Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Katarak senilis merupakan salah satu penyebab utama gangguan


penglihatan dan kebutaan di dunia. Menurut studi terbaru di Cina, Kanada,
Jepang, Denmark, Argentina, dan India, katarak merupakan penyebab nomor satu
gangguan penglihatan dan kebutaan, dengan presentase 33,3% (Denmark) sampai
82,6% (India). Selanjutnya, sebanyak 20,5 juta (17,2%) penduduk Amerika lebih
dari 40 tahun menderita katarak.
Katarak senilis adalah penyakit gangguan penglihatan yang berkaitan
dengan umur, dengan karakteristik penebalan lensa yang gradual dan progresif.
Katarak senil diobservasi pada usia di atas 50 tahun. Penyebab katarak senilis
sangat kompleks dan belum diketahui secara pasti.
Lensa mata terdiri dari kapsul sebagai bagian terluar, diikuti korteks, dan
nukleus pada bagian tengah lensa. Katarak dapat terjadi pada bagian lensa
manapun, yang gejalanya dapat menjadi petunjuk dalam menentukan lokasi lensa
dengan katarak. Katarak senilis terbagi menjadi tiga jenis, yaitu katarak nuklear,
katarak kortikal, dan katarak subkapsular posterior.
Berdasarkan perjalanan penyakit, katarak senilis terbagi dalam empat
stadium, yaitu yaitu stadium insipien, imatur, matur, dan hipermatur. Masing-
masing stadium memiliki ciri dan penyulit yang berbeda. Katarak hipermatur
dengan korteks yang telah mencair akan membentuk kantong susu yang disebut
katarak Morgagni.
Katarak senilis menimbulkan gejala klinis berupa berkurangnya tajam
penglihatan, silau, miopi, sampai dengna diplopia. Pengobatan definitif katarak
adalah dengan operasi katarak yang ditentukan sesuai dengan tajam penglihatan
(visus) dan penyulit. Teknik operasi katarak adalah dengan extracapsular cataract
extraction (ECCE) dan phacoemulsification, sedangkan operasi katarak dengan
metode intercapsular cataract extraction (ICCE) sudah tidak dilakukan lagi.

1
Prognosis katarak setelah operasi sangat bergantung dari penyakit mata
yang menyertai katarak, seperti degenerasi makular dan atrofi nervus optikus.
Selanjutnya, keadaan diabetes mellitus dan retinopati diabetik sangat berpengaruh
terhadap prognosis pascaoperasi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Lensa


1.1 Anatomi Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tidak berwarna


dan transparan. Jaringan ini berasal dari ectoderm permukaan pada
lensplate. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Di belakang iris
lensa digantung oleh zonula (zonula Zinnii) yang menghubungkan dengan
korpus siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humour aquos dan vitreus
di sebelah posterior. Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel
yang dapat dilewati air dan elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis
epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai
dengan bertambahnya usia,serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi,
sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang elastik. Lensa terdiri dari
enam puluh lima persen air, 35% protein, dansedikit sekali mineral yang
biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di
lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation
terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri,
pembuluh darah atau pun saraf di lensa.1,2

Gambar 1: Fisiologi lensa, serat zonula, dan korpus siliar3

3
Gambar 2. Struktur lensa3

1.2 Fisiologi Lensa

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina.


Secara fisiologi, lensa mempunyai sifat tertentu yaitu lensa kenyal atau
lentur karena berperan dalam akomodasi untuk mencembung, dan bersifat
jernih atau transparan yang diperlukan sebagai media refraksi. Untuk
memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi,
menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior
lensa sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil
sehingga berkas cahaya paralel akan terfokus ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga
tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian

4
mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya
biasnya. Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris, zonula, dan
lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai
akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa
perlahan-lahan berkurang. Selain itu juga terdapat fungsi refraksi, yang
mana sebagai bagian optik bola mata untuk memfokuskan sinar ke bintik
kuning, lensa menyumbang +18.0 Dioptri.4

2. Definisi dan Epidemiologi Katarak

Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrhakies, Inggris cataract dan


Latin cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular,
dimana penglihatan seperti tertutup air tejun akibat lensa yang keruh. Katarak
adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-
duanya.4
Berdasarkan usia katarak dapat diklasifikasikan menjadi katarak
kongenital (katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun), katarak
juvenil (katarak yang terjadi setelah usia 1 tahun), dan katarak senilis (katarak
setelah usia 50 tahun).4
Berdasarkan data WHO, katarak merupakan penyebab utama
kebutaan dan gangguan penglihatan di dunia. Pada tahun 2002, WHO
memperkirakan katarak menjadi penyebab 17 juta (47,8%) kebutaan dari 37
juta kebutaan di seluruh dunia, dan ini diperkirakan akan meningkat menjadi
40 juta pada 2020. Katarak diderita oleh 20,5 juta penduduk Amerika yang
berusia 40 tahun ke atas, atau 1 di antara 6 orang menderita penyakit ini.
Diperkirakan 2,5 juta operasi katarak dilakukan di Amerika Serikat pada 2004
atau lebih besar dari 8000 operasi katarak per satu juta penduduk. Sedangkan
di negara berkembang, hanya 50 operasi per satu juta penduduk.3
Di Indonesia pada tahun 1991 didapatkan prevalensi kebutaan 1,2%
dengan kebutaan karena katarak sebesar 0,67%. Pada tahun 1996 angka

