Gambar 8. Peta tutupan lahan di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi Sumatera
Selatan tahun 2000
yang diperkecil dengan skala tertentu dan dilengkapi dengan simbol-simbol. Peta
tutupan lahan pada wilayah Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten Ogan
Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan tahun 2004 disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Peta tutupan lahan di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2004
Gambar 10. Peta tutupan lahan di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2014
Berdasarkan perbandingan peta tutupan lahan tahun 2004 dan 2014 terlihat
bahwa mangrove yang diwakili dengan warna hijau terlihat semakin menipis,
sedangkan area tambak dengan warna cyan terlihat semakin meningkat di wilayah
pesisir Desa Sungai Lumpur. Luas kelas tambak di wilayah Pesisir Muara Sungai
Lumpur memiliki penambahan lahan 1.830,06 Ha dalam jangka waktu 10 tahun.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pramudji (2010) bahwa kontribusi yang
paling besar dalam menurunnya luas area hutan mangrove adalah area tambak.
Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah berkaitan dengan pertumbuhan
penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan
semakin tingginya aktivitas penduduk di suatu tempat berdampak pada semakin
meningkatnya perubahan penggunaan lahan. Bukan hanya tambak yang
mengalami perubahan lahan tetapi masingmasing kelas juga mengalami
perubahan. Berbeda dengan kelas tambak yang terus mengalami pertambahan
lahan yang signifikan setiap tahunnya, kelas perairan dan mangrove justru terus
mengalami penurunan dari tahun 2000 hingga tahun 2014.
36
tahun 2014. Hal ini diduga karena pada tutupan lahan terbuka dan lumpur berubah
menjadi bagian dari tutupan kelas lainnya. Lain halnya dengan tutupan lahan
pemukiman dari 851,95 Ha mengalami penambahan luasan menjadi 1.001,70 Ha
pada tahun 2004, kemudian pada tahun 2014 mengalami penurunan luas hingga
menjadi 852,30 Ha sehingga secara keseluruhan luas tutupan lahan pemukiman
selama 14 tahun mengalami penambahan lahan 0,35 Ha. Luas dan persentase
perubahan tutupan lahan selama tahun 2000, 2004 dan 2014 secara lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Dalam proses klasifikasi akan ada error dalam mengklasifikasi data citra,
namun hal ini dapat dihindari dengan adanya proses editing. Proses editing dapat
dilakukan dengan membandingkan data citra dan data lapangan untuk melihat
bagaimana kondisi yang sebenarnya. Wilayah kelas tutupan lahan dan kondisi
lahan saat ground check lapangan disajikan pada Tabel 8.
P
E
R
A
I
R
A
N
M
A
N
G
R
O
V
E
T
A
M
B
A
K
T
E
R
B
U
K
A
Posisi : 3O2305,99S 105O5436,83 E
Posisi : 3O2305,99S 105O5436,83 E
L
U
M
P
U
R
Sampel lokasi diambil secara acak sesuai dengan data hasil interpretasi
awal citra. Berdasarkan sampel lokasi penutupan lahan ditemukan kelas perairan,
mangrove, tambak, pemukiman, lahan terbuka dan lumpur yang berada di sekitar
vegetasi mangrove wilayah tersebut. Peta tutupan lahan yang dihasilkan pada
proses klasifikasi ke-6 penutup lahan menunjukkan bahwa hasil klasifikasi
pengolahan citra Landsat 8 OLI pada tahun 2014 sesuai dengan keadaan
sebenarnya di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten Ogan Komering Ilir
Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2014.
Gambar 11. Peta kerapatan mangrove di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2000
40
Peta kelas kerapatan mangrove pada tahun 2000 di Pesisir Muara Sungai
Lumpur Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada
Gambar 11. Klasifikasi kerapatan mangrove digunakan untuk membagi kelas
kerapatan mangrove menjadi 3 klasifikasi kerapatan. Berdasarkan data
pengolahan citra menunjukkan bahwa mangrove yang berada di Pesisir Muara
Sungai Lumpur Kabupaten OKI pada tahun 2000 adalah 2.296,34 Ha yang terdiri
mangrove jarang 5,23 Ha, mangrove sedang 87,05 Ha dan mangrove lebat 87,05
Ha. Klasifikasi kerapatan mangrove pada tahun 2000 disajikan pada Tabel 9.
