Anda di halaman 1dari 11

Digestion pada Pisces

Pencernaan Ikan
1. PENDAHULUAN

1.1 Definisi Pencernaan


Molekul pakan yang besar dan kompleks harus dipecah menjadi molekul yang lebih kecil dan
sederhana agar dapat di adsorbsi dan selanjutnya digunakan dalam tubuh hewan, pemecahan
molekul ini dilakukan dengan cara pencernaan (Yuwana dan Purnama, 2001).
Digesti merupakan proses yang diperlukan dalam nutrisi heterotrofik. Dalam proses adsorbsi,
molekul-molekul besar karbohidrat, protein, lemak, dan protein dari bagian-bagian sel dan jaringan
yang dikonsumsi harus dipecah menjadi bagian-bagian yang kecil, seperti gula dan asam amino agar
dapat diangkat melalui membran sel. Biarpun transfer molekul besar itu melalui membran, itu tidak
merupakan masalah, tetapi senyawa organik yang disintesis oleh suatu heterotrof sering kali tidak
sama dengan senyawa yang dikonsumsi sebagai makanan. Karena itu, sebelum didapatkan
perakitan kembali diperlukan digesti (Villee et al, 1984).
Pencernaan makanan adalah proses penyederhanaan makanan yang pada awalnya berupa molekul
komplek menjadi molekul sederhana (Affandi, dkk, 2005).

1.2 Pengertian Daya Cerna Ikan pada Makanan


Setiap jenis ikan mempunyai daya cerna yang berbeda pada nutrisi yang dikonsumsinya. Pada ikan
salmon merupakan salah satu jenis ikan karnivora yang rendah terhadap karbohidrat sehingga energi
yang diperoleh dari karbohidrat hanya dapat dicerna sebanyak 140%, sedangkan ikan Catfish
merupakan salah satu jenis ikan omnivora mempunyai kemampuan mencerna karbohidrat lebih tinggi
dibandingkan ikan karnivora, yaitu 70% (Peureulak, 2009).
Ikan telah lama mencarna makanannya, maka keadaan lambung pada saat itu dalam keadaan yang
kosong kembali, sehingga ikan yang sudah menerima asupan pakan kembali. Jika pakan ikan yang
dicerna berasal dari pakan yang nabati, maka laju pengosongan ikan akan tergantung pada seberapa
besar ikan tersebut memakan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pakan yang mengandung
bahan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan mengandung selulosa sehingga ikan susah mencerna,
sedangkan pakan yang berasal dari pakan hewani, proses pencernaannya akan lebih mudah
(Martiadjo,2001 dalam Rohmah. 2010).

1.3 Pengertian Gastric Evacuation Time


Menurut Affandi, dkk (2009), sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa ada beberapa
metode yang biasa digunakan untuk mengkaji (meng-evaluasi) kinerja proses pencernaan, yakni :
1. Lama internal waktu dari sejak ikan melakukan aktivitas makan hingga Feses yang berasal dari
makanan yang dikonsumsi di produksi,
2. Laju pengosongan lambung, dan
3. Laju penggerakan makanan dari saluran pencernaan melalui teknik radiografi.

Pada metode pertama, ikan diberi makan setiap hari dengan jumlah makanan yang konstan selama
satu jam. Pada suatu hari, makanan yang biasa diberikan diganti dengan makanan yang diberi warna,
misalnya (carrmin, Cr2O atau bahan pewarna lain). Laju pencernaan makanan ditentukan sebagai
selang waktu aktivitas antara saat pemberian makanan yang mengandung warna dan saat
munculnya Feses berwarna (Razin dan Mayer, dalam Kapoor, et al 1976). Umumnya, laju
pencernaan berkisar antara 8-24 jam. Pada metode kedua, dilakukan untuk pengosongan isi lambung
berhubungan erat dengan jumlah makanan yang konsumsi tipe atau struktur makanan dan suhu
lingkungan.
Hubungan laju digesti dengan lamanya waktu dilihat dari pengertian itu sendiri, bahwa laju digesti
adalah laju pengosongan lambung. Dimana bobot lambung pada saat pertama kali berbeda dengan
ikan yang telah lama melakukan proses pencernaan. Ikan telah mencerna makanannya, maka
keadaan lambung pada saat itu dalam keadaan kosong kembali. Jika pakan ikan yang dicerna adalah
yang berasal dari pakan yang nabati, maka laju pengosongan ikan tersebut memakan pakan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan (Rohmah, 2010).
Menurut Windell (1978) dalam Haetomi (2007), laju pengosongan lambung dapat didefinisikan
sebagai laju dari sejumlah pakan yang bergerak melewati saluran pencernaan persatuan waktu
tertentu, yang dinyatakan sebagai atau .

1.4 Organ Pencernaan dan Fungsi


Menurut Affandi, dkk (1989), ada dua sumber penghasil enzim pada bagian usus, yaitu pankreas
(penghasil utama enzim) dan sel sekresi pada dinding usus. Enzim yang disekresikan oleh pankreas
ini adalah trypsin, chimo trypsin, elastase, carboxypeptidase, amylase, chitinase, dan lipase. Trypsin
merupakan enzim proteolitik utama dibagian usus, Chitinase terutama pada ikan-ikan pemakan
krustaqa. Lipase ditemukan pada jenis ikan. Selain enzim-enzim diatas, cairan empedu yang
disekresikan oleh hati berperanan penting dalam pencernaan dibagian usus ini. Pada mamalia cairan
empedu terutama terdiri dari bilirubin dan biliverdin yang berfungsimemecah hemoglobin. Garam-
garam empedu berperan seperti detergen dan membantu mengemulasikan lemak sehingga
memungkinkan lemah untuk lebih mudah dicerna dengan bantuan enzim karena luas partikel lemak
meningkat.
Menurut Affandi, dkk (2005), kelenjar pencernaan pada ikan terdiri hati dan pankreas. Kedua organ
tersebut megekskresikan bahan yang kemudian digunakan dalam proses pencernaan makanan.
Bahan dari hasil sekresi kedua organ tersebut akan masuk ke usus melalui saluran ductus chole
dochus dan saluran ductus pankreatikus. Dengan adanya hubungan antara kelenjar pencernaan
dengan usus depan, maka letak dari kedua kelenjar tersebut berada disekitar usus depan dan
lambung. Hati merupakan organ penting yang mengekskresikan bahan untuk proses pencernaan.
Sekresi dari pankreas sudah jelas, yang secara berbeda cairan alkino mengandung enzim alkalinitas
oleh ion birkarbonat yang menetralkan asam dari perut. Enzim proliotik dari cairan pankreas termasuk
trypsin, cymotripsin carboksi peptidase, tripsin diekskresikan sebagai senyawa aktif tripsinogen
dimana diubah menjadi trypsin enterikinase dengan adanya ion ca2+ (Svendsen dan Anthony, 1984).