5
kebutaan meningkat 1,47%. Tahun 2005 dilaporkan bahwa daerah pedesaan di
Indonesia memiliki prevalensi katarak tertinggi di daerah Asia tenggara.

3. Etiologi Katarak
Banyak mekanisme yang diduga penyebab katarak, termasuk cairan
dan ketidakseimbangan ion, kerusakan oksidatif, modifikasi protein, dan
gangguan metabolisme. Pada lensa katarak secara karakteristik terdapat
agregat-agregat protein yang menghamburkan berkas cahaya dan mengurangi
transparasinya. Perubahan protein lainnya akan mengakibatkan perubahan
warna lensa menjadi kuning atau coklat. Temuan tambahan mungkin berupa
vesikel diantara serat-serat lensa atau migrasi sel epitel dan pembesaran sel-sel
epitel yang menyimpan. Sejumlah faktor yang diduga turut berperan dalam
terbentuknya katarak, antara lain kerusakan oksidatif (dari proses radikal
bebas), sinar ultraviolet, dan mal nutrisi. Hingga kini belum ditemukan
pengobatan yang dapat memperlambat atau membalikan perubahan-perubahn
kimiawi yang mendasari pembentukan katarak. 1,3,5,7

Beberapa faktor resiko terjadinya katarak senilis adalah herediter,


paparan ultraviolet, faktor diet, dan merokok. Perubahan lensa pada usia
lanjut: 4
a. Kapsul
- Menebal dan kurang elastis (1/4 dibanding anak)
- Mulai presbiopia
- Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur
- Terlihat bahan granular
b. Epitel, yang makin tipis.
- Sel epitel (germinatif) pada ekuator bertambah besar dan berat
- Bengkak dan fakuolisasi mitokondria yang nyata

c. Serat lensa
- Lebih iregular
- Pada korteks jelas kerusakan serat sel
- Brown sclerotic nucleus, sinar ultraviolet lama kelamaan merubah
protein nukleus (histidin, triptofan, metionin, sistein dan tirosin) lensa,

6
sedang warna coklat protein lensa nukleus mengandung histidin dan
triptofan dibanding normal.
- Korteks tidak berwarna karena:
- Kadar asam askorbat tinggi dan menghalangi fotooksidasi.
- Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat muda.
Kekeruhan lensa dengan nukleus yang mengeras akibat usia lanjut
biasanya mulai terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Pada katarak senilis
sebaiknya disingkirkan penyakit mata local dan penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus yang dapat menimbulkan katarak komplikata. Katarak senile
secara klinik dikenal dalam 5 stadium yaitu insipient, imatur, intumesen,
matur, hipermatur atau morgagni.

1. Katarak Insipient. Pada stadium ini akan terlihat hal-hal berikut:


Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju korteks
anterior dan posterior (katarak kortikal); Vakuol mulai terlihat
didalam korteks; Katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai
terlihat anterior subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat
lensa dan korteks berisi jaringan degenerative (benda Morgagni)
pada katarak insipient. Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia
oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian
lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.6
2. Katarak Intumesen. Kekeruhan lensa diserati pembengkakan
lensa akibat lensa degenerative menyerap air. Masuknya air
kedalam celah lensa mengakibatkan lensa menjadi bengkak dan
besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi
dangkal dibanding dengan keadaan normal. Pencembungan lensa
ini akan dapat memberikan penyulit glaucoma. Katarak intumesen
biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan
mengakibatkan mipoia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi
hidrasi korteks hingga lensa akan mencembung dan daya biasnya
akan bertambah, yang memberikan miopisasi. Pada pemeriksaan
slitlamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak lamel
serat lensa.

