaka (yang dikenal dengan ayat kalalah, yakni ayat 176 surat An-
Nisa)
e. Q.S. Al-Maidah [5]: 3
Syekh Muhammad Al-Khudhariy dalam kitabnya, Tarikh Al-Tasyri Al-Islami
dan Syekh Abdu Al-Aziz Al-Khuli dalam kitabnya, Al-Quran: Wash fuhu,
Hidayatuhu, Atsaru Ijazihi, termasuk yang memegang ayat 2 surat Al-
Maidah ini sebagai ayat yang diturunkan paling akhir.[7]

C. Proses Penurunan Al-Quran


1. Tahap-tahap Turunnya Al-Quran
a. Tahapan Pertama (At-Tanazzulul Awwalu)
Tahapan pertama, Al-Quran diturunkan/ ditempatkan ke Lauh Mahfudh.
Yakni, suatu tempat di mana manusia tidak bias mengetahuinya secara pasti.
Dalil yang mengisyaratkan bahwa Al-Quran itu ditempatkan di Lauh
Mahfudh itu ialah keterangan firman Allah SWT:







Bahkan (yang didustakan mereka) itu ialah Al-Quran yang mulia yang
tersimpan di Lauh Mahfudh. (Q.S. Al-Buruj: 21-22)
Tetapi mengenai sejak kapan Al-Quran ditempatkan di Lauh Mahfudh itu,
dan bagaimana caranya adalah hal-hal ghaib tidak ada yang mampu
mengetahuinya, selain dari Allah SWT, Dzat yang Maha Mengetahui segala
hal yang tersembunyi. Namun, mengenai bagaimana cara turunnya Al-quran
itu ke Lauh Mahfudh dapat disistematiskan secara sekaligus ke seluruh Al-
Quran itu.
b. Tahapan Kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani)
Tahapan kedua, Al-Quran turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul Izzah di
langit dunia. Jadi, setelah berada di Lauh Mahfudh, kitab Al-Quran itu turun
ke Baitul Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini.
c. Tahapan Ketiga (At-Tanazzulu Ats-Tsaalistu)
Tahapan, Al-Quran turun dari Baitul Izzah di langit dunia langsung kepada
Nabi Muhammad Saw. Artinya, setelah wahyu kitab Al-Quran itu pertama
kalinya ditempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkannya ke Baitul
Izzah di langit dunia, kemudian ketiganya disampaikan langsung kepada
Nabi Muhammad SAW, baik melalui perantaraan Malaikat Jibril, atau pun
secara langsung ke dalam hati sanubari Nabi Muhammad SAW, maupun dari
balik tabir.[8]
2. Tempo Nuzul Al-Quran
Banyak pendapat dari ulama mengenai tempo Nuzul Al-Quran. Ada yang
mengatakan, 22 tahun 2 bulan 22 hari. Sebagian dari mereka berpendapat,
20 tahun. Ada pula yang mengatakan 23 tahun, bahkan ada pula yang
menetapkan bahwa Al-Quran diturunkan selama 25 tahun. Perbedaan
pendapat tersebut tidak lepas dari perselisihan pendapat tentang berapa
lama Nabi SAW bermukim di Makkah setelah diangkat sebagai rasul. Namun
demikian mereka sepakat tentang lama masa Nabi SAW bermukim di
Madinah, yakni selama 10 tahun.
Al Khudlari menetapkan bahwa tempo Nuzul Al-Quran adalah 2 tahun 2
bulan 22 hari, yakni sejak tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran
Nabi SAW hingga tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 H atau tahun ke-63 dari
kelahiran NAbi SAW. Sedangkan menurut Kamaludin Marzuki, Nabi SAW
menerima wahyu selama 22 tahun 6 bulan, yakni sejak enam bulan setelah
beliau menerima wahyu pertama berupa mimpi yang nyata (ar Ruya ash
shalihah) pada tanggal 12 Rabiul awwal atau sejak Ramadhan tahun ke-41
dari kelahiran Nabi SAW hingga menjelang wafatnya, yakni dalam usia 63
tahun.[9]
3. Cara-cara Turun Wahyu Al-Quran
Cara-cara turun wahyu pada pokoknya melalui tiga cara, seperti yang
diidentifikasikan Al-Quran:
















