Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia perindustrian saat ini bergerak di berbagai bidang atau

sektor, sektor industri jasa konstruksi merupakan salah satunya. Pada

umumnya semua jenis pekerjaan melibatkan sejumlah pekerja dalam

melakukan proses pekerjaan, begitu pula dengan pekerjaan konstruksi.

Kejadian yang banyak terjadi adalah kecelakaan kerja akibat belum

dilakukan penanganan terhadap pengawasan keselamatan dan kesehatan

kerja di tempat kerja secara mantap dan menyeluruh pada setiap

pekerjaan konstruksi bangunan.

Menurut International Labour Organization secara global

diperkirakan 337 juta kecelakaan kerja terjadi dan 2,3 juta kematian

akibat kerja terjadi setiap tahunnya (ILO, 2014). Di dunia, hampir setiap

tahunnya pada tempat kerja terdapat 250 juta pekerja yang mengalami

cidera, 150 juta pekerja yang terkena penyakit akibat kerja dan lebih dari

1,1 juta pekerja yang meninggal dunia (Titas, 2013).

Berdasarkan hasil perhitungan U.S BLS (United State Bureau of

Labour Statistics) yang dilaporkan menyebutkan bahwa kecelakaan kerja

fatal di konstruksi tahun 2011 yaitu sebanyak 4.383 kasus, naik sebesar

5% menjadi 4.628 kasus di tahun 2012 (BLS, 2014). Kecelakaan kerja

tersebut diantaranya adalah cidera fatal pada pekerja penuh kontraktor

1
2

yang menyebabkan 715 kematian (15,45%) dan pekerja kontrak

menyumbang sebanyak 15% (BLS, 2014). Sedangkan di tahun 2013

kecelakaan kerja mengalami penurunan menjadi 4.585 kasus dan

kemudian mengalami peningkatan kembali di tahun 2014 menjadi 4.679

kasus (BLS, 2015).

Angka kecelakaan kerja di Indonesia termasuk yang paling tinggi

di kawasan Asia Tenggara. Di tahun 2010, hampir 32% kasus kecelakaan

kerja yang ada terjadi di sektor konstruksi yang meliputi semua jenis

pekerjaan proyek gedung, jalan, jembatan, terowongan, irigasi

bendungan dan sejenisnya (Jamsostek, 2010). PT Jaminan Sosial Tenaga

Kerja (Persero) mencatat sepanjang tahun klaim terhadap program

jaminan kecelakaan kerja (JKK).

Klaim terhadap program jaminan kecelakaan kerja (JKK) di

tahun 2013 sebesar 563 miliar rupiah yaitu sebanyak 103.285 kasus yang

diantaranya berupa cacat fungsi, cacat sebagian, cacat total tetap,

sembuh dan meninggal dunia. Sedangkan di tahun 2014 kasus

kecelakaan yang terjadi sebanyak 105.383 kasus dan program JKK yaitu

sebesar 652 miliar rupiah (BPJS Ketenagakerjaan, 2015). Klaim

terhadap program JKK mengalami peningkatan dari tahun 2013 ke tahun

2014.

National Safety Council (2013) menyatakan bahwa insiden yang

terjadi setiap hari di tempat kerja dapat mengakibatkan cidera atau

kerusakan serius. Pelaporan near miss dapat membantu mencegah


3

insiden terjadi di kemudian hari dan perusahaan perlu membuat proses

pelaporan near miss semudah mungkin dapat dipahami.

Beberapa perusahaan mungkin tidak memiliki budaya pelaporan

dimana para pekerjanya didorong untuk melaporkan kejadian near miss.

Namun sejarah memperlihatkan bahwa setiap kerugian atau kecelakaan

kerja berulang kali terjadi dipicu oleh kejadian near miss. Maka dengan

mengenali dan melaporkan setiap kejadian near miss secara signifikan

dapat meningkatkan keselamatan pekerja dan meningkatkan budaya

keselamatan (NSC, 2013).

Menurut Bird dan Germain (1990), unsafe act, unsafe condition

dan near miss merupakan hal yang patut dipelajari dan dicegah agar

tidak terjadi kecelakaan kerja yang mampu mengakibatkan sejumlah

kerugian. McKinnon (2012) menyatakan bahwa banyak peristiwa yang

tampaknya tidak penting memiliki potensi untuk cidera dan kerugian

lainnya. Namun jika diakui, dilaporkan dan diperbaiki akar penyebab

kejadian near miss dapat mengeliminasi terjadinya cidera dan

kecelakaan kerja.

