Anda di halaman 1dari 31

Perang Enam Hari

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang Enam Hari

Bagian dari Konflik Arab-Israel

Tentara Angkatan Pertahanan Israel di Tembok BaratYerusalem tidak lama setelah

merebutnya.

Tanggal 5 Juni 1967 10 Juni 1967


Lokasi Timur Tengah
Hasil Kemenangan Israel
Casus belli Mesir menutup Selat Tiran dan penambahan
jumlah personel tentara secara besar-besaran
di Semenanjung Sinai, serta
dukungan Suriah terhadap gerilyawan-
gerilyawan untuk melakukan serangan
terhadap Israel.
Perubahan Israel merebut Jalur Gaza danSemenanjung
wilayah Sinai dari tangan Mesir,Tepi
Barat (termasuk Yerusalem Timur) dari
tangan Yordania, dan Dataran Tinggi
Golan dari tangan Suriah.

Pihak yang terlibat

Israel

Mesir
Suriah

Yordania

Lebanon

Irak

Arab Saudi

Kuwait

Sudan

Aljazair

Tunisia

Komandan

Yitzhak Rabin

Moshe Dayan
Abdel

Uzi Narkiss Hakim Amer

Israel Tal

Mordechai Hod Abdul

Munim Riad
Ariel Sharon

Zaid ibn

Shaker

Hafez al-

Assad

Kekuatan
264.000 tentara Mesir :

300 pesawat tempur 240.000

800 tank[1] tentara

Suriah,

Yordania,

Lebanon dan

Irak :

307.000

957 pesawat

tempur

2.504 tank[2]

Korban

779 tewas 21.000 tewas

2.563 terluka 45.000

15 ditangkap terluka

46 pesawat 6.000

ditangkap

lebih dari

400 pesawat

dimusnahkan

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Latar belakang

o 1.1 Akibat Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956

o 1.2 Pengangkut Air Nasional Israel

o 1.3 Israel dan Yordania: Peristiwa Samu

o 1.4 Israel dan Suriah

o 1.5 Mundurnya Pasukan Keamanan PBB

o 1.6 Selat Tiran

o 1.7 Mesir dan Yordania

o 1.8 Aliran menuju peperangan


o 1.9 Diplomasi dan taksiran Intelijen

o 1.10 Tentara yang bertempur

2 Pertempuran

o 2.1 Serangan udara

o 2.2 Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai

o 2.3 Tepi Barat

o 2.4 Dataran Tinggi Golan

o 2.5 Perang di udara

o 2.6 Perang di laut

2.6.1 Insiden USS Liberty

3 Akhir konflik dan keadaan pasca-perang

o 3.1 Wilayah yang direbut Israel

o 3.2 Korban jiwa

o 3.3 Perubahan religius

o 3.4 Perubahan politik

4 Kontroversi

o 4.1 Angkatan Bersenjata Israel membunuh tawanan

perang Mesir

o 4.2 Dukungan Amerika Serikat dan Britania Raya

o 4.3 Desakan Uni Soviet

5 Tokoh penting yang terlibat

6 Lihat pula
7 Catatan kaki

8 Referensi

9 Pranala luar

Latar belakang[sunting]

Akibat Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956[sunting]

Nasser (Mesir), didukung oleh negara-negara Arab lainnya dengan tegas menendang Israel masuk ke laut. Gambar pra 1967. Surat kabar Al-Farida, Libanon.

Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel
tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupunMesir kalah, namun mereka
menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk
mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan
perdamaian PBB di Sinai,UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi
gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk
sesaat.

Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada
penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada
negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai
mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun1960-an sebagai bagian dari "perang pembebasan rakyat",
dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath.[7] Selain itu, negara-negara
Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pengangkut Air Nasional Israel[sunting]

Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional
Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat "Rencana Pengalihan Air". Apabila
rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel
dan Danau Galileamelainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah,
serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas
air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.
Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei,
dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang
[8]
berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang.

Israel dan Yordania: Peristiwa Samu[sunting]

Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan
terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah
ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang
sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban danGolda Meir untuk membahas
keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan
bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania.[9] Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi,
Hussein menyatakan bahwa "dengan alasan 'balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.', Pasukan
Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya
merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah". [10]

Dalam "Operasi Shredder", operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi
Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi ke
dalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang,
yang menyeberang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.

Sebuah tank Centurion Israel.

Pasukan yang lebih besar, delapan tank Centurion diikuti dengan 400 pasukan lintas udara yang
dimuatkan kedalam 40 truk dan 60 insinyur militer dalam 10 truk menuju ke arah Samu, sementara
sejumlah pasukan kecil yang terdiri daripada tiga tank dan 100 pasukan payung terjun dan insinyur militer
yang menuju ke dua desa yang lebih kecil, Kirbet El-Markas dan Kirbet Jimba, dalam satu misi untuk
mengebom rumah-rumah. Di Samu, tentara Israel menghancurkan satu-satunya klinik di desa, satu
sekolah perempuan, pejabat pos, perpustakaan, satu kedai kopi dan sekitar 140 buah rumah. Laporan
berbeda mengenai peristiwa ini telah dibuat yang merujuk kepada buku Terrence Prittie, Eshkol: The Man
and the Nation yang menyatakan 50 rumah telah diledakan tetapi penghuni-penghuni rumah tersebut telah
dipindahkan beberapa jam sebelumnya. Batalion Infantri tentara Yordania ke-48, yang diarahkan oleh
Mayor Asad Ghanma, bergerak menuju ke arah tentara Israel di barat laut Samu dan dua kompeni yang
bergerak menuju timur laut telah diserang oleh Israel, ketika satu peleton Yordania yang bersenjatakan
dua meriam 106 mm memasuki Samu. Dalam pertempuran, tiga orang sipil Yordania dan 15 tentara tewas,
54 tentara lain dan 96 orang sipil cedera. Letnan kolonel batalion pasukan lintas udara Israel, Kolonel Yoav
Shaham, tewas dan sepuluh tentara lainnya cedera.[11][12] Merujuk kepada data pemerintah Israel, lima
puluh tentara Yordania tewas namun jumlah sebenarnya telah dirahasiakan demi menjaga moral dan
keyakinan pada rezim Raja Hussein.[13]

Dua hari kemudian dalam satu memo kepada Presiden Johnson, asisten khususnya Walt Rostow menulis
"tindakan balas dendam bukan inti kasus ini. Serangan 3.000 orang dengan tank dan pesawat-pesawat ini
terlalu berlebihan terhadap provokasi yang terjadi, dan diarahkan kepada sasaran yang salah" dan
kemudian menggambarkan kerusakan terhadap kepentingan Amerika Serikat dan Israel: "Mereka telah
memusnahkan sistem kerjasama yang bagus di antara Hussein dan pihak Israel... Mereka telah
mengkhianati Hussein. Kita telah mengeluarkan $500 juta untuk membinanya sebagai salah satu faktor
kestabilan pada perbatasan terpanjang Israel dan terhadap Suriah dan Irak. SeranganIsrael meningkatkan
tekanan terhadap Hussein untuk menyerang balik, tidak hanya dari negara-negara Arab yang radikal dan
orang Palestina di Yordania, tetapi juga dari angkatan darat, yang merupakan sumber dukungan utamanya,
dan mungkin sekarang memaksa untuk mendapatkan kesempatan membalas kekalahan pada hari
Minggu... Israel telah merusak kemajuan menuju adanya akomodasi dengan orang-orang Arab. Mereka
mungkin memperlihatkan pada Suriah yang merupakan biang keladi, bahwa Israel tidak berani menyerang
Suriah yang dilindungi oleh Uni Soviet, namun boleh menyerang Yordania yang didukung oleh Amerika
Serikat tanpa ada hukuman."[14]

Dalam menghadapi kritik dari orang Yordania, Palestina dan tetangga Arab lainnya karena kegagalannya
dalam mempertahankan Samu, Hussein memerintahkan untuk menjalankan mobilisasi nasional pada
tanggal 20 November 1966.[15] Pada tanggal 25 November 1966, Dewan Keamanan PBB mengadopsi
Resolusi 228 dan menyesali "kehilangan nyawa dan kerusakan besar menyebabkan terjadinya tindakan
Israel pada tanggal 13 November 1966", mengancam "Israel karena jumlah pasukan berskala besar yang
melanggar Piagam PBB dan Perjanjian Perdamaian antara Israel dan Yordania" dan menekan "kepada
Israel bahwa tindakan balas dengan mengirim tentara tidak dapat ditolerir dan jika mereka mengulangi hal
tersebut, Dewan Keamanan PBB akan mempertimbangkan langkah-langkah efektif seperti yang
dibayangkan di dalam Piagam untuk memastikan pencegahan terhadap pengulangan tindakan yang
sedemikian."[16]

Dalam satu telegram untuk Departemen Negara Bagian pada tanggal 18 Mei 1967, Duta besar Amerika
Serikat di Amman, Findley Burns, telah melaporkan bahwa Hussein telah menjelaskan opininya dalam
sebuah perbincangan sehari sebelumnya bahwa

"Yordania adalah salah satu sasaran dalam jangka pendek dan dalam pandangan Hussein, ia pasti berlaku dalam jangka panjang.... Israel
mempunyai kebutuhan militer dan ekonomi yang panjang serta tradisi agama dan aspirasi sejarah yang tertentu dimana pada pandangan
Hussein mereka masih belum puas. Satu-satunya cara agar keinginan mereka tercapai adalah dengan mengubah status Tebing Barat, Yordania.