1.5 Proses Pencernaan (Protein, Lemak, Karbohidrat)


Menurut Isnaeni (2000), proses pencernaan karbohidrat, protein dan lipid adalah:
1. Pencernaan Karbohidrat
Enzim yang bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat ialah karbohidrat. Enzim ini
memutuskan ikatan glukostatik pada karbohidrat sehingga dapat dihasilkan disakarida, trisakarida
dan polisakarida lain yang memiliki rantai lebih pendek. Didalam mulut, karbohidrat dalam makanan
akan dicerna secara mekanik (dengan bantuan gigi) dan secara enzimatik (oleh enzim
ptralin/amylase ludah).
2. Pencernaan Protein
Enzim yang berperan penting untuk mencerna protein adalah protease-protase disekresikan dalam
bentuk in-aktif (zimogen), yang dapat segera ter-aktifkan. Selanjutnya, enzim pemecah protein
(protolitik) akan menguraikan protein dengan cara memutuskan ikatan peptide pada protein sehingga
dihasilkan asam amino.
3. Pencernaan Lipid
Pencernaan lipid baru dimulai pada saat bahan makanan sampai usus. Pencernaan ini terjadi dengan
bantuan enzim lipase usus, lipase lambung, dan lipase pancreas. Lipase akan menghidrolisis lipid
dan trigiserida menjadi digiserida, monogli sarida, gliserol, dan asam lemak bebas. Lipase pankreas
lebih mudah beraksi dengan trigiserida berantai panjang, yang biasanya berlangsung pada pH 7-9.
Menurut Hoar and Randall. Proses pencernaan pada ikan yaitu :
Enzim pada pencernaan karbohidrat
Sumber dari enzim pada pencernaan karbohidrat pada ikan adalah kelenjar lambung, pancreas dan
dinding usus. Karena karbohidrat yang terdapat pada tabel 1 yang diserap ikan trouli ini diasumsikan
bahwa enzim pencernaan seperti sukrosa, maltose, laktase dan amylase dihasilkan pada jalur ini.
Disakarida maltose diserap 92%, sukrosa 73% dan laktosa 60%.
Enzim pada pencernaan protein
Perut, dinding usus, pancreas dan kelenjar lambung adalah sumber dari enzim yang mencerna
protein.
Enzim pada pencernaan lemak
Lemak dicerna oleh enzim lipase menjadi asam lemak dan gliserin sebelum diserap. Terdapat dua
sumber enzim lipase pada ikan teleoskei yaitu kelenjar lambung dan dinding usus.
Menurut Affandi, dkk (2005), dalam proses pencernaan, komponen makanan yang berupa protein,
lemak dan karbohidrat, harus dipecah menjadi senyawa-senyawa sederhana yang merupakan
komponen-komponen penyusunnya.
1) Pencernaan protein
Enzim yang sangat berperan dalam pencernaan protein adalah proteinase, baik yang disekresikan
oleh kelenjar lambung, pancreas maupun dinding usus. Di lambung, protein dalam makanan akan
mengalami denaturasi oleh kerja HCl dan dihidrolis dengan katalisator enzim pepsin, protein yang
dicerna tersebut akan berubah menjadi petial.
2) Pencernaan lemak
Pencernaan lemak mulai terjadi dibagian lambung, akan tetapi pencernaan disini tidak begitu efektif.
Pencernaan lemak secara intensif terjadi dibagian usus, dalam hal ini lemak dihidrolisis dengan
katalisator enzim lipase pankreastik. Enzim lipase pankreatik menghidrolisis trigeserid menjadi
monogliserid dan asam lemak.
3) Pencernaan karbohidrat
Karbohidrat dalam makanan umumnya berbentuk senyawa polisakarida, disakarida dan
monosakarida karena ikan tidak memiliki kelenjar air liur (salivarygland), maka pencernaan
karbohidrat dimulai dibagian lambung.

1.6 Proses Pencernaan (Fisika dan Kimia)


Menurut Yuwono dan Purnama (2001), berdasarkan perangkat yang digunakan pencernaan pada
hewan terjadi secara mekanik dan kimiawi.
1) Pencernaan mekanik menggunakan taring, misalnya pada ikan untuk menggigit. Beberapa hewan
air juga menggunakan gigi untuk dan mengonyak pakan. Misalnya, pada ikan lele. Struktur tembolok
pada hewan air (pada ikan udang) juga digunakan untuk pencernaan mekanik. Sebanyak 85% ikan
teleoste memiliki lambung yang digunakan untuk pencernaan mekanik.
2) Pencernaan kimiawi melibatkan enzim (contohnya protease, lipase, amilase) sebagai katalisator
untuk mempercepat prosesnya. Dalam kondisi normal reaksi berjalan lambat tetapi dengan hidrolisis
dan kerja enzim reaksi kimia berjalan lebih cepat.
Pencernaan secara fisik dan mekanik dimulai dibagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi
pada proses pemotongan dan penggerusan makanan. Pencernaan secara mekanik ini juga
berlangsung disegmen lambung dan usus, yaitu melalui gerakan-gerakan (kontraksi) otot pada
segmen tersebut. Pencernaan mekanik disegmen lambung dan usus terjadi lebih efektif yang
berperan dalam proses pencernaan proses pencernaan secara kimiawi mulai dihasilkan disegmen
tersebut yaitu disekresika oleh kelenjar lambung. Pencernaan ini selanjutnya disempurnakan
disegmen usus. Cairan disgetif yang berperan pada proses pencernaan disegmen usus berasal dari
hati, pankreas, dan dinding usus itu sendiri (Meitanisyah, 2009).

