Anda di halaman 1dari 11

DEFINISI

Kandidiasis vulvovaginalis atau kandidosis vulvovaginalis/ kandida vulvovaginitis adalah infeksi


vagina dan atau vulva oleh genus candida 1,2,3,4,5,6, Dengan berbagai manifestasi klinisnya
yang bisa berlangsung akut, kronis atau episodic 2.
Kandidosis vulvovaginalis rekuren adalah infeksi vagina dan atau vulva yang berulang, yang
disebabkan oleh organisme yang sama minimal 4 atau lebih episode simtomatik dalam setahun
4,5,7,
Kandidosis Vulvovaginalis Rekuren (KVVR) didefinisikan sebagai infeksi yang mengalami
kekambuhan 4 kali atau lebih dalam setahun. Pada umumnya infeksi disebabkan adanya
kolonisasi yang berlebihan dari spesies Candida yang sebelumnya bersifat saprofit pada vulva
dan vagina, dan jarang disebabkan karena mendapat sumber infeksi dari luar (sumber infeksi dari
tanaman, lingkungan, udara dan tanah)

Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia. Pada beberapa negara kandidosis vulvovaginalis tetap
merupakan terbanyak di antara infeksi vagina terutama di daerah iklim subtropis dan iklim tropis
1,6,7,8,12. Kandidosis vulvovaginalis umumnya lebih banyak pada perempuan dengan status
sosial ekonomi rendah dan masa kehamilan. Kandidiasis vulvovaginalis terjadi pada
banyak perempuan selama hidupnya, dengan persentase sekitar 70 - 75% wanita mendapatkan
setidaknya sekali infeksi KVV selama masa hidupnya, sekitar 40-50% cenderung berulang
mengalami kekambuhan atau serangan infeksi kedua. 1,6,7,8,12

F.FAKTOR- FAKTOR PREDISPOSISI


1,2,6
Terdapat bermacam-macam faktor predisposisi yang dapat membuat kondisi vagina menjadi
lingkungan yang mudah untuk tumbuhnya candida spp atau membuat kolonisasi asimtomatik
menjadi simtomatik vaginitis.
Kehamilan
Kondisi vagina selama masa kehamilan menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap infeksi
kandida, hal ini tampak dengan ditemukannya kolonisasi candida spp yang tinggi pada masa ini
sejalan dengan tingginya simtomatik vaginitis. Keluhan ini paling sering timbul pada usia
kehamilan trimester ketiga. Bagaimana mekanis mehormon-hormon reproduksi dapat
meningkatkan kepekaan vagina terhadap infeksi kandida masih belum jelas.
Kontrasepsi oral
Berbagai penelitian menemukan peningkatan kolonisasi candida spp, setelah pemakaian
kontrasepsi oral yang mengandung estrogen yang tinggi. Dalam hal ini mekanismenya juga
belum diketahui, tetapi ternyata juga ditemukan sebaliknya pada pemakaian kontrasepsi oral
yang rendah estrogen tidak ditemukan peningkatan KVV.
Diabetes mellitus
Pada penderita diabetes mellitus juga ditemukan kolonisasi candida spp dalam vagina mungkin
karena peningkatan kadar glukosa dalam darah, jaringan dan urin. Akan tetapi mekanismenya
juga tidak diketahui.
Pemakaian oral antibiotika
Simtomatik KVV seringkali timbul setelah pemakaian oral antibiotika, terutama antibiotika yang
berspektrum luas misalnya tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin dan sefalosporin. Pemakaian
antibiotika di vagina sehingga menekan daya perlindungan yang dibuat oleh flora normal
tersebut dan menyebabkan kandida tumbuh lebih subur. Prevalensi kolonisasi candida spp
meningkat dari 10% sampai 30%. Perlindungan yang terpenting dari bakteri flora normal adalah
dari Lactobacillus
yang memproduksi hidrogen peroksida. Jadi flora normal tersebut dianggap memberikan
ketahanan dan mencegah invasi serta berkembangnya kandida

Faktor-faktor lain
Pemakaian pakaian dalam yang ketat atau yang terbuat dari nilon meningkatkan kelembaban
yang memudahkan pertumbuhan candida spp. Kontak dengan bahan kimia, alergi atau reaksi
hipersensitivitas mungkin dapat mengubah lingkungan/ekosistem vagina sehingga memudahkan
transformasi kolonisasi yang asimtomatik menjadi simtomatik vaginitis. Sumber infeksi Traktus
gastrointestinal sampai saat ini masih dianggap sebagai sumber utama kolonisasi kandida dalam
vagina. Walaupun peran traktus gastrointestinal dalam reinfeksi yang terjadi pada wanita yang
mengalami KVV rekuren masih kontroversial, tetapi ternyata sejalan dengan keberadaan candida
spp di dalam usus. Transmisi seksual juga dianggap mungkin dapat menyebakan
kolonisasi/infeksi kandida