Oleh sebab itu pandangan Hussein adalah hal yang bagi Israel merupakan kesempatan untuk mengambil kelebihan dari suatu peluang dan
memaksa situasi apapun yang membuat mereka lebih dekat kepada keinginan mereka. Hussein mengkhawatirkan bahwa keadaan pada saat
itu yang memberi kesempatan terhadap teroris, penyelundupan dan perpecahan di antara orang Arab yang sangat jelas,"
dan mengenang peristiwa Samu

"Hussein menyatakan bahwa jika Israel melancarkan serangan serangan berskala-Samu terhadap Yordania, ia tidak memiliki pilihan lain
selain untuk membalas serangan mereka atau ia akan menghadapi pemberontakan di negaranya. Jika Yordania menyerang balas, tanya
Hussein, apakah ini akan memberikan Israel suatu kesempatan untuk merebut wilayah Yordania dan mempertahankan wilayah Yordania yang


direbut? Atau Israel mungkin akan menyerang dengan jenis serangan tembak-dan-lari hanya untuk menaklukan dan mempertahankan wilayah
dalam perang sebelumnya. Hussein menyatakan bahwa ia tidak mungkin mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan ini dari perkiraannya dan
mendesak kami agar jangan berbuat demikian walaupun kita hanya ingin merasakannya."[17]

Israel dan Suriah[sunting]

Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga
mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau
Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona
[18]
Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah.

Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling
membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri
Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin
pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan
penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden
Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat. [19]

Laporan untuk Departemen Luar Negeri dari Kedutaan Besar Inggris di Damaskus, perihal konflik Israel dan Suriah tanggal 7 April 1967 mengenai pengelolaan kawasan

perselisihan.

Selama kunjungan ke London pada bulan Februari tahun 1967, Menteri Luar Negeri Israel Abba
Eban menjelaskan kepada hadirin tentang "harapan dan kegelisahan" Israel, bahwa
walaupun Libanon, Yordania dan Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir sampai 1971) sepertinya
berkeputusan untuk berkonfrontasi aktif melawan Israel, masih perlu dilihat apakah Suriah dapat
[20]
mengekang diri sehingga permusuhan dapat dibatasi hanya sampai tingkatan retorik.

Pada tanggal 7 April 1967, suatu peristiwa kecil di perbatasan telah menyebabkan satu pertempuran udara
berskala besar di Dataran Tinggi Golan yang mengakibatkan Suriah kehilangan enam MiG-21, yang
dikalahkan oleh Dassault Mirage III Angkatan Udara Israel, yang juga terbang melintasiDamaskus. [21] Tank,
mortir, dan artileri digunakan oleh berbagai pihak sepanjang 47 mil (76 km) perbatasan, yang dijelaskan
sebagai "suatu perselisihan terhadap hak pengerjaan tanah dalam Zona Demiliterisasi, di sebelah
tenggara Danau Tiberias." Pada awal minggu, Suriah telah 2 kali menyerang traktor Israel yang bekerja di
kawasan tersebut, dan ketika traktor itu kembali lagi di pagi hari tanggal 7 April 1967, Suriah pun
melepaskan tembakan. Israel bereaksi dengan mengirim beberapa traktor lapis baja untuk terus
membajak, mengakibatkan berlanjutnya aksi tembak-menembak. Pesawat Israel menjatuhkan bom-bom
seberat 250 dan 500 kilogram ke lokasi-lokasi Suriah. Suriah membalas dengan menembak pemukiman-
pemukiman Israel di perbatasan dan pesawat jet Israel membalas dengan mengebom desa Sqoufiye yang
menghancurkan 40 rumah. Pada pukul 15:19, tembakan Suriah mulai jatuh di Kibbutz Gadot, sebanyak
[22]
300 tembakan telah jatuh dalam lingkungan kibbutz dalam waktu 40 menit. UNTSOmencoba untuk
menyusun gencatan senjata, namun Suriah menolak untuk bekerja sama jika pengerjaan tanah Israel tidak
dihentikan. [23]

Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol yang berbicara dalam suatu pertemuan partai politik sayap
kiri Mapai di Yerusalem pada tanggal 11 Mei 1967, ia memberikan ancaman bahwa Israel tidak ragu-ragu
untuk mengirim serangan udara dalam skala yang sebesar pada tanggal 7 April 1967 sebagai balasan
terhadap terorisme di perbatasan yang berkelanjutan. Pada hari yang sama, Gideon Rafael, utusan Israel
memberikan surat kepada Dewan Keamanan PBB dan memberikan ancaman bahwa Israel akan
[24]
"bertindak untuk mempertahankan diri jika keadaan sekitar memungkinkan". Ditulis dari Tel Aviv pada
tanggal 12 Mei 1967, James Feron melaporkan bahwa sebagian dari pemimpin Israel memutuskan untuk
mengirim pasukan "yang kuat tetapi dalam kurun waktu yang singkat dan pada kawasan yang terbatas"
terhadap Syria. Laporan itu juga mengutip "seorang pengamat yang berwibawa" yang "berkata bahwa
Republik Persatuan Arab, sekutu Suriah yang paling dekat di dunia Arab, tidak akan ikut campur kecuali
jika serangan Israel meluas".[25]

Pada awal bulan Mei tahun 1967, kabinet Israel memberikan hak atas serangan terbatas terhadap Suriah,
namun permintaan semula oleh Rabin untuk menyerang secara besar-besaran agar dapat menggulingkan
rezim Ba'ath ditentang oleh Eshkol. [26]

Peristiwa di perbatasan terus bertambah dan banyak pemimpin Arab, termasuk para pemimpin politik dan
militer, meminta untuk mengakhiri tindakan Israel. Mesir, yang pada saat itu mencoba merebut kedudukan
yang utama di dalam dunia Arab di bawah Nasser, turut menyertai rencana-rencana untuk memiliterisasi
Sinai. Suriah mengutarakan pandangan-pandangan itu, walaupun tidak siap untuk melakukan serangan
tiba-tiba. Uni Soviet mendukung keperluan militer negara-negara Arab dengan aktif. Intelijen Soviet
memberikan laporan yang diberikan oleh Presiden Uni Soviet Nikolai Podgorny kepada Wakil Presiden
Mesir Anwar Sadat menyatakan bahwa tentara Israel sedang berkumpul di sepanjang perbatasan Suriah.
Pada tanggal 13 Mei, laporan Soviet yang bohong itu didedahkan. Namun laporan palsu itu terungkap
pada tanggal 13 Mei 1967.[27] [28]Pada bulan Mei tahun 1967, Hafez Assad, selanjutnya Menteri Pertahanan
Suriah juga menyatakan: "Pasukan kami sekarang seluruhnya siap tidak hanya untuk menahan agresi,
namun untuk mengusahakan aksi pembebasan, dan untuk menghancurkan kehadiran Zionis di tempat
tinggal Arab. Pasukan Suriah, dengan jarinya mencetuskan persatuan... Saya, sebagai seseorang yang
secara militer percaya bahwa waktunya telah tiba untuk memasuki pertempuran pembinasaan." [29]

Mundurnya Pasukan Keamanan PBB[sunting]

Pada pukul 10.00 malam 16 Mei, Jendral Indar Jit Rikhye, letnan kolonel United Nations Emergency
Force (UNEF), menerima surat dari Jendral Mohammed Fawzy yang berbunyi:

Sebagai informasi untuk Anda, saya telah mengarahkan semua tentara Republik Persatuan Arab agar mempersiapkan diri untuk melakukan
tindakan terhadap Israel jika negara itu melakukan tindakan yang agresif terhadap salah satu negara Arab. Oleh karena instruksi ini, tentara
kita kini bertumpu di perbatasan timur kita di Sinai. Oleh sebab itu, agar pasukan keamanan PBB yang ditempatkan di pos-pos pengawasan
pada sepanjang perbatasan kita, saya meminta agar Anda memerintahkan pengunduran semua tentara dengan segera."
Rikhye berkata bahwa ia akan melaporkan kepada sekretaris jendral untuk mendapat instruksi
selanjutnya. [30]

U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18
Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi
UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga
menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. India danYugoslavia memutuskan untuk
menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini
berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak
usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk
menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua
pasukan darurat mundur dengan segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima
perintah untuk mundur. [31][32] Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai,
dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.

Selat Tiran[sunting]
Peta lokasi selat Tiran.

Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan
ditutup untuk "semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan
strategik". [33] Nasser juga menyatakan, "Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba
dengan alasan apa pun." Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di
kawasan Laut Tengah, dan menurutJohn Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak
pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang
dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat
penting bagi Israel. [34] [35]Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya
mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.

Melihat hukum internasional, [36] Israel menganggap bahwa Mesir telah menyalahi undang-undang jika
negara tersebut menutup Selat Tiran, dan menyatakan bahwa Israel akan menganggap blokade itu
sebagai suatu casus belli pada tahun 1957 ketika Israel mundur dari Sinai dan Jalur Gaza. [37] Negara-
negara Arab memperdebatkan hak Israel untuk melewati Selat Tiran kerana mereka tidak
menandatangani Konvensi PBB tentang peraturan laut terutama karana Pasal 16(4) memberikan hak
tersebut kepada Israel. [38] Dalam perselisihan Majelis Umum PBB, banyak negara mengemukakan alasan
bahwa jika hukum internasional memberikan hak untuk lewat kepada Israel, Israel tidak berhak menyerang
Mesir untuk menuntut haknya karena penutupan itu bukan merupakan "serangan bersenjata" seperti yang
tertulis dalam Pasal 51 dalam Piagam PBB. Selain itu menurut profesor hukum internasional John Quigley,
berdasarkan doktrin proporsional, Israel berhak menggunakan kekuatan bersenjata hanya seperlunya saja
[39]
demi mengamankan haknya untuk lewat.