1.7 Struktur dan Fungsi Saluran Pencernaan


Menurut Sambas (2010), mulai dari muka kebelakang, saluran pencernaan tersebut terdiri dari mulut,
rongga mulut, karing, esokagus, lambung, pilorus, usus, rectum dan anus.
a. Mulut
Bagian terdepan dari mulut adalah bibir, pada ikan. Ikan tertentu bibir tidak berkembang dan malahan
hilang secara total karena digantikan oleh paruh atau rahang (ikan famili scaridae, diodotidae,
tetraodontidae). Keberadaan bibir berkaitan erat dengan cara mendapatkan makanan. Disekitar bibir
pada ikan tertentu terdapat sungut, yang berperan sebagai alat peraba.
b. Rongga mulut
Dibagian belakang mulut terdapat ruang yang disebut rongga mulut. Permukaan rongga mulut
diselaputi oleh lapisan permukaan (epitelium) yang berlapis. Pada lapisan permukaan terdapat sel-sel
penghasil lendir (mukosit) untuk mempermudah masuknya makanan. Disamping mukosit, dibagian
mulut juga terdapat organ penyerap (organ penerima rasa) yang berfungsi menyeleksi makanan.
c. Farings
Lapisan permukaan faring hampir sama dengan rongga mulut, masih ditemukan organ pengecap,
sebagai tempat proses penyaringan makanan.
d. Esopagus
Permulaan dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti pipa, mengandung lendir untuk
membantu penelanan makanan. Pada ikan laut, esofus berperan dalam penyerapan garam melalui
difusi pasif menyeabkan konsentrasi garam air laut yang diminum akan menurun ketika berada
dilambung dan usus, sehingga memudahkan penyerapan air oleh usus belakang dan rectum (proses
osmoregulasi).
e. Lambung
Lambung merupakan segmen pencernaan yang diameternya relatif lebih besar bila dibandingkan
dengan organ pencernaan lain. Besarnya ukuran lambung berkaitan dengan fungsinya penampung
makanan. Seluruh permukaan lambung ditutupi oleh sel nukleus yang mengandung mikropolisakarida
yang agak asam berfungsi sebagai pelindung dinding lambung dari kerja asam klorida. Sebagai
penampung makanan dan menerima makanan secara kimiawi. Pada ikan herbivora terdapat gizara
(lambung khusus) berfungsi untuk menggerus makanan (pencernaan secara fisik).
f. Pilorus
Pilorus merupakan segmen yang terletak antara lambung dan usus depan
g. Usus (intestium)
Intestium berakhr dan bermuara sebagai anus. Merupakan tempat terjadinya proses penyerapan zat
makanan.
h. Rektum
Rektum merupakan segmen saluran pencernaan yang terujung.
i. Kloaka
Kloaka adalah ruang tempat bermuaranya saluran pencernaan dan saluran urogenital. Ikan bertulang
sejati tidak memiliki kloaka sedangkan ikan bertulang rawan memiliki organ tersebut.
j. Anus
Anus merupakan ujung dari saluran percernaan. Pada ikan bertulang sejati, anus terletak disebelah
depan saluran genital.
Menurut Arikunto, dkk (2005), struktur dan fungsi saluran antara lain adalah:
a) Mulut
Bagian terdepan dari mulut adalah bibir. Nampaknya keberadaan bibir ini berkaitan dengan erat
dengan cara mendapatkan makanan. Bibir dipakai sebagai alat untuk menghisap dan mengambil
makanan.
b) Rongga mulut
Rongga mulut ini berhubungan langsung dengan segmen furing, oleh karenanya rongga mulut dan
segmen furing ini sering disebut rongga buceophari nx. Secara anatomis, organ yang terlihat secara
jelas yang terdapat pada rongga mulut adalah gigi, lidah dan organ pelatin. Faste bud yang terdapat
pada rongga mulut berfungsi sebagai penyeleksi makanan yang dimakan oleh ikan.
c) Faring
Pada ikan memperoleh makanannya dengan cara menyaring organisme air (plankton), makan proses
penyaringan makanan
d) Esophagus
Segmen esophagus merupakan permukaan dari saluran pencernaan yang bentuknya berupa pipa
(tabung).
e) Lambung
Lambung merupakan segmen pencernaan yang diameternya relatif lebih besar bila dibandingkan
dengan segmen lain. Besarnya ukuran lambung berkaitan dengan fungsinya sebagai penampung
makanan.
f) Pilorus
Segmen pilorus berfungsi sebagai pengatur pengeluaran makanan (cymen) dari lambung ke segmen
usus.
g) Usus
Usus merupakan segmen terpanjng dari saluran pencernaan. Usus merupakan tempat terjadinya
proses penyerapan zat makanan.
h) Rektum
Segmen rektum berfungsi dalam penyerapan air dan ion-ion. Adanya penyerapan air ini dapat terlihat
dari kondisi feses yang umumnya berbentuk lembek (agak memadat).
i) Kloaka
Kloaka adalah ruang tempat bermuaranya saluran pencernaan dan saluran urogenital. Klep kloaka
terdapat lubang pengeluaran sisa makanan (feses).
j) Anus
Anus merupakan bagian terujung dari saluran pencernaan. Pada ikan bertulang sejati, anus terletak
didepan saluran genital.

1.8 Manfaat Kandungan Pakan Ikan


1.8.1 Alami
Menurut Priyambodo dan Tri (2001), sifat pakan alami yang bergerak, tetapi tidak terlalu aktif dapat
merangsang dan mempermudah larva ikan untuk memangsanya. Selain beberapa kelebihan tersebut
pakan alami juga tidak mencemari media pemeliharaan sehingga diharapkan dapat menekan angka
mortalitas benih akibat kondisi air yang kurang baik. Jenis pakan alami yang dapat dimakan ikan
tergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya.
Daun talas merupakan pakan alami yang cukup baik bagi ikan gurami, tetapi getah dari daun talas
dapat menyebabkan penyakit cacar. Oleh karena itu, daun talas yang diberikan kepada ikan gurami
terlebih dahulu dijemur sampai kering (Kordi, 2004).

1.8.2 Buatan
Menurut Afrianto dan Evi (2005), fungsi pakan buatan sebagai pembentuk warna tubuh ikan banyak
dimanfaatkan dalam budidaya ikan hias. Meskipun demikian, dalam budidaya ikan konsumsi juga
dapat digunakan. Pakan yang digunakan untuk membentuk warna tubuh ikan tidak berbeda dengan
pakan buatan lainnya, kecuali adanya penambahan pigmen. Pakan akan membantu terciptanya
mekanisme pertananan tubuh. Fungsi lain dari pakan buatan adalah untuk membantu mempercepat
proses Pematangan ganad sehingga proses reproduksi dapat dipercepat. Pakan yang baik akan
menunjang kerja organ tubuh sehingga dapat bekerja lebih baik, termasuk sistem hormone dan
endokrin.
Menurut Nalay 1988 dalam Rustidja (1996), untuk ikan-ikan kecil/benih digunakan bentuk tepung
untuk memudahkan proses pencernaan, tetapi dapat juga digunakan pelet halus yang dibuat melalui
penghancuran pelet. Pelet harus memiliki kelebihan karena lebih lambat tenggelam dan lebih
merangsang ikan untuk memakannya.

