Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SHARING JURNAL PERITONITIS

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FUNDAMENTAL


PATHOPHYSIOLOGY OF DIGESTIVE SYSTEM
Yang dibina oleh Ns.Heni Dwi Windarwati.S.Kep.M.Kep.SpKepJ

OLEH

KELOMPOK 1

FITRI DYAH ANGGRAINI (125070218113050)


DIKY JULIANTO (125070218113046)
VINA SITTA ALFINIA (125070218113042)
SORAYA DWI KUSMIANI (125070218113032)
YOLENTA NANDYS A.S (125070218113022)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
kami dapat menyelesaikan makalah Sharing Jurnal PERITONITIS tepat pada
waktunya.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1. Ibu Ns. Heni Dwi Windarwati,S.Kep M.Kep Sp.Kep.J dosen pembimbing kami
pada mata kuliah Fundamental Pathopysiology Of Digestive System.
2. Orang tua dan teman-teman anggota kelompok.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun penulis harapkan demi mencapai
kesempurnaan makalah berikutnya.
Sekian penulis sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Kediri, 10 Maret 2015

penyusun

2
Daftar isi

Halaman
sampul......................................................................................................................1
Kata
Pengantar.....................................................................................................................
...2
Daftar
isi..................................................................................................................................
3
BAB I : Jurnal 1 Peritonitis
Lansia...................................................................................4
1.1 judul.................................................................................................................
..........5
1.2 topik.................................................................................................................
..........5
1.3 pengarang........................................................................................................
..........5
1.4 latar
belakang ..........................................................................................................
.5
1.5 hasil
penelitian.........................................................................................................
.6
1.6 metode.............................................................................................................
.........8
1.7 Diskusi..............................................................................................................
.........9
1.8 Kesimpulan.......................................................................................................
.........10
1.9 Lampiran
Jurnal......................................................................................................... 11
BAB II : Jurnal 2 Peritonitis Ibu
Hamil...............................................................................11
1.1Judul..................................................................................................................
.......11

3
1.2 topik.................................................................................................................
..........11
1.3 pengarang........................................................................................................
..........11
1.4 latar
belakang ..........................................................................................................
..11
1.5 hasil
penelitian.........................................................................................................
..11
1.6 metode.............................................................................................................
..........12
1.7 Diskusi..............................................................................................................
..........12
1.8 Kesimpulan.......................................................................................................
..........12
1.9 Lampiran
Jurnal.......................................................................................................... 12
BAB III : Jurnal 3 Peritonitis
Anak......................................................................................14
1.1judul..................................................................................................................
........14
1.2 topik.................................................................................................................
...........14
1.3 pengarang........................................................................................................
...........14
1.4 latar
belakang ..........................................................................................................
...14
1.5 hasil
penelitian.........................................................................................................
...14
1.6 metode.............................................................................................................
...........15
1.7 Diskusi..............................................................................................................
..........15
1.8 Kesimpulan.......................................................................................................
..........15

4
1.9 Lampiran
Jurnal.......................................................................................................... 15

BAB I PERITONITIS LANSIA


Judul : The impact of type of assistance on characteristics of peritonitis in
elderly peritoneal
dialysis patients
Topik : Keterkaitan usia dengan factor resiko terjadinya peritonitis dengan
angka kejadian
ESRD di lansia
Pengarang : Chun-Yih Hsieh Ji-Tseng Fang Chih-Wei Yang Ping-Chin Lai
Sau-An Hu Yu-Ming
Chen Chun-Chen Yu Ya-Chung Tian Chu-Chun Chien Cheng-
Chieh Hung
Latar belakang
Populasi lansia adalah kelompok umur yang paling cepat berkembang dari stadium
akhir penyakit ginjal (ESRD) di negara-negara maju. Tren serupa diamati di Taiwan
dengan pasien di usia 65 tahun atau lebih tua, akuntansi selama hampir setengah

