Anda di halaman 1dari 16

Refarat

HERPES GENITALIA

Tugas ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Kulit & Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Langsa

Disusun Oleh :
NUR AZIZAH HASIBUAN

Pembimbing :
dr. Mainiadi, Sp.KK

SMF KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SUMATRA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Herpes genitalia merupakan infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer
terlokalisir, laten dan adanya kecendrungan untuk kambuh kembali. Kata herpes
dapa diartikan sebagai merangkak atau maju perlahan (creep or crawl) untuk
menunjukkan pola penyebaran lesi kulit. Infeksi herpes genetalia adalah suatu
penyakit infeksi pada genital yang disebabkan oleh HSV. Ada dua tipe antigenik
mayor dimana HSV-I berhubungan dengan infeksi pada wajah dan HSV-II
behubungan dengan infeksi pada genital. Terjadi peningkatan insiden pada dua
dekade ini terutama pada remaja yang sering berganti pasangan pada status
sosioekonomi rendah dan pada golongan dengan risiko terinfeksi HIV. Pada
daerah yang padat penduduknya atau di negara berkembang lebih dari 50% anak-
anak mempunyai antibodi terhadap HSV sampai usia 5 tahun. Tetapi hal ini
berbeda dengan kelompok dengan sosioekonomi yang lebih tinggi dengan insiden
yang lebih rendah. Infeksi tipe II lebih sering terjadi pada masa setelah pubertas
dengan penularan melalui kontak seksual. Rata-rata angka kejadian infeksi HSV
sukar untuk diperkirakan karena sebaian besar bersifat subklinis. Herpses
simpleks genetalis ditularkan melalui kontak seksual, dan mengenai organ-organ
seks tubuh seperti vagina dan daerah sekitarnya atau melalui aktivitas seksual
oral. Sebagian infeksi dengan HSV-II akan terjadi kekambuhan jika infeksi utama
bersifat subklinis atau asimtomatis meskipun tingkat rekurensi bervariasi diantara
individu, dikatakan bahwa kekambuhan pada HSV-II teruji 6 kali lebih sering
daripada HSV-I. Rekurensi cendrung lebih sering terjadi pada bulan pertama atau
tahun pertama setelah infeksi awal. Oleh sebab itu herpes simpleks genetalis
merupakan salah satu infeksi menular seksual yang sering menjadi masalah terkait
dengan penyakitnya yan sukar disembuhkan, angka rekurensi yang tinggi juga
karena penularan penyakit ini yang dapat terjadi pada penderita tanpa gejala atau
asimtomatis. Penegakan diagnosis penyakit ini dapat dilakukan melalui anamnesa,
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan penunjang lainya. Penting untuk dapat
melakukan diagnosis dengan benar serta penatalaksanaan yang tepat pada
penderita herpes simpleks genetalis. Pengobatan secara dini dan tepat memberikan
prognosis yang baik, yaitu masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi
lebih jarang.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes
hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di
atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah mukokutan, sedangkan
infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.

Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Infeksi primer


oleh Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak,
sedangkan Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe II biasanya terjadi pada dekade II
atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.3

Infeksi primer HSV-I biasanya terjadi pada anak dan subklinis pada 90%
kasus, biasanya ditemukan perioral. Pada 10% sisanya, dapat terjadi
gingivostosmatitis akut. Infeksi primer HSV-II terjadi setelah kontak seksual pada
remaja dan dewasa, meyebabkan vulvovaginitis akut dan atau peradangan pada
kulit batang penis.3

2.2 SINONIM

Fever blister
Cold sore
Herpes febrilis
Herpes labialis
Herpes progenitalis (genitalis).2
2.3 EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan ada 536 juta orang yang berusia 15-49 tahun yang terinfeksi
HSV-II di seluruh dunia pada tahun 2003 sekitar 16% dari populasi dunia pada
rentang usia tersebut. Prevalensi penyakit ini lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pada pria dan umumnya lebih tinggi di negara berkembang daripada
di negara maju.3