1.9 Jenis Makanan Pada Ikan


Pakan ikan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu senyawa pakan, silase ikan, ikan rucah dan pakan
hidup untuk larva ikan. Pada dasarnya, pakan buatan yang sering kita jumpai termasuk dalam
kelompok senyawa pakan dan silase ikan. Dua jenis senyawa pakan yang berbentuk tepung, pasta
dan cake, serta pakan yang berbentuk pelet (Afrianto dan Evi, 2005).
Jenis pakan yang dapat diberikan pada ikan pakan alami maupun pakan buatan. Ketersediaan pakan
alami merupakan faktor yang penting dalam budidaya ikan, termasuk pada usaha pembenihan dan
usaha budidaya ikan hias pakan alami merupakan pakan hidup bagi larva ikan yang mencakup
fitoplankton, zooplankton dan benthos. Pakan alami untuk larva atau benih ikan mempunyai beberapa
kelebihan karena ukurannya relatif kecil dan sesuai bukan mulut larva atau benih ikan, nilai nutrisinya
tinggi, mudah dibudidayakan, gerakannya dapat merangsang ikan untuk memangsanya, dapat
berkembang biak dengan cepat sehingga ketersediaannya dapat terjamin, dan biaya pembiayaannya
relatif murah (Priyambodo dan Tri, 2001).

1.10 Komposisi Pakan (Pelet, Tubifer Kering, Chironomousbeku, lumut jaring)


Komposisi cacng tubifex terdiri dari protein 46,1%, lemak 15,1%, dan abu 6,9%, sedangkan cacing
darah (blood worm). 90% bagian-bagian tubuh adalah air dan sisanya, 10%, terdiri dari bahan
padatan. Dari 10% bahan padatan ini 62,5% adalah protein, 10% lemak, dan sisanya lain-lain
(Ekawati, 2005).
Misalkan bahan baku yang tersedia terdiri atas dedak halus dengan protein 15,58%, tepung ikan
dengan kadar protein 62,99%, tepung jagung dengan kadar protein 95% tepung lamtoro dengan
kadar protein 12,27%, dan tepung kedelai dengan kadar protein 46,36% (Afrianto dan Evi, 2005).
Menurut Chumaidi dan Priyadi (1989) dalam Nasution (2002), bahwa pakan chironomous sp
mengandung lemak 2,86% dan protein 56,6% oleh tingginya nilai protein, namun juga dipengaruhi
kandungan lemak, khususnya asam lemak tak jenuh ganda (PUFA).
Pakan yang mengandung bahan ekstrak tumbuh-tumbuhan mengandung selulosa sehingga ikan
susah untuk mencerna. Sedangkan pada pakan yang berasal dari ekstrak hewan proses
pencernaannya lebih mudah (Rohmah, 2009).

1.11 Faktor yang Mempengaruhi GET


Menurut Affandi, dkk (2005), suhu sangat berpengaruh terhadap laju pengosongan isi lambung
(digestion rate), semakin tinggi suhu (mendekati optimum), akan semakin cepat laju pencernaannya.
Dan untuk suatu kondisi suhu tertentu besarnya laju pengosongan lambung (laju pencernaan),
semakin banyak makanan yang dikonsumsi semakin lama lambung menjadi kosong. Selain terkait
dengan jumlah makanan nampaknya kandungan lemak makanan juga sangat menentukan lamanya
proses penggosongan lambung. Makanan yang mengandung lemak yang tinggi dicerna lebih lama
dibanding dengan makanan yang berlemak rendah.
Menurut Asakura (2009), faktor yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung antara lain
adalah:
a) Pompa pildus dan gelombang peristaltik
Pada dasarnya pengosongan lambung dipermudah oleh gelembung peristaltik pada anthrium
lambung dan dihambat oleh resistensi pilorus terhadap jalur makanan.
b) Volume makanan
Sangat mudah dilihat bagaimana volume makanan lambung yang bertambah dapat meningkatkan
pengosongan dari lambung.
c) Hormon gastrin
Gastrin meningkatkan aktivitas pompa pilorus sedangkan pada saat yang sama meningkatkan pilorus
itu sendiri. Jadi, gastrin kuat pengaruhnya dalam mempermudah pengosongan lambung.
d) Reflek enteragestrix
Sinyal syaraf yang dihantarkan dari duodenum kembali ke lambung setiap saat, khususnya bila
lambung menggosongkan makanan ke duodenum. Sinyal ini mungkin memegang peranan paling
penting dalam menentukan derajat aktivitas pompa pilorus. Oleh karena itu, juga menentukan
kecepatan pengosongan lambung.
e) Umpan balik hormonal dan duodenum peranan lemak
f) Keenaran chyme
g) Pematangan nerves vagus dapat memperlambat penggosongan lambung
h) Vagatomi menyebabkan atoni dan pengosongan lambung yang relatif hebat
Menurut Seyhan and David (2001), sejumlah penelitian juga telah dilakukan pada berbagai spesies
ikan untuk melihat faktor yang mempengaruhi pengosongan lambung. Mereka semua telah
menunjukkan bahwa APK dipengaruhi oleh sejumlah faktor-faktor ini telah diperiksa oleh Kapoor, dkk
Dange dan Grove dan Smith et al dalam Seyhan dan David (2001). Diantara faktor-faktor ini, suhu,
ukuran ikan, ukuran makan dan kualitas makanan telah menjadi mayor penting. Penentuan kombinasi
faktor instrinsik (misalnya ukuran hewan, waktu pengosongan lambung, waktu metabolisme) dan
faktor ekstrinsik, seperti jenis makanan dan ketersediaan serta penyakit, tingkat oksigen, salinitas dan
cahaya.

1.12 Faktor yang Mempengaruhi Digestibility


Menurut Rahardjo, dkk (1988), terdapat beberapa faktor yang merangsang ikan untuk makan, yaitu:
1) Faktor yang mempengaruhi motivasi internal atau pendorong ikan untuk makan: waktu makan,
musim, intensitas cahaya, saat jenis makanan terakhir, suhu dan ritme internal lainnya.
2) Rangsangan makan yang diterima oleh indera-indera seperti perasa, penghidung, penglihatan dan
sebagainya.
Interaksi antara kedua faktor tersebut akan menentukan kapan dan bagaimana ikan akan makan dan
apa yang dimakannya. Selain adanya faktor-faktor yang merangsang ikan untuk makan, juga terdapat
faktor lain yang menentukan dapat tidaknya suatu makanan dimakan oleh ikan, yaitu: ukuran partikel,
rasa dan suhu cair.
Selain faktor eko-fisiologis ikan, faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai kecernaan makanan
adalah faktor teknis dalam pengumpulan feses. Sebagaimana telah dijelaskan sebagaimana
sebelumnya bahwa begitu feses keluar dari anus dan kontak dengan air maka proses pencucian
mulai terjadi. Jadi Jelaslah bahwa lamanya kontak antara feses dengan air dan menentukan derajat
pencucian. Pada kenyataannya, teknik pengumpulan feses terpengaruh terhadap ada atau tidak ada
serta lamanya kontak dengan feses air. Dengan demikian, teknik pengumpulan feses dapat
mempengaruhi nilai kecerahan makanan (Affandi, dkk. 2005).