Di dalam penelitian Annishia (2011) pada pekerja konstruksi di

PT PP (Persero) menyatakan bahwa perilaku tidak aman (unsafe act)

memegang pengaruh yang besar terhadap terjadinya kecelakaan kerja

dibandingkan dengan kondisi tidak aman (unsafe condition). Hasil

penelitian lainnya menyatakan bahwa terdapat 52% pekerja yang

berperilaku tidak aman dibandingkan dengan pekerja yang berperilaku

aman di tempat kerja (Putri dkk., 2013). Selain itu, setiap perusahaan
4

harus memastikan bahwa setiap unsafe act dan unsafe condition

dilaporkan agar kemudian dapat ditindaklanjuti (Bird and Germain,

1990).

Terdapat dua alasan utama pekerja berperilaku tidak aman di

tempat kerja yaitu karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi

tentang keselamatan dan ketidakpedulian akan pentingnya keselamatan

(Titas, 2013). Peraturan yang terdapat di proyek dan ketersediaan APD

sangat memungkinkan pekerja konstruksi berperilaku dalam bekerja.

Adanya pengawasan dari pengawas dan SHE Officer juga memberikan

pengaruh terhadap perilaku pekerja konstruksi dalam bekerja, karena

pekerja selalu merasa diawasi saat bekerja (Annishia, 2011).

Kecelakaan yang terjadi di site konstruksi umumnya dapat

dikatakan sebagai kelemahan Sistem Manajemen K3 perusahaan yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor teknis, teknologi

(peralatan) dan organisasi (Titas, 2013). Organisasi atau manajemen

perusahaan melaksanakan program K3 disamping untuk memberikan

perlindungan terhadap kecelakaan kerja, juga untuk mencegah kerugian

yang besar bagi perusahaan (Riantiwi, 2012).

PT Wijaya Karya (Persero) Tbk merupakan Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) Indonesia yang bergerak di bidang Engineering,

Procurement & Construction (EPC) serta Investasi. Terdapat sejumlah

departemen yang bergerak di berbagai bidang konstruksi. Tokyu-WIKA

Joint Operation (TWJO) merupakan perusahaan kerjasama antara

Perusahaan Jepang (Tokyu Construction Co., Ltd) dengan Departemen


5

Sipil Umum I WIKA yang bergerak di bidang konstruksi Mass Rapid

Transit Jakarta (MRTJ). Bertanggung jawab pada pelaksanaan proyek

MRTJ Surface Section area CP101 dan CP102.

WIKA memiliki kebijakan K3 yang berkomitmen untuk

mencegah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan pencemaran

lingkungan, dengan sasaran tercapainya zero accident, efisiensi

penggunaan sumber daya dan pencegahan environmental incident.

Sedangkan TWJO memiliki kebijakan K3 yang berkomitmen untuk

mendorong praktik kerja yang aman pada Proyek Konstruksi MRT

Jakarta sesuai dengan undang-undang K3 serta aturan dan peraturan

Pemerintah Indonesia dan otoritas terkait yang memiliki kewenangan

hukum.

Menurut Data Statistik Kinerja Keselamatan PT Wijaya Karya

(Persero) Tbk selama kurun waktu 3 tahun terakhir, terdapat sejumlah

kecelakaan kerja. Di tahun 2012 terdapat kecelakaan kerja No Loses

Time Injury (NLTI) sebanyak 83 kasus. Meskipun di tahun 2013

mengalami penurunan menjadi 50 kasus, namun di tahun 2014

mengalami kenaikan menjadi 189 kasus (WIKA, 2015)

Sedangkan kejadian kecelakaan kerja yang membutuhkan

perawatan medis atau Medical Treatment Injury (MTI) di tahun 2012

sebanyak 12 kasus. Di tahun 2013 dan 2014 mengalami peningkatan

yaitu sebanyak 20 dan 38 kasus. Sejauh ini di perusahaan tidak terdapat

kecelakaan yang berakibat Loses Time Injury (LTI) maupun Fatality atau

Kematian (WIKA, 2015).


6

Berdasarkan Laporan Kecelakaan Kerja, Near miss dan Penyakit

Akibat Kerja (PAK) bulan Januari hingga Desember 2015 pada Proyek

MRTJ TWJO diperoleh bahwa terdapat sejumlah kecelakaan kerja yaitu

sebanyak 7 kasus, 4 kasus diantaranya merupakan kategori ringan dan 3

kasus lainnya merupakan kategori berat yang menyebabkan LTI dan

MTI. Selain itu, sepanjang tahun 2015 untuk pelaporan terkait Near miss

hanya terdapat satu kejadian yang dilaporkan, dan untuk pelaporan

terkait kondisi mekanik fisik berbahaya (unsafe condition) dan tindakan

berbahaya (unsafe act) yang terjadi diperusahaan tidak terdapat

rekapitulasi data pelaporannya (TWJO, 2015).