C.Etiologi
Sebagian besar penyebab KVV adalah candida albicans, Antara 85-90% ragi yang berhasil
diisolasi dari vagina adalah spesies C.albicans sedangkan penyebab yang lainnya dari jenis
candida glabrata (torulopsis glabrata). Spesies selain C.albicans yang menyebabkan KVV sering
lebih resisten terhadap terapi konvensional 1,2,3. Saat ini jenis kandida yang sering ditemukan
adalah
candica albicans, c.glabrata, c. tropicalis dan c. parapsilosis. 80-90% dari jamur yang diisolasi
dari vagina adalah c. albicans, selanjutnya c. glabrata (10%) dan c. tropicalis (5-10%) 1,2,3,4,6
Candida sp adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval. Jumlahnya sekitar 80 spesies
dan 17 diantaranya ditemukan pada manusia. Dari semua spesies yang ditemukan pada manusia,
C.albicans-lah yang paling pathogen.
Candida sp memperbanyak diri dengan membentuk blastospora (budding cell). Blastospora akan
saling bersambung dan bertambah panjang sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa
lebih virulen dan invasif daripada spora. Hal itu dikarenakan pseudohifa berukuran lebih besar
sehingga lebih sulit difagositosis oleh makrofag. Selain itu pseudohifa mempunyai titik-titik
blastokonidia multipel pada satu filamennya sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih
besar.

Faktor virulensi lain pada Candida adalah dinding sel. Dinding sel Candida sp mengandung
turunan mannoprotein yang bersifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur
terhadap imunitas pejamu, dan proteinase aspartil yang menyebabkan Candida sp dapat
melakukan penetrasi ke lapisan mukosa. Dalam menghadapi invasi dari Candida, tubuh
mengerahkan sel fagosit untuk mengeliminasinya. Interferon (IFN)-gamma akan memblok
proses transformasi dari bentuk spora menjadi hifa. Maka bisa disimpulkan, pada seorang wanita
dengan defek imunitas humoral, Candida lebih mudah membentuk diri menjadi hifa yang lebih
virulen dan mudah menimbulkan vaginitis. Kandida adalah organisme yang dimorfik yaitu bisa
ditemukan dalam 2 fase fenotipe yang berbeda di dalam tubuh manusia. Pada umumnya
blastospora (blastokonidia) adalah bentuk fenotipe yang bertanggung jawab terhadap penyebaran
atau transimisinya termasuk ketika menyebar mengikuti aliran darah maupun ketika dalam
bentuk kolonisasi asimtomatik di vagina. Sebaliknya ragi yang sedang bertunas dan membentuk
miselia adalah bentuk invasif terhadap jaringan serta sering teridentifikasi pada kondisi yang
simtomatik1

E.Patogenesis
Kandida di dalam tubuh manusia dapat bersifat 2 macam. Kandida sebagai saprofit terdapat
dalam tubuh manusia tanpa menimbulkan gejala apapun, baik subyektif maupun obyektif. Dapat
dijumpai di kulit, selaput lendir mulut, saluran pencernaan, saluran pernafasan, vagina dan kuku.
Kandida sebagai jamur dapat menimbulkan infeksi primer maupun sekunder dari kelainan yang
telah ada. Beberapa faktor predisposisi dapat mengubah sifat saprofit kandida menjadi pathogen
1,3. Akan tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa kandida tidak pernah menjadi komensal
dalam vagina karena dia akan selalu menjadi patogen bila terdapat di sana. Karena itu bila
ditemukan kandida dari isolasi sekret vagina para klinisi harus menganggap itu patogen
walaupun tanpa ada keluhan dari wanita tersebut 1. Kandida memasuki lumen vagina biasanya
datang dari daerah perianal atau kontaminasi dari traktus gastrointestinal. Kemudian dengan
adanya berbagai faktor predisposisi mencetuskan keadaan yang asimtomatik menjadi
simtomatik. Sedang mekanisme yang pasti perubahan kolonisasi asimtomatik menjadi
simtomatik vaginitis belum diketahui. Diduga lebih dari satu macam mekanisme yang
mempengaruhinya. Invasi hifa ke dalam epitel jaringan akan menyebabkan terjadinya proses
keradangan dan akhirnya merusakkan sel-sel epitel tersebut. Mungkin enzim protease dan enzim
hidrolitik lainnya yang memudahkan penetrasi ke dalam sel. Akhirnya penetrasi sel dan invasi ke
mukossa tidak saja oleh hifa tetapi juga oleh blastospor. Proses ini menyebabkan reaksi inflamasi
pada mukosa yang mengakibatkan pembengkakan,eritema, dan deskuamasi sel epitel vagina.
Selain proses tersebut di atas mungkin kandida menimbulkan simtom vaginitis karena reaksi
hipersensitivitas, khususnya pada wanita yang mengalami KVV rekuren yang idiopatik