5
dari populasi insiden dialisis dalam beberapa tahun terakhir. Untuk pasien usia
lanjut, terapi berbasis rumah dialisis peritoneal (PD) menawarkan keuntungan
tertentu, termasuk stabilitas kardiovaskular, tidak ada akses vaskular, kemerdekaan
dari rumah sakit, dan perawatan yang lebih baik dari fungsi ginjal residual. North
Thames Dialisis Studi (NTDs), 12 bulan studi kohort prospektif yang dilakukan di
Inggris, menunjukkan hasil klinis yang sama dan kualitas hidup di PD tua dan
hemodialisis pasien (HD). Meskipun demikian, pasien usia lanjut diperlakukan
dengan PD pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan pasien yang lebih muda,
karena beban penyakit yang lebih besar, penurunan fungsional, dan masalah
psikososial hambatan umum untuk perawatan diri PD. Dibantu PD telah
dikembangkan di sejumlah negara untuk mengatasi hambatan dan meningkatkan
ketersediaan PD untuk pasien usia lanjut. Risiko peritonitis pada pasien PD dibantu
orang tua telah menjadi perhatian khusus. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan risiko yang sama dari peritonitis pada pasien usia lanjut dan muda.
Selain itu, pasien usia lanjut yang diobati dengan dibantu PD memiliki tingkat
peritonitis sebanding dengan pasien perawatan diri. Bantuan rumah perawatan
untuk PD dapat diberikan oleh anggota keluarga, perawat perawatan di rumah, atau
mengunjungi profesional perawatan kesehatan. Prevalensi dan jenis bantuan untuk
PD bervariasi dari satu negara ke negara. Sebuah penelitian sebelumnya di unit PD
kami menunjukkan bahwa 73,6% dari pasien lansia membutuhkan bantuan. Jenis
bantuan PD di Taiwan belum ditangani sebelumnya. Perawatan rumah telah menjadi
andalan perawatan orang tua di Taiwan. Keluarga yang diizinkan untuk pekerja
imigran pengasuh jika ada individu yang sakit atau lanjut usia yang membutuhkan
jam perawatan 24 dan jika tidak ada pengasuh dalam negeri tersedia. Peningkatan
jumlah perawat migran telah bekerja di pelayanan kesehatan, paling sering dari
Vietnam, Indonesia, dan Filipina. Anggota keluarga dan pekerja migran adalah
pengasuh utama untuk 53,61 dan 14,27% dari tetua cacat, masing-masing.
Anggota keluarga serta pengasuh imigrant memainkan peran penting dalam
membantu PDIN rumahan pasien usia lanjut tergantung di Taiwan. Pengasuh
dibantu PD menimbulkan tantangan untuk program PD, dan tidak diketahui apakah
insiden dan karakteristik PD peritonitis terkait terpengaruh. Penelitian retrospektif
ini dilakukan untuk menggambarkan status dibantu PD dan dampak dari jenis
bantuan pada tingkat peritonitis pada pasien usia lanjut dari pusat PD tunggal di
Taiwan

6
Hasil penelitian
a. DEMOGRAFI PASIEN DAN DATA KLINIK
Total dari 102 kejadian pasien memenuhi kriteria kelayakan. Itu artinya usia awal
dari PD kurang lebih 64 sampai 73 tahun (jarak 65-100 tahun), dan pasien (14%)
adalah usia 80 tahun atau lebih tua. Ada 50 pasien laki-laki (usia sekitar 65 sampai
73 tahun) dan 52 pasien wanita (usia sekitar 64 sampai 73 tahun). Penyebab paling
umum dari ESRD adalah diabetes mellitus (sekitar 40,2%). Nilai tengah durasi
tindak lanjut berkisar 616 hari (jarak 93 sampai 2676 hari).
Jenis bantuan untuk PD pada pasien usia lanjut dibagikan sebagai berikut: 26 pasien
dalam kelompok perawatan diri (25,5%), 44 pasien dalam kelompok keluarga
(43,1%), dan 32 pasien dalam kelompok pengasuh (31,4%). Pasien perawatan diri
secara signifikan lebih muda (68,5 3,6 tahun) dibandingkan pasien dalam
kelompok keluarga (73,5 7,1 tahun) dan kelompok pengasuh (75,9 5,3 tahun)
(P \ 0,001). Ada pasien yang lebih laki-laki dalam kelompok perawatan diri (20/26,
76,9%) (P = 0,002). Pasien dalam kelompok pengasuh memiliki kondisi komorbiditas
lebih parah, yang diwakili oleh indeks komorbiditas ESRD dimodifikasi lebih tinggi
(rata-rata = 2.38 2.14, median = 2), dibandingkan perawatan diri (rata-rata =
1,15 1,76, median = 0) dan kelompok keluarga (rata-rata = 1,55 1,45, median
= 1) (P = 0,027). Hasilnya adalah sama ketika indeks komorbiditas Charlson
digunakan (P = 0,006).
Kami mengamati tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai penyebab ESRD
atau prevalensi diabetes mellitus di antara tiga kelompok. Pasien dalam kelompok
keluarga memiliki tingkat tertinggi pemanfaatan APD (15/44, 30,4%), tetapi
perbedaannya tidak signifikan secara statistik (P = 0,101). Perbandingan demografi
dasar dan data klinis dari tiga kelompok pasien PD tua disajikan pada Tabel 1.

b. INSIDEN PERITONITIS
Dari Januari 2000 sampai September 2009, 79 episode peritonitis terjadi pada 48
pasien. Secara keseluruhan, tingkat peritonitis adalah salah satu episode per 33
pasien perbulan, dan probabilitas masa bebas peritonitis 12 bulan adalah 72,5%.
Tingkat peritonitis dalam perawatan diri, keluarga, dan kelompok-kelompok
pengasuh adalah salah satu episode per 39, 37, dan 24 pasien per bulan,. Pasien
dalam kelompok pengasuh memiliki tingkat yang lebih tinggi terkena peritonitis,