2. METODOLOGI

2.1 Prosedur Kerja


2.1.1 Digestibility
2.1.2 GET (Gastric Evacuation Time )

2.1 Alat dan Bahan


2.2.1 Fungsi Alat
Alat-alat yang digunakan dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab Sistem Pencernaan adalah
sebagai berikut :
Toples kapasitas 2 kg : sebagai tempat media pengamatan
Sectio set : untuk membedah ikan
Nampan : untuk tempat ikan serta tempat meletakkan alat dan bahan
Hot plate : untuk memanaskan feses pada saat pengamatan
Timbangan digital : untuk menimbang berat lambung ikan serta berat ikan saat penimbangan
Seser : untuk mengambil ikan

2.2.2 Fungsi Bahan


Bahan-bahan yang digunakan dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab Pencernaan adalah sebagai
berikut:
Air : sebagai media tempat hidup ikan
Lumut jaring : sebagai pakan nabati alami
Tubifex kering : sebagai hewani
Pelet : sebagai pakan buatan
Chironomous : sebagai pakan hewani
Kertas label : untuk memberikan nama pada toples agar tidak tertukar/sebagai penanda
Ikan nila (Oreochromis niloticus) : sebagai objek yang diamati sistem pencernaannya
Lap basah : untuk membekap ikan saat penimbangan agar tetap hidup
Kertas saring : sebagai alas pada saat penimbangan

4. PEMBAHASAN

4.1 Analisa Prosedur


4.1.1 Digestibility atau Daya Cerna
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air, Bab Pencernaan mengenai daya cerna/digestibility, alat-alat
yang perlu disiapkan adalah toples sebagai tempat media pengamatan, timbangan digital untuk
menimbang, sectio yang berfungsi untuk membedah ikan, hot plate untuk memanaskan feses serta
nampan sebagai alas untuk menimbang ikan serta tempat untuk meletakkan alat dan bahan.
Sedangkan, bahan-bahan yang perlu disiapkan adalah lumut jaring sebagai pakan alami nabati,
sebagai pakan buatan, tubifex kering serta chironomous sebagai pakan alami hewani, ikan nila
(Oreochomis niloticus) sebagai objek yang diteliti, serta kertas saring sebagai alas untuk menimbang,
dan lap basah untuk membekap ikan nila.
Setelah semua alat dan bahan siap, maka pertama-tama, toples diisi air sampai bagian, yang
diasumsikan sebanyak 2 liter. Tujuan dari penggunaan toples adalah karena memiliki kaca yang
ambung, sehingga mempermudah pengamatan. Sementara itu, ikan nila (Oreochomis niloticus)
diambil dan ditimbang berat awalnya. Cara menggunakna timbang digital yaitu pertama-tama
timbangan dihubungkan dengan arus listrik, kemudian ditekan tombol dan diletakkan nampan dan lap
basah diatasnya lalu ditekan tombol Rezero. Setelah pada layar menunjukkan angka 0, lalu
diletakkan ditimbang berat pakan yang dibutuhkan, yaitu sebanyak 5% dari berat awal tubuh ikan. 5%
berat pakan disini adalah konversi maksimum dari berat tubuh ikan. Pakan yang digunakan dalam
pada kelompok 5 adalah pakan alami nabati, yaitu yang berasal dari lumut jaring. Cara menggunakan
timbangannya adalah pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus listrik, kemudian ditekan
tombol TARE. Setelah itu, kaca pada timbangan dibuka dan dimasukkan kertas sebagai alas
menimbang, lalu ditutupi kacanya dan ditekan tombol Tare. Setelah itu kaca dibuka dan ditimbang
lumut jaring sesuai dengan kebutuhan sampai angka pada layar menunjukkan 5% dari berat tubuh
ikan. Kemudian lumut jaring tersebut diberikan pada ikan nila (Oreochomis niloticus) dan dibiarkan
dengan waktu selama 1 jam (kelompok ganjil). Sementara menunggu ikan, langkah selanjutnya
adalah menimbang kertas saring. Cara penimbangannya sama dengan cara penimbangan pada
lumut jaring.
Setelah 1 jam, ikan kemudian diambil dan ditusuk pada bagian medulla oblongata agar ikan mati.
Setelah mati, ikan kemudian dibedah dengan menggunakan sectio set. Cara pembedahannya dimulai
dari anus sampai kebagian belakang operculum. Bagian yang dibedah adalah sebelah kiri, karena
penampang organ yang kelihatan lebih jelas. Kemudian diambil organ pencernaannya, utamanya
pada usus besar untuk diambil fesesnya. Setelah feses diambil dan diletakkan diatas kertas saring,
dan dipanaskan diatas hot plate selama 3 menit. Cara penggunaan hot plate adalah dihubungkan
dengan arus listrik. Setelah 3 menit, feses ikan tadi kemudian ditimbang beratnya dengan
menggunakan timbangan analitik. Yaitu pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus listrik
dan ditekan tombol on serta rezero. Kemudian diletakkan feses beserta kertas saring tadi diatasnya
sehingga diketahui beratnya. Kemudian dihitung nilai digestibility dengan menggunakan rumus : x
100%, dimana BTM merupakan berat total makanan dan BTF merupakan Berat Total Feses dalam
gram, dimana berat feses merupakan hasil dari berat ketika ditimbang dengan timbangan analitik
dikurangi berat kertas saring.