Patogenesis kandidiasis vulvovaginalis rekuren


Kurang lebih 10-20% wanita yang mengalami KVV akut akan berkembangmenjadi KVV
rekuren.
Definisi KVVR adalah 4 atau lebih episode infeksi kandidiasis selama 12 bulan/1 tahun. KVVR
merupakan bentuk dari KVV komplikasi. KVV rekuren seringkali disebabkan karena pemakaian
antibiotika yang menurunkan jumlah kuman Lactobacilli dan bakteri lainnya yang justru akan
meningkatkan kolonisasi jamur 10-30%. Sedangkan transmisi seksual dari pasangan prianya
belum bisa dianggap sebagai penyebab rekurensi KVV pada wanita. KVV rekuren sering
disebabkan karena kambuh, yang bisa terjadi karena pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat.
Hasil kultur negatif yang diambil dari wanita yang sedang dalam interval bebas simtom akan
menjadi positif lagi setelah beberapa minggu. Teori ini dikuatkan dengan adanya fakta hasil
pemetaan DNA seringkali menunjukkan galur yang sama pada wanita dengan KVV rekuren
tersebut. Abstinensia seksual selama pengobatan harus dianjurkan untuk mengurangi iritasi
traumatik dari hubungan seksual dan juga untuk mengurangi kemungkinan transmisi jalur dari
wanita ke pasangannya. Kolonisasi kandida pada penis seringkali asimtomatik, hal ini bisa
timbul 20% dari pra pasangan wanita yangmengalami KVV rekuren1
G.GAMBARAN KLINIS
Keluhan yang paling sering pada KVV adalah rasa gatal pada daerah vulva dan adanya duh
tubuh 1,2,3,4,5,6,7. Sifat duh tubuh bervariasi dari yang cair seperti air sampai tebal dan
homogen dengan noda seperti keju. Kadang-kadang sekret tampak seperti susu yang disertai
gumpalan-gumpalan putih sehingga tampak seperti susu basi/pecah dan tidak berbau. Akan tetapi
lebih sering sekret hanya minimal saja. Keluhan klasik yang lainnya adalah rasa kering pada
liang vagina, rasa terbakar pada vulva, dispareunia dan disuria. Jadi sebenarnya, tidak ada
keluhan yang benar-benar spesifik untuk KVV 1,2,3,4,5,6,7. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
eritema dan pembengkakan pada labia dan vulva, juga dapat ditemukan lesi papulopustular di
sekitarnya. Servik tampak normal sedangkan mukosa vagina tampak kemerahan7. Bila
ditemukan keluhan dan tanda-tanda vaginitis serta pH vagina < 4,5 dapat diduga adanya infeksi
kandida, sedangkan bila pH vagina > 5 kemungkinan adalah vaginitis karena bakterial vaginosis,
trikhomonas vaginitis atau ada infeksi campuran

Klasifikasi
Berdasarkan gambaran klinis, hasil pemeriksaan mikrobiologis penyebab, faktor hospes (host)
dan respons terhadap pengobatan, kandidiasis vulvovaginalis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.1
1.Kandidiasis vulvovaginalis tanpa komplikasi dengan kriteria:
a.Episode gejala sporadis atau infrequent.
b. Gejala ringan sampai sedang.
c. Infeksi oleh Candida albicans.
d. Terjadi pada perempuan normal, tidak hamil nonimmunocompromised.

2. Kandidiasis vulvovaginalis dengan komplikasi dengan kriteria:


a. Episode gejala rekuren (>4kali pertahun).
b. Ditemukan gejala yang berat.
c. Infeksi oleh spesies non-albicans.
d. Terjadi pada perempuan abnormal (diabetes yang tidak terkontrol, imunosupresan atau
perempuan hamil)

