Anda di halaman 1dari 28

Pendekatan Psikologi Gestalt dan

Metode Struktural Analitik Sintetik (SAS)


dalam Belajar Bahasa

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Syarat Ujian Tengah Semester (UTS)
pada Mata Kuliah ..

Oleh:
Ramlan A. G.
NIM ----------------

PGMI DUAL MODE


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2010

1
Abstraks: Keseluruhan lebih daripada bagian-bagiannya. Demikian prinsip
utama psikologi Gestalt. Prinsip ini digunakan dalam pendekatan (approach)
terhadap belajar membaca-menulis permulaan pada Kurikulum 1975. Metodenya
disebut struktural analitik sintetik (SAS). Tidak hanya pada belajar membaca-
menulis permulaan, prinsip tersebut dapat diaplikasikan pada semua strata
pendidikan dan bidang studi yang sesuai. Salah satu bidang yang dapat diadaptasi
menggunakan prinsip psikologi ini ialah perkuliahan bahasa Indonesia pada
materi pembelajaran tertentu seperti yang diuraikan dalam tulisan ini.

Kata kunci: belajar-mengajar bahasa, metode struktural analitik sintetik (SAS),


psikologi Gestalt

A. Pendahuluan
Ingatkah Anda akan kalimat bahasa Indonesia yang pertama dikenal di
kelas I SD, Ini Budi. Ini ibu Budi, Ini bapak Budi? Struktural (kalimat) dibaca
sepintas. Setelah itu, dianalisis (diuraikan) menjadi kata, kata menjadi suku kata,
suku kata menjadi huruf (fonem), kemudian akhirnya disintesis (dirangkai
kembali) fonem menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi
kalimat kembali. Demikian seterusnya. Metode belajar membaca-menulis
permulaan seperti ini disebut metode struktural analitik sintetik (SAS)
(selanjutnya disebut SAS saja). Metode ini digunakan pada Kurikulum 1975.
Di samping menggunakan prinsip psikologi Gestalt, SAS menggunakan
dua pendekatan lainnya yaitu: paedagogis dan linguistik.1 Sampai sekarang,
metode ini masih digunakan untuk membaca-menulis permulaan di perkotaan di
Indonesia walaupun hanya sporadis dan untuk materi yang sesuai.
Yang dikenang memang kalimat Ini Budi karena bernilai nostalgia,
terutama bagi Anda yang sekitar tahun 1975 duduk di bangku kelas I atau II SD.
Di balik semua itu, ada pendekatan pendidikan yang terkait dengan psikologis dan
paedagogis sebagai latar belakang munculnya metode tersebut. Walaupun metode
SAS sudah jarang digunakan, pendekatan psikologi Gestalt masih dianggap perlu.

1
Festus Simbiak, Pengaruh Penggunaan Metode SAS Simplifikasi terhadap Ke-
mampuan Membaca Permulaan Murid-murid Kelas Satu SD di Kecamatan Biak Timur Kabupaten
Biak-Numfor artikel diakses pada 28 Januari 2010 dari http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?
mod=brows&op=read&id=ijptuncen-gdl-res-1994-festus-1138 membaca

2
Secara teoritis, SAS disarankan pula untuk digunakan di SMP dan SMA,
bukan pada mata pelajaran bahasa Indonesia saja, namun pada semua mata
pelajaran untuk materi yang sesuai.2 Di dunia pendidikan Islam, sejak sekitar
dekade 90-an, dalam belajar-mengajar di Taman Pendidikan al-Quran (TPQ), guru
(ustad dan ustazah) disarankan pula menggunakan metode Iqra atau Qiraati3
untuk mengenalkan huruf al-Quran. Walaupun tidak secara murni mengadopsi
metode SAS, kedua metode tersebut juga menggunakan prinsip-prinsip
pendekatan psikologi Gestalt.
Jauh sebelumnya, dikenal pula metode eja (yang sangat bertentangan
dengan metode SAS dan metode global). 4 Metode eja justeru mengenalkan huruf
demi huruf terlebih dahulu, lalu kata, dan kalimat. 5 Misalnya, anak dikenalkan
dengan huruf demi huruf dari /a/ sampai /z/ dalam hubungannya dengan fonem
(bunyi bahasa), suku kata, dan kata. Untuk mengenalkan bunyi /a/ /b/, dan /i/
--misalnya-- digunakan /b/ /a/-- ba dan /b/ /i/ --bi lalu dirangkai menjadi
/babi/; /b/ /a/--ba dan /b/ /a/--ba lalu dirangkai menjadi /baba/, /b/ /i/-- bi dan /b/
/a/-- ba menjadi /biba/. Salah satu kelemahan metode eja adalah walaupun
menggunakan pendekatan harfiyah, kadang-kadang ada hal yang tidak bisa
2
Massofa, Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik), artikel diakses pada 27 Januari
2010 dari http://massofa.wordpress.com/2008/06/29/metode-sas-struktural-analitik-sintetik/. Yang
dimaksud dengan materi yang sesuai adalah materi pembelajaran yang sesuai menggunakan SAS.
Belum tentu semua materi cocok diberikan dengan SAS.
3
Jika diperhatikan, dalam teks-teks kitab iqra terdapat bacaan yang berwazan (bukan
sekedar kumpulan huruf yang tidak bermakna). Ini paling tidak disadari oleh penulisnya bahwa di
samping mengenal huruf, anak juga perlu mengenal kata bahasa Arab, misalnya: amada, zalama,
talaa, dll. K.H. Asad Humam, Balai Litbang LPTQ Nasional, Buku Iqro Cara Cepat Belajar
Membaca Al-Quran, (Yogyakarta: Team Tadarus AMM 1990).
4
Metode global berbeda dengan metode SAS. Metode ini dikembangkan oleh Declory,
seorang ahli psikologi dan ahli pendidikan Belgia. Dalam metode global, tidak dikenal adanya
merangkai kembali (sintetik) walaupun pendekatannya struktural dan psikologi Gestalt juga.
Metode ini menggunakan pendekatan cerita yang mudah dikenal, misalnya tentang lingkungannya.
Cerita tersebut terdiri dari satu atau dua buah kalimat, sesuai dengan fonem yang akan dikenalkan.
Kalimat diurai menjadi kata, kata diurai menjadi suku kata, suku kata diurai menjadi huruf
(fonem). Lalu, pada akhirnya dicari huruf (bunyi) yang akan diberi titik-tekan. Lihat H.R. Brata,
Aspek Pengajaran Bahasa artikel diakses 26 Januari 2010 dari
http://hrbrata,blog.plasa.com/2009/05/18/aspek-pengajaran-bahasa/.
5
Tarmizi, Penerapan Metode Pembelajaran Membaca Permulaan artikel diakses pada 26
Januari 2010 dari http://tarmizi.wordpress.com/2008/12/02/penerapan-metode-pembelajaran-
membaca-permulaan/

