Anda di halaman 1dari 4

tiap muslim diwajibkan oleh Allah untuk melaksanakan perintah Allah yang sudah

diperintahkan oleh Allah dalam dalam al-quran dan perintah yang terdapat dalam sunnah nabi.
Semua yang sudah diperintahkan oleh Allah dalam al-quran yang dinyatakan dengan kata-kata
amar (kata-kata perintah) semuanya wajib dilaksanakan. Seperti yang terdapat Dalam kaedah
fiqh :


Pada dasarnya amar itu menunjukkan arti wajib, dan tidak menunjukkan kepada arti selain
wajib kecuali terdapat qorinahnya (penyerta).
Menurut ijma Jumhur ulama bahwa hukum asal amar menunjukkan wajib[1]. Namun,
apabila qarinah (penyerta) yang mennunjukkan bahwa amar itu untuk arti selain wajib, maka
makna amar tersebut disesuaikan dengan konteksnya, misalnya : amar bermakna kebolehan
(ibahah), seperti seruan makan dan minum (al-baqarah : 60), amar bermakna sunnat, misalnya
seruan menulis atau membuat perjanjian dengan orang lain jika dipandang baik (an-nuur : 33).
Allah tidak menyusahkan hambanya dalam memerintahkan untuk melukukan sesesuatu
kepada hambanya, namun Allah memudahkan hambanya dalam melaksanakan segala sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak
menyusahkan nambanya dalam melaksanakan perintah syarI, yaitu :


Artinya :
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan.
Allah memudahkan bagi hambanya untuk melakukan sesuatu dan memberikan
keringanan dalam melaksanakan perintah syarI. misalnya Allah SWT mewajibkan puasa bagi
umat islam pada bulan ramadhan, namun apabila seseorang musafir, maka bagi orang tersebut
diperbolehkan untuk berbuka dan mengkadha puasanya di hari-hari yang akan datang. Oleh
karena itu,kemudahan-kemudahan tersebut dalam ilmu ushul fiqh disebut sebagai rukhsah atau
keringan yang diberikan oleh Allah untuk hambanya. Bahkan dalam kondisi-kondisi yang sangat
mendesak Allah membolehkan makan yang haram, dengan tujuan untuk menyelamatkan
nyawanya agar tidak menyebabkan kematian apabila tidak melakukan yang haram tersebut.
Dalam kondisi tertentu Allah membolehkan makan yang haram dalam ilmu ushul fiqh disebut
dengan adh-dharuriyah (dalam keadaan darurat).
Syariat islam diturunkan oleh Allah tidak menyulitkan hambanya, akan tetapi syariat
islam mempermudah umat islam dalam melaksanakan perintah Allah yang terdapat dalam al-
quran dan as-sunnah, yang dalam ushul fiqh disebut hajjiah. Hajjiah merupakan keinginan yang
diinginkan oleh umat islam dalam melaksanakan hukum islam untuk menghilangkan kesulitan,
dan apabila ditinggalkan tidak masalah. Misalnya Allah SWT mensyariatkan puasa bagi
hambanya pada bulan ramadhan, sementara bagi orang musafir diperbolehkan untuk mengqadha
puasa dibulan yang lain, dan apabila melaksanakan puasa dalam bulan ramadhan juga tidak
masalah, meskipun dalam keadaan musafir.
Selain adh-dharuriyah dan hajjiyah dalam islam juga dikenal tahsiniyah. Tahsiniyah
merupakan tindakan yang mengatur tingkah laku umat islam untuk kemaslahatan umat islam.
meskipun tahsiniyah tidak ada tidak akan menimbulkan kekacauan, tetapi tahsiniyah diperlukan
agar terciptanya kehidupan yang baik. Kebutuhan tahsiniyah disebut juga dengan kebutuhan
tertsier, karena boleh ada dan boleh tidak ada.

Rumusan masalah
Dari uraian diatas, penulis dapat merumuskan persoalan akan akan penulis bahas dalam makalah
ini agar tidak luas dan membingungkan. Adapun yang ingin penulis bahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut :

1. Apa tujuan disyariatkan adh-dharuriyah, rukhsah, tahsiniyah dan hajiah ?

2. Apa yang dimaksud dengan adh-dharuriyah, rukhsah, tahsiniyah dan hajiah ?

BAB ll
PEMBAHASAN

Hubungan antara rukhsah, dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah


Dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada yang namanya, Rukhsah, dharuriyah, hajiyah dan
tahsiniyah. Keempat istilah tersebut sangat mempengaruhi tercapainya tujuan pengsyariatan
hukum islam, dan keempat istilah tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya dan tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Meskipun aspek yang sangat esensial adalah dharuriyah, tapi untuk
kesempurnaannya harus dilengkapi dengan tahsiniyah, hajiyah dan rukhsah. Untuk mengetahui
bagaimana hubungan antara rukhsah, tahsiniyah, hajiyah dan dharuriyah akan dijelaskan sebagai
berikut :
1. Rukhsah
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia rukhsah diartikan sebagai pembebasan dari
kewajiban berpuasa dan sebagainya[2]. Secara etimologi rukhsah berarti kemudahan,
kelapangan,dan kemurahan. Secara istilah rukhsah adalah[3] :