Dari data klinik penyakit mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut FKG UI dan
Unit Pelayanan Fungsional Gigi dan Mulut RSCM pada tahun 2000-2001
dijumpai 25 kasus stomatitis herpetika, 5 diantaranya merupakan infeksi primer
dan sisanya infeksi rekuren yang terdiri dari 1 herpes labialis rekuren dan 14
herpes intra oral rekuren. Prevalensi HSV-2 pada usia dewasa meningkat dan
secara signifikan lebih tinggi Amerika Serikat dari pada Eropa dan kelompok
etnik kulit hitam dibanding kulit putih. Seroprevalensi HSV-2 adalah 5% pada
populasi wanita secara umum di inggris, tetapi mencapai 80% pada wanita Afro-
Amerika yang berusia antara 60-69 tahun di USA. Kelompok yang mengalami
peningkatan tertinggi ialah remaja (peningkatan insidens 2 kali lipat).Herpes
genital mengalami peningkatan antara awal tahun 1960-an dan 1990-an. Di
Inggris laporan pasien dengan herpes genital pada klinik PMS meningkat enam
kali lipat antara tahun 1972-1994. Kunjungan awal pada dokter yang di lakukan
oleh pasien di Amerika Serikat untuk episode pertama dari herpes genital
meningkat sepuluh kali lipat mulai dari 16.986 pasien di tahun 1970 menjadi
160.000 di tahun 1995 per 100.000 pasien yang berkunjung. Disamping itu lebih
banyaknya golongan wanita di bandingkan pria disebabkan oleh anatomi alat
genital (permukaan mukosalebih luas pada wanita). Seringnya rekurensi pada pria
dan lebih ringan gejalanya pada pria. Walaupun demikian, dari jumlah tersebut di
atas hanya 9% yang menyadari akan penyakitnya.Studi pada tahun 1960
menunjukan bahwa HSV-1 lebih sering berhubungan dengan kelainan oral dan
HSV-2 berhubungan dengan kelainan genital. Atau dikatakan HSV-1
menyebabkan kelainan di atas pinggang dan HSV-2 menyebabkan kelainan di
bawah pinggang. Tetapi didapatkan juga jumah signifikan genital herpes 30-40%
disebabkan HSV-1. HSV-2 juga kadang-kadang menyebabkan kelainan oral,
diduga karena meningkatnya kasus hubungan seks oral. Jarang didapatkan
kelainan oral karena HSV-2 tanpa infeksi genital. Di Indonesia, sampai saat ini
belum ada angka yang pasti, akan tetapi dari 13 RS pendidikan Herpes Genitalis
merupakan PMS dengan gejala ulkus genital yang paling sering di jumpai.5

2.4 ETIOLOGI

Herpes genetalis disebabkan oleh herpes simplex virus(HSV) atau herpes


virus hominis (HVH), UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa
penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan SHARLITT
pada tahun 1940 membedakan antara HSV tipe I (HSV-I) dan HSV tipe-2 (HSV-
II). Sebagian besar penyebabnya adalah HSV-II, tetapi walaupun demikian dapat
juga disebabkan oleh HSV-I ( 16,1%) akibat hubungan kelamin secara orogenital
atau penularan melalui tangan. Secara serologi, biologik dan sifat fisikokimia
HSV-I dan HSV-II sukar dibedakan. Dari penelitian seroepidemiologik didapat
bahwa antibodi HSV-I sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur 5 tahun,
meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua. Penelititian
seroepidemiologik terhadap antibidi HSV-II sulit untuk di nilai berhubung adanya
reaksi silang antara respon imun humoral HSV-I dan HSV-II. Dari data yang
dikumpulkan WHO dapat diambil kesimpulan bahwa antibodi terhadap HSV-II
rata-rata baru terbentuk setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kelompok
remaja didapat kurang dari 30%, pada kelompok wanita diatas umur 40 tahun naik
sampai 60%, dan pekerja seks wanita (PSW) ternyata antibodi HSV-II 10 kali
lebih tingi daripada orang normal.4

