Anda di halaman 1dari 17

Penatalaksanaan ARDS pada Keadaan Emengency

Rizki Siti Fitria


102012263
D2
rizkisitifitria@gmail.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara, No. 6
Jakarta Barat

Pendahuluan
Sistem pernapasan merupakan suatu sistem organ yang memiliki peran penting dalam
memungkinkan terjadinya pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Sebagaimana yang
diketahui pertukaran gas ini terjadi di dalam alveolus paru-paru. Dengan demikian paru-paru
merupakan bagian terpenting dalam sistem pernapasan, namun hal ini bukan berarti organ
lain dalam sistem pernapasan di inferiorkan. Sebagai suatu sistem maka terdiri dari beberapa
organ mulai dari mulut sampai kepada paru-paru. Pertukaran gas antara oksigen dan
karbondioksida ini memberi kesempatan kepada tubuh untuk membuang gas karbondioksida
yang bersifat toksik serta memungkinkan oksigen untuk diedarkan keseluruh tubuh melalui
sistem peredaran darah. Oksigen memiliki peranan untuk menjamin kelangsungan hidup
organ tubuh bahkan sel yang merupakan satuan terkecil.

Tentunya semua fungsi diatas akan mengalami gangguan apabila terjadi kerusakan pada
salah satu organ dari sistem pernapasan tersebut. Pada keadaan acute respiratory distress
syndrom (ARDS) yang mengalami kerusakan adalah dinding alveolus paru. Dimana pada
alveolus paru terdapat pembuluh darah untuk pertukaran gas tersebut. Apabila dinding
alveolus rusak akan menyebabkan berkurangnya resistensi kapiler paru. Hal ini menyebabkan
terjadinya mingrasi cairan dalam jumlah yang besar dari intravaskular ke ruang intertisial.
Hal ini tentu saja akan menyebabkan adanya akumulasi cairan di alveolus paru, yang akan
berkembang menjadi edema paru. Dengan adanya edema paru ini, maka paru-paru tidak
dapat menjalankan kapasitasnya sebagai tempat pertukaran gas. Hal ini akan bermanifestasi
sebagai gejala klinis pada ARDS.

1
Pembahasan
Seorang laki-laki berusia 30 tahun di bawa oleh keluarganya ke IGD RS karena sesak napas,
ia baru saja dievakuasi dari lokasi kebakaran.

Penanganaan Keadaan Emergency


Acute respiratory distres sindrom merupakan suatu keadaan yang terjadi dengan tiba-
tiba sehingga menyebabkan ketakutan dan kecemasan bagi pasien serta tenaga medis yang
menanganinya. Hal ini ditandai dengan keadaan pasien yang susah untuk bernapas.
Walaupun tidak ditemukan adanya Petunjuk yang jelas, mengapa pasien sampai kesulitan
dalam benapas, yang pasti dokter dituntut untuk mengambil tindakan segera untuk mengatasi
kondisi pasien. Tindakan segera penting, karena tanpa oxigen yang adekuat maka organ vital
terutama otak akan mengalami iskemik dan kemudian infark dalam beberapa menit. Berikut
akan dijelaskan mengenai hal-hal yang harus dilakukan ketika dihadapkan dengan keadaan
emergency tersebut :1

Tenangkan pasien dan panggil bantuan


Ketika dihadapkan dengan pasien yang mengalami kesulitan dalam bernapas,
pastikan kepada pasien bahwa pasien akan ditolong. Panggil bantuan serta
mengambil peralatan emergency seperti oral airway dan oxigen. Periksa saluran
napas bagian atas, apakah paten atau tidak. Pada obstruksi yang partial akan terdapat
gejala air hunger, sedangkan pada obstruksi yang berat akan terlihat gejala sianosis,
confusion dan kesadarannya menurun. Obstruksi yang total apabila tidak dikoreksi
maka akan cepat menyebabkan kekurangan napas serta kematian. Pasien dengan
obstruksi partial, tanpa sianosis dan pasien dapat berespon secara verbal, maka
pasien disuruh untuk batuk dengan kuat. Dengan harapan bahwa obstruksi jalan
napas yang disebabkan oleh aspirasi makanan, mukous yang kental atau adanya
benda asing dijalan napas dapat dikeluarkan. Apabila obstruksinya total dengan ada
sianosis di leher maka dokter dapat campur tangan untuk membebaskan jalan napas
tersebut.
Tindakan segera untuk membebaskan sumbatan
Apabila diduga adanya obstruksi di saluran napas atas maka dapat dilakukan
Heimlich manuver. Jika pasiennya obesitas dan tidak sadarkan diri, maka dagu
pasien di dorong kedepan dan pastikan lidahnya tidak menutupi jalan napas. Dapat
juga dilakukan kompresi dada dengan posisi tangan sesuai posisi tangan pada CPR.
Kompresi dapat dilakukan beberapa kali, apabila setalah dilakukan juga tidak