7
dan perbedaan pasien kelompok perawatan diri dan keluarga tidak signifikan (P =
0.077). Tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kemungkinan masa
peritonitis bebas 12- bulan (P = 0,267).. Sebelas episode (13,9%) dari peritonitis
terjadi selama dirawat di rumah sakit, untuk penyebab lain selain peritonitis,
mengimplikasikan karena infeksi nosokomial. insiden peritonitis nosokomial lebih
tinggi pada kelompok pengasuh (6/29, 20,7%), tetapi perbedaannya tidak
signifikan secara statistik (P = 0,384)

c. ETIOLOGI PERITONITIS
Delapan episode (22,8%) adalah budaya-negatif, dan 11 episode (13,9%) tumbuh
lebih dari satu organisme. Masing-masing dari Infeksi Gram-positif dan Gram-negatif
menyumbang 31 (39,2%) dan 17 (21,5%) episode peritonitis.. Kelompok pengasuh
memiliki tingkat signifikan lebih rendah dari budaya-negatif peritonitis [1/29, 3,4%
(P = 0,007)]. Jika tidak, tingkat peritonitis yang disebabkan oleh organisme Gram-
positif, organisme Gram negatif, atau bakteri tertentu tidak berbeda secara
signifikan antara kelompok. Sebanyak 10 episode peritonitis jamur (12,7%) terjadi
pada 10 individu. Mayoritas peritonitis jamur disebabkan oleh spesies Candida,
termasuk Candida albicans (30%), Candida parapsilosis (30%), Candida tropicalis
(20%), dan Candida glabrata (10%). Trichosporon bertanggung jawab untuk satu
episode (10%). Sebuah frekuensi yang lebih tinggi dari peritonitis jamur pada
kelompok pengasuh (7/29, 24,1%) dibandingkan dengan perawatan diri (2/25, 8,0%)
dan kelompok-kelompok keluarga (1/25, 4.0%) diamati, dan terjadi perbedaan
batas signifikansi statistik (P = 0.060). Frekuensi dan penyebab mikroorganisme
peritonitis serta perbandingan antara tiga kelompok ditunjukkan pada Tabel 2.

d. HASIL KLINIS PERITONITIS


Secara keseluruhan, tingkat kekambuhan peritonitis adalah 7,6%, dan tingkat
pengangkatan kateter adalah 20,3%. Kelompok pengasuh memiliki tingkat lebih
tinggi dari pengangkatan kateter (29/10, 34,5%) dibandingkan dengan kelompok
keluarga (2/25, 8,0%) (P = 0,044 keseluruhan; P = 0.020 di post hoc perbandingan).
Kegagalan teknik yang rumit ada sekitar 22,8% dari episode. Kematian-Peritonitis
terjadi pada 10,1% dari semua episode, dan angka kematian tidak berbeda secara
signifikan antara tiga kelompok (P = 0,713). Hasil klinis berikut peritonitis dan
perbandingan kelompok ditunjukkan pada Tabel 3. Mikroorganisme penyebab yang
berbeda dari peritonitis dikaitkan dengan hasil yang beragam. Di antara peritonitis

8
Gram-negatif, tidak ada pasien mengalami pengangkatan kateter, kegagalan teknik,
atau kematian. Di sisi lain, sepuluh dari semua episode peritonitis jamur diobati
dengan pengangkatan kateter segera sesuai dengan rekomendasi ISPD, dan tingkat
kematian peritonitis jamur adalah 40%.

Metode
- Pasien
694 pasien masuk program PD di pusat medis kami di Taiwan antara Januari
2000 dan Desember 2008, dan 141 pasien (20,3%) yang memulai PD di usia 65
tahun atau lebih tua yang didefinisikan sebagai penduduk lanjut usia. Lansia
pasien memulai PD dengan terus menerus tindak lanjut di rumah sakit ini telah
terdaftar dalam penelitian ini. Pasien dikeluarkan jika mereka telah ditransfer ke
modalitas lain dari terapi penggantian ginjal dalam waktu 90 hari dari PD awal.
Para pasien yang memenuhi syarat diikuti sampai pengunduran diri dari PD,
kematian, atau akhir studi (September
Seorang perawat PD yang berkualitas ditugaskan untuk setiap pasien pada awal
PD. Pasien dan keluarga dan / atau pengasuh mereka melakukan pelatihan
standar PD dan prosedur simulasi PD. Mereka diminta untuk lulus tes pasca
pelatihan sebelum memulai untuk melakukan PD di rumah atau di rumah sakit.
Setelah keluar, pasien dipantau di klinik PD kami secara bulanan.pengevaluasian
kembali secara rutin terkait pengetahuan dan teknik PD dilakukan satu bulan
setelah keluar dari rumah sakit, satu tahun setelah mulai PD, dan setiap terjadi
peritonitis.
Para pasien yang memenuhi syarat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan
jenis bantuan PD: (1) kelompok perawatan diri: pasien yang melakukan prosedur
dialisis independen, (2) kelompok keluarga: pasien yang melakukan prosedur
dialysis yang dilakukan oleh anggota keluarga, (3) kelompok pengasuh: pasien
yang melakukan prosedur dialisis yang dilakukan oleh pengasuh pribadi. Yang
terakhir dua kelompok secara kolektif disebut sebagai '' bantuan kelompok PD.
Demografi pasien dan data klinis dibandingkan antara tiga kelompok.
- Pengumpulan data
Karakteristik pasien termasuk usia, jenis kelamin, penyebab ESRD dan kondisi
komorbiditas pada inisiasi PD yang diambil. Indeks komorbiditas ESRD yang
telah dimodifikasi dan indeks komorbiditas Charlson digunakan untuk menilai
penyakit penyerta dalam kelompok pasien ESRD lansia. Data klinis termasuk