H.DIAGNOSIS
Diagnosis klinis KVV dibuat berdasarkan keluhan penderita, pemeriksaan klinis, pemeriksaan
laboratorium berupa sediaan basah maupun gram dan pemeriksaan biakan jamur, selain itu juga
pemeriksaan pH cairan vagina 1,2,7. Biakan jamur dari cairan vagina mempunyai nilai
konfirmasi terhadap basil pemeriksaan mikroskopik yang negatif (false negative cases) yang
sering ditemukan pada KVV kronik dan untuk mengidentifikasi spesies non-candida albicans.
Sejak spesies ini sering ditemukan pada sejumlah KVV kronik dan sering timbul resistensi
terhadap flukonazol maka identifikasi jamur dengan kultur menjadi lebih penting. Biakan jamur
mempunyai nilai kepekaan yang tinggi sampai 90% sedangkan pemeriksaan sediaan basah
dengan KOH 10% kepekaannya hanya 40%. Swab sebaiknya diambil dari sekret vagina dan dari
dinding lateral vagina. Pemeriksaan gram tidak terlalu sensitif tetapi bisa sangat menolong untuk
pemeriksaan yang cepat. Pseudohifa ragi dan miselia memberi reaksi gram positif.
Akan tetapi pemeriksaan gram dan KOH yang negatif tidaklah menyingkirkan kemungkinan
KVV dan perlu dikonfirmasi dengan kultur. Kultur dilakukan pada media sabouraud dextrose
agar (SDA) dengan antibiotika, candida spp tidak terpengaruh oleh sikloheksimid yang
ditambahkan pada media selektif jamur patogen, kecuali beberapa galur c. tropicalis, c. krusei
dan c. parapsilosis yang tidak tumbuh karena sensitif terhadap sikloheksimid. Kultur tumbuh
dalam waktu 24-72 jam 1,2,7. Nickerson polisysaccharide trypan blue (Nickerson-Manskowski
agar) atau Cornmeal agar dengan Tween 80, pada suhu 25oC digunakan untuk menumbuhkan
klamidokonidia, yang umumnya hanya ada pada c. albicans. Tumbuh dalam waktu 3 hari.
Identifikasi c. albicans dapat dengan melihat fenomena Reynolds-Braude, yaitu memasukkan
jamur yang tumbuh pada kultur ke dalam serum/koloid (albumin telur) dan diinkubasi selama 2
jam, dengan suhi 370C. Di bawah mikroskop akan tampak germ tube (bentuk seperti kecambah)
yang khas pada c. albicans. Pada infeksi KVV pH vagina normal berkisar antara 4,0-4,5 bila
ditemukan pH vagina lebih tinggi dari 4,5 menunjukkan adanya bakterial vaginosis,
trikhomoniasis atau adanya infeksi campuran

Perubahan prevalensi spesies jamur mungkin disebabkan tipe obat anti jamur yang ada dan efek
penghambatan selektifnya yang menyebabkan resistensi beberapa spesies terhadap suatu obat
anti jamur dan terhadap regimen terapi jangka pendek

Pemeriksaan penunjang
Metode pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendiagnosis adanya infeksi vulvovaginal,
salah satunya adalah dengan pemeriksaan langsung dengan menggunakan aglutinasi lateks dan
metode kultur dengan menggunakan media biakan yang konvensional. Deteksi sel-sel ragi atau
hifa dengan pewarnaan gram dari hapusan vagina dan hapusanserviks papaniculau juga sensitif
untuk mendeteksi adanya infeksi pada vagina. Hapusan vagina yang diambil diberi larutan KOH
10-20% dan dipulas dengan pewarnaan Gram atau PAS. Dengan pemeriksaan langsung terlihat
sel budding yang khas, pseudohifa dan kadang-kadang hifa sejati
Bila cairan yang keluar jelas berasal dari vagina, maka diagnosis dapat pula dibuat berdasarkan
pH dan pemeriksaan mikroskopis sekret vagina. Bila pH kurang dari 4,5 menunjukkan bahwa
infeksi tersebut disebabkan oleh mikroorganisme lain atau bakteri.1,12
Pembiakan dapat dilakukan dengan media kultur Sabouraud Dextrose Agar (SDA) tanpa
sikloheksimid, dengan antibiotika kloramphenikol ditambahkan pada media. Kolonisasi jamur
akan tumbuh dalam 24-48 jam pada suhu 20-35oC. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat, tepi
seperti lensa bikonveks, basah dan berwarna krem. Dengan media Cornmeal-Tween 80 atau
Nickerson Polysacharide Trypan Blue pada suhu 25oC, biakan akan tumbuh dalam 3 hari.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding kandidiasis vulvovaginalis ini adalah termasuk trikomoniasis dan vaginosis
bakterial yang dapat dibedakan dengan mudah melalui pemeriksaan perkiraan pH dan secara
mikroskopis, meskipun infeksi campuran kadang-kadang terjadi. Lebih sulit memisahkan jika
penderita kandidiasis vulvovaginalis dengan hasil mikroskop negatif, dan pH vagina
normal.1,6,12
1. Trikomoniasis
Sekret banyak dan encer, warna kekuningan, berbusa dan berbau tidak enak. Jarang terdapat
lesi kulit. 10,12
2. Vaginosis bacterial
Sekret encer, tipis, homogen, warna putih atau keabu-abuan serta berbau amis. Tidak ditemui
inflamasi pada vagina dan vulva. 1,12
3. Gonore
Sekret lebih sedikit, berwarna kuning sampai hijau. 7,10,12
4. Leukorea fisiologis
Sekret berupa mukus yang banyak mengandung epitel, jarang terdapat leukosit,
tidak berbau.1,5,6
5. Infeksi genital nonspesifik
Terbanyak disebabkan oleh Chlamidia trachomatis dan Ureaplasma urealiticum. Klinis
berupa sekret kekuningan. Pada pemeriksaan mikroskopis hanya ditemukan jumlah leukosit
yang meningkat. 1,4,8,12