2
berhasil maka harus dilakukan tracheostomy atau intubasi endotracheal. Membuka
jalan napas bisa dilakukan dengan teknik tanpa alat seperti head tilt dengan tujuan
membuka jalan napas yang tertutup oleh lidah pasien, chin-lift manuver dilakukan
dengan tujuan agar otot pangkal lidah terangkat ke depan serta jaw thrust manuver
yang dilakukan apabila jalan napas masih belum terbuka dengan kedua teknik diatas.
Selain itu dapat juga dilakukan dengan menggunakan alat seperti oropharingeal
airway yang hanya di lakukan apabila pasien tidak sadarkan diri dan juga
nasopharingeal airway.
Management gagal napas
Ketika keadaan pasien berkembang menjadi gagal napas, maka harus diberikan
oksigen yang agresif sampai kondisi yang mendasarinya di ketahui dan diatasi.
Oksigen dapat diberikan melalui face mask atau 100% non rebreather mask untuk
mempertahankan tekanan oksigen (PaO2) dibawah 60 mmhg. Jika hipoksianya
persisten dapat digunakan intubasi dan ventilasi mekanik atau noninvasive ventilasi.
Selain itu dapat juga dipersiapkan pemberian bronkodilator dan preparat mukolitik.
Observasi untuk tanda gagal organ
Setiap organ dan jaringan ditubuh tergantung pada oksigen untuk mempertahankan
fungsinya. Sehingga ketika oksigen dan karbondioksida pertukarannya terganggu,
organ tubuh akan mulai mengalami kegagalan, dimulai dengan paru. Pada
pengamatan ditemukan tanda hipoksemia dan hipoksia. Tanda awal berupa gelisah,
ansietas, takikardi dan takipnea. Apabila tidak diatasi maka pasien akan mengalami
gangguan fungsi jantung, bertambah beratnya dispnea, peningkatan usaha dalam
bernapas, penurunan urin output yang merupakan tanda dari dimulainya kerusakan
pada ginjal serta menurunnya bising usus yang mengindikasikan adanya iskemik
pada usus.
Mengurangi ansietas pasien
Gagal napas akut akan bertambahn parah, ketika pasien menjadi ansietas. Anxietas
dapat meningkatkan kebutuhan oksigen usaha dan untuk bernapas serta semakin
berkurangnya ketersediaan oksigen untuk organ vital dan berkurangnya kekuatan
otot-otot pernapasan. Untuk mengurangi anxietas, dapat diberikan penjelasan
terhadap pasien dan keluarga, mengenai apa dilakukan untuk mengatasi keadaan
tersebut. Jika pasien tidak dipasang ventilator, maka dapat dianjurkan untuk tarik
napas dalam untuk meningkatkan pertukaran gas serta mengurangi anxietas. Dapat
diberikan anxiolitik seperti lorazepam dengan dosis ringan untuk menghindari

3
depresi pernapasan. Morfin dosis kecil dapat diberikan kepada pasien untuk
mengurangi anxietas dan congesti pulmo.
Mengidentifikasi penyebab
Terapi tambahan tergantung dari penyebab distres pernapasan. Dapat dilakukan
evaluasi riwayat pasien untuk mencari faktor risiko dan penyebabnya. Salah satu
dari penyebab dari gagal napas adalah ARDS. ARDS ditandai dengan
noncardiogenic pulmonary edema yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
membran alveoloar-kapilar.Sekresi yang banyak dengan crackles dapat ditemukan,
begitu juga dengan dispnea, takipnea dan retraksi intercostal.

Anamnesis
Pada keadaan emergency, anamnesis yang lengkap dilakukan secara alloanamnesis
kepada orang yang mengantarnya ataupun dapat secara autoanamnesis, apabila pasien sudah
teratasi keadaan emergencynya. Hal-hal yang dapat ditanyakan antara lain:2

1. Identitas Pasien
Berisi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal sebagai gambaran kondisi
lingkungan dan keluarga dan keterangan lain mengenai identitas pasien.

2. Keluhan Utama
Pada skenario didapatkan adanya keluhan sesak napas. Sejak kapan?

3. Riwayat Penyakit Sekarang


o Ada keluhan yang memperberat?
o Ada demam?
o Merasa lebih pucat/sianosis?
o Apakah BAK normal?
4. Riwayat Penyakit dahulu
o Apakah pernah seperti ini sebelumnya?
o Riwayat trauma?
5. Riwayat Penyakit Keluarga
o Apakah ada keluhan serupa pada keluarga?
6. Riwayat Obat
o Sebelumnya konsumsi obat untuk menghilangkan gejala?
7. Riwayat Sosial-Ekonomi
o Kebiasaan makan sehari-hari?