9
modalitas PD (CAPD) atau (APD), status bantuan PD, dan durasi tindak lanjut
dicatat.
Peritonitis didiagnosis sesuai dengan pedoman ISPD ketika pasien setidaknya
memiliki dua dari tiga kriteria berikut: (1) sakit perut atau cloudy peritoneal
efuent, (2)
peritoneal efuent jumlah sel darah putih lebih dari 100/mm3 dengan persentas
eneutrofil lebih dari 50%, (3) positif peritoneal efuent budaya. Semua episode
peritonitis pada pasien yang memenuhi syarat ditinjau. Untuk mengevaluasi
dampak dari jenis bantuan PD pada peritonitis, mereka episode yang terjadi
dalam waktu 30 hari dari pemasangan kateter peritoneal atau pembedahan
perut lainnya dikecualikan. Peritonitis yang kambuhan, didefinisikan sebagai
sebuah episode yang terjadi dalam 4 minggu penyelesaian terapi episode
sebelumnya dengan organisme yang sama atau satu episode steril, tidak
dihitung sebagai episode yang berbeda [16]. Etiologi setiap episode dicatat,
serta hasil seperti kambuh, penghapusan kateter Tenckhoff, kegagalan teknik,
dan kegagalan terkait dengan kematian.
- analisis statistik
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS, versi 16.0
(SPSS Inc, Chicago, IL, USA). Variabel kontinyu dinyatakan sebagai sarana dan
standar deviasi (SD), dan variabel kategoris dinyatakan sebagai frekuensi dan
persentase, kecuali dinyatakan dispesifikasikan. Demografi pasien, data klinis,
karakteristik peritonitis, dan kemungkinan masa peritonitis bebas 12 bulan
dibandingkan antara tiga kelompok pasien menggunakan uji chi-square, uji
Fisher, atau one-way ANOVA, yang sesuai. Tingkat peritonitis dinyatakan sebagai
interval antara episode peritonitis (satu episode per 'n' pasien-bulan). Untuk
membandingkan tingkat peritonitis, terjadinya peritonitis diasumsikan untuk
mendistribusikan distribusi binomial dengan durasi pengobatan. P diuji, dan
95%interval kepercayaan diri dihitung. Nilai P \ 0,05 dianggap statistik
signifikan. Nilai P dikoreksi dengan metode Bonferroni untuk memungkinkan
untuk beberapa perbandingan.

Diskusi
Taiwan melaporkan terjadi peningkatan tingkat insiden dan Prevalensi ESRD di
dunia pada tahun 2007. Pasien berusia 65 tahun dan ke atas sebebsar 52,5% dan
40,8% dari usia normal. Tingkat pemanfaatan Peritonial dialsis (PD) pada populasi
lansia (end stage renal disease) ESRD meningkat dari 3,1% pada tahun 2001