TERAPI 1,2,3,4,5,6,7
Saat ini telah banyak tersedia obat-obat antimikosis untuk pemakaian secara topikal maupun oral
sistemik untuk terapi KVV akut maupun kronik. Kecenderungan saat ini adalah pemakaian
regimen antimikosis oral maupun lokal jangka pendek dengan dosis tinggi. Antimikosis untuk
pemakaian lokal/topikal tersedia dalam berbagai bentuk, misalnya krim, lotion, vaginal tablet
dan suppositoria. Tidak ada indikasi khusus dalam pemilihan bentuk obat topikal. Untuk itu perlu
ditawarkan dan dibicarakan dengan penderita sebelum memilih bentuk yang lebih nyaman untuk
penderita. Untuk keradangan pada vulva yang ekstensi mungkin lebih baik dipilih aplikasi lokal
bentuk krim.
Regimen untuk terapi KVV

Nama Obat Sediaan Dosis Lama Pengobatan


Polyenes :
Nystatin Suppositoria vagina 100.000 E 12 hari
Amphotericin B Suppositoria vagina 50 mg 7-12 hari
Imidazol :
Klotrimazol Tablet vagina 100 mg 6 hari
Tablet vagina 200 mg 3 hari
Tablet vagina 500 mg 1 hari
Mikonazol Suppositoria vagina 100 mg 7 hari
Suppositoria vagina 200 mg 3 hari
Krim vagina 2% 7 hari
Ekonazol Suppositoria vagina 150 mg 2, 3 hari
Krim vagina
Isokonazol Tablet vagina 100 mg 7 hari
Suppositoria vagina 600 mg 1 hari
Tiokonazol Tablet vagina 100 mg 3 hari
Kapsul vagina 300 mg 1 hari
Fentikonazol Kapsul vagina 200 mg 3 hari
Kapsul vagina 600 mg 1 hari
Omokonazol Suppositoria vagina 150 mg 6 hari
Suppositoria vagina 300 mg 3 hari
Suppositoria vagina 900 mg 1 hari
Oxikonazol Tablet vagina 600 mg 1 hari
Ketokonazol Suppositoria vagina 400 mg 3 hari
Tablet (oral) 2 x 200 mg 5 hari
Triazol :
Flukonazol Kapsul (oral) 1 x 50 mg 7 hari
Kapsul (oral) 1 x 50 mg 1 hari
Itrakonazol Kapsul (oral) 2 x 100 mg 2 hari
2 x 200 mg 1 hari

Pengobatan KVV pada kehamilan


Insidensi KVV simtomatik maupun asimtomatik meningkat pada masa kehamilan. Sebaiknya
diberikan pengobatan antimikosis topikal daripada sistemik. Kebanyakan obat antimikosis
topikal terbukti efektif untuk pengobatan KVV selama masa kehamilan, dengan resiko
penyerapan yang minimal (3-10%) pada bulan-bulan pertama masa kehamilan. Wanita hamil
dapat diyakinkan tentang keamanan obat topikal selama trimester kedua dan ketiga
kehamilannya. Dapat direkomendasikan pemberian dosis tunggal klotrimazol amupun
derivatimidazol yang lainnya, misalnya mikonazol nitrat 2% vaginal krim, butokonazol atau
terkonazol (belum ada di Indonesia) yang umumnya diberikan selama 7 hari. Sejak terjadi
perubahan hormonal pada mukosa vagina pada masa kehamilan angka kekambuhan setelah
pemberian obat antimikosis menjadi lebih tinggi dan penanganannya menjadi lebih sulit. Oleh
karena itu juga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan regio genital sebelum persalinan untuk
menyakinkan bahwa jalan lahir tersebut telah bersih dari jamur.