2.5 PATOGENESIS

Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode I


infeksi primer (insial), episode I non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik
atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode I infeksi primer, virus yang
berasal dari luar masuk ke dalam tubuh hospes. Kamudian terjadi penggabungan
dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut dan mengadakan
multiplilkasi/replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu
hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi
pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar
melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis), dan
berdiam disana serta bersifat laten.4

Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi
belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada
waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan
infeksi primer. Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus
akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi
rekurens. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik
sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu
infeksi primer. Trigger factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang
berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres emosi, kelelahan, makanan yang
merangsang, alkohol, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), dan pada
beberapa kasus sukar diketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat
mengenai terjadinya infeksi rekurens :

1. Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan


virus akan turun melalui akson saraf prifer ke sel epitel kulit yang
dipersarafinya dan disana akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta
menimbulkn lesi.
2. Virus secara terus menerus dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktor
pencetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulakn lesi
rekurens.4

2.6 GEJALA KLINIS

Infeksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkat :

1. Infeksi Primer
Lokasi VHS-I didaerah pinggang keatas terutama didaerah mulut dan
hidung, dimulai pada usia anak-anak dan dapat terjadi melalui secara
kebetulan, misalnya kontak kulit dengan perawat, dokter gigi, atau pada
orang yang sering menggigit jari. Virus ini juga sebagai penyebab herpes
ensefalitis. Lokasi infeksi primer HVS-II di daerah pinggang ke bawah,
terutama didaerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan
infeksi neonatus.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu
dan sering disertai gejala sistemik berupa demam, malese dan anoreksia,
dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional.
Kelainan klinis ditemui berupa vesikel yang berkelompok diatas kulit yang
sebab eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seroporulen,
dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang
dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat
indurasi. Kadangkadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi
gambaran yang tidak jelas.

2. Fase Laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi VHS
dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi Rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak
aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik
(demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual) trauma psikis (gangguan
emosiaonal, menstruasi) dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan
minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala
prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan
nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau
tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).2

Faktor Risiko :

1. Individu yang aktif secara seksual


2. Imunodefisiensi.2

2.7 DIAGNOSIS BANDING

Ulkus durum.
Ulkus mole.
Ulkus mikstum.2

2.8 KOMPLIKASI

Dapat terjadi pada individu dengan gangguan imun, berupa :

Herpes simpleks ulserativa kronik


Herpes simpleks mukokutaneus akut generalisata
Infeksi sistemik pada hepar, paru, kelenjar adrenal, dan sistem saraf pusat
Pada ibu hamil, infksi dapat menular pada janin, dan menyebabkan
neonatal herpes yang sangat berbahaya.3

2.9 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Dalam mengenai kasus herpes genitalis, langkah pertama adalah


menegakkan diagnosis yang bila memungkinkan ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas
berupa vesikle berkelompok dengan dasar eritem dan bersifat rekuren.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah pemeriksaan Tzank yang
diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, akan terlihat sel raksasa berinti
banyak. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan ini umumnya rendah.

Pemeriksaan langsung dengan mikroskpop elektron, hasilnya sudah dapat


dilihat dalam waktu 2 jam, tetapi tidak spesifik karena dengan teknik ini
kelompok virus herpes tidak dapat dibedakan. Cara yang paling baik adalah
dengan melakukan kultur jaringan, karena paling sensitif dan spesifik
dibandingkan dengan cara-cara lain. Bila titer virus dalam spesimen cukup tinggi,
maka hasil positif dapat dilihat dalam jangka waktu 24-48 jam. Pertumbuhan virus
dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik, degenerasi balon
dan sel raksasa berinti banyak. Namun cara ini memiliki kekurangan karena waktu
pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.3

2.10 PENATALAKSANAAN

Setelah diagnosis ditegakkan, baik secara klinis, dengan maupun tanpa


pemeriksaan penunjang, maka langkah selajutnya adalah memberikan pengobatan.
Pengobatan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu profilaksis, pengobatan
nonspesifik dan pengobatan spesifik.