Dan tidak ada bagi seseorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi
lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Asy-syura: 51)
Dari keterangan ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwa cara-cara turun
wahyu pada umumnya, termasuk cara turun wahyu Al-Quran itu adalah
sebagai berikut:
a. Dengan cara pemberitahuan langsung (secara wahyu) ke dalam hati Nabi
atau jiwanya mengenai sesuatu pengetahuan yang dia sediri tidak mampu
menolaknya dan tidak sedikit pun meragukan kebenarannya. Cara ini sering
disebut dengan cara rayu ash-shalihah atau impian nyata diperolehnya
dengan jalan mimpi dalam tidur, tetapi kemudian menjadi kenyataan.
Contohnya, seperti impian Nabi Ibrahim a.s., ketika menerima wahyu yang
memerintahkan supaya menyembelih puteranya, Ismail.
b. Dengan cara penyampaian dari balik takbir, yakni suara bisikan wahyu
disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah gemerincingnya suara
lonceng/bel. Jadi, yang dijadikan tabir menutup pendengaran para sahabat
adalah gemuruhnya bunyi lonceng, yang menghalangi telinga mereka
mendengar bisikan suara wahyu ayat yang diturunkan. Tetapi telinga Nabi
tetap mendengar bisikan suara wahyu itu dari balik suara lonceng tersebut.
c. Dengan cara melalui perantara Malaikat Jibril a.s. sebagai pembawa
wahyunya. Hal ini sebagaimana sudah diisyaratkan oleh Al-Quran. Jadi,
Malaikat Jibril membacakan wahyu ayat-ayat yang diturunkan, baik dia itu
tetap dalam bentuk aslinya dalam alam rohani, dan Nabi SAW yang
melepaskan diri dari bentuk tubuh jasmani menjadi bentuk rohani.
Cara ini terasa berat bagi Nabi, sehingga seolah-olah beliau seperti
mengigau atau pingsan, meski sebenarnya beliau waktu itu tidak mengigau
atau pun pingsan, melainkan karena sedang penuh konsentrasi dalam
menghadapi malaikat dalam alam rohani. Hal ini sesuai dengan keterangan
Al-Quran:






Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.
(Q.S. Al-Muzammil: 5)
Atau sebaliknya, Malaikat Jibril a.s. itu menyamar sebagai seorang laki-
laki sedangkan Nabi tetap dalam bentuk tubuh jasmani, sehingga cara ini
sangat mudah bagi Nabi.[10]

D. Pelestarian Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad SAW


Setiap kali menerima wahyu Al-Quran, kata Ibnu Katsir ada tiga tahap
penting yang dilalui Rasulullah:
1. Tahap penghimpunan Al-Quran di benak Rasulullah yakni penghafalan.
2. Tahap pembacaan ayat-ayat Al-Quran. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat
yang baru saja ia sampaikan di hadapan Rasulullah.
3. Tahap penjelasan atau tahap bayan. Pada tahap yang terakhir ini, Rasulullah
diberitahukan pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.
Oleh karena pesan Al-Quran tidak hanya untuk Rasulullah, tetapi untuk
semua orang terutama yang bertakwa (lihat Al-Baqarah ayat 2), langkah
Rasulullah selanjutnya adalah tablig, yakni menyampaikan Al-Quran kepada
para sahabat tanpa kecuali.





Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan
mengajarkannya.
Kalimat Rasulullah ini ternyata menjadi semacam alat pemacu yang
mampu menggerakkan kaum Muslimin untuk berlomba-lomba menguasai Al-
Quran sebanyak mungkin. Tidak sedikit diantara para sahabat Rasulullah
yang menguasai keseluruhan ayat Al-Quran yang diterima Rasulullah itu.
Mereka tak ingin kalau sampai ada ayat Al-Quran yang tidak mereka kuasai.
Misalnya, Abdullah bin Masud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, selain empat
sahabat Rasulullah yang sempat menduduki kursi khilafah atau yang biasa
juga disebut empat besar, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
radhiallahu anhum.[11]
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan
dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Beliau memiliki
sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah
Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Said, Khalid bin Said, Khalid bin Al-
Walid dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Quran pada masa
Nabi sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis berupa lontaran
kayu, pelepah korma, tulang-belulang, dan batu.
Kegiatan tulis-menulis Al-Quran pada masa Nabi di samping dilakukan
oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. kegiatan itu
didasarkan pada sebuah hadits Nabi sebagaimana telah diriwayatkan oleh
Muslim, Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-
Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah ia
menghapusnya.
Diantara faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi
adalah:
1. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Bertolak dari
hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau
sebagian dari mereka ada yang sudah wafat. Adapun tulisan tetap
terpelihara walaupun tidak ditulis pada satu tempat.[12]
E. Penulisan Al-Quran Pada Masa Sahabat dan Pelestariannya Pada
Masa Selanjutnya
1. Penulisan Al-Quran Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya, seluruh Al-Quran sudah ditulis pada masa Nabi. Hanya
saja, surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Orang
yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-
Shiddiq. Usaha pengumpulan tulisan Al-Quran itu terjadi setelah Perang
Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas para
pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata
menyebabkan 700 orang sahabat penghafal Al-Quran syahid. Khawatir akan
semakin hilangnya para penghafal Al-Quran, sehingga kelestarian Al-Quran
juga ikut terancam, Umar datang menemui khalifah pertama, Abu Bakar,
agar segera menginstruksikan pengumpulan Al-Quran dari berbagai sumber,
baik yang tersimpan di dalam hafalan maupun tulisan.
Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat
Bukhari, mengisahkan, setelah peristiwa berdarah yang menimpa sekitar
700 orang penghafal Al-Quran, Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir
dalam pertemuan itu adalah Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar membuka
pertemuan itu dengan mengatakan, Umar telah mendatangiku dan
mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah meminta korban sejumlah
qari Al-Quran. Aku khawatir hal ini meluas kepada para penduduk. Kalau
demikian, banyak penghafal Al-Quran yang hilang. Aku memandang
perlunya penghimpunan Al-Quran.
Zaid bin Tsabit berkata kepada Umar karena usul penulisan datang
darinya, Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan
Rasulullah? Umar lalu menjawab, Demi Allah, ini sesuatu yang baik. Ketika
Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati
Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Quran.
Abu Bakar berkata kepada Zaid, Engkau adalah seorang lelaki yang msih
muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu engkau
menulis wahyu untuk Rasulullah, (sekarang) lacaklah Al-Quran.
Tugas yang dipercayakan Khalifah Abu Bakar padanya bukan hal yang
ringan. Ia berkata di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, Demi
Allah, jika sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung
hal itu tidak lebih berat daripada perintah untuk menghimpun Al-Quran.
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat
untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya
berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan. Sikap kehati-hatian Zaid dalam
mengumpulkan Al-Quran sebenarnya juga atas dasar pesan Abu Bakar
kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar berkata, Duduklah kalian di pintu masjid.
Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Quran dengan
dua saksi, catatlah.
Umar juga pernah berkata, Siapa saja yang pernah mendengar seberapa
saja ayat Al-Quran dari Rasulullah, sampaikanlah (kepada Zaid). Dan (pada
waktu itu) para sahabat telah menulisnya pada suhuf, papan, dan pelepah
kurma. Zaid sendiri tidak menerima laporan ayat dari siapapun sebelum
diperkuat dua saksi.
Dalam menerangkan pengertian dua saksi, perlu disimak pendapat Ibnu
Hajar. Menurut tokoh hadis kenamaan ini, yang dimaksud dengan syahidain
(dua saksi) di sini tidak harus keduanya dalam bentuk hafalan, atau
keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat
tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkannya didukung dua hafalan
dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu
yang dibawa oleh sahabat tertentu dapat diterima bila dikuatkan oleh dua
catatan dan atau dua hafalan sahabat lainnya.
Pekerjaan yang dibebankan ke pundak Zaid dapat diselesaikan dalam
waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun ke-3 H di bawah
pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para tokoh sahabat lainnya. Tidak ragu
lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al-Quran
pada masa Abu Bakar, yitu Abu Bakar sendiri, Umar, dan Zaid, mempunyai
peranan yang sangat penting. Umar yang terkenal dengan terobosan-
terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punya arti tersendiri.
Zaid, sudah tentu mendapat kehormatan besar karena dipercaya
menghimpun kitab suci Al-Quran yang memerlukan kejujuran, kecermatan,
ketelitian, dan kerja keras. Adapun Khalifah Abu Bakar sebagai decision
maker juga menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali bin Abi Thalib
memujinya dengan mengatakan, Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia
adalah orang yang pertama kali (mengambil keputusan) mengumpulkan
kitab Allah.
Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Quran yang
sudah terkumpul itu dinamakan Mushaf. Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-
suhuf Al-Quran itu disimpan Khalifah Umar. Setelah Umar wafat, mushaf itu
disimpan Hafsah, bukan oleh Utsman bin Affan sebagai khalifah yang
menggantikan Umar karena sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan
kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah seorang di
antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf
kepada salah seorang di antara keenam sahabat itu, ia khawatir hal itu
diinterprestasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang
mushaf. Padahal, Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
enam sahabat untuk memilih mereka yang layak menjadi khalifah. Maka, ia
menyerahkan mushaf itu kepada Hafsah yang sesungguhnya lebih dari layak
memegang mushaf yang sangat bernilai, terlebih ia adalah istri Nabi dan
sudah menghafal Al-Quran secara keseluruhannya.
2. Penulisan Al-Quran Pada Masa Utsman bin Affan
Inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Quran tampaknya
sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara
membaca Al-Quran pada saat itu sudah berada pada titik yang
menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi
perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa
perbedaan cara membaca Al-Quran ini terlihat pada waktu pertemuan
pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syiria. Mereka yang datang
dari Syam (Syiria) mengikuti qiraat Ubai bin Kaab, sedangkan mereka yang
berasal dari Irak membacanya sesuai dengan qiraat Ibnu Masud. Tak jarang
pula, di antara mereka yang mengikuti qiraat Abu Musa Al-Asyari. Sangat
disayangkan, masing-masing pihak merasa bahwa qiraat yang dimilikinya
lebih baik.
Adapun mengenai jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat-
tempat pengirimannya, hadits memberikan penjelasan yang berbeda-beda,
tetapi kemungkinannya, satu salinan disimpan di Madinah, sedangkan
salinan lain dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus, serta mungkin juga ke
Mekah. Salinan-salinan Al-Quran yang ada sebelumnya, yakni sebelum
adanya resensi Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan sehingga teks
seluruh salinan Al-Quran yang akan dibuat pada masa-masa selanjutnya
harus didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar harus memenuhi
persyaratan berikut:
a. Terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b. Mangabaikan ayat yang bacaannya di-nasikh dan ayat tersebut tidak
diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
c. Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan
mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsmani.
d. Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakup qiraat yang
berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Quran ketika turun.
e. Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan. Misalnya yang ditulis di
mushaf sebagian sahabat juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-
mansukh di dalam mushaf.
3. Penulisan Al-Quran Pada Masa Selanjutnya
Mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan
tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh.
Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan
membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah
Abd-Al-Malik (685-7705), ketidakmemadainya mushaf ini telah dimaklumi
para sarjana muslim terkemuka saat itu. Oleh karena itu, penyempurnaan
pun segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini,
yaitu Ubaidillah bin Ziyad (wafat 67 H) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (wafat
95 H). Ibnu Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia
untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Adapun
Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf Utsmani pada sebelas
tempat yang memudahkan membaca mushaf.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap
dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M)
ketika proses penyempurnaan naskah Al-Quran (mushaf Utsmani) selesai
dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang
pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Utsmani. Ketiga orang itu
adalah Abu Al-Aswad Ad-Duali, Yahya bin Yamar (45-129 H), dan Nashr bin
Ashmin Al-Laits (wafat 89 H). Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali
meletakkan hamzah, tasydid, ar-rum, dan al-isyam adalah Al-Khalil bin
Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kun-yah Abu Abdirrahman (wafat 175
H).
Upaya penulisan Al-Quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya
lain yang telah dilakukan generasi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-
Walid (memerintah dari tahun 86-96 H) memerintahkan Khalid bin Al-Khayyaj
yang terkenal keindahan tulisannya untuk menulis mushaf Al-Quran.[13]

