Anda di halaman 1dari 141

i

UNIVERSITAS INDONESIA

TATALAKSANA NUTRISI PENYAKIT KRITIS


PADA ANAK DENGAN PNEUMONIA BERAT

SERIAL KASUS

DIANA FELICIA SUGANDA


1106026791

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
DESEMBER 2013
i

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


i

UNIVERSITAS INDONESIA

TATALAKSANA NUTRISI PENYAKIT KRITIS


PADA ANAK DENGAN PNEUMONIA BERAT

SERIAL KASUS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik

DIANA FELICIA SUGANDA


1106026791

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
DESEMBER 2013
i

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Laporan Serial Kasus ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Diana Felicia Suganda

NPM : 1106026791

Tanda tangan:

Tanggal : 19 Desember 2013

ii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


iii

HALAMAN PENGESAHAN

Serial Kasus ini diajukan oleh :


Nama : Diana Felicia Suganda
NPM : 1106026791
Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Program Studi Ilmu Gizi Klinik
Judul Serial Kasus : Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan
Pneumonia Berat

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik pada Program Studi Ilmu Gizi Klinik, Program
Pendidikan Dokter Spesialis-1, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : DR. Dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK (....)

Penguji : DR. Dr. Johana Titus, MS, SpGK (..)

Penguji : Dr. Victor Tambunan, MS, SpGK (..)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 19 Desember 2013

iii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas perlindungan dan berkatMu selama
ini yang telah memberikan kesempatan, kekuatan dan ketabahan, sehingga
penyusunan laporan serial kasus ini dapat diselesaikan. Laporan serial kasus yang
berjudul Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan Pneumonia
Berat, disusun sebagai tugas akhir dalam menempuh Program Pendidikan Dokter
Spesialis Gizi Klinik di Departemen Ilmu Gizi FKUI-RSCM, Jakarta.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Sri Sukmaniah. MSc,
SpGK sebagai ketua program studi atas bimbingan dan motivasinya. Kepada
DR.Dr. Johana Titus, MS, SpGK sebagai sekretaris program studi atas kesabaran,
bimbingan dan motivasi yang tidak pernah putus.
Ucapan terima kasih tak terhingga saya ucapkan kepada DR.Dr. Fiastuti
Witjaksono, MSc, MS, SpGK selaku Ketua Departemen Ilmu Gizi dan sebagai
pembimbing akademik yang telah membimbing saya dengan penuh kesabaran
selama menempuh pendidikan ini. Terima kasih kepada seluruh dosen
pembimbing di RSCM dan rumah sakit jejaring di RSUD Tangerang, RS Sumber
Waras, dan RSAB Harapan Kita, atas bimbingan selama masa pendidikan.
Terima kasih kepada teman-teman peserta PPDS Ilmu Gizi Klinik FKUI-
RSCM angkatan kedua yang telah setia menemani dalam suka maupun duka,
melewati segala rintangan selama ini. Kepada semua rekan PPDS Ilmu Gizi
Klinik FKUI-RSCM terima kasih atas dukungannya, semoga persahabatan ini
tetap berlanjut dan semoga kita dapat memanfaatkan ilmu yang kita dapat untuk
kebaikan dan kemajuan bersama. Terima kasih kepada teman-teman dietisien
RSCM, RSUD Tangerang, RS Sumber Waras, dan RSAB Harapan Kita atas kerja
sama yang terjalin baik selama ini. Penghargaan tak terhingga kepada semua
pasien di seluruh rumah sakit pendidikan. Ucapan terima kasih kepada seluruh
karyawan Departemen Ilmu Gizi, atas bantuan dan dukungan selama
menyelesaikan pendidikan ini.

iv Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


v

Penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada


orangtua tercinta atas bantuan dan dukungan serta doa yang tak putus-putusnya
dipanjatkan. Kepada suami tercinta Dr. Brian Indra Gandhi, ucapan terima kasih
tak terhingga penulis sampaikan atas cinta kasih dan kesabarannya mendampingi,
memberikan dukungan moril dan materiil selama ini. Kepada dua putra tercinta,
Denzel Cristiano Gandhi dan Bradley Ignazio Gandhi, semoga kalian menjadi
manusia yang sukses di kemudian hari. Segenap keluarga besar, adik dan kakak
sekalian, yang dengan tulus ikhlas memberikan dorongan, dan senantiasa berdoa
untuk keberhasilan dalam pendidikan ini.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala
budi baik semua pihak yang telah membantu. Semoga karya tulis ini memberikan
manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 19 Desember 2013

Penulis

v Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :
Nama : Diana Felicia Suganda
NPM : 1106026791
Program Studi : Ilmu Gizi Klinik
Fakultas : Kedokteran
Jenis Karya : Serial Kasus

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan Pneumonia Berat

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Jakarta
Pada tanggal 19 Desember 2013
Yang menyatakan

(Diana Felicia Suganda)

vi Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


vii

ABSTRAK

Nama : Diana Felicia Suganda


Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Program Studi Ilmu Gizi Klinik
Judul : Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak
dengan Pneumonia Berat
Pembimbing : DR. Dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK

Tatalaksana nutrisi penyakit kritis pada anak dengan pneumonia berat mencakup
pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, manajemen cairan dan
elektrolit serta monitoring status gizi. Terapi nutrisi yang adekuat harus diberikan
pada anak sakit kritis yang dirawat intensif dengan tujuan meminimalkan efek
fase akut. Sekitar 15-20% anak masuk perawatan intensif sudah dalam kondisi
malnutrisi sebelumnya. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit
paru. Status nutrisi yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru pada pasien
yang bernapas spontan maupun yang menggunakan ventilator, karena status
nutrisi dapat mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan ventilasi, respon
terhadap hipoksia dan mekanisme pertahanan paru.
Pasien pada serial kasus ini mempunyai rentang usia 3-4,5 bulan.
Umumnya keluhan utama adalah sesak napas yang semakin berat, disertai dengan
tarikan dinding dada dan malas menyusu. Berkurangnya asupan menyebabkan
pasien mengalami masalah gizi sehingga perlu adanya dukungan nutrisi. Terapi
nutrisi diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien, yang dihitung
dengan rumus Schofield atau rumus White jika menggunakan ventilator,
kemudian dikalikan faktor stres dan pemberiannya dimulai dari 80% kebutuhan
energi basal, yang secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai kebutuhan total.
Kebutuhan protein dan lemak disesuaikan dengan kondisi sakit kritis. Pemantauan
terapi nutrisi dilakukan pada delapan hingga sebelas hari. Pemantauan mencakup
tanda klinis, toleransi asupan makanan, kapasitas fungsional, balans cairan,
parameter laboratorium dan antropometri.
Selama pemantauan didapatkan bahwa sebagian besar pasien dapat
mencapai kebutuhan energi total pada hari keenam hingga delapan pemantauan.
Pemberian nutrisi pada pasien sakit kritis bersifat individual dan mencakup semua
aspek. Dengan tatalaksana nutrisi yang baik, diharapkan kualitas hidup pasien
pneumonia berat dengan berbagai penyakit penyerta akan lebih baik.

Kata kunci : sakit kritis, pneumonia berat, anak, tatalaksana nutrisi

vii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


viii

ABSTRACT

Name : Diana Felicia Suganda


Study Programme : Study Programme of Clinical Nutrition Specialist,
Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
Title : Nutritional Management in Critically Ill Children with
Severe Pneumonia
Counselor : DR. Dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK

Nutrition therapy in critically ill children with severe pneumonia includes the
provision of macronutrient, micronutrient, specific nutrition, fluid and electrolyte
management and nutrition status monitoring. Adequate nutrition therapy should
be given in critically ill children in the intensive care to minimize acute phase
effect. Approximately 15-20% children admitted to the intensive care already in
malnutrition state. Malnutrition is common in patients with pulmonary disease.
Altered nutrition status can effect pulmonary function in spontaneous breathing or
in mechanically ventilator dependent patient, because nutritional status can affect
muscle function, ventilatory drive, hypoxia response and pulmonary defense
mechanism.
Patients in this case series have an age range from 3 to 4.5 months. Their
chief complaints were dyspnoe (difficulty in breathing) with chest retraction and
lack of breastfeed. Reduce intake caused patient prone to nutritional problem.
Nutritional support is given according to each patients requirement, which is
calculated with Schofield equation or White equation if the patient on ventilator,
using stress factor and the administration starts with 80% basal energy
expenditure, which gradually increased to reach the total energy expenditure.
Protein and lipid requirement is calculated based on critically ill state. Patients
monitoring performed on eight to eleven days. Patients clinical signs, food intake
tolerance, functional capacity, fluid balance, laboratory and anthropometric
parameter were taken.
During the monitoring it was found that most patients can achieve total
energy requirement on day six to eight monitoring. Nutrition in critically ill
patients is individualized and includes all aspects. With the management of good
nutrition, expected quality of life of patients with severe pneumonia various
comorbidities would be better.

Key word : critically ill, severe pneumonia, children, nutritional management

viii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
HALAMAN PENGESAHAN . iii
KATA PENGANTAR . iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................ vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR .. xii
DAFTAR SINGKATAN . xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1. PENDAHULUAN .. 1
1.1. Latar Belakang . 1
1.2. Tujuan 3
1.2.1. Tujuan umum . 3
1.2.2. Tujuan khusus . 3
1.3. Manfaat Penulisan 3

2. TINJAUAN PUSTAKA .. 5
2.1. Embriologi Paru 5
2.2. Anatomi Paru 5
2.3. Fisiologi Paru. 6
2.4. Metabolisme Paru dalam Kondisi Normal .. 8
2.5. Pneumonia 9
2.5.1. Definisi 9
2.5.2. Epidemiologi 10
2.5.3. Etiologi . 11
2.5.4. Faktor Risiko 12
2.5.5. Patogenesis dan Patofisiologi 13
2.5.5.1. Pneumonia Bakterial 14
2.5.5.2. Pneumonia Atipik 15
2.5.5.3. Pneumonia Neonatus .. 16
2.5.6. Diagnosis .. 16
2.5.7. Pneumonia berat . 20
2.5.8. Terapi 21.
2.5.9. Pencegahan 23
2.6. Sindrom Distres Pernapasan Akut (Acute Respiratory Distress
Syndrome, ARDS) .................................................................. 24
2.7. Pengaruh Malnutrisi pada Penyakit Paru . 25
2.8. Perubahan Metabolisme pada Sakit Kritis (Critically Ill) 27
2.8.1. Perubahan Metabolisme Karbohidrat .. 29
2.8.2. Perubahan Metabolisme Protein .. 30

ix Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


x

2.8.3. Perubahan Metabolisme Lemak 31


2.9. Terapi Nutrisi pada Anak Sakit Kritis dengan Penyakit Paru .. 32
2.9.1. Penilaian Status Nutrisi pada Anak .. 33
2.9.2. Tatalaksana Nutrisi ... 35
2.9.3. Kebutuhan Makronutrien . 37
2.9.3.1. Kebutuhan Energi .. 37
2.9.3.2. Kebutuhan Protein .... 40
2.9.3.3. Kebutuhan Karbohidrat .. 41
2.9.3.4. Kebutuhan Lemak .. 42
2.9.3.5. Kebutuhan Cairan .. 44.
2.9.4. Kebutuhan Mikronutrien dan Imunonutrisi . 45
2.9.5. Pemilihan Jalur Pemberian .. 46
2.9.6. Monitoring Status Nutrisi pada Anak Sakit Kritis 49

