Anda di halaman 1dari 17

Tinjauan Pustaka

DERMATITIS ATOPIK

Oleh:
Ida Bagus Putra Ambara
1070121013

Pembimbing:
dr. Romy W, M.sc, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF


ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD SANJIWANI GIANYAR
2015

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah suatu peradangan kulit pada epidermis dan dermis sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa polimorfik.
Pada anak dan bayi sangat rawan terjadi peradangan kulit, salah satunya yang sering terjadi pada
bayi adalah dermatitis atopic. Dermatiis atopic (DA) adalah peradangan kulit kornis residif
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak, sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya.
Dermatitis Atopik infantil paling sering muncul pada tahun kehidupan, biasanya setelah usia 2
bulan. Lesi awal mulai di muka (dahi,pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena
gatal, pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta.

Banyak istilah lain dipakai sebagai sinonim DA yaitu eczema atopic, eczema konstitusional,
eczema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo besnier. Tetapi, yang paling sering
digunakan adalah dermatitis atopi. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh coca (1923), yaitu
istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya asma bronkial, rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan
konjungtivitis alergi.

Di Negara-negara maju seperti amerika serikat, eropa, jepang, Australia prevalensi dermatitis
atopic meningkat. Saat ini diperkirakan bahwa 10-20% anak-anak dan 1-3% orang dewasa di
Negara-negara maju yang terkena. Pada bayi dengan usia 6 bulan pertama ditemukan sekitar
45% kasus, 60% pada tahun pertama dan 85% sebelum usia 5 tahun. Anak-anak dengan
dermatitis atopic berisiko tinggi untuk mengalami Asma dan Rhinitis. Dermatitis Atopik
cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan
mengalami dermatitis atopi pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua
menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun,
dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi.

Mendiagnois dermatitis Atopi didasarkan kriteria yang disusun oleh hanifin dan rajka yang
diperbaiki oleh kelompok kerja dari inggris yang dikoordinasi oleh William adapun kriterianya
meliputi kriteria mayor dan minor. Untuk penatalaksanaan dengan farmakologi dan non
farmakologi

Dalam tinjauan pustaka ini, tujuan kami untuk mengklarifikasi dan meninjau penatalaksanaan
dermatitis atopic dari segi farmakologi dan non farmakologi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dermatitis Atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai rasa
gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita.
Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang mudah kambuh dimulai pada tahun pertama
kehidupan, tetapi mempengaruhi pasien dari segala usia.

Dermatitis atopi sering juga disebut dengan eksim atopi. Anak dengan dermatitis atopi
dapat mempengaruhi kondisi secara keseluruhan dari fisik, emosional, gangguan tidur,
penurunan kinerja di sekolah dan socialnya.

2.2 Epidemiologi

Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi dermatitis atopi makin meningkat


sehingga merupakan masalah kesehatan yang besar. Prevalensi terkenanya dermatitis atopi
menurut penelitian sekitar 10% sampai 20% terjadi pada decade pertama kehidupan, dan
paling umum lebih sering terkena pada anak-anak. Saat ini diperkirakan bahwa 10-20%
anak-anak dan 1-3% orang dewasa di Negara-negara maju yang terkena. Dermatitis atopi
sering dimulai pada awal masa bayi sekitar 45% dari semua kasus dalam 6 bulan pertama
kehidupan, 60% pada 1 tahun pertama, dan 85% sebelum usia 5 tahun. Sampai dengan 70%
dari anak-anak ini menjadi dermatitis atopi sampai remaja. Anak-anak dengan dermatitis
atopi mempunyai risiko untuk menderita asma dan rhinitis alergi, selain itu, anak-anak yang
memiliki dermatitis atopi yang menderita Asma dan rhinitis alergi lebih memungkinkan
menderita penyakit kronis.

Dermatitis alergi cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi maka lebih dari
seperempat anaknya akan menderita dermatitis pada 2 bulan pertama. Bila salah satu orang
tua menderita atopi maka lebih dari separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun
dan bila kedua orang tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75%.