Pemeriksaan Fisik

4
Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak spesifik untuk ARDS. Biasanya akan
ditemukan adanya takipnea, takikardia serta kebutuhan yang tinggi akan fraksi oksigen
inspirasi (FIO2) untuk mempertahankan saturasi oksigen.3 Pasien biasanya febris atau
hipotermia karena ARDS sering kali terjadi pada keadaan sepsis. Selain itu ditemukan adanya
hipotensi dan vasokonstriksi perifer dengan extremitas yang dingin serta cyanosis pada bibir
dan kuku.

Dari hasil pemeriksaan fisik pasien didapatkan tampak sakit berat, TD:
140/70mmHg, frekuensi nadi: 140x/menit, respiration rate: 32x/menit, suhu: 38,3 oC,
retraksi dada (+), ronkhi basah kasar di seluruh lapang paru.

Pemeriksaan penunjang
Acute respiratory distress syndrom (ARDS) didefinisikan dengan adanya onset yang
akut, infiltrat yang bilateral di paru serta hipoxemia berat dengan tidak ditemukan adanya
edema cardiogenic pulmonary. Untuk menegakan diagnosis ARDS diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut :

Laboratorium
Pada ARDS tekanan partial oksigen dari darah arteri dibagi dengan fraksi
oksigen dari udara inspirasi (PaO2/FIO2) < 300.3 Pada analisis gas darah
biasanya diawali dengan adanya alkalosis respiratorik, sedangkan pada pasien
ARDS yang didasari oleh sepsis ditemukan adanya metabolik asidosis dengan
atau tanpa kompensasi dari respirasi. Seiring dengan bertambah beratnya
keadaan dan usaha untuk bernapas semakin meningkat maka tekanan karbon
dioksida mulai meningkat dan keadaan yang awalnya alkalosis respiratorik akan
menjadi asidosis respiratorik. Pada pasien dengan ventilasi mekanik dibiarkan
tetap hiperkapnik (permissive hipercapnia) dengan tujuan untuk tercapai
keadaan low tidal volume. Untuk menyingkirkan keadaan edema cardiogenic
pulmonary, dapat dicari nilai dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) dan
echokardiogram. Apabila nilai BNP <100 pg/ml pada pasien dengan infiltrat
bilateral dan hipoksemia maka akan menunjang diagnosis ARDS daripada
edema cardiogenic pulmonary. Sedangkan abnormalitas nilai laboratorium yang
lain tergantung dari keadaan yang mendasari ARDS atau komplikasi dari ARDS
sebagai berikut : hematologi, pada pasien sepsis dapat ditemukan adanya
leukositosis atau leukopenia. Trombositopenia terdapat pada pasien sepsis

5
dengan adanya DIC. Von willebrand factor (VWF) meningkat pada pasien yang
berisiko terhadap ARDS dan sebagai tanda adanya cedera pada endotelial.
Renal, Akut tubular nekrosis (ATN) seringkali terjadi pada ARDS karena
iskemik terhadap ginjal. cytokin seperti interleukin (IL) -1, IL-6, IL-8 biasanya
meningkat pada serum pasien yang berisiko untuk menderita ARDS.
Radiologi
Ditemukan adanya infiltrat di paru yang bilateral. Infiltrat ini bersifat difus serta
dapat simetris atau asimetris terutama jika ARDS didasari oleh penyakit paru
atau adanya aspirasi maupun contusio diparu. Infiltrat diparu biasanya
berkembang sangat cepat dengan keparahan maksimal dalam 3 hari pertama.3
Infiltrat dapat ditemukan segera pada radiografi thorax setelah ditemukan
adanya kelainan pertukaran gas. Pada awal proses dapat ditemukan lapangan
paru yang relatif jernih, serial foto kemuduian tampak bayangan radiopak difus
atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya lagi gambaran
confluent.