3
dihindarkan misalnya memilih contoh gabungan huruf yang tidak berarti harfiyah
sama sekali karena tidak berbentuk kata seperti pada /biba/. Di zaman baheula,
ketika belajar membaca al-Quran, kita mengenal juga cara membaca huruf (alif
fathah /a/, alif kasrah /i/ , alif dammah /u/ --- lalu dibaca /a/i/u/) juga terlepas
dari konteks kalimat bahasa Arab yang riil.
Baik metode SAS dan metode global, maupun metode eja banyak dikritisi
oleh ahli karena dianggap menghasilkan siswa yang verbalistis, terutama dalam
hal belajar membaca-menulis permulaan. Bahkan, belakangan ini hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketidakmampuan membaca yang dialami oleh peserta didik
sampai kelas atas atau kelas lanjutan disebabkan ketidakefektifan penggunaan
metode SAS.6
Sebenarnya setiap pendekatan dan metode memiliki kelebihan dan
kekurangan. Tidak ada satu pun metode sapu jagad. Satu metode belum tentu
sesuai untuk semua materi pembelajaran, apalagi untuk bidang studi dan strata
pendidikan yang berbeda-beda. Walaupun metode SAS sedianya hanya sesuai
untuk belajar-mengajar berbahasa tingkat dasar dan menengah, pada artikel ini
penulis membahas metode SAS yang diaplikasikan pada pembelajaran bahasa
Indonesia di perguruan tinggi. Pada bagian awal, penulis akan banyak membahas
dasar/prinsip SAS yang diaplikasikan secara umum di pendidikan dasar dan
menengah. Pada akhirnya, tulisan ini menjelaskan hubungan pendekatan dengan
metode secara hierarkis dalam belajar bahasa di perguruan tinggi.
Walaupun pada membaca-menulis permulaan, SAS dianggap kurang
berhasil, di perguruan tinggi, prinsip SAS masih dapat digunakan. Berlainan
dengan kasus verbalistis yang ditemukan di sekolah dasar, pada perguruan tinggi,
mahasiswa sudah memiliki pengenalan yang cukup terhadap materi pembelajaran
secara struktural. Yang perlu dipertajam adalah pemahaman mahasiswa terhadap
unsur-unsur (analisis) dan hubungannya dengan totalitas (struktur).

B. Pendekatan (Approach) Metode SAS


6
Deddy Andria, Metode Pengajaran Bahasa untuk SD artikel diakses pada 28 Januari
2010 http://deddyandria.wordpress.com/2009/08/09metode-pengajaran-bahasa-untuk-sd/

4
Perlakuan seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi oleh asumsinya
terhadap sesuatu itu. Demikian pula metode belajar berbahasa. Metode belajar
(tentu saja mengajar, penulis) merupakan perlakuan guru terhadap proses
pembelajaran. Metode belajar sebagai salah satu sikap guru di depan siswa yang
belajar dipengaruhi oleh pendekatan (approach) guru terhadap dua hal, yaitu:
siswa yang belajar dan materi pembelajaran. Jasir Burhan menyatakan bahwa
teori yang dianut seseorang tentang apa sesungguhnya bahasa sangat berpengaruh
terhadap cara seseorang itu belajar-mengajar berbahasa. 7 Jika mengasumsikan
bahwa bahasa terdiri dari sejumlah kosakata, seorang guru akan menyiapkan
kosakata yang sebanyak-banyaknya sebagai materi pembelajaran. Jika berasumsi
bahwa mahasiswa pada semester awal belum sanggup menulis/mengarang dengan
baik, seorang dosen akan membuat silabus yang banyak bermuatan seluk-beluk
menulis/mengarang. Ini bukti bahwa asumsi terhadap siswa dan bahasa yang
dipelajari (bahan) merupakan pendekatan guru bahasa. Hal ini berpengaruh
terhadap metode pembelajaran bahasa. Dalam hal pendekatan ini Edward M.
Anthony dalam Harold B. Allen (ed.) Teaching English as Second Language
menyatakan bahwa pendekatan dalam belajar berbahasa adalah seperangkat
asumsi (anggapan) guru terhadap sifat alamiah bahasa (the nature of language)
dan sifat alamiah mengajar-belajar bahasa (the nature of language teaching and
learning).8
Keterangan di atas mengeksplisitkan bahwa metode merupakan aplikasi
dari pendekatan, sedangkan pendekatan aplikasi dari sejumlah asumsi. A.S. Broto
menyatakan bahwa setiap pendekatan dapat dijabarkan menjadi satu atau
beberapa metode belajar-mengajar bahasa.9 Hubungan hierarki asumsi,
pendekatan, dan metode ini misalnya-- dicontohkan oleh Panuti Sujiman bahwa

7
Jasir Burhan, Perkembangan Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Kongres Bahasa
Indonesia III (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1983), h. 177
8
Harold B. Allen, ed., Teaching English as Second Language (New York: Mc. Graw-Hill
Book Co., 1965), h. 93
9
A.S. Broto, Metodologi Proses Belajar-Mengajar Berbahasa (Solo: Tiga Serangkai,
1982), h. 24

5
aural-oral approach didasarkan kepada asumsi (pendekatan) bahwa wujud
bahasa adalah ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia untuk
melambangkan pengertian, setiap bahasa berstruktur berbeda, dan dapat dicatat
secara sistematis untuk dapat dipahami dan digunakan.10 A. Black menyatakan
bahwa bahasa lisan diberikan terlebih dahulu daripada bahasa tulis. Pendekatan
yang digunakan Black adalah, The first understanding to the reached is
attempting a fresh approach to the basic language learning is that language is
fundamentally-primarilly audio-lingual a matter of mouth and ear. Writing and
printing are base on speech and derived from it 11 Robert Lado menyatakan
bahwa metode langsung (direct method) berdasarkan asumsi bahwa belajar bahasa
asing sama dengan belajar bahasa ibu. Dalam hal ini, Lado menyatakan, . The
direct method assumed the learning forein language is the same is the mother
tongue that exposing the study directly upon his mind.12
Ditinjau dari aspek linguistik, munculnya metode eja didasarkan atas
asumsi bahwa fonem (bunyi bahasa) merupakan unsur terkecil dari suku kata
dan suku kata merupakan unsur terkecil dari kata. Ditinjau dari aspek psikologi,
anak mengenal sesuatu dimulai dari bagian-bagian, kemudian global
(keseluruhan). Oleh sebab itu, siswa belajar membaca/menulis dimulai dari
pengenalan terhadap bunyi bahasa yang terkecil yang membedakan arti (fonem).
Fonem dilambangkan dengan huruf. Huruf tersebut lalu dirangkai menjadi suku
kata dan kata.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat minimal tiga pendekatan yang
dilibatkan dalam penentuan sebuah metode belajar-mengajar bahasa, yaitu:
bagaimana sifat alamiah bahasa (the nature of language), bagaimana belajar
bahasa (language learning), dan bagaimana mengajar bahasa (language teaching).
Dengan demikian, terdapat minimal tiga disiplin ilmu yang diperlukan, yaitu:
10
Panuti Sudjiman, Pengajar dan Perencanaan Pengajaran Bahasa, (Makalah Diskusi
Panel Masalah Pendidikan Guru Bahasa, FPBS IKIP Jakarta, 1986), h. 1
11
Arno A. Black, ed., Linguistics and the Teaching of Reading (New York: Mc. Graw-Hill
Inc., 1961), h. 4
12
Robert Lado, Language as Scientific Approach (New Delhi: Mc. Graw-Hill Publishing
Co., 1976), h. 5