3. KASUS
3.1. Kasus 1 Pneumonia berat, suspek hernia diafragmatika, ARDS,
gizi kurang ...................................................................................... 50
3.2. Kasus 2 Pneumonia berat, VSD, kardiomegali, hernia skrotalis
dekstra, ARDS, gizi baik, stunted ............ 57
3.3. Kasus 3 dengan Pneumonia berat, HRB (Hiperreaktif bronkus),
suspek PJB sianotik, dekstrokardia, gizi baik....... 62.
3.4. Kasus 4 dengan Pneumonia berat, laringomalasia, gizi buruk 67

4. PEMBAHASAN . 72
5. KESIMPULAN DAN SARAN 89

DAFTAR REFERENSI . 92
LAMPIRAN .. 100

x Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Patogen Penyebab Pneumonia Anak Berdasarkan Usia .. 12


Tabel 2.2. Faktor Risiko Pneumonia .. 13
Tabel 2.3. Kriteria takipnea menurut WHO .. 18
Tabel 2.4. Gejala Klinis Pneumonia pada Anak 18
Tabel 2.5. Klasifikasi WHO pada penyakit pernapasan akut
dengan gejala batuk atau sulit bernapas..... 20
Tabel 2.6. Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat jalan ..... 21
Tabel 2.7. Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat inap ...... 22
Tabel 2.8. Respons fase terhadap stres ...... 28
Tabel 2.9. Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada
anak usia 0-3 tahun ........... 37
Tabel 2.10. Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada
Anak usia 3-10 tahun .... 38
Tabel 2.11. Menentukan faktor aktivitas dan faktor stres ....... 38
Tabel 2.12. Derajat stres berdasarkan penyakit ....... 39
Tabel 2.13. Perhitungan kebutuhan cairan pada anak ........ 45
Tabel 4.1. Karakteristik pasien... 72
Tabel 4.2. Komposisi energi dan makronutrien dalam ASI matur ... 77
Tabel 4.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan
Pertumbuhan pada pasien PJB ...... 81

xi Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi paru .... 6


Gambar 2.2. Pertukaran udara di dalam paru ....... 9
Gambar 2.3. Proporsi penyebab kematian pada usia 1-4 tahun di
Indonesia ...... 11
Gambar 2.4. Respons metabolik saat stres ....... 29
Gambar 3.1. Analisis asupan sebelum sakit dan 4 jam terakhir kasus 1... 53
Gambar 3.2. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 1 .. 55
Gambar 3.3. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 1 .... 56
Gambar 3.4. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 1 .. 57
Gambar 3.5. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 2 59
Gambar 3.6. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 2 . 60
Gambar 3.7. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 2 .... 61
Gambar 3.8. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 2 ... 62
Gambar 3.9. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 3 64
Gambar 3.10. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 3 65
Gambar 3.11. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 3 .... 66
Gambar 3.12. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 3.... 67
Gambar 3.13. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 4 69
Gambar 3.14. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 4 .. 70
Gambar 3.15. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 4 .... 71
Gambar 3.16. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 4 . 72

xii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


xiii

DAFTAR SINGKATAN

ALI : acute lung injury


ALP : alkali fosfatase
ARDS : acute respiratory distress syndrome
ASPEN : American Society for Parenteral and Enteral Nutrition
BB : berat badan
BB/TB : berat badan menurut tinggi badan
BB/U : berat badan menurut umur
BBI : berat badan ideal
BMR : basal metabolic rate
CDC : Centres for Disease Control and Prevention
CO2 : carbon dioxide
CRP : C-reactive protein
DIT : diet induced thermogenesis
DRI : Dietary Reference Intake
EPA : eicosapentaenoic acid
GGT : gamma glutamyl transferase
GLA : gamma linolenic acid
Hib : Haemophillus influenzae
ICU : intensive care unit
IMT : indeks massa tubuh
IVFE : intravenous fat emulsion
LCT : long-chain triglyceride
LLA : lingkar lengan atas
NEC : necrotizing enterocolitis
NRS : Nutrition Risk Score
P25 : persentil 25
P3 : persentil 3
PB : panjang badan

xiii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


xiv

PCO2 : pressure of carbon dioxide


PICU : pediatric intensive care unit
PJB : penyakit jantung bawaan
PNRS : Pediatric Nutrition Risk Score
PO2 : pressure of oxygen
PYMS : Pediatric Yorkhill Malnutrition Score
RDA : Recommended Dietary Allowance
REE : resting energy expenditure
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
RQ : respiratory quotient
RSV : respiratory syncytial virus
SCCM : Society of Critical Care Medicine
SGNA : Subjective Global Nutritional Assessment
SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga
STAMP : Screening Tool for the Assessment of Malnutrition in Paediatrics
STRONG : Screening Tool for Risk of Impaired Nutritional Status and Growth
TB : tinggi badan
TB/U : tinggi badan menurut umur
VSD : ventricle septal defect
WHO : World Health Organization

xiv Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pemantauan Pasien Kasus 1........................................... 100


Lampiran 2. Pemantauan Pasien Kasus 2............................................ 104
Lampiran 3. Pemantauan Pasien Kasus 3........................................... 108
Lampiran 4. Pemantauan Pasien Kasus 4........................................... 112
Lampiran 5. Kurva pertumbuhan bayi prematur Babson Benda........ 116
Lampiran 6. Formulir Skrining STRONG.......................................... 117
Lampiran 7. Formulir Skrining PYMS.............................................. 119

xv Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.1
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada balita di dunia.2
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan tahun
1992, 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa pneumonia mempunyai kontribusi
besar bagi kematian bayi dan anak di Indonesia.3 Pada Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, pneumonia menduduki tempat ke-2 sebagai penyebab
kematian bayi dan balita setelah diare dan tempat ke-3 sebagai penyebab kematian
neonatus.4 World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens
pneumonia anak dan balita di negara berkembang adalah 0,29 episode per anak-
tahun atau 151,8 juta kasus pneumonia/ tahun, sejumlah 8,7% (13,1 juta) di
antaranya merupakan pneumonia berat dan perlu rawat intensif.2
Pneumonia berat ditandai dengan batuk atau (juga disertai) kesukaran
bernapas, napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam pada
bayi usia 2 bulan sampai anak usia kurang dari 5 tahun. Pada kelompok usia ini
dikenal juga pneumonia sangat berat dengan gejala batuk, kesukaran bernapas
disertai gejala sianosis sentral dan tidak dapat minum. Pada anak di bawah 2
bulan, pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali
per menit atau lebih atau (juga disertai) penarikan kuat pada dinding dada sebelah
bawah.5
Pasien dengan pneumonia berat sering mengalami gagal napas akut yang
membutuhkan ventilasi mekanik invasif ataupun noninvasif, sehingga merupakan
indikasi perawatan di intensive care unit (ICU).6 Pneumonia berat yang dirawat di
ICU menjadi perhatian khusus karena tingginya angka mortalitas dan
morbiditasnya.7 Sebaliknya pasien sakit kritis yang dirawat di ICU dapat
berkembang menjadi menderita pneumonia berat.8 Pasien tersebut harus mendapat

1 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


2

perawatan segera secara tepat dalam mengendalikan proses inflamasi dan


mencegah disfungsi multi organ.9
Terapi nutrisi yang adekuat harus diberikan pada anak sakit kritis yang
dirawat di ICU dengan tujuan meminimalkan efek fase akut. Sekitar 15-20% anak
masuk ICU sudah dalam kondisi malnutrisi sebelumnya.10 Malnutrisi
berhubungan dengan deplesi cadangan protein dan lemak, penurunan imunitas,
peningkatan risiko infeksi, penyembuhan luka yang buruk dan peningkatan
morbiditas serta mortalitas.11
Proses stres katabolik yang berkelanjutan pada anak dengan cadangan
tubuh yang lebih sedikit, kebutuhan energi dasar lebih tinggi atau dengan
malnutrisi akan mengakibatkan dampak yang lebih berat, sehingga tujuan
dukungan nutrisi yang kedua adalah memberikan asupan protein yang adekuat
untuk menghasilkan imbang protein yang positif dan untuk memelihara jaringan
otot. Pada akhirnya terapi nutrisi harus dapat mendukung proses anabolisme dan
pertumbuhan pada fase pemulihan sakit kritis.12
Terapi nutrisi merupakan aspek penting dari perawatan anak sakit kritis
yang dirawat intensif. Pemberian nutrisi yang adekuat pada fase akut penyakit
berat dapat memperbaiki akibat buruk yang dapat terjadi akibat kurang gizi,
terutama pada anak usia di bawah 2 tahun yang mempunyai risiko mengalami
gangguan gizi dan gangguan pertumbuhan otak yang tumbuh cepat pada usia ini.12
Serial kasus ini disusun sebagai pembahasan tata laksana nutrisi
menyeluruh pada anak dalam periode sakit kritis yang mencakup pemberian
makronutrien, mikronutrien dan nutrien spesifik, pengaturan cairan, serta
monitoring status gizi.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


3

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan umum
Penyusunan serial kasus ini bertujuan untuk membahas tatalaksana nutrisi
pada kondisi sakit kritis terutama pada anak dengan pneumonia berat, yang
mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, manajemen
cairan dan elektrolit serta monitoring status gizi.

1.2.2. Tujuan khusus


1. Mengetahui karakteristik pasien anak dengan pneumonia berat yang
dirawat intensif.
2. Mengetahui perubahan fisiologi, dan metabolisme zat gizi pada kasus anak
dengan sakit kritis.
3. Mengetahui kebutuhan energi, makronutrien, mikronutrien serta komposisi
makronutrien pada anak dengan sakit kritis.
4. Menilai kondisi klinis, riwayat asupan, antropometri, laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis status gizi, status metabolik,
fungsi saluran cerna, status hidrasi, dan status asam basa pada anak dengan
sakit kritis.
5. Melakukan terapi gizi pada anak sakit kritis dengan pneumonia berat yang
disertai berbagai komorbid.