Pada laporan bulanan proyek TWJO dan fakta yang diuraikan

sebelumnya menjelaskan bahwa masih terdapat sejumlah kasus

kecelakaan kerja pada site konstruksi MRTJ. Selain itu, masih terdapat

pekerja konstruksi yang berperilaku tidak aman (unsafe act) diantaranya

adalah memuat dan menempatkan secara tidak aman, menggunakan

peralatan yang tidak aman atau tanpa peralatan, mengambil posisi atau

sikap tubuh yang tidak ergonomi, tidak menggunakan APD, melakukan

pekerjaan tanpa wewenang serta tindakan berbahaya lainnya yaitu

merokok di area kerja.

Terdapat pula kondisi tidak aman (unsafe condition) berupa

penyimpanan dan peletakkan yang tidak aman, kondisi yang tidak

semestinya (licin, tajam, kasar, retak, dll), pengamanan yang tidak

sempurna, peralatan atau bahan yang tidak seharusnya dan kondisi

berbahaya lainnya. Hal-hal tersebut masih ditemukan saat dilakukan


7

inspeksi pada site konstruksi namun data pelaporan terkait unsafe act

belum dilaporkan dan minimnya data pelaporan terkait near miss dan

unsafe condition.

Perilaku, kondisi tidak aman dan kejadian near miss yang terjadi

dapat memberikan peluang kecelakaan kerja dapat terulang. TWJO

memiliki form pelaporan yang berkaitan dengan perilaku pekerja,

kondisi tidak aman dan kejadian near miss yang mengacu pada dokumen

Site Safety Plan (TWJO-PLN-0003-revD). Namun Divisi SHE belum

melakukan pencatatan dan pelaporan terkait unsafe act, minimnya data

unsafe condition dan data pelaporan near miss. Hal ini yang membuat

penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait Gambaran Sistem

Pelaporan Near miss, Unsafe Act dan Unsafe Condition di Proyek Mass

Rapid Transit Jakarta (MRTJ) Tokyu-WIKA Joint Operation (TWJO)

Tahun 2016.

B. Rumusan Masalah
WIKA merupakan industri yang bergerak di bidang engineering,

procurement dan construction. Setiap departemen yang terdapat di

WIKA memiliki bahaya dan tingkat risiko yang berbeda-beda.

Komitmen WIKA untuk mencegah kecelakaan kerja, PAK dan

pencemaran lingkungan, dengan sasaran tercapainya zero accident,

efisiensi penggunaan sumber daya dan pencegahan environmental

incident masih belum optimal.

TWJO merupakan perusahaan kerjasama antara pihak jepang

(Tokyu) dengan Departemen Sipil Umum I WIKA yang bergerak di


8

bidang konstruksi Mass Rapid Transit Jakarta (MRTJ). Bertanggung

jawab pada pelaksanaan proyek MRTJ CP101 dan CP102. Berdasarkan

Laporan Kecelakaan Kerja, Near miss dan Penyakit Akibat Kerja (PAK)

bulan Januari hingga Desember 2015 pada Proyek MRTJ TWJO

diperoleh bahwa terdapat sejumlah kecelakaan kerja yaitu sebanyak 7

kasus, 4 kasus diantaranya merupakan kategori ringan dan 3 kasus

lainnya merupakan kategori berat yang menyebabkan LTI dan MTI.

Sepanjang tahun 2015 untuk pelaporan near miss hanya terdapat satu

kejadian yang dilaporkan. Sedangkan untuk pelaporan terkait kondisi

mekanik fisik berbahaya (unsafe condition) dan tindakan berbahaya

(unsafe act) yang terjadi diperusahaan tidak terdapat rekapitulasi data

pelaporannya (TWJO, 2015).

Minimnya pelaporan near miss dan belum maksimalnya data

pelaporan terkait perilaku tidak aman dan kondisi tidak aman pada

proyek serta adanya komitmen perusahaan demi mencegah terjadinya

kecelakaan kerja terulang, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai Gambaran Sistem Pelaporan Near Miss, Unsafe

Act dan Unsafe Condition di Proyek Mass Rapid Transit Jakarta (MRTJ)

Tokyu-WIKA Joint Operation (TWJO) Tahun 2016.