Israel memperhatikan penutupan selat itu dengan serius dan meminta Amerika Serikat dan Britania
Raya untuk membuka Selat Tiran seperti yang telah mereka jaminkan pada tahun 1957. Proposal Harold
Wilson agar adanya kekuatan laut internasional untuk memecahkan krisis ini disetujui oleh Presiden
Johnson, akan tetapi ia tidak menerima banyak dukungan, dan hanya Britania Raya dan Belanda yang
menawarkan bantuan berupa kapal-kapal.

Mesir dan Yordania[sunting]

Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga
pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia
bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser yang telah menyebut
Raja Hussein sebagai seorang "pesuruh imperialis", pada awalnya menyatakan:

Tujuan awal kita semua adalah kehancuran Israel. Orang-orang Arab ingin berperang."[40]

Pada akhir bulan Mei tahun 1967, tentara Yordania telah dikomando oleh Jendral Mesir, Jendral Abdul
Munim Riad. [41]. Pada hari yang sama, Nasser menyatakan:

Tentara Mesir, Yordania, Suriah dan Lebanon sedang dalam keadaan tenang di perbatasan Israel... untuk menghadapi tantangan; di belakang
kami berdiri tentara Irak, Aljazair,Kuwait dan Sudan dan semua negara Arab. Aksi ini akan mengherankan dunia. Hari ini mereka akan
mengetahui bahwa Arab telah siap untuk sebuah pertempuran, waktu yang menentukan telah tiba. Kita telah mencapai panggung aksi serius
dan bukan deklarasi-deklarasi lainnya. Kami telah mencapai panggung aksi serius dan tidak lagi mengeluarkan deklarasi."[42]
Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung
tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan
menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di
Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa "Jika Yordania
[43]
tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania".

Israel memiliki pandangannya sendiri berkaitan dengan peranan Yordania dalam perang yang berdasarkan
kekuasaan Yordania atas Tepi Barat. Hal ini akan membuat tentara Arab yang hanya berjarak 17 kilometer
dari pantai Israel yang merupakan suatu titik perubahan karena serangan tank akan membelah Israel
menjadi dua dalam waktu 2 jam. Walaupun jumlah tentara Yordania memiliki arti bahwa Yordania mungkin
tidak akan melaksanakan latihan militer karena berhubungan dengan sejarah bahwa negara ini digunakan
oleh negara Arab lainnya sebagai panggung untuk operasi melawan Israel, oleh sebab itu, serangan
dari Tepi Barat akan menjadi ancaman bagi Israel. Pada waktu yang sama, negara Arab yang tidak
berbatasan dengan Israel, seperti Irak,Sudan, Kuwait dan Aljazair mulai menggerakkan tentara mereka.

Aliran menuju peperangan[sunting]

Dalam ucapannya kepada orang-orang Arab pada tanggal 26 Mei 1967, Nasser menyatakan:

Jika Israel memulai agresi terhadap Suriah atau Mesir, pertempuran ini akan menjadi hal yang umum... dan tujuan dasar kita adalah untuk
menghancurkan Israel."[44]

Menteri Luar Negeri Israel, Abba Eban menulis dalam biografinya bahwa ia telah diinformasikan oleh U
Thant mengenai janji Nasser untuk tidak menyerang Israel, sehingga Abba Eban telah mendapat jaminan
yang meyakinkan bahwa
...Nasser tidak ingin adanya peperangan, ia hanya menginginkan kemenangan tanpa peperangan. [45] [46]

Ditulis dari Mesir pada tanggal 4 Juni 1967, jurnalis New York Times James Reston memiliki pandangan :

Kairo tidak ingin adanya peperangan dan ia tidak siap untuk sebuah peperangan. Tetapi ia menerima kemungkinan, walaupun hanya
kemungkinan, seolah-olah ia telah kehilangan kekuasaan atas situasi. [47]

Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya
bahwa hal itu adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel "dikepung oleh negara
Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat
di Timur Tengah. Suriah dipimpin oleh Partai Ba'ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk
mendorong Israel ke laut."[48] Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk
penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer,
dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh
militer dan politik Israel merasa bahwa dengan "melakukan tindakan militer sebelum diserang" bukan
hanya lebih disukai, tetapi transformatif.

Diplomasi dan taksiran Intelijen[sunting]

Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan
serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu
pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai
penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya. [49]

Taksiran CIA yang baru dilaporkan membantah perkiraan pesimistik Israel mengenai militer Arab. Johnson, bersama Menteri Pertahanan McNamara dan petugas senior

lainnya, mendengarkan Abba Eban pada tanggal 26 Mei 1967.

Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk
memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat
telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir
dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang
akan datang. Eban bertemu denganMenteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk, Menteri
Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan
bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih
dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung. Sejarahwan Michael
Oren menerangkan tentang reaksinya:

Eban sangat bingung dan tidak yakin bahwa Nasser bertekad atau malah berniat menyerang, dan sekarang nampak bahwa pihak Israel
membesar-besarkan ancaman Mesir - dan menampilkan kelemahan mereka - untuk menarik janji bahwa Presiden yang dibatasi Kongres,
tidak pernah membuatnya. Suatu tindakan tanpa ada tanggung jawab... aneh...' adalah perkataan-perkataan yang ia kirim dalam telegram ,
dimana ia juga menulis, 'kurang bijaksana, kurang tepat dan kurang kepahaman taktik. Tidak ada siapapun yang benar mengenai hal itu. [50]
Dalam satu ceramah pada tahun 2002, Oren berkata,

Johnson duduk disekeliling penasehat-penasehatnya dan berkata, "Bagaimana jika sumber intelijen mereka lebih baik daripada sumber
intelijen kita?"

Johnson memilih untuk mengirim pesan kepada rekannya di Kremlin, Alexey Kosygin, dimana ia berkata,

Kami mendengar dari Israel, tetapi kami tidak akan mengesahkannya, bahwa wakii anda di Timur Tengah, Mesir, sedang merancang untuk
menyerang Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Jika anda tidak mau memulai krisis global, halangi mereka daripada berbuat
demikian.
Pada pukul 2:30 pagi tanggal 27 Mei 1967, duta besar Uni Soviet di Mesir, Dimitri Pojidaev mengetuk pintu
Nasser dan membacakan satu surat pribadi dari Kosygin dimana berkata,

Kami tidak mau Mesir disalahkan sebagai biang keladi atas suatu peperangan di Timur Tengah. Jika anda melancarkan serangan itu, kami
tidak dapat mendukung anda.

Abdel Hakim Amer berunding dengan rekannya di Kremlin, dan mereka telah mengesahkan pesanan
Kosygin. Karena putus harapan, Amer memberitahu letnan kolonel angkatan udara Mesir, Mayor
Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi itu dibatalkan." [51] Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei,
[52]
segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.

Analisis CIA mengenai Perang Arab-Israel 1967.

Pada tanggal 30 Mei 1967, Nasser membalas permintaan Johnson sebelas hari lebih awal dan setuju
untuk mengirim Wakil Presiden Mesir, Zakkariya Muhieddin, ke Washington D.C. pada tanggal 7
Juni 1967 untuk mengeksplorasi suatu penyelesaian diplomatik dalam "pembukaan Gedung Putih yang
terlihat". [53] Menteri Luar Negeri Dean Rusk sangat kecewa dengan serangan yang dilakukan Israel lebih
dulu pada tanggal 5 Juni 1967 karena Amerika Serikat berusaha untuk mendapat penyelesaian diplomatik
jika memungkinkan. [54] Sejarahwan Michael Oren telah mencatat bahwa Rusk "marah seperti neraka" dan
Johnson kemudian menulis bahwa "Saya tidak dapat menyembunyikan rasa kekesalan saya bahwa Israel
[55]
telah memutuskan untuk melakukan apa yang telah dibuatnya".

Di kalangan ahli politik Israel, diputuskan bahwa jika Amerika Serikat tidak bertindak, dan jika PBB tidak
dapat bertindak, maka Israel akan bertindak. Pada tanggal 1 Juni 1967, Moshe Dayan dilantik
sebagai Menteri Pertahanan Israel, dan pada tanggal 3 Juni 1967, administrasi Johnson memberikan suatu
pernyataan yang meragukan bahwa Israel kembali dalam persiapan perang. Serangan Israel terhadap
Mesir tanggal 5 Juni 1967 bermula dengan apa yang disebut sebagai Perang Enam Hari. Martin van
Creveld menerangkan dorongan menuju peperangan:

"...konsep bagi 'perbatasan yang dapat dipertahankan' bukanlah bagian dari kamus Angkatan Bersenjata Israel sendiri. Siapapun yang melihat
kepada falsafah militer pada saat itu akan melakukannya dalam tekanan. Sebagai gantinya, letnan kolonel Israel berdasarkan pemikiran


mereka terutama pada saat perang 1948, kemenangan mereka pada tahun 1956 atas Mesir. Apabila krisis tahun 1967 meletus, mereka yakin
akan kemampuan mereka untuk memenangkan peperangan dengan 'tegas, cepat and bergaya', dimana satu dari anggota mereka, Jendral Haim
Bar Lev, meletakkannya, dan menekan pemerintahan mereka untuk memulai peperangan secepat mungkin". [56]

Tentara yang bertempur[sunting]


Artikel atau bagian dari artikel ini diterjemahkan dari Perang Enam Hari di ms.wikipedia.org. Isinya mungkin memiliki ketidakakuratan.
Selain itu beberapa bagian yang diterjemahkan kemungkinan masih memerlukan penyempurnaan. Pengguna yang mahir dengan bahasa
yang bersangkutan dipersilakan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat)

Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2
lapis baja dan 1 dimekanisasikan), juga 4 infantri independen dan 4 brigadir lapis baja independen. Tidak
kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang
Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari
1.000 artileri.[57] Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 - 20.000) masih bertempur di
Yaman.[58][59][60][61] Perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam
perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada
bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban
yang tidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya
melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir ("kemenangan"), dimana memanggil layar
infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan
serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan
pertahanan lebih lanjut atas Sinai.[62] Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi
Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.