6
linguistik terapan (applied linguistic) sebagai pendekatan terhadap filsafat bahasa
dan materi pembelajaran serta paedagogik dan psikologi yang digunakan untuk
pendekatan terhadap bagaimana belajar-mengajar bahasa. Bahkan, Soenjono
Dardjowidjojo menyatakan bahwa antropologi dan sosiologi tidak kalah
pentingnya dalam metode pembelajaran bahasa.13
Aliran psikologi sebagai pendekatan (approach) dalam menentukan
metode SAS adalah psikologi Gestalt. Aliran ini muncul di Jerman dan dipelopori
oleh tiga ilmuwan: Kurt Koffka, Max Wertheimer, dan Wolfgang Khler.
Menurut Gestalt, manusia mengenal segala sesuatu (objek) dimulai dari
global (keseluruhan), kemudian bagian-bagian. Prinsip utamanya adalah bahwa
objek keseluruhan lebih daripada bagian-bagiannya (the whole is the more than its
parts). Fakta membuktikan bahwa kata /khatulistiwa/ --misalnyaakan mudah
diingat dibandingan dengan /lwasitiktuha/. Keduanya memiliki jumlah huruf yang
sama, namun yang satu memiliki arti sedangkan yang lain tidak. Susunan
huruf /khatulistiwa/ jelas merupakan sebuah kata yang bermakna leksikal,
tetapi /lwasitiktuha/ tidak bermakna apa-apa karena disusun secara rambang/acak.
Oleh sebab itu, Morse dan Wingo menyatakan, Gestalt psychologists believe
that experience is always structured, that perception is not simply a collection of
descrete elements. The whole, the pattern, must be seen a such before its
various parts can be understood.14 Pengalaman manusia dalam memersepsikan
sebuah objek selalu berupa struktur. Struktur yang dipersepsikan tersebut bukan
sekedar kumpulan unsur. Bentuk akan terlihat terlebih dahulu sebelum unsur-
unsur dapat dipahami.
Teori ini menjelaskan pula bahwa proses persepsi biasanya melalui
pengorganisasian komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, atau
kemiripan menjadi kesatuan. Pola-pola yang sebenarnya rambang/acak, bisa saja
bagi seseorang seolah-olah berbentuk teratur. Awan terlihat seperti muka manusia,

13
Soenjono Dardjowidjojo, Perkembangan Linguistik di Indonesia (Jakarta: Arcan, 1985),
h. 5
14
William C. Morse dan G. Wingo, Psychology and Teaching (Chicago-Atlanta-Dallas-
Pallo Alto-Fair Lawn, N.J.: Scott Forestman and Co., 1962), h. 486-487

7
bentuk binatang, atau mirip bentuk apa saja yang dikenal/dipersepsikan. Asap atau
kabut yang terlihat pada malam hari diasumsikan sebagai hantu.
Pada kasus sehari-hari misalnyasetiap objek baik empiris maupun tidak
akan dipersepsikan seperti itu. Karena hidup jauh dari lingkungan bandara dan
sebelumnya belum pernah melihat pesawat terbang dari dekat, seorang anak desa
akan berpersepsi awal bahwa pesawat terbang sama seperti yang dilihatnya kali
pertama ketika melintas di langit. Bentuk yang tampak pun tergantung kepada
tinggi-rendahnya pesawat ketika melintas. Mungkin menurutnya bentuk pesawat
itu pipih, bersayap, dan bergemuruh. Lebih daripada itu, mungkin ada anak yang
memersepsikannya sebagai benda yang menakutkan karena bunyinya yang
bergemuruh itu. Persepsinya, sesuatu yang bergemuruh adalah yang menakutkan.
Ada kesan kesamaan bentuk (similarity) pesawat terbang dengan benda yang
bergemuruh (menakutkan). Dalam menanggapi anak seperti ini, orang tua tidak
boleh menganggap anaknya bodoh karena takut dengan pesawat terbang misalnya.
Seandainya nanti setelah dewasa menjadi mekanik atau pilot pesawat,
dengan sendirinya anak tadi akan berpersepsi bahwa ternyata pesawat terbang
adalah alat transportasi yang dijalankan dengan mesin dan sistem kerjanya sangat
rumit/canggih. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan sendirinya persepsi
anak tentang pesawat terbang akan jauh lebih maju. Persepsinya tentang objek itu
tergantung kepada kedekatan posisi (proximity). Makin dekat posisi benda, makin
mudah dipahami bagian-bagiannya. Kedekatan posisi (proximity) terhadap
pesawat terbang dipengaruhi oleh pengalaman tentang pesawat terbang itu.
Pengalaman (kedekatan terhadap pesawat) didapatkan bisa dengan menaiki,
mengawaki (menjadi pilot), mempelajari (menjadi teknisi), atau bahkan bisa
menjadi ahli pesawat. Persepsi orang yang tidak memiliki kedekatan (orang
awam) terhadap pesawat terbang akan dibatasi tidak jauh dari persepsi awal ketika
kali pertama melihat pesawat terbang. Orang yang tidak pernah melihat dari dekat
apalagi naik pesawat terbang akan awam sekali tentang pesawat.
Pemahaman terhadap unsur-unsur benda yang disebabkan oleh
pengalaman terhadap objek disebut oleh ahli psikologi Gestalt dengan istilah
insight. Insight muncul setelah objek dipelajari dan dipahami secara global.

8
Setelah menjadi pilot atau belajar lebih lanjut tentang pesawat terbang, orang baru
menyadari bahwa pesawat yang dulu dianggapnya pipih, bersayap, dan
menakutkan adalah alat transportasi yang di dalamnya terdapat mesin penggerak
dan onderdil-onderdil lain. Baginya, pesawat terbang tidak lagi sebagai benda
yang menakutkan, tetapi menjadi alat yang memudahkan manusia untuk
bermobilisasi. Inilah yang disebut insight. James Drever mengartikan insight
dengan direct apprehention of meaning of bearing of somethings.15
Konsepsi perkembangan menurut psikologi Gestalt merupakan diferensiasi
16
dari suatu keseluruhan. Proses ini berlaku pada setiap perkembangan manusia,
baik perkembangan gerak motorik maupun perkembangan pengenalan terhadap
bahasa. Anak mengamati ibunya kali pertama samar-samar, lama-kelamaan dapat
membedakan (mendiferensiasikan) antara ayah dengan ibunya dan akhirnya
antara ayah dengan semua orang. Lingkungan pertama yang dikenalnya ialah
lingkungan rumah, meningkat kepada lingkungan tetangga, dan akhirnya
menyadari bahwa ia hidup di suatu masyarakat dunia.
Dengan demikian, prinsip psikologi Gestalt ada tiga, yaitu: fenomenologis,
fungsional, dan genetis.17 Menurut prinsip fenomenologis, kesadaran manusia
tidak memiliki unsur-unsur lepas terhadap sesuatu objek, tetapi berupa
keseluruhan (totalitas). Prinsip fungsional menyatakan bahwa sifat dan fungsi
keseluruhan (totalitas) itu tidak tampil sebagai unsur molekuler atau atomistis
yang otonom. Prinsip genetis menyatakan bahwa tanggapan terhadap objek yang
pertama itu selalu bersifat global (sinkritis). Sesudah itu, objek dapat
didiferensiasikan dan disusun kembali dengan struktur tertentu.
Dalam hubungannya dengan tanggapan visual terhadap bahasa tulis,
misalnya membaca, mata melihat kalimat-kalimat dan hanya sejenak berhenti,
lalu maju sampai ke tempat istirahat lagi (koma atau titik). Lamanya berhenti

