Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas. Menurut American Academy of
Ophthalmology, pterigium (berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygos yang artinya
sayap) adalah proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular
dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga
akhirnya menutupi permukaan kornea. Penyakit ini sering terjadi di masyarakat
dan menimbulkan kecacatan, dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu
sendiri. Karena pada awalnya pterigium sering tidak bergejala, telah dilakukan
penelitian mengenai sejarah dan pengobatan, dan kebanyakan ahli mata
menganggap ini adalah masalah sepeleh, hingga lesi mengganggu aksis visual.1,2

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,


dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. 3 Di Amerika
Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya.
Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah diatas 40 olintang utara
sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o.4 Berdasarkan survei dari
Departemen Kesehatan RI tahun 1993-1996 menunjukkan bahwa kasus pterigium
menduduki urutan kedua terbesar dari penyakit mata yang menyebabkan
morbiditas. Di Minahasa, Pterigium merupakan penyakit mata nomor tiga sesudah
kelainan refraksi dan penyakit infeksi luar (1977).5

Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai
lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak
topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea.
Bentuknya menyerupai daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi
nasal. Gejala yang dialami pasien seperti merasakan sensasi benda asing, nyeri,
lakrimasi dan penglihatan kabur. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke
daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea

1
superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan
eksisi lesi terbukti mengurangi risiko kekambuhan.6

Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih


sering diderita oleh orang yang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan
yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan
seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, dan debu.1,2

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal


pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini akan
mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan
proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling
signifikan dalam patogenesis pterigium.1

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


sinar ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.1,2,6-8 Pterigium ini
biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk
kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan.9

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu10:

- Stadium-I : belum mencapai limbus

- Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil

- Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil

- Stadium-IV : melewati tepi pupil

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium adalah


lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena
adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marginal dan biasanya terjadi
pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.11

2
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan
pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan
yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.12

Bedah eksisi adalah satu-satunya penanganan yang memuaskan, yang


dapat diindikasikan menurut Ziegler: pterigium yang sudah mengganggu visus,
mengganggu pergerakan bola mata, berkembang progresif, dan kosmetik. Tujuan
utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk
mencegah terjadinya rekurensi.13

Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis pterigium


stadium II okulus sinistra pada pasien yang datang berobat ke Poliklinik Mata
RSU Prof. dr. R. D. Kandou.

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva dan Kornea

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata


bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 14
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera
dibawahnya.
Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.14
Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.14 Kornea terdiri
dari lima lapis, yaitu14 :
1. Epitel
2. Membran Bowman
3. Stroma
4. Membrane descement
5. Endotel

B. Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium adalah proliferasi


jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaannya.2

C. Etiologi

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari,
dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan

4
suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.14 Pterigium diduga merupakan
fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan dengan
angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterigium antara lain
uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata.
Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini.15

D. Patofisiologi

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran
yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film
menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori.
Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori
ini.2

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gen pada limbal basal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam
jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan
terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi
degenerasi proliferasi jaringan vaskular bawah epitel dan kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan.
Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.2 Limbal stem
cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem
cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.

Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,


vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak
penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi

5
atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.16 Pemisahan fibroblast dari
jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotip, pertumbuhan banyak lebih
baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan
fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian pterigium
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium
menunjukkan matriks metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi
untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini
menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea
dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.16

E. Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan stadium,


lesi, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu17:

- Stadium-I : belum mencapai limbus

- Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil

- Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil

- Stadium-IV : melewati tepi pupil

Berdasarkan lesinya, pterigium dibagi menjadi17:

- Membran / fibrosa : lesi tipis dan berwarna pucat, pembuluh darah


pada lesi < 5.

- Vaskuler : lesi hiperemis dengan jumlah pembuluh darah > 5.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu17:

- Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan beberapa


infiltrat di kornea di depan kepala pterigium

6
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus


diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu17:

- T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

- T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

- T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

F. Gejala Klinis

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien
antara lain:
mata sering berair dan tampak merah
merasa seperti ada benda asing
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme
irreguler sehingga mengganggu penglihatan
pada pterigium yang lanjut (stadium 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.6

G. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa
Pemberian air mata buatan/ artificial tears drop (Cendo Lyteers).
Penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi
(misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Untuk pterigium stadium 1-
2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.8
2. Non medikamentosa13

7
- Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin,
angka kekambuhan yang rendah. Berikut ini teknik pembedahan pada
pterigium13 :
1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan
kembalikonjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon
rektus, menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak
dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap

4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas


eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.

5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari


konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.
- Menjaga kebersihan mata
- Menghindari terpapar debu dan sinar UV yang berlebihan yaitu dengan
cara menggunakan topi dan kacamata anti UV.

3. Terapi Tambahan
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian4:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.

8
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

H. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi. 2 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir
pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa
tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal autografts atau
transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.4

BAB III

KESIMPULAN

Pterigium adalah proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi


fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjuntiva bulbar yang berkembang menuju
kornea hingga akhirnya menutupi permukaannya. Pterigium diduga
disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
panas.

9
Pterigium memiliki ciri berupa pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Gejala klinis pterigium pada tahap awal
biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali
(asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti
mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda
asing, timbul astigmatisme dan penurunan tajam penglihatan.

Pterigium dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan


stadium, lesi, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh
darah episklera.

Penanganan pterigium dapat dilakukan dengan tindakan pembedahan


ataupun non-pembedahan. Tindakan bedah bertujuan untuk
memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.
Teknik pembedahan pada pterigium adalah bare sclera, simple closure,
sliding flap, rotational flap, dan conjungtival graft. Kekambuhan pada
pterigium dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik
tetes mata atau beta radiasi

DAFTAR PUSTAKA

10
1. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics
Of Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) :
308-13.

2. American Academy Of Ofthalmology. 2012. Available From :


http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf . Accessed March 2015.

3. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In


Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

4. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

5. Hastuti E. Efek desferioxamine topikal pada Pterigium. Dalam


Gondhowiardjo Tj. Ophthalmologica Indonesiana Journal of The
Indonesian Ophthalmologist Association. FKUI. Jakarta, 2002: 125-31.

6. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal


Of The Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.

7. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief


Review. Kerala Journal Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.

8. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder


With Premalignant Features. The American Journal Of
Pathology.2011;178(2):817-27.

9. Detorakis T, Spandidos Demetrios. Pathogenetic mechanisms and


treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives
(Review). Department Of Opthalmology, University Hospital of
Heraklion,Crete, Greece. 2009.

10. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.


Available From:

11
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf
Accessed. March 2015.

11. Solomon A.S. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online].


2010. [Cited March 2015]. Availble From :
http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pt
erigium.pdf.

12. Fisher Pj. Pterigium. Updated : 2012. Available From:


http://emedicine.medscape.com/article/1192527 Accessed March 2015.

13. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In
Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308313.

14. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.

hal:2-6, 116 117


15. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorlands Illistrated Medical

Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.


16. Edward J H, Mark J. Mannis. Ocular surface disease, medical surgical

management, 2002.
17. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available From:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf
Accessed. March 2015.
18. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available
from :http://www.dokter-online.org/index.php.htm .
19. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi

Umum. Edisi 14.Jakarta:Widya Medika.2000.hal 5-6.111.

12

Anda mungkin juga menyukai