Pasukan Yordania berjumlah 55.000,[63] sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.[64]

Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu
jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil.
[65]
James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, "Dalam
kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa
bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel... Meskipun dengan 50.000
pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk
melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo
adalah sebuah kegagalan."[66]

Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak
Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan
Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya
menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandera hingga Mesir setuju
untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan
Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimanadisetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa
serangan serempak melawan Suriah harus dihindari. [67]

Pertempuran[sunting]

Serangan udara[sunting]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Operasi Fokus

Pergerakan Israel yang pertama dan yang paling penting adalah serangan pre-emptif terhadap Angkatan
Udara Mesir. Angkatan Udara Mesir merupakan tentara udara termodern dan terbesar di kalangan
Angkatan udara Arab, memiliki kurang lebih 450 pesawat tempur, dan semuanya merupakan buatan Uni
Soviet dan baru.

Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh Israel adalah 30 buah pesawat pengebom sederhana Tu-16
Badger, yang dapat memberikan kerusakan besar kepada pemukiman penduduk dan markas militer
Israel. [68] Pada tanggal 5 Juni 1967 pukul 7:45 waktu Israel, sirine pertahanan rakyat sipil dibunyikan di
seluruh Israel, Angkatan Udara Israel melancarkan Operasi Fokus (Moked). Semua 200 jet kecuali 12 yang
boleh beroperasi [69] telah meninggalkan kawasan udara Israel dalam satu serangan besar terhadap
bandara militer Mesir. [70] Infrastruktur pertahanan Mesir memang lemah, dan tidak ada lapangan udara
militer yang dilengkapi dengan bunker untuk mempertahankan pesawat terbang angkatan udara Mesir
dalam satu serangan. Pesawat udara Israel bergerak menuju Laut Tengah sebelum kembali ke Mesir.
Pada saat itu, pihak Mesir mengganggu pertahanan mereka sendiri dengan menutup seluruh pertahanan
udara secara efektif, karena mereka takut jika pemberontak Mesir akan menembak jatuh pesawat terbang
yang membawa seluruh Letjen Sidqi Mahmoud, yang berada dalam perjalanan dari al Maza ke Bir Tamada
di Sinai untuk bertemu dengan letnan kolonel yang bertugas di sana. Dalam peristiwa ini memang tidak
banyak bedanya karana pilot terbang di bawah pantauan radar dan sesuai di bawah titik
terendah dimanabaterai misil S-75 Dvina daratan-ke-udara akan menjatuhkan pesawat terbang tersebut.
[71]
Israel telah menggunakan strategi serangan campuran, pengeboman dan tembakan yang bertubi-tubi
terhadap pesawat, dengan sistem serangan bom menembus bandara yang menyebabkan bandara tidak
berguna untuk pesawat-pesawat yang tidak musnah dan oleh sebab itu, menjadikannya sasaran yang
tidak dapat diselamatkan karena gelombang-gelombang serangan Israel. Serangan tersebut lebih sukses
dibanding yang diharapkan. Serangan itu hampir memusnahkan seluruh Angkatan Udara Mesir di daratan
tanpa banyak pengorbanan Israel. Lebih dari 300 pesawat Mesir dimusnahkan, dengan 100 pilot Mesir
dibunuh [72] Israel kehilangan 19 pesawat terbang karena kehilangan kendali, yaitu kegagalan mekanik, dan
sebagainya. Serangan ini juga menjamin keunggulan udara Israel pada perang ini.

Sebelum peperangan ini terjadi, pilot Israel di lapangan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk
memperlengkap serangan deras pesawat yang kembali setelah melakukan serangan tiba-tiba,
menyebabkan 1 pesawat melakukan serangan tiba-tiba empat kali sehari (hal ini bertentangan dengan
norma angkatan udara Arab yang hanya dapat melakukan satu atau dua serangan udara setiap hari). Hal
ini membuat Angkatan Udara Israel menurunkan banyak gelombang serangan terhadap bandara militer
Mesir pada saat perang yang pertama, dan mengalahkan Angkatan Udara Mesir. Hal ini juga
menyebabkan orang Arab mempercayai bahwa Angkatan Udara Israel dibantu oleh militer asing.

Menyusul kemenangan gelombang-gelombang serangan permulaan terhadap bandara militer Mesir yang
utama, serangan-serangan susulan dibuat pada akhir hari pertama terhadap bandara yang lebih kecil serta
bandara Yordania, Suriah, dan juga Irak. Sepanjang perang, pesawat-pesawat Israel meneruskan
tembakan yang bertubi-tubi terhadap bandara Mesir untuk mencegah pemulihan bandara tersebut.

Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai[sunting]

Penguasaan Sinai. 7 Juni-8 Juni 1967

Pasukan Mesir terdiri dari 7 divisi, yaitu 4 divisi lapis baja, 2 divisi infantri, dan 1 divisi infantri yang
dimekanisasi. Mesir memiliki sekitar 100.000 pasukan dan 900-950 tank di Sinai, dipersenjatai dengan
1.100 Pengangkut personel lapis baja dan 1.000 artileri.[73] Penyusunan ini berdasarkan dari doktrin Uni
Soviet, yaitu mobil lapis baja menyediakan pertahanan dinamik ketika infantri ikut serta dalam pertempuran
yang bersifat pertahanan.

Pasukan Israel mengkonsetrasikan di perbatasan Mesir dengan mengikutsertakan 6 brigadir lapis baja, 1
brigadir infantri, 1 brigadir infantri yang dimekanisasi, 3 brigadir pasukan payung dan 700 tank yang
berjumlah 70.000 orang, diatur dalam 3 divisi lapis baja. Rencana Israel adalah untuk mengejutkan
pasukan Mesir (serangan tersebut tentu saja bertepatan dengan serangan Angkatan Udara Israel terhadap
bandara Mesir), yang menyerang melalui rute utara dan tengah Sinai, dimana diluar dugaan Mesir karena
Mesir mengira Israel akan menggunakan rute yang sama dengan serangan tahun 1956, dimana Angkatan
Bersenjata Israel menyerang melalui rute tengah dan selatan.

Pada divisi Israel yang di utara, terdapat 3 brigadir dan diperintah oleh Mayor Jendral Israel Tal, salah satu
letnan kolonel yang paling penting, menyerang dengan lambat melewati Jalur Gaza dan El Arish, yang
tidak dilindungi.

Divisi tengah yang diperintah oleh Avraham Yoffe dan divisi selatan yang diperintah oleh Ariel Sharon,
memasuki daerah Abu-Ageila-Kusseima yang sangat dilindungi oleh Mesir yang membuat
terjadinya Pertempuran Abu-Ageila. Pasukan Mesir yang berada di sana terdiri dari 1 divisi militer,
1batalyon tank perusak dan 1 regimen tank.

Sharon melakukan sebuah serangan yang telah direncanakan. Ia mengirim 2 dari brigadirnya ke sisi
utara Um-Katef, yang pertama yang dapat menembus pertahanan Abu-Ageila ke selatan, dan yang kedua
yang dapat memblok jalan menuju El Arish dan untuk melingkari Abu-Ageila dari timur. Pada waktu yang
sama, pasukan payung terjun di dekat bagian belakang posisi bertahan pasukan Mesir dan
menghancurkan artileri untuk mencegah penggunaan artileri untuk membalas serangan infantri Israel
dengan artileri tersebut. Dengan digabungkannya pasukan, tank, pasukan payung, infantri, artileri, dan
insinyur militer yang menyerang Mesir dari depan, belakang dan sisi lainnya. Pertempuran berlangsung 3
setengah hari sampai akhirnya Abu-Ageila jatuh.

Banyak pasukan Mesir yang tetap utuh dan terus mencoba mencegah pasukan Israel mencapai Terusan
Suez atau menyerang secara tiba-tiba dalam usaha untuk mencapai kanal. Namun, ketika Menteri
Pertahanan Mesir, Abdel Hakim Amer mendengar berita tentang jatuhnya Abu-Ageila, ia panik dan
memerintahkan seluruh pasukan di Sinai untuk mundur. Perintah ini berarti kekalahan Mesir.

Karena mundurnya pasukan Mesir, letnan kolonel tertinggi Israel memilih untuk tidak mengejar pasukan
Mesir, namun lebih baik menyusul dan menghancurkan mereka di wilayah pegunungan di Sinai Barat.
Setelah itu, dalam waktu 2 hari (6 Juni 7 Juni 1967), seluruh 3 divisi Israel (Sharon dan Tal diperkuat oleh
brigadir lapis baja) maju menuju barat dan mencapai jalan di daerah pegunungan. Divisi Sharon pertama
pergi menuju selatan dan barat menuju celah Mitla. Semua pasukannya bergabung di sana dengan bagian
dari divisi Yoffe, ketika pasukan lainnya memblok celah Gidi. Pasukan Tal juga berhenti di berbagai tempat.

