Pada kode etik kedokteran dan kedokteran gigi secara tersirat tidak tercantum etika
berkomunikasi. Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
35 disebutkan kompetensi dalam praktik kedokteran antara lain dalam hal kemampuan
mewawancarai pasien. Kode Etik adalah pedoman perilaku dokter. Kode Etik harus memiliki
sifat-sifat sebagai berikut:3
Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 434/Menkes/SK/X/1983.4 Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan
mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan
landasan strukturil Undang Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur
hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter
dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri. Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum.
1
Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara dalam ilmu hukum
disebut hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para
pihak, yaitu dokter dan pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan mempunyai
kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di
mana masing- masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain.
Peranan tersebut berupa hak dan kewajiban.4
Hubungan karena kontrak atau kontrak terapeutik dimulai dengan tanya jawab (anamnesis)
antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik. Kadang-kadang dokter
membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan
diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium,
sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Sebagaimana telah dikemukakan,
tindakan medik mengharuskan adanya persetujuan dari pasien (informed consent) yang dapat
berupa tertulis atau lisan. Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus
didasarkan atas informasi dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2, Pasal 45. Komunikasi
antara dokter dengan pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib.3
Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi informasi ini, maka secara jelas
dan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Paragraf 2, Pasal 45 ayat (2), (3), Paragraf 6, Pasal 50 huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a),
(b), dan Pasal 53 huruf (a). Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan
hak dan kewajiban pasien yang di antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan
informasi. Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar
individual dalam bidang kesehatan (The Right of Self Determination). Meskipun sebenarnya
sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar.3
Perlindungan masyarakat yang menggunakan pelayanan medis oleh dokter dan dokter gigi
selain dipedomani oleh etika universal, saat ini dijamin oleh undang-undang. Segala tindakan
yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan mengikuti prosedur sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur oleh disiplin ilmu masing-masing.
Masyarakat pengguna pelayanan medis, dalam batasan tertentu, perlu mengetahui alasan
tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya. Hal ini menyiratkan perlunya
mengembangkan hubungan dokter - pasien sebagai hubungan penuh kepercayaan dalam wujud
2
komunikasi dua arah yang memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk menyampaikan
pendapatnya.2
3
Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya.
Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur dan mau
menceritakan seluruh penyakit dan apa yang dirasakannya. 5 Bila pasien
sudah pernah berobat ke dokter lain, misalnya, dia juga harus menceritakan
perawatan apa dan obat apa yang dia dapatkan sebelumnya. Bahkan pasien
sebaiknya juga menceritakan sejarah penyakitnya pada dokter (misalnya ibu
atau ayahnya berpenyakit darah tinggi, jantung, ginjal, diabetes, atau
penyakit lainnya, sehingga dokter dapat mendiagnosis penyakit secara lebih
tepat).
Selain itu dokter juga memiliki hak-hak yang berasal dari hak azasi manusia,
seperti:
hak atas privasinya
hak untuk diperlakukan secara layak
hak untuk beristirahat
hak untuk secara bebas memilih pekerjaan
hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan lain-
lain sewaktu menolong pasien.
Kewajiban dokter pada dasarnya terdiri dari:
1. kewajiban yang timbul akibat pekerjaan profesinya atau sifat layanan
medisnya yang diatur dalam sumpah dokter, etika kedokteran dan
berbagai standar dan pedoman
6
2. kewajiban menghormati hak pasien, dan
3. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan.
Beberapa kewajiban dokter tersebut adalah:
1. Memberi pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, serta kebutuhan pasien.
Standar Pelayanan menurut penjelasan Pasal 44 ayat (1) Undang
Undang Nomor 29 tahun 2004 adalah pedoman yang harus diikuti oleh
dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
Ayat (2) pasal 44, standar pelayanan tersebut dibedakan menurut jenis
dan strata sarana pelayanan kesehatan. Penjelasan ayat tersebut
strata pelayanan adalah tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan
peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
Kewajiban merujuk pasien tersebut dapat dilaksanakan apabila
keadaan kesehatan pasien memang dapat bergerak atau dapat dibawa
untuk dipindahkan dalam keadaan stabil dan layak. Kewajiban merujuk
hanya dapat disimpangi apabila pasien tidak menginginkan dirinya
dirujukkan meskipun telah dijelaskan manfaatnya, atau apabila tidak
ada dokter yang memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut
(yang terjangkau).
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Merahasiakan keadaan pasien diwajibkan dalam sumpah dokter, kode
etik kedokteran/kedokteran gigi, dan beberapa peraturan
perundangundangan. Sebagian pakar menyatakan bahwa kewajiban
tersebut absolut sifatnya, sebagian menyatakan relatif. Paham yang
relatif mengatakan bahwa rahasia kedokteran dapat dibuka untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur
penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
7
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi
Selain itu, sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat kewajiban dokter
lainnya yang diatur dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.2
8
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan
dan/atau ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat
dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak
dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi
kedokteran.
MKDKI merumuskan 28 bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu:
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang
tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang
tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak
melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
maupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan
membahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak
dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa
alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat
membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai
(adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam
melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari
pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik,
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atauetika
profesi.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan
kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
9
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien
atas permintaan sendiri dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan
pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum diterima
atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan
menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa
memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga yang
diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuaki bila
ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mamou melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap
pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil
pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan
(torture) atau eksekusi hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan
kekerasan terhadap pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan
haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta
pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan
kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan,
yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat
adiktif lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR)
atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak
sah.
10
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya
yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan
pelanggaran disiplin.
12
Wilayah norma hukum baik dokter atau dokter gigi adalah sebagai
individu dalam pergaulan dalam masyarakat termasuk dalam melaksanakan
praktik kedokteran.4 Secara spesifik, hubungan dokter dan pasien dalam
praktik kedokteran diatur dalam UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan UU no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
14
BAB VII PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN
Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit danpemulihan kesehatan.
Pasal 40
(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau
dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Bagian Ketiga
Pemberian Pelayanan
Paragraf 2
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
15
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan
milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 7
Pasal 52
16
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
17
2. Elias S, Wayan K, Putu A. Modul komunikasi pasien-dokter: suatu
pendetkatan holistik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.6-
10.
3. Rafly A, Purwadianto A, Rusli A, Rasad A, Aswar B, Sampurna B, et al.
Kemitraan dalam hubungan dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 2006.h.11-35.
4. Jusuf H, Amri A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.14.
5. Sampurna B, Zulhasmar S, Tjetjep D. Bioetik dan hukum kedokteran. Cetakan ke-2. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007.h. 8; 77-9.
6. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode etik kedokteran
indonesia dan pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran indonesia.
Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2002.h.11.
7. Alwy S. Norma etika, disiplin, dan hukum di bidang kedokteran. Diunduh
dari www.hukor.depkes.go.id, 26 September 2014.
8. Lampiran Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia tentang Pedoman
Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 24 Agustus 2006. Surat Keputusan no. 17/KKI/KEP/VIII/2006.
18