1.3. Manfaat Penulisan


1. Manfaat bagi pasien
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien, mempertahankan bahkan meningkatkan status
nutrisi pasien pneumonia berat yang dirawat intensif dengan tatalaksana
nutrisi yang optimal, keluarga pasien memperoleh informasi, pengetahuan
dan edukasi tatalaksana nutrisi sesuai kondisi pasien.
2. Manfaat bagi institusi
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber tambahan
informasi dalam memberikan terapi nutrisi yang optimal kondisi sakit
kritis pada anak dengan pneumonia berat.
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


4

3. Manfaat bagi penulis


Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa pendidikan
spesialis, serta sebagai sarana pelatihan dalam menyusun tata laksana
nutrisi.
4. Manfaat bagi masyarakat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang pneumonia berat dan khususnya dalam kondisi sakit
kritis.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Paru


Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
Pembentukan paru dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut.
Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian proksimal foregut membagi diri
menjadi dua, yaitu esofagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea
akan bergabung dengan primary lung bud yang merupakan cikal bakal bronkus
dan cabang-cabangnya.13
Bronchial tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan
alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga
anak berumur 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah besar sesuai dengan
perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan
paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan somatik berhenti.
Saluran napas (tracheobronchial tree) berfungsi sebagai suatu saluran udara yang
mengalir dari dan ke alveolar-capillary complexes. Saluran napas terdiri atas
trakea dan bronkus utama kanan dan kiri serta cabang-cabangnya, dengan cara
membagi diri secara dikotomi. Cabang bronkus ini dikenal sebagai bronkus
lobaris, segmental, subsegmental, hingga cabang bronkus yang lebih kecil lagi dan
cabang ini berakhir pada bronkiolus. Selanjutnya bagian distal bronkus terdiri atas
bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakus alveolaris. Bagian distal
saluran napas ini bersama-sama dengan sistem pembuluh darah membentuk satu
unit yang disebut alveolar-capillary complexes.13

2.2. Anatomi Paru


Paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan berisi udara yang terletak
di rongga toraks. Paru terdiri dari susunan bronkus, bronkiolus, bronkiolus
respiratorik, alveoli, pembuluh darah, saraf dan sistem limfatik. Paru merupakan

5 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


6

alat pernapasan utama yang merupakan dua organ berbentuk kerucut dengan
apeks diatas dan sedikit lebih tinggi dari klavikula.14
Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura. Paru kanan terbagi
menjadi 3 lobus dan paru kiri terbagi menjadi 2 lobus. Paru mempunnyai hillus
paru yang dibentuk oleh arteri pulmonalis, vena pulmonalis, bronkus, arteri
bronkialis, vena bronkialis, pembuluh limfe, dan saraf. Paru dilapisi oleh lapisan
tipis yang disebut pleura. Pleura terdiri dari pleura viseralis yang melekat pada
paru dan pleura parietalis yang melapisi sternum, diafragma dan mediastinum.
Ruang diantar kedua pleura tersebut dinamakan rongga pleura, berisi cairan pleura
yang memungkinkan paru untuk berkembang dan berkontraksi tanpa gesekan.15

Gambar 2.1. Anatomi Paru


Sumber : daftar referensi no 16

2.3. Fisiologi Paru


Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan dapat dibagi
menjadi empat peristiwa fungsional utama yaitu (1) ventilasi paru, yang berarti
masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru, (2) difusi oksigen
dan karbondioksida antara alveoli dan darah, (3) transpor oksiden dan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


7

karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel, dan (4) pengaturan
ventilasi dan hal lain dari pernapasan.17
Paru dapat dikembang kempiskan melalui dua cara yaitu diafragma
bergerak turun naik untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada, dan
depresi elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter
anteroposterior rongga dada. Pernapasan normal dan tenang dapat dicapai dengan
hampir sempurna melalui metode pertama yaitu melalui gerakan diafragma. Saat
inspirasi kontraksi diafragma menarik permukaan paru ke arah bawah, dan saat
ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi dan sifat elastis daya lenting paru
(elastic recoil) dinding dada, dan struktur abdominal akan menekan paru. Selama
bernapas kuat, daya elastis tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan
ekspirasi cepat yang diperlukan, sehingga diperlukan tenaga ekstra dari otot-otot
abdominal yang mendorong isi abdomen keatas melawan dasar diafragma. 17
Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat
rangka iga. Pengembangan paru dapat terjadi karena saat posisi istirahat iga
miring kebawah, sternum turun ke belakang kearah kolumna vertebralis. Tetapi
bila rangka iga dielevasikan, tulang iga langsung maju sehingga sternum sekarang
bergerak ke depan menjauhi spinal, membentuk jarak anteroposterior dada kira-
kira 20% lebih besar selama inspirasi maksimum dibandingkan selama ekspirasi.
Oleh karena itu, otot-otot yang mengelevasikan rangka dada dapat
diklassifikasikan sebagai otot ekspirasi.17
Paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon dan
mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Tidak terdapat perlekatan antara paru dan
dinding dada kecuali pada bagian dimana paru tergantung pada hilum dari
mediastinumnya. Paru sebetulnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi
lapisan tipis pleura dengan cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru
di dalam rongga. Selanjutnya cairan yang berlebihan akan diisap kedalam saluran
limfatik.17
Selama pernapasan normal dan tenang, hanya 3 sampai 5 % dari energi
total yang dikeluarkan tubuh dipakai pada proses ventilasi paru. Selama latihan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


8

yang berat jumlah energi yang dibutukan dapat meningkat hingga 50 kali lipat,
terutama bila orang tersebut mengalami peningkatan resistensi jalan napas atau
penurunan compliance paru.17

2.4. Metabolisme Paru dalam Kondisi Normal


Gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cara difusi,
pergerakan ini disebabkan oleh perbedaan tekanan dari tempat pertama ke tempat
yang lain. Dengan demikian, oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler
paru karena tekanan oksigen (pressure of oxygen/PO2) dalam alveoli lebih besar
daripada PO2 dalam darah paru. Kemudian di dalam jaringan, PO2 yang sangat
tinggi dalam darah kapiler menyebabkan oksigen berdifusi ke dalam sel.
Sebaliknya bila oksigen dimetabolisme dalam sel untuk membentuk
karbondioksida, tekanan karbondioksida (pressure of carbon dioxide/PCO2)
meningkat ke nilai yang tinggi sehingga karbondioksida berdifusi ke dalam
kapiler jaringan. Demikian pula karbondioksida berdifusi ke luar dari darah masuk
ke dalam alveoli karena PCO2 dalam darah kapiler paru lebih besar daripada
dalam alveoli.17
Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen
terutama ditranspor kedalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler
jaringan, dimana oksigen akan dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya
hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah untuk mengangkut
30-100 kali jumlah oksigen yang dapat ditranspor dalam bentuk oksigen terlarut
di dalam cairan darah (plasma).17
Oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk
sejumlah besar karbondioksida di dalam sel jaringan. Karbondioksida ini masuk
ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru. Karbondioksida seperti
oksigen juga bergabung dengan bahan-bahan kimia dalam darah yang
meningkatkan transportasi karbondioksida 15-20 kali lipat.17
Pada keadaan normal kira-kira 97% oksigen yang ditranspor dari paru ke
jaringan dibawa dalam campuran kimiawi dalam hemoglobin dalam sel darah
merah. Tiga persen sisanya dibawa dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma dan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


9

sel. Dengan demikian pada keadaan normal, oksigen dibawa ke jaringan hampir
seluruhnya oleh hemoglobin. Molekul oksigen bergabung secara longgar dan
reversibel dengan bagian heme dari hemoglobin. Bila PO2 tinggi seperti dalam
kapiler paru, oksigen akan berikatan dengan hemoglobin, tetapi bila PO 2 rendah
misalnya dalam kapiler jaringan, oksigen dilepaskan dari hemoglobin. 17 Gambar
pertukaran udara di dalam paru dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 2.2. Pertukaran udara di dalam paru


Sumber : daftar referensi no 18

Darah orang normal mengandung sekitar 15 gram hemoglobin dalam setiap 100
ml darah, dan tiap gram hemoglobin dapat berikatan dengan maksimal 1,34 ml
oksigen. Oleh karena itu rata-rata hemoglobin dalam 100 ml darah dapat
bergabung dengan total hampir 20 ml oksigen bila tingkat kejenuhannya 100
persen.17

2.5. Pneumonia
2.5.1. Definisi
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. 1
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


10

Pneumonia pada anak tidak sama dengan pneumonia pada dewasa. Pneumonia
pada anak merupakan masalah yang umum dan menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di dunia. Terjadinya pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut
bronkopneumonia.1,19
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang
terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun (anak dan balita).
Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun,
mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta anak
dan balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang. Oleh
karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak nomor 1 (the number one
killer of children). Di negara berkembang pneumonia merupakan penyakit yang
terabaikan (the neglected disease) atau penyakit yang terlupakan (the forgotten
disease) karena begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia namun
sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia. 2

2.5.2. Epidemiologi
Pneumonia adalah penyakit infeksi menular yang merupakan penyebab utama
kematian pada balita di dunia. Di seluruh dunia terjadi 1,6 sampai 2,2 juta
kematian anak dan balita karena pneumonia setiap tahun, sebagian besar terjadi di
negara berkembang, 70% terdapat di Afrika dan Asia Tenggara. Pada tahun 2005
WHO melaporkan proporsi penyebab kematian anak dan balita di negara
berkembang adalah pneumonia 19%, diare 17%, malaria 8% dan campak 4%.
Disamping itu terdapat 37% penyebab kematian pada neonatus, 26% di antaranya
disebabkan oleh infeksi berat yaitu sepsis, meningitis dan pneumonia yang secara
klinis sukar dibedakan satu sama lain. Data di atas menunjukkan bahwa
pneumonia berkontribusi besar sebagai penyebab kematian anak dan balita.
Penurunan angka kematian pneumonia anak dan balita menyebabkan penurunan
angka kematian anak dan balita keseluruhan.2
Data dari WHO memperkirakan insidens pneumonia anak dan balita di
negara berkembang adalah 0,29 episode per anak/tahun atau 151,8 juta kasus

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


11

pneumonia/tahun, 8,7% (13, 1 juta) di antaranya merupakan pneumonia berat dan


perlu rawat intensif. Di negara maju terdapat 4 juta kasus setiap tahun hingga total
di seluruh dunia ada 156 juta kasus pneumonia anak dan balita setiap tahun.2
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan tahun
1992, 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa pneumonia mempunyai kontribusi
besar terhadap kematian bayi dan anak di Indonesia.3 Sedangkan pada penelitian
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, pneumonia menduduki tempat ke-
2 sebagai penyebab kematian bayi dan balita setelah diare dan menduduki tempat
ke-3 sebagai penyebab kematian pada neonatus.4

Gambar 2.3. Proporsi Penyebab Kematian pada Usia 1-4 tahun di Indonesia
Sumber : daftar referensi no 4

2.5.3. Etiologi
Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil oleh hal lain seperti bahan kimia (hidrokarbon, lipoid
substances)/benda asing yang teraspirasi.20 Pola kuman penyebab pneumonia
biasanya sesuai dengan distribusi umur penderita. Sebagian besar kasus
penyebabnya adalah virus, yang tersering yaitu Respiratory Syncytial Virus
(RSV), virus Parainfluenza, virus Influenza dan Adenovirus. Penyebab berikutnya
adalah bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza,

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


12

Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik Chlamydia dan


Mycoplasma.21
Pada masa neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes
merupakan penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak
pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain
itu Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada
pneumonia bakterial. Pada anak usia diatas 5 tahun penyebab yang paling sering
yaitu Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae.20,22,23 Penyebab
pneumonia pada anak dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.