Foto rongent : infiltrate bilateral

AGD : ph:7,35,HCO3:30,PO2: 30,PCO2:30 dengan menggunakan oksigen 10L/menit via


rebreathing mask

Gambar 1. Radiografi thorax4

6
Diagnosis

Working Diagnosis

Acute Respiratory Distress Syndrom


ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran
alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus dan
akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru. Berdasarkan definisi yang
ditetapkan oleh konsessus komite konferensi ARDS Amerika-Eropa (AECC) yang
dipublikasikan pada tahun 1994, maka defenisi ARDS sebagai berikut :2

Gagal napas dengan onset akut


Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang
diinspirasi (PaO2/FIO2) <200 mmhg dengan hipoksemia berat.
Radiografi thorax terdapat infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema
paru.
Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) <18
mmhg, tanpa tanda klinis adanya hipertensi atrial kiri (tanpa adanya gagal
jantung kiri).
Bila PaO2/FIO2 antara 200-300 mmhg maka disebut Acute lung injury (ALI). ALI dan
ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai kegagalan pernapasan berbentuk
hipoksemia akut bukan karena peningkatan tekanan kapiler paru.
Sedangkan menurut definisi Berlin tahun 2011, maka ARDS dapat didefiniskan
sebagai berikut :5
Gagal napas dengan onset akut.
Radiografi thorax ditandai dengan opacities bilateral.
Oksigenasi. Pada definisi Berlin tidak dipakai istilah ALI, karena seringkali
penggunaanya tidak tepat. Menurut definisi Berlin, maka ARDS dibadi menjadi
3 yaitu ringan (mlid), sedang (moderate) dan berat (severe). Pada keadaan
ringan rasio PaO2/FIO2 200-300 mmhg dengan PEEP atau CPAP >= 5 cmH 2O.
Pada keadaan sedang (moderate) rasio PaO 2/FIO2 100-200 mmhg dengan PEEP
>= 5 cmH2O. Sedangkan pada ARDS berat ratio PaO2/FIO2 <100 mmhg dengan
PEEP >= 5 cmH2O.

Differential diagnosis

Pneumonia

7
Peumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru serta gangguan pertukaran gas setempat. 2 Cara terjadinya penularan
berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus sedangkan
infeksi pada pemakaian ventilator oleh P.aeruginosa dan Enterobacter. Onset akut biasanya
oleh kuman patogen seperti S. Pneumoniae, Streptococcus sp, Staphylococcus. Pneumonia
virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan non produktif. Tanda-tanda fisik
seperti pada pneumonia klasik dapat ditemukan berupa demam, sesak napas, tanda-tanda
konsolidasi paru (perkusi yang pekak, ronki yang nyaring dan suara pernapasan bronkial).
Pada pemeriksaan radiologis, ditemukan gambaran radiologis berupa air bronkogram.
Pemeriksaan laboratorium berupa leukositosis menandai adanya infeksi bakteri, leukosit yang
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma. Pemeriksaan bakteriologis,
spesimennya berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, bronkoskopi atau
biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus gram atau Z. Nielsen. Kultur
kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi
selanjutnya. Pasien pada awalnya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen yang
paling mungkin menjadi penyebab.(Lih.gambar 2) Blia telah ada hasil kultur maka terapi
disesuaikan dengan penyebabnya.

Gambar 2. Terapi empirik2

Etiologi

8
ARDS mempunyai faktor risiko yang banyak, namun kira-kira 20% pasien dengan
ARDS tidak diketahui faktor risikonya.3 Adapun faktor risiko ARDS sebagai berikut :

Tabel 1. Faktor risiko ARDS5

Beberapa faktor yang meningkatkan risiko untuk ARDS adalah usia lanjut, perempuan
(hanya untuk kasus trauma), perokok dan penguna alkohol. Selain itu pada penelitian yang
dilakukan oleh Glavan et al didapati adanya hubungan antara variasi genetik pada gen FAS
dan kerentanaan terhadap ALI. Pada penelitian itu ditemukan adanya polimorfisme dari 4
nukleotida tunggal dan peningkatan kerentanan terhadap ALI. Namun penelitian ini masih
harus dikaji lagi.

Epidemiologi
Insidens dari ARDS sangat bervariasi, karena adanya penggunaan definisi yang berbeda
untuk ARDS. Pada tahun 1970 ketika National Institutes of Health (NIH) melakukan
penalitian, diperkirakan frekuensi ARDS setiap tahun adalah 75 kasus per 100.000 populasi. 3
Pada penelitian yang dilakukan sebelum ditetapkannya definisi ARDS menurut AECC,
ditemukan insidens yang lebih rendah. Dengan perkiraaan insidens 4.8-8.3 kasus per 100.000
populasi. Berdasarkan studi prospective yang dilakukan di Washington dari April 1999
sampai Juli 2000 dengan menggunakan defenisi AECC, ditemukan insidens dari ALI 86.2 per
100.000 orang/tahun. Insidens ini meningkat seiring dengan meningkatnya usia, yaitu
mencapai 306 kasus per 100.000 orang/tahun dengan rata-rata usia 75-84 tahun. Diperkirakan
terdapat 190.600 kasus/tahun di USA dan jumlah yang meningal mencapai 74.500. ARDS
dapat terjadi pada segala usia, dengan insidensnya meningkat dengan bertambahnya usia.
Ditemukan 16 kasus per 100.000 orang/tahun pada usia 15-19 tahun. Sedangkan orang

9
dengan usia 75-84 tahun terdapat 306 kasus per 100.000 orang/tahun. Untuk ARDS yang
berhubungan dengan sepsis dan penyebab lainya, tidak ada perbedaan insidens antara laki-
laki dan perempuan. Sedangkan pada pasien dengan trauma, insidens penyakit lebih tinggi
pada perempuan.

