Pencernaan Ikan
1. PENDAHULUAN
Pada metode pertama, ikan diberi makan setiap hari dengan jumlah makanan yang konstan selama
satu jam. Pada suatu hari, makanan yang biasa diberikan diganti dengan makanan yang diberi warna,
misalnya (carrmin, Cr2O atau bahan pewarna lain). Laju pencernaan makanan ditentukan sebagai
selang waktu aktivitas antara saat pemberian makanan yang mengandung warna dan saat
munculnya Feses berwarna (Razin dan Mayer, dalam Kapoor, et al 1976). Umumnya, laju
pencernaan berkisar antara 8-24 jam. Pada metode kedua, dilakukan untuk pengosongan isi lambung
berhubungan erat dengan jumlah makanan yang konsumsi tipe atau struktur makanan dan suhu
lingkungan.
Hubungan laju digesti dengan lamanya waktu dilihat dari pengertian itu sendiri, bahwa laju digesti
adalah laju pengosongan lambung. Dimana bobot lambung pada saat pertama kali berbeda dengan
ikan yang telah lama melakukan proses pencernaan. Ikan telah mencerna makanannya, maka
keadaan lambung pada saat itu dalam keadaan kosong kembali. Jika pakan ikan yang dicerna adalah
yang berasal dari pakan yang nabati, maka laju pengosongan ikan tersebut memakan pakan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan (Rohmah, 2010).
Menurut Windell (1978) dalam Haetomi (2007), laju pengosongan lambung dapat didefinisikan
sebagai laju dari sejumlah pakan yang bergerak melewati saluran pencernaan persatuan waktu
tertentu, yang dinyatakan sebagai atau .
1.8.2 Buatan
Menurut Afrianto dan Evi (2005), fungsi pakan buatan sebagai pembentuk warna tubuh ikan banyak
dimanfaatkan dalam budidaya ikan hias. Meskipun demikian, dalam budidaya ikan konsumsi juga
dapat digunakan. Pakan yang digunakan untuk membentuk warna tubuh ikan tidak berbeda dengan
pakan buatan lainnya, kecuali adanya penambahan pigmen. Pakan akan membantu terciptanya
mekanisme pertananan tubuh. Fungsi lain dari pakan buatan adalah untuk membantu mempercepat
proses Pematangan ganad sehingga proses reproduksi dapat dipercepat. Pakan yang baik akan
menunjang kerja organ tubuh sehingga dapat bekerja lebih baik, termasuk sistem hormone dan
endokrin.
Menurut Nalay 1988 dalam Rustidja (1996), untuk ikan-ikan kecil/benih digunakan bentuk tepung
untuk memudahkan proses pencernaan, tetapi dapat juga digunakan pelet halus yang dibuat melalui
penghancuran pelet. Pelet harus memiliki kelebihan karena lebih lambat tenggelam dan lebih
merangsang ikan untuk memakannya.
2. METODOLOGI
4. PEMBAHASAN
Dalam Praktikum Fisilogi Hewan Air bab sistem pencernaan dalam pengamatan Gastric Evacuation
Time (GET), dalam perlakuan yang dilakukan selama 1 jam, nilai GET terbesar diperoleh pada
kelompok 3 yaitu sebesar 5,28 dan nilai GET terendah diperoleh oleh kelompok 4 dengan nilai 0,911.
Semakin besar nilai GET, maka dapat dikatakan bahwa pada ikan tersebut semakin lama mencerna
makanannya. Pada kelompok 5, dengan menggunakan pakan lumut jaring (sebagai pakan nabati
alami), waktu yang dibutuhkan adalah selama 4,3633 jam. Nilai GET yang diperoleh pada kelompok
5, mempunyai perbedaan atau selisih yang sedikit dengan yang sama, yaitu diberi lumut jaring.
Sedangkan nilai GET yang sama diperoleh oleh kelompok 2 dan 6 dengan nilai 1,4 yang diberi pakan
tubifex kering. Dari keempat kelompok tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu pengosongan
lambung untuk ikan nilai (Oreochomis niloticus) lebih cepat menggunakan pakan alami nabati (tubifex
kering) bila dibandingkan dengan lumut jaring, karena lumut jaring merupakan pakan alami nabati
yang punya banyak serat sehingga sulit untuk dicerna.
Pada pengamatan selama 2 jam, nilai GET yang tertinggi juga diperoleh pada kelompok 5, yaitu
sebesar 13,31 jam, sedangkan jika dibandingkan dengan hasil GET yang diperoleh pada kelompok I
(sebesar 9,375 jam) yang diberi perlakuan sama, yaitu dengan pakan lumut jaring, maka selisih
diantara keduanya tidaklah berbeda jauh. Sedangkan, nilai terendah dari Gastric Evacuation Time
adalah diperoleh pada kelompok 4 dengan perlakuan pemberian pakan berupa pelet.
