Anda di halaman 1dari 26

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4,1 Kondisi Umum pada Daerah Penelitian


Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) adalah salah satu kabupaten di
Provinsi Sumatera Selatan yang beriklim tropis dengan luas wilayah 1,902,347
Ha yang terletak antara 2o30 LS 4o15 LS dan 104o20 BT 106o00 BT.
Secara fisiologis kabupaten OKI terletak pada dataran rendah di sepanjang Pulau
Sumatera bagian timur yang sebagian daerahnya merupakan ekologi rawa,
beberapa kecamatan di Kabupaten OKI dialiri sungai-sungai yang berfungsi
sebagai jalur transportasi air (Korpri OKI, 2012).
Perairan Sungai Lumpur merupakan pantai berlumpur yang terdapat di
wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Provinsi Sumatera Selatan. Pantai
dengan tipe berlumpur terlihat dari adanya lumpur yang berada di pesisir dan
terdapat di sekitar vegetasi mangrove. Perairan estuari yang memiliki substrat
berlumpur biasanya kaya dengan nutrien. Perairan di Sungai Lumpur merupakan
daerah yang rawan terhadap pemasukan material terlarut yang berasal dari
berbagai aktivitas masyarakat di sekitar daerah tersebut.
Wilayah perairan Pesisir Muara Sungai Lumpur semakin berkembang
dengan banyaknya pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar.
Berbagai aktivitas pemanfaatan yang dilakukan masyarakat sekitar yaitu daerah
pemukiman, penangkapan ikan serta jalur transportasi menuju kearah Selat
Bangka. Tingginya aktivitas pemanfaatan lahan berbanding lurus dengan semakin
banyaknya masyarakat yang menetap di Desa Sungai Lumpur.
Kondisi pesisir muara berhubungan dengan aktivitas daratan karena apa
yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pada akhirnya akan mempengaruhi
kualitas perairan. Kualitas perairan yang baik, akan menyebabkan tumbuhnya
mangrove dengan baik tergantung dari faktor pembatas mangrove untuk tumbuh.
Secara sekilas terlihat bahwa mangrove jenis Avicennia sp terdapat dihamparan
pesisir muara bagian utara dan bagian selatan sedangkan pada sisisisi mulut
muara mangrove terdapat mangrove jenis Nypa fruticans bercampur dengan jenis
Rhizophora sp.
31

Sebagian tambak di daratan Desa Sungai Lumpur pada mulanya


merupakan vegetasi hutan mangrove. Meningkatnya permintaan pasar akan ikan
bandeng dan udang mendorong pembukaan lahan tambak secara besar-besaran.
Pengkonversian lahan ini dilakukan karena menurut masyarakat sekitar lahan
mangrove yang diganti menjadi tambak dapat membuat hasil budidaya lebih
maksimal. Padahal menurut Syam et al (2013) untuk mengatasi permasalahan
konversi lahan mangrove ini dapat dikembangkan silvofishery yang merupakan
salah satu pilihan usaha yang dapat dikembangkan pada ekosistem mangrove.
Silvofishery adalah suatu bentuk usaha budidaya perikanan air payau terpadu
dengan hutan mangrove dan menggunakan biaya yang relatif rendah.

4.2 Kondisi Tutupan Lahan Lokasi Penelitian


4.2.1 Tutupan Lahan Tahun 2000
Klasifikasi tutupan lahan di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI
Provinsi Sumatera Selatan yang dilakukan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
peta tutupan lahan. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) tutupan lahan adalah
perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan
kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut.
Klasifikasi digital pada suatu citra merupakan proses dimana piksel-piksel
dengan karakteristik spektral yang sama diasumsikan sebagai kelas yang sama,
diidentifikasi dan ditetapkan dalam suatu warna. Dari hasil analisis digital maka
tutupan lahan lokasi penelitian dapat dibagi menjadi 6 kelas. Tutupan lahan lokasi
penelitian antara lain adalah perairan, mangrove, tambak, pemukiman, lahan
terbuka dan lumpur.
Berdasarkan Bakosurtanal (2009), wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir
(OKI) merupakan kabupaten yang sedang berkembang dan memiliki luasan
mangrove kedua terbesar di Provinsi Sumatera Selatan setelah dari Kabupaten
Musi Banyuasin. Menurut Ridho et al (2006A) berdasarkan luasan total hutan
mangrove di sepanjang Pesisir Pantai Timur OKI bahwa luas hutan mangrove
pada tahun 1992 sebesar 56.418,57 Ha kemudian 8 tahun berkurang hingga
tersisa 47.781 Ha pada tahun 2000. Peta tutupan lahan pada tahun 2000 dapat
dilihat pada Gambar 8.
32

Gambar 8. Peta tutupan lahan di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi Sumatera
Selatan tahun 2000

Gambar 8 diatas menunjukkan bahwa tutupan lahan pada tahun 2000


didominasi oleh perairan, yakni seluas 7.427,97 Ha dari total luasan wilayah
penelitian sebesar 14.400 Ha. Pada tahun 2000, tutupan lahan mangrove lebih luas
dibandingkan dengan tutupan lahan tambak yakni tutupan mangrove memiliki
luas 2.296,34 Ha dan tambak 2.128,69 Ha.
Lahan terbuka pada tahun 2000 memiliki luas 1.337,59 Ha dibandingkan
pemukiman hanya 851,95 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2000,
lahan terbuka belum dimanfaatkan secara potensial, sedangkan luas tutupan lahan
lumpur sebesar 357,46 Ha yang merata dipinggiran pesisir mangrove.