10
menjadi 4,0% pada tahun 2007 sebagai tingkat keseluruhan tumbuh dari 6,5%
menjadi 8,5% di Taiwan. Jumlah PD meningkat dengan usia dan untuk itu sudah di
danai terkait kondisi peritonial disease untuk lansia.
Dalam penelitian ini, sebagian besar pasien lansia nya adalah (74,5%) yang
menjalani peritonial dialisis
disediakan oleh keluarga anggota (43,1%) atau atau secra individu (31,4%). Verger
et al menganalisis Peritoneal Dialisis. Mereka mengamati bahwa pasien dengan
usia yang lebih tua memiliki derajat lebih rendah dalam melakukan aktivitas dan
lebih sering dibantu oleh seorang perawat pribadi daripada oleh anggota keluarga.
Dengan peningkatan PD pada lansia di Taiwan. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa lansia yang menggunakan perawatan dialisis peritonial memiliki risiko
peritonitis yang sama. kejadian dan etiologi peritonitis adalah serupa pada pasien
lansia peritoneal.
Di Perancis, populasi lansia dengan peritoneal dialisis tergolong tinggi. Dalam
penelitian ini, pasien yang dalam perawatan artinya dalam tingkat lebih parah
menunjukkan kecenderungan Tingkat peritonitis. Peritonitis disebabkan oleh
organisme Gram-positif, koagulase-negatif staphylococcus, dan Staphylococcus
aureus. Di sana ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat Gramnegative
peritonitis. Sebuah kejadian yang tinggi dari peritonitis jamur (12,7%) diamati
dalam penelitian ini. Kondisi seperti Peritonitis bakteri dan penggunaan
berkepanjangan dalam penggunaan antibiotik telah dianggap sebagai risiko utama
faktor peritonitis jamur.
Keterkaitan umur tidak ditemukan sebagai faktor risiko peritonitis. Troidle et al.
mempelajari 19 episode peritonitis nosokomial dengan tinggi kejadian peritonitis
candida (21%) dan dalam penelitiannya melaporkan bahwa peningkatan usia dan
berkepanjangan rawat inap merupakan faktor risiko untuk peritonitis nosokomial.
Proses perawatan tentang resep antibiotik dan rawat inap harus sesuai. program
pelatihan untuk pasien harus komprehensif untuk pasien, anggota keluarga. Szeto
et al. melaporkan tingkat kematian yang lebih tinggi untuk peritonitis pada pasien
tua tua dan yang beresiko lebih tinggi dalam hal kekambuhan. DalamPenelitian di
jurnal ini tidak ada perbedaan mengenai tingkat kambuh di antara kelompok-
kelompok, tetapi pasien di kelompok lansia memiliki risiko yang lebih tinggi dari
pada yang lebih muda.

Kesimpulan

11
Dapat disimpulkan bahwa pasien lansia (orang tua) yang mengalami masalah
dengan ESRD atau end-stage renal disease membutuhkan bantuan keluarga atau
pengasuh swasta dalam penelitian ini. Pasien pada kelompok ini secara signifikan
dijelaskan pasien-pasien yang lebih tua dan lebih banyak memiliki resiko terkait
penyakit ESRD. Proses perawatan tentang resep antibiotik dan rawat inap harus
sesuai, program pelatihan untuk pasien juga komprehensif untuk pasien dan
anggota keluarga agar pasien memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Dan
dijelaskan dalam jurnal bahwa peritonitis tidak signifikan ditemukan pada golongan
umur lansia.

BAB II PERITONITIS IBU HAMIL


JUDUL : Meconium peritonitis in utero
TOPIK : Insiden terjadinya meconuim peritonitis pada ibu hamil
PENGARANG : Shinkichi Kamata. Keisuke Nose. Shiroh Ishikawa. Noriaki Usui.
Toshio Sawai. Yasuhiro
Kitayama. Hirohmi Okuyama. Kenji Imura. Akira Okada
LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini, peningkatan angka kejadian fetus dengan meconium peritonis (MP)
pada ibu hamil didiagnosa dengan menggunakan ultrasonografi (US). Sementara itu
diagnose yang terbaru, bahwa mortalitas lebih besar dari laporan sebelumnya.
Meskipun banyak penelitian (1,2,4,5,7,10, 12) memiliki indikasi ditemukannya
tampilan sonografi termasuk dilatasi usus, asites, polihidramnion, janin, kalsifikasi
intra abdominal dan kista meconuim, hubungan antara fitur sonografi di uterus dan
prognosis postnatal tidak terklarifikasi. Kami menguji signifikansi klinis temuan US
dalam hasil pasien dengan MP.

HASIL PENELITIAN
Dalam jangka waktu 17 tahun, telah dilakukan penelitian pada 20 fetus dengan MP
ini oleh US sebanyak 11 laki-laki dan 9 perempuan. Awalnya pada usia kehamilan 20
sampai 39 minggu dan rata-rata tindak lanjutnya antara usia kehamilan 37 sampai
46 minggu. Duabelas dari pasien tersebut melahirakan secara normal dan 8 dengan

12
SC. Artinya kehamilan usia 26 sampai 36 minggu dan kelahiran dengan berat 524
sampai 2746 gram. Semua neonatus telah dikaitkan dengan obstruksi usus.
Menurut temuan akhir US di dalam uterus, tipe 1 (masiv MP) telah dicatat ada pada
5 pasien., tipe 2 (giant pseudocyst) ada pada 11 pasien. Kalsifikasi abdominal telah
diidentifikasi hanya 5 kasus (ada 2 tipe I, ada 1 tipe II, ada 2 tipe III) dan
oligohydramnion pada satu kasus yaitu tipe I. Janin ini telah ditulis ada 3 yang
bertipe II dari 11 kasus. Tujuh janin yang terkait polyhidroamnion (ada 1 bertipe I, 1
bertipe II, 2 bertipe III) dan fetal hydrops (ada 3 bertipe II) yang mencapai usia
kehamilan 36 minggu.
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada kelahiran yang dibutuhkan di 9 kasus
(ada 5 bertipe I dan ada 4 bertipe II), menjalani drainase abdominal sebelum
pengiriman dan / atau segera setelah lahir. Meskipun dilatasi usus ini telah
diidentifikasi pada 10 fetus. (2 tipe II, 8 tipe III), 18 yang mempunyai atresia
intestinal dan 2 yang mengalami obstruksi fetal di bagian distal dari usus ileum
(meconuim- yang berhubungan dengan penyakit). Empat bayi (ada 2 bertipe I, ada
1 bertipe II, ada I bertipe III) meninggal karena kegagalan fungsi respiratori dan
komplikasi-komplikasi pasca operasi. Pasca operasi mengikuti antara 6 bulan
sampai 13 tahun diungkapkan semuanya tetapi satu survivor melakukannya dengan
baik; 1 bayi berkembangknya atresia bilier setelah rawat inap awal dan meninggal.