C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran input sistem pelaporan near miss, unsafe

act dan unsafe condition di proyek Mass Rapid Transit Jakarta

(MRTJ) Tokyu-WIKA Joint Operation (TWJO) Tahun 2016?


9

2. Bagaimana gambaran proses sistem pelaporan near miss, unsafe

act dan unsafe condition di proyek Mass Rapid Transit Jakarta

(MRTJ) Tokyu-WIKA Joint Operation (TWJO) Tahun 2016?


3. Bagaimana hasil atau output dari sistem pelaporan near miss,

unsafe act dan unsafe condition di proyek Mass Rapid Transit

Jakarta (MRTJ) Tokyu-WIKA Joint Operation (TWJO) Tahun

2016?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe

condition di proyek Mass Rapid Transit Jakarta (MRTJ) Tokyu-

WIKA Joint Operation (TWJO) Tahun 2016.


2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya gambaran input sistem pelaporan near miss,

unsafe act dan unsafe condition di proyek Mass Rapid

Transit Jakarta (MRTJ) Tokyu-WIKA Joint Operation

(TWJO) Tahun 2016.


b. Diperolehnya gambaran proses sistem pelaporan near miss,

unsafe act dan unsafe condition di proyek Mass Rapid

Transit Jakarta (MRTJ) Tokyu-WIKA Joint Operation

(TWJO) Tahun 2016.


c. Diperolehnya hasil atau output dari sistem pelaporan near

miss, unsafe act dan unsafe condition di proyek Mass Rapid

Transit Jakarta (MRTJ) Tokyu-WIKA Joint Operation

(TWJO) Tahun 2016.


E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
a. Memperoleh pengetahuan, menambah wawasan dan

mengetahui bagaimana sistem pelaporan near miss,

pelaporan unsafe act dan unsafe condition dalam langkah


10

mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja, mengamati

perilaku pekerja konstruksi dan kondisi di tempat kerja

serta membantu pelaksanaan SMK3 di proyek Mass Rapid

Transit Jakarta (MRTJ) Tokyu-WIKA Joint Operation

(TWJO).
b. Menerapkan ilmu K3 yang diperoleh pada bangku

perkuliahan ke dalam dunia pekerjaan atau tempat kerja.


c. Berkontribusi secara nyata pada perusahaan dan

memperoleh pengalaman di lapangan sebagai bentuk

kesiapan dalam menghadapi dunia kerja.


2. Bagi Institusi Pendidikan
a. Menjalin kerjasama yang baik antara pihak instansi

perusahaan dengan pihak institusi pendidikan.


b. Membuka peluang baru sebagai rekomendasi tempat

magang atau penelitian skripsi bagi para mahasiswa

kesehatan masyarakat khususnya K3.


c. Memperoleh referensi baru dari penelitian skripsi yang

dilakukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya

dan dapat dijadikan sebagai masukan atau saran dalam

meningkatkan kurikulum yang telah diterapkan.


3. Bagi Perusahaan Tokyu-WIKA Joint Operation (TWJO)
a. Memperoleh masukan dan rekomendasi yang positif

dalam mengevaluasi berbagai kekurangan terkait

pelaksanaan K3 yang ada di perusahaan dan yang

berkaitan dengan pencatatan dan pelaporan.


b. Menjalin kerjasama yang baik dengan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi

Kesehatan Masyarakat Peminatan K3 Universitas Islam


11

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menerapkan

kemampuan dan meningkatkan kualitas SDM yang baik.


c. Penelitian atau skripsi dapat dijadikan sebagai bahan

referensi dalam mengevaluasi kebijakan dan prosedur

yang berkaitan dengan K3 di perusahaan sebagai upaya

peningkatan berkelanjutan.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode pendekatan

kualitatif deskriptif dalam memperoleh data-data dan menggali informasi

terkait sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition di

proyek Mass Rapid Transit Jakarta (MRTJ) Tokyu-WIKA Joint

Operation (TWJO). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2015

sampai dengan bulan Mei 2016. Pengambilan data yang diperlukan

untuk penelitian ini adalah memperoleh data primer dengan melakukan

wawancara (in-depth interview) kepada informan utama, kunci dan

pendukung, melakukan observasi dan memperoleh data sekunder dengan

melakukan telaah dokumen pada perusahaan terkait penelitian.

Anda mungkin juga menyukai