Disusun oleh :
Danu Kamajaya
22010114210074
Pembimbing :
dr. Fitriyandi
SEMARANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : 22010114210074
General Anestesi
Diponegoro Semarang
Pembimbing
dr. Fitriyandi
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan pada celah bibir dan palatum nyata sekali berhubungan erat secara
embriologis, fungsionil, dan genetik. Celah bibir muncul akibat adanya hipolasia
lapisan masenkim, menyebabkan kegagalan penyatuan prosesus nasalis media dan
prosesus maksilaris. Celah palatum muncul akibat terjadinya kegagalan dalam
mendekatkan atau memfusikan lempeng palatum.
Insidens celah bibir (sumbing) dengan atau tanpa adanya celah palatum, kira
kira terdapat pada 1 : 600 kelahiran. Insidens celah palatum saja sekitar 1 : 1000
kelahiran. Bibir sumbung lebih lazim terjadi pada laki laki. Kemungkinan
penyebabnya meliputi ibu yang terpajan obat, kompleks sindrom malformasi,
murni tak diketahui atau genetik. Faktor genetik pada bibir sumbing, dengan
atau tanpa celah palatum, lebih penting daripada celah palatum saja. Namun
keduanya dapat terjadi secara sporadis. Insidensi tertinggi kelainan ini terdapat
pada orang Asia dan terendah pada orang kulit hitam. Insidens yang terkait dengan
malformasi kongenital dan gangguan dalam proses perkembangan meningkat
pada anak anak dengan cacat celah, terutama pada mereka yang menderita cacat
palatum saja. Penemuan ini sebagian terjelaskan oleh adanya kenaikan insidens
gangguan pendengaran konduktif pada anak yang menderita celah palatum,
sebagian disebabkan karena infeksi berulang pada telinga tengah, juga oleh
frekuensi cacat celah pada anak anak yang mempunyai kelainan kromosom.
Celah ini dapat terjadi dalam berbagai variasi, mulai dari takik kecil pada
batas yang merah terang sampai celah sempurna yang meluas ke dasar hidung.
Celah ini mungkin unilateral ( lebih sering pada sisi kiri ) atau bilateral, dan
biasanya melibatkan rigi rigi alveolus. Biasanya bahkan tidak dumbuh gigi yang
cacat bentuk, gigi tambahan atau bahkan tidak tumbuh gigi. Celah palatum murni
terjadi pada linea mediana dan dapat melibatkan ganya uvula saja, atau dapat
meluas ke dalam atau melalui platum molle dan palatum durum sampai ke
foramen incisivus. Apabila celah palatum ini terjadi bersamaan dengan celah bibir
(sumbing), cacat ini dapat melibatkan linea mediana palatum molle dan meluas
sampai ke palatum durum pada satu atau kedua sisi, memaparkan satu atau kedua
rongga hidung sebagai celah palatum unilateral atau bilateral.
Cacat wicara bisa adan atau menetap meskipun penutupan palatum secara
anatomik telah dilakukan dengan baik. Cacat wicara yang demikian ditandai
dengan pengeluaran udara melalui hidung dan ditandai dengan kualitas hipernasal
jika membuat suara tertentu. Baik sebelum maupun sesudah operasi palatum,
cacat wicara disebabkan oleh fungsi otot otot palatum molle dan dinding lateral
serta posterior nsaofaring mebentuk suara katup yang memisahkan nasofaring
dengan orofaring. Jika katup tersebut tidak berfungsi secara adekuat, orang itu
sukar menciptakan tekanan yang cukup didalam mulutnya untuk membuat suara
suara ledakan seperti p, b, d, t, h, y atau bunyi berdesis s, sh, dan ch sehingga kata
kata seperti cats boats, dan sisters menjadi tidak jelas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FIMOSIS
Fimosis adalah keadaan kulit penis (preputium) melekat pada bagian
kepala penis dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran kemih, sehingga
bayi dan anak kesulitan dan kesakitan saat buang air kecil. Sebenarnya yang
berbahaya bukanlah fimosis sendiri, tetapi kemungkinan timbulnya infeksi
pada uretha kiri dan kanan, kemudian ke ginjal. Infeksi ini dapat menimbulkan
kerusakan pada ginjal.5
Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang di antara
kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini menyebabkan
kutup menjadi melekat pada kepala penis, sehingga sulit ditarik ke arah
pangkal. Penyebabnya bisa bawaan dari lahir, atau didapat, misalnya karena
infeksi atau benturan.5
1. Kongenital (fisiologis fimosis)
Fimosis kongenital (fimosis fisiologis) timbul sejak lahir sebenarnya
merupakan kondisi normal pada anak-anak, bahkan sampai masa
remaja. Kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan
tidakdapatditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring
bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor
pertumbuhan terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi
antara glans penis dan lapis glan dalam preputium sehingga akhirnya
kulit preputium terpisah dari glan penis.
2. Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true
phimosis)
Hal ini berkaitan dengan kebersihan hygiene alat kelamin yang buruk,
peradangan kronik glans penis dan kulit preputium (balanoposthitis
kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction)
pada fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan
jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit preputium yang membuka.
Pada bayi preputium normalnya melekat pada glans penis tapi sekresi
materi subaseum kental secara bertahap melonggarkannya. Menjelang umur 3
tahun preputium dapat ditarik ke atas glans penis tanpa kesulitan atau paksaan.
api karena adanya komplikasi sirkumsisi, juga dimana terlalu banyak
prepusium tertinggal, atau bisa sekunder terhadap infeksi yng timbul di bawah
prepusium yang berlebihan. Sehingga pada akhirnya, prepusium menjadi
melekat dan fibrotik kronis di bawah prepusium dan mencegah retraksi.5
Tanda dan gejala fimosis diantaranya:
1. Penis membesar dan menggelembung akibat tumpukan urin
2. Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembung
saat mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah
berkemih.Hal tersebut disebabkan oleh karena urin yang keluar
terlebih dahulu tertahan dalam ruangan yang dibatasi oleh kulit pada
ujung penis sebelum keluar melalui muaranya yang sempit.
3. Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena
timbul rasa sakit.
4. Kulit penis tak bisa ditarik kea rah pangkal ketika akan dibersihkan
5. Air seni keluar tidak lancar.Kadang-kadang menetes dan kadang-
kadang memancar dengan arah yang tidak dapat diduga
6. Bisa juga disertai demam
7. Iritasi pada penis.
Komplikasi:
1. Ketidaknyamanan/nyeri saat berkemih
2. Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian
terkena infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
3. Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.
4. Penarikan preputium secara paksa dapat berakibat kontriksi dengan
rasa nyeri dan pembengkakan glans penis yang disebut parafimosis.
5. Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.
6. Timbul infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian
menimbulkan kerusakan pada ginjal.
7. Fimosis merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker penis.
Terapi fimosis pada anak-anak tergantung pada pilihan orang tua dan dapat
berupa sirkumsisi plastik atau sirkumsisi radikal setelah usia dua tahun, tetapi
kadang orang tua tidak tega karena bayi masih kecil. Untuk menolongnya
dapat di coba dengan melebarkan lubang prepusium dengan cara mendorong
ke belakang kulit prepusium tersebut dan biasanya akan terjadi luka. Untuk
mencengah infeksi dan agar luka tidak merapat lagi pada luka tersebut
dioleskan salep antibiotik. Tindakan ini mula-mula di lakukan oleh dokter.
Melakukannya seperti yang di lakukan dokter. Selanjutya di rumah orang tua
di minta melakukannya seperti yang dilakukan dokter, tetapi jangan sampai di
paksakan.5
Pada kasus dengan komplikasi, seperti infeksi saluran kemih berulang atau
balloting kulit prepusium saat miksi, sirkumsisi harus segera dilakukan tanpa
memperhitungkan usia pasien. Tujuan sirkumsisi plastik adalah untuk
memperluas lingkaran kulit prepusium saat retraksi komplit dengan
mempertahankan kulit prepusium secara kosmetik. Pada saat yang sama,
periengketan dibebaskan dan dilakukan frenulotomi dengan ligasi arteri
frenular jika terdapat frenulum breve. Sirkumsisi neonatal rutin untuk
mencegah karsinoma penis tidak dianjurkan.Kontraindikasi operasi adalah
infeksi tokal akut dan anomali kongenital dari penis.5
B. FISIOLOGI ANAK
Pasien anak bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil. Secara
fisiologi, anatomi, farmakologis pada anak dan orang dewasa berbeda, oleh
karenanya risiko morbiditas dan mortalitas juga semakin tinggi dengan makin
mudanya usia.