Kriteria pemilihan terapi


Pemilihan obat anti jamur untuk KVV dipengaruhi beberapa faktor, termasuk gambaran klinis
KVV, anamnesis berapa kali terkena, interval kekambuhannya dan kondisi atau keadaan
penderita saat kambuh. KVV berat tidak dapat sembuh hanya dengna pengobatan oral dosis
tunggal atau pengobatan topikal dengan waktu yang lama saja. Lamanya dan kronisnya keluhan
merupakan faktor penting dalam memilih pengobatan jangka panjang. Untuk keradangan daerah
vulva perlu pengobatan kombinasi krim topikal dan obat anti jamur untuk vagina.Terapi topikal
jangka pendek seringkali gagal bila diberikan pada wanita yang mengalami KVV rekuren. Pada
penderita ini perlu diberikan kesempatan untuk mendiskusikan dan ikut serta memilih obat mana
yang lebih disukai dan lebih nyaman untuknya. Pelaksanaan pemberian regimen obat oleh dokter
akan menjadi lebih baik bila diberikan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penderita tersebut
secara spesifik
Berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan regimen misalnya frekuensi
pemakaian, jangka waktu pemberian terapi, dosis dan bentuk sediaan, waktu mens, abstinensia
kontak seksual, riwayat adanya efek samping obat, kebiasaan dan pekerjaannya. Banyak macam
sediaan topial untk terapi KVV misalnya : krim, supositoria, lotions, ointment, tablet. Imidazol
dan polyenes pervaginam dipakai dengan memakai aplikator dan harus dimasukkan dalam-dalam
pada liang vagina. Regimen jangka pendek imidazol lebih baik daripada regimen 7 hari dengan
memakai polyenes. Meskipun tidak didapatkan efek samping sistemik, tetapi efek samping
berupa pruritus, rasa panas dan iritasi juga didapatkan sebesar < 7% pada wanita yang memakai
obat topikal. Mikonazol dan tiokonazol lebih sering memberikan keluhan iritasi lokal, sedangkan
terkonazol yang paling rendah efek samping topikalnya
Studi yang membandingkan pengobatan oral jangka pendek dengan terapi lokal menunjukkan
efektifitas yang sama. Pasien pada umumnya akan memilih terapi oral jangka pendek daripada
pengobatan topikal. Dosis total pemberian obat antimikosis peroral lebih penting daripada
lamanya pemberian terapi pada penderita KVV. Dosis tunggal itrakonazol yang suboptimal tidak
akan memberikan efek penyembuhan yang baik. Hasil penelitian multisenter pada terapi satu
hari dengan memakai itrakonazol maupun flukonazol menunjukkan penyembuhan mikologi
sebesar 70-80%. Dapat juga diberikan terapi kombinasi antara topikal dan peroral yang bukan
sistemik dengan maksud untuk mengeliminasi kandida intestinal. Penelitian ini memakai nystatin
peroral dan pervagina, nystatin pervagina saja dan klotrimazol pervagina saja. Hasilnya lebih
baik yang kombinasi dan juga angka kekambuhannya lebih rendah padayang memakai terapi
kombinasi

Strategi pengobatan untuk KVV rekuren


Mengurangi faktor predisposisi
Langkah yang terpenting dalam penanganan KVV yang rekuren adalah mengevaluasi dengan
hati-hati semua faktor predisposisi yang mungkin ada pada penderita KVV tersebut, kemudian
mengendalikan atau menghilangkannya. Faktor tersebut misalnya : menghentikan pemakaian
berulang antibiotika spektrum luas, menyingkirkan atau mengendalikan gangguan/perubahan
hormonal yang mungkin ada, menghentikan pemakaian kontrasepsi yang mengandung estrogen
tinggi, mengendalikan diabetes mellitus. Selain itu juga menghindari pemakaian pakaian yang
ketat, pemakaian obat pencuci vagina, iritasi oleh karena tisu kebersihan, pemakaian air yang
berkadar klorin tinggi seperti pada kolam renang. Serta jangan lupa mempertimbangkan
kemungkinan adanya infeksi HIV.
Terapi supresif
Terapi atau dosis yang optimal untuk KVV rekuren sampai saat ini belum dapat ditetapkan. Dari
berbagai penelitian telah dicoba berbagai regimen yang dapat direkomendasikan untuk KVV
rekuren. Umumnya terapi inisial dilanjutkan sampai 10-14 hari, selanjutnya langsung diikuti
dengan regimen rumatan paling sedikit 6 bulan. Pemberian ketokonazol 100 mg (1/2 tablet)
peroral per hari selama 6 bulan terbukti efektif dan terbaik menurunkan frekuensi episoda KVV
rekuren. Tetapi oleh karena ketokonazol mempunhyai efek hepatotoksik perlu seleksi dengan
hati-hati penderita yang akan diberi regimen ini. Cara lain dapat diberikan 150 mg flukonazol
peroral setiap bulan sekali. Setelah simtom tersupresi selama 3-6 bulan pengobatan dapat
dihentikan. Semua kasus KVV rekuren harus selalu dikonfirmasi dulu dengan kultur sebelum
memulai terapi rumatan. Penelitian yang lainnya mengatakan bahwa terapi lokal jangka panjang
dengan memakai klotrimazol ternyata lebih efektif daripada terpai peroral. Pemberian
klotrimazol 200 mg intravagina 2 kali perminggu lebih efektif daripada pemberian itrakonazol
peroral 2 kali per minggu selama 6 bulan. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan konsentrasi
obat yang menetap dalam cairan vagina, sedangkan obat peroral tergantung dari penyerapannya
yang mengakibatkan rendahnya obat dalam jaringan.
Penelitian memakai mikonazol 100 mg vaginal pesarium dengan dosis 2 kali perhari selama
seminggu dilanjutkan dengan 2 kali perminggu selama 3 bulan dan selanjutnya 1 kali perminggu
selama 3 bulan juga efektif dan dapat diterima untuk menurunkan episoda rekuren. Terapi
profilaksis supresi jangka panjang dengan obat anti jamur peroral ternyata lebih disukai daripada
pemakaian bentuk krim vagina atau supositoria setiap hari.Bagaimanapun juga keuntungan terapi
supresif jangka panjang peroral yang berhasil perlu juga dipertimbangkan dengan kemungkinan
potensi toksisitas terapi jangka panjang peroral tersebut