METODE

Antara tahun 1983 dan 1998, janin yang dievaluasi dengan MP di Osaka University
Hospital dan Rumah sakit dilakukan analisis secara retrospektif. MP didefinisikan
sebagai adanya perlubangan di usus selama hidup fetal tersebut. Diagnose US dari
MP ini dibuat oleh kalsifikasi peritoneum, meconuim pseudocyst dan meconium
ascites (MA), dimana dikonfirmasi pada postnatal oleh menemuan operatif dan
pemeriksaan X-ray di daerah abdomen. Pasien-pasien tersebut diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok menurut temuan akhir US pada abdomen.

DISKUSI
Penelitian ini dilakukan dibawah perbedaan kondisi dari yang sebelumnya dibahas
dalam Bahasa Inggris. Tisak ada pasien yang menderita cycstic fibrosis karena
faktor karakteristik herediter dari Jepang. Tambahannya, hanya 25% pasien dengan
kalsifikasi abdominal di uterus. Meskupin beberapa kasus telah dilaporkan untuk

13
dapat didiagnosis tanpa kalsifikasi. Hamper dari semua itu menunjukkan kalsifikasi
peritoneal di banyak seri. Dirkes dan anggota lain melaporkan bahwa hanya 22%
janin dengan MP ini didefinisikan sebagai kalsifikasi abdominal yang berkembang
sampai komplikasi yang membutuhkan pembedahan postnatal. Dilatasi intestinal
mungkin yang mengindikasikan pembedahan postnatal kecuali pasien pada tipe I.
Dari yang kami temukan, kami mengungkapkan bahwa pasien pada tipe I dan II ini
memiliki resiko lebih tinggi dari pasien dengan tipe III.

KESIMPULAN
Angka kejadian ibu hamil dengan meconuim peritonitis akan semakin tinggi.
Meskipun banyak penelitian (1,2,4,5,7,10, 12) memiliki indikasi ditemukannya
tampilan sonografi termasuk dilatasi usus, asites, polihidramnion, janin, kalsifikasi
intra abdominal dan kista meconuim, hubungan antara fitur sonografi di uterus dan
prognosis postnatal tidak terklarifikasi. Meskupin beberapa kasus telah dilaporkan
untuk dapat didiagnosis tanpa kalsifikasi. Hampir dari semua itu menunjukkan
kalsifikasi peritoneal di banyak seri. Dirkes dan anggota lain melaporkan bahwa
hanya 22% janin dengan MP ini didefinisikan sebagai kalsifikasi abdominal yang
berkembang sampai komplikasi yang membutuhkan pembedahan postnatal.
Menurut temuan akhir US di dalam uterus, tipe 1 (masiv MP) telah dicatat ada pada
5 pasien., tipe 2 (giant pseudocyst) ada pada 11 pasien. Kalsifikasi abdominal telah
diidentifikasi hanya 5 kasus (ada 2 tipe I, ada 1 tipe II, ada 2 tipe III) dan
oligohydramnion pada satu kasus yaitu tipe I. Janin ini telah ditulis ada 3 yang
bertipe II dari 11 kasus. Tujuh janin yang terkait polyhidroamnion (ada 1 bertipe I, 1
bertipe II, 2 bertipe III) dan fetal hydrops (ada 3 bertipe II) yang mencapai usia
kehamilan 36 minggu

14
BAB III PERITONITIS ANAK
JUDUL : Role Of Damage Control Enterostomy In Management Of
Children With
Peritonitis From Acute Intestinal Disease
TOPIK : Peritonitis Pada Anak-Anak Yang Dilakukan Tindakan
Enterostomi Sebagai
Pengendalian Kerusakan
PENGARANG : Emmanuel A. Ameh, Michael A. Ayeni, Stephen A. Kache, Philip
M. Mshelbwala
LATAR BELAKANG
Anastomosis usus pada anak yang sakit peritonitis (radang selaput perut) parah
karena perforasi usus, gangren usus atau anastomotic dehiscence (akut usus)
sangat berbahaya bahkan mematikan. Enterostomi sebagai pengontrol dan
pengukur sakit biasa menjadi alternatif untuk meminimalisir sakit dan kematian.
Namun, penggunaan enterostomi ini juga menghasilkan kontroversi terutama pada
penggunaan ke anak-anak, karena sumber informasi untuk mengelola enterostomi
yang masih minimal. Berikut Laporan yang menjelaskan peran enterostomi sebagai
pengontrol sakit pada pengobatan pasien.