Tindakan Profilaksis

a. Penderita diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menular


terutama bila sedang terkena serangan, karena itu sebaiknya melaksanakan
abstinensia.
b. Proteksi individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa
spermisidal dan kondom. Kombinasi tersebut, bila diikuti dengan pencucian
alat kelamin memakai air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah transmisi
herpes genitalis hampir 100% (Raab dan Lorincz, 1981). Busa spermisidal
secara invitro ternayata mempunyai sifat virisidal, dan kondom dapat
mengurangi penetrasi virus.
c. Faktor-faktor pencetus sedapat mungkin dihindari.
d. Konsultasi psikiatri dapat membantu karena faktor psikis mempunyai peranan
untuk timbul serangan.

Pengobatan Non-Spesifik

a. Rasa nyeri dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian analgetika,


antipiretik dan antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual.
b. Zat-zat pengering yang bersifat antiseptik, seperti jodium povidon secara
topikal mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat
penyembuhan.
c. Antibiotika atau kotrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah infeksi
sekunder.

Pengobatan Spesifik

Berbagai macam obat antivirus telah pernah dipakai untuk mengatasi penyakit
herpes genitalis, misalnya idoksuridin topikal, sitarabin (Ara-C) dan vidarabin
(Ara-A) secara intravena, inosipleks (isoprinosin), dan interferon. Obat antivirus
yang kini telah banyak dipakai ialah asiklovir, dan saat ini ada lagi dua macam
obat antivirus baru yaitu valasiklovir dan famsiklovir.

Asiklovir

Asiklovir merupakan obat antivirus yang spesifik terhadap virus herpes, dapat
diberikan pada penderita dengan infeksi mukokutan disertai defisiensi imunitas.
Obat ini hanya bekerja terhadap sel-sel yang terkena infeksi. Tidak mempunyai
efek teratogenik. Toleransi obat baik, tidak ada toksisistas akut dan tidak
menimbulakn penekanan sumsum tulang, hati dan ginjal. Tetapi walaupun
demikian pernah dilaporkan efek samping seperti kolik ginjal, kenaikan kadar
ureum/kreatinin dalam serum, reaksi setempat pada suntikan nausea dan vomitus.

Asiklovir dapat diberikan secara intravena, oral dan topikal. Pemberian intravena
harus perlahan-lahan dan perlu pengawasan. Oleh karena itu sebaiknya diberikan
di rumah sakit. Dosis setiap kali pemberian adalah 5 mg/kg BB, dengan interval 8
jam. Pengoabatan asiklovir secara intravena pada herpes genital episode pertama,
yang memerlukan waktu selama 5-10 hari, ternyata tidak dapat mengurangi
rekurensi (corey, 1985). Bila secara oral obat diberikan dengan dosis 200 mg 5
kali sehari selama 5-10 hari. Seperti secara intravena, pengobatan per oral
mengurangi viral shedding secara dramatis.

Banyak sarjana berpendapat bahwa pada infeksi primer sebaiknya diberi asiklovir
secara intravena dan pada infesi rekurens secara oral. Pemberian obat secara oral
juga tidak menjamin timbul rekurensi. Kinghorn (1986) telah membuktikan
bahwa asiklovir 200 mg 5 kali sehari per oral ditambah kotrimoksazol (160 mg
trimetropin dan 800 mg sulfametoksazol) dua kali sehari selama 7 hari
memperpendek waktu penyembuhan lesi secara bermakna dibandingkan dengan
pengobatan asiklovir saja.

Penanganan infeksi rekurens menurut Moreland dkk (1990) dapat ditempuh


dengan 4 cara :

1. Tidak diberi terapi spesifik (terutama pada infeksi yan ringan)


2. Asiklovir per oral secara epidose dengan dosis 5x200 mg/5 hari. Cara ini
diberikan pada penderirta dengan riwayat lesi multipel atau serangan yang
lama (7 hari).
3. Supresi kronis asiklovir, dapt dipertimbangkan bila seseorang mengalami
keadaan sebagai berikut :
a. Rekurensi lebih dari 8 kali per tahun.
b. Rekurensi lebih dari satu kali dalam sebulan.
c. Rekurensi menimbulkan beban psikologis yang berat.
d. Bila terapi diarsakan lebih bermanfaat dibandingkan biaya untuk penderita
tersebut.

Dosis asiklovir yang diberikan minimal 2 x 200 mg/hari dan dapat di tinggikan
sampai 3-4 x 200 mg sehari tergantung pada keadaan. Cara ini efektif dan amn
untuk jangka waktu minimal satu tahun, dengan penilaian ulang setiap 6 bulan.

4. Supresi episodik dengan asiklovir, diberikan pada individu denan rekurensi


terutama bila ada setres.

Asiklovir topikal diberikan dalam bentuk cream 5%. Obat ini bekerja langsung
pada sel yang terinfeksi serta memperpendek viral shedding. Efek toksiknya
angan minimal, absorbsinya minimal dan tidak mengadakn interaksi dengan obat
lain yang secara bersamaan. Selain itu juga dapt mengurangi rasa nyeri dan gatal.
Karena hasilnya kurang efektif dibandingkan dengan pemberian secara oral, maka
pemakaiannya hanya untuk mengurangi keoparahan dan lamanya episoe rekurens.

Valasiklovir

Obat ini merupakan derivat ester L/valil dari asiklovir. Bahan aktif antivirusnya
ialah asiklovir, sehingga kemanjuran dan spesifisitasnya berhubunan dengan cara
kerja asiklovir. Setelah dia bsorbsi, valasiklovir dengan cepat dan hampir
seluruhnya diubah menjadi asiklovir dan L/valin. Bioavailibilitasnya 3-5 kali lebih
tinggi dari pada yang dapat dicapai oleh asiklovir oral dosis tinggi. Kadar dalam
plasma setelah valasiklovir oral 1000 mg mendekati kadar yang dapt dicapai oleh
asiklovir yang diberikan secara intravena.

Pada uji klinik yang membandingkan valaksiklovir 2 x 500-1000 mg/hari, dengan


asiklovir oral 2 x 500 mg/hari, dan plasebo dalam waktu 24 jam setelah timbulnya
keluhan dan gejala klinis pertama episode herpes genitalis rekurens menunjukkan
bahwa terapi valaksiklovir secara bermakna mengurangi rasa nyeri dan
mempercepat penyembuhan lesi, serta dengan cepat mempercepat masa viral
shedding. Efek samping yang paling sering di laporkan ialah nyeri kepala dan
mual.
Famsiklovir

Obat antivirus lainnya ialah famsiklovir (famciclovir), yang merupakan derivat


diasetil-6-deoksi pensiklovir. Sedangkan pensiklovir sendiri merupakan golongan
antivirus dengan komponen guanin, yang dapat diberikan secara topikal dan
intravena. Famsiklovir, dikembangkan untuk pengobatan infeksi virus herpes,
dengan cara pemberian per oral. Cara kerja famsiklovir sama seperti asiklovir,
yaitu menghambat sintesis DNA.

Pada penderita herpes genitalis episode pertama, pemberian famsiklovir 3 x 500


mg/hari selama 5 hari, ternyata mempersingakat viral shedding dan waktu
penyembuhan, dibandingkan plasebo. Bila dibandingkan dengan pengobatan
asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari, pemebrian famsiklovir 3 x 750 mg/hari
dalam waktu yang sam, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan dalam
lamanya viral shedding, waktu menghilangnya vesikel dan ulkus, serta terjadinya
krustasi dan hilangnya rasa sakit.