Tabel 2.1. Patogen Penyebab Pneumonia pada Anak Berdasarkan Usia


Usia Patogen Keterangan
3 minggu-3 bulan Chlamydia trachomatis Transmisi vertikal, afebris, infiltrat
interstisial pada foto toraks
Respiratory syncytial virus Paling sering bronkiolitis dengan mengi,
(RSV) fokal pneumonia
Parainfluenza Bronkiolitis atau pneumonia
Streptococcus pneumoniae Bakteri penyebab pneumonia tersering
Bordetella pertussis Trakeobronkitis dengan batuk
paroksismal berat, tidak demam
Pneumonia biasanyaterdapat aspirasi
3 bulan-4 tahun RSV, parainfluenza, Penyebab utama pneumonia pada balita
human metapneumovirus, adalah virus
influenza, rhinovirus
Streptococcus pneumoniae Penyebab utama pada kelompok ini
Mycoplasma pneumoniae Dapat terjadi pada semua usia
Insidensi meningkat menjelang usia
sekolah
5 tahun-remaja Mycoplasma pneumoniae Penyebab tersering pada usia sekolah-
remaja
Chlamydophilia pneumoniae Gejala klinis serupa Mycoplasma
Streptococcus pnuemoniae Komplikasi seperti empiema sering terjadi
Mycobacterium tuberculosis Terutama terjadi di daerah prevalensi
tinggi tuberkulosis
Risiko tinggi pada masa pubertas dan
kehamilan

Sumber : daftar referensi no 24

2.5.4. Faktor Risiko


Rudan, dkk 2008 melaporkan 3 kelompok faktor risiko yang mempengaruhi
insidens pneumonia pada anak. Faktor risiko tersebut adalah faktor risiko yang
selalu ada (definite risk factors), faktor risiko yang sangat mungkin (likely risk
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


13

factors), dan faktor risiko yang masih mungkin (possible risk factors). Faktor
risiko yang selalu ada (definite risk factors) meliputi gizi kurang, berat badan
lahir rendah, tidak ada/tidak memberikan ASI, polusi udara dalam-ruang, dan
pemukiman padat. Faktor risiko ini seharusnya diperhatikan secara serius dan
perlu intervensi-segera agar penurunan insidens pneumonia berdampak signifikan
pada penurunan angka kematian anak balita.2 Faktor risiko tersebut dapat dilihat
pada tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2. Faktor Risiko Pneumonia


Faktor Risiko yang selalu ada
Malnutrisi (z score BB/U <-2)
Berat Badan Lahir Rendah (<2500 g)
ASI non eksklusif (4 bulan pertama kehidupan)
Tidak/belum imunisasi campak
(dalam 12 bulan pertama kehidupan)
Polusi udara dalam ruang
Pemukiman padat
Faktor Risiko yang sangat mungkin
Orangtua perokok
Defisiensi Seng
Pengalaman ibu sebagai pengasuh
Penyakit penyerta (diare, penyakit jantung, asma)
Faktor Risiko yang masih mungkin
Tingkat pendidikan ibu
Curah hujan
Ketinggian daerah tempat tinggal
Defisiensi Vitamin A
Polusi udara luar
Urutan kelahiran

Sumber : daftar referensi no 25

2.5.5. Patogenesis dan Patofisiologi


Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari saluran napas atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat
sekunder dari viremia/bakteremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen.
Dalam keadaan normal saluran napas bawah mulai dari sublaring hingga unit
terminal adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme
termasuk barier anatomi dan barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal
maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel
di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


14

melalui refleks batuk, pembersihan kearah kranial oleh mukosilier. Sistem respon
pertahanan tubuh yang terlibat adalah sekresi lokal imunoglobulin A maupun
respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
alveolar makrofag, dan cell mediated immunity.21
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami
gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran napas bagian bawah.
Inokulasi patogen penyebab pada saluran napas menimbulkan respon inflamasi
akut pada pejamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebab. Virus akan
menginvasi saluran napas kecil dan alveoli, bersifat patchy dan mengenai banyak
lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan
akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel
mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah sel PMN akan
didapatkan dalam saluran napas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya
sejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran
napas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total.26,27
Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa
yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi di dalam alveoli
ini juga seperti yang terjadi pada ruang interstitial yang terdiri dari sel-sel
mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya denudasi
(pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke
interstitial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak
merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya
barier mukosa. 26,27

2.5.5.1. Pneumonia Bakterial


S. pneumoniae merupakan bakteri penyebab utama pneumonia pada anak.
Pneumokokus dapat masuk ke paru melalui aspirasi atau inhalasi. Mereka akan
terperangkap dalam bronkiolus, berproliferasi dan memulai proses inflamasi pada
ruang alveolar dan mengeluarkan cairan kaya protein. Cairan tersebut menjadi
media kultur bagi bakteri dan membantu menyebarkan bakteri ke alveoli sekitar,
biasanya menghasilkan pneumonia lobaris. Pada beberapa kasus, bakteremia

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


15

dapat menjadi hematogen ke seluruh paru dan berkembang menjadi pneumonia.


Mekanisme ini biasanya terjadi pada Staphylococcus aureus.28
Komplikasi pneumonia dapat terjadi melalui berbagai mekanisme.
Pertama progresivitas penyakit dapat berkembang menjadi replikasi bakteri
subpleura, cidera endotel, deposisi fibrin, perfusi paru yang terganggu
(menyebabkan nekrosis) dan penyebaran infeksi seperti empiema, fistula
bronkopleura. Mekanisme kedua yaitu saat leukosit mengontrol multiplikasi
bakteri, bakteri yang mati melepaskan dinding sel dan komponen lain, pada
beberapa kasus terjadi gagal napas. Mekanisme ketiga yaitu bakteremia dapat
menyebabkan infeksi metastasis (endokarditis, meningitis) dan disfungsi organ.
Mortalitas dapat terjadi akibat sekuele dari bakteremia, meskipun hal ini jarang
terjadi.28

2.5.5.2. Pneumonia Atipik


Organisme seperti M. pneumonia dan Chlamydophila pneumoniae masuk ke
saluran napas melalui droplet aerosol yang menyebar melalui kontak erat.
Penempelan spesifik pada jaringan epitel saluran napas terjadi akibat interaksi
antara host reseptor sel epitel dengan protein organisme penempel. Setelah terjadi
penempelan, terjadi sintesis radikal hidrogen peroksida dan superoksida oleh
patogen atipik tersebut, menginduksi stres oksidatif pada epitel saluran napas.28
Pada saluran napas bawah, organisme diopsonisasi oleh komplemen atau
antibodi. Makrofag yang teraktivasi memulai proses fagositosis dan terjadi
migrasi kemotaksis pada tempat infeksi. Terjadi infiltrasi CD4, limfosit T,
limfosit B, dan sel plasma pada paru. Proses berikutnya yang terjadi adalah
proliferasi limfosit, produksi imunoglobulin, pelepasan TNF , interferon dan
berbagai interleukin. Aktivasi limfosit dan produksi sitokin dapat merangsang
mekanisme pertahanan pejamu atau dapat juga mengeksaserbasi penyakit dengan
merangsang cidera paru yang dimediasi imun.28
Komplikasi ekstrapulmoner dari infeksi M. pneumoniae dapat terjadi
sebagai konsekuensi dari cidera yang dimediasi imun atau oleh invasi langsung.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


16

Efek dari reaksi silang antibodi merupakan mekanisme untuk terjadinya hemolisis
dan manifestasi kutaneus.28

2.5.5.3. Pneumonia Neonatus


Pneumonia neonatus dapat terjadi melalui tiga cara yaitu kongenital, selama
proses kelahiran dan setelah lahir. Penyebab pneumonia kongenital antara lain
Toxoplasma gondii, rubella, virus Herpes Simpleks, mumps, adenovirus, Listeria
monocytogenes, dan Myobacterium tuberculosis. Penyebab pneumonia selama
proses kelahiran yaitu Streptokokus Grup B. Chlamydia trachomatis didapatkan
selama kelahiran melalui jalur kelahiran yang terinfeksi, meskipun ada kasus yang
terjadi pada bayi yang dilahirkan secara sectio caesarea setelah ruptur membran
yang memanjang. Pneumonia berkembang pada 5-20% bayi yang lahir dari ibu
yang terinfeksi C. trachomatis.28

2.5.6. Diagnosis
Diagnosis pneumonia utamanya berdasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan
foto thoraks dan laboratorium perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping
itu untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat.29 Sebagian besar
gambaran klinis pneumonia anak-balita berkisar antara ringan sampai sedang
hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil berupa penyakit berat
mengancam kehidupan dan perlu rawat inap. Secara umum gambaran klinis
pneumonia diklasifikasi menjadi 2 kelompok. Pertama, gejala umum misalnya
demam, sakit kepala, malaise, nafsu makan kurang, gejala gastrointestinal seperti
mual, muntah dan diare. Kedua, gejala respiratorik seperti batuk, napas cepat
(takipnea/fast breathing), napas sesak (retraksi dada/chest indrawing), napas
cuping hidung, air hunger dan sianosis. Hipoksia merupakan tanda klinis
pneumonia berat. Anak pneumonia dengan hipoksemia 5 kali lebih sering
meninggal dibandingkan dengan pneumonia tanpa hipoksemia.2
Gejala klinis pneumonia bervariasi tergantung pada kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa
berat yaitu sesak, sianosis, dan mungkin juga tidak terlihat jelas gejalanya seperti

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


17

pada neonatus. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal


seperti muntah, kembung, diare atau sakit perut.21
Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal demam dan batuk pilek, gejala napas cuping
hidung, takipnea, dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu interkostal dan
abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi
pada neonatus bisa tanpa batuk. Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak
dengan penumonia viral atau mikoplasma, seperti yang ditemukan pada anak-anak
dengan asma atau bronkiolitis.21,30
Peradangan pada pleura dapat ditemukan pada pneumonia yang
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang
ditandai dengan adanya nyeri dada pada daerah yang terkena. Nyeri dapat berat
dan membatasi gerakan dinding dada selama inspirasi, kadang-kadang menyebar
ke leher dan perut.21
Gejala ekstrapulmonal dapat ditemukan pada beberapa kasus. Abses pada
kulit atau jaringan lunak seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena
Staphylococcus aureus. Otitis media, konjungtivitis, sinusitis dapat ditemukan
pada kasus infeksi karena Streptococcus pneumoniae atau Haemophillus
influenzae. Sedangkan epiglotitis dan meningitis khususnya dikaitkan dengan
penumonia oleh Haemophillus influenzae.21 Frekuensi napas merupakan indikator
paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk
mendukung diagnosis dan memantau pengobatan pneumonia. Pengukuran
frekuensi napas dilakukan pada saat anak tenang atau tidur. WHO telah
merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan
batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih cepat dari normal serta
adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO
menetapkannya sebagai kasus pneumonia berat dan harus dirawat di rumah sakit
untuk mendapatkan antibiotik. 30
Rekomendasi WHO menyatakan bahwa tanda yang paling tepat untuk
menentukan pneumonia adalah adanya takipnea dan retraksi, bila di daerah
tersebut tidak ada radiografi.1 Takipnea menurut WHO adalah 50 x/menit pada

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


18

usia 2-12 bulan, 40 x/menit pada usia 1-5 tahun dan 20 x/menit pada usia diatas 5
tahun. Pernapasan harus dihitung lebih dari 60 detik untuk melihat adanya
pernapasan periodik dan faktor perilaku. Sebuah penelitian di Kanada tahun 1997
menyatakan bahwa tidak terdapatnya takipnea, ronkhi, penurunan suara napas dan
distres pernapasan berarti bukan pneumonia.30
Tabel 2.3. Kriteria takipnea menurut WHO
Umur Laju Napas Normal Takipnea
(frekuensi/menit) (frekuensi/menit)
0-2 bulan 30-50 60
2-12 bulan 25-40 50
1-5 tahun 20-30 40
> 5 tahun 15-20 20
Sumber : daftar referensi no 30

Secara klinis sulit membedakan pneumonia karena bakteri atau virus pada anak.
Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya
cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit
dijumpai pada seluruh kasus.26,30
Tabel 2.4. Gejala Klinis Pneumonia pada Anak
Sindrom Bakteri Penyebab Kelompok Umur Gejala Klinis
Bakteri (supuratif) Pneumococcus Semua umur, lebih Onset mendadak, demam tinggi,
sering < 6tahun penampakan sangat sakit, nyeri
dada/perut, infiltrat pada foto
thoraks
Atipik (infant) Chlamydia < 3 bulan Takipnea, hipokemia ringan,
trachomatis jarang demam, wheezing, infiltrat
interstisial pada foto thoraks
Atipik Mycoplasma > 5 tahun Onset bertahap, demam ringan,
(anak lebih besar) pemeriksaan fisik tidak khas,
infiltrat difus pada foto thoraks
Virus Virus multipel Semua umur, lebih Gejala ISPA jelas, demam
sering pada 3 ringan/tidak ada, pemeriksaan
bulan hingga 5 fisik tidak khas, wheezing,
tahun infiltrat interstitial difus pada
foto thoraks.