HASIL PENELITIAN
Ada 34 (65,4%) anaklaki-laki dan 18 (34,6%) perempuan denganrentanusia3 hari-13
tahun (rata-rata 9 bulan), yang terdiri atas 27 (51,9%) neonatus dan bayi dan 25

15
(48,1%) anak yang lebih tua. Indikasi utama untuk enterostomi pada neonatus
dan bayi adalah kelemahan usus 25 (92,6%) dan ileitis berlubang akibatpenyakit
tifus22 (88%) pada anak-anak yang lebih tua. Enterostomi dilakukan sebagai
operasi awal pada 33 (63,5%) pasien dan sebagai bentuk penyelamatan setelah
melakukan dehiscence anastomosis pada19 (36,5%) pasien. Kesulitan
enterostomi terjadi pada 19 (36,5%) pasien, termasuk 11 (21,2%) pasien dengan
penyakit kulit dan delapan (15,4%) dengan hipokalemia. Ada empat (7,7%) anak
yang meninggal (usia 19 hari, 3 bulan, 31/2 tahun dan 10 tahun, masing-masing)
yang berhubungan langsung dengan enterostomi, dari hipokalemia pada 4, 12, 20
dan 28 hari setelah operasi. Dua puluh pasien lain meninggal tak lama setelah
operasi penyakit utama. Dua puluh dari 28 pasien yang masih bertahan,
enterostominya tertutup tanpa komplikasi, sementara delapan yang lain menunggu
menutupnya enterostomi.

METODE
Pada periode Januari 2000-November 2012 kami melakukan tinjauan retrospektif
pada 52 anak dengan penyakit usus akut yang memiliki enterostomi sebagai ukuran
dari control penelitian yang dirawat di Ahmadu Bello University Teaching Hospital,
Zaria,Nigeria. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil hasil dari catatan
kasus pasien. Dapat dilakukan tindakan enterostomy jika anak mengalami sakit
parah dan dari temuan intraoperative terdapat kontaminasi peritoneal yang luas
dengan kotoran atau nanah, adanya edema usus setelah reseksi makroskopik, dan
adanya kebocoran. Setelah dilakukannya enterostomi selanjutnya dilakukan
pengontrolan agar tindakan enterostomi tidak berefek pada kesakitan pasien dan
kematian.
Berikut ini adalah manajemen pasca operasi enterostomi untuk meminimalkan
morbiditas dan mortalitas :
- Pemantauan cairan dan elektrolit.
Dimana selain pemeliharaan cairan, limbah cairan ostomy diganti dengan cairan
intravena yang sesuai sambil menunggu kembali pembentukan fungsi usus.
- Aplikasi alat stoma proksimal mulai berfungsi dengan pemantauan buangan
limbah stoma , aplikasi krim penghalang (zinc oxide atau petroleum jelly) pada
kulit peri-stoma, administrasi antibiotic intravena dan nutrisi enteral pasca
operasi yang tepat.

16
DISKUSI
Ketika terdapat gangren usus dan perforasi terjadi pada anak-anak maka keputusan
klinis yang dilakukan adalah dengan melakukan anastomosis. Namun beberapa ahli
bedah mengalami kesulitan ketika melakukan anastomosis dengan peritonitis yang
terjadi pada anak-anak. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan tindakan enterostomi
ahli bedah melakukan beberapa teknik yang dirancang guna meningkatkan
keselamatan tanpa ada bahaya kebocoran yang terjadi. Adapun factor-faktor yang
mempengaruhi tingkat penyembuhan dan keberhasilan dari usus yang dilakukan
anastomosis yaitu :
- Pasien dalam kondisi baik tanpa ada penyakit sistemik
- Tidak ada kontaminasi feses baik dalam usus atau dalam rongga peritoneum
di sekitarnya
- Mempunyai jaringan vaskuler yang baik
- Tidak ada ketegangan saat dilakukan anastomosis
- Melakukan dengan teknik steril