Artinya :
Sesuatu hukum yang diatur syara karena ada satu keudzuran yang berat dan menyukarkan.
Dalam bukunya yang berjudul kaidah-kaidah hukum islam dan ilmu ushul fiqih Abdul
wahab khallaf memberikan definisi rukhsah adalah hukum keringanan yang telah disyariatkan
oleh Allah SWT atas orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki
keringanan atau sesuatu yang disyariatkan oleh Allah SWT karena uzur kesulitan dalam kondisi-
kondisi tertentu[4].
Adapun Al-Baidawi memberikan definisi rukhsah sebagai hukum yang ditetapkan
berbeda dengan dalil, karena adanya uzur[5]. Dalam islam diberikan keringanan oleh Allah untuk
melaksanakan yang tidak boleh dikerjakan dalam kondisi biasa, namun dalam kondisi terpaksa
diperbolehkan melaksanakan yang dilarang tersebut. Misalnya :







Artinya :
Dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka kamu tidaklah berdosa "mengqasarkan"
(memendekkan) sembahyang jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh Yang amat nyata bagi kamu.



Artinya :
maka sesiapa terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak
pula melampaui batas (pada kadar benda Yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.
Menururt asy-syatibi[6] hukum menjalankan rukhsah adalah boleh, artinya kita boleh saja
menjalankan rukhsah (keringanan), dan boleh juga meninggalkannya dan tidak berdosa bagi
orang yang meninggalkan rukhsah.
Rukhsah yang disebabkan oleh udzur hanya ada pada empat hukum taklif, yaitu ijab,
nadb, karahah, dan ibahah[7]. Misalnya :
1. Rukhsah terhadap wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan dharurat.
Hukum ini wajib menurut jumhur ulama.
2. Rukhsah bersifat mandub, seperti mengkasar shalat bagi musafir. Menurut jumhur ulama ushul
fiqh, mengqashar shalat dalam perjalanan hukumnya mandub, tetapi menurut ulama hanafiah
mengkashar shalat bagi musafir tidak termasuk mandub, tetapi azimah.
3. Rukhsah bersifat mubah bagi dokter yang melihat aurat orang lain ketika berlangsungnya
pengobatan. Melihat aurat orang lain haram hukumnya, namun untuk menolong orang tersebut,
maka dibolehkan untuk melihatnya.
4. Rukhsah bersifat makruh, apabila seseorang terpaksa mengucapkan kata-kata kafir, namun
hatinya tetap beriman. Mengaku kafir adalah haram hukumnya karena dapat mengakibatkan ia
murtad, sementara ia dipaksa maka hukumnya jadi makruh.
Dasar hukum rukhsah atau keringanan terdapat dalam surat al-baqarah ayat 185[8] :


Artinya :
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan.
Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa rukhsah adalah hukum yang pada praktiknya menyulitkan
mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syariat meringankannya
sehingga beban tersebut berada dibawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.

2. Adh-dharurat
Adh-dharurat adalah jama dari kata dharurah, yang secara bahasa diartikan sebagai
keadaan yang sangat sulit, dan merupakan isim masdar dari kata al-idhthirar. Secara istilah adh-
dharurat diartikan sebagai keadaan yang memaksa untuk melakukan apa yang dilarang oleh
syariat islam[9]. Apabila tidak dilakukan akan mengakibatkan kemudharatan bagi dirinya
sendiri. Oleh karena itu para ulama membolehkan melakukan hal semacam itu dan dibenarkan
oleh syara. Para ulama jumhur mengartikan adh-dharurat adalah keadaan seseorang yang sampai
pada batas apabila dia tidak melakukan apa yang dilarang akan menyebabkan dirinya
mudharat[10].

Hikmah diperbolehkan yang diharamkan pada saat dharurat


Ada beberapa hikmah yang terdapat terhadap apa yang diharamkan oleh Allah, namun
dalam kondisi tertentu dibolehkan seseorang untuk melakukan yang diharamkan oleh syara[11].
Adapun hikmah dibalik itu adalah demi menjaga keselamatan nyawa orang yang bersangkutan.
Seperti contoh, meminum arak, makan bangkai, darah, dan daging babi, sebenarnya
mengkonsumsi barang tersebut adalah haram hukumnya (al-baqarah, ayat 173), namun kalau
kondisinya sudah mendesak dan tidak ada makanan lain yang akan dikonsumsinya, maka hal
tersebut dibolehkan. Sebab kalau dalam kondisi tersebut Allah tetap mengharamkannya, maka
akan membawa dampak yang membahyakan baginya. Oleh karena itu Allah membolehkan
memakan benda yang diharamkan dalam kondisi tersebut, dan tidak berdosa untuk
mengkonsumsinya.
Selain itu, hikmah masalah ini juga bisa untuk kepentingan orang lain, seperti kasus
kejahatan terhadap harta benda. Seseorang tentu mudharat apabila hartanya diambil oleh orang
lain dengan cara yang tidak wajar, namun hal ini dibolehkan bagi seseorang yang merampas
harta orang lain demi untuk mengatasi laparnya, dan tidak ada pilihan lain bagi orang tersebut
kecuali merampas harta orang lain.
Kaidah-kaidah fiqh yang berkenan dengan kemudharatan
Ada bebrapa kaidah dan dalil yang mengatakan bahwa tidak semua kemudharatan dapat
membolehkan yang haram. Adapun dalil-dalil dan kaidah-kaidahnya antara lain sebagai berikut :

Kemadharatan-kemadharatan itu dapat memperbolehkan keharaman[12]
Dasar nash kaidah diatas adalah firman Allah SWT :



padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya atas
kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya (al-anam 119).

Anda mungkin juga menyukai