Sumber : daftar referensi no 24

Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau
ascending dari infeksi intrauterin. Bakteri penyebab utama adalah Streptokokus
Grup B selain bakteri gram negatif. Gejalanya berupa respiratory distress yang
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


19

merintih, napas cuping hidung, retraksi dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam
hitungan jam, dan hampir semua bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam
pertama kehidupan. Pada bayi pematur, gambaran infeksi karena Streptokokus
Grup B menyerupai gambaran Respiratory Distress Syndrome.21
Pemeriksaan radiologis yang memperkuat adanya pneumonia adalah
adanya infiltrat baru atau perubahan infitrat pada foto thoraks, namun
pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara pneumonia bakterial atau viral
dan bersifat nonspesifik (atelektasis, edema atau perdarahan). Pemeriksaan
laboratorium yang paling baik untuk diagnosis pneumonia adalah pemeriksaan
yang dapat mengidentifikasi adanya kuman patogen dalam saluran napas, bisa dari
sputum atau apus bronkus. Pada anak yang berusia kurang dari 7 tahun sulit
mengeluarkan sputum sehingga pemeriksaan ini sulit dilakukan.29
Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan laboratorium mungkin dapat
membantu memperkirakan mikroorganisme penyebab. Leukositosis >15000/L
seringkali dijumpai pada anak dengan demam tanpa adanya fokus infeksi,
mempunyai sensitifitas 65% terhadap pneumonia. Dominasi netrofil pada hitung
jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri sebagai penyebab.
Leukosit >30000/L dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus dan stafilokokus.29
Laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) merupakan indikator
inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit membantu. Adanya CRP yang
positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar CRP yang lebih tinggi
ditemukan pada pasien dengan pneumonia alveolar dibandingkan pneumonia
intestitialis. Kultur darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi
hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat
membantu pada penanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab
stafilokokus dan pneumokokus yang tidak berespon terhadap penanganan awal.
Kultur darah juga direkomendasikan pada kasus pneumonia berat dan pada bayi
usia kurang dari 3 bulan.29

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


20

2.5.7. Pneumonia Berat


Pneumonia berat ditandai dengan adanya batuk atau (juga disertai) kesukaran
bernapas, napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam pada
anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Pada kelompok usia ini dikenal
juga pneumonia sangat berat dengan gejala batuk, kesukaran bernapas disertai
gejala sianosis sentral dan tidak dapat minum. Sementara untuk anak di bawah 2
bulan, pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali
per menit atau lebih atau (juga disertai) penarikan kuat pada dinding dada sebelah
bawah.31
Tabel 2.5. Klasifikasi WHO pada Penyakit Pernapasan Akut
dengan Gejala Batuk atau Sulit Bernapas

Klasifikasi Gejala Klinis


Bukan Pneumonia Pernapasan :
(Batuk pilek) < 50x/menit (usia 2-11 bulan)
< 40 x/menit (usia 12-59 bulan)
Tidak ada penarikan dinding dada

Pneumonia Pernapasan :
> 50x/menit (usia 2-11 bulan)
> 40 x/menit (usia 12-59 bulan)
Tidak ada penarikan dinding dada

Pneumonia Berat Penarikan dada bagian bawah, dengan atau


tanpa pernapasan cepat

Pneumonia Sangat Berat Tidak bisa minum, kejang, pola tidur abnormal
atau sulit dibangunkan, stridor, malnutrisi berat

Sumber : daftar referensi no 31


Pneumonia berat harus dirawat di ruang intensif/ICU terutama bila terdapat
kegagalan mempertahankan saturasi O2 lebih dari 92% pada fraksi O2 lebih dari
60%, adanya syok, terdapat peningkatan laju pernapasan dan peningkatan denyut
nadi atau adanya tanda klinis distres pernapasan dengan atau tanpa peningkatan
PaCO2, terdapat apnea berulang atau pernapasan lambat ireguler. 31
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi
akibat kelainan langung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat
gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara
meningkatkan volume tidal dan frekuensi napas sehingga secara klinis terlihat
takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


21

ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 4/5)
yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya
sehingga terjadi usaha napas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan
berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang
mengakibatkan terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat dapat terjadi gagal
napas.32

2.5.8. Terapi
Terapi pneumonia segera diberikan setelah menilai apakah pasien perlu rawat inap
di rumah sakit atau rawat jalan. Indikasi rawat inap adalah pneumonia terjadi pada
usia yang sangat dini (<3 bulan) karena kondisi pasein dapat memburuk dengan
cepat dan lebih rentan terhadap hipoksemia dan bakteremia, hipoksemia persisten
yang membutuhkan oksigenasi suplemental, adanya faktor komplikasi seperti
dehidrasi atau muntah berat yang membutuhkan jalur intravena, penampilan toksis
atau adanya kondisi penyakit kronik yang mendasari. Selain keadaan tersebut,
pasien bisa dirawat jalan.24
Pada pasien rawat jalan, pada usia 3 bulan-5 tahun pneumonia biasa
disebabkan oleh virus, sehingga bayi atau anak yang hanya menderita demam
ringan dan tidak demam dan pada pemeriksaan tidak terdapat napas cepat tidak
perlu diberikan antibiotik.24
Tabel 2.6. Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat jalan
Antibiotik Dosis (mg/kgBB/hari) Dosis maksimum
Amoxicillin 80-100 dibagi BIB/TID 1 g TID
Cefdinir 14 dibagi QD/BID 600 QD
Cefuroxime 30 dibagi BID 500 BID
Cefpodoxime 10 dibagi BID 200 mg BID
Ceftriaxone 50 mg IM diberikan QD 2 g QD
Azithromycin 10 mg QD hari 1, 5mg QD hari 2-5, 500 mg
atau 10 mg QD selama 3 hari 250 mg/hari
500 mg/hari selama 3 hari
Doxycycline 4 mg dibagi BID 100 mg BID
Clindamycin 20-40 mg dibagi BID 600 mg TID
Amoxicillin- 80-100 mg dibagi BID/TID 2 g BID
Clavulanate
QD = 1x/hari, BID = 2x/hari, TID = 3 x/hari, IM = intramuskular
Sumber : daftar referensi no 24

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


22

Pada beberapa kasus diperlukan rawat inap di rumah sakit. Bayi usia 3 minggu
hingga 3 bulan yang menderita pneumonia biasanya dirawat di RS, terutama jika
terdapat demam, hipoksia, distress pernapasan atau dehidrasi. Bayi-bayi yang
lebih besar, anak dan remaja dengan tanda-tanda distress pernapasan yang sedang
berlangsung, termasuk takipnea, suara napas merintih, peningkatan usaha
bernapas atau hipoksemia, adanya dehidrasi atau panas tinggi dan penampilan
toksik juga harus dirawat. Perawatan perlu dipertimbangkan pada anak dengan
penyakit seperti jantung, paru, metabolik, imunologi, hematologi (terutama
penyakit sel sabit/sickle cell disease). Pasien rawat jalan yang tidak membaik
dengan pengobatan yang tepat, atau terjadi komplikasi seperti efusi atau abses
harus dirawat di rumah sakit.24
Tabel 2.7. Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat inap
Antibiotik Dosis intravena (mg/kgBB/hari) Dosis maksimum
Ceftriaxone 50 2g
Ampicillin 200 dibagi QID 12 g
Vancomycin 40-60 dibagi BID 3-4 g
Clindamycin 30-40 dibagi TID 2,7 g
Levofloxacin Tidak direkomendasikan pada anak 750 mg
Azithromycin 10 mg hari 1, 500mg,
5 mg hari 2-5 250 mg
Doxycycline Tidak direkomendasikan pada anak 200 mg
Nafcillin/Oxacillin 200 dibagi per 6 jam 12 g
Linezolid 30 dibagi TID < 12 tahun 600 mg BID
20 dibagi BID > 12 tahun
Ampicillin-Sulbactam 200 ampicillin dibagi per 6 jam 12 g
Piperacillin-Tazobactam 300 piperacillin dibagi per 6 jam 16 g
Meropenem 60 dibagi per 8 jam 3g
QID = 1x/hari, BID = 2x/hari, TID = 3 x/hari, IM = intramuskular
Sumber : daftar referensi no 24
Pada perawatan rumah sakit dilakukan foto rontgen thoraks, tes laboratorium
darah lengkap, kultur darah dan kimia darah. Hal ini penting untuk menentukan
patogen penyebab sehingga dapat diberikan terapi antibiotik yang optimal. Pada
anak yang lebih besar dan dapat mengeluarkan dahak, sputumnya harus diperiksa
untuk menemukan bakteri patogen. Pada beberapa tempat Mycoplasma,
Chlamydophila dan Legionella dapat ditentukan secara serologis. Perawatan di
rumah sakit termasuk oksigen suplementasi, suction, cairan intravena, analgetik
dan antipiretik. Harus dilakukan pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik
secara berkala.24