J.PENGGOLONGAN OBAT ANTIMIKOTIK


Polyenes
Antimikotik golongan polyenes ditemukan pada awal tahun 1950-an. Golonganpolyenes efektif
untuk melawan semua spesies ragi karena berikatan dengan membransel jamur. Efek
pengrusakan membran sel tergantung kuatnya ikatan antara polyenes dengan sterol khususnya
ergosterol yang banyak dikandung oleh dinding sel jamur,sedangkan dinding sel manusia banyak
mengandung kholesterol.Golongan polyenes yang paling banyak dipakai adalah nystatin yang
diberkansecara topikal, 100.000 U vaginal supositoria selama 12 hari. Obat ini juga
amandiberikan pada wanita hamil. Pemberian peroral tidak dapat diserap oleh usus danhanya
diberikan peroral untuk mengobati kandidiasis gastrointestinal saja. Dariberbagai penelitian
menunjukkan angka penyembuhan klinis maupun mikrolosisnystatin topikal pada wanita dengan
KVV sebesar 70-80%.Golongan polyenes yang lain adalah amphoterisin B 50 mg supositoria
vagina,diberikan selama 7-12 hari.Golongan polyenes bekerja dengan cara merusak membran sel
eukariota danmenimbulkan efek toksik pada membran jamur. Efek kerusakan membran
tersebutkarena polyenes mempunyai daya ikat yang tinggi dengan ergosterol yang
membentukmembran sel jamur