Patogenesis
Patogenesis ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel
mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua
hal tersebut akan mengaktifkan kaskade inflamasi yang dibagi dalam tiga fase yang dapat
dijumpai secara tumpang tindih yaitu : fase inisiasi, amplifikasi dan injury.2 Pada fase inisiasi,
kondisi yang menjadi faktor risiko akan menyebabakan sel-sel imun dan non-imun
melepaskan mediator-mediator dan modulator-modulator inflamasi didalam paru dan ke
sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti neutrofil teraktivasi, tertarik dan tertahaan
di dalam paru. Didalam organ target tersebut mereka akan melapaskan mediator inflamasi,
termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses
inflamasi selanjutnya. Pada fase ini disebut fase injury. Kerusakan pada membran alveolar-
kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas membran dan aliran cairan yang kaya
protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak intergritas surfaktan di
alveolus dan terjadi kerusakan lebih jauh. Terdapat tiga fase kerusakan alveolus :6

Fase eksudatif : pada fase ini sel endotelial kapiler alveolar dan sel pneumatosit
tipe I (sel epitel alveolar) mengalami injury, yang menyebabkan berkurangnya
resistensi barier alveolar terhadap cairan dan makro molekul. Sel pneumatosit
tipe I yang menyusun 90% epitel alveolus, mempunyai sifat yang mudah rusak.
Kerusakan pada sel ini menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
alvelolus. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang kaya protein
di ruang intertitiel dan ruang alveolar. Pada fase akut ini, di paru ditemukan
adanya citokine (IL-1,IL-8, TNF ) dan lipid mediator (leukotriene B). Sebagai
respon terhadap mediator proinflamasi, leukosit (terutama neutrofil) akan
bergerak menuju intertisium paru dan alveoli. Plasma protein yang kental akan
beragregasi dengan selular debris dan surfaktan paru untuk membentuk hyalin
membran. Cedera vaskular paru juga terjadi pada keadaan awal ARDS, kolaps
paru dalam jumlah besar menyebabkan berkurangnya compliance paru.
Akibatnya terjadi intrapulmonary shunting dan hipoksemia, kesulitan bernapas

10
sampai dispnea. Perubahan fisiologi di ruang alvolus di sebabkan oleh oklusi
microvaskular, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah arteri paru dan
hipertensi pulmoner. Fase eksudatif terjadi dalam 7 hari pertama setelah
exposure terhadap faktor risiko dari ARDS. Walaupun biasanya fase ini muncul
dalam 12-36 jam setelah exposure awal, namun gejala biasanya baru muncul 5-
7 hari kemudian.
Fase proliferatif : fase ini biasanya baru mulai pada hari ke 7 sampai hari ke 21.
Kebanyakan pasien bisanya pulih dengan cepat dan dapat berhenti
menggunakan ventilasi mekanik. Walaupun sudah mengalami perbaikan,
beberapa pasien masih mengalami dispnea, takipnea dan hipoksemia. Beberapa
pasien akan mengalami cedera paru yang progresiv dan ditemukan adanya
fibrosis paru yang dini. Sebagai bagian dari proses pemulihan terjadi proliferasi
dari sel pneumatosit tipe II di membran basal alveolar. Sel pneumatosit tipe II
relatif resisten terhadap cedera dan mempunyai beberapa fungsi yan penting
yaitu mensintesis surfaktan paru yang baru dan berdiferensiasi menjadi sel
pneumatosit tipe I. Adanya sel alveolar tipe III procolagen peptide sebagai tanda
fibrosis paru dan berhubungan dengan kelanjutan gejala klinis dan peningkatan
mortalitas dari ARDS.
Fase fibrosis : pada saat beberapa pasien memasuki fase pemulihan dari fungsi
pari dalam 3-4 minggu setelah cedera paru awal, maka sebagianya lagi akan
memasuki fase fibrosis yang membutuhkan terapi jangka panjang dengan
ventilasi mekanik atau suplementasi oksigen. Pada fibrosis paru, ruang
alveolusnya akan di isi oleh sel mesenkim dan pembuluh darah baru.
Kelainan asam basa dan elektrolit pada ARDS
Keseimbangan asam basa terkait dengan keseimbangan konsentrasi ion H bebas
dalam cairan tubuh. PH rata-rata darah adalah 7,4, pH darah arteri 7,45, pH darah vena 7,35,
jika pH <7,35 dikatakan asidosis, jika pH darah > 7,45 dikatakan alkalosis, ion terutama
diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh, ion H secara normal dan kontinu akan
ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber:
1. pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan bikarbonat.
2. katabolisme zat organic
3. Disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak
terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion
H.