4.1.2 GET (Gastric Evacuation Time)


Dalam Praktikum Fisiologis Hewan Air bab pencernaan, untuk praktikum GET, alat-alat yang perlu
disiapkan adalah toples kapasitas 2 liter sebagai tempat media pengamatan, geser untuk mengambil
ikan, nampan sebagai alat untuk menimban. Sectio set untuk membedah ikan, serta timbangan digital
untuk menimbang berat ikan. Sedangkan, bahan yang perlu disiapkan adalah 3 buah ikan nila
(Oreochomis niloticus) dengan berat yang kurang lebih sama atau hampir sama, kertas saring
sebagai alas saat menimbang, lap basah untuk membekap ikan, air sebagai media tempat
pengamatan, kertas label untuk memberi tanda pada toples serta, pakan yang dibutuhkan, yaitu
pallet, lumut jaring, tulbifex kering, serta chironomous.
Pertama-tama disiapkan dahulu 3 buah toples lalu diisi air sampai bagian. Kemudian, siapkan 3
ekor ikan nila (Oreochomis niloticus) yang mempunyai berat yang hampir sama, kemudian ditimbang
masing-masing beratnya dengan menggunakan timbangan digital. Caranya adalah pertama-tama
timbangan dihubungkan dengan arus listrik, lalu ditekan tombol ON. Kemudian letakkan nampan
dan lap basah diatasnya lalu tekan tombol rezero. Tujuan penggunaan lap adalah agar ikan tidak
melompat saat ditimbang. Setelah diketahui beratnya masing-masing, kemudian masukkan ikan pada
toples dan besi label 1 jam, 2 jam dan 3 jam pada setiap toples. Kemudian, ikan diberi makan dengan
konversi 1,5% dari berat tubuh ikan. 1,5% merupakan batas konversi terendah pakan karena
pengamatan hanya dilakukan selama beberapa jam, sedangkan jika seharian penuh menggunakan
konversi minimum pakan yaitu sebanyak 3% dari berat tubuh ikan. Pakan yang digunakan untuk
kelompok 5 adalah pakan alami nabati yang berupa lumut jaring. Timbangan yang digunakan adalah
timbangan sartonus. Pertama-tama timbangan sartorius. Kemudian dimasukkan kertas sebagai alas
menimbang dan ditutupi kacanya dan kemudian ditekan tombol Tare. Setelah itu, ditimbang pakan
yang dibutuhkan sesuai dengan berat tubuh pada masing-masing ikan, kemudian pakan diberikan
kepada ikan dan diamati, serta dicatat waktu pertama kali ikan memakan lumut jaring tersebut lalu
ditunggu pengamatan selama 1,2 dan 3 jam.
Setelah ikan nila (Oreochomis niloticus) diamati selama 1 jam, kemudian ikan diambil dan ditusuk
pada bagian medula oblongata sehingga ikan mati. Setelah mati, ikan nila (Oreochomis niloticus)
kemudian dibedah dengan menggunakan sectio set. Bagian yang dibuka adalah bagian yang sebelah
kiri karena mempunyai penampang organ yang lebih jelas. Cara pembedahannya adalah dimulai dari
anus sampai kedepan, tepatnya dibelakang operculum. Setelah dibedah, diambil organ
pencernaannya dan diambil bagian lambungnya. Kemudian, lambung diletakkan diatas kertas saring
yang sudah ditimbang dan ditimbang berat detir (Wt). Kemudian ditimbang dengan menggunakan
timbangan sartorius. Begitu juga dengan pengamatan ikan yang selama 2 dan 3 jam. Setelah
diketahui berat lambung pada masing-masing ikan, kemudian dihitung nilai GET-nya dengan
menggunakan rumus :
b
dimana Wt = berat lambung pada saat (t) jam
Wo = berat makanan yang diberikan (gr)
b = koefisien pencernaan/daya cerna (gr/jam)
t = waktu yang dibutuhkan dalam pengamatan (jam)
a = tenggang waktu pemberian pakan dan pertama kali makan (jam)
Setelah dihitung dengan rumus tersebut, dapat diketahui perbedaan GET setiap jamnya.

4.2 Analisa Hasil


4.2.1 Digestibiliy
Pada praktikum Fisiologi Hewan Air, bab pencernaan mengetahui digesbility (Daya Cerna), diperoleh
hasil sebagai berikut: pada perlakuan dengan menggunakan lumut jaring (pada kelompok 1 dan 5),
prosentase digesty yang diperoleh adalah hampir sama, yaitu 94,4%, pada kelompok 1 dan 94,44%
pada kelompok 5. Daya cerna pada pakan alami nabati ini membutuhkan waktu yang relatif lama,
karena pakan alami nabati mempunyai banyak serat karena itu memerlukan waktu yang relatif lama
untuk mencerna makanannya yaitu yang berupa lumut jaring. Sedangkan, pada kelompok 2 dan 6
yang menggunakan pakan tubifex (dari larva dan nyamuk), daya cerna yang diperoleh juga berbeda.
Pada kelompok 2, hal ini juga dipengaruhi oleh berat badan tubuh ikan yang lebih besar daripada
kelompok 2. Sedangkan, pada kelompok 3 dan 7, daya cerna Chironomous pada kedua kelompok
berbeda jauh. Yaitu, pada kelompok 3 sebesar 82% dan pada kelompok 7 sebesar 97,88%.
Perbedaan yang cukup jauh ini juga dikarenakan perbedaan berat tubuh ikan yang lebih berat pada
kelompok 7, yaitu 0,9075 gram dibandingkan kelompok 3 sebesar 0,72 gram. Dapat disimpulkan
bahwa berat tubuh mempengaruhi daya cerna. Pada kelompok 4 dan 8, prosentase daya cerna pellet
sangat tipis, yaitu pada kelompok 4 sebesar 97,4% dan pada kelompok 8 sebesar 94,64%.
Menurut Murtidjo (2001), dalam Rohmah (2010), laju pengosongan tergantung dari seberapa besar
ikan tersebut memakan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pakan yang berasal dari nabati
atau tumbuhan mengandung selulosa sehingga susah mencerna, sedangkan pakan yang berasal dari
ekstrak hewani lebih, proses pencernaannya lebih mudah.
Selain itu, ada faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna menurut Haetami (2002), adalah ukuran
ikan, daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, jumlah konsumsi pakan, status fisiologis, dan
tata laksana pemberian mudah.
Setiap jenis ikan mempunyai daya cerna yang berbeda pada nutrisi yang dikonsumsinya. Ikan salmon
merupakan salah satu jenis ikan karnivora yang rendah terhadap karbohidrat sehingga energi yang
diperoleh dari karbohidrat hanya dapat dicerna sebanyak 140%. Sedangkan ikan atfish merupakan
salah satu jenis ikan omnivora mempunyai kemampuan mencerna karbohidrat lebih tinggi
dibandingkan karnivora, yaitu 70% (Peureulak, 2009).