Indikasi dilakukan anastomosis ini jika pasien anak-anak mengalami sakit yang
parah akibat dari gangren usus (29%), malrotasi dengan gangren usus terkait
volvulus (19%) dan pada tingkat yang lebih rendah dimana ada atresia ileum dan
necrotising enterocolitis. Tindakan enterostomi yang dilakukan pada anak-anak ini
juga harus memperhatikan kecukupan darah yang ada di dalam usus dimana
digunakan untuk proses penyembuhan anastomosis yang dilakukan. Kecukupan
suplai darah ke usus juga tergantung pada status hemodinamik pasien. Pada tingkat
ini harus dipertimbangkan karena mempengaruhi proses penyembuhan pada pasien
dan tingkat keberhasilan yang dilakukan pada tindakan enterostomy. Dalam
penelitian yang dilakukan juga telah mencatat penurunan dramatis kematian jika
mempertimbangkan kecukupan darah dari angka kematian 82,5% menjadi 33,8%
dan kemudian menjadi 20% pada enterostomy dengan peritonitis.
Anastomosis usus mungkin tidak aman bagi anak-anak dengan peritonitis dari
perforasi usus, gangren usus atau dehiscence anastomosis. Namun untuk
pengendalian kerusakan maka diberikan pilihan tindakan bedah enterostomi
meliputi :
a) Exteriorisasi dari ujung usus ( Stoma proximal terakhir dan distal lender
fistula) setelah resecting pada segmen yang sakit. Ini pilihan di sebagian
besarpasien dalam laporan ini.

17
b) Exteriorisasi pada tempat perforasi ( Setelah eksisi pada tepi perforasi pada
usus yang sehat) sebagai loop enterostomi. Pilihan ini paing cocok dalam
situasi dimana usus yang berdekatan dengan perforasi adalah tidak sigifikan.
c) Anastomotik Enterostomi ini melibatkan exteriorisasi dinding anterior dari
sebagian dehisced anastomosis hingga saat 50% sampai keliling dinding utuh
( setelah tepi eksisi). Ketika reseksi usus telah dilakukan, dinding posterior di
anastomosis dan dinding anterior sebagai loop stoma. Metode ini dianggap
memfasilitasi penutupan enterostomi berikutnya dengan pendekatan
ekstraperitonial. Namun dalam peneltian ini tidak satu pun pasien anak-anak
tidak menggunakan teknik ini.

Ada beberapa tantangan setelah enterostomi yang harus ditangan untuk


menghindari komplikais yang serius dan kematian :
1. Cairan dan elektrolit.
Hal ini penting terutama di stoma usus kecil yang terletak tinggi di ileum atau
jejunum. Karena output buangan yang tinggi, banyak cairan dan elektrolit
bisa hilang dan perlu pengganti intravena yang teliti sampai usus
mulaiberadaptasi dan mengurangioutput stoma. Dan menghindarkan dari
terjadinya hipolakemia.
2. Nutrisi
Meskipun nutrisi parenteral sangat berguna namun tidak ada aturan dalam
pasien dengan tindakan enterostomi. Disini dapat mengandalkan sebagian
besar pada awal makanan enteral dimana segera sebagai pengembalian
fungsi usus. Menggunakan diet enteral kaya protein. Ketika output tinggi,
mengumpulkan buangan stoma proksimal (tanpa sterilisasi) dan kembali
menanamkan stoma distal (lender fistula) yang berguna dalam beberapa
pasien.
3. Perawatan kulit peri-stoma
Dalam stoma usus kecil, infeksi mudah terjadi. Maka sangat penting bahwa
perawatan kulit peri-stoma dimulai segera setelah operasi untuk menghindari
kompikasi. Cara perawatannya pun menggunakan krim seng oksida dan jelly
petroleum yang efektif. Digunakan sekitar 4-4 minggu setelah tindakan. Efek
samping yang muncul mungkin kemerahan karena kulit akan beradaptasi
terlebih dahulu namun tetap harus tetap dipertahankan sampai waktu
penutupan stoma.

18
Tingkat komplikasi secara keseluruhan dalam laporan ini adalah tinggi dengan 85%.
Laporan sebelumnya telah mencatat komplikasi 20,8 68% enterostomi. Laporan
tingkat komplikasi ini mungkin karena fakta bahwa enterostomi dibuat dengan
menggunakan usus yang mempunyai viabilitas yang lemah, pada pasien yang
status gizi masih kurang dan sepsis yang saat itu sedang berlangsung. Namun 55%
dari komplikasi tersebut berkaitan dengan penyakit primer dan 45% secara
langsung berhubungan dengan prosedur enterostomi. Tak hanya komplikasi namun
bahaya kematian juga ada pada pasien yang telah dilakukan tindakan ini. Adapun
factor yang mempengaruhi kematian pada anak-anak meliputi sepsis peritonitis,
Kegagalan pada multi organ, Kondisi penyakit primer berhubungan dengan prosedur
enterostomi dari hypokalemia. Laporan dan pengalaman menunjukkan bagaimana
mengendalikan komplikasi enterostomi yang aman dan dapat meningkatkan hasil
pada anak-anak dengan peritonitis dari penyakit usus akut serta menurunkan
tingkat morbiditas dan mortalitas

KESIMPULAN
Kontrol enterostomi yang rusak berguna dalam menangani anak yang sakit parah
dengan perforasi usus atau gangren. Berhati-hati dan teliti untuk keseimbangan
cairan dan elektrolit, dan perawatan stoma, terutama di beberapa hari pertama
setelah operasi, sangat penting dalam mencegah morbiditas dan mortalitas.

19

Anda mungkin juga menyukai