Aksi blokade Israel hanya sukses di celah Gidi yang dapat direbut sebelum pasukan Mesir muncul, namun
di tempat lain, pasukan Mesir dapat melewati dan menyeberang untuk keselamatan terusan. Namun,
kemenangan Israel tetaplah mengagumkan. Dalam operasi selama 4 hari, pasukan Israel menaklukkan
pasukan yang paling besar dan pasukan paling bersenjata di Arab, meninggalkan beberapa tempat di Sinai
terbuang dengan ratusan pembakaran atau mobil Mesir yang ditinggalkan dan persenjataan militer.
Pada tanggal 8 Juni 1967, Israel menyelesaikan pendudukan Sinai dengan mengirim pasukan infantri ke
Ras-Sudar (ladang minyak di teluk Suez) di pantai barat semenanjung tersebut.

Terdapat beberapa penyebab yang membuat serangan cepat Israel menjadi mungkin untuk dilakukan,
pertama, keunggulan Angkatan Udara Israel atas Mesir, kedua, Israel membuat rencana perang yang baik,
dan yang ketiga, koordinasi yang kurang di antara pasukan Mesir. Hal tersebut juga menjadi elemen
kemenangan di front Israel yang lainnya.

Tepi Barat[sunting]
Artikel atau bagian dari artikel ini diterjemahkan dari Perang Enam Hari di en.wikipedia.org. Isinya mungkin memiliki ketidakakuratan.
Selain itu beberapa bagian yang diterjemahkan kemungkinan masih memerlukan penyempurnaan. Pengguna yang mahir dengan bahasa
yang bersangkutan dipersilakan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat)

Peta jalur serangan Yordania tanggal 5 Juni - 7 Juni 1967

Yordania enggan untuk memasuki perang ini. Beberapa menyatakan bahwa Nasser menggunakan
ketidakjelasan pada jam pertama konflik tersebut untuk meyakinkan Hussein bahwa ia menang. Nasser
menyatakan sebagai bukti bahwa sebuah radar melihat 1 skuadron pesawat tempur Israel kembali dari
bombardmen di Mesir yang dinyatakan oleh Nasser sebagai pesawat Mesir yang menyerang Israel. Salah
satu brigadir Yordania yang berpatroli di Tepi Barat dikirim ke daerah Hebron untuk berhubungan dengan
Mesir. Hussein memilih untuk menyerang.

Pada perang, militer Yordania, termasuk 11 brigadir yang berjumlah 55.000 pasukan, dilengkapi dengan
300 tank modern. 9 brigadir (45.000 tentara, 270 tank, 200 artileri) didistribusikan ke Tepi Barat, termasuk
brigadir elit lapis baja ke-40, dan 2 di Lembah Yordania. Pasukan Arab merupakan pasukan yang
berpengalaman, profesional, memiliki persenjataan yang cukup dan sudah cukup terlatih, bahkan pos
perang Israel menyatakan bahwa jendral Yordania beraksi dengan profesional, tapi selalu meninggalkan
"setengah dari langkah" di belakang oleh pergerakan Israel. Pada Angkatan Udara Yordania hanya
terdapat 24 pesawat tempur Hawker Hunter buatan Britania Raya. Menurut Israel, pesawat Hawker
Hunter sejajar denganDassault Mirage III buatan Perancis yang merupakan pesawat terbaik Angkatan
Udara Israel.[74]
Untuk melawan pasukan Yordania di Tepi Barat, Israel mendistribusikan sekitar 40.000 pasukan dan 200
tank (8 brigadir).[75]Pada pasukan utama Israel terdapat 5 brigadir. 2 brigadir berpatroli di Yerusalem dan
disebut Brigadir Yerusalem dan Brigadir Harel yang dimekanisasikan. Brigadir pasukan payung ke-
55 Mordechai Gur dipanggil dari front Sinai. Sebuah brigadir lapis baja dialokasikan dari pasukan
cadangan dan dibawa ke daerah Latrun. Brigadir lapis baja ke-10 berpatroli di utara Tepi Barat. Komando
utara Israel menyediakan sebuah divisi 3 brigadir) yang dipimpin oleh mayor jendralElad Peled, yang
berpatroli di utara Tepi Barat, di Lembah Jezreel.

Rencana Angkatan Bersenjata Israel merupakan rencana untuk tetap bertahan di front Yordania, agar
dapat mengutamakan serangan atas Mesir. Namun, pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, pasukan Yordania
melakukan daya tolak di daerah Yerusalem, menduduki rumah pemerintahan yang digunakan sebagai
benteng untuk pengamat PBB dan menembak bagian barat kota Yerusalem. Pasukan
di Qalqiliya menembak ke arah kota Tel Aviv. Angkatan Udara Yordania menyerang bandara Israel. Baik
serangan udara maupun artileri menyebabkan kerusalakan kecil. Pasukan Israel berpencar untuk
menyerang pasukan Yordania di Tepi Barat. Pada siang hari di hari yang sama, Angkatan Udara Israel
beraksi dan menghancurkan Angkatan Udara Yordania. Pada sore hari, brigadir infantri Yerusalem
bergerak ke arah selatan Yerusalam, ketika pasukan payung Harel dan Gur melingkari dari utara.

Pada tanggal 6 Juni 1967, pasukan Israel menyerang. Brigadir pasukan payung cadangan menyelesaikan
pelingkaran Yerusalem dalam pertarungan yang berdarah, yaitu Pertempuran Bukit Amunisi, pertempuran
yang terjadi di pos militer Yordania di Yerusalem Timur. Brigadir infantri menyerang benteng di Latrun dan
merebutnya pada akhir hari, dan maju melewati Beit Horon menuju Ramallah. Brigadir Harel melanjutkan
serangannya ke daerah pegunungan di barat laut Yerusalem. Pada sore hari, brigadir tersebut tiba di
Ramallah. Angkatan Udara Israel mendeteksi dan menghancurkan Brigadir Yordania ke-60 dengan
Angkatan Udara Israel mengalihkan rute dari Yerikho untuk memperkuat Yerusalem.

Di utara, 1 batalion dari divisi Peled dikirim untuk memeriksa pertahanan Yordania di Lembah Yordania.
Brigadir yang merupakan bagian dari divisi Peled merebut bagian barat dari Tepi Barat, dan yang lainnya
merebut Jenin dan yang ketiga (dilengkapi dengan AMX-13) menyerang tank M48 Patton milik Yordania di
timur.

Pada tanggal 7 Juni 1967, pertarungan berat terjadi kemudian. Pasukan payung Gur memasuki kota
tua Yerusalem melewati gerbang singa dan merebut tembok ratapan dan Al Haram Al Sharif. Brigadir
Yerusalem lalu memperkuat mereka, dan melanjutkan serangan ke selatan, merebut Yudea, Gush Etzion
dan Hebron. Brigadir Harel melanjutkan serangan ke timur, bergerak menujuSungai Yordan. Di Tepi Barat,
salah satu brigadir Peled mengepung Nablus lalu bergabung dengan salah satu brigadir pasukan utama
untuk bertempur melawan pasukan Yordania yang memiliki jumlah persenjataan yang lebih banyak dari
Israel.

Kekuasaan udara Israel menjadi faktor kekalahan Yordania. Salah satu brigadir Peled bergabung dengan
pasukan utama yang datang dari Ramallah, dan 2 lainnya mengeblok Sungai Yordan bersama dengan
Pasukan Utama ke-10 (nantinya mereka menyebrangi Sungai Yordan ke Tepi Timur untuk menyediakan
tempat untuk insinyur militer ketika mereka meledakan jembatan, tapi akhirnya dengan cepat mundur
karena tekanan Amerika Serikat).

Dataran Tinggi Golan[sunting]

Pertempuran Dataran Tinggi Golan, 9 Juni- 10 Juni 1967

Laporang orang Mesir yang salah tentang kemenangan atas pasukan Israel, dan ramalan bahwa artileri
Mesir akan segera menguasai Tel Aviv membuatSuriah semakin yakin untuk memasuki perang.
Kepemimpinan Suriah mengadopsi kemunculan yang lebih berhati-hati daripada mulai menyerang Israel
Utara. Ketika Angkatan Udara Israel menyelesaikan misinya di Mesir, dan berbalik untuk menghancurkan
Angkatan Udara Suriah yang terkejut, Suriah mengerti bahwa berita yang didengar dari Mesir tentang
penghancuran atas militer Israel adalah berita palsu.[76] Selama sore hari pada tanggal 5 Juni1967,
serangan udara Israel menghancurkan dua dari pesawat Angkatan Udara Suriah, dan memaksa pesawat
lainnya untuk mundur ke basis terdekat, tanpa memainkan peran lebih jauh dalam peperangan. Pasukan
Suriah mencoba merebut pabrik air di Tel Dan. Beberapa tank Suriah juga dilaporkan tenggelam di sungai
Yordan. Dalam berbagai kasus, komando Suriah berharap adanya serangan bawah tanah dan memulai
serangan besar-besaran atas kota Israel di Lembah Hula.