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


23

2.5.9. Pencegahan
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan pneumonia
pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi
terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan
strategi pencegahan spesifik. Pencegahan non-imunisasi merupakan pencegahan
non-spesifik misalnya mengatasi berbagai faktor-risiko seperti polusi udara
dalam-ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan
dan lain-lain.2
Imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan
pneumonia. Pneumonia diketahui dapat menjadi komplikasi dari campak, pertusis
dan varicella, sehingga imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan
penyakit tersebut akan membantu menurunkan insiden pneumonia. Pneumonia
yang disebabkan oleh Haemophillus influenzae dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi Hib. Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan
campak adalah imunisasi DPT dan campak dengan angka cakupan yang
menggembirakan; DPT berkisar 89,6 %-94,6 % dan campak 87,8 %-93,5 %.2
Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin
pneumokokus konjungat dapat mencegah penyakit dan kematian 20-35% kasus
pneumonia pneumokokus dan vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian 15-
30% kasus pneumonia Hib. Pada saat ini di banyak negara berkembang
direkomendasikan vaksin Hib untuk diintegrasikan ke dalam program imunisasi
rutin dan vaksin pneumokokus konjugat direkomendasikan sebagai vaksin yang
dianjurkan.
Kekurangan yang mungkin masih ditemukan sehubungan dengan
imunisasi sebagai pencegahan spesifik terutama di beberapa negara berkembang
adalah cakupan imunisasi campak dan DPT/pertusis mungkin belum memuaskan,
imunisasi Hib belum termasuk imunisasi wajib, imunisasi pneumokokus tidak
efektif karena serotipe tidak sesuai, dan imunisasi terhadap patogen lain (RSV,
stafilokokus, Gram negatif) belum tersedia.2
Disamping imunisasi sebagai pencegahan spesifik pencegahan non-
imunisasi sebagai upaya pencegahan nonspesifik merupakan komponen yang

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


24

masih sangat strategis. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya


pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat, terutama pada ibu
anak dan balita tentang besarnya masalah pneumonia dan pengaruhnya terhadap
kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan
dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola makanan sehat, penurunan faktor
risiko lain seperti mencegah berat badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif,
mencegah polusi udara dalam ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga
dan perokok pasif di lingkungan rumah dan pencegahan serta tatalaksana infeksi
HIV.2

2.6. Sindrom Distres Pernapasan Akut (Acute Respiratory Distress Syndrome ,


ARDS)
Pada tahun 1994 American-European Consensus Conference Committee
(AECCC) merekomendasikan definisi untuk injuri paru akut (Acute Lung Injury,
ALI) dan ARDS. Definisi tersebut mencakup adanya onset akut infiltrat difus
bilateral pada foto toraks, rasio tekanan parsial oksigen arteri dengan kadar
fraksional oksigen inspirasi (PaO2/FiO2) <300 mm Hg untuk ALI dan <200 mm
Hg untuk ARDS, dan tekanan arteri wedge pulmonal <18 mm Hg atau tidak ada
tanda klinis kelebihan cairan.33 Menurut Berlin Consensus Conference Definition
pada tahun 2012 membagi ARDS menjadi ARDS ringan dengan PaO2/FiO2 300
200 mm Hg, ARDS sedang PaO2/FiO2 200100 mmHg dan ARDS berat
PaO2/FiO2 100 mmHg.34
Progesivitas ARDS dapat dibagi kedalam tiga fase yaitu fase eksudatif
atau fase akut dimana terjadi infiltrasi dan aktivasi sel-sel inflamasi yang
menyebabkan terjadinya injuri endotel, disrupsi kapiler dan edema pulmonal. Fase
kedua adalah fase proliferatif dimana terjadi infiltrasi dari fibroblas yang akan
mengubah tempat inflamasi. Gagal napas sering terjadi pada fase ini dengan
manifestasi adanya ronkhi difus, peningkatan FiO2, adanya tanda konsolidasi
parenkim dan kondisi status hiperdinamik. Pasien dapat menunjukkan tanda-tanda
mengalami kegagalan organ multipel.35

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


25

Pada pasien dengan ARDS dan sepsis terdapat penurunan antioksidan dan
peningkatan ROS (reactive oxygen species). Fase terakhir yaitu fase fibrosis atau
fase kronik dimana terjadi konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru. Terjadi
restriktif paru yang progresif dan dapat terbentuk pneumonia lokal, fibrosis paru
dan terjadi gangguan oksigenasi. Fase eksudatif berlangsung pada 24-48 jam
pertama, fase proliferatif antara 2-7 hari dan fase fibrosis setelah 7 hari. Pada
pasien yang bertahan hidup, fungsi paru kembali normal dalam 6-12 bulan.35
Penyebab ARDS terutama karena injuri paru baik itu direk maupun
indirek. Penyebab direk yang sering terjadi antara lain pneumonia dan aspirasi,
penyebab direk yang lebih jarang yaitu kontusio paru, emboli lemak/cairan
amnion, tenggelam, trauma inhalasi dan trauma reperfusi. Penyebab indirek yang
sering adalah sepsis, trauma berat dengan syok dan transfusi multipel. Penyebab
indirek yang lebih jarang yaitu luka bakar, bypass kardiopulmoner, overdosis obat
(heroin, barbiturat) dan pankreatitis akut.36

2.7. Pengaruh Malnutrisi pada Penyakit Paru


Dukungan nutrisi sangat penting diberikan pada pasien anak yang dirawat
intensif dalam proses metabolisme dan pemulihannya. Perubahan metabolisme
pada kondisi stres akan mempengaruhi kebutuhan nutrisinya. Perubahan
metabolisme protein sering terjadi dan pada anak dengan ARDS pemenuhan
nutrisi yang adekuat kadang sulit terpenuhi. Nutrisi yang buruk merupakan
kofaktor morbiditas dan mortalitas. Pada pasien ARDS yang sudah dalam kondisi
malnutrisi sebelumnya, risiko terjadinya komplikasi meningkat. Malnutrisi dapat
menyebabkan kelemahan otot pernapasan dan gagal napas. Malnutrisi juga dapat
berdampak pada respons metabolik terhadap injuri dan mengubah fungsi organ,
respons terhadap infeksi dan imunitas selular.35
Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit paru. Status nutrisi
yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru pada pasien yang bernapas
spontan maupun yang menggunakan ventilator, karena status nutrisi dapat
mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan ventilasi, respon terhadap
hipoksia dan mekanisme pertahanan paru. Pada pasien sakit kritis terjadi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


26

katabolisme protein sebagai sumber energi. Apabila terjadi asupan nutrisi yang
tidak adekuat pada sakit kritis, sumber energi dihasilkan dari katabolisme protein
dan glukoneogenesis. Katabolisme protein terbanyak berasal dari protein otot,
termasuk otot diafragma dan otot interkostal, sehingga akan mempengaruhi fungsi
pernapasan.37 Malnutrisi karena kurangnya asupan makanan berdampak pada
kekuatan dan ketahanan otot-otot pernapasan, terutama diafragma dan juga pada
bronkiolus respiratori, alveoli dan kapiler.14
Pada penelitian dengan subyek malnutrisi tanpa penyakit paru, kekuatan
otot pernapasan turun hingga 37%, ventilasi volunter maksimum turun 41% dan
kapasitas vital paru turun 63%. Pasien dengan penyakit paru kronis cenderung
terjadi malnutrisi sebagai mekanisme adaptif untuk menurunkan konsumsi
oksigen dan menurunkan kemampuan bernapas. Interaksi antara nutrisi dan
kemampuan ventilasi merupakan efek langsung dari peran nutrisi terhadap laju
metabolik. Penurunan kekuatan bernapas dan penurunan kemampuan ventilasi
dapat menyebabkan penurunan kemampuan batuk dan ketidakmampuan
mengeluarkan sekret, dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonia pada pasien
paru yang bernapas spontan. Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat
menyebabkan perpanjangan penggunaan ventilator mekanik pada pasien ICU.
Penggunaan ventilator mekanik yang memanjang dapat menyebabkan pasien
berisiko terhadap infeksi nosokomial, lama rawat yang memanjang dan biaya
perawatan. Kondisi malnutrisi jangka panjang dapat mengubah respons imun
tubuh dan dapat mengakibatkan infeksi paru kronik atau infeksi paru berulang.37
Berbeda dengan malnutrisi dimana cadangan glikogen sangat terbatas dan
cepat habis dengan sumber energi yang dipakai adalah lemak, pada anak sakit
kritis sumber energi didapat dari pemecahan protein. Tujuan pemberian nutrisi
pada anak sakit kritis adalah mengurangi sekecil mungkin efek hipermetabolisme
dan katabolisme yang terjadi, memperbaiki balans nitrogen, mempertahankan
fungsi organ dan mencegah disfungsi sistim kardiovaskular, respirasi dan
kekebalan tubuh, mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal.37

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


27

Terdapat hubungan yang kuat antara malnutrisi dengan disfungsi saluran


gastrointestinal, antara lain atropi mukosa, penurunan produksi sel epitel,
peningkatan permeabilitas, penurunan aktivitas enzim brush border intestinal, dan
perubahan flora usus. Perubahan tersebut menyebabkan anak berisiko tinggi
terhadap infeksi sistemik akibat translokasi bakteri usus kedalam sirkulasi
sistemik. Pasien menjadi rentan terhadap terjadinya overfeeding. Overfeeding
dapat menyebabkan terjadinya deposit lemak di hati dan hiperglikemia,
hipertrigliseridemia, dehidrasi, asidosis metabolik, dan peningkatan produksi CO2
dan usaha napas. ASPEN menyetujui rekomendasi Talpers, dkk yang menyatakan
bahwa overfeeding merupakan perhatian utama dalam mencegah peningkatan
retensi CO2 pada pasien penyakit paru.35

2.8. Perubahan Metabolisme pada Sakit Kritis (Critically Ill)


Pada keadaan normal bila tubuh menghadapi stres berat, trauma atau sepsis, akan
timbul mekanisme pertahanan melalui tiga mekanisme yaitu respons
kardiovaskular, respons imunologi, dan respons metabolik. Ketiga mekanisme ini
bekerja secara simultan untuk menjaga homeostasis tubuh sehingga bila stres ini
dapat dilewati maka pasien akan dapat bertahan hidup.38
Pada pasien sakit kritis yang ditandai dengan fungsi organ yang labil atau
organ mudah mengalami perubahan yang akan mempengaruhi fungsi organ lain
sehingga timbul sindrom gangguan organ multipel yang dapat menjadi gagal
organ multipel dengan mortalitas yang sangat tinggi. Pada pasien ini respons
terhadap obat ataupun peralatan sulit diduga dan berbeda untuk tiap individu serta
tergantung respons pasien dan perjalanan penyakit.38
Manifestasi klinis respons tubuh terhadap stres melalui dua fase. Fase akut
yang dikenal dengan nama fase ebb dan fase flow yang dibagi menjadi 2 fase,
respons akut dan respons adaptif. Fase ebb terjadi segera setelah terjadi stress baik
itu trauma, infeksi atau sepsis yang berlangsung (248) jam yang ditandai dengan
periode syok berupa hipovolemia dan penurunan oksigen jaringan, penurunan
volume darah yang menyebabkan penurunan curah jantung dan produksi urine,
bila pasien dapat melewati fase ini maka akan memasuki awal fase flow yang

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


28

ditandai dengan respons metabolik berupa hipermetabolisme, katabolisme dan


perubahan respons imun serta hormonal. Bila pasien dapat melewati fase ini,
selanjutnya memasuki fase flow berupa fase anabolik yang ditandai dengan
pemulihan respons terhadap stres dan timbul proses anabolik serta laju
metabolisme kembali normal.39

Tabel 2.8. Respons fase terhadap stres


Respons Fase Flow
Respons fase Ebb Respons akut Respons adaptasi
Syok hipovolemik Katabolisme dominan Anabolisme dominan
Perfusi jaringan Glukokortikoid Respons hormonal berangsur hilang
Laju metabolisme Glukagon Laju hipermetabolik
Konsumsi O2 Katekolamin Berhubungan dengan penyembuhan
Tekanan darah Pelepasan sitokin, mediator lemak Potensi untuk restorasi protein tubuh
Suhu badan Produksi protein fase akut Penyembuhan luka