7
3. Katarak Matur, adalah bentuk katarak yang seluruh proteinnya
telah mengalami kekeruhan; kekeruhan telah mengenai seluruh
masa lensa, bisa terjadi akibat deposisi ion ca yang menyeluruh.
4. Katarak Imatur memiliki sebagian protein transparan. Katarak
yang belum mengenai lapis lensa, akan dapat bertambahnya
volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotic bahan lensa
yang degeneratif.
5. Katarak Hipermatur, mengalami proses degenerasi lanjut,
protein-protein di bagian korteks lensa telah mencair. Cairan ini
bisa keluar dari kapsul yang utuh, meninggalkan lensa yang
mengkerut dengan kapsul keriput. Katarak hipermatur yang
lensanya mengembang dengan bebas di dalam kantungnya disebut
sebagai katarak morgagni.6

4. Klasifikasi Katarak Senilis

Katarak terkait usia atau katarak senilis adalah proses kondensasi


normal dalam nukleus lensa menyebabkan terjadinya sklerosis nuclear setelah
usia pertengahan. Gejala yang paling dini mungkin berupa membaiknya
penglihatan dekat tanpa kacamata (penglihatan kedua). Ini merupakan akibat
meningkatnya kekuatan fokus lensa bagian sentral, menyebabkan refraksi
bergeser ke miopia (penglihatan dekat). Gejala-gejala lain dapat berupa
diskriminasi warna yang buruk atau diplopia monokular. Sebagian besar
katarak nuclear adalah bilateral, tetapi bisa asimetrik.

a. Katarak Nuklear

Pada derajat tertentu sklerosis nuklear dan penguningan lensa


normal terjadi pada pasien paruh baya. Secara umum kondisi ini tidak
terlalu mengganggu fungsi visual. Penghamburan cahaya dalam jumlah
besar dan penguningan lensa disebut dengan katarak nuklear yang
mengakibatkan kekeruhan pada bagian sentral lensa.3

8
Katarak nuklear biasanya menyebabkan gangguan lebih besar
dalam melihat jauh dibanding dalam melihat dekat. Pada tahap awal,
terjadi pengerasan progresif pada nukleus lensa yang biasanya
menyebabkan peningkatan pada index refraksi lensa dan akan terjadi
myopic shift pada refraksi (lentikular miopia). Pada mata hiperopi, myopic
shift memungkinkan pasien presbiopi dapat membaca tnpa kaca mata,
kondisi ini disebut second sight. Adakalanya perubahan tiba tiba pada
index refraksi antara nukleus yang sklerosis dan korteks lensa
mengakibatkann diplopia monokular. Fungsi photopic retina berkurang
denga semakin lanjutnya katarak nuklear. Pada kasus lanjut, nukleus lensa
menjasi keruh dan coklat, keadaan ini disebut katarak nuklear
brunescent.3

Secara histopatologi, nukleus pada katarak nukleus sulit dibedakan


dari nukleus lensa normal yang sudah mengalami penuaan. Pemeriksaan
dengan mikroskop elektron menunjukkan peningkatan jumlah lengkungan
membran lamelar. Bagaimana agregagi protein dan modifikasi membran
meningkatkan penghamburan cahaya masih belum dipahami sepenuhnya.3

9
Gambar 3. Katarak Nuklear

b. Katarak Kortikal

Katarak kortikal berhubungan dengan gangguan struktur serat-serat


sel matur lensa. Ketika integritas membran lemah, metabolit metabolit
penting lepas dari dalam sel. Kehilangan ini mengakibatkan oksidasi
protein dan presipitasi. Gejala umum katarak kortikal adalah silau saat
melihat sumber cahaya seperti lampu mobil. Diplopia monokular dapat
terjadi. katarak kortikal dapat menetap dalam jangka waktu lama namun
dapat juga mengalami progresifitas dalam waktu cepat.3

Tanda pertama pada pembentukan katarak kortikal dapat dilihat


dengan slit lamp berupa vakuola dan pecahan pecahan air pada korteks
anterior atau posterior. Lamella kortikal dapat dipidahkan oleh air.
Kekeruhan berbentuk duri yang sering disebut Cortical spokes atau
cuneiform opacities terbentuk didekat bagian perifer lensa dengan ujung
kekeruhan mengarah ke bagian sentral. Pada tahap awal, serat yang
terlibat tetap bening pada ujung bagian anterior dan posteriornya. Duri
kortikal tampak seperti kekeruhan berwarna putih pada pemeriksaan
slitlamp dan tampak seperti bayangan hitam pada pemeriksaaan
retroillumination. Disebut katarak matur jika keseluruhan korteks dari
kapsul hingga nukleus menjadi pitih dan keruh. Pada katarak matur, lensa
menyerap air membengkak dan menjadi katarak kortikal intumesent.3

Katarak hipermatur terjadi ketika materi kortikal yang mengalami


degenerasi bocor melewati kapsul lensa yang mengakibatkan kapsul
menjadi keriput dan mengecil. Katarak margognian terjadi ketika nukleus
dapat bergerak babas didalam kapsul akibat pencairan korteks yang lebih
lanjut. Secara histopatologi, katarak kortikal ditandai dengan
pembengkakan lokal dan gangguan sel serabut lensa. Gumpalan material
eosinofilik (morgagnian globules) dapat diamati pada ruang diantara
serabut lensa.3