Berikut adalah fisiologi sistem organ pada anak:
Sistem organ Deskripsi
Sistem saraf pusat Pertumbuhan otak terbentuk
sempurna pada usia 11 tahun
Spinal cord L3 pada saat lahir dan
L1 pada umur 1 tahun
Sistem saraf parasimpatis berfungsi
sejak lahir
Sistem saraf simpatis berfungsi
mulai 4-6 bulan
C. ANESTESI UMUM
Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel).
Komponen anesthesia yang ideal terdiri:
1. Hipnotik
2. Analgesia
3. Relaksasi otot
1. Faktor respirasi
Makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup, makin tinggi tekanan
partial, makin tinggi terjadinya difusi. Difusi akan terganggu bila
terdapat penghalang, misal udem paru, dan fibrosis paru.
2. Faktor sirkulasi
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan seimbang.
Bila BG koefisien tinggi maka akan cepat larut dalam darah. Bila BG
koefisien rendah akan cepat mengalami keseimbangan maka penderita
mudah tidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
1. Faktor jaringan
Perbedaan tekanan parsial dalam sirkulasi dan jaringan
Kecepatan metabolisme obat
Aliran darah dalam jaringan
Tissue/blood partition coefisien
2. Faktor zat anestesi
Potensi dari obat anestesi berbeda-beda, untuk mengukurnya dikenal
dengan MAC (minimal alveolar concentration), dimana konsentrasi
obat inhalasi dalam alveoli yang dapat mencegah respon terhadap
nyeri terhadap insisi pembedahan pada 50% individu. Makin rendah
MAC makin tinggi potensi obat anestesi itu.
Keuntungan cara ini adalah selain cepat juga praktis karena dapat
berjalan secara mulus dan cepat, terutama apabila telah terpasang infus.
Kerugiannya biasanya sangat sukar untuk memasang infus dan anak anak /
bayi sering berontak juga kesukaran mencari pembuluh vena.
Beberapa obat digunakan secara intravena (baik sendiri atau
dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anestesi, atau sebagai
komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia), atau untuk menenangkan
pasien di unit rawat darurat yang memerlukan bantuan napas buatan untuk
jangka panjang. Untuk anestesi intravena total biasanya menggunakan
propofol.
1. Pentothal
Dapat diberikan pada bayi / anak, namun pada neonatus sangat peka
terhadap obat ini dan metabolisme berlangsung lama. Dosis untuk induksi
bayi / anak : 4 5 mg /kg BB
2. Methohexital (Brevital)
3. Diazepam.
Absorbsi oral lebih cepat pada anak daripada dewasa. Masa pemulihan
obat ini lebih lama dari pentothal atau methohexitol. Dosis : 0,4 mg per kg
BB, diberikan hati hati Karena menimbul kan rasa sakit pada pembuluh
darah.
4. Ketamin.
5. Propofol
Cukup efektif untuk anak anak, tapi sering menimbulkan rasa sakit dan
terbakar sehingga cara pemberiannya memerlukan teknik yang khusus.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4- 12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0.2 mg/kg.
6. Midazolam
2. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan
aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi
digunakan gas dan cairan terbang yang masing-masing sangat berbeda dalam
kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan otot maupun menghilangkan
rasa sakit. Untuk mendapatkan efek yang lebih cepat, obat ini pada permulaan
harus diberikan dalam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan sampai
maintenance keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan
anestesi inhalasi dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kontrol
kedalaman anestesi dapat dilakukan secara cepat dengan mengurangi
konsentrasi dari gas / uap agen inhalasi.
Open drop method : zat anestesi diteteskan pada kapas yang diletakkan di
depan hidung penderita sehingga kadar zat anestesi yang dihisap tidak
diketahui dan pemakaiannya boros karena zat anestesi menguap ke udara
terbuka.
Semiopen drop method : cara ini hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestesi maka digunakan masker.
1. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter, Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Bau tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan napas. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada
laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran
dikeluarkan dengan cepat oleh tubuh.