15
James Drever, A Dictionary of Psychology (England: Pinguin Books Ltd.,
Harmondsworth Middlex, 1974), h. 139
16
Moh. Kasiram, Ilmu Jiwa Perkembangan, Bagian Ilmu Jiwa Anak (Surabaya: Usaha
Nasional, 1983), h. 32
17
S. Wojowasito, Perkembangan Ilmu Bahasa (Linguistik) Abad 20 sebagai Pengajaran
Bahasa (Hidup) (Bandung: Shinta Dharma, 1976), h. 35

9
tergantung kepada pengetahuan pembaca mengenai teks atau aspek yang dikenal
dalam teks tersebut, pokok persoalan/topik tulisan, gaya bahasa, pengalaman, dan
kebiasaan membaca. Dengan demikian, ketika membaca, mata tidak berhenti pada
tiap huruf dan kata, tetapi pada setiap akhir tataran totalitas yaitu akhir kalimat.
Dalam kasus ini, tampak bahwa orang yang membaca bidang disiplin ilmu yang
bukan bidangnya akan lebih lambat daripada membaca bidang disiplin ilmunya.
Dalam hubungannya dengan tanggapan auditif, yang ditangkap melalui
telinga bukanlah bagian dari bunyi-bunyian atau kesan, namun sejumlah
gelombang suara berupa kalimat-kalimat dan struktur yang dikenal atau yang
tidak. Bagian yang dikenal itulah yang paling berkesan bagi pendengarnya.
Berdasarkan uraian ini, pengenalan lebih lanjut terhadap materi bahasa lebih baik
dimulai dari yang sudah dipahami sebagai yang terstruktur.
Dalam tanggapan terhadap audio-visual misalnya menonton film, yang
tampak adalah gambar yang bergerak serta suara yang menggambarkan hubungan
gerak dengan bahasa dan bunyi. Padahal, gambar bergerak yang ditangkap mata
adalah deretan beribu gambar yang diprojeksikan pada sebuah layar dengan
kecepatan dan interval tertentu. Interpretasi mata terhadap objek itu bukan berupa
gambar-gambar yang terpisah dan saling berbeda, namun sudah berupa struktur
totalitas. Seandainya dapat menyaingi kecepatan pemindahan gambar-gambar itu
misalnya berkedip bersamaan dengan interval gambar yang disentuh oleh sinar
projektor-- mata akan dapat menginterpretasikan bahwa objek itu adalah gambar
yang berbeda dan terpisah.
Dari sudut pendekatan bahasa, metode belajar berbahasa berlandaskan
kepada linguistik dan filsafat bahasa. Harimurti menyatakan bahwa linguistik
dipelajari sebagai ilmu dasar bagi ilmu-ilmu lain seperti kesusastraan, filologi,
pengajaran bahasa, penerjemahan, dan lain-lain.18 Linguistik membahas hakikat
bahasa, sistem bahasa, aspek-aspek bahasa, persamaan dan perbedaan satu bahasa
dengan bahasa lainnya.19 Burt Liebert menyatakan pendekatan linguistik oleh guru
18
Djoko Kentjono ed., Dasar-dasar Linguistik Umum (Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1983), h. 13
19
Henry Guntur Tarigan, Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa (Bandung:
Angkasa, 1985), h. 13

10
bahasa. Ia menyatakan, Finally, the language teacher needs to keep touch with
constributions of linguistics to teaching methodology in many areas. Linguistics
will undoubtedly continue to give us valuable information concerning the teaching
of reading, spelling, and composition.20
Pendekatan linguistik pada metode SAS tidak berdasarkan kepada hakikat
bahasa (What is language?), namun berdasarkan kepada fungsi bahasa pada
manusia. Hal ini disebabkan pertanyaan tentang hakikat bahasa sangat filosofis
dan jawabannya sangat subjektif. Sifatnya aksiomatis. 21 Mackey ---misalnya---
menyatakan definisi bahasa menurut perspektif para ahli:
. What is language? To the philosopher, language may be instrument
of thought; to the sociologist, a form of behavior; to the psychologist a claudy
windows through which he glimpses the working of the mind; to the logician,
it may be a calculus; to the engineer, a series of physical events; to the
statistician, a selection by choice and change; to the linguist, a system of
arbitrary signs.22

Robert menyatakan, Language is the system of speech sound by which human


beings communicate with the another.23 A.S. Broto menyatakan bahwa bahasa
adalah alat komunikasi efektif.24 Pendapat A.S. Broto ini menyatakan fungsi
bahasa bagi manusia.
Bahasa akan berfungsi jika digunakan dengan struktur yang jelas. Struktur
terkecil dalam penggunaannya adalah kalimat. Hampir tidak pernah orang
menyatakan buah pikirannya hanya dengan satu kata (lepas dari konteks kalimat).
Mungkin saja dalam ragam lisan, kalimat hanya terdiri dari satu kata. Namun,

20
Burth Liebert, Linguistic and The New English Teacher (New York: Macmillan
Publishing Co., 1971), h. 196
21
Aksiomatis yaitu segala sesuatu yang diyakini kebenarannya, namun tidak harus dapat
dibuktikan. Harold B. Allen ed., Teaching English as Second Language, h. 93
22
William Francis Mackey, Language Teaching Analysis (London: Longsman Greends
and Co. Ltd., 1974), h. 3
23
Paul Robert, Understanding English (New York, Evanston, and London: Harper and
Row Publishers, 1958), h. 18
24
A.S. Broto, Metodologi Proses Belajar-Mengajar Berbahasa, h. 12

11
secara implisit sebenarnya ada bagian kalimat yang tidak dinyatakan karena
sudah diketahui oleh lawan bicara.
Para ahli tatabahasa tradisional menganggap bahwa kalimat lengkap terdiri
dari unsur subjek dan predikat. Hal ini akan tampak jelas jika digunakan dalam
ragam tulis ilmiah. Jika hanya satu kata, baik subjek saja atau predikat saja,
kalimat dianggap tidak mencukupi syarat.
Tatabahasa tradisional juga mengabaikan unsur suprasegmental.25
Walaupun tidak mengenal fonem panjang semisal bahasa Arab atau Sanskerta
bahasa Indonesia mengenal unsur segmental yang tampak pada intonasi kalimat.
Jika ditulis, intonasi tersebut dilambangkan dengan pungtuasi (tanda baca).
Rumah batu misalnya bisa bermakna sesuai dengan intonasinya. Alternatif
pertama adalah jawaban dari pertanyaan rumah (yang terbuat) dari apa? untuk
jawaban yang sejenis: rumah kayu, rumah beton, rumah bilik. Alternatif kedua
adalah rumah dengan batu jika di antara kedua kata tersebut ada jeda (jika ditulis
menggunakan koma). Dalam ragam tulis, rumah batu adalah kelompok kata; oleh
sebab itu, dalam metode SAS frase itu tidak dapat dijelaskan tanpa hubungannya
dengan kalimat. Lengkapnya kalimat yang akan dimunculkan adalah Rumah
kayu lebih mahal daripada rumah batu untuk menguraikan (menganalisis) bahwa
kalimat itu terdiri dari frase.
Dalam metode SAS, kalimat yang digunakan adalah kalimat ragam baku
yaitu kalimat yang biasa digunakan pada bahasa tulis. Kalimat minim (tak
sempurna) bisa digunakan untuk menjelaskan bahwa dalam bahasa Indonesia juga
dikenal adanya intonasi yang menentukan makna kalimat sesuai dengan
konteksnya dalam ragam lisan.
Di samping memperhatikan fungsi bahasa, metode SAS berdasarkan
pendekatan bahwa semua bahasa berciri khas atau tidak bisa disamakan begitu
saja. Oka menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa tersendiri
yang tidak boleh disamakan dengan bahasa lain. Beberapa bahasa mungkin saja

25
Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia (Ende, Flores: Nusa Indah, 1984), h. 141. Unsur
suprasegmental adalah unsur panjang (md) yang membedakan arti dalam lafal bahasa tertentu
seperti dalam bahasa Arab dan bahasa Sansekerta.