4.2.2 Tutupan Lahan Tahun 2004


Untuk mempermudah memahami tutupan lahan yang ada di Pesisir Muara
Sungai Lumpur maka dibuat peta yang berbasis informasi geografis. Dalam
Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2010) menjelaskan bahwa peta
merupakan gambaran seluruh atau sebagian permukaan bumi dalam bidang datar
33

yang diperkecil dengan skala tertentu dan dilengkapi dengan simbol-simbol. Peta
tutupan lahan pada wilayah Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten Ogan
Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan tahun 2004 disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Peta tutupan lahan di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2004

Setiap warna menunjukkan kelas tutupan lahan yaitu warna biru


menunjukkan perairan, warna hijau menunjukkan kelas mangrove, warna cyan
menunjukkan kelas tambak, warna jingga menunjukkan pemukiman, warna coklat
menunjukkan lahan terbuka dan warna abu-abu menunjukkan kelas lumpur.
Pemberian warna yang beragam diharapkan mempermudah pengguna dalam
membaca peta tutupan lahan tersebut sehingga proses interpretasi lebih mudah
dipahami.
Perairan mendominasi tutupan lahan sebesar 49,86% dari 14.400 Ha lokasi
tutupan lahan di Pesisir Muara Sungai Lumpur, kemudian 18,23% tutupan adalah
tambak, 11,32% merupakan lahan vegetasi mangrove, lahan terbuka 9,83%,
pemukiman seluas 6,95% dan endapan lumpur sebesar 3,81%. Lahan terbuka
34

memiliki luasan yang lebih banyak dibandingkan pemukiman karena


kemungkinan penggunaan lahan terbuka belum dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar.
Selama 4 tahun (2000 2004), terjadi pengurangan tutupan lahan pada
kelas perairan dan mangrove. Sedangkan untuk keempat tutupan lahan lainnya
justru mengalami penambahan luas, yakni tambak mengalami penambahan lahan
495,80 Ha, pemukiman mengalami penambahan luas 149,75 Ha, lahan terbuka
mengalami penambahan luas 77,57 Ha dan tutupan lahan lumpur mengalami
penambahan luas 191,54 Ha.

4.3.3 Tutupan Lahan Tahun 2014


Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI merupakan wilayah yang
sedang berkembang. Muhsoni (2009) berpendapat bahwa perubahan penggunaan
lahan pada wilayah pesisir relatif cepat khususnya pada wilayah berkembang.
Didukung dengan pendapat Purwoko (2006) bahwa Dalam waktu yang relatif
lama kelas penutupan lahan akan mengalami perubahan. Perubahan dapat terjadi
karena adanya kenaikan dan penurunan penggunaan lahan. Kenaikan dan
penurunan penggunaan lahan diduga karena adanya pengaruh baik dari manusia
maupun peristiwa alam.
Dalam jangka waktu yang cukup lama, suatu lokasi cenderung mengalami
pengurangan luasan. Menganalisis perubahan tutupan lahan selama satu dekade
diperlukan karena dalam waktu yang cukup panjang membuat distribusi
perubahan lahan terlihat lebih jelas. Sejalan dengan Setiawan et al (2009) bahwa
secara visual tutupan lahan dibuat ke dalam peta agar lebih mudah dalam
mengetahui distribusinya.
Hasil citra terklasifikasi oleh Sari (2006) menunjukkan bahwa penutupan
lahan pada tahun 1992 di Kabupaten Ogan Komering Ilir tidak terdapat kelas
tambak, namun pada tahun 2000 telah banyak vegetasi mangrove yang berganti
menjadi kelas tambak. Peta tutupan lahan pada tahun 2014 di Pesisir Muara
Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada
Gambar 10.
35

Gambar 10. Peta tutupan lahan di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2014

Berdasarkan perbandingan peta tutupan lahan tahun 2004 dan 2014 terlihat
bahwa mangrove yang diwakili dengan warna hijau terlihat semakin menipis,
sedangkan area tambak dengan warna cyan terlihat semakin meningkat di wilayah
pesisir Desa Sungai Lumpur. Luas kelas tambak di wilayah Pesisir Muara Sungai
Lumpur memiliki penambahan lahan 1.830,06 Ha dalam jangka waktu 10 tahun.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pramudji (2010) bahwa kontribusi yang
paling besar dalam menurunnya luas area hutan mangrove adalah area tambak.
Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah berkaitan dengan pertumbuhan
penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan
semakin tingginya aktivitas penduduk di suatu tempat berdampak pada semakin
meningkatnya perubahan penggunaan lahan. Bukan hanya tambak yang
mengalami perubahan lahan tetapi masingmasing kelas juga mengalami
perubahan. Berbeda dengan kelas tambak yang terus mengalami pertambahan
lahan yang signifikan setiap tahunnya, kelas perairan dan mangrove justru terus
mengalami penurunan dari tahun 2000 hingga tahun 2014.
36