Gambar 12. Peta kerapatan mangrove di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2004
Nilai digital number citra pada tahun 2000 dan 2004 adalah sama, hal ini
menunjukkan bahwa adanya kerapatan yang terbaca dicitra masih sama dengan
keadaan selama 4 tahun. Total luasan mangrove pada tahun 2004 adalah 1.629,63
Ha. Mangrove ditunjukkan oleh warna hijau, sehingga semakin hijau warna
mangrove pada peta menunjukkan bahwa semakin rapatnya vegetasi mangrove.
Mangrove dengan warna hijau muda menunjukkan kelas mangrove jarang seluas
7,29 Ha. Mangrove dengan kerapatan sedang 109,89 Ha dan mangrove lebat
1.512,45 Ha.
Landsat tahun 2014 adalah 0,5572. Adanya perubahan nilai digital number
menandakan bahwa kerapatan jumlah vegetasi berkurang. Untuk menyesuaikan
interval klasifikasi kerapatan, maka untuk kerapatan mangrove jarang dan sedang
disesuaikan dengan interval kelas DN pada citra tahun 2000 dan 2004, sedangkan
untuk interval kerapatan mangrove lebat hanya sebatas nilai DN maksimal.
Klasifikasi kerapatan mangrove berdasarkan DN pada tahun 2014 disajikan pada
Tabel 11.
Gambar 13. Peta Kerapatan Mangrove di Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2014
Kerapatan mangrove pada tahun 2014 terlihat secara jelas dari Gambar 13
diatas. Pada tahun ini luasan mangrove adalah 1.176,57 Ha dengan 651,07
merupakan mangrove lebat. Warna hijau muda pada peta menunjukkan bahwa
mangrove dengan kerapatan sedang semakin mendominasi, sedangkan
berdasarkan luasan mangrove tahun 2014 memiliki 525,41 Ha mangrove sedang.
Lain halnya dengan mangrove sedang yang mulai terlihat mendominasi,
mangrove jarang justru hampir tidak tampak, karena hasil pengolahan citra
menunjukkan hanya seluas 0,09 Ha.
Mangrove Lebat
1250
Mangrove Sedang
1000
Mangrove Jarang
750
500
250
0
Tahun 2000 Tahun 2004 Tahun 2014
Gambar 14. Grafik Perubahan Luas Mangrove tahun 2000 2014 di Pesisir Muara Sungai Lumpur
Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan
Tabel diatas menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi yang cukup tinggi
selama 4 tahun (2000 2004) yaitu 666,71 Ha sedangkan selama 10 tahun
selanjutnya (2004 2014) perubahan luasan yang terjadi hanya 453,06 Ha.
46
Adanya perubahan yang signifikan di antara tahun 2000 dan 2004 diduga karena
pada tahun ini telah terjadi deforestasi hutan mangrove menjadi tambak secara
besar-besaran. Hal ini juga terlihat dari hasil penelitian Sari (2006) bahwa
perubahan luasan mangrove di Pantai Timur OKI selama 3 tahun (2000 2003)
terjadi perubahan sebesar 15.759,36 Ha. Jumlah perubahan luasan ini cukup
signifikan jika dibandingkan dengan perubahan lahan yang terjadi selama 8 tahun
(1992 2000) hanya sebesar 8.637,57 Ha.
Untuk perubahan kerapatan mangrove tahun 2000 menunjukkan bahwa
seluas 2.204,06 Ha mangrove masuk kedalam kelas kerapatan mangrove lebat,
kemudian menurun menjadi 1.512,45 Ha pada tahun 2004 dan di tahun 2014
mangrove lebat hanya bersisa 651,07 Ha.
Berbeda dengan luasan mangrove dengan kerapatan lebat yang terus
mengalami penurunan luasan, mangrove dengan kerapatan sedang justru
mengalami penambahan luas. Di tahun 2000 mangrove sedang hanya seluas 87,05
Ha, lalu ditahun 2004 bertambah menjadi 109,89 Ha dan pada tahun 2014 menjadi
525,41 Ha. Kemudian mangrove dengan kerapatan jarang, yang sebagian besar
tidak terlihat pada citra memiliki luas 5,23 Ha di tahun 2000, tahun 2004
menunjukkan penambahan luas sebesar 7,29 Ha dan 10 tahun kemudian hanya
tersisa 0,09 Ha.