Azol
Golongan azol dikembangkan sekitar akhir tahun 1960-an dan tersedia dalambentuk sediaan
topikal dan sistemik.
Imidazol
Imidazol merupakan generasi pertama kelompok azol. Mikonazol adalahimidazol yang pertama
di pasaran, yang lainnya adalah : klotrimazol, ekonazol,ketokonazol, isokonazol, omokonazol,
oksikonazol, fentikonazol dan tiokonazol. Darisemua imidazol hanya ketokonazol yang
mempunyai bentuk oral dan sistemik.Cara kerja azol termasuk di sini derivat imidazol maupun
triazol adalahmelakukan penghambatan 14a-demethylase, suatu enzim dependent cytochrom p
450yang sangat diperlukan untuk sintesa ergosterol. Golongan imidazol mempunyai
efekpenyembuhan klinis dan mikologis sebesar 85-95%. Pemakaian yang hanya satu kaliperhari
dan lama pemakaian hanya 1 sampai 7 hari yang dirasakan lebih nyaman untukpenderita maka
banyak dipakai sehingga menggeser pemakaian nystatin.Berbagai macam derivat imidazol
digunakan secara topikal, berbagai penelitianyang telah dilakukan tidak membuktikan bahwa
obat yang satu lebih superior dari yang
lainnya. Semuanya menunjukkan efektifitas yang sama bila diberikan secara topikal,serta bebas
dari efek samping sistemik.Sejak imidazol topikal pertama diperkenalkan, klotrimazol 100 mg
selama 6 hari,merupakan terapi jangka panjang. Selanjutnya kecenderungan terapi
diarahkanmenjadi jangka pendek, klotrimazol 200 mg diberikan selama 3 hari. Akhir-akhir
inidosis tinggi lokal yang diberikan hanya 1 kali menjadi lebih disukai (klotrimazol 500
mg)dibandingkan dengan dosis tunggal peroral dari azol generasi yang berikutnya.Ketokonazol
adalah satu-satunya imidazol yang dapat diberikan peroral dan sekarangmulai digeser
pemakaiannya dengan azol yang lainnya.
Triazol
Azol generasi ketiga adalah goongan triazol yang dikembangkan pada tahun1980. Derivat triazol
yang pertama adalah itrakonazol, dan yang lainnya adalahflukonazol dan terkonazol.Pada
penelitian didapatkan angka kesembuhan mikologis 200 mg intrakonazolselama 3 hari sebesar
92% dibandingkan dengan 52 plasebo. Penelitian yang lainmembandingkan pemberian oral
itrakonazol dengan topikal klotrimazol selama 3 harimenunjukkan bahwa pengobatan peroral
lebih disukai daripada topikal
Efek terapi itrakonazol dosis tunggal yang diteliti pada tikus percobaanmenunjukkan dalam
waktu 24 jam obat telah mempengaruhi perubahan ultrastruktur dinding sel dan dalam waktu 3
hari jamur tereradikasi sempurna dari epitel vagina.Penelitian lanjutan terhadap jaringan vagina
manusia menunjukkan 200 mg dosistunggal itrakonazol peroral memberikan efek penghambatan
dalam waktu 3 hari.Pemanjangan efek itrakonazol diakibatkan karena danya kemampuan
lipofilik obattersebut. Akhirnya angka penyembuhan klinis dan mikologis tidak berbeda untuk
terapi jangka pendek peroral dari itrakonazol dengan pemakaian topikal golongan
imidazol.Angka penyembuhannya bervariasi antara 70-80% dan menjadi lebih rendah lagi
padawanita dengan KVV rekuren.Flukonazol 150 mg dosis tunggal akan mencapai efek terapetik
dalam waktu 72 jam kemudian dan cukup untuk menyembuhan pasien. Konsentrasi yang tinggi
flukonazol dalam plasma dan cairan vagina lebih ditunjukkan dengan 150 mg dosistunggal
daripada regimen 50 mg selama 3 hari.Efek samping pemberian obat antimikotik golongan azol
umumnya adalah rasatidak nyaman pada daerah gastrointestinal, dapat terjadi gejala hepatotoksis
padapemberian ketokonazol (jarang), sedangkan reaksi anafilaksis sangat jarang
terjadi.Flukonazol secara umum dapat ditoleransi dengan baik walaupun mempunyaiefek gastro
intestinal (mual, muntah).Dari berbagai penelitian perbandingan pemakaian berbagai jenis
derivat azoldidapatkan itrakonazol dan klotrimazol lebih efektif daripad aflukonazol pada terapi
KVVakut. Penelitian lain yang membandingkan antara flukonazol, ketokonazol peroral
danklotrimazol topikal mempunyai daya penyembuhan yang sama sebesar 80%,sedangkan
penelitian flukonazol 150 mg dosis tunggal efek penyembuhan mikologisdan klinis sebesar 88-
97% setelah 1 minggu dan penyembuhan mikologis turun menjadi73% setelah 4-6
minggu.Kemampuan flukonazol untuk memberantas ragi yang menempel intraseluler lebih baik
daripada golongan imidazol topikal, membuat obat ini sangat berguna untukwanita yang
menderita KVV rekuren. Efek proteksiflukonazol 150 mg dosis tunggalyang diberikan setiap
bulan akan menurunkan insidensis rekurensi menjadiseparuhnya. Dosis juga dapat dimodifikasi
menjadi lebih sering misalnya dengan cara100-150 mg per minggu.Itrakonazol dan flukonazol
dinyatakan sebagai obat untuk terapi KVV jangkapendek per oral. Obat ini tidaklah lebih efektif
daripada sediaan obat topikal tetapi jelaslebih mahal.Triazol yang ketiga adalah terkonazol.
Terkonazol adalah satu-satunya triazolyang tersedia dalam bentuk topikal, dengan efektifitas
yang sama dengan triazol bentukoral. Di Amerika, terkonazol tersedia dalam bentuk krim 0,4
untuk regimen 7 hari dan0,8% untuk regimen 3 hari, selain itu tersedia juga bentuk supossitoria
vagina 80 mguntuk regimen 3 hari. Derivat triazol ini mempunyai spektrum aktivitas yang luas,
awalkerja yang lebih cepat, lebih efektif dan lebih kecil efek sampingnya. Pada saat
initerkonazol belum tersedia di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
1.Sobel JD, Faro S, Force WR, Foxman B, Ledger WJ, Nyirjesy PR, et al.Vulvovaginal
Candidiasis : Epidemiologic, Diagnostic, and TherapeuticConsiderations. Am J Obstet Gynecol
1998;178:203-211.
2.Sobel JD. Vaginitis. N Engl J Med 1997;337 : 1896-1903.
3 Central Disease Control. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines. 2002. Morb and
Mort Weekly Report 2002;51:RR-6
4. The CDC 2002 Guidelines For The Treatment Of Sexually Tramsmitted Diseases : Implication
For Womens Health Care. J of Midwifery and Women,s Health . 2003;48 : 96-104.
5.World Health Organization. Guidelines For The Management Of Sexulally Transmitted
Infections 2002.
6.Csonka GW, Oates JK, editors. Genital Candidiasis in Sexually Transmitted Diseases. A
Textbook Of Genitourinary Medicine. London Philadelpia Toronto Sydney Tokyo. Bailliere
Tindall. W.B. Saunders : 1990.p.293-298
7.Association For Genitournary Medicine. National Guideline On The Management
Of Vulvovaginal Candidiasis 2002

7 MurtiasiutiL Dwi. {Candidiasis Vulvovaginalis. Dalam : Buku Ajar Infeksi Menular


Seksual.Editor: Jusuf Barakbah, Hans Lumintang, Sunarko Martodihadjo. Surabaya:
fakultas
KedokteranUniversitas Airlangga, 2008 : 56-635 KuswadjL Kmcfidoszs. Dalam : Dmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Editor : AdhiDjuanda. Edisi ke-4. Jakarta: FKUi 2007:106-109

Anda mungkin juga menyukai