2.3.Etiopatogenesis

Pathogenesis dermatitis atopi tidak sepenuhnya diketahui namun penyakit ini dipengaruhi
oleh multifactorial, seperti faktor genetik, imunologi, lingkungan, sawar kulit dan
farmakologi. Konsep dasar terjadinya dermatitis atopi adalah melalui reaksi imunologi.
Anak dengan dermatitis atopi ditemukan gejala pruritus, tanpa pruritus diagnosis
dermatitis atopi tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki
reseptor di dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal
sensorik yang selanjutnya diteruskan ke thalamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan
rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri.
Sebagian pathogenesis dermatitis atopi dapat dijelaskan secara imunologi dan non
imunologi.

a. Reaksi imunologi

Sebagian besar anak dengan dermatitis atopi mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rhinitis alergi, atau dermatitis atopi. Sebagian
besar anak dengan dermatitis atopi terdapat peningkatan kadar IgE total dan
eosinophil di dalam darah. Anak dengan dermatitis atopi terutama yang moderat dan
berat akan berlanjut dengan asma dan rhinitis alergika di kemudian hari.

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi
inflamasi penderita dengan dermatitis atopi. Pada lesi yang akut ditandai dengan
kadar interleukin (IL-4, IL-5, dan IL-3) yang tinggi sedangkan pada yang kronis
ditandai dengan kadar interleukin (IL-4 dan IL-3) yang lebih rendah, tetapi kadar IL-
5, GM-CSF, IL-12 dan interferon lebih tinggi dibandingkan pada dermatitis atopi
akut.

Mediator mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah
vasoaktif amin, seperti histamine, kinin, bradikinin, leukotriene, prostaglandin, dan
sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa penatalaksanaan dermatitis atopi,
walaupun antihistamin yang sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu bagus
dan sampai saat ini masih banyak pendapat tentang pemberian antihistamin pada
dermatitis atopi.

Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNFa dan sitokin pro inflammatory
lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas dermatitis atopi
dan bertambah beratnya eksema.

b. Reaksi non imunologi


Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada dermatitis atopi antara lain
adanya faktor genetic, yaitu kulit dermatitis atopi yang kering (xerosis). Kekeringan
kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan
detergen yang berasal dari sabun. Kulit kering akan menyebabkan nilai ambang rasa
gatal menurun, sehingga dengan rangsangan ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.

2.4 Manifestasi klinis

Gejala utama dermatitis atopi adalah gatal (pruritus) dapat hilang timbul sepanjang hari,
tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Dermatitis atopi dapat dibagi menjadi tiga
fase, yaitu : dermatitis atopi infantil terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun, dermatitis
atopi pada anak usia 2 tahun sampai 10 tahun, dan dermatitis atopi pada remaja dan dewasa.

a. Secara klinis pada dermatitis atopi infantile berbentuk dermatitis akut eksudatif
dengan predileksi daerah kulit kepala, wajah, leher, pada permukaan ekstremitas
ekstensor dan badan.lesi yang paling menonjol adalah vesikel dan papula, serta krusta
dan terkadang infeksi sekunder

Gambar. Dermatitis atopic pada bayi


b. Pada dermatitis atopi anak sering kali merupakan kelanjutan bentuk dari infatil,
walaupun diantaranya terdapat suatu periode rimisi. Predileksinya adalah pada lipatan
permukaan ekstremitas fleksi, leher, pergelangan tangan, dan ankle. Gejala klinis
ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat kronik.
Gambar Dermatitis Atopi pada anak
c. Pada dermatitis atopi remaja dan dewasa, dapat berupa plak papula eritematosus dan
berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Biasanya pada daerah lipatan permukaan
ekstremitas, tangan dan kaki.