12
sama karena secara kebetulan atau kesamaan rumpun. 26 Keraf menyatakan pula
bahwa setiap bahasa berstruktur sendiri-sendiri dan setiap penutur bahasa daerah
menyadari perbedaan nyata antara bahasa daerahnya dengan bahasa Indonesia.27
A.S. Broto menyatakan pula bahwa bahasa yang tergolong satu rumpun pun
belum tentu sama strukturnya.28 Bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa daerah.
Atas dasar inilah metode SAS untuk membaca-menulis permulaan di kelas awal
hanya digunakan di perkotaan dan tidak di pedesaan.29 Anak di perkotaan sejak
dini sudah menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan anak di pedesaan
menggunakan bahasa daerah.
Lain halnya dengan kasus pada membaca-menulis permulaan di atas, pada
sekolah menengah (SMP dan SMA) dan perguruan tinggi, baik desa maupun di
kota, siswa/mahasiswa sudah relatif sanggup memahami karena sudah menguasai
dasar-dasar bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, pada jenjang ini, metode SAS
sudah dapat digunakan tanpa memperhatikan lokasi kota atau desa.
Dasar pendekatan metode SAS bila ditinjau dari sudut linguistik memang
didukung oleh banyak ahli. Bloomfield seperti yang dikutip oleh Francis Mackey
menyatakan bahwa orang berbahasa selalu menggunakan struktur berupa
kalimat.30 Linguistik struktural menganggap bahwa kalimat adalah unsur bahasa
yang paling penting. Kalimat yang terdiri dari unsur-unsur bahasa lebih penting
daripada unsur-unsur itu sendiri. Kalimat merupakan bentuk antar-unsur bahasa

26
I Gusti Ngurah Oka, Problematika Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia
(Surabaya: Usaha Nasional, 1974), h. 189
27
Yus Rusyana dan Samsuri, ed., Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia (Jakarta: Pu-
sat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983), h.
86
28
A.S. Broto, Metode Struktural Analitik Sintetik Majalah Ilmu dan Budaya Edisi III,
Tahun II/April 1980 (Jakarta: Universitas Nasional,), h. 286
29
Massofa, Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik), artikel diakses pada 27 Januari
2010 dari http://massofa.wordpress.com/2008/06/29/metode-sas-struktural-analitik-sintetik/
30
William Francis Mackey, Language Teaching Analysis, h. 21

13
dan merupakan sistem bahasa (tongue).31 Oleh sebab itu, belajar bahasa lebih baik
dimulai dari struktur daripada bagian-bagiannya.

C. Tujuan Belajar Bahasa


Tujuan belajar bahasa ialah agar peserta didik dapat menggunakan bahasa,
baik aktif maupun pasif, lisan maupun tulis. Menurut metode SAS, tujuan belajar
bahasa bukanlah supaya peserta didik dapat menguasai materi pengetahuan
bahasa sebanyak-banyaknya, melainkan agar dapat menggunakan bahasa/terampil
berbahasa tertentu. Oleh sebab itu, T.Y. Sobary menyatakan bahwa tujuan
pembelajaran bahasa adalah agar peserta didik terampil menggunakan bahasa,
bersikap positif terhadap bahasa dan penggunaannya, dan memiliki pengetahuan
yang cukup untuk menunjang keterampilan.32
Keterampilan bahasa tersebut terdiri dari empat: menguasai pasif-lisan
(/menyimak/mendengarkan/listening), aktif-lisan (berbicara/speaking), pasif-tulis
(membaca/reading), dan aktif-tulis (mengarang/writing). Keempat keterampilan
ini disebut dengan istilah language skill comprehension. Keempat keterampilan
bahasa tersebut tampak jelas indikasinya dalam berbahasa, baik lisan maupun
tulis.
Menurut metode SAS, materi pengetahuan bahasa bukanlah tujuan utama,
tetapi hanya alat untuk mencapai tujuan itu. Tidak ada gunanya orang yang
menguasai teori dan pengetahuan bahasa, tanpa dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan yang riil. Oleh sebab itu, metode SAS mengutamakan keterampilan
bahasa sebagai materi pembelajaran yang paling tinggi tatanannya. SAS lebih
menekankan fungsi bahasa daripada materi bahasa. Seperangkat bunyi yang tidak
berupa kata bukanlah fonem namanya karena tidak ada fungsinya dalam
berbahasa. Artinya, tujuan belajar fonem bukan supaya dapat mengetahui apalagi
menghafalnya, tetapi supaya dapat memfungsikannya dalam berbahasa. Dalam hal
ini, sesuatu yang berstrukturlah yang berfungsi.
31
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik Edisi II (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h.
183. Bandingkan dengan Gorys Keraf, Komposisi, Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa
(Flores: Nusa Indah, 1980), h. 35
32
T.Y. Sobary, Materi Pelajaran Bahasa Indonesia (Jakarta: Aries Lima, 1986), h. 43

14
Kemampuan anak dalam hal menguasai gramatika suatu bahasa misalnya,
belum tentu menjaminnya dapat berkomunikasi dengan baik dalam bahasa
tersebut. Sebaliknya, karena sering berlatih menulis, banyak orang menjadi
kolumnis terkenal walaupun tidak pernah belajar tentang teori menulis secara
spesifik. Betapa banyak sastrawan justeru bukan berlatar pendidikan sastra,
namun berlatar ilmuwan, dokter, pengacara, dan sebagainya. Hal ini
membuktikan bahwa penguasaan satu keterampilan berbahasa bukan tergantung
kepada penguasaannya terhadap teori dan materi pengetahuan bahasa, melainkan
tergantung kepada intensifnya berlatih.
Materi pembelajaran berbahasa ada dua, yaitu: materi kebahasaan dan
materi keterampilan. Kedua materi tersebut harus tercakup dalam pembelajaran
secara terintegrasi.33 Walaupun tujuan pembelajaran berbahasa keempat
keterampilan, materi bahasa harus tercakup pula di dalamnya.

D. Metode Struktural Analitik Sintetik (SAS)


Paradigma metode pada dunia pendidikan kita dewasa ini jauh
berkembang daripada pendidikan pada Zaman Kolonial. Pengaruh kolonial dan
kapitalis itu masih tampak sampai pada dekade 70-an. Guru adalah orang yang
paling berkuasa di depan kelas. Siswa adalah objek pengajaran yang pasif dan
tidak berdaya. Hal ini terindikasi pada istilah metode pengajaran pada zaman itu.
Guru seolah-olah adalah segalanya dalam mengajar.
Sekarang, istilah metode pengajaran dianggap agak sensitif karena
berdampak kepada guru. Guru yang menggunakan istilah metode pengajaran
distigmakan seolah-olah kuno, diktator, arogan, dan terlalu dominan di depan
siswa. Sejak adanya pendekatan keterampilan proses dengan cara belajar siswa
aktif (CBSA), siswa tidak lagi dianggap sebagai objek pendidikan. Guru pun
bukan lagi sebagai subjek pendidikan. Istilah metode pengajaran diubah menjadi
metode belajar-mengajar. Ini mengimplisitkan bahwa muridlah yang belajar dan
guru hanya fasilitator.