10
Gambar 4: Katarak kortikal

c. Katarak Subkapsular Posterior atau Kupuliformis

Katarak tipe ini sering terdapat pada pasien yang lebih muda dari
pasien yang mengamali katarak nuklear ataupun kortikal. Katarak
posterior subkapsular berlokasi pada lapisan kortikal posterior dan dalam
posisi axial. Tanda pertama katarak posterior subkapsular adalah
terbentuknya kilau warna warni pada lapisan kortikal posterior yang
tampak dari pemeriksaan slit lamp. Pada tahap selanjutnya kekeruhan
granular dan plak muncul pada korteks subkapsular posterior. Pasien
sering mengeluhkan silau dan kesulitan melihat pada cahaya terang,
karena katarak posterior subkapsular menutupi lebih banyak celah pupil
ketika pupil diinduksi untuk miosis akibat cahaya terang, akomodasi, atau
obat obatan miotik. Ketajaman penglihatan untuk jarak dekat berkurang
dibandingkan tajam penglihatan jarak jauh. Beberapa pasien juga
mengeluhkan monokular diplopia.3

Secara histopatologi, katarak posterior subkapsulardihubungkan


dengan migrasi posterior sel epitelial lensa dari equator lensa ke axis
permukaan dalam kapsul posterior lensa. Selama migrasi ke axis posterior,

11
sel sel mengalami pembengkakan yang dikenal dengan Wedl atau bladder
sel.3

Gambar 5. Katarak subkortikal posterior

5. Diagnosis

Diagnosis katarak dapat ditegakkan mulai dari gejala dan tanda klinis,
serta pemeriksaan sebagai berikut.3

a. Penurunan Ketajaman Penglihatan

Pasien mengeluhkan adanya keterbatasan aktivitas akibat


penurunan ketajaman penglihatan, namun beberapa pasien justru baru
menyadari keparahan penurunan ketajaman visusnya pada saat diperiksa.

Jenis katarak yang berbeda akan menyebabkan efek yang berbeda


pada ketajaman penglihatan, tergantung pada cahaya, ukuran pupil, dan
derajat miopia. Adanya katarak subkapsular posterior yang kecil sekalipun,
dapat sangat mengganggu kemampuan membaca meskipun penglihatan
jauh relatif tidak terlalu terganggu. Sebaliknya, oil droplet cataract
justru menyebabkan gangguan penglihatan jauh, sedangkan kemampuan
membaca masih terjaga.

12
Setelah didapatkan riwayat penyakit yang lengkap dari anamnesis
pasien, baru dilakukan pemeriksaan visus yang lengkap.

b. Keluhan mata silau

Pasien katarak sering mengeluhkan sensitivitas terhadap cahaya


yang silau, dengan keparahan yang berbeda-beda. Peningkatan sensitivitas
ini mencolok pada katarak subkapsular posterior, atau kadang-kadang pada
korteks anterior.

c. Sensitivitas kontras yang menurun

Sensitivitas kontras adalah kemampuan untuk mendeteksi variasi


dari bayangan. Sensitivitas ini dites dengan kartu yang berdesain khusus,
yang menampilkan bermacam-macam kontras. Penurunan sensitivitas
kontras yang signifikan dapat terjadi tanpa penurunan ketajaman
penglihatan yang signifikan pula dari Snellen chart. Bagaimanapun,
sensitivitas kontras yang abnormal bukan merupakan indikator spesifik
untuk katarak.

d. Miopia

Katarak dapat meningkatkan kekuatan dioptri lensa, biasanya


menyebabkan miopia derajat ringan atau sedang. Pasien hipermetropi dan
presbiopi akan merasakan kebutuhan kacamata jauhnya berkurang.
Fenomena ini muncul dengan adanya katarak nuklear sklerotik dan akan
menghilang ketika kualitas optik dari lensa kristalin memburuk. Terjadinya
lens induced myopia yang asimetris pada kedua mata dapat menyebabkan

13
terjadinya anisometropia yang tidak dapat ditoleransi, sehingga menjadi
pertimbangan untuk ekstraksi katarak.

e. Diplopia atau Poliopia

Kadang-kadang, perubahan nukleus lensa terlokalisir pada inner


layer, menyebabkan timbulnya beberapa area refraktil pada bagian tengah
lensa. Area tersebut terlihat sebagai ketidakteraturan pada red reflex di
retinoskopi atau oftalmoskopi direk. Katarak jenis ini akan menghasilkan
diplopia atau poliopia.

Penilaian Fungsi Visual


a. Tes ketajaman penglihatan

Penting untuk menilai ketajaman penglihatan dengan Snellen chart


dibawah kondisi cahaya yang terang dan gelap. Ketajaman penglihatan
jauh dan dekat juga harus diperiksa, dan refraksi yang baik harus
dilakukan agar didapatkan koreksi terbaik untuk ketajaman penglihatan.
Pada beberapa pasien, ketajaman penglihatan dengan pinhole lebih baik
dibandingakan dengan koreksi refraksi. Ketajaman penglihatan juga dapat
meningkat setelah dilatasi pupil, terutama pada pasien dengan katarak
posterior subkapsular.

b. Refraksi

Pemeriksaan refraksi yang baik harus dilakukan pada kedua mata.