11
Ketidakseimbangannya asam basa pada respirasi yaitu adanya kelainan pada satu atau lebih
mekanisme pengendalian pH tersebut, bisa menyebabkan salah satu dari 2 kelainan utama
dalam keseimbangan asam basa, yaitu asidosis atau alkalosis.
Gejala Klinis
ARDS muncul sebagai respon terhadap berbagai trauma dan penyakit yang
mempengaruhi paru secara langsung (seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berat dan
kontusio paru) atau secara tidak langsung (sepsis sistemik, trauma berat dan pankreatitis).
Adapun ARDS ini ditandai dengan onset yang cepat dari dispnea, yang biasanya terjadi
dalam 12-48 jam setalah adanya exposure terhadap faktor risiko. 7 Pada pemeriksaan fisik
ditemui adanya kesulitan dalam bernapas, takipnea, intercostal retraksi serta ronkhi basah
kasar yang jelas (crackles). Dapat ditemui adanya hipotensi dan febris. Gambaran hipoksia
atau sianosis yang tidak respon dengan oksigen. Sebagian besar kasus disertai disfungsi atau
gagal organ multiple yang umumnya juga mengenai ginjal, hati, saluran cerna, otak dan
sistem kardiovaskular.
Penatalaksanaan
Penanganan secara holistik pada tahap awal penyakit merupakan hal yang penting.
Tatalaksana ARDS intinya adalah mengatasi hipoksemia berat, mengobati penyebab dasar
ARDS dan tindakan suportif untuk mencegah komplikasi. Empat prinsip dasar menjadi
pegangan tatalaksanan ARDS :2
Pemberian oksigen, PEEP dan ventilasi tekanan positif, hampir semuanya
menunjukan keuntungan bagi pasien ARDS, dibalik itu juga dia memiliki potensi
efek samping yang berat.
Walupun ARDS seringkali dianggap sebagai kegagalan napas primer, kegagalan
multiorgan non paru dan infeksi adalah penyebab utama kematian.
Pengaturan ventilasi mekanik yang hati-hati terutama volume tidal terbukti
berakibat komplikasi yang lebih jarang dan merupakan satu-satunya tatalaksana
yang memperbaiki survival.
Prognosisnya buruk apabila penyebab dasarnya tidak diatasi atau tidak ditangani
dengan baik.

Pasien yang mengalami ARDS dapat dideteksi pada tahap awal. Deteksi dini dan
observasi secara hati-hati pada pasien berisiko merupakan hal yang pentinguntuk mendeteksi
tanda perburukan. Beberapa gejala alarm dapat diterapkan di berbagai kondisi karenaterdapat
pola perburukan fisiologis yang sama pada pasien kritis yang dapat di deteksi dengan
observasi sederhana menggunakan denyut nadi, frekuensi pernapasan, tekanan darah, suhu,
produksi urin dan derajat kesadaran. Pengukuran gas darah arteri memberikan informasi

12
tambahan tentang pertukaran gas dan kondisi metabolik pasien. Berikut beberapa kriteria
pasien yang memilki tanda bahaya, yang membutuhkan perhatian segara dan pertimbangan
perawatan di ICU :

Gambar 3. Kriteria untuk Perawatan di ICU2

Pada ARDS tidak ada obat yang mempunyai manfaat untuk mencegah ataupun
mengatasinya. Penggunaan terapi seperti inhalasi surfaktan sintetik, antibodi IV serta inhalasi
nitric oxide (NO, vasodilator paru yang poten) tidak menunjukan efisiensinya. Walaupun
tidak ada terapi yang spesifik untuk ARDS, tetapi terapi terhadap kondisi yang mendasarinya
itu merupakan hal yang penting. Seiring dengan terapi suportiv, ventilasi non invasiv, atau
ventilasi mekanik dengan pemberian tidal volume rendah serta tatalaksana terhadap cairan
tubuh.3