Ekskresi nitrogen
Laju metabolisme
Konsumsi O2
Gangguan penggunaan energi

Sumber : daftar referensi no 40

Setiap anak sakit akan mengalami perubahan metabolik, apalagi bila anak tersebut
sakit kritis. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan pada energi yaitu
hipermetabolisme, serta peningkatan konsumsi oksigen dan glukoneogenesis.
Pada metabolisme karbohidrat akan terjadi hiperglikemia, peningkatan piruvat,
laktat dan resistensi insulin. Pada metabolisme protein dapat terjadi katabolisme
protein, glukoneogenesis asam amino, produksi glutamin, dan mediator inflamasi.
Sedangkan sintesis albumin dan hemoglobin mengalami penurunan. Pada
metabolisme lemak akan terjadi peningkatan liposisis dan oksidasi trigliserida
serta penurunan lipogenesis dan benda keton.41

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


29

Gambar 2.4. Respons metabolik saat stress


Sumber : daftar referensi no 42

2.8.1. Perubahan Metabolisme Karbohidrat


Pada keadaan normal sumber energi utama adalah glukosa yang masuk ke dalam
sirkulasi, dapat dari dalam (glikogenolisis dan glukoneogenesis) atau dari luar
(saluran cerna atau intravena). Glukosa akan dimetabolisme menjadi CO 2, air dan
energi (ATP) atau dikonversi dan disimpan dalam bentuk glikogen atau menjadi
lemak. Insulin memudahkan ambilan glukosa pada sel, merangsang sintesis
glikogen dan menekan glukoneogenesis, sebaliknya katekolamin, glukagon dan
kortisol merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis hepatik sehingga
ketiganya disebut hormon kontra insulin.43,44
Hiperglikemia merupakan respons metabolik yang paling menonjol setelah
terjadi stres atau trauma. Awalnya hiperglikemia terjadi karena mobilisasi
cadangan glikogen hati. Hiperglikemia ini menetap karena terjadi peningkatan
produksi glukosa tanpa diimbangi pembersihan glukosa. Produksi meningkat
selain dari pemecahan glikogen juga terjadi pembentukan glukosa dari asam
amino, laktat, gliserol dan piruvat. Asam amino berasal dari pemecahan protein
otot, laktat dan piruvat berasal dari glikogenolisis dan glikolisis di otot sedangkan
gliserol berasal dari metabolisme trigliserida.43,44

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


30

Insulin sebenarnya juga meningkat akan tetapi terjadi resistensi di perifer


sehingga kadar glukosa tetap tinggi, selain itu diduga terjadi sekresi hormon
kontra insulin yang lebih tinggi daripada sekresi insulin. Jadi sebenarnya
mekanisme hiperglikemia yang terjadi pada saat stres adalah produksi yang
meningkat disertai timbulnya resistensi insulin.43,44

2.8.2. Perubahan Metabolisme Protein


Meningkatnya hormon katekolamin, glukagon dan kortisol menyebabkan
peningkatan katabolisme protein, terutama melalui jalur kompleks ubikuitin-
proteasom. Selama kondisi stres terjadi peningkatan turnover protein, sintesis
protein fase akut mengalami peningkatan, sedangkan sintesis albumin mengalami
penurunan. Protein otot banyak didegradasi, dimana asam amino alanin dari otot
rangka menjadi substrat jalur alanin-glukosa di hepar sebagai sumber energi.
Glutamin di otot rangka banyak didegradasi sebagai sumber energi di hepar,
mukosa usus, ginjal, sel imun dan jaringan luka, sehingga kebutuhan tubuh akan
glutamin meningkat. Di ginjal, rangka karbon yang terdapat pada glutamin
merupakan substrat utama untuk proses glukoneogenesis, menghasilkan amonia
yang diekskresikan melalui urin. Oleh karenanya, selain sebagai sumber energi,
glutamin juga berperan sebagai buffer amonia di ginjal. Rangka nitrogen pada
glutamin merupakan prekursor untuk sintesis nukleotida, terutama bagi sel yang
cepat membelah. Sehingga, pada kondisi trauma penting dilakukan pemberian
glutamin untuk mencukupi kebutuhannya yang meningkat. 43,44
Asam amino yang ditransfer ke hati akan digunakan untuk sintesis glukosa
dan protein fase akut seperti fibrinogen, komplemen, C-reactive protein,
haptoglobin feritin dan lainlain. Banyaknya sintesis protein fase akut seimbang
dengan beratnya kerusakan jaringan. Sintesis protein lain seperti albumin,
transferin, retinol dan prealbumin akan menurun. Sintesis fase akut protein dipacu
oleh IL-1, IL-6, TNF, glukokortikoid dan lipopolisakarida bakteri.43,44,45
Pada anak dengan sakit kritis, saat fase akut dari stres metabolik berakhir,
menurunnya reaktan fase akut merupakan pertanda dimulainya fase anabolisme,
kemudian terjadi penurunan protein dan nitrogen urine total, serta peningkatan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


31

kadar protein viseral. Hipoproteinemia yang terjadi dapat berakibat pada


terlambatnya pengosongan lambung, ileus berkepanjangan, peningkatan risiko
terlambatnya proses penyembuhan luka, lambatnya pembentukan kalus tulang,
peningkatan risiko infeksi.41
Anak yang sedang sakit akan mengalami stres dengan akibat umum yaitu
terjadinya anoreksia, asupan makan berkurang, dapat terjadi starvasi, dan
peningkatan kadar hormon antagonis insulin (glukagon, kortikosteroid,
katekolamin, dan growth hormone). Pemecahan protein terus berlanjut dengan
akibat wasting otot, termasuk otot-otot pernapasan dan juga otot jantung dengan
akibat terjadinya atelektasis, pneumonia, dekompensasio kordis dan kematian.
Pemecahan protein berakibat pada penurunan daya tahan tubuh, sehingga tubuh
semakin rentan terhadap sepsis.41

2.8.3. Perubahan Metabolisme Lemak


Lemak dapat dipakai sebagai sumber energi atau disimpan. Trigliserida rantai
panjang (long-chain triglyceride/LCT) yang dimakan akan dicerna menjadi asam
lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas dapat dioksidasi menjadi energi atau
diesterifikasi menjadi trigliserida kembali. Pada kondisi makan (insulin tinggi)
esterifikasi lebih dominan daripada lipolisis sebaliknya pada kondisi kelaparan
(rasio insulin : glukagon rendah) lemak dipecah menjadi asam lemak bebas
(lipolisis) dan dioksidasi menjadi energi yang diikuti dengan pembentukan benda
keton oleh mitokondria hati yang selanjutnya dipakai sebagai sumber energi oleh
organ. Oksidasi lemak dari makanan menghambat lipolisis lemak endogen.
Mobilisasi lemak yang meningkatkan asam lemak bebas akan menghambat
ambilan dan oksidasi glukosa oleh sel otot.43,44
Glukagon dan epinefrin akan meningkatkan laju dan beratnya lipolisis
yang diperkuat dengan adanya kortisol karena aktivasi hormon sensitif lipase yang
mengendalikan lipolisis adipose. Enzim ini dipacu oleh 1 agonis adrenergik dan
dihambat oleh 2. Penelitian menunjukan lipolisis pada sepsis/trauma karena
meningkatnya aktivitas 1 dan menurunnya 2.43,44

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


32

Setelah trauma, lipolisis meningkat dan lemak dipakai sebagai sumber


energi. Lipoprotein lipase yang melekat di endotel kapiler akan merubah
trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Hepar akan melepaskan enzim
lipoprotein lipase ini ke dalam sirkulasi sehingga terjadi hidrolisis intravaskular.
Pada trauma, aktivitas lipoprotein lipase otot meningkat tapi di jaringan adiposa
menurun sebaliknya pada sepsis aktivitas lipase ini pada otot menurun. 43,44

2.9. Terapi Nutrisi pada Anak Sakit Kritis dengan Penyakit Paru
Salah satu kesulitan dalam mempelajari hubungan antara nutrisi dan diet dengan
penyakit pernapasan adalah kurangnya penelitian berbasis evidence terutama
dengan penyakit pernapasan yang spesifik, sehingga rekomendasi sulit
didapatkan. Beberapa penelitian mengenai hubungan antara asupan nutrisi dengan
penyakit paru hanya berdasarkan studi retrospektif dan bukan intervensi.14
Dukungan nutrisi merupakan faktor penting pada pasien paru dengan sakit
kritis yang dirawat di ICU. Meskipun terdapat keterbatasan data dalam
menentukan nutrisi spesifik pada penyakit paru, telah diketahui adanya hubungan
kuat antara nutrisi dengan fungsi paru. Pasien dengan malnutrisi protein kalori
mempunyai peningkatan kejadian pneumonia, gagal napas dan ARDS. Malnutrisi
dapat mempengaruhi fungsi paru dengan cara menurunkan kemampuan otot
pernapasan, mengubah kapasitas ventilasi dan mengganggu fungsi imun.37
Pemenuhan nutrisi yang tepat dan pencegahan terhadap malnutrisi lebih
lanjut selama periode sakit kritis dapat memperbaiki fungsi yang berubah dan
merupakan faktor penting dalam memperbaiki keluaran. Pasien sakit kritis dengan
penyakit paru rentan terkena komplikasi dari underfeeding atau overfeeding. Pada
pasien tersebut sering dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik, mengakibatkan
pemberian nutrisi melalui mulut terbatas selama lima hari atau lebih. Berdasarkan
pedoman American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN),
pemberian dukungan nutrisi dimulai setelah puasa 5-10 hari.37
Pada penyakit paru akut maupun kronis, pemenuhan nutrisi yang tidak
adekuat dapat mengakibatkan imunokompromais, wasting otot pernapasan dan
disfungsi ventilasi sehingga memperpanjang ketergantungan terhadap ventilator.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


33

Pemberian nutrisi yang berlebihan akan memberikan efek merugikan pada pasien
paru karena adanya peningkatan produksi karbon dioksida (CO2) dan kebutuhan
oksigenasi yang meningkat pada sistem organ yang sudah terganggu. Tujuan
dukungan nutrisi pada pasien paru dalam kondisi sakit kritis adalah untuk
memenuhi kebutuhan energi yang sesuai dengan kebutuhan metabolik dan
protein, mencegah terjadinya wasting otot pernapasan dengan tujuan untuk
memperbaiki fungsi pernapasan.37
Terdapat hubungan antara peran antioksidan dalam diet seperti Vitamin C,
Vitamin E, karoten dan selenium dengan fungsi paru yang baik. Berbagai
antioksidan terdapat dalam cairan ekstraselular dan berperan penting dalam
melindungi paru dari cidera oksidatif akibat proses inflamasi karena inhalasi asap
rokok dan polutan lainnya. Hasil penelitian selama 3 tahun terhadap hubungan
asupan antioksidan harian dengan fungsi paru menunjukkan hubungan yang
positif antara fungsi paru dengan asupan vitamin C, vitamin E dan karotenoid.
Dari semua karotenoid yang diteliti, lutein/zeaxanthin mempunyai hubungan
terkuat dengan fungsi paru.14
Penyakit paru dapat memberikan gejala klinis yang dapat mempengaruhi
asupan nutrisi, seperti rasa mudah kenyang, anoreksia, penurunan berat badan,
batuk dan sesak saat makan. Ketika penyakitnya bertambah berat, gejala klinis
sangat berdampak buruk terhadap status nutrisi, sehingga penilaian status nutrisi
sangat penting dilakukan. Penilaian tersebut mencakup riwayat berat badan,
asupan makanan, pengobatan, marker biokimia (albumin, prealbumin, profil lipid)
dan status fungsional.14