Penilaian ini berguna untuk perencanaan besarnya kekuatan lensa
intraokular untuk memperoleh hasil refraksi post-operasi yang diinginkan.
Jika mata yang satu lagi masih memiliki lensa yang jernih dengan kelainan
refraksi yang tinggi sehingga membutuhkan koreksi kacamata, maka
kesamaan hasil refraksi pada mata yang dioperasi akan menghindari
masalah anisometropia post operasi.

14
c. Ketajaman penglihatan pada kondisi cahaya terang

Ketika pasien mengeluhkan penglihatan yang silau, penting untuk


memeriksa ketajaman penglihatan jauh dan dekat pada kondisi cahaya
yang terang seperti di lingkungan luar. Pasien dengan katarak yang
signifikan akan mengalami penurunan ketajaman penglihatan 3 baris atau
lebih pada cahaya yang terang ini, dibandingkan dengan ketajaman
penglihatannya pada keadaan gelap.

d. Sensitivitas terhadap kontras

Pasien katarak dapat mengalami penurunan sensitivitas kontras


yang jauh, meski ketajaman penglihatan berdasarkan Snellen chartnya
baik.

e. Pemeriksaan lapangan pandang

Pemeriksaan lapangan pandang harus dilakukan pada semua pasien


katarak. Pada pasien dengan katarak yang sangat menghalangi
oftalmoskopi untuk menilai retina perifer, maka pemeriksaan proyeksi
cahaya dilakukan untuk memeriksa lapangan pandang perifer. Katarak
yang progresif dapat mengakibatkan defek lapangan pandang yang difus,
namun dapat menghilang setelah operasi.

Pemeriksaan Eksternal
a. Motilitas

Dokter harus mengevaluasi motilitas otot-otot ekstraokuler pasien.


Cover test harus dilakukan untuk mendokumentasikan adanya deviasi otot.
Motilitas yang abnormal dapat mencetuskan kemungkinan adanya
strabismus dengan ambliopia yang memang sudah ada, sebagai penyebab
kehilangan visus. Pasien harus diinformasikan bahwa adanya tropia yang
signifikan akibat kegagalan fusi dapat menjadi diplopia setelah operasi.

15
b. Pupil

Evaluasi respon pupil terhadap cahaya sangat penting, untuk


mendeteksi adanya defek pupil aferen yang menunjukkan penyakit retina
ekstensif atau disfungsi nervus optikus. Meskipun pasien katarak dengan
defek pupil aferen masih bisa memperoleh visus yang lebih baik setelah
operasi katarak, namun hasil perbaikan visus bisa tetap terbatas dengan
adanya disfungsi nervus optikus.

Pemeriksaan Slit Lamp


a. Konjungtiva

Konjungtiva diperiksa untuk menemukan parut atau adanya bleb.


Adanya simblefaron atau pemendekan fornix berhubungan dengan
penyakit sistemik atau okular yang mendasari.

b. Kornea

Untuk mengevaluasi kesehatan kornea sebelum operasi katarak,


dokter harus menilai ketebalan kornea dan melihat adanya kornea guttata.
Abnormalitas dari lapisan endotel atau ketebalan kornea yang lebih dari
640 m dengan adanya udem stromal menunjukkan bahwa kejernihan
kornea setelah operasi katarak akan sulit kembali. Meskipun ini bukan
merupakan kontraindikasi operasi, masalah ini harus didiskusikan terlebih
dahulu dengan pasien. Iregularitas dari membran descemet yang
berhubungan dengan kornea guttata dapat membatasi ketajaman
penglihatan setelah operasi. Sebelum dilakukan operasi perlu diukur
kekuatan IOL yang akan dipilih.

c. Camera Oculi Anterior (COA)

COA yang dangkal mungkin mengindikasikan sudut COA yang


sempit, nanoftalmus, lensa intumesen, pendorongan diafragma lensa dan
iris oleh penyakit di segmen posterior (tumor).Pemeriksaan gonioskopi
sebelum operasi dapat menemukan abnormalitas pada sudut, termasuk

16
PAS (sinekia anterior perifer), neovaskularisasi atau sirkulus arterialis
mayor yang prominen.

d. Iris

Adanya iridodonesis atau exfoliation pada tepi pupil yang tidak


berdilatasi mengindikasikan adanya kelemahan hubungan zonula dengan
lensa.

e. Lensa Kristalin

Penampilan lensa harus diperhatikan dengan hati-hati sebelum dan


setelah dilatasi pupil. Adanya katarak nuclear oil droplet dan katarak
subkapsular posterior yang kecil berhubungan dengan gejala gangguan
pengllihatan sebelum pupil dilebarkan. Setelah pupil dilebarkan, densitas
nukleus dapat dievaluasi, sindrom eksfoliasi dapat terdeteksi, dan
kekeruhan dari refleks retinoskopik dapat dilihat dengan lebih mudah.
Dokter harus mengevaluasi kejernihan media pada aksis visual untuk
menilai kontribusi lensa pada defisit visus. Dengan pemeriksaan slit lamp
menggunakan cobalt blue, jika kapsul posterior tidak lagi bercahaya maka,
kontribusi dari kekeruhan lensa pada ketajaman penglihatan biasanya lebih
dari 20/50.