Penggunaan lahan tambak selama 14 tahun mengalami kenaikan yang


cukup signifikan, yaitu persentase perubahannya mencapai 16,15% dan
merupakan kelas dengan persentase perubahan yang paling tinggi dibandingkan
kelas lainnya. Hal ini menandakan bahwa kegiatan tambak dianggap penting bagi
masyarakat sekitar. Menurut Purwantoro dan Hadi (2004) dalam hubungannya
dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan diartikan
sebagai serangkaian kegiatan tindakan yang sistematis dan terorganisir dalam
penyediaan lahan serta tepat pada waktunya untuk pemanfaatan dan tujuan
lainnya sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Kelas perairan terus mengalami penurunan luasan, terlihat bahwa perairan
pada tahun 2000 seluas 7.427,97 Ha menjadi 7.180,02 Ha di tahun 2004 kemudian
pada tahun 2014 seluas 6.809,76 Ha. Perairan dalam jangka waktu yang cukup
lama senantiasa mengalami perubahan, perubahan ini bisa saja terjadi secara
alami maupun buatan. Dari peta tutupan lahan menunjukkan adanya kelas
perairan yang juga berada di dekat kelas tambak. Kelas perairan yang berada di
antara tambak diduga adalah tambak dengan perairan dangkal maupun genangan
air yang memiliki nilai spektral yang sama seperti pada kelas perairan.
Demikian halnya dengan kelas mangrove, mangrove mengalami
penurunan luasan sebesar 1.119,77 Ha atau sebanyak 7,78% selama 14 tahun.
Kecenderungan penurunan lahan yang terjadi berdasarkan penafsiran citra ini
mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup tinggi di
Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan.
Perubahan lahan mangrove bukan hanya terjadi karena adanya keinginan
untuk mengkonversi lahan dari masyarakat sekitar, namun juga masih banyak
kalangan masyarakat umum yang menganggap mangrove merupakan sumberdaya
yang potensial untuk dimanfaatkan dari kayunya. Meningkatnya keperluan akan
produksi kayu menyebabkan penebangan liar semakin tinggi yang sering
digunakan untuk membangun rumah penduduk maupun kayu bakar. Ekosistem
mangrove perlu di konservasi karena mangrove mempunyai peranan yang sangat
penting di wilayah pesisir.
Untuk tutupan lahan terbuka dan lumpur, kelas ini mengalami
penambahan lahan pada tahun 2000 2004 dan mengalami penurunan lahan pada
37

tahun 2014. Hal ini diduga karena pada tutupan lahan terbuka dan lumpur berubah
menjadi bagian dari tutupan kelas lainnya. Lain halnya dengan tutupan lahan
pemukiman dari 851,95 Ha mengalami penambahan luasan menjadi 1.001,70 Ha
pada tahun 2004, kemudian pada tahun 2014 mengalami penurunan luas hingga
menjadi 852,30 Ha sehingga secara keseluruhan luas tutupan lahan pemukiman
selama 14 tahun mengalami penambahan lahan 0,35 Ha. Luas dan persentase
perubahan tutupan lahan selama tahun 2000, 2004 dan 2014 secara lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Dalam proses klasifikasi akan ada error dalam mengklasifikasi data citra,
namun hal ini dapat dihindari dengan adanya proses editing. Proses editing dapat
dilakukan dengan membandingkan data citra dan data lapangan untuk melihat
bagaimana kondisi yang sebenarnya. Wilayah kelas tutupan lahan dan kondisi
lahan saat ground check lapangan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Kondisi Kelas Tutupan Lahan Saat Groundcheck


Nama Kondisi Sebenarnya
Peta Penutupan Lahan (2014)
Kelas (ground check)

P
E
R
A
I
R
A
N

Posisi : 3O2738,00S 105O5232,98 E Posisi : 3O2738,00S 105O5232,98 E

M
A
N
G
R
O
V
E

Posisi : 3O2320,94S 105O5445,93 E Posisi : 3O2320,94S 105O5445,93 E


38

T
A
M
B
A
K

Posisi : 3O2644,26S 105O5304,60 E Posisi : 3O2644,26S 105O5304,60 E


P
E
M
U
K
I
M
A
N

Posisi : 3O251,67S 105O5242,68 E Posisi : 3O251,67S 105O5242,68 E


L
A
H
A
N

T
E
R
B
U
K
A
Posisi : 3O2305,99S 105O5436,83 E
Posisi : 3O2305,99S 105O5436,83 E

L
U
M
P
U
R

Posisi :3O2425,16S 105O546,92 E Posisi : 3O2425,16S 105O546,92 E

Sumber : Data lapangan (2014)


39

Sampel lokasi diambil secara acak sesuai dengan data hasil interpretasi
awal citra. Berdasarkan sampel lokasi penutupan lahan ditemukan kelas perairan,
mangrove, tambak, pemukiman, lahan terbuka dan lumpur yang berada di sekitar
vegetasi mangrove wilayah tersebut. Peta tutupan lahan yang dihasilkan pada
proses klasifikasi ke-6 penutup lahan menunjukkan bahwa hasil klasifikasi
pengolahan citra Landsat 8 OLI pada tahun 2014 sesuai dengan keadaan
sebenarnya di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten Ogan Komering Ilir
Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2014.

4.3 Pembagian Kelas Mangrove Berdasarkan Kerapatan


4.3.1 Kerapatan Mangrove Tahun 2000
Menurut Ridho et al (2006A), kondisi luasan total mangrove di sepanjang
Pantai Timur OKI pada tahun 1992 sebesar 56.418,57 Ha, lalu setelah 8 tahun
kemudian pada tahun 2000 menyusut menjadi 47.781 Ha. Hal ini menunjukkan
bahwa selama 8 tahun mangrove mengalami pengurangan lahan sebanyak
8.637,57 Ha di sepanjang pesisir Pantai Timur OKI.

Gambar 11. Peta kerapatan mangrove di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2000
40

Peta kelas kerapatan mangrove pada tahun 2000 di Pesisir Muara Sungai
Lumpur Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada
Gambar 11. Klasifikasi kerapatan mangrove digunakan untuk membagi kelas
kerapatan mangrove menjadi 3 klasifikasi kerapatan. Berdasarkan data
pengolahan citra menunjukkan bahwa mangrove yang berada di Pesisir Muara
Sungai Lumpur Kabupaten OKI pada tahun 2000 adalah 2.296,34 Ha yang terdiri
mangrove jarang 5,23 Ha, mangrove sedang 87,05 Ha dan mangrove lebat 87,05
Ha. Klasifikasi kerapatan mangrove pada tahun 2000 disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Klasifikasi kerapatan mangrove berdasarkan DN citra tahun 2000


No Klasifikasi Kerapatan Interval Kelas Digital Number
1 Mangrove Jarang 0,0100 0,2344
2 Mangrove Sedang 0,2345 0,4589
3 Mangrove Lebat 0,4590 0,6833

4.3.1 Kerapatan Mangrove Tahun 2004


Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh berdasarkan energi yang
dipancarkan oleh vegetasi pada citra penginderaan jauh untuk menunjukkan
kerapatan suatu vegetasi. Untuk mendapatkan pembagian kelas kerapatan maka
terlebih dahulu melihat nilai minimum dan maksimum Digital Number yang
didapat dari hasil pengolahan citra. Pembagian interval kelas kerapatan mangrove
pada tahun 2004 terdapat pada Tabel 10.