F. Percetakan Al-Quran
Sebelum berkenalan dengan percetakan, mushaf-mushaf ditulis dengan
tangan. Al-Quran cetakan pertama kali muncul di Bunduqiyah, tahun 1530
M. Namun, begitu lahir, penguasa gereja mengeluarkan perintah
pemusnahan kitab suci agama Islam itu. Barulah lahir lagi cetakan
selanjutnya atas usaha seorang Jerman bernama Hinkelmann pada tahun
1694 M di Hamburg. Disusul kemudian oleh Marracci yang menerbitkan lagi
Al-Quran tahun 1698 di Padoue. Sayangnya, tak satu pun dari Al-Quran
cetakan pertama, kedua, maupun ketiga itu yang tersisa di dunia Islam
(Mabahits fi Ulum Al-Quran, hlm. 99). Sayangnya pula, perintis penerbitan
Al-Quran pertama itu dari kalangan bukan Muslim.
Penerbitan Al-Quran dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787.
Yang menerbitkannya adalah Maulaya Utsman. Dan mushaf cetakan itu lahir
di Leningrad, Uni Soviet atau St. Petersburg, Rusia, sekarang. Lahir lagi
kemudian mushaf cetakan di Kazan. Kemudian terbit lagi di Iran. Tahun 1248
H/1828 M, negeri Persia menerbitkan mushaf cetakan di kota Teheran. Lima
tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz.
Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi
mushaf cetakan di Leipzig, Jerman.
Di negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus
penerbitan Al-Quran di perempatan pertama abad ke-20. Panitia yang
dimotori oleh para Syekh Al-Azhar itu pada tahun 1342 H/1923 M berhasil
menerbitkan mushaf Al-Quran cetakan yang bagus. Mushaf yang pertama
terbit di negara Arab itu, di-dlabit sesuai dengan riwayat Hafsh atas qiraat
Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak, di Mesir dan di berbagai
negara.[14]
BAB III
SIMPULAN & SARAN