33
Budinuryanta Y. dkk., Pengajaran Keterampilan Berbahasa (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2008), h. 5.1-6.36

15
Di dunia pendidikan bahasa, pengertian metode belajar-mengajar bahasa
bukanlah sekedar cara belajar-mengajar, namun lebih dari itu adalah tahapan
dari penentuan tujuan dan bahan belajar, penentuan urutan (sequence) pemberian
bahan, cara penyajian, dan cara evaluasi yang didasarkan kepada sistem tertentu
untuk mencapai tujuan tertentu pula.34 Bahkan, Jasir Burhan menganggap bahwa
nama buku teks atau buku paket sama dengan metode yang dipakai pada
kurikulum tertentu. Paling tidak, dalam buku paket akan tercermin metode yang
akan digunakan.35
Mackey menyatakan bahwa metode belajar-mengajar berbeda antara satu
orang dengan yang lainnya. Ada yang menyatakan bahwa metode adalah
seperangkat prosedur mengajar (a set of teaching prosedur), ada pula yang
mengatakan bidang/lapangan prosedur mengajar (the avoidance of teaching
procedures).36
Dalam hal metode sebagai urutan pemberian bahan, Soenarko
memberikan contoh pendekatan aural-oral (aural-oral approach):
a. Pemahaman bahasa lisan terlebih dahulu sebelum percakapan diberikan.
Pemahaman bahasa lisan (aspek reseptif) merupakan pendahuluan ke arah
kemampuan berbicara (aspek produktif). Sedangkan pelajaran membaca
dan menulis diberikan kemudian;
b. Pelajaran membaca diberikan terlebih dahulu, baru pelajaran menulis;
c.Pemakaian bahasa lisan diberikan menurut pola reseptif/produktif.37

Metode SAS juga merupakan pencerminan dari metode sebagai urutan pemberian
bahan. Dalam hal metode SAS, A.S. Broto menyatakan sebagai berikut:
-pengenalan keseluruhan secara sepintas lalu (struktural)

34
Jasir Burhan, Metode Pengajaran Bahasa Indonesia, Majalah Pembinaan Bahasa
In-donesia Jilid III No. 1 (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pen-
didikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1982), h. 5
35
Jasir Burhan, Perkembangan Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Kongres Bahasa
Indonesia III, h. 180-181
36
William Francis Mackey, Language Teaching Analysis, h. 155-156
37
Soenarko, Macam-macam Metode Bahasa dan Pengajaran Bahasa (Jakarta: De-
partemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kantor Wilayah DKI Jakarta, 1981), h.
2

16
-pengenalan atau pengamatan lebih jauh (analitik) yaitu pengenalan bagian-
bagian serta fungsi bagian-bagian keseluruhan itu
-pengenalan dan pengamatan mendalam (sintetik) menggabungkan bagian-
bagian kembali menjadi bentuk semula sehingga memahami keseluruhan
bentuk struktur.38

Pengenalan keseluruhan secara sepintas lalu merupakan aplikasi dari


asumsi bahwa manusia mengenal sesuatu dari keseluruhan (struktural). Struktur
totalitas bahasa Indonesia tergantung kepada tatanan materi. Untuk memahami
fungsi fonem, struktur totalitasnya adalah kata, bukan suku kata. Pengenalan
terhadap kalimat, bagian yang terbesarnya adalah paragraf. Untuk memahami cara
menulis misalnya sistem ejaan, struktur totalitasnya adalah teks (wacana). Untuk
memahami wacana dan buku, struktur totalitasnya adalah bab buku. Demikian
seterusnya. Perbandingan totalitas (struktur) dengan unsur analisis terdapat dalam
tabel berikut ini.
No. Totalitas (Struktur) Unsur Analisis
1. Buku Bab, Wacana
2. Bab, Wacana Paragraf
3. Paragraf Kalimat
4. Kalimat Kata
5. Kata Fonem (bunyi bahasa)
Pengamatan lebih jauh (analitik) merupakan aplikasi dari prinsip insight.
Setelah mengamati secara sepintas sebuah objek secara totalitas, manusia akan
mampu mengenal fungsi bagian-bagian (insight). Hal ini sesuai dengan prinsip
manusia yang ingin tahu (melit). Misalnya, sering terjadi setelah beberapa hari
dibelikan mainan, anak akan membongkar mainannya itu. Kebiasaan seperti ini
sebenarnya ada manfaatnya yaitu dengan proses yang terus-menerus, anak akan
terbiasa memahami unsur-unsur dari sebuah totalitas. Contoh yang lain,
sebenarnya mahasiswa semester awal secara sepintas dan totalitas sudah
memahami paragraf. Bahkan, paragraf sudah dibahas di sekolah lanjutan. Namun,
belum tentu mahasiswa memahami paragraf secara teoritis dan terperinci. Lebih
jauh lagi, belum tentu mahasiswa dapat menulis paragraf dengan baik. Untuk itu,

38
A.S. Broto, Metodologi Proses Belajar-Mengajar Berbahasa, h. 37. Contoh
aplikasinya pada belajar membaca-menulis permulaan dewasa ini bisa dilihat di
http://hrbrata.blog.plasa.com/2009/05/18/aspek-pengajaran-bahasa/

17
diperlukan adanya analisis paragraf. Dengan proses itu, mahasiswa menyadari
bahwa paragraf bukan sekedar kumpulan kalimat. Ada unsur lain yang perlu
misalnya: adanya kalimat utama, kalimat penjelas, tanda baca yang teratur, dan
disusun secara sistematis dengan penghubung antarkalimat dan kata kunci.
Pemahaman unsur-unsur ini tidak boleh lepas dari paragraf yang utuh.
Tahapan penggabungan kembali (sintetik) merupakan aplikasi dari prinsip
bahwa pemahaman terhadap sesuatu tidak cukup tanpa menggabungkan kembali
fungsi dan unsur yang sudah dipahami itu dalam hubungannya dengan struktur.
Untuk memahami hubungan unsur-unsur dari struktur, diperlukan adanya latihan
menggabungkan unsur-unsur itu menjadi kesatuan kembali secara terus-menerus.
Seorang montir yang sering membongkar-pasang mobil akan bertambah ahli
dalam pemahamannya tentang mobil.
Aplikasinya dalam belajar bahasa misalnya dalam hal penggunaan
kalimat dalam karangan pendek. Tujuan pembelajarannya adalah agar mahasiswa
dapat menggunakan kalimat dalam karangan pendek. Menurut metode SAS, yang
perlu dibaca kali pertama oleh mahasiswa adalah karangan pendek yang terdiri
dari beberapa paragraf (pengenalan struktural). Setelah dibaca sepintas, karangan
pendek itu dianalisis menjadi paragraf-paragraf. Paragraf dianalisis menjadi
kalimat-kalimat (analitik). Setelah itu, kalimat itu digabung kembali menjadi
paragraf dan paragraf menjadi karangan pendek (sintetik). Latihan dan
evaluasinya adalah mengarang langsung berupa karangan pendek, kemudian
menganalisis dan memperbaiki kembali karangan pendek itu. Dalam hal ini, titik
tekan sistem penulisan dapat diberikan pada tahap analitik dan sintetik, misalnya:
fungsi ejaan, fungsi pungtuasi, fungsi penghubung antarkalimat, dan kata kunci
agar paragraf menjadi koheren. Semua unsur ini tidak boleh lepas dari karangan
pendek.