2. Halothane
3. Isoflurane
4.Enflurane
Induksi anestesi dengan gas ini tidak begitu lancar dan mulus , anak
sering menahan nafas, batuk batuk, dapat terjadi spasme larynx. Koefisien
kelarutan gas dalam lemak lebih rendah dari halothan , induksi lebih cepat dari
halothan dan pemulihannya lebih cepat. Efek samping: hipotensi, menekan
pernapasan, aritmi, dan merangsang SSP. Pasca bedah dapat timbul hipotermi
(menggigil), serta mual dan muntah.
5. Desfluran
Efek samping
BAB III
ASSESMENT MEDIS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. A
Umur : 1 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Ruang : Anak Lantai 1
No. CM : C561606
Tgl Operasi : 8 Desember 2015
MRS : 1 Desember 2015
II. ANAMNESIS
A Keluhan utama:
Buang air kecil tidak lancar dan sering menangis.
B Riwayat Penyakit Sekarang:
Sejak lahir ibu pasien merasakan anaknya sedikit kesusahan ketika akan
buang air kecil dan terlihat bagian kemaluannya sedikit menggelembung
terlebih dahulu sebelum buang air kecil serta kadang anaknya tersebut
menangis sebelum buang air kecil. 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit pasien mengalami demam, demam dirasakan terus menerus dan
menurun setelah diberi obat sirup yang di beli di warung namun kemudian
akan tinggi kembali. Pasien menjadi sering rewel terutama saat demam,
karena pasien tidak kunjung sembuh lalu pasien dibawa berobat ke RSDK.
Pulmo
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) suara tambahan (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba,
Perkusi : timpani, pekak sisi (-) normal, pekak alih (-)
Ekstremitas: Superior Inferior
V. TINDAKAN OPERASI
Sirkumsisi
- Propofol 20 mg
- Ketamin HCl 100 mg
- Fentanyl 20 mcg
- Sulfas atropine 0,25 mg
Maintanance : Sevoflurane dan O2 ventilator
4. Terapi cairan
BB : 15 kg
Kebutuhan cairan :
- Ringer Laktat
5. Pemakaianobat/bahan/alat :
I. Obatsuntik:
Propofol 1 amp
Sulfas atropin 1 amp
Tramadol 1
Midazolam 1
Fentanyl 1
Obat inhalasi :
Sevoflurane 6 cc
O2 anestesi 3 L/menit
O2 ventilator 2 L/menit
Total = 105 L
2 Perintah di ruangan
- Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050)
- Program cairan RL 10 tetes/menit
- Program analgetik Paracetamol syrup 500 mg/ 8 jam per oral
mulai pukul 13.00 selama dua hari.
- Jika menggigil diberi selimut dan cairan hangat
- Jika mual diberi inj. antiemetik
- Pengawasan keadaan umum dan tanda vital.
- Jika tidak terjadi terjadi mual dan muntah bisa diberi makan
bertahap.
BAB IV
PEMBAHASAN
Teknik dan alat anestesi yang dipakai untuk bayi dan anak pada umumnya
berbeda dengan alat yang dipakai oleh dewasa. Anatomi dan fisiologi pada bayi
dan anak juga berbeda dengan dewasa. Oleh karena itu maka pengelolaan dan
tekniknya pun berbeda dengan dewasa. Penyulit yang ada adalah usia yaitu masuk
dalam kategori bayi (1 Tahun 7 bulan). Pada pasien bayi, kadar obat yang
dibutuhkan lebih sedikit daripada pasien dewasa pada umumnya. Selain itu risiko
terjadinya morbiditas serta mortalitas juga semakin tinggi dengan makin mudanya
usia.
KESIMPULAN
Anestesi pada bayi atau anak agak berbeda dengan anestesi pada dewasa
muda pada umumnya. Perbedaan anatomi maupun fisiologi yaitu yang
menyangkut sistem respirasi, kardiovaskuler maupun metabolisme memerlukan
perhatian dan pemilihan teknik maupun agen yang tepat. Pemilihan teknik
maupun obat anestesi yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien
sebelum, pada saat operasi serta setelah operasi.
DAFTAR PUSTAKA
8. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. 4th ed.
Philadelphia, Pa: JB Lippincott; 2001.