Table manifestasi klinis pada dermatitis atopi


Pada bayi (0 sampai 2 tahun
- Pada permukaan ekstensor ekstremitas
- Pada wajah ( dahi, pipi, dagu )
- Leher
- Kulit kepala
- Badan

pada anak-anak ( 2 tahun sampai pubertas )


- permukaan fleksi ekstremitas
- leher
- pergelangan tangan, pergelangan kaki
Masa remaja / dewasa
- permukaan fleksi ekstremitas
- tangan, kaki

2.5 Diagnosis
Hanifin dan lobitz (1977) menyusun petunjuk yang sekarang diterima sebagai dasar untuk
menegakkan diagnosis Dermatitis Atopi mereka mengajukan berbagai macam kriteria yang
dibagi dalam kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria minimal untuk menegakkan
diagnose Dermatitis atopi meliputi pruritus dan kecenderungan dermatitis untuk menjadi
kronik atai kronik residif dengan gambaran morfologi dan distribusi yang khas. Dermatitis
atopi dikenal sebagai gatal yang meninmbulkan kelainan kuli, bukan kelainan kulit yang
menimbulkan gatal. Tetapi belum ada kesepakatan pendapat mengenai hal ini, karena pada
pengamatan, lesi di muka dan punggung bukan diakibatkan oleh garukan, selin itu
dermatitis juga terjadi pada bayi yang belum mempunyai mekanisme gatal dan garuk

Adapun kriteria mayor dan minor menurut hanifin dan lobitz sebagai berikut
Kriteria mayor :
- pruritus
- dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- dermatitis di fleksura pada dewasa
- dermatitis kronis atau residif
- riwayat atopi pada penderita atau keluarga

Kriteria minor

- xerosis
- Infeksi kulit ( khususnya oleh streptococcus aureus dan virus herpes simpleks )
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis piliaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papilla mamae
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital dennie-morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritema
- Gatal bila berkeringat
- Intoleransi terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikuler
- Hipersensitifitas terhadap makanan
- Perkalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini
Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa :
- Riwayat atopi pada keluarga
- Dermatitis di muka atau ekstensor
- Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor :

- Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris
- Aksentuasi perifolikular
- Fisura belakang telinga
- Skuama di kulit kepala kronis

Gambar. Dermatitis atopi pada anak

Selaim dari kriteria yang ditentukan oleh hanifin dan lobitz, terdapat juga kriteria
berdasarkan the NICE guidelines untuk mendiagnosis fitur khusus untuk anak-anak memiliki
keluhan kulit gatal ditambah 3 hal sebagai berikut :
- Dari pengelihatan ditemukan dermatitis pada lipatan ekstremitas fleksi (atau
dermatitis terlihat pada pipi dan atau daerah ekstensor di anak < 18 bulan)
- Memiliki riwayat kulit kering
- Memiliki riwayat kulit kering dalah 12 bulan terakhir
- Memiliki riwayat asma atau rhinitis alergi ( atau riwayat penyakit atopi pada
tingkat relatif pertama anak <4 tahun )
- Timbul tanda-tanda dan gejala di bawah usia 2 tahun

2.6 Diagnosis banding


Dermatitis atopi memiliki diagnosis banding sebagai berikut :
1. Kondisi kulit lainnya :
a. Dermatitis kontak
b. Dermatitis seboroik
c. Proriasis
2. Infeksi

a. Scabies
b. impetigo

3. Metabolic dan gizi kurang


a. Phenylketonuria
b. Zinc deficiency
4. Sindrom immunodeficiency dengan manifestasi kulit
a. Wiskott-aldrich syndrome
b. Severe combined immunodeficiency syndrome with omenns syndrome
c. Immune dysregulation, polyemdocrinopathy, enteropathy, X-linked
d. Graft vs. host disease
e. Dermatitis herpetiformis
5. Malignansi
a. T-cell lymphoma