Analisa Grafik Digestibility


Berdasarkan grafik diatas, dapat diketahui bahwa pada kelompok 1 dan 5 yang diberi makan lumut
jaring mempunyai nilai digestibility yang hampir sama sebanyak 94. Sedangkan pada kelompok 2 dan
6 serta 3 dan 7, meskipun keduanya diberi pakan yang sama, namun daya cerna/digestibility lumayan
banyak. Sedangkan pada kelompok 4 dan 8 yang diberi pakan pelet mempunyai daya cerna 94%.
Dari grafik diatas dapat juga diketahui bahwa nilai GET terendah terletak pada kelompok 3 dengan
prosentase 82%, sedangkan nilai GET tertinggi diperoleh pada kelompok 7 dengan nilai 97,88% yang
diberi makan Chironomous.

4.2.2 GET (Gastric Evacuation Time)

Dalam Praktikum Fisilogi Hewan Air bab sistem pencernaan dalam pengamatan Gastric Evacuation
Time (GET), dalam perlakuan yang dilakukan selama 1 jam, nilai GET terbesar diperoleh pada
kelompok 3 yaitu sebesar 5,28 dan nilai GET terendah diperoleh oleh kelompok 4 dengan nilai 0,911.
Semakin besar nilai GET, maka dapat dikatakan bahwa pada ikan tersebut semakin lama mencerna
makanannya. Pada kelompok 5, dengan menggunakan pakan lumut jaring (sebagai pakan nabati
alami), waktu yang dibutuhkan adalah selama 4,3633 jam. Nilai GET yang diperoleh pada kelompok
5, mempunyai perbedaan atau selisih yang sedikit dengan yang sama, yaitu diberi lumut jaring.
Sedangkan nilai GET yang sama diperoleh oleh kelompok 2 dan 6 dengan nilai 1,4 yang diberi pakan
tubifex kering. Dari keempat kelompok tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu pengosongan
lambung untuk ikan nilai (Oreochomis niloticus) lebih cepat menggunakan pakan alami nabati (tubifex
kering) bila dibandingkan dengan lumut jaring, karena lumut jaring merupakan pakan alami nabati
yang punya banyak serat sehingga sulit untuk dicerna.
Pada pengamatan selama 2 jam, nilai GET yang tertinggi juga diperoleh pada kelompok 5, yaitu
sebesar 13,31 jam, sedangkan jika dibandingkan dengan hasil GET yang diperoleh pada kelompok I
(sebesar 9,375 jam) yang diberi perlakuan sama, yaitu dengan pakan lumut jaring, maka selisih
diantara keduanya tidaklah berbeda jauh. Sedangkan, nilai terendah dari Gastric Evacuation Time
adalah diperoleh pada kelompok 4 dengan perlakuan pemberian pakan berupa pelet.
Sedangkan pada pengamatan GET selama 3 jam, berdasarkan hasil pengamatan maka hasil yang
dapat diperoleh adalah pada kelompok 5, didapatkan nilai GET sebesar 22,0273 jam, hal ini berbeda
jauh dengan hasil yang didapatkan pada kelompok 1 yang diberi perlakuan yang sama yaitu dengan
menggunakan lumut jaring, hasilnya adalah 12,173 jam. Sedangkan waktu pengosongan lambung
yang paling lama terjadi pada kelompok 7 dengan nilai 125,87 dengan menggunakan pakan pelet.
Sedangkan, waktu pengosongan lambung yang paling rendah atau sedikit terjadi pada kelompok 6
(1,24 jam) dengan menggunakan pakan chironomous.
Dari hasil pengamatan diatas didapat perbedaan waktu pengosongan lambung dengan dalam setiap
perlakuan dan jenis pakan yang diberikan. Selain itu, digestibility, jumlah pakan dan komposisi pakan
juga mempengaruhi. Sedangkan, menurut Coindeth (1978), dalam Hartomi, dkk (2007), faktor-faktor
yang mempengaruhi laju pengosongan lambung yaitu suhu air, ukuran tubuh, jumlah pakan yang
tersedia, frekuensi pakan, kandungan energi pakan, konsentrasi lemak pakan, pergerakan fraksi
pakan tercerna dan tidak tercerna, penuaan serta pemaksaan pakan.
Menurut Affandi, dkk (2005), laju pencernaan ditentukan sebagai selang waktu antara saat pemberian
makanan yang mengandung warna dan saat munculnya feses berwarna (Razin dan Mayer, dalam
Kapoor, et al, 1976). Umumnya laju pencernaan berkisar antara 8-24 jam. Suhu sangat berpengaruh
terhadap laju pengosongan isi lambung (digestion rate), semakin tinggi suhu (mendekati optimum)
akan semakin cepat laju pencernaannya. Dan untuk suatu kondisi suhu tertentu, biasanya tingkat
konsumsi makanan (ration), berpengaruh terhadap laju pengosongan lambung (laju pencernaan).

Analisa Grafik
Berdasarkan grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa alam pengamatan selama 1 jam, nilai GET
tertinggi diperoleh pada kelompok 3 dengan nilai 5,28 jam dengan menggunakan pakan chirnomous,
sedangkan waktu terendah pada kelompok 4 dengan menggunakan pakan pelet. Sedangkan dalam
pengamatan selama 2 jam, nilai tertinggi GET pada kelompok 5 (lumut jaring), sedangkan nilai GET
terendah pada kelompok 4. Pada pengamatan selama 3 jam, nilai Get tertinggi diperoleh pada
kelompok 7 dengan pakan chironomous, sedangkan nilai GET tererndah pada kelompok 6 dengan
pakan tubifex kering.
4.3 Hubungan GET Dengan Digestibility
Hubungan digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time) adalah apabila nilai dari digestibility
meningkat, maka nilai GET akan menurun. Hal ini sangat erat hubungannya dengan waktu yang
digunakan dalam pengamatan. Hal itu berarti bahwa waktu adalah faktor penting dalam hubungannya
antara, digestibility dengan GET. Hal ini sesuai dengan pernyataan Murtidjo (2001) dalam Rohmah
(2010). Hubungan laju digesti dengan lamanya waktu dapat diikat dari pengertian itu sendiri bahwa
laju digesti adalah laju pengosongan lambung, dimana bobot lambung pada saat pertama kali
berbeda dengan ikan yang telah mencerna makanannya. Maka keadaan lambung pada saat itu
dalam keadaan kosong kembali. Jika pakan ikan yang dicerna adalah berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Begitu pula pada pernyataan Affandi, dkk (2005), suhu berpengaruh terhadap laju pengosongan isi
lambung (digestion rate), semakin tinggi suhu (mendekati optimum) akan semakin cepat laju
pencernaannya. Dan untuk suatu kondisi suhu tertentu, biasanya tingkat konsumsi makanan (ration)
berpengaruh terhadap laju pengosongan lambung laju (pencernaan). Dapat disimpulkan bahwa
makin tinggi suhu, makin besar nilai digesty dan tentu akan mempercepat laju pengosongan lambung.