Tabel 10. Klasifikasi kerapatan mangrove berdasarkan DN citra tahun 2004


No Klasifikasi Kerapatan Interval Kelas Digital Number
1 Mangrove Jarang 0,0100 0,2344
2 Mangrove Sedang 0,2345 0,4589
3 Mangrove Lebat 0,4590 0,6833

Interval masing-masing kerapatan mangrove pada tahun 2004 disesuaikan


dengan DN maksimum dikurang DN minimum kemudian dibagi menjadi 3 bagian
klasifikasi, yaitu mangrove jarang, mangrove sedang dan mangrove lebat.
Menurut Muhsoni (2009) analisis NDVI bernilai -1 sampai 1. Nilai -1 hingga 0
41

menunjukkan bahwa objek bukan vegetasi sedangkan nilai 0 hingga 1


menunjukkan bahwa objek adalah vegetasi. Peta kelas kerapatan mangrove pada
tahun 2004 disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Peta kerapatan mangrove di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2004

Nilai digital number citra pada tahun 2000 dan 2004 adalah sama, hal ini
menunjukkan bahwa adanya kerapatan yang terbaca dicitra masih sama dengan
keadaan selama 4 tahun. Total luasan mangrove pada tahun 2004 adalah 1.629,63
Ha. Mangrove ditunjukkan oleh warna hijau, sehingga semakin hijau warna
mangrove pada peta menunjukkan bahwa semakin rapatnya vegetasi mangrove.
Mangrove dengan warna hijau muda menunjukkan kelas mangrove jarang seluas
7,29 Ha. Mangrove dengan kerapatan sedang 109,89 Ha dan mangrove lebat
1.512,45 Ha.

4.4.2 Kerapatan Mangrove Tahun 2014


Jarak waktu selama 10 tahun dapat menyebabkan perubahan kerapatan
mangrove. Nilai maksimal Digital Number (DN) algoritma NDVI pada citra
42

Landsat tahun 2014 adalah 0,5572. Adanya perubahan nilai digital number
menandakan bahwa kerapatan jumlah vegetasi berkurang. Untuk menyesuaikan
interval klasifikasi kerapatan, maka untuk kerapatan mangrove jarang dan sedang
disesuaikan dengan interval kelas DN pada citra tahun 2000 dan 2004, sedangkan
untuk interval kerapatan mangrove lebat hanya sebatas nilai DN maksimal.
Klasifikasi kerapatan mangrove berdasarkan DN pada tahun 2014 disajikan pada
Tabel 11.

Tabel 11. Klasifikasi kerapatan mangrove berdasarkan DN citra tahun 2014


No Klasifikasi Kerapatan Interval Kelas Digital Number
1 Mangrove Jarang 0,0100 0,2344
2 Mangrove Sedang 0,2345 0,4589
3 Mangrove Lebat 0,4590 0,5572

Nilai DN yang menurun menunjukkan bahwa kerapatan secara


keseluruhan mengalami penurunan. Luas mangrove di Pesisir Muara Sungai
Lumpur menurun sebanyak 453,06 Ha selama 10 tahun. Kerapatan mangrove
jarang dan lebat mengalami menurunan luas lahan, sedangkan kerapatan
mangrove sedang mengalami penambahan luas lahan.
Faktor yang mempengaruhi sebaran vegetasi mangrove secara lingkungan
antara lain tersedianya habitat yang cocok dan aliran air yang membawa propagul
(bibit mangrove) pada proses pasang-surut. Seperti yang dinyatakan oleh
Pramudji (2010) bahwa gerakan air pasangsurut memiliki peranan yang sangat
penting terhadap penyebaran biji mangrove yang siap tumbuh.
Selain itu, tumbuh dan berkembangnya mangrove secara konsisten juga
berkaitan erat dengan tipe substrat, kemiringan pantai, keterlindungan terhadap
lingkungan. Mangrove yang tumbuh di muara sungai akan berbeda dengan
mangrove yang berada di pulau-pulau kecil. Peta kerapatan mangrove pada tahun
2014 di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan
disajikan pada Gambar 13.
43

Gambar 13. Peta Kerapatan Mangrove di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2014

Kerapatan mangrove pada tahun 2014 terlihat secara jelas dari Gambar 13
diatas. Pada tahun ini luasan mangrove adalah 1.176,57 Ha dengan 651,07
merupakan mangrove lebat. Warna hijau muda pada peta menunjukkan bahwa
mangrove dengan kerapatan sedang semakin mendominasi, sedangkan
berdasarkan luasan mangrove tahun 2014 memiliki 525,41 Ha mangrove sedang.
Lain halnya dengan mangrove sedang yang mulai terlihat mendominasi,
mangrove jarang justru hampir tidak tampak, karena hasil pengolahan citra
menunjukkan hanya seluas 0,09 Ha.

4.4 Perubahan Mangrove Selama 14 Tahun


Sebagian besar mangrove yang terdapat pada tahun 2000 mengalami
perubahan lahan pada tahun 2014. Perubahan lahan mangrove terjadi secara alami
maupun buatan. Perubahan lahan terjadi secara alamiah oleh alam misalnya
bencana alam banjir, longsor dan sedimentasi. Perubahan mangrove yang terjadi
44

karena alam dapat menyebabkan berkurangnya vegetasi mangrove, namun dengan


jumlah penurunan yang biasanya tidak mencolok karena jarang terjadi.
Perubahan-perubahan lahan mangrove pada wilayah pesisir juga tidak
lepas dari pengaruh parameter perairannya. Menurut Opa (2010) beberapa faktor
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah
topografi pantai, pasang-surut, gelombang, arus, salinitas, oksigen terlarut, tanah
serta zat hara.
Lain halnya dengan perubahan lahan mangrove secara buatan, perubahan
lahan mangrove terjadi karena adanya campur tangan manusia untuk
mengkonversi lahan sebagai pemukiman, tambak, jalur transportasi maupun lahan
potensial lainnya. Menurut Dahuri et al (1996), aktivitas manusia yang dapat
menyebabkan perubahan lahan mangrove antara lain adalah penebangan liar,
kebutuhan akan kayu bakar rumahan, rendahnya pengetahuan masyarakat akan
berbagai fungsi mangrove, serta adanya keinginan konversi lahan yang dianggap
bernilai lebih ekonomis seperti tambak maupun pemukiman. Grafik perubahan
luas mangrove selama waktu 14 tahun disajikan pada Gambar 14.

Grafik Perubahan Luas Mangrove


2500
2250
2000
1750
Keterangan :
1500
Luas (Ha)

Mangrove Lebat
1250
Mangrove Sedang
1000
Mangrove Jarang
750
500
250
0
Tahun 2000 Tahun 2004 Tahun 2014

Gambar 14. Grafik Perubahan Luas Mangrove tahun 2000 2014 di Pesisir Muara Sungai Lumpur
Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan

Grafik diatas menunjukkan bahwa perubahan luasan yang paling


mendominasi selama jangka waktu 14 tahun adalah perubahan mangrove lebat.
45

Dari ketiga kerapatan mangrove tersebut, menunjukkan bahwa telah terjadi


penurunan mangrove sebesar 1.119,77 Ha mangrove selama tahun 2000 hingga
2014. Mangrove yang pada tahun 2000 sebanyak 2.296,34 Ha berubah menjadi
1.629,63 Ha pada tahun 2004 dan di tahun 2014 menunjukkan mangrove bersisa
1.176,57 Ha.
Pada daerah penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya
pengurangan lahan mangrove secara signifikan adalah adanya aktifitas dari
manusia. Aktifitas manusia yang menyebabkan luasan serta kerapatan mangrove
pada wilayah Pesisir Muara Sungai Lumpur menurun adalah adanya penebangan
liar, pembangunan pemukiman serta konversi lahan mangrove menjadi tambak.
Namun dari ketiga kegiatan ini, konversi lahan tambak memiliki peran yang besar
terhadap perubahan mangrove di wilayah ini, karena tambak merupakan tutupan
lahan yang dianggap bernilai ekonomis bagi masyarakat sekitar.
Kerapatan mangrove yang cenderung menurun ini menunjukkan bahwa
adanya penurunan kualitas ekosistem mangrove. Bukan hanya dari perubahan
luasan mangrovenya, namun juga adanya perubahan jumlah dari kerapatan
mangrove sedang menjadi mangrove jarang, maupun dari kerapatan lebat menjadi
kerapatan sedang. Secara rinci tabel perubahan mangrove disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Perubahan Mangrove Selama 14 tahun


Kriteria
Kerapatan Luas Mangrove (Ha) Perubahan Luasan Mangrove (Ha)
Mangrove (Ha)
Tahun 2000 2004 2014 (20002004) (20042014)
Jarang 5,23 7,29 0,09 +2,06 -7,20
Sedang 87,05 109,89 525,41 +22,84 +415,52
Lebat 2.204,06 1.512,45 651,07 -691,61 -861,38
Total 2.296,34 1.629,63 1.176,57 -666,71 -453,06
Sumber : Data Citra Olahan (2015)
Keterangan : + = Penambahan Luas
- = Pengurangan Luas

Tabel diatas menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi yang cukup tinggi
selama 4 tahun (2000 2004) yaitu 666,71 Ha sedangkan selama 10 tahun
selanjutnya (2004 2014) perubahan luasan yang terjadi hanya 453,06 Ha.
46

Adanya perubahan yang signifikan di antara tahun 2000 dan 2004 diduga karena
pada tahun ini telah terjadi deforestasi hutan mangrove menjadi tambak secara
besar-besaran. Hal ini juga terlihat dari hasil penelitian Sari (2006) bahwa
perubahan luasan mangrove di Pantai Timur OKI selama 3 tahun (2000 2003)
terjadi perubahan sebesar 15.759,36 Ha. Jumlah perubahan luasan ini cukup
signifikan jika dibandingkan dengan perubahan lahan yang terjadi selama 8 tahun
(1992 2000) hanya sebesar 8.637,57 Ha.
Untuk perubahan kerapatan mangrove tahun 2000 menunjukkan bahwa
seluas 2.204,06 Ha mangrove masuk kedalam kelas kerapatan mangrove lebat,
kemudian menurun menjadi 1.512,45 Ha pada tahun 2004 dan di tahun 2014
mangrove lebat hanya bersisa 651,07 Ha.
Berbeda dengan luasan mangrove dengan kerapatan lebat yang terus
mengalami penurunan luasan, mangrove dengan kerapatan sedang justru
mengalami penambahan luas. Di tahun 2000 mangrove sedang hanya seluas 87,05
Ha, lalu ditahun 2004 bertambah menjadi 109,89 Ha dan pada tahun 2014 menjadi
525,41 Ha. Kemudian mangrove dengan kerapatan jarang, yang sebagian besar
tidak terlihat pada citra memiliki luas 5,23 Ha di tahun 2000, tahun 2004
menunjukkan penambahan luas sebesar 7,29 Ha dan 10 tahun kemudian hanya
tersisa 0,09 Ha.
Masyarakat sekitar memegang peranan penting dalam terjaganya
kelestarian hutan mangrove. Pengetahuan mengenai fungsifungsi ekologis dan
biologis harus lebih diutamakan, sehingga nantinya fungsi ekonomis dapat
berjalan beriringan dengan fungsi lainnya. Menurut Pramudji (2010) hutan
mangrove tidak hanya berperan dalam menahan banjir dan gelombang air pasang
tsunami, tetapi juga terbukti efektif menyimpan karbon. Dalam satu meter persegi
hutan mangrove mampu menyimpan karbon sekitar 50 kg/m2. Kondisi tersebut
dampaknya memberikan kontribusi dalam mengurangi efek perubahan iklim.
Serasah mangrove juga sangat bermanfaat bagi pakan hewan mikro seperti
juvenil udang, zooplankton maupun ikan-ikan. Sudah seharusnya masyarakat
dapat mengetahui akan fungsi fungsi biologi dan lingkungan dari mangrove
sehingga bukan hanya dikembangkan pada fungsi ekonomi tanpa memperhatikan
fungsi biologi dan lingkungan.
47