2.7 Penatalaksanaan
Dermatitis atopi umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi penyakit ini dapat dikontrol.
Sebagian besar penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya usia.
Pengobatan dermatitis atopi mencakup pengobatan farmakologi dan non farmakologi. Tujuan
dari melakukan penatalaksanaan pada penyakit dermatitis atopi adalah untuk mencegah
kerusakan kulit dan terjadinya eksim yang kronis dengan cara mengurangi gejala minor
supaya tidak mengganggu keseharian dan tidak terjadi berlarut-larut. Pengobatan
farmakologis bisa melalui topikal maupun oral yang bertujuan untuk mengurangi kejadian
bangkitnya dermatitis atopi yang ditandai dengan gatal, kemerahan, papul, dan likenifikasi.
Pengobatan non farmakologis membantu untuk mengurangi terjadinya bangkitan ulangan
dari dermatitis atopi melalui edukasi, menghindari faktor risiko, terapi cahaya, imunoterapi
dan diet nutrisi.

Tabel. Perencanaan Penanganan Dermatitis atopi

1. Pengobatan Farmakologi
A. Pengobatan Topikal
a. Hidrasi Kulit
Kulit penderita Dermatitis Atopi kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme pathogen,
bahan iritan dan allergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab,
misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison 1%
di dalamnya. Setelah mandi kulit di lap, kemudian memakai emolien agar
kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama
kerjanya maksimum 6 jam.
b. Kortikosteroid topikal
Pengobatan dengan kortikosteroid topikal merupakan lini pertama terapi untuk
dermatitis atopik. Obat ini bertindak pada berbagai sel imun, termasuk
Limfosit T, monosit, makrofag, sel dendritik. Kortikosteroid bekerja menekan
pengeluaran sitokin inflamasi dan sangat efektif mengendalikan bangkitan
dermatitis atopi sebagai antiinflamasi, antiproliferatif, imunosupresif, dan
vasokontriksi.
Pada bayi digunakan salep steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison
1%-2,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah,
misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid berpotensi lebih
rendah.
Kortikosteroid digunakan dalam jangka panjang memiliki efek samping lokal
yaitu striae, petekie, telangiectasia, penipisan kulit, atrofi dan jerawat. Namun
ini jarang terjadi pada jenis kortikosteroid yang potensi rendah dan sedang.
Efek samping lainnya yang bersifat sistemik dengan kortikosteroid topikal
jarang terjadi, tetapi menurut penelitian dapat menghambat pertumbuhan
anak, kepadatan tulang berkurang, dan penekanan hipotalamus-
pituitaryadrenal.
Menurut hasil studi menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal bermanfaat
untuk profilaksis dermatitis atopi, dan setelah dermatitis atopi stabil,
penambahan pemberian fluticasone (0,05% krim atau 0,005% salep) dua kali
seminggu dan ditambahkan dengan emolien memberikan hasil yang signifikan
dapat mengurangi risiko kekambuhan dermatitis atopi. Selain itu studi terbaru
menemukan bahwa methylprednisolone dua kali seminggu (0,1% krim)
ditambah emolien dapat mengurangi risiko kekambuhan dan meningkatkan
status pasien secara keseluruhan.