Sedangkan pada pengamatan GET selama 3 jam, berdasarkan hasil pengamatan maka hasil yang
dapat diperoleh adalah pada kelompok 5, didapatkan nilai GET sebesar 22,0273 jam, hal ini berbeda
jauh dengan hasil yang didapatkan pada kelompok 1 yang diberi perlakuan yang sama yaitu dengan
menggunakan lumut jaring, hasilnya adalah 12,173 jam. Sedangkan waktu pengosongan lambung
yang paling lama terjadi pada kelompok 7 dengan nilai 125,87 dengan menggunakan pakan pelet.
Sedangkan, waktu pengosongan lambung yang paling rendah atau sedikit terjadi pada kelompok 6
(1,24 jam) dengan menggunakan pakan chironomous.
Dari hasil pengamatan diatas didapat perbedaan waktu pengosongan lambung dengan dalam setiap
perlakuan dan jenis pakan yang diberikan. Selain itu, digestibility, jumlah pakan dan komposisi pakan
juga mempengaruhi. Sedangkan, menurut Coindeth (1978), dalam Hartomi, dkk (2007), faktor-faktor
yang mempengaruhi laju pengosongan lambung yaitu suhu air, ukuran tubuh, jumlah pakan yang
tersedia, frekuensi pakan, kandungan energi pakan, konsentrasi lemak pakan, pergerakan fraksi
pakan tercerna dan tidak tercerna, penuaan serta pemaksaan pakan.
Menurut Affandi, dkk (2005), laju pencernaan ditentukan sebagai selang waktu antara saat pemberian
makanan yang mengandung warna dan saat munculnya feses berwarna (Razin dan Mayer, dalam
Kapoor, et al, 1976). Umumnya laju pencernaan berkisar antara 8-24 jam. Suhu sangat berpengaruh
terhadap laju pengosongan isi lambung (digestion rate), semakin tinggi suhu (mendekati optimum)
akan semakin cepat laju pencernaannya. Dan untuk suatu kondisi suhu tertentu, biasanya tingkat
konsumsi makanan (ration), berpengaruh terhadap laju pengosongan lambung (laju pencernaan).
Analisa Grafik
Berdasarkan grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa alam pengamatan selama 1 jam, nilai GET
tertinggi diperoleh pada kelompok 3 dengan nilai 5,28 jam dengan menggunakan pakan chirnomous,
sedangkan waktu terendah pada kelompok 4 dengan menggunakan pakan pelet. Sedangkan dalam
pengamatan selama 2 jam, nilai tertinggi GET pada kelompok 5 (lumut jaring), sedangkan nilai GET
terendah pada kelompok 4. Pada pengamatan selama 3 jam, nilai Get tertinggi diperoleh pada
kelompok 7 dengan pakan chironomous, sedangkan nilai GET tererndah pada kelompok 6 dengan
pakan tubifex kering.
4.3 Hubungan GET Dengan Digestibility
Hubungan digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time) adalah apabila nilai dari digestibility
meningkat, maka nilai GET akan menurun. Hal ini sangat erat hubungannya dengan waktu yang
digunakan dalam pengamatan. Hal itu berarti bahwa waktu adalah faktor penting dalam hubungannya
antara, digestibility dengan GET. Hal ini sesuai dengan pernyataan Murtidjo (2001) dalam Rohmah
(2010). Hubungan laju digesti dengan lamanya waktu dapat diikat dari pengertian itu sendiri bahwa
laju digesti adalah laju pengosongan lambung, dimana bobot lambung pada saat pertama kali
berbeda dengan ikan yang telah mencerna makanannya. Maka keadaan lambung pada saat itu
dalam keadaan kosong kembali. Jika pakan ikan yang dicerna adalah berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Begitu pula pada pernyataan Affandi, dkk (2005), suhu berpengaruh terhadap laju pengosongan isi
lambung (digestion rate), semakin tinggi suhu (mendekati optimum) akan semakin cepat laju
pencernaannya. Dan untuk suatu kondisi suhu tertentu, biasanya tingkat konsumsi makanan (ration)
berpengaruh terhadap laju pengosongan lambung laju (pencernaan). Dapat disimpulkan bahwa
makin tinggi suhu, makin besar nilai digesty dan tentu akan mempercepat laju pengosongan lambung.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari Praktikum Fisiologi Hewan Air, bab Pencernaan adalah sebagai
berikut :
Pencernaan adalah penyerderhanaan makanan menjadi molekul yang lebih kecil, agar dapat
diadsorbsi dan digunakan dalam tubuh
Proses pencernaan terjadi secara fisik dan kimiawi