Tanggal 7 Juni 1967 dan 8 Juni 1967 terlewati dengan hal seperti ini. Pada saat itu, debat telah terjadi di
Israel bahwa Dataran Tinggi Golan juga harus diserang. Militer menyatakan bahwa serangan itu akan
sangat mahal, karena pertempuran itu merupakan pertempuran di daerah pegunungan melawan musuh
yang kuat. Pada sisi barat Dataran Tinggi Golan, terdapat lereng bebatuan yang tingginya mencapai 500
meter (1700 kaki) dari Danau Galileadan Sungai Yordan. Moshe Dayan percaya bahwa operasi itu akan
membuat sekitar 30.000 orang mati. Levi Eshkol, di tangan lain, lebih terbuka kepada kemungkinan pada
sebuah operasi terhadap Dataran Tinggi Golan, dan juga ketua dari Komando Utara, David Elazar, yang
sangat yakin bahwa operasi ini dapat mengikis keengganan Dayan. Akhirnya, ketika situasi di front selatan
(Mesir) dan tengah (Yordania) bersih, Moshe Dayan menjadi lebih yakin dengan ide ini, dan ia memimpin
operasi ini.

Jumlah pasukan Suriah sekitar 75.000 yang dikelompokan dalam 9 brigadir, didukung oleh jumlah artileri
dan persenjataan yang cukup. Pasukan Israel yang digunakan dalam serangan terdiri dari 2 brigadir (satu
brigadir lapis baja dipimpin oleh Albert Mandler dan Brigadir Golan) di bagian utara front, dan 2 lainnya
(infantri dan 1 dari brigadir Peled yang dipanggil untuk Jenin) di front pusat. Walaupun tentara Suriah dapat
bergerak dari utara ke selatan di dataran tinggi tersebut, tentara Israel dapat bergerak dari utara ke selatan
di basis tebing Golan. Keunggulan yang didapat oleh Israel adalah intelijen yang baik yang dapat
mengumpulkan data oleh mata-mata Mossad, Eli Cohen (yang akhirnya tertangkap dan dieksekusi di
Suriah tahun 1965) mendapat informasi tentang posisi pertempuran Suriah.

Angkatan Udara Israel yang telah menyerang artileri Suriah selama 4 hari, mendapat perintah untuk
menyerang posisi Suriah dengan seluruh pasukannya. Ketika artileri yang dilindungi dengan baik hampir
tidak terdapat kerusakan, pasukan darat tetap berada di Dataran Tinggi Golan (6 dari 9 brigadir) menjadi
tidak dapat mengatur pertahanan. Pada sore hari tanggal 9 Juni 1967, 4 brigadir Israel telah menembus
Dataran Tinggi Golan, dimana mereka dapat diperkuat dan diganti.

Pada tanggal 10 Juni 1967, grup tengah dan utara bergabung dalam pergerakan di dataran tinggi, namun
daerah tersebut direbut dalam keadaan kosong dimana pasukan Suriah telah melarikan diri. Beberapa
pasukan gabungan yang dipimpin oleh Elad Peled memanjat Golan dari selatan, hanya untuk mendapati
posisi yang kosong. Selama hari itu, pasukan Israel berhenti setelah menerima manuver di antara posisi
mereka dimana terdapat garis dari lereng gunung berapi ke barat. Di bagian timur, relief dataran rendah
adalah relief padang rumput yang terbuka. Posisi ini menjadi garis gencatan senjata yang diketahui dengan
nama "Garis Ungu".

Perang di udara[sunting]

Selama perang enam hari, Angkatan Udara Israel mendemonstrasikan kepentingan kekuasaan udara
selama terjadinya konflik militer modern, terutama dalam front padang pasir. Dengan serangan Angkatan
Udara Israel yang dimulai selama matahari terbit, angkatan udara Israel dapat menaklukan angkatan udara
Arab dan mendapat kekuasaan udara di seluruh front, dan menjadi salah satu penyebab kemenangan
Israel pada perang ini, dan yang paling menarik adalah dihancurkannya brigadir lapis baja ke-60 Yordania
di dekat Yerikho dan serangan terhadap brigadir lapis baja Irak yang dikirim untuk
menyerang Israel melalui Yordania

Angkatan Udara Arab tidak pernah berhasil untuk membuat serangan yang efektif, contohnya serangan
pejuang Yordania dan pengebom Tu-16 Mesir terhadap Israel selama 2 hari pertama tidak berhasil dan
memimpin penghancuran pesawat tempur (pengebom Mesir ditembak jatuh ketika pejuang Yordania
dihancurkan selama diserang).

Beberapa pilot Arab yang kecewa berkhianat dengan MiG pada Israel terlebih dahulu pada pecahnya
konflik. Israel mengkapitalisasikan pada hal ini dengan uji coba penerbangan MiG pada tingkat maksimum,
yang memberi pilot Israel keunggulan terhadap musuh mereka. Pengkhianatan Arab yang menarik
perhatian termasuk:

Pada 19 Januari 1964, pilot Mesir, Mahmud Abbas Hilmi berkhianat dari Lapangan Udara el-Arish
ke Lapangan Udara Hatzor di Israel di Yakovlev Yak-11nya.
Pada tahun 1965, pilot Suriah berkhianat pada MiG-17F kepada Israel.

Pada tahun 1966, Kapten Irak Munir Redfa menerbangkan MiG-21F-13 ke Israel. Setelah
pengkhianatan kapten Redfa, 3 MiG-21F-13 dan paling sedikit 6 MiG-17F pilot Aljazair ditangkap oleh
Israel setelah mendaratkan pesawat mereka di Lapangan Udara el-Arish Israel karena kesalahan.
Salah satu pilot Aljazair yang ditangkap dipertanyakan dan mendapat asylum politik di Barat,
sementara sisanya dipulangkan.

Paling sedikit dua pilot Irak berkhianat ke Yordania dengan MiG-21F-13. Yordania memberi
mereka asylum politik tetapi mengembalikan pesawatnya ke Irak.

Pada 6 Juni, hari kedua perang, Raja Hussein dan Nasser menyatakan bahwa pesawat Amerika dan
Britania ikut serta dalam serangan Israel.

Perang di laut[sunting]

Perang di laut sangat terbatas. Pergerakan kapal perang Israel dan Mesir digunakan untuk menyerang dari
sisi lain, tapi tidak pernah secara langsung ikut serta dalam pertarungan lainnya di laut. Pergerakan yang
mendapat sebuah hasil adalah penggunaan 6 manusia katak Israel di pelabuhan Alexandria (mereka
tertangkap karena menenggelamkan sebuah kapal), dan kru kapal ringan Israel yang merebut Sharm el-
Sheikh di daerah selatan semenanjung Sinai pada tanggal 7 Juni 1967.

Pembersih ranjau Mesir tenggelam di pelabuhan Hurgahda. Kapal yang tenggelam disebut sebagai El
Mina, yang diterjemahkan sebagai "pelabuhan".[77]

Bala bantuan setelah serangan Israel terhadap USSLiberty.

Insiden USS Liberty[sunting]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Insiden USS Liberty

Pada tanggal 8 Juni 1967, terjadi sebuah serangan pesawat tempur dan kapal torpedo Israel terhadap
kapal intelijen Amerika Serikat USSLiberty sekitar 12.5 mil laut (23 km) lepas pantai Semenanjung Sinai, di
utara kota Mesir El Arish. Serangan ini menewaskan 34 tentara Amerika Serikat dan melukai setidaknya
173 orang dimana serangan ini adalah serangan yang paling mematikan kedua terhadap kapal
perang Amerika Serikat sejak Perang Dunia II, terbesar kedua setelah serangan rudal Exocet Irak terhadap
kapal USS Stark pada tanggal17 Mei 1987, dan menimbulkan korban jiwa terbesar dalam
sejarah komunitas intelijen AS. Israel menyatakan bahwa terjadi kesalahan identifikasi dan Israel meminta
maaf dengan membayar ganti rugi terhadap keluarga korban. Kebenaran tentang klaim Israel masih
diperdebatkan, namun Amerika Serikat menerima bahwa insiden ini adalah sebuah kecelakaan.

Akhir konflik dan keadaan pasca-perang[sunting]

Wilayah yang direbut Israel[sunting]

Tanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur
Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat(termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan. Secara
keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke
dalam kontrol Israel di wilayah yang baru didapat (banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut
mengungsi ke luar Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km ke selatan, 60 km ke timur, dan 20
km ke utara.

Korban jiwa[sunting]

Korban yang jatuh dari pihak Israel, jauh dari perkiraan semula yang berjumlah lebih dari 10.000, termasuk
sedikit: 338 prajurit meninggal di medan pertempuran Mesir, 550 meninggal dan 2.400 luka di medan
pertempuran Yordania[78] dan 141 di medan pertempuran Suriah. Mesir kehilangan 80% peralatan militer
mereka, 10.000 prajurit meninggal dan 1.500 panglima terbunuh [79], 5.000 prajurit and 500 panglima
tertangkap[80], dan 20.000 korban luka.[81] Yordania mengalami korban 700 meninggal dan sekitar 2.500
terluka.[82] Suriah kehilangan 2.500 jiwa dan 5.000 terluka, separo kendaraan lapis baja dan hampir semua
artileri yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan dihancurkan. [83] Data resmi dari korban Irak adalah 10
meninggal dan sekitar 30 terluka.[84]

Perubahan religius[sunting]

Akhir dari perang juga membawa perubahan religius. Di bawah pemerintahan Yordania, orang-orang
Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan, situs paling
suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka. Orang Yahudi merasakan situs-situs Yahudi tidak
dirawat, dan kuburan-kuburan mereka telah dinodai.[85][86] Setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik.
Israel mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan alasan keamanan,
dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan, meskipun Masjid Al-Aqsa dipercayakan di
[87]
bawah pengawasan wakaf Muslim dan orang-orang Yahudi dilarang untuk beribadah di sana.