Tabel. Jenis potensi obat kortikosteroid topikal untuk penatalaksanaan


dermatitis atopi

c. Inhibitor Kalsineurin Topikal


Inhibitor kalsineurin topikal adalah obat imunosupresan yang juga telah
terbukti efektif untuk pengobatan dermatitis atopi. Dua jenis obat yang sering
digunakan adalah trakrolimus (protropic) dan pimekrolimus (Elidel), menurut
studi di kanada obat ini digunakan sebagai lini kedua. Obat ini bekerja dengan
cara menghalangi produksi dan pelepasan sitokin proinflamasi.
- Takrolimus
Suatu penghambat calcineurin. Dapat diberikan dalam bentuk salep
0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat
dalam dermatitis atopi, yaitu sel Langerhans, sel T, sel mas, dan
keratinosit.
- Pimekrolimus
Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu
imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari
hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomycetus. Cara kerja
sangat mirip dengan siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari
Streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur
kimianya, yaitu bekerja sebagai pro drug, yang baru aktif bila terikat pada
reseptor sitosolik imunofilin.
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi
1%, cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari.
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak-anak usia kurang
dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus
dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa
kedua obat tersebut berpotensi menyebabkan kanker kulit. Berdasarkan hasil
penelitian secara umum menyebabkan kulit terbakar dan iritasi. Selain itu
dilaporkan obat tersebut menyebabkan keganasan kulit dan limfoma namun
kasusnya jarang.
d. Antihistamin
Obat ini dapat memberikan beberapa manfaat sederhana untuk mengurangi
alergi. Antihistamin generasi pertama ( misalnya, hydroxyzine,
depenhidramine, klorfeniramin ) memiliki efek untuk meningkatkan tidur
pada pasien, sehubungan oleh hal tersebut obat ini digunakan jangka pendek
untuk pengobatan kekambuhan pada pasien yang mengalami kesulitan tidur
atau menggaruk pada saat tidur. Namun penggunaan pada siang hari harus
dihindari karena efek sedarif. Antihistamin generasi kedua memiliki efek yang
terbatas pada pasien dermatitis atopi. Tetapi menurut penelitian pengobatan
dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitisasi pada kulit.
B. Pengobatan Sistemik
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi
akut dalam jangka pendek, dan dosis yang rendah, diberikan berselang seling
atau diturunkan bertahap kemudian segera diganti dengan kortikosteroid
topikal. Pemakaian dalam jangka panjang dapat menyebabkan efek samping
dan bila dihentikan akan menyebabkan lesi lebih berat.
b. Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat
terutama pada malam hari, sehingga mengganggu tidur pasien. Oleh karena itu
antihistamin yang digunakan adalah yang sedative. Pada kasus yang lebih sulit
dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan
memblokade reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10 75 mg secara
oral malam hari pada orang dewasa.
c. Anti infeksi
Pada dermatitis atopi ditemukan peningkatan koloni S. Aureus. Untuk yang
belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritromisin,
sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin atau
generasi pertama sefalosporin. Bila dicurigai infeksi virus herpes simpleks
kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3
kali per hari selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari.
d. Interferon
Diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel
TH2. Pengobatan dengan interferon rekombinan memberikan hasil yang baik,
karena dapat menurunkan jumlah eosinophil total dalam sirkulasi
e. Siklosporin A
Dermatitis Atopi yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat
diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis yang
dianjurkan adalah 3-5 mg/kg/hari dan efek dari obat ini dapat dilihat setelah 6
sampai 8 minggu pengobatan. Siklosporin adalah obat imunosupresif yang
kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin ( suatu
protein intraseluler ) menjadi satu kompleks yang menghamban calcineurin
sehingga transkripsi sitokin ditekan. Efek samping dari obat ini peningkatan
kreatini dalam serum, penurunan fungsi ginjal, nefrotoksisitas,
hyperlipidemia, hipertensi, hipertrikosis, hyperplasia gingiva, dan keganasan.
Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya
akan kambuh lagi. Menurut penelitian oleh harper dan rekannya menunjukkan
86% mengalami peningkatan aktivitas dari penyakit dan keparahan dalam
waktu penghentian selama 9 bulan.
f. Azathioprine
Azathioprine memiliki onset lebih lambat, dosis yang diberikan 1-3
mg/kg/hari.
C. Terapi Sinar (phototerapi)
Pengobatan menggunakan lampu sinar ultraviolet (UVA dan UVB) pada
dermatitis atopi sudah dilakukan sejak 1940an. Pada dermatitis atopi yang berat
dan luas dapat digunakan PUVA (photochemoterapy). Kombinasi UVB dan UVA
lebih baik digunakan daripada hanya dengan UVB saja. UVA bekerja pada sel
Langerhans dan eosinophil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif
dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin
keratinosit.
Secara umum fototerapi digunakan pada anak-anak yang lebih tua dengan tahap
dermatitis atopi kronis. Foto terapi hanya boleh digunakan pada anak-anak ketika
terapi lainnya gagal, dan pemberiannya secara hati-hati dengan pengawasan
dokter spesialis dalam bidangnya.