4.5 Kondisi Mangrove pada Setiap Stasiun Penelitian


Berdasarkan 8 titik stasiun penelitian ditemukan 8 jenis mangrove sejati
yaitu Avicennia alba, Avicennia marina, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata,
Rhizophora mucronata, Acanthus ebracteatus, Acanthus ilicifolius dan Nypa
fruticans. Mangrove jenis Avicennia alba, Avicennia marina, Sonneratia alba,
Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata merupakan mangrove sejati
mayor jenis pohon. Menurut Pramudji (2010) mangrove sejati (true mangrove)
adalah kelompok jenis tumbuhan mangrove yang membentuk tegakan murni dan
mendominasi dalam komunitas mangrove.
Acanthus ebracteatus dan Acanthus ilicifolius merupakan mangrove minor
jenis herba yang biasanya tumbuh di vegetasi mangrove yang sudah mengalami
kerusakan. Irawanto et al (2015) menjelaskan bahwa tanaman ini hidup di daerah
pasang surut air laut terutama pada daerah berlumpur. Tanaman ini dapat tahan
terhadap salinitas air laut, namun tanaman ini juga bisa hidup di air tawar.
Mangrove minor merupakan jenis tumbuhan mangrove yang tidak/jarang
membentuk tegakan murni serta tidak mendominasi struktur dan komunitas. Nypa
fruticans merupakan salah satu mangrove minor jenis palem. Jenis mangrove
yang ditemukan pada setiap stasiun cenderung beragam dan memiliki perbedaan
komposisi jenis mangrove. Untuk menentukan kerapatan vegetasi mangrove di
Pesisir Muara Sungai Lumpur digunakan petakan mangrove sejati mayor saja,
sedangkan mangrove minor hanya dijadikan data tambahan.
Lima jenis mangrove mayor yang ditemukan kemudian dianalisa untuk
menentukan Kerapatan Jenis (Ki), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Jenis (Fi),
Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Jenis (Di), Dominansi Relatif (DR), Basal
Area (BA) dan Indeks Nilai Penting (INP). Grafik kerapatan jenis mangrove
disetiap stasiun disajikan pada Gambar 15, sedangkan hasil pengolahan data
ground check dapat dilihat pada Lampiran 1.
48

1100
1000
900
Kerapatan Jenis (ind/Ha)
800
700
600
500
400
300
200
100
0
St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8

Avicennia alba Avicennia marina Sonneratia alba


Rhizophora apiculata Rizhophora mucronata

Gambar 15. Grafik Kerapatan Jenis Mangrove Ground Check


Sumber : Data lapangan (2014)

Berdasarkan Gambar 15 menunjukkan bahwa kerapatan jenis Avicennia


alba pada stasiun 1 memiliki tingkat kerapatan jenis yang paling tinggi
dibandingkan pada stasiun lainnya. Kemudian stasiun 2 dan dilanjutkan dengan
stasiun 8 yang memiliki kerapatan jenis Avicennia alba yang cukup tinggi, yaitu
berkisar pada angka 800 hingga 1.000 ind/Ha.
Grafik di atas menunjukkan bahwa komposisi mangrove di setiap stasiun
beragam. Mengacu pada kriteria kerapatan mangrove Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup (2004) menunjukkan bahwa stasiun 1 dan 8 merupakan stasiun
memiliki kerapatan mangrove lebat. Pada stasiun 1 ditemukan mangrove
Avicennia alba dengan kerapatan 1.011 ind/Ha serta Avicennia marina dengan
kerapatan 537 ind/Ha. Data tersebut menunjukkan bahwa kerapatan pohon pada
stasiun 1 adalah 1.548 ind/Ha dan memiliki indeks nilai penting 300%. Stasiun 1
memiliki kerapatan jenis anakan sebesar 1.733 ind/Ha dan semai 26.666 ind/Ha.
Stasiun 2 hanya ditemukan semai dengan jenis Avicennia alba sebanyak
26.666 ind/Ha, sedangkan untuk anakan pada stasiun 2 ditemukan juga jenis
Sonneratia alba dengan banyak 666 ind/Ha. Data kerapatan jenis pohon untuk
stasiun 2 terlihat bahwa stasiun ini memiliki kerapatan sedang, yakni 1.026 ind/Ha
yang terdiri dari jenis Avicennia alba dan Sonneratia alba.
49