Ventilasi mekanik
Tujuan dari penggunaan ventilasi mekanik pada ARDS adalah unutk menjaga
oksigenasi tubuh. Secara umum hal ini dilakukan untuk mempertahankan saturasi
oksigen pada rentang 85-90% dengan mengurangi fraksi oksigen terinspirasi (FIO2)
kurang dari 65% dalam 24-48 jam pertama. Untuk mencapai tujuan ini hampir selalu
dibutuhkan penggunaan positive end expiratory pressure (PEEP). Penggunaan ventilasi
mekanik akan memicu terjadinya perlukaan paru akibat ventilator yang disebut
ventilator associated lung injury (VALI). Untuk mencegah terjadinya VALI maka
digunaakan ventilasi mekanik dengan tidal volume rendah. Pada penelitian pasien yang
mendapatkan volume tidal (VT) 12 ml/kg prediksi berat badan mempunyai mortalitas

13
yang lebih tinggi dari pada pemberian volume tidal 6 ml/kg prediksi berat badan. Jika
dibutuhkan volume tidal dapat dikurangi sampai 4 ml/kg. Dengan volume tidal yang
rendah, pasien dibiarkan menjadi hipercapnic (Permissive hipercapnic) dan asidosis.
Permissive hipercapnic merupakan teknik yang membiarkan pasien dengan tekanan
CO2 (PaCO2) tinggi, dengan tujuan untuk mengurangi ventilasi alveolus dan
menghindari pernapasan yang eksesif. Pada pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik dengan tidal volume rendah, membutuhkan positive end expiratory pressure
(PEEP) yang tinggi 5-15 cmH2O untuk mempertahankan saturasi oksigen 85% atau
lebih. PEEP ini untuk mencagah kolaps alveolus dengan memacu ventilasi paru yang
sulit mengembang pada ARDS dan mengurangi curah jantung (cardiac output) dan
risiko barotrauma (Pneumothorax).
Tracheostomy
Pasein yang membutuhkan ventilasi mekanik yang lama. Trachoestomy dilakukan
untuk membentuk jalan napas yang lebih stabil serta memudahkan mobilisasi pasien.
Tracheostomy dapat dilakukan di ruangan operasi atau perkutaneus di tempat pasien
(bedside). Sedangkan mengenai kapan dilakukannya tracheostomy sangatlah bervariasi,
tetapi pada umumnya dilakukan setelah pasien 2 minggu menggunakan ventilasi
mekanik.
Noninvasive ventilasi dan high flow nasal cannula
Oleh karena intubasi dan ventilasi mekanik biasanya berhubungan dengan
pengingkatan dari insidens komplikasi berupa barotrauma dan nosokomial pneumonia,
maka dapat digunakan teknik alternatif lain berupa noninvasive positif pressure
ventilation (NIPPV). High flow nasal cannula menggunakan sistem humidifikasi hangat
dengan oksigen yang di alirkan mencapai 50 L/menit. High flow nasal cannula biasanya
dapat memungkinkan pasien untuk berbicara, makan dan bergerak. Noninvasive
ventilation penggunaannya terbaik pada pasien gagal napas dengan hipercapnic yang
disebabkan oleh chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau kelemahan otot.
Pasien yang berkurang kesadarannya, muntah, perdarahan saluran cerna bagian atas
atau kondisi lain yang meningkatkan risiko aspirasi bukan merupakan kandidat untuk
penggunaan NIPPV. Kontraindikasi relatif lainnya berupa hemodinamik yang tidak
stabil, agitasi dan ketidakmampuan untuk mendapatkan masker yang pas.
Management cairan
Peningkatan permeabilitas vaskular paru, menyebabkan edema di intertitial dal alveolar
yang kaya akan protein. Selain itu kerusakan integritas vaskular menyebabkan