A. Simpulan
1. Nuzul Al-Quran atau yang di Indonesia sering ditulis Nuzulul Quran terdiri
dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Quran. Kata nazala di dalam bahasa Arab
berarti meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
2. Al-Quran mulai diturunkan kepada Nabi ketika Nabi sedang berkhilwat di
gua Hira pada malam Senin, bertepatan dengan tanggal tujuh belas
Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW (6 Agustus 610 M).
Sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran Al-Quran, Allah menjadikan malam
permulaan turun Al-Quran itu malam Al-Qadar yaitu suatu malam yang
tinggi kadarnya. Hal ini diakui dalam Al-Quran sendiri. Ayat yang mula-mula
diturunkan ketika Nabi di dalam gua Hira adalah Q.S. Al-Alaq ayat 1-5,
sesudah itu Allah menurunkan Q.S. Al-Muddatstsir ayat 1-10. Kemudian
wahyu berhenti, tidak turun lagi. Menurut pendapat Ibnu Ishaq, tiga tahun
lamanya wahyu tidak diturunkan. Dalam pada itu ada yang mengatakan
selama empat puluh hari, ada yang mengatakan selama lima belas hari dan
ada yang mengatakan selama tiga hari. Setelah Nabi merasa kecewa karena
tidak turun wahyu yang sangat dirindukannya, kemudian turun surat Adh-
Dhuha. Kemudian ulama menetapkan bahwa hari terakhir turunnya Al-
Quran ialah hari Jumat 9 Dzulhijjah tahun 10 H atau tahun 63 dari kelahiran
Nabi (Maret 632 M). Namun dalam masalah ayat yang paling akhir turun, tak
satu pun terdapat riwayat yang marfu kepada Nabi Muhammad SAW. Semua
riwayat yang ada bersumber dari sahabat dan tabiin. Itulah sebabnya saat
mencari tahu ayat yang paling akhir turun, terjadi kesimpangsiuran dan
persilangan pendapat.
3. Allah menurunkan al-quran kepada rasulullah melalui 3 tahap:
a. Tahapan Pertama (At-Tanazzulul Awwalu)
Al-Quran diturunkan/ ditempatkan ke Lauh Mahfudh.
b. Tahapan Kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani)
Al-Quran turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul Izzah di langit dunia.
c. Tahapan Ketiga (At-Tanazzulu Ats-Tsaalistu)
Al-Quran turun dari Baitul Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi
Muhammad Saw.
4. Pada masa ketika Nabi Muhammad masih hidup, terdapat beberapa orang
yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga
kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu,
daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang
binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
5. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran yang
mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang
signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan
keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan
seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu
Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator
pelaksanaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-
Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada
Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya
kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafshah yang
juga istri Nabi Muhammad.
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat
keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh
adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah
berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia
mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin
mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan
yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini.
Pasca sahabat pemaliharaan Al-Quran pada masa khalifah Abdul Malik ibn
Marwan pada tahun 65 H. Kemudian berkembang pada abad ke 3 H, dalam
perkara ini selalu saja disebut 3 orang tokoh Abu Aswad ad-Duali dialah yang
paling terkenal, Yahya bin Yamar, dan Nashr bin Ashim al-Laitsi. Kemudian
dalam perkembangan selanjutnya al-Khalil ibn Ahmad yang membuat tanda-
tanda baca dalam al-Quran dan berkembanglah tulisan-tulisan itu sampai
abad ke 5 H.
6. Al-Quran pertama sudah mulai dicetak di Negara bagian Eropa tepatnya yaitu di kota
Bunduqiyah (Italia) pada tahun 1530 M. Tetapi begitu mushaf cetakan itu muncul kekuasaan
gereja pada masa itu mulai kembali berkembang dan memliki rencana untuk membasmi musahf-
mushaf Al-Quran. Namun dalam pendapat lain juga mengatakan bahwasanya awal mula
pencetakan Al-Quran dilakukan pada tahun 1694 M, Hinkelman mencetak mushaf di Hambourg
(jerman). Pada tahun 1698 M, Merracci juga mencetak Al-Quran di kota Podova (Italia Utara).