2. Pengobatan Non Farmakologi


a. Edukasi
Pendidikan kepada pasien bertujuan untuk pemberdayaan dalam manajemen diri,
meningkatkan kepatuhan pasien untuk penggunaan emolien dan pengobatan secara
topikal. Keterlibatan orang tua dan anak dalam manajemen dan mendemontrasikan
cara pemberian obat menentukan prognosis dan kekambuhan penyakit.
b. Menghindari Allergen
Upaya untuk mengendalikan paparan allergen dan iritasi, seperti keringat, pasir dan
debu, atau bahan iritan dikatakan dapan menurunkan angka kekambuhan dari
dermatitis atopi
c. Imunoterapi
Sebuah penelitian dengan memberikan imunoterapi kepada pasien dengan dermatitis
atopi menunjukkan perbaikan.
d. Diet dan nutrisi
Alergi makanan telah dilaporkan sekitar 33-63% anak-anak dengan dermatitis atopi
ditemukan. Edukasi kepada keluarga pasien untuk mengurangi konsumsi makanan
yang menyebabkan allergen.
e. Vitamin D
Menurut sebuah studi kecil, vitamin D bermanfaat dalam dermatitis atopi. Peran sinar
matahari mensintesi vitamin D yang dikaitkan dengan fototerapi. Selain harganya
yang murah dan relatif aman diberikan.

2.8 Prognosis
Sulit diramalkan prognosis dermatitis atopi pada seseorang, tetapi umumnya prognosis
pada sebagian besar anak-anak tumbuh sampai remaja dengan gejala yang ringan
prognosis baik. Namun pasien dengan gejala klinis yang berat, luas penyakit dan kondisi
atopi seperti asma dan rhinitis alergi, cenderung mengalami hasil yang buruk.

BAB III
KESIMPULAN

Dermatitis Atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai rasa gatal,
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Penyakit ini
merupakan penyakit kronis yang mudah kambuh dimulai pada tahun pertama kehidupan, tetapi
mempengaruhi pasien dari segala usia. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak.
Dermatitis alergi cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi maka lebih dari
seperempat anaknya akan menderita dermatitis pada 2 bulan pertama. Bila salah satu orang tua
menderita atopi maka lebih dari separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun dan bila
kedua orang tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75%. Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah gatal, dapat hilang timbul sepanjang hari, selain itu adanya eritema, papulo
vesikel yang halus. Untuk mendiagnosis dengan menggunakan kriteria mayor dan minor.
Penatalaksanaan pasien dengan dermatitis atopi mencakup pengobatan farmakologi dan non
farmakologi. Prognosis Sulit diramalkan prognosis dermatitis atopi pada seseorang, tetapi
umumnya prognosis pada sebagian besar anak-anak tumbuh sampai remaja dengan gejala yang
ringan prognosis baik. Namun pasien dengan gejala klinis yang berat, luas penyakit dan kondisi
atopi seperti asma dan rhinitis alergi, cenderung mengalami hasil yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Leung, TNH, Chow CM, Luk DCK, et al. Clinical Guidelines on management of atopic
dermatitis in children, HK J Paediatr (new series) 2013;18:96-104
2. C Andrew, Krakowski, MD et.al. Topical Therapy in Pediatric Atopic Dermatitis.
Elsevier.2008 27:161-167
3. Watson, W and Kapur S. Atopic Dermatitis.allergy, Asthma & clinical immunology
2011,7(suppl 1): 54
4. Peter A. Lio. Non-Pharmacology Therapies for Atopic Dermatitis. Clinical dermatology
& Pediatrics, northwestern University Feinberg School of medicine. 2013

Anda mungkin juga menyukai