Insiden lain ialah adanya penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dengan tujuan mencari Haikal
Sulaiman (Bait Suci Kedua), yang membuat pondasi masjid menjadi rapuh dan kemungkinan besar masjid
dapat ambruk.[88][89] Situs Al-Aqsa Online menyebutkan (15/2/2008), telah terjadi longsoran yang
menimbulkan lubang sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter.[90] Longsoran itu terjadi di dekat Pintu
Gerbang Al-Selsela dan sumber air Qatibai, sisi barat masjid. Dalam pernyataannya, lembaga rekonstruksi
tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation menyatakan, longsoran itu disebabkan oleh penggalian yang
dilakukan sekelompok warga Israel di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa dan penggalian tersebut sudah
mencapai Pintu Gerbang Selsela.[91] Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam di Israel pimpinan Syaikh
Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim segera mengambil langkah untuk
menghentikan penggalian tersebut yang dilakukan di kompleks Masjid Al-Aqsa. [92]

Selain kegiatan penggalian, pada Februari 2007, buldoser-buldoser Israel menghancurkan jembatan kayu
menuju Pintu Gerbang Al-Maghariba dan menghancurkan dua ruang di bawah tanah, komplek Masjid Al-
Aqsa.[93][94] Aksi Israel ini menuai protes dari rakyat Palestina dan negara-negara Muslim. Namun Israel
seakan-akan tidak mendengarkan kecaman-kecaman itu.

Perubahan politik[sunting]

Pengaruh Perang Enam Hari tahun 1967 dari segi politik amat besar. Israel telah menunjukkan bahwa
Israel tidak hanya mampu, tetapi juga hendak memulai serangan-serangan strategik yang dapat mengubah
keseimbangan wilayah. Mesir dan Suriah mempelajari berbagai kemungkinan taktikal, tetapi mungkin
bukan yang strategik. Mereka kemudian melancarkan serangan pada tahun1973, dalam satu percobaan
untuk menguasai kembali wilayah yang telah direbut Israel.

Sampul majalah Life, 23 Juni 1967. Foto pasukan Israel di terusan Suez setelah perang.

Menurut Chaim Herzog:

Pada tanggal 19 Juni 1967, Pemerintah Israel melakukan pemungutan suara untuk mengembalikan Sinai kepada Mesir dan Dataran Tinggi
Golan kepada Suriah sebagai imbalan atas terjadinya perjanjian perdamaian. Dataran Tinggi Golan akan dijadikan kawasan bebas militer,
serta perjanjian khusus akan dibuat untuk persoalan Selat Tiran. Israel juga berketetapan untuk memulai perundingan dengan Raja Hussein
dari Yordania mengenai perbatasan timurnya. [95]
Keputusan Israel akan disampaikan kepada negara-negara Arab melalui Amerika Serikat. Namun,
walaupun Amerika Serikat diberitahu tentang keputusan ini, ia tidak diberitahu bahwa Israel memerlukan
bantuannya untuk menyampaikan keputusan ini kepada Mesir dan Suriah. Oleh sebab itu, beberapa ahli
[96]
sejarah menyatakan bahwa Mesir dan Suriah tidak pernah menerima tawaran itu.

Resolusi Khartoum membuat ketetapan bahwa "tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau perundingan
dengan Israel". Namun, seperti yang diperhatikan Avraham Sela, resolusi Khartoum menandakan secara
berkesan suatu peralihan tanggapan pertempuran negara-negara Arab daripada persoalan tentang
kesahan Israel kepada persoalan wilayah dan perbatasan dan ini ditegaskan pada tanggal 22
[97]
November 1967 ketika Mesir dan Yordania menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242.

Keputusan kabinet pada tanggal 19 Juni 1967 tidak termasuk Jalur Gaza dan oleh sebab itu,
mengakibatkan kemungkinan Israel untuk memperoleh sebagian Tepi Barat secara permanen. Pada
tanggal25 - 27 Juni 1967, Israel menggabungkan Yerusalem Timur bersama kawasan-kawasan Tepi Barat
di utara dan selatan kedalam kawasan Israel yang baru.

Satu lagi aspek peperangan adalah mengenai para penduduk yang menghuni di wilayah-wilayah yang
direbut Israel, dan dari sekitar 1 juta orangPalestina di Tepi Barat, 300.000 [98] melarikan diri
ke Yordania dan menyumbang pergolakan yang semakin bertambah di sana. 600.000 orang yang
lain [99] tetap tinggal di Tepi Barat. Di Dataran Tinggi Golan, sebanyak 80.000 orang Suriah melarikan
diri. [100] Hanya para penghuni Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan yang menerima hak kediaman
Israel yang terbatas dan Israel menganeksasi wilayah tersebut pada tahun 1980.

Baik Yordania dan Mesir akhirnya menarik balik tuntutan masing-masing terhadap Tepi Barat dan Jalur
Gaza (Semenanjung Sinai dikembalikan kepada Mesir pada tahun 1978, dan persoalan Dataran Tinggi
Golan masih dirundingkan dengan Suriah). Selepas penaklukan "wilayah-wilayah" baru ini oleh Israel,
sebuah usaha penempatan yang besar dilancarkan oleh Israel untuk mengamankan daerah permanen
Israel. Terdapat ratusan ribu penduduk Israel di wilayah-wilayah tersebut pada hari ini, walaupun
penempatan-penempatan Israel di Jalur Gaza telah dipindahkan dan dimusnahkan pada bulan Agustus
tahun 2005.

Kontroversi[sunting]

Peristiwa-peristiwa pada saat Perang Enam Hari yang dramatik telah menimbulkan beberapa tuduhan
serta teori-teori yang penuh dengan kontroversi.

Angkatan Bersenjata Israel membunuh tawanan perang Mesir[sunting]


7 Juni 1967: Tentara Israel mengawal tawanan-tawanan perang Mesir di El Arish (Shabtai Tal).

Dalam sebuah pertemuan untuk Radio Israel pada tanggal 16 Agustus 1995, Aryeh Yitzhaki yang dahulu
bertugas di Pusat Pengajian Sejarah Angkatan Bersenjata Israel di Universitas Bar-Ilan menuduh bahwa
pasukan Israel melakukan pembunuhan sehingga 1.000 orang Mesir yang tak bersenjata dibunuh oleh
Angkatan Bersenjata Israel. Tuduhan itu menerima perhatian yang meluas di Israel serta di seluruh dunia.
Namun, Yitzhaki kemudian diketahui bahwa ia merupakan seorang ahli Partai Tsomet (partai politik sayap
kanan Israel) yang diketuai oleh Rafael Eitan. Meir Pa'il, seorang politikus dan ahli sejarah yang pernah
memperkerjakan Yitzhaki sebagai asistennya, menyatakan bahwa Yitzhaki mempunyai niat terselubung
untuk mengalihkan perhatian orang dari penuduhan oleh Jendral Arye Biro tentang keikutsertaan Yitzhaki
dalam pembunuhan 49 orang tawanan perang pada saat perang tahun 1956.

Walaupun tuduhan Yitzhaki tidak pernah disahkan, banyak anggota militer yang tampil ke depan semasa
perdebatan negara di Israel yang penuh dengan kontroversi untuk mengatakan bahwa mereka telah
menyaksikan pembunuhan tawanan tidak bersenjata. Ahli sejarah militer Israel, Uri Milstein, dilaporkan
berkata bahwa banyak kejadian yang serupa telah dilakukan dalam peperangan itu: "Itu bukan dasar
resmi, tetapi terdapat suasana bahwa perbuatan itu tidak salah. Sebagian letnan kolonel memutuskan
untuk membuatnya, dan ada yang enggan berbuat demikian. Tetapi setiap orang tahu akan perkara itu".

Dokumen Angkatan Bersenjata Israel pada tanggal 11 Juni 1967 menunjukan adanya larangan untuk
membunuh tawanan, dan menjelaskan kedudukan resmi Israel. Namun, tidak terdapat dokumen resmi
Israel yang membenarkan skala pembunuhan untuk ditaksirkan dengan tepat.

Menurut laporan New York Times pada tanggal 21 September 1995, Mesir telah mengumumkan
penemuan dua kuburan yang berisi banyak orang dan tidak dalam di El Arish, Sinai, dimana terdapat jasad
30-60 tawanan Mesir yang ditembak oleh tentara Israel selama perang enam hari. Israel dilaporkan
menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban.

Menurut arsip resmi Israel, sebanyak 4.338 tentara Mesir telah ditangkap oleh Angkatan Bersenjata Israel.
11 tentara Israel telah ditangkap oleh tentara Mesir. Pertukaran tawanan selesai pada tanggal 23
Januari 1968.

Dukungan Amerika Serikat dan Britania Raya[sunting]


Kapal USS Independence digunakan dalam Armada Keenam Amerika Serikat tahun 1967

Sebagian orang Arab mempercayai bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya memberikan dukungan yang
aktif kepada Angkatan Udara Israel. Tuduhan tentang dukungan pertempuran Amerika Serikat dan Britania
Raya kepada Israel bermula pada hari kedua peperangan tersebut. Radio Kairo dan akhbar kerajaan Al-
Ahram membuat beberapa tuduhan, antaranya:

pesawat-pesawat dari kapal induk pesawat udara Amerika Serikat dan Britania Raya membuat
serangan terhadap angkatan tentera Mesir

pesawat-pesawat Amerika Serikat yang ditempatkan di Libya menyerang Mesir

satelit mata-mata Amerika Serikat memberikan informasi kepada Israel.