4.3 Faktor Koreksi


Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab Pencernaan, terdapat beberapa faktor koreksi, sebagai
berikut :
Ikan yang digunakan terlalu kecil, sehingga organ yang didapatkan kecil dan sulit untuk diamati
Sectio rate yang digunakan pada kelompok 5 tidak ada guntungnya, sehingga perlu pinjam pada
kelompok lain dan memperlambat praktikum
Pisau pada sectio set berkarat, sehingga tidak bisa digunakan
Aquarium yang digunakan kotor dan belum dibersihkan, sehingga banyak feses didalamnya,
sehingga ada kemungkinan feses tersebut dimakan oleh ikan

4.4 Manfaat Dibidang Perikanan


Manfaat dari Praktikum Fisiologi Hewan Air bab Sistem Pencernaan adalah sebagai berikut:
Dapat mengetahui sistem pencernaan serta organ-organ dalam sistem pencernaan
Dapat mengetahui daya cerna ikan dengan menggunakan pakan buatan, pakan alami hewani serta
pakan alami nabati
Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time)
Dapat mengetahui organ-organ pencernaan pada ikan, serta perbedaan organ pencernaan antara
lain karnivora, omnivore dan herbivora
Dapat mengetahui enzim-enzim yang berperan dalam proses pencernaan

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari Praktikum Fisiologi Hewan Air, bab Pencernaan adalah sebagai
berikut :
Pencernaan adalah penyerderhanaan makanan menjadi molekul yang lebih kecil, agar dapat
diadsorbsi dan digunakan dalam tubuh
Proses pencernaan terjadi secara fisik dan kimiawi
Pencernaan secara fisik dimulai dirongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi
Sedangkan pencernaan secara kimiawi dimulai dibagian lambung dan dibantu dengan bantuan
enzim
Organ-organ pencernaan secara kimiawi dari mulut, rongga, faring, esophagus, lambung pylorus,
usus, rektu dan anus
Proses pencernaan terdiri dari proses pencernaan lemak, protein dan karbohidrat
Jenis pakan pada ikan terdapat tiga macam, yaitu pakan alami, pakan buatan dan pakan tambahan
Pakan alami terbagi atas dua macam yaitu adalah apakah alami nabati (contohnya lumut jaring) dan
pakan alami hewani (contohnya tubifex)
Faktor yang mempengaruhi digestibility adalah jumlah pakan, komposisi pakan, kondisi fisiologis
ikan, serta
Faktor yang mempengaruhi digestibility adalah jumlah pakan, komposisi pakan, kondisi fisiologis
ikan, serta waktu pemberian pakan
Faktor-faktor yang mempengaruhi GET adalah jumlah pakan, komposisi pakan, serta digestibility
Berdasarkan pengamatan diatas, nilai digestibility tertinggi adalah 97,88% dengan menggunakan
pakan chiromous
Dalam pengamatan GET 1 jam, nilai tertinggi adalah 5,28 dan nilai GET sterendah adalah 0,911 jam
Nilai GET tertinggi pada pengamatan 2 jam adalah 13,31 (lumut jaring) dan nilai GET terendah
adalah 1,6686 jam (pelet)
Dalam pengamatan GET selama 3 jam, nilai tertinggi adalah 125,87 jam dan nilai terendah adalah
1,24jam

5.2 Saran
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab pencernaan yang harus diperhatikan adalah perhitungan
dalam GET, karena jika ada kesalahan dalam perhitungan dapat mempengaruhi semua nilai GET
dalam perhitungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Ridwan; Djaja Subandja Sjafer, MF, Rahardjo Sulistiana. 2005. Fisiologi Ikan. IPB: Bogor.
Afrianto, Eddy dan Evi Liviawary. 2005. Pakan Ikan. Kanisius: Jogjakarta.
Asakura. 2009. Pengosongan Lambung. http//prinatioz.wordpress.com/2009/31/10. Diakses pada
tanggal 18 Oktober 2010 pukul 18.000 WIB.
Ekawati, Arning Wilujeng. 2005. Budidaya Makanan Alami. Universitas Brawijaya: Malang.
Haetami, Keki. 2002. Evaluasi Daya Cerna Pakan Limbah Azda Pada Ikan Bawal Ikan Tawar.
http://pustaka. Unpad.ac.id. Diakses pada tanggal 19 Oktober 2010 pukul 18.00 WIB.
Hoar, W.S. 2006. Randall 1969. Fish Phsyology. Akademis Pies Ins: United State of America.
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius: Yogyakarta.
Kordi, K M. Ghufran H. 2004. Penanggulangan Hama Dari Penyakit Ikan. Bina Adi Aksara: Jakarta.
Meitanisyah. 2009. Anatomi dan Fisiologi Ikan Nilai. http//meitanisyah.wordpress.com. diakses pada
tanggal 18 Oktober 2010 pukul 18.00 WIB.
Nasution, Syahroma Hugni. 2002. Pengaruh Variasi Lemak Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan
Ikan Rainbow (Meloteria Boesmani Allen & Cross). http//www.Ikhtiologi_indonesia.org/jurnal/2-1/06-
0001.pdf. diakses pada tanggal 25 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB.
Peureulak. 2009. Nutrisi Ikan. http//iendeb_naakka.blogspot.com/2009/10/nutrisi_ikan.html. diakses
pada tanggal 18 Oktober 2010
Priyambodo dan Tri. 2005. Budidaya Pakan Alami untuk Ikan. Penebar Swadaya: Jakarta.
Rahardjo, M.S. Djadjas Syafei, Ridwan Afandi, Soelestiono. 1989. Biologi Ikan. IPB: Bogor.
Rohmah. 2010. Fisiologi Hewan. http//gomnyroses.blogspot.com/2010/06.html. diakses pada tanggal
21 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB.
Rustidja. 1996. Maskulivasi Ikan Nila. Universitas Brawijaya: Malang.
Sambas. 2010. Sistem Pencernaan Ikan. http//zaidibiaksambass.com/2010/06/02. diakses pada
tanggal 18 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB.
Seynan, Kadri and David J Brove. 2001. A New Approach in Modeling Gastric Emplying in Fish. Turk
J.Vet.anmimscreb7). http://edu.gastric.emplying.journal.biologi.part20%new.approach%moedeling
%GFT%.18/pdf. diakses pada tanggal 24 Oktober 2010 pukul 18.15 WIB.
Villee, A. Claude; Warent F. Balker, Robert R Barres. 1984. Zoology Umum. Erlangga: Jakarta.
Yuwono dan Purnama. 2001. Fisiologi Hewan Air. CV Sagang Sero: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai