Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

Meningitis tuberkulosis merupakan salah satu manifestasi klinis TB di


luar paru, yaitu di susunan saraf pusat (SSP). Tulisan pertama kali mengenai
meningitis tuberkulosa dibuat oleh Robert Whytt pada tahun 1768. Sejak
penemuan streptomisin pada tahun 1947, kasus meningitis tuberkulosa mulai
berkurang. namun demikian meningitis tuberkulosa tetap merupakan masalah
dalam bidang kesehatan anak, terutama di negara-negara berkembang karena
angka kematian dan angka kecacatan masih tinggi.
Jumlah penderita meningitis tuberkulosa kurang lebih sebanding dengan
prevalensi infeksi oleh mikobakterium tuberkulosa pada umumnya.
Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut maka perjalanan penyakit lebih
lama, perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu hebat dan meningitis
tuberkulosa paling banyak menyebabkan kematian. Kematian penderita ini
disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganannya. Diagnosis pasti
meningitis tuberkulosa ditetapkan berdasarkan ditemukannya M. Tuberkulosis
dalam cairan serebrospinal (CSS), melalui biakan, dan hasil pemeriksaan baru
didapat setelah 6-8 minggu.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningen Otak

2.1.1 Dura Mater


Secara konvensional, dura mater otak digambarkan terdiri dari dua lapis,
yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan tersebut bersatu dengan
erat, kecuali pada garis-garis tertentu, tempat lapisan ini berpisah untuk
membentuk sinus venosus.
Ligamentum endosteal merupakan periosteum yang menutupi permukaan
dalam tulang tengkorak. Pada foramen magnum, lapisan ini tidak bersambung
dengan dura mater medullae spinalis.
Lapisan meningeal adalah lapisan dura mater yang sebenarnya;
merupakan membran fibrosa yang kuat dan padat yang meliputi otak serta
bersambung dengan dura mater medullae spinalis melalui foramen magnum.
Lapisan meningeal ini membentuk selubung tubular untuk saraf kranial tersebut
melintasi foramina di tengkorak. Di luar cranium, sarung-sarung ini menyatu
dengan epineurium saraf.
Lapisan meningeal membentuk empat septal ke arah dalam yang
membagi cavum cranii menjadi ruang-ruang yang dapat berhubungan secara
bebas dan merupakan tempat bagian-bagian otak. Fungsi septa-septa ini adalah
untuk membatasi pergeseran otak akibat akselerasi dan deselerasi saat kepala
digerakkan.
Cabang-cabang nervus trigeminus, vagus, dan tiga nervus cervicalis
bagian atas, serta cabang-cabang dari truncus symphaticus berjalan menuju dura
mater. Dura mater mengandung banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka
terhadap regangan yang menimbulkan sensasi nyeri kepala. Stimulasi ujung-
ujung sensorik nervus trigeminus di atas level tentorium cerebelli menimbulkan
nyeri alih (referred pain) ke daerah kulit pada sisi yang sama kepala. Stimulasi
ujung-ujung saraf sensorik dura mater di bawah level tentorium menimbulkan
nyeri yang dirujuk ke daerah tengkuk dan belakang kulit kepala di sepanjang
persarafan nervus occipitalis major.
Berbagai arteri memperdarahi dura mater, yaitu dari arteria carotis
interna, arteri maxillaris, arteria pharyngea ascendens, arteria occipitalis, dan
arteria vertebralis. Dari sudut pandang klinis, arteria yang paling penting adalah
arteria meningea media, yang dapat mengalami kerusakan akibat cedera kepala.
Venae meningea terletak di dalam lapisan endosteal dura mater. Vena meningea
media mengikuti cabang-cabang arteria meningea media dan bermuara ke dalam
plexus venous pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral
arteri.

2.1.2 Arachnoidea Mater


Arachnoidea mater merupakan membran yang halus dan bersifat
impermeabel, yang menutupi otak dan terletak di antara pia mater di bagian
dalamnya dan dura mater di bagian luar. Arachnoidea mater dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, spatium subdurale, yang terisi oleh selapis cairan;
arachnoidea mater dipisahkan dari pia mater oleh spatium subarachnoideum,
yang berisi cairan serebrospinal
Selain berfungsi mengeluarkan produk sisa hasil kegiatan neuron, cairan
serebrospinal merupakan medium cair tempat otak mengapung di dalamnya.
Mekanisme ini melindungi otak dari trauma secara efektif. Selain itu, saat ini
cairan serebrospinal dianggap berpern dalam transportasi hormon.

2.1.3 Pia Mater


Pia mater adalah membran vaskular yang diliputi oleh sel-sel mesotelium
yang gepeng. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi girus-girus, dan
turun hingga mencapai bagian sulkus yang paling dalam. Lapisan ini meluas
keluar hingga mencapai saraf kranial dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteria cerebri masuk ke dalam jaringan otak setelah dibungkus oleh pia mater.
2.2 Meningitis Tuberkulosa

2.2.1 Definisi
Meningitis tuberkulosa adalah radang serabut otak akibat komplikasi
tuberkulosis primer. Secara histologik meningitis tuberkulosa merupakan
meningo-ensefalitis (tuberkulosa) dimana terjadi invasi ke selaput dan jaringan
susunan saraf pusat.

2.2.2 Klasifikasi
Rich membagi meningitis membagi meningitis tuberkulosa dalam empat
jenis menurut klasifikasi patologik. Umumnya terdapat lebih dari satu jenis
dalam setiap penderita meningitis tuberkulosa.
Tuberkulosis milliaris yang menyebar
Jenis ini merupakan komplikasi tuberkulosa miliaris, biasanya dari paru-
paru yang menyebar langsung ke selaput otak secara hematogen. Keadaan ini
terutama terjadi pada anak, jarang pada dewasa. Pada selaput otak terdapat
tuberkel-tuberkel yang kemudian pecah sehingga terjadi peradangan difus dalam
ruang subarachnoid. Tuberkel-tuberkel juga terdapat pada dinding pembuluh
darah kecil hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak.
Bercak-bercak Pengijuan Fokal
Di sini terdapat bercak-bercak pada sulkus-sulkus dan terdiri dari
pengijuan yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel. Dari sini terjadi
penyebaran ke dalam selaput otak. Kadang-kadang terdapat juga bercak-bercak
pengijuan yang besar pada selaput otak sehingga dapat menyebabkan peradangan
yang luas.
Peradangan Akut Meningitis Pengijuan
Jenis ini merupakan jenis yang paling serin dijumpai, lebih kurang 78%.
Pada jenis ini terjadi invasi langsung pada selaput dari fokus-fokus tuberkulosis
primer bagian lain dari tubuh, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel baru pada
selaput otak dan jaringan otak. Meningitis timbul karena tuberkel-tuberkel
tersebut pecah, sehingga terjadi penyebaran kuman-kuman ke dalam ruang
subaraknoid dan ventrikulus
Meningitis proliferatif
Perubahan-perubahan proliferatif dapat terjadi pada pembuluh-pembuluh
darah selaput otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis dan
panarteritis. Akibat penyempitan lumen arteri-arteri tersebut dapat terjadi infark
otak. Perubahan-perubahan ini khas pada meningitis proliferatif yang sebelum
penemuan kemoterapi jarang dilihat.

2.2.3 Etiologi
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa jenis
hominis, jarang oleh jenis bovinum atau aves.

2.2.4 Faktor Risiko


Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio-
ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, perumahan
tidak memenuhi syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur
berdesakan, kekurangan gizi, higiene yang buruk, faktor suku atau ras, kurang
atau tidak mendapat fasilitas imunisasi dsb.
Meningitis tuberkulosa dapat terjadi pada setiap umur terutama pada anak
antara 6 bulan sampai 5 tahun, jarang terdapat di bawah umur 6 bulan kecuali
apabila angka kejadian tuberkulosis sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah
umur 2 tahun, yaitu antara 9 sampai 15 bulan.

2.2.5 Patofisiologi
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis
primer di luar otak. Fokus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada
kelenjar getah bening, tulang, sinus nasales, traktus gastro-intestinal, ginjal, dsb.
Dengan demikian meningitis tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran
tuberkulosis paru-paru.
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput
otak oleh penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel
kecil (beberapa milimeter sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada
permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang, tulang. Tuberkel tadi
kemudian melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang subaraknoid dan
ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara mikroskopik
tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian
lain dari kulit dimana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel
raksasa, limfosit, sel-sel plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai
penutup atau kapsul.