Pemeriksaan funduskopi dengan media opaq


Jika kekeruhan katarak menghalangi visualisasi dari segmen posterior,
maka dibutuhkan instrumen selain oftalmoskop direct dan indirect untuk
mengevaluasi retina. Dengan menggunakan ultrasonografi B-scan dapat
terlihat ablasio retina, kekeruhan vitreus dan kelainan lainnya.
Penilaian Preoperatif
a. Biometri

Pengukuran dari panjang aksial mata menggunakan USG A-scan


dibutuhkan untuk menghitung kekuatan IOL yang dibutuhkan. Sebagai
tambahan kekuatan kornea harus dinilai dengan keratometri atau topografi
kornea.

17
b. Topografi Kornea

Topografi kornea memperlihatkan peta kontur kornea sehingga


dapat diketahui permukaan kornea. Topografi kornea dapat berguna pada
pasien yang mengalami astigmatisme irreguler atau keratokonus sehingga
dapat menjalani pembedahan keratorefraktif pada saat operasi katarak.

c. Pachymetri Kornea

Merupakan suatu metode untuk mengukur ketebalan kornea, dan


secara tidak langsung berguna untuk menilai fungsi endotel. Secara umum,
jika ketebalan kornea sentral lebih dari 640m dan disfungsi endotel dapat
meningkatkan resiko dekompensasi kornea post operasi.

6. Diagnosis Banding
Leukokoria
Fibroplasti retrolensa
Ablasi retina
Membrana pupil iris persistans
Oklusi pupil
Retinoblastoma

7. Penatalaksanaan

a. Terapi non-bedah
Tujuan terapi non bedah pada pasien katarak adalah untuk
memperbaiki fungsi ketajaman penglihatannya. Pasien dapat dikoreksi
ketajaman penglihatannya dengan memberikan koreksi kacamata untuk
dapat melihat jauh dan dekat. Selain itu pada katarak aksial yang kecil,
dapat dilakukan dilatasi pupil baik dengan farmakologi (tropicamide 1%
[Mydriacyl] dengan atau tanpa phenylephrine 2,5% [Mydfrin]) ataupun
dengan teknik pupiloplasty laser untuk meningkatkan intensitas cahaya
yang masuk ke bagian perifer lensa sehingga dapat meningkatkan fungsi
penglihatan. Sementara pengobatan farmakologis untuk mengurangi atau

18
menghambat pembentukan katarak pada manusia belum ada ditemukan
dan masih dalam penelitian.
Beberapa pasien dengan fungsi penglihatan yang terbatas akibat
katarak dapat dibantu dengan pemberian alat bantu optik jika terapi
bedah tidak mungkin dilakukan. Handheld monocular 2,5x, 2,8x, dan 4x
membantu melihat objek dari kejauhan, sedangkan kacamata high-add,
kaca pembesar, closed circuit televisions, dan telescopic loupes mungkin
dapat digunakan untuk membaca dan pekerjaan dekat.

b. Terapi bedah
Terapi bedah pada pasien katarak ditentukan oleh tajam
penglihatan dan penyulit. Jika penurunan tajam penglihatan pasien telah
menurun hingga mengganggu kegiatan sehari-hari, makaoperasi katarak
bisa dilakukan. Pada beberapa keadaan seperti katarak
hipermatur, glaukoma sekunder, uveitis sekunder,
dislokasi/subluksasio lensa, benda asing intra-lentikuler, retinopati
diabetika, dan ablasio retina, katarak perlu dioperasi segera.
Indikasi operasi katarak pada pasien dengan katarak monokular
antara lain gangguan stereopsis, berkurangnya penglihatan perifer, silau,
atau aniosometropia simtomatik. Indikasi medis untuk operasi katarak
antara lain glaukoma fakolitik, glaukoma fakomorfik, uveitis
fakoantigenik, dan dislokasi lensa ke ruang anterior. Indikasi tambahan
operasi katarak adalah adanya katarak yang mengaburkan pemandangan
fundus dan tidak bisa ditegakkannya diagnosis atau tatalaksana untuk
penyakit mata lainnya seperti retinopati diabetik atau glaukoma.
Teknik operasi katarak antara lain:
a. ICCE (Intra Capsular Cataract Extraction)
ICCE adalah jenis operasi katarak yang pertama kali
dikerjakan oleh Samuel Sharp pada tahun 1753, tapi jarang
digunakan saat ini. Dengan metode ini, semua lensa termasuk kapsul
posterior yang menahan lensa di tempatnya juga diangkat.