Berdasarkan jumlah kerapatan individu pohon 1.185 ind/Ha, stasiun 3


termasuk dalam kategori hutan mangrove dengan kerapatan sedang. Ditemukan
jenis Avicennia alba dan Avicennia marina pada masing-masing plot. Data semai
menunjukkan kerapatan jenis semai 43.333 ind/Ha dan anakan sebesar 3.066
ind/Ha.
Lain halnya dengan stasiun 4 dan stasiun 5. Mangrove dengan kerapatan
jarang terdapat di stasiun 4 dan 5 yang berada di mulut Pesisir Muara Sungai
Lumpur. Panjang transek hanya sepanjang 1 plot dan tidak mencapai 100 meter
karena terdapat tambak di belakang zonasi mangrove. Stasiun 4 semai memiliki
kerapatan 10.000 ind/Ha, anakan 266 ind/Ha dan kerapatan pohon 344 ind/Ha
yang hanya terdiri dari 1 jenis mangrove, yaitu Rhizophora mucronata. Stasiun 4
menunjukkan indeks nilai penting sebesar 300, yang artinya bahwa keberadaan
mangrove jenis Rhizophora mucronata penting bagi wilayah pesisir muara.
Sedangkan pada stasiun 5 kerapatan semai Rhizophora mucronata adalah
6.666 ind/Ha dan kerapatan anakan 800 ind/Ha, untuk data pohon ditemukan juga
mangrove jenis Rhizophora apiculata dengan kerapatan 233 ind/Ha sehingga
kerapatan pohon adalah 378 ind/Ha.
Stasiun 6 menunjukkan kerapatan sebesar 1.004 Ind/Ha yang terdiri dari
Avicennia alba, Avicennia marina, dan Rhizophora mucronata. Kerapatan
individu pohon yang tertinggi merupakan Avicennia alba 593 ind/Ha sedangkan
Rhizophora mucronata memiliki kerapatan 78 Ind/Ha. Kerapatan semai 50.000
ind/Ha dan kerapatan anakan sebesar 3.066 ind/Ha. Stasiun 6 masuk dalam
kategori sedang.
Terdapat Avicennia alba dan Avicennia marina pada stasiun 7 dengan total
kerapatan 1.030 ind/Ha. Di stasiun ini juga ditemukan Acanthus ebracteatus yang
berada dipertengahan hingga ke ujung zonasi sehingga walaupun kerapatan
pohonnya lebih rendah dibandingkan stasiun 1 dan 8 pada stasiun ini individu
mangrove minor cukup banyak. Pada stasiun ini menunjukkan indeks nilai
penting pada Avicennia alba 135,84% dan Avicennia marina 164,16% sehingga
nilai pentingnya adalah 300%.
Tingkat dominansi (INP) berkisar antara 0 300 menunjukkan adanya
keterwakilan jenis mangrove yang berperan dalam ekosistem, sehingga jika INP
50

300 menunjukkan bahwa mangrove memiliki nilai penting dalam suatu


lingkungan pesisir. Tingginya nilai INP pada setiap jenis mangrove di masing-
masing stasiun penelitian sangat tergantung pada kondisi pertumbuhan mangrove.
Data hasil pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 1.
Lain halnya dengan stasiun 8, pada stasiun ini mangrove jenis Avicennia
alba memiliki kerapatan jenis 815 ind/Ha, Avicennia marina 141 ind/Ha dan juga
ditemukan jenis Sonneratia alba dengan kerapatan 607 ind/Ha sehingga total
kerapatan mangrove stasiun 8 adalah 1.563 ind/Ha. Stasiun 8 ditemukan paling
banyak jumlah semai yang ditemukan, yakni mencapai 80.000 ind/Ha semai
sedangkan anakan 2.400 ind/Ha. Selain dari ketiga jenis mangrove sejati, pada
stasiun 8 juga ditemukan mangrove minor jenis Acanthus ilicifolius dan Acanthus
ebracteatus yang biasa disebut jeruju. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada
saat ground check disajikan pada Lampiran 4.
Menurut Irawanto et al (2015) Acanthus sp. biasa ditemukan dari zona
menengah ke hulu muara dipertengahan hingga daerah intertidal. Jeruju tumbuh
pada daerah dengan masukan air tawar yang lebih banyak dan jarang terendam air
pasang, tersebar luas dan umum. Ditemukan pada semua jenis tanah, terutama
daerah berlumpur sepanjang tepi sungai dan daratan hutan bakau.
Nipah terdapat di sepanjang Pesisir Sungai Lumpur yang merupakan
mangrove sejati jenis palem dari suku Arecaceae. Menurut Pramudji (2010) nipah
(Nypa fruticans) merupakan komponen penyusun ekosistem mangrove sejenis
palma yang seringkali tumbuh di tepian sungai lebih ke hulu dan mendapatkan
pengaruh aliran air tawar yang dominan. Komunitas Nipah tumbuh secara optimal
di kiri dan kanan sungai-sungai besar di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya.
Sebaran mangrove yang luas berada di pesisir dalam aliran sungai. Pada
saat ground check menunjukkan bahwa sepanjang aliran sungai di kelilingi oleh
mangrove jenis Nypa fruticans dan tergenang oleh air. Keadaan sedimen yang
demikian tidak memungkinkan untuk dilakukannya transek, sehingga pengamatan
jenis mangrove hanya dilakukan pada awal zonasi.
Komposisi zonasi mangrove pada setiap stasiun cenderung bervariasi.
Selain Acanthus sp ditemukan juga mangrove asosiasi yaitu Hibiscus tiliaceus di
zonasi belakang mangrove yang berada dekat dengan tambak. Hal ini didukung
51

dengan pendapat Setyawan dan Winarno (2006) bahwa perbedaan komposisi jenis
mangrove setiap petak pengamatan berbeda disebabkan oleh karakteristik masing-
masing jenis dan habitatnya. Kondisi mangrove dapat dipengaruhi oleh tingginya
tingkat sedimentasi dan tingkat aktivitas masyarakat. Gambar 16 menunjukkan
Hibiscus tiliaceus yang ditemui saat di lapangan.