Di bawah ini terdapat tabel contoh pemberian materi perkuliahan dengan metode
SAS.

Tujuan : Mampu menyusun makalah sederhana dengan kreatif.


Materi Pembelajaran : Unsur-unsur makalah

18
Uraian Materi : tema/topik, judul, halaman judul, pendahuluan, isi/teks,
penutup, catatan kaki/catatan dalam, bibliografi,
kutipan, fakta, data, dan opini.
Alokasi Waktu : 1x100 menit

No. Indikator Urutan Materi Keterangan


1. 1. Dapat mengetahui struk- Pengenalan sepintas terhadap Struktural
tur makalah secara pintas sebuah contoh makalah.
2. 2. Dapat menguraikan un- Penguraian unsur-unsur maka- Analitik
sur-unsur makalah; lah:
3. dapat merumuskan te-
ma/topik dan judul;
-tema/topik,
4. dapat membuat halaman -judul,
judul; -halaman judul,
5. dapat merumuskan pen- -pendahuluan,
dahuluan; -teks/isi,
6. dapat menulis teks/isi
dengan benar;
-penutup,
7. dapat merumuskan pe- -catatan kaki/catatan akhir/ ca-
nutup dengan tepat; tatan dalam
8. dapat menggunakan ca- -bibliografi (daftar pustaka)
tatan kaki/catatan da- -kutipan
lam/catatan akhir da-
lam makalah;
-fakta
9. dapat menyusun biblio- -data
grafi (daftar oustaka); -opini
10. dapat membuat kutip-
an;
11. dapat membedakan fak-
ta, data, dan opini.
3. 12. dapat menggabungkan Penggabungan kembali unsur- Sintetik
kembali semua unsur unsur tadi dengan penemuan
makalah menjadi ke-
satuan.
unsur yang baru dari contoh
makalah yang lain.
4. Penyusunan makalah oleh Evaluasi
mahasiswa.

Tujuan : Mampu mengoreksi makalah sederhana dengan benar


Materi Pembelajaran : Analisis kesalahan penyusunan makalah
Uraian Materi : Koreksi pendahuluan, isi/teks, penutup, catatan kaki,
bibliografi, kutipan, fakta, data, opini, dan tema/topik
makalah.
Alokasi Waktu : 1x100 menit

No. Indikator Urutan Materi Keterangan


1. 1. Dapat Pengenalan kesalahan ma- Struktural
mengetahui kalah sepintas terhadap

19
kesalahan makalah sebuah makalah yang sudah
yang disusun oleh disusun mahasiswa
teman secara
sepintas
2. 2. dapat menyebutkan Penguraian kesalahan da-lam Analitik
kesalahan tema/topik penyusunan:
karangan dan mengo- -tema/topik
reksinya -pendahuluan
3. . dapat menyebutkan
-teks/isi
kesalahan pandahu-
luan dan mengo-
-penutup
reksinya -catatan kaki/catatan
4. dapat menyebutkan akhir/catatan dalam
kesalahan teks/isi -bibliografi (catatan kaki)
dan mengoreksinya -kutipan
5. dapat menjelaskan -fakta
kesalahan penutup -data
dan mengoreksinya -opini
6. dapat menyebutkan
kesalahan catatan
kaki dan
mengoreksinya
7. dapat menyebutkan
kesalahan kutipan
dalam makalah dan
mengoreksinya
8. dapat membedakan
fakta/data dengan
opini dan mengo-
reksinya.

3. 9. dapat Penyusunan kembali ma- Sintetik


mengoreksi dan kalah dan menemukan ke-
menyusun kem-bali salahan serta memper-
makalah yang salah baikinya.
4. Penyusunan makalah Evaluasi

Tujuan : Dapat menulis paragraf dengan baik.


Materi Pembelajaran : Unsur-unsur paragraf
Uraian Materi : kalimat utama dan kalimat penjelas, konjungsi
antarkalimat, kata kunci, kata ganti, kalimat sumbang,
kerangka paragraf
Alokasi Waktu : 1x100 menit

No. Indikator Urutan Materi Keterangan


1. 1. Dapat mengenal Pengenalan sepintas sebuah Struktural
para-graf paragraf induktif/deduktif
induktif/deduktif
secara sepintas;

20
2. 2. dapat membuat Penguraian paragraf menjadi Analitik
ke-rangka paragraf; unsur paragraf:
3. dapat
merumuskan kalimat
-kerangka paragraf
utama dari pikiran -pikiran utama
utama; -pikiran penjelas
4. dapat -kalimat utama
merumuskan ka-limat -kalimat penjelas
penjelas dari pikiran
penjelas;
-konjungsi antarkalimat
5. dapat -kata kunci
menggunakan kalimat -kata ganti
utama dalam paragraf; -kalimat sumbang
6. dapat
menggunakan kalimat
penjelas da-lam
paragraf;
7. dapat
menyebutkan ca-ra
penggunaan kon-
jungsi antarkalimat
dalam paragraf;
8. dapat menggunakan
kata kunci dalam
penyusunan paragraf;
9. dapat
menggunakan kata
ganti dalam pa-ragraf;
10. dapat mengenal
kali-mat sumbang
dalam paragraf;

3. 11. dapat menyusun Penyusunan kembali paragraf Sintetik


kem-bali paragraf tersebut dengan penekanan un-
induk-tif/deduktif
dengan memperhatikan
sur yang lain.
ke-rangka paragraf,
kon-jungsi
antarkalimat, kata
kunci, kata ganti, dan
lain-lain.

4. Pencarian paragraf di media Evaluasi


cetak/buku teks untuk diurai-
kan unsur-unsurnya

Tujuan : Dapat menggunakan kalimat efektif dan memperbaiki


kalimat yang tidak efektif serta dapat mengaplikasi-
kannya dalam karangan.
Materi Pembelajaran : Syarat dan ciri kalimat efektif
Uraian Materi : kesatuan gagasan, keparalelan, koherensi, kehematan,
dan ketegasan, dan ejaan

21
Alokasi waktu : 1x100 menit
No. Indikator Urutan Materi Keterangan
1. 1. Dapat mengenal ka- Pengenalan sepintas beberapa Struktural
limat efektif/tidak kalimat efektif/kalimat tidak
efektif dalam ka- efektif dalam karangan/wacana.
rangan/wacana se- Bisa juga mengenal para-
cara sepintas;
graf/wacana, misalnya: skripsi
atau makalah yang mengandung
kalimat tidak efektif
2. 2. Dapat menyebutkan Penguraian kalimat yang efek- Analitik
ciri kalimat efek- tif/tidak efektif:
tif; -kesatuan gagasan
3. Dapat menyebutkan -diksi
ciri kalimat tidak
-keparalelan
efektif;
4. Dapat memperbaiki
-koherensi
kalimat tidak -kehematan
efek-tif; -ketegasan
-ejaan
3. 5. Dapat membuat ka- Penyusunan kembali kalimat Sintetik
limat efektif dan yang tidak efektif dan mencari
mengaplikasikan- bentuk kalimat efektif yang lain
nya dalam karangan dengan kreatif.
4. Penyusunan karangan dengan Evaluasi
memerhatikan kalimat efektif