2.9.1. Penilaian Status Nutrisi pada Anak


Penilaian status nutrisi merupakan suatu tindakan evaluasi secara komprehensif
dalam menilai status nutrisi, termasuk riwayat medis, riwayat nutrisi/diet,
pemeriksaan fisik, antropometri, dan penunjang/laboratorium. Penilaian status
nutrisi ini adalah langkah pertama dari empat langkah proses asuhan nutrisi
(nutrition care process) yang terdiri dari penilaian status nutrisi, diagnosis status
nutrisi, intervensi nutrisi, pemantauan dan evaluasi hasil intervensi nutrisi. Selain

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


34

itu, penilaian status nutrisi merupakan proses sistematik untuk menentukan,


memeriksa dan menginterpretasikan data-data yang berhubungan dengan masalah
nutrisi.46,47
Adapun tujuan dari penilaian status nutrisi ini adalah mengidentifikasi
pasien yang berisiko malnutrisi, mengenali lebih dini bila terdapat malnutrisi,
menentukan data awal untuk memperkirakan kebutuhan nutrisi, dan melakukan
pemantauan serta evaluasi terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit.
Komponen-komponen penilaian status nutrisi pada anak pada prinsipnya sama
dengan pada orang dewasa.46,47
Status nutrisi anak dapat diketahui menggunakan pengukuran
antropometri. Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh manusia dalam hal
dimensi tulang, otot dan jaringan lemak.48 Pengukuran antropometri minimal pada
anak umumnya meliputi pengukuran berat badan (BB), panjang badan (PB) atau
tinggi badan (TB), dan lingkar kepala (dari lahir hingga umur 3 tahun).
Pengukuran ini dilakukan berulang secara berkala untuk mengkaji pertumbuhan
jangka pendek, jangka panjang dan status nutrisi.49
Berat badan merupakan penghitungan rerata dari status nutrisi secara
umum yang memerlukan data lain seperti umur, jenis kelamin dan PB/TB untuk
menginterpretasikan data tersebut secara optimal. Berat badan anak sebaiknya
diukur dengan baju minimal atau tanpa baju dan tanpa popok pada bayi. Panjang
badan atau tinggi badan mencerminkan status nutrisi jangka panjang seorang
anak. Anak dengan keterbatasan fisik yang tidak memungkinkan pengukuran
PB/TB memerlukan cara pengukuran alternatif. Rentang tangan (arm span),
panjang lengan atas (upper arm length) dan panjang tungkai bawah (knee height)
merupakan indeks yang dapat dipercaya dan sahih dalam pengukuran PB/TB
anak. Pertumbuhan cepat kepala terjadi dalam 3 tahun pertama kehidupan.
Lingkar kepala bukan merupakan indikator baik untuk status nutrisi jangka
pendek dibandingkan dengan BB, karena pertumbuhan otak umumnya
dipertahankan oleh tubuh saat terjadi masalah nutrisi. Lingkar kepala tidak dapat
digunakan sebagai pengukuran status nutrisi pada anak dengan hidrosefalus,
mikrosefali dan makrosefali.48

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


35

Persentil BB menurut umur (BB/U) dan TB menurut umur (TB/U) dapat


digunakan untuk skrining malnutrisi. Persentase BB ideal, sesuai dengan TB dan
BB menurut umur, seringkali digunakan sebagai penanda wasting (kurus) maupun
obesitas. Persentil TB menurut umur dianggap cukup untuk meniai status gizi
jangka panjang dan digunakan untuk skrining anak sehat dengan perawakan
pendek (stunting). Tinggi badan menurut umur diinterpretasikan sebagai berikut,
pendek (< persentil 3), normal (persentil 3 sampai 97) dan tinggi (> persentil
97).48
Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) lebih akurat dalam
menetapkan dan mengklasifikasikan status gizi pada seorang anak. Pada anak
berusia 0 sampai 6 tahun, BB/TB paling sering dinilai dengan menentukan sebuah
persentil di grafik pertumbuhan CDC (Centres for Disease Control and
Prevention). BB/TB diinterpretasikan sebagai berikut, BB kurang (< persentil 5),
BB normal (persentil 5 sampai 95), dan BB lebih (> persentil 95). BB/TB juga
dipakai untuk skrining klasifikasi malnutrisi energi protein.48
Status gizi diperoleh dengan perhitungan persentase BB aktual terhadap
BB ideal yang diklasifikasikan menurut Waterlow 1972, sebagai berikut obesitas
>120%, gizi lebih (overweight) 110-120%, gizi baik 90-110%, gizi kurang 70-
90%, gizi buruk <70%. Jika ditemukan pasien yang mengalami gizi lebih atau
obesitas maka parameter pengukuran menggunakan indeks massa tubuh (IMT).
Jika menggunakan kurva CDC untuk usia 2-10 tahun maka diklasifikasikan
sebagai overweight jika antara persentil 85 hingga <95, dan obesitas jika persentil
95.50

2.9.2. Tatalaksana Nutrisi


Kebutuhan gizi pada pasien anak bersifat individual sehingga tidak sama dengan
kecukupan gizi yang dianjurkan (Recommended Dietary Allowance, RDA) atau
kecukupan masukan zat gizi yang dianjurkan (Dietary Reference Intake, DRI).
Walaupun demikian penggunaan RDA maupun DRI cukup memadai dalam
pelayanan gizi. Besarnya kebutuhan zat gizi pada bayi dan anak dapat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


36

diperhitungkan dengan berbagai rumus. Kecukupan atau adekuat tidaknya


pemenuhan kebutuhan dilihat kembali berdasarkan respon pasien.50
Komponen kebutuhan energi terdiri dari empat komponen yaitu basal
metabolic rate (BMR), diet induced thermogenesis (DIT), aktivitas fisik dan
tumbuh. Kebutuhan energi dapat dipengaruhi oleh status gizi, penyakit dasar,
asupan serta keluaran energi, usia dan jenis kelamin. BMR adalah sejumlah energi
yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi vital tubuh. Dalam praktek sehari-
hari yang diukur biasanya resting energy expenditure (REE) yang cara
pengukurannya sama dengan BMR hanya saja tidak dilakukan segera setelah
bangun tidur. Perbedaan REE dengan BMR umumnya tidak lebih dari 10%. BMR
dapat meningkat pada keadaan tertentu misalnya peradangan, demam, penyakit
kronik (misalnya jantung, paru) atau berkurang sebagai respons terhadap asupan
energi yang rendah.50
Kebutuhan nutrisi pada anak sakit kritis (critically ill) dibedakan
berdasarkan kondisi stres yang disebut sebagai dukungan metabolik (metabolic
support) dan non stres yang disebut sebagai dukungan nutrisi (nutritional
support). Selama periode stres metabolik pemberian nutrisi berlebihan
(overfeeding) dapat meningkatkan kebutuhan metabolisme di paru dan hati, dan
dapat berakhir dengan meningkatnya angka kematian.50
Komplikasi overfeeding meliputi kelebihan produksi CO2 yang
meningkatkan ventilasi, edema paru dan gagal napas, hiperglikemia yang
meningkatkan kejadian infeksi, lipogenesis karena peningkatan insulin,
imunosupresi, dan komplikasi hati seperti perlemakan hati dan kolestasis
intrahepatik. Oleh sebab itu kebutuhan nutrisi pasien harus selalu diperhitungkan
agar tidak terjadi underfeeding atau overfeeding. Setelah terdapat perbaikan klinis
dan melewati fase kritis dari penyakitnya (setelah hari ke 7-10), kebutuhan kalori
serta protein perlu dinilai kembali menggunakan RDA karena diperlukan untuk
tumbuh kejar (catch up growth).50

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


37

2.9.3. Kebutuhan Makronutrien


2.9.3.1. Kebutuhan Energi
Penentuan kebutuhan energi yang akurat sangat penting pada pasien
ALI/ARDS. Underfeeding dapat menghambat weaning ventilator dan
menyebabkan pasien lebih rentan terkena infeksi, sementara overfeeding dapat
menyebabkan hiperkapnea dan juga menghambat weaning ventilator. Ada
beberapa standar perhitungan kebutuhan energi, namun belum ada konsensus
yang menyatakan yang paling akurat.33
Kebutuhan energi pada anak sakit kritis harus dinilai berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya.51 Perhitungan BMR dan REE dapat dilakukan dengan
menggunakan kalorimetri indirek yang hasilnya akurat, namun jika kalorimetri
indirek tidak tersedia dapat menggunakan berbagai rumus perhitungan atau
nomogram, yang paling sering digunakan adalah rumus WHO (1985), Schofield
WH (1985) dan Harris-Benedict (1919) dengan memperhitungkan faktor stres. Di
antara ketiga rumus tersebut rumus Schofield WH terbukti paling akurat dalam
memperkirakan REE dalam keadaan failure to thrive.50,51 Rumus perhitungan REE
dan BMR dapat dilihat pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9. Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada anak usia 0-3 tahun
Sumber Jenis Kelamin Persamaan
WHO Laki-laki REE = 60,9 x BB -54
Perempuan REE = 61 x BB 51
Schofield (W) Laki-laki BMR = 59,48 x BB 30,33
Perempuan BMR = 58,29 x BB 31,05
Schofield (WH) Laki-laki BMR = 0,167 x BB + 1517,4 x TB 617,6
Perempuan BMR = 16,25 x BB + 1023,2 x TB 413,5
Harris-Benedict Laki-laki REE = 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 x TB 6,76 x U
Perempuan REE = 655,1 + 9,56 x BB + 1,85 x TB 4,68 x U
BB = berat badan dalam kg, TB = tinggi badan dalam m, U=umur dalam tahun
Sumber : daftar referensi no 52

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


38

Tabel 2.10. Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada anak usia 3-10 tahun
Sumber Jenis Kelamin Persamaan
WHO Laki-laki REE = 22,7 x BB + 495
Perempuan REE = 22,4 x BB + 499
Schofield (W) Laki-laki BMR = 22,7 x BB + 505
Perempuan BMR = 20,3 x BB + 486
Schofield (WH) Laki-laki BMR = 19,6 x BB + 130,3 x TB + 414,9
Perempuan BMR = 16,97 x BB + 161,8 x TB + 371,2
Harris-Benedict Laki-laki REE = 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 x TB 6,76 x U
Perempuan REE = 655,1 + 9,56 x BB + 1,85 x TB 4,68 x U
BB = berat badan dalam kg, TB = tinggi badan dalam m, U=umur dalam tahun
Sumber : daftar referensi no 52

Penggunaan ventilator mekanik pada anak menurunkan kehilangan panas (heat


loss) dan usaha bernapas