19
Prosedurnya membutuhkan insisi yang besar. Setelah lensa aslinya
diangkat, maka dipasang lensa inplan di depan iris. Kerugian dari
operasi ini antara lain tingginya risiko komplikasi post operasi. Insisi
limbus yang lebih besar (160-180) berkaitan dengan risiko
penyembuhan yang lama, rehabilitasi visual yang lama, risiko
astigmatisma, inkarserasi iris, kebocoran luka pasca operasi, dan
inkarserasi vitreus serta edema kornea. Kontra indikasi absolut ICCE
antara lain pada anak-anak, dewasa muda, dan ruptur kapsul
traumatik. Kontra indikasi relatif meliputi myopia tinggi, Sindroma
Marfan, Katarak Morgagni, dan terdapatnya vitreus di kamera okuli
anterior.

b. ECCE (Extra Capsular Cataract Extraction)


ECCE adalah teknik operasi katarak dengan mengangkat
nucleus dan korteks lensa melalui pembukaan di kapsul anterior
(kapsulotomi anterior) dan tetap meninggalkan kantong kapsular di
tempatnya untuk dipasangkan Intra Ocular Lens (IOL). Operasi
katarak ini adalah merupakan teknik operasi untuk katarak
imatur/matur yang nukleus atau intinya keras sehingga tidak
memungkinkan dioperasi dengan tehnik fakoemulsifikasi. Insisi
kornea lebih kecil daripada ICCE (kira-kira 5-6mm) sehingga proses
penyembuhan lebih cepat sekitar seminggu. Teknik ini lebih sedikit
menimbulkan trauma pada endotel kornea, lebih jarang
menimbulkan astigmatisma dan insisinya lebih stabil dan aman.
Penyulit pada teknik ini berupa adanya ruptur kapsul posterior,
prolaps badan kaca, hifema, peningkatan tekanan intraokular,
endofthalmitis, katarak sekunder.

20
Gambar 6. Extracapsular cataract extraction

c. Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak dengan
menggunakan vibrator ultrasonik genggam untuk menghancurkan
nukleus yang keras hingga substansi nukleus dan korteks dapat
diaspirasi melalui suatu insisi berukuran sangat kecil. Teknik ini
ditemukan oleh Charles Kelman pada tahun 1967. Fakoemulsifikasi
menghasilkan insiden komplikasi yang lebih kecil, penyembuhan
yang lebih cepat dan rehabilitasi visus lebih cepat dibandingkan
prosedur yang membutuhkan insisi lebih besar.
Indikasi teknik fakoemulsifikasi berupa calon terbaik pasien
muda dibawah 40-50 tahun, tidak mempunyai penyakit endotel, bilik
mata dalam, pupil dapat dilebarkan hingga 7 mm. Ekstraksi lensa
dengan fakoemulsifikasi menggunakan gel, suara berfrekuensi
tinggi, dengan sayatan 3 mm pada sisi kornea. Pada teknik ini
diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3 mm) di kornea.
Getaran ultrasonik akan digunakan untuk menghancurkan katarak,
selanjutnya mesin phaco akan menyedot massa katarak yang telah

21
hancur tersebut sampai bersih. Sebuah lensa Intra Ocular (IOL) yang
dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut.

Gambar (a) Gambar (b)


Teknik fakoemulsifikasi (Keterangan: Gambar (a): Pertama, katarak
dihancurkan dengan gelombang ultrasound dari sebuah jarum berongga dan
diaspirasi. Gambar (b): Lensa intraokular disuntikkan.

8. Komplikasi
Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang dapat terjadi
karena proses fakolitik, fakotopik, fakotoksik.3
- Fakolitik
Pada lensa yang keruh terdapat kerusakan maka substansi lensa akan
keluar yang akan menumpuk di sudut kamera okuli anterior terutama
bagian kapsul lensa. Dengan keluarnya substansi lensa maka pada kamera
okuli anterior akan bertumpuk pula serbukan fagosit atau makrofag
yang berfungsi merabsorbsi substansi lensa tersebut. Tumpukan akan
menutup sudut kamera okuli anterior sehingga timbul glaukoma.
- Fakotopik
Berdasarkan posisi lensa. Oleh karena proses intumesensi, iris, terdorong
ke depan sudutkamera okuli anterior menjadi sempit sehingga aliran
humor aqueaous tidak lancar sedangkan produksi berjalan terus,
akibatnyatekanan intraokuler akan meningkat dan timbul glaukoma
- Fakotoksik