Pada pengoabatan herpes genitalis rekurens, pemberian famsiklovir 3 x 500 mg


selama 5 hari dibandingkan asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari, tidak berbeda
dalam hal mempersingkat waktu viral shedding. Dari hasil-hasil tersebut di atas,
pengobatan dengan famsiklovir ternyata sama efektifitasnya dengan asiklovir
pada kasus herpes genitalis, namun frekuensi pemberiannya lebih jarang.4

2.11 KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi untuk herpes genitalis ditujukan terutama terhadap pasien dan


pasangannya, yaitu berupa :

1. Informasi perjalanan alami penyakit ini, termasuk informasi bahwa penyakit


ini menimbulkan rekurensi.
2. Tidak melakukan hubungan seksual ketika masih ada lesi atau gejala
prodromal.
3. Pasien sebaiknya memberi informasi kepada pasangannya bahwa ia memiliki
infeksi HSV.
4. Transmisi seksual dapat terjadi pada masa asimtomatik.
5. Kondom yang menutupi daerah yang terinfeksi, dapat menurunkan resiko
transmisi dan sebaiknya digunakan dengan konsisten.3

Kriteria Rujukan

Pasien dirujuk apabila :

1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi.


2. Terjadi komplikasi.3
2.12 PROGNOSIS

Meskipun kematian yang disebabkan oleh infeksi HSV-II jarang terjadi,


akan tetapi selama belum ada pengobatan yang efektif, perkembangan penyakit
sulit diramalkan. Infeksi primer dini yang segera diobati mempunyai prognosis
lebih baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat dibatasi frekuensi kambuhnya.4
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Herpes genital merupakan penyakit infeksi akut pada genital dengan


gambaran khas berupa vesikel berkelompok pada dasar eritematosa, dan
cenderung bersifat rekuren. Umumnya disebabkan oleh herpes simpleks virus tipe
II (HVS-II), tetapi sebagian kecil dapat pula oleh tipe I. Diagnosis herpes genital
secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok
dengan dasar eritem dan bersifat rekuren. Diagnosis dapat ditegakkan melalui
anamnesa, pemeriksaan fisik jika gejalanya khas dan pemeriksaan laboratorium.
Pengobatan dari herpes genital secara umum bisa dengan menjaga kebersihan
lokal, menghindari trauma atau faktor prncetus. Adapun obat-obat yang dapat
menangani herpes genital adalah asiklovir, valaksilovir, famsiklovir.

3.2 SARAN

Sebaiknya jagalah kebersihan organ genital, baik dengan cara tidak


berganti-ganti pasangan, menggunakan kondom pada saat akan berhubungan
seksual atau lebih baik jika hanya melakukan hubungan seksual dengan pasagna
yang sah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Indriyani N, Murtiastutik D. Herpes Simpleks Genitalis.[internet]. Vol.24
No 3 Desember 2012. Available from : http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-bik3bab3024d0dfull.pdf
2. Menaldi S, 2016. Ilmu Penyakit Klulit dan Kelamin. Ed. 7. Wresti
Indriatmi. Jakarta : Badan Penerbit FKUI; 1987. H. 478-480.
3. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter. Ed. 2014. Available From :
http://fk.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/10/PPK-Dokter-di-
Fasyankes-Primer.pdf
4. Daili S.F, Indriatmi W, Zubier F. Infeksi Menular Seksual. Ed. 4. Sjaiful
Fahmi Daili. Jakarta : Badan Penerbit FKUI, 1997. H. 125-136.s .
5. Fatmuji S. Prevalensi penderita Herpes Simpleks. 2012. Available From :
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27114/1/OPS%2
osiagara%2Fatimuji-fkIk.pdf

Anda mungkin juga menyukai