Suriah dan Yordania membuat laporan-laporan yang serupa dalam siaran-siaran Radio Damaskus dan
Radio Amman. Tuduhan ini juga disebut lagi oleh Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, dalam ucapannya
saat peletakan jabatannya pada tanggal 9 Juni 1967 (peletakan jabatannya
ditolak). Londondan Washington D.C. membantah tuduhan ini, dan tidak terdapat bukti yang mendukung
tuduhan tersebut. Dalam lingkungan pemerintahan Amerika Serikat dan Britania Raya tuduhan ini dengan
cepatnya dikenali sebagai "kebohongan besar". Walaupun begitu, tuduhan bahwa orang-orang Arab
sedang bertempur dengan Amerika Serikat serta Britania Raya, dan bukan hanya dengan Israel,
berterusan dalam dunia Arab.

Menurut Elie Podeh, ahli sejarah Israel: "Semua buku teks sejarah Mesir selepas tahun 1967 mengulangi
tuduhan bahwa Israel melancarkan peperangan itu dengan dukungan dari Britania Raya dan Amerika
Serikat. Hal itu juga mengasaskan perkaitan langsung antara perang 1967 dengan percobaan-percobaan
imperialis yang dahulu untuk menguasai dunia Arab, dan menggambarkan Israel sebagai satu "kacung"
imperialis. Pengulangan kisah dongeng ini, dengan hanya sedikit perubahan, dalam semua buku teks
sejarah bermaksud bahwa semua kanak-kanak sekolah Mesir telah diindoktrinasikan dengan cerita sulit
itu." Sebuah telegram Britania ke kubu-kubu Timur Tengah menyimpulkan: "Keengganan Arab untuk
menolak semua versi palsu itu berasal sebagian dari keperluan untuk mempercayai bahwa tentara Israel
[101]
tidak dapat menewaskan mereka dengan begitu saja tanpa bantuan luar."
Ahli-ahli sejarah seperti Michael Oren memperdebatkan bahwa dengan mengenakan tuduhan salah
terhadap Amerika Serikat dan Britania Raya kerana membantu Israel secara langsung. [102]Sebagai tindak
balas terhadap tuduhan itu, negara-negara minyak Arab kemudian mengumumkan boikot minyak. 6 negara
Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat danLebanon menarik kedutaan besarnya.
[103]

Pemimpin-pemimpin Arab sedang mencoba memperoleh bantuan militer yang aktif dari Uni Soviet untuk
diri sendiri. Namun, pihak Soviet mengetahui bahwa tuduhan tentang bantuan asing terhadap Israel itu
tidak berasas, dan memberitahu diplomat-diplomat Arab di Moskwa tentang fakta ini. Walaupun Uni Soviet
tidak mempercayai tuduhan-tuduhan itu, media Soviet meneruskan pemetikan tuduhan-tuduhan tersebut
dan dengan itu, menipiskan kepercayaan laporan-laporan itu.

Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1993, Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat,
menyatakan bahwa keputusan untuk menempatkan Armada Keenam Amerika Serikat diLaut
Tengah bagian Timur untuk mempertahankan Israel, bahkan jika diperlukan, telah mencetuskan krisis
antara Amerika Serikat dan Kesatuan Soviet. Armada tersebut sedang menjalani latihan tentera laut
berhampiran dengan Gibraltar ketika itu. McNamara tidak menerangkan bagaimana krisis itu diatasi.

Dalam bukunya, Enam Hari, Jeremy Bowen, wartawan BBC, menuduh bahwa selama krisis itu, kapal-
kapal dan pesawat-pesawat Israel membawa simpanan senjata Britania dan Amerika Serikat dari tanah
Britania Raya.

Desakan Uni Soviet[sunting]

Terdapat teori-teori bahwa seluruh perang pada tahun 1967 merupakan suatu percobaan yang tidak
semestinya oleh Uni Soviet dengan tujuan meningkatkan ketegangan antara Jerman Baratdengan negara-
negara Arab melalui dukungan Jerman Barat terhadap Israel.

Dalam sebuah artikel tahun 2003, Isabella Ginor memperincikan dokumen-dokumen GRU Soviet yang
memuat rencana tersebut. Ia juga memperincikan informasi intelijen yang salah yang diberikan kepada
[104]
Mesir, yang menyatakan tentang bertambahnya jumlah militer Israel besar-besaran.

Tokoh penting yang terlibat[sunting]

Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir

Raja Hussein dari Yordania

U Thant, Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa

Levi Eshkol, Perdana Menteri Israel

Moshe Dayan, Menteri Pertahanan Israel, Jenderal Israel


Abba Eban, Menteri Luar Negeri Israel

Lyndon B. Johnson, Presiden Amerika Serikat

Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat

Leonid Brezhnev, Pemimpin Soviet

Lihat pula[sunting]

Perang Arab-Israel 1948

Krisis Suez

Resolusi Khartoum

Perang Yom Kippur (Perang Arab-Israel 1973)

Insiden USS Liberty

Catatan kaki[sunting]

1. ^ Geoffrey Regan, hal.211

2. ^ Regan, hal.211

3. ^ Aksi serangan:

"Dalam serangan atas Mesir..." Israel dan Palestinians secara mendalam, 1967: Perang Enam Hari, situs BBC. URL

diakses pada tanggal 14 Mei 2006.

"Serangan besar-besaran atas Mesir." BBC pada hari ini, situs BBC. URL diakses pada tanggal 14 Mei 2006.

"Israel melancarkan serangan pada tanggal 5 Juni" Timur Tengah 101: Perang Enam Hari, situs BBC. URL diakses

pada tanggal 14 Mei 2006.

"Banyak sejarahwan sekarang setuju bahwa walaupun Israel beraksi lebih dulu, serangan ini adalah pertahanan

secara alami." Timur Tengah: Satu abad Konfik Bagian 4: Perang Enam Hari 1967, edisi pagi NPR, 3 Oktober 2002. URL diakses pada

tanggal 14 Mei2006.

"Serangan besar-besaran Israel yang mengalahkan kapasitas udara Arab." Perang Enam Hari, Funk & Wagnalls

Ensiklopedia Baru. 2006 Grup Edukasi World Almanacmelalui situs The History Channel, 2006, URL diakses pada tanggal 17

Februari 2007.
"Israel menghancurkan musuhnya hanya dalam waktu enam hari..." Country Briefings: Israel, Situs The Economist, 28

Juli 2005. URL diakses pada tanggal 15 Maret 2007.

"Pada awal perang enam hari tahun 1967, Israel, takut bahwa Mesir menyerang untuk menghancurkan Israel,

menghancurkan angkatan udara Mesir sebelum pilotnya melakukan serangan." Beraksi pertama, jelaskan dirimu sendiri nanti Michael

Elliott,Time, 1 Juli 2002. URL diakses pada tanggal 15 Maret 2007.

"situasinya mirip dengan krisis yang mendahului Perang Enam Hari tahun 1967, ketika Israel mengambil aksi

militer." Menunda dengan diplomasi, Marguerite Johnson, Time,18 Mei 1981. URL diakses pada tanggal 15 Maret 2007.

"Israel melakukan serangan melawan invasi Arab." Six-Day War, Encarta Answers, URL diakses pada tanggal 10

April 2007.

"Israel melakukan invasinya sendiri dengan kekuatannya sendiri pada tanggal 5 Juni1967." Perang Enam

Hari, Microsoft Ensiklopedia Online Encarta 2007. URL diakses pada tanggal 10 April 2007.

Aksi Mesir:

"Pada tahun 1967, Mesir memerintahkan pasukan PBB keluar dan menutup jalur kapal Israel yang menambah

ketegangan yang memang sudah besar antara Israel dengan tetangganya." Israel dan Palestina lebih menadlam, 1967: Perang Enam

Hari, situs BBC. URL diakses pada tanggal 14 Mei 2007.

"Pada bulan Juni tahun 1967, Mesir, Suriah dan Yordania mempersiapkan pasukan mereka di perbatasan Israel dalam

persiapan untuk sebuah serangan." Timur Tengah 101: Perang Enam Hari, situs CNN. URL diakses pada tanggal 14 Mei 2007.

"Nasser... menutup teluk Aqaba atas kapal Israel, memotong persediaan minyak bumi utama Israel. Ia meminta

pasukan penjaga peradamian PBB di Semenanjung Sinai untuk pergi. Ia lalu mengirim banyak tank dan ratusan pasukan ke Sinai.

Dunia Arab sangat tergila-gila mendukungnya." [http://www.npr.org/news/specials/mideast/history/transcripts/6day-p4.100302.html Timur

Tengah: Konflik berabad Bagian 4: Perang Enam Hari 1967, NPR edisi pagi, 3 Oktober 2002.. URL diakses pada tanggal 14 Mei 2007.

"Perang kembali terjadi tahun 1967, ketika Mesir, Suriah dan Yordania mempersiapkan pasukan untuk menantang

Israel." Country Briefings: Israel, situs The Economist. URL diakses pada tanggal 3 Maret 2007.

"Setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, beberapa negara Arab dan grup Palestina segera menyerang

Israel, hanya untuk dipukul mundur. Pada tahun 1956, Israel menaklukan Mesir pada saat krisis Suez. Presiden Mesir Gamal Abdel

Nasse

Anda mungkin juga menyukai