22
Substansi lensa di kamera okuli anterior merupakan zat toksik bagi mata
sendiri (auto toksik). Terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga timbul
uveitis, yang kemudian akan menjadi glaukoma.
Komplikasi utama intra operatif pada operasi katarak antara lain: COA
dangkal, ruptur kapsular, edema kornea, perdarahan / efusi suprachoroidal,
perdarahan choroidal, disrupsi dan inkarserasi vitreous ke dalam luka,
iridodialisis, Retinal light toxicity
Komplikasi pasca operasi setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah operasi antara lain: COA dangkal, blok pupil, blok siliar,
suprachoroidal hemorrhage, edema stromal dan epithelial, hipotoni, Brown-
McLean syndrome, hifema, peningkatan tekanan intraokuler, endoftalmitis
akut, Uveitis-glaucoma-hyphema (UGH) syndrome.
Komplikasi lama pasca operasi yang terlihat setelah beberapa minggu
atau bulan antara lain astigmatisma, dislokasi/ desentrasi IOL, edema kornea,
pseudophakic bullous keratopathy, uveitis kronis, endoftalmitis kronis.

9. Pencegahan
Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya katarak, yaitu:
- Melakukan pemeriksaan mata secara teratur sangat perlu untuk
mengetahui adanya katarak. Bila telah berusia 60 tahun sebaiknya mata
diperiksa setiap tahun. Tidak merokok, karena merokok mengakibatkan
meeningkatkan radikal bebas dalam tubuh, sehingga resiko katarak akan
bertambah.
- Atur makanan sehat, makan yang banyak buah dan sayur.
- Lindungi mata dari sinar matahari, karena sinar ultraviolet mengakibatkan
katarak pada mata.
10. Prognosis
Prognosis pada katarak baik. Ketajaman penglihatan dapat terkoreksi
minimal 2 baris dalam Snellen chart pasca operasi. Faktor risiko utama yang
mempengaruhi prognosis visus adalah adanya diabetes mellitus dan retinopati
diabetik.

23
BAB III
KESIMPULAN

Katarak adalah kekeruhan lensa, memiliki derajat keparahan yang sangat


bervariasi dan dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kelainan bawaan,
kecelakaan, keracunan obat, tetapi biasanya berkaitan dengan penuaan. Sebagian
besar kasus bersifat bilateral, walaupun kecepatan perkembangannya pada
masing-masing mata jarang sama. Pembentukan katarak secara kimiawi ditandai
oleh penurunan penyerapan oksigen dan mula-mula terjadi peningkatan
kandungan air diikuti oleh dehidrasi.

Lensa katarak memiliki ciri berupa edema lensa, perubahan protein, dan
kerusakan kontinuitas normal serat-serat lensa. Secara umum, edema lensa
bervariasi sesuai stadium perkembangan katarak. Katarak imatur (insipien) hanya
sedikit opak, katarak matur yang keruh total (tahap menengah lanjut) mengalami
edema. Apabila kandungan air maksimal dan kapsul lensa teregang, katarak
disebut mengalami intumesensi (membengkak). Pada katarak hipermatur (sangat
lanjut), air telah keluar dari lensa dan meninggalkan lensa yang sangat keruh,
relatif mengalami dehidrasi, dengan kapsul berkeriput.

Pada stadium intumesensi terjadi kekeruhan lensa disertai pembengkakan


lensa akibat lensa yang degeneratif menyerap air. Masuknya air ke dalam lensa
menyebabkan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris
sehingga bilik mata menjadi dangkal dibandingkan dalam keadaan normal.
Pencembungan lensa ini akan dapat memberikan penyulit glaucoma. Katarak

24
intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan menyebabkan
myopia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks hingga akan
mencembung dan daya biasnya akan bertambah yang memberikan miopisasi.
Pada pemerikasaan slitlamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak
lamel serat lensa.

Penanganan katarak dapat dilakukan dengan tindakan pembedahan


ataupun non-pembedahan. Tindakan non-bedah dilakukan untuk memperbaiki
tajam penglihatan. Berdasarkan tajam penglihatan dan komplikasi yang
ditimbulkan dapat dilakukan tindakan pembedahan berupa ICCE, ECCE, atau
fakoemulsifikasi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. 17th ed. USA : Mc
Graw-Hill; 2007.
2. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : W.B.
Saunders Company ; 2006.
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
4. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach. 7th ed. China:
Elsevier : 2011. (e-book)
5. Ocampo VVD. Cataract, Senile : Differential Diagnosis and Workup. 2009. Diakses
dari http://emedicine.medscape.com/article/1210914-overview, tanggal 28 oKTOBER
2014.
6. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment:2010. BR J
Ophthalmology. 2011.
7. Scanlon VC, Sanders T. Indra. In. : Komalasari R, Subekti NB, Hani A, editors. Buku
Ajar Anatomi dan Fisiologi. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
8. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya Medika, 2000.

26

Anda mungkin juga menyukai