B. Saran
Demikianlah makalah ini saya selesaikan. Saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah-
makalah selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.


Ash-Shiddieqy, Teungku. 2011. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir.
Semarang: Pustaka Riski Putra.
Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu.
Hermawan, Acep. 2011. Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Offset.
Sf, Syakur. 2001. Ulum Al-Quran. Semarang: PKP12. FAI Universitas Wahid
Hasyim.
Lestari, Sri. Makalah Sejarah Nuzulul Quran.
http://www.slideshare.net/nobericsoember/makalah-24885701 diakses pada
tanggal 21 Februari 2015, jam 23:06:33 WIB.

[1] Sri Wiji Lestari, Makalah Sejarah Nuzulul Quran,


http://www.slideshare.net/nobericsoember/makalah-24885701 diakses pada
tanggal 21 Februari 2015, jam 23:06:33 WIB.
[2]Acep Hermawan, Ulumul Quran, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset,
2011), hlm. 29-30.
[3] M. Syakur Sf, Ulum Al-Quran, (Semarang: PKP12. FAI Universitas Wahid
Hasyim, 2001), hlm. 32.
[4]Teungku M. Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan
Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm. 19-20.
[5] Ibid., hlm. 24-26.
[6] Ibid., hlm. 32.
[7] Acep Hermawan, Op. Cit., hlm. 25-28.
[8] Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hlm. 51-56.
[9] M. Syakur Sf, Op. Cit., hlm. 37-38.
[10]Abdul Djalal, Op. Cit., hlm. 67-69.
[11] Acep Hermawan, Op. Cit., hlm. 65-66.
[12] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm. 74-75.
[13] Ibid., hlm. 74-81.
[14] Acep Hermawan, Op. Cit., hlm. 87.

Anda mungkin juga menyukai