Kompetensi Utama : Mahasiswa dapat menggunakan pungtuasi dalam


karangan
Materi Pembelajaran : Pungtuasi dan ejaan
Uraian Materi : Pungtuasi (titik, koma, titik-koma, titik-dua dst.)
Penulisan kata, penulisan angka, huruf, dll.
Alokasi Waktu : 1x 100 menit
No. Indikator Urutan Materi Keterangan
1. 1. Dapat mengenal Pengenalan sepintas sebuah Struktural
karangan dengan karangan/paragraf
membaca cepat;
2. 2. dapat menyusun Penguraian karangan: Analitik
paragraf; -paragraf
3. dapat membuat ka- -kalimat
limat efektif dalam -tanda baca
paragraf; -huruf
4. dapat menggunakan
-penulisan kata
tanda baca dalam
kalimat;. -penulisan angka
5. dapat menulis kata

22
dalam kalimat de-
ngan benar;
6. dapat menggunakan
huruf dalam kali-
mat dengan benar;
7. dapat menulis ang-
ka dalam kalimat;
3. 8. dapat menyusun Penyusunan kembali karangan Sintetik
karangan dengan yang sudah dianalisis dan men-
memerhatikan un- cari karangan lain dengan krea-
sur-unsur para- tif
graf, kalimat, tan-
dan baca, huruf,
penulisan kata,
dan penulisan
angka
4. Penyusunan karangan dengan Evaluasi
memerhatikan sistem ejaan.

E. Penutup
Pendekatan psikologi Gestalt dan metode SAS dapat diaplikasikan pada
setiap bidang studi dan jenjang pendidikan. Namun, tentu saja banyak faktor yang
perlu diperhatikan, misalnya untuk belajar membaca-menulis permulaan di
pedesaan, SAS belum dapat digunakan. Dasar asumsinya bahwa di desa sebagian
besar anak belum menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.
Sebaliknya, ada alasan yang logis bahwa pendekatan dan metode ini sesuai
digunakan pada mata kuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Asumsinya,
mahasiswa sudah mengenal semua materi secara sepintas ketika duduk di bangku
sekolah lanjutan. Yang belum mereka kuasai adalah keterampilan bahasa. Dengan
demikian, yang perlu dipertajam dan diperkaya adalah tahap analitik-sintetik
terhadap struktur bahasa. Titik-tekannya adalah supaya peserta didik dapat me-
nguasai semua keterampilan bahasa, bukan materi kebahasaan.(rag)
Wa Allh alam bi al-sawb.

*)Drs. Ramlan Abdul Gani, M.A. adalah Lektor pada Fakultas


Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

23
F. Bibliografi

A. Black, Arno, ed., Linguistics and the Teaching of Reading, New York: Mc.
Graw-Hill Inc., 1961

Allen, Harold B., ed., Teaching English as Second Language, New York: Mc.
Graw-Hill Book Co., 1965

Andria, Deddy, Metode Pengajaran Bahasa untuk SD artikel diakses pada 28


Januari 2010 dari http://deddyandria.wordpress.com/2009/08/09metode-
pengajaran-bahasa-untuk-sd/

Brata, H.R., Aspek Pengajaran Bahasa artikel diakses 26 Januari 2010 dari
http://hrbrata,blog.plasa.com/2009/05/18/aspek-pengajaran-bahasa/

Broto, A.S., Metode Struktural Analitik Sintetik Majalah Ilmu dan Budaya
Edisi III, Tahun II/April 1980, Jakarta: Universitas Nasional

--------, Metodologi Proses Belajar-Mengajar Berbahasa, Solo: Tiga Serangkai,


1982

Burhan, Jasir, Metode Pengajaran Bahasa Indonesia, Majalah Pembinaan


Bahasa Indonesia Jilid III No. 1, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pe-
ngembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 1982

-------, Perkembangan Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Kongres Bahasa


Indonesia III, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983

Dardjowidjojo, Soenjono, Perkembangan Linguistik di Indonesia, Jakarta: Arcan,


1985

Drever, James, A Dictionary of Psychology, England: Pinguin Books Ltd.,


Harmondsworth Middlex, 1974

Humam, Asad, K.H., Buku Iqro Cara Cepat Belajar Membaca Al-Quran,
Yogyakarta: Team Tadarus AMM Balai Litbang LPTQ Nasional 1990

Kasiram, Moh., Ilmu Jiwa Perkembangan, Bagian Ilmu Jiwa Anak, Surabaya:
Usaha Nasional, 1983

Kentjono, Djoko, ed., Dasar-dasar Linguistik Umum, Jakarta: Fakultas Sastra


Universitas Indonesia, 1983

24
Keraf, Gorys, Komposisi, Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Flores: Nusa
Indah, 1980

--------, Tatabahasa Indonesia, Ende, Flores: Nusa Indah, 1984

Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik Edisi II, Jakarta: PT Gramedia, 1983

Lado, Robert, Language as Scientific Approach, New Delhi: Mc. Graw-Hill


Publishing Co., 1976

Liebert, Burth, Linguistic and The New English Teacher, New York: Macmillan
Publishing Co., 1971

Mackey, William Francis, Language Teaching Analysis, London: Longsman


Greends and Co. Ltd., 1974

Massofa, Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik), artikel diakses pada 27


Januari 2010 dari http://massofa.wordpress.com/2008/06/29/metode-sas-
struktural-analitik-sintetik/

Morse, William C. dan G. Wingo, Psychology and Teaching, Chicago-Atlanta-


Dallas-Pallo Alto-Fair Lawn, N.J.: Scott Forestman and Co., 1962

Robert, Paul, Understanding English, New York, Evanston, and London: Harper
and Row Publishers, 1958

Rusyana, Yus dan Samsuri, ed., Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia,


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983

Simbiak, Festus, Pengaruh Penggunaan Metode SAS Simplifikasi terhadap Ke-


mampuan Membaca Permulaan Murid-murid Kelas Satu Sekolah Dasar di
Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak-Numfor artikel diakses pada 28
Januari 2010 dari http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?
mod=brows&op=read&id=ijptuncen-gdl-res-1994-festus-1138 membaca

Sobary, T.Y., Materi Pelajaran Bahasa Indonesia, Jakarta: Aries Lima, 1986

Soenarko, Macam-macam Metode Bahasa dan Pengajaran Bahasa, Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kantor
Wilayah DKI Jakarta, 1981, h. 2

Sudjiman, Panuti, Pengajar dan Perencanaan Pengajaran Bahasa, Makalah


Diskusi Panel Masalah Pendidikan Guru Bahasa, FPBS IKIP Jakarta, 1986

25
Tarigan, Henry Guntur, Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa,
Bandung: Angkasa, 1985

Tarmizi, Penerapan Metode Pembelajaran Membaca Permulaan artikel diakses


pada 26 Januari 2010 dari
http://tarmizi.wordpress.com/2008/12/02/penerapan-metode-
pembelajaran-membaca-permulaan/

Oka, I Gusti Ngurah, Problematika Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia,


Surabaya: Usaha Nasional, 1974

Wojowasito, S., Perkembangan Ilmu Bahasa (Linguistik) Abad ke-20 sebagai


Pengajaran Bahasa (Hidup), Bandung: Shinta Dharma, 1976

Y., Budinuryanta, Pengajaran Keterampilan Berbahasa, Jakarta: Universitas


Terbuka, 2008

26
7 s.d. 10 termasuk halaman judul.

kertas A-4

Margin 4-4-3-3 cm

2 spasi

huruf times newroman 12

27
Nasution (1999:21) menyatakan

bahwa

Nasution, Harun. 1999.

---------------

28

Anda mungkin juga menyukai