Penyebaran dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan


organ atau jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring,
pneumonia, bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis
sinus kavernosus, atau spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS, ruang subaraknoid dan
ventrikulus.

Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental,


serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung
sel-sel mononuklear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa, dan fibroblas.
Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang subaraknoid saja, tetapi terutama
terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-
pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga proses
sebenarnya adalah meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat
akuaduktus Sylvii, foramen Magendi, foramen Luschka dengan akibat terjadinya
hidrosefalus, edema papil dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga
terjadi pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dalam ruang subaraknoid
berupa kongesti, peradangan dan penyumbatan, sehingga selain arteritis dan
flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula
oblongata dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak
dengan segala akibatnya.
2.2.6 Gambaran Klinik

Stadium I
Stadium prodromal berlangsung lebih kurang 2 minggu sampai 3 bulan.
Permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanya kenaikan suhu
yang ringan atau hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tak
ada nafsu makan, murung, berat badan turun, tak ada gairah, mudah tersinggung,
cengeng, tidur terganggu, dan gangguan kesadaran berupa apatis. Gejala-gejala
tadi lebih sering terlihat pada anak kecil. Anak yang lebih besar mengeluh nyeri
kepala, tak ada nafsu makan, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur terganggu.
Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
tak ada nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi dan sangat
gelisah.

Stadium II
Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal
terutama pada anak kecil dan bayi. Tanda-tanda ransangan meningeal mulai
nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan timbul opistotonus, terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih
hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif menyebabkan anak
berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran
makin menurun. Terdapat gangguan nervi kraniales, antara lain N.II, III, IV, VI,
VII, dan VIII. Dalam stadium ini dapat terjadi defisit dan rigiditis deserebrasi.
Pada funduskopi dapat ditemukan atrofi N.II dan khoroid tuberkel yaitu kelainan
pada retina yang tampak seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar
setengah diameter papil.
Stadium III
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan
oleh terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernapasan dan nadi juga tak
teratur dan terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau
Kussmaul. Gangguan miksi berupa retensi atau inkontinensia urine. Didapatkan
pula adanya gangguan kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam.
Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak
memperoleh pengobatan sebagaimana mestinya.

2.2.7 Diagnosis
Anamnesis diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis,
keadaan sosio-ekonomi, imunisasi, dsb. Sementara itu gejala-gejala yang khas
untuk meningitis tuberkulosa ditandai oleh tekanan intrakranial yang meninggi:
muntah yang hebat, nyeri kepala yang progresif, dan pada bayi tampak fontanela
yang menonjol.
Pungsi lumbal memperlihatkan CSS yang jernih, kadang-kadang sedikit
keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan maka akan terjadi
pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-
500/ml dan kebanyakan limfosit. Kadang-kadang oleh raksi tuberkulin yang
hebat terdapat peningkatan jumlah sel, lebih dai 1000/ml. Kadar glukosa rendah,
antar 20-40%. Kadar klorida di bawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-
laba dapat diperiksa untuk pembiakan atau kultur menurut pengecatan Ziehl-
Nielsen atau Tan Thiam Hok.
Tes tuberkulin terutama dilakukan pada bayi dan anak kecil. Hasilnya
seringkali negatif karena anergi, terutama pada stadium terminal.
Pemeriksaan lainnya meliputi foto dada dan kolumna vertebralis,
rekaman EEG, dan CT-Scan. Semuanya disesuaikan dengan temuan klinik yang
ada, atau didasarkan atas tujuan tertentu yang jelas arahnya.