Masyarakat sekitar memegang peranan penting dalam terjaganya
kelestarian hutan mangrove. Pengetahuan mengenai fungsifungsi ekologis dan
biologis harus lebih diutamakan, sehingga nantinya fungsi ekonomis dapat
berjalan beriringan dengan fungsi lainnya. Menurut Pramudji (2010) hutan
mangrove tidak hanya berperan dalam menahan banjir dan gelombang air pasang
tsunami, tetapi juga terbukti efektif menyimpan karbon. Dalam satu meter persegi
hutan mangrove mampu menyimpan karbon sekitar 50 kg/m2. Kondisi tersebut
dampaknya memberikan kontribusi dalam mengurangi efek perubahan iklim.
Serasah mangrove juga sangat bermanfaat bagi pakan hewan mikro seperti
juvenil udang, zooplankton maupun ikan-ikan. Sudah seharusnya masyarakat
dapat mengetahui akan fungsi fungsi biologi dan lingkungan dari mangrove
sehingga bukan hanya dikembangkan pada fungsi ekonomi tanpa memperhatikan
fungsi biologi dan lingkungan.
47
1100
1000
900
Kerapatan Jenis (ind/Ha)
800
700
600
500
400
300
200
100
0
St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8
dengan pendapat Setyawan dan Winarno (2006) bahwa perbedaan komposisi jenis
mangrove setiap petak pengamatan berbeda disebabkan oleh karakteristik masing-
masing jenis dan habitatnya. Kondisi mangrove dapat dipengaruhi oleh tingginya
tingkat sedimentasi dan tingkat aktivitas masyarakat. Gambar 16 menunjukkan
Hibiscus tiliaceus yang ditemui saat di lapangan.
Tabel 13. Perbandingan Keadaan Ground Check Lapangan dengan Data Pengolahan
Citra
K
St Keadaan Ground check Data Pengolahan Citra
(ind/Ha)
St1
1.548
1
St2
2 1.026
St3
1.185
3
St4
344
4
St5
378
5
St6 1.004
6
1.030
St7
1.563
St8
mangrove berdasarkan kondisi lapangan dan data pengolahan citra ini diduga
karena pada stasiun 5 terdiri dari pohon Rhizophora sp yang cukup rimbun,
sehingga pada saat pengolahan citra terdeteksi bahwa stasiun ini termasuk dalam
kerapatan sedang padahal pada stasiun ini kerapatan individu pohon termasuk
dalam kriteria jarang. Selain itu, pertumbuhan Nypa fruticans yang terdapat pada
zonasi belakang mangrove di stasiun juga mempengaruhi pantulan spektral.
Secara umum, suatu vegetasi mangrove apabila semakin rapat jumlah
individu pohon menunjukkan bahwa vegetasi mangrove tersebut memiliki daun
yang rimbun. Namun terdapat juga kemungkinan bahwa dengan jumlah kerapatan
individu mangrove yang sedang, masing-masing individu pohon memiliki daun
yang rimbun sehingga analisa yang memanfaatkan dari pantulan nilai spektral
vegetasi menunjukkan bahwa mangrove lebat. Selain pengaruh kerimbunan
pohon, perbedaan ini dapat terjadi karena adanya faktor dari nilai akurasi GPS
(Global Positioning Systems) yang digunakan yaitu sebesar 5 hingga 10 meter.
Berdasarkan keputusan Kepmen LH (2004) yang mengacu pada kriteria
baku kerusakan mangrove, bahwa kriteria mangrove yang baik adalah vegetasi
mangrove yang memiliki kerapatan 1.000 hingga > 1.500 ind/Ha sedangkan
vegetasi mangrove dengan kriteria rusak ditunjukkan dengan kerapatan individu
mangrove dibawah 1.000 ind/Ha. Kepmen LH (2004) secara lengkap dilampirkan
pada Lampiran 3. Dari hasil penentuan kerapatan mangrove diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa wilayah Pesisir Muara Sungai Lumpur Kabupaten OKI
Provinsi Sumatera Selatan masih dalam kondisi yang baik.