Gambar 16. Mangrove Asosiasi Hibiscus tiliaceus


Sumber : Data Lapangan (2014)

Biasanya tumbuhan asosiasi ditemukan pada lahan hasil konversi yang


telah banyak hilang vegetasi mangrove sejatinya. Vegetasi mangrove di Pesisir
Sungai Lumpur yang telah ditebang membuat pembukaan lahan didominasi oleh
tumbuhan mangrove asosiasi lainnya. Menurut Indriani et al (2009) bahwa
keanekaragaman spesies tumbuhan yang sebagian besar tergolong dalam
mangrove asosiasi mengidentifikasikan bahwa adanya percampuran spesies
daratan sebagai akibat adanya zona transisi dari zona sungai menuju daratan.
Tumbuhan yang berasosiasi dengan mangrove pada umumnya tidak
memiliki ciri morfologi yang biasa dimiliki oleh mangrove mayor dan mangrove
minor yaitu tidak memiliki akar napas, tipe buah dan biji yang normal, tidak
memiliki mekanisme untuk pengeluaran garam dan sering kali hanya dijumpai
pada tepi mangrove lebih dekat ke daratan (Setyawan dan Winarno, 2006). Tidak
semua kerapatan hasil pengolahan data citra ground check sesuai dengan
pengolahan citra sementara. Perbandingan keadaan ground check lapangan
dengan data pengolahan citra disajikan pada Tabel 13.
52

Tabel 13. Perbandingan Keadaan Ground Check Lapangan dengan Data Pengolahan
Citra
K
St Keadaan Ground check Data Pengolahan Citra
(ind/Ha)

St1

1.548
1

Mangrove Lebat Mangrove Lebat


3o2308,23"LS - 105o5456,61"BT 3o2308,23"LS - 105o5456,61"BT

St2

2 1.026

Mangrove Sedang Mangrove Sedang


3o2408,84"LS - 105o5414,87" BT 3o2408,84"LS - 105o5414,87" BT

St3
1.185
3

Mangrove Sedang Mangrove Sedang


3 2459,66"LS - 105o53'55,47"BT
o
3o2459,66"LS - 105o53'55,47"BT
53

St4

344
4

Mangrove Jarang Mangrove Jarang


3o2509,47"LS - 105o5305,98"BT 3 2509,47"LS - 105o5305,98"BT
o

St5
378
5

Mangrove Jarang Mangrove Sedang


3o2519,25"LS - 105o53'2,99"BT 3o2519,25"LS - 105o53'2,99"BT

St6 1.004
6

Mangrove Sedang Mangrove Sedang


3o2604,19"LS - 105o53'03,03"BT 3o2604,19"LS - 105o53'03,03"BT
54

1.030
St7

Mangrove Sedang Mangrove Sedang


3o2637,41"LS - 105o53'53,34"BT 3 2637,41"LS - 105o53'53,34"BT
o

1.563

St8

Mangrove Lebat Mangrove Lebat


3o2713,57"LS - 105o5237,82"BT 3o2713,57"LS - 105o5237,82"BT

Sumber : Data lapangan dan Pengolahan Citra (2014)

Berdasarkan Kepmen LH (2004) kerapatan pohon yang berada dibawah


1.000 ind/Ha menandakan bahwa vegetasi mangrove memiliki kerapatan yang
jarang. Kerapatan mangrove per plot dengan luasan 30 x 30 m pada setiap transek
bervariasi dan dapat dilihat pada Lampiran 1D. Kerapatan individu per hektar
pada setiap plot mewakili 1 piksel pada citra karena luasan mangrove memiliki
luasan yang sama yaitu 30 x 30 m.
Hasil perbandingan antara data lapangan dan hasil pengolahan citra
menunjukkan bahwa hampir setiap stasiun memiliki persamaan kriteria kerapatan
mangrove dalam analisa data lapangan dan analisa pengolahan citra. Namun,
terdapat 1 perbedaan hasil analisa pengolahan data lapangan dan pengolahan citra
pada stasiun 5.
Data hasil lapangan menunjukkan bahwa stasiun yang berada pada mulut
muara bagian selatan yakni hanya 378 ind/Ha. Perbedaan hasil kriteria kerapatan
55

mangrove berdasarkan kondisi lapangan dan data pengolahan citra ini diduga
karena pada stasiun 5 terdiri dari pohon Rhizophora sp yang cukup rimbun,
sehingga pada saat pengolahan citra terdeteksi bahwa stasiun ini termasuk dalam
kerapatan sedang padahal pada stasiun ini kerapatan individu pohon termasuk
dalam kriteria jarang. Selain itu, pertumbuhan Nypa fruticans yang terdapat pada
zonasi belakang mangrove di stasiun juga mempengaruhi pantulan spektral.
Secara umum, suatu vegetasi mangrove apabila semakin rapat jumlah
individu pohon menunjukkan bahwa vegetasi mangrove tersebut memiliki daun
yang rimbun. Namun terdapat juga kemungkinan bahwa dengan jumlah kerapatan
individu mangrove yang sedang, masing-masing individu pohon memiliki daun
yang rimbun sehingga analisa yang memanfaatkan dari pantulan nilai spektral
vegetasi menunjukkan bahwa mangrove lebat. Selain pengaruh kerimbunan
pohon, perbedaan ini dapat terjadi karena adanya faktor dari nilai akurasi GPS
(Global Positioning Systems) yang digunakan yaitu sebesar 5 hingga 10 meter.
Berdasarkan keputusan Kepmen LH (2004) yang mengacu pada kriteria
baku kerusakan mangrove, bahwa kriteria mangrove yang baik adalah vegetasi
mangrove yang memiliki kerapatan 1.000 hingga > 1.500 ind/Ha sedangkan
vegetasi mangrove dengan kriteria rusak ditunjukkan dengan kerapatan individu
mangrove dibawah 1.000 ind/Ha. Kepmen LH (2004) secara lengkap dilampirkan
pada Lampiran 3. Dari hasil penentuan kerapatan mangrove diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa wilayah Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI
Provinsi Sumatera Selatan masih dalam kondisi yang baik.

Anda mungkin juga menyukai