2.2.7 Diagnosis Banding


Pada stadium prodromal sukar dibedakan dengan penyakit infeksi
sistemik yang disertai kenaikan suhu. Jenis-jenis meningitis bakterial lainnya
perlu dipertimbangkan secara seksama. Hal ini berkaitan erat dengan program
terapi.
2.2.8 Tata Laksana
Perawatan Umum
Penderita meningitis tuberkulosa harus dirawat di rumah sakit, di bagian
perawatan intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan setepat mungkin,
pengobatan dapat segera dimulai.
Kebutuhan cairan, elektrolit, serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun
saluran pipa hidung. Harus diwaspadai kemungkinan. Sementara itu
kewaspadaan lainnya diarahkan kepada hiperpireksia, gelisah atau kejang, serta
nyeri dan kerewelan lainnya.
Pengobatan
Saat ini telah tersedia berbagai macam tuberkulostatika. Tiap jenis
tuberkulostatika mempunyai spesifikasi farmakologik tersendiri. Untuk itu perlu
pemahanan yang sebaik-baiknya. Berikut ini adalah beberapa contoh
tuberkulostatika yang dapat diperoleh di Indonesia.
1. Isoniazid atau INH, diberikan dengan dosis 10-2- mg/Kg BB/hari (pada
anak) dan pada dewasa dengan dosis 400 mg/hari.
2. Streptomisin, diberikan intramuskularis selama lebih kurang 3 bulan, tidak
boleh terlalu lama. Dosisnya adalah 30-50 mg/Kg BB/hari. Oleh karena
bersifat autotoksis maka harus diberikan dengan hati-hati; bila perlu
dilakukan pemeriksaan audiogram. Bila perlu pemberian streptomisin
dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS menjadi
normal. Sementara itu obat jenis lain dapat diteruskan sampai lebih kurang
2 tahun.
3. Rifampisis, diberikan dengan dosis 10-20 mg/Kg BB/hari. Pada orang
dewasa dapat diberikan dengan dosis 600 mg/hari, dengan dosis tunggal.
Pada anak-anak di bawah 5 tahun harus bersikap hati-hati karena dapat
menyebabkan neuritis optika.
4. PAS atau para-amino-salicylic-acid, diberikan dengan dosis 200 mg/Kg
BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dapat diberikan sampai 12 gram/hari. PAS
sering menyebabkan gangguan nafsu makan.
5. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/Kg BB/hari sampai 1.500
mg/hari, selama lebih kurang 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan
neuritis optika; sementara itu INH dapat menyebabkan polineuritis
Pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi,
dikenal sebagai triple drug, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis
obat tuberkulostatika lainnya. Dalam keadaan demikian ini kita harus
selalu kritis untuk menilai efektivitas masing-masing obat, terutama
dalam hal timbulnya resistensi
6. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/Kg
BB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dengan 3 dosis) selama 2-4
minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/Kg BB/ hari selama 1-2
minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnnya adalah lebih kurang 3
bulan.
Apabila diberikan deksametason, maka obat ini diberikan secara
intravena dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam. Pemberian deksametason
ini terutama bila ada edema otak. Apabila keadaan membaik maka dosis
dapat diturunkan secara bertahap sampai 4 mg setiap 6 jam secara
intravena. Pemberian kortikosteroid parenteral ditujukan untuk
mengurangi eksudat di bagian basal, mencegah terjadinya nekrosis
perlengketan dan menghalangi spinal block. Di samping itu,
kortikosteroid dapay membahayakan penderita melalui munculnya
superinfeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking effect)
7. Pemberian tuberkulin intrarekal, ditujukan untuk mengaktivasi enzim
lisosomal yang menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.
8. Pemberian enzim proteolitik seperti streptokinase secara intratekai,
mempunyai tujuan untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan
cepat dan tepat, biasanya berhasil setelah 7-10 hari. Secara klinis biasanya
ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan gangguan mental.

2.2.9 Prognosis
Bila meningitis tuberkulosa tidak diobati, prognosisnya jelek sekali.
Penderita dapat meningga dalam waktu 6-8 minggu. Prognosis ditentukan oleh
kapan pengobatan dimulai dan pada stadium berapa. Umur penderita juga
mempengaruhi prognosis. Anak di bawah 3 tahun dan dewasa di atas 40 tahun
mempunyai prognosis yang jelek.

DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, Richard S. Meningen Otak dan Medulla Spinalis. Dalam: Neuroanatomi
Klinik Edisi 7. Jakarta: EGC; 2013.h.436-445.

2. Snell, Richard S. Kepala dan Leher. Dalam: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006.h.750-756.

3. Harsono (Ed). Meningitis Tuberkulosa. Dalam: Buku Ajar Neurologi Klinis.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 2011.h.181-188.

4. http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview
5. http://m.medlineplus.gov/ency/article/000650.htm

Anda mungkin juga menyukai