Pencernaan secara fisik dimulai dirongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi
Sedangkan pencernaan secara kimiawi dimulai dibagian lambung dan dibantu dengan bantuan
enzim
Organ-organ pencernaan secara kimiawi dari mulut, rongga, faring, esophagus, lambung pylorus,
usus, rektu dan anus
Proses pencernaan terdiri dari proses pencernaan lemak, protein dan karbohidrat
Jenis pakan pada ikan terdapat tiga macam, yaitu pakan alami, pakan buatan dan pakan tambahan
Pakan alami terbagi atas dua macam yaitu adalah apakah alami nabati (contohnya lumut jaring) dan
pakan alami hewani (contohnya tubifex)
Faktor yang mempengaruhi digestibility adalah jumlah pakan, komposisi pakan, kondisi fisiologis
ikan, serta
Faktor yang mempengaruhi digestibility adalah jumlah pakan, komposisi pakan, kondisi fisiologis
ikan, serta waktu pemberian pakan
Faktor-faktor yang mempengaruhi GET adalah jumlah pakan, komposisi pakan, serta digestibility
Berdasarkan pengamatan diatas, nilai digestibility tertinggi adalah 97,88% dengan menggunakan
pakan chiromous
Dalam pengamatan GET 1 jam, nilai tertinggi adalah 5,28 dan nilai GET sterendah adalah 0,911 jam
Nilai GET tertinggi pada pengamatan 2 jam adalah 13,31 (lumut jaring) dan nilai GET terendah
adalah 1,6686 jam (pelet)
Dalam pengamatan GET selama 3 jam, nilai tertinggi adalah 125,87 jam dan nilai terendah adalah
1,24jam
5.2 Saran
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab pencernaan yang harus diperhatikan adalah perhitungan
dalam GET, karena jika ada kesalahan dalam perhitungan dapat mempengaruhi semua nilai GET
dalam perhitungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Ridwan; Djaja Subandja Sjafer, MF, Rahardjo Sulistiana. 2005. Fisiologi Ikan. IPB: Bogor.
Afrianto, Eddy dan Evi Liviawary. 2005. Pakan Ikan. Kanisius: Jogjakarta.
Asakura. 2009. Pengosongan Lambung. http//prinatioz.wordpress.com/2009/31/10. Diakses pada
tanggal 18 Oktober 2010 pukul 18.000 WIB.
Ekawati, Arning Wilujeng. 2005. Budidaya Makanan Alami. Universitas Brawijaya: Malang.
Haetami, Keki. 2002. Evaluasi Daya Cerna Pakan Limbah Azda Pada Ikan Bawal Ikan Tawar.
http://pustaka. Unpad.ac.id. Diakses pada tanggal 19 Oktober 2010 pukul 18.00 WIB.
Hoar, W.S. 2006. Randall 1969. Fish Phsyology. Akademis Pies Ins: United State of America.
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius: Yogyakarta.
Kordi, K M. Ghufran H. 2004. Penanggulangan Hama Dari Penyakit Ikan. Bina Adi Aksara: Jakarta.
Meitanisyah. 2009. Anatomi dan Fisiologi Ikan Nilai. http//meitanisyah.wordpress.com. diakses pada
tanggal 18 Oktober 2010 pukul 18.00 WIB.
Nasution, Syahroma Hugni. 2002. Pengaruh Variasi Lemak Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan
Ikan Rainbow (Meloteria Boesmani Allen & Cross). http//www.Ikhtiologi_indonesia.org/jurnal/2-1/06-
0001.pdf. diakses pada tanggal 25 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB.
Peureulak. 2009. Nutrisi Ikan. http//iendeb_naakka.blogspot.com/2009/10/nutrisi_ikan.html. diakses
pada tanggal 18 Oktober 2010
Priyambodo dan Tri. 2005. Budidaya Pakan Alami untuk Ikan. Penebar Swadaya: Jakarta.
Rahardjo, M.S. Djadjas Syafei, Ridwan Afandi, Soelestiono. 1989. Biologi Ikan. IPB: Bogor.
Rohmah. 2010. Fisiologi Hewan. http//gomnyroses.blogspot.com/2010/06.html. diakses pada tanggal
21 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB.
Rustidja. 1996. Maskulivasi Ikan Nila. Universitas Brawijaya: Malang.
Sambas. 2010. Sistem Pencernaan Ikan. http//zaidibiaksambass.com/2010/06/02. diakses pada
tanggal 18 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB.
Seynan, Kadri and David J Brove. 2001. A New Approach in Modeling Gastric Emplying in Fish. Turk
J.Vet.anmimscreb7). http://edu.gastric.emplying.journal.biologi.part20%new.approach%moedeling
%GFT%.18/pdf. diakses pada tanggal 24 Oktober 2010 pukul 18.15 WIB.
Villee, A. Claude; Warent F. Balker, Robert R Barres. 1984. Zoology Umum. Erlangga: Jakarta.
Yuwono dan Purnama. 2001. Fisiologi Hewan Air. CV Sagang Sero: Jakarta.