14
peningkatan cairan ekstravaskular paru, yang bermanifestasi pada peningkatan tekanan
atrium kiri.
Posisi telungkup (Prone)
Pada 70% pasien ARDS, posisi telungkup akan menghasilkan peningkatan PaO 2 yang
signifikan, dengan peningkatan PaO2 yang sedikit pada posisi terlentang (supine).
Mekanisme yang terlibat meliputi rekrutmen paru dorsal, bersamaan dengan kolapsnya
paru paru ventral.
Nitrit oksid inhalasi
NO merupakan relaksan otot polos yang diturunkan dari endotel. NO juga mempunyai
peranan fisiologis penting lainnya termasuk neurotranmisi, pertahanan host, agregasi
trombosit, adhesi leukosit dan bronkodilatasi. Dosis NO inhalasi serendah 60 bagian
per milyar dapat meningkatkan oksigenasi, meskipun demikian, dosis yang umum
digunakan dalam ARDS adalah 1-40 bagian per milyar, dengan dosis yang lebih tinggi
membutuhkan penurunan tekanan arteri pulmoner.
Terapi pengganti surfaktan
Disfungsi surfaktan adalah abnormalitas penting dan awal yang berperan dalam
kerusakan paru. Surfaktan paru mengurangi tegangan permukaan yang menjaga
stabilitas alveolus, mengurangi kerja napas dan cairan paru.
Prostaksiklin inhalasi
PGI2 (sampai 50 ng/kg/menit) memperbaiki oksigenasi sama efektifnya dengan inhalasi
NO pada pasien ARDS. PGI2 secara terus-menerus dinebulasi pancaran karena waktu
paruhnya yang singkat (2-3 menit). Keuntungan yang potensial meliputi peningkatan
pelepasan surfaktan dari sel tipe II yang teregang, menghindari potensi komplikasi
inhalasi NO dan toksisitas yang minimal.
Komplikasi
Pasien ARDS yang memakai ventilasi mekanik termasuk kadar tinggi dari PEEP atau
CPAP dapat terjadi barotrauma. Jika pasien membutuhkan ventilasi mekanik dalam jangka
waktu yang lama maka pasien harus dilakukan tracheostomy. Dengan intubasi yang lama dan
tracheostomy, dapat terjadi komplikasi di saluran napas atas berupa post extubasi laringeal
edema dan stenosis subglotis. Selain itu dengan pemakaian ventilasi menkanik yang lama dan
monitoring hemodinamic yang invasiv, berisiko untuk terjadi infeksi nosokomial yang serius
termasuk ventilator associated pneumonia (VAP). Infeksi potensial lainya berupa ISK yang
berhubungan dengan penggunaan kateter serta sinusitis yang berhubungan dengan pemakaian
NGT dan drainage tubes.3 Pasien dapat menderita clostridium difficile colitis sebagai
komplikasi dari penggunaan antibiotik broad spektrum. Lamanya perawatan di ICU serta
penggunaan antibiotik yang multiple dapat menyebabkan infeksi dengan organisme yang
telah resisten seperti Methicilin resistant staphylococcus aureus (MRSA) dan vancomysin

15
resistant enterococcus (VRE). Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
ARDS sebagai akibat dari hipotensi dan obat yang nefrotoksik. Komplikasi lain termasuk
ileus, stress gastritis dan anemia.
Prognosis
Angka mortalitas pada pasien ARDS sebesar 30-40%. Apabila ARDS disertai dengan
sepsis, maka angka mortalitasnya akan meningkat sampai 90%.7 Penyebab utama kematian
adalah penyakit primer serta komplikasinya seperti sepsis dan gagal organ multiple. Faktor
lain yang dapat meningkatkan angka mortalitas pada ARDS adalah sebagai berikut usia,
adanya penyakit hati kronik, sirosis, penggunaan alkohol kronik, imunosupresan kronik,
penyakit ginjal kronik serta gagal organ nonpulmonary. Pasien ARDS dengan penyebabnya
berupa cedera paru langsung mempunyai angka mortalitas 2 kali lebih tinggi daripada yang
disebabkan oleh cedera paru tidak langsung.6

Penutup
ARDS merupakan suatu keadaan emergency, yang disebabkan oleh cedera pada paru-
paru. Pada skenario ini penyebab dari ARDS berupa cedera inhalasi, karena pada riwayat
sebelum sesak napas pasien dievakuasi dari lokasi kebakaran. Adapun mortalitas dari ARDS
ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan adanya comorbiditas lain seperti
sepsis. Oleh karena merupakan suatu keadaan emergency, maka yang terpenting adalah
management jalan napas berupa pemberian ventilasi mekanik ataupun tracheostomy.
Sedangkan terapi dengan obat-obatan, berdasarkan penelitian tidak menunjukan adanya
efektifitas dalam perbaikan gejala.

Daftar Pustaka
1. Beattie S. Bedside emergency : respiratory distress. Modern Medicine Network Juli
2007. 1(1).
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. 218-25. 2196-2203
3. Harman EM. Acute respiratory distress syndrome. Medscape September 2015. 1(1).
1-5.
4. Saguil A, Fargon M. Acute respiratory dstress siyndrome : diagnosis and mangement.
Amrican Academy of Family Physicians Februari 2012. 85(4). 352-7.

16
5. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, Simonetti U, Slutsky A, Zhang H. Acute
respiratory distress syndrome. J Thorac Dis 2013. 5(3). 326-34.
6. Longo, Fauci, Hauser, Looscalso J. Harrisons principles of internal medicine. Edisi
Ke-18 Philadelphia: McGraw Hill; 2012. 2205-9.
7. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. Philadephia:
McGraw Hill; 2008. 277-9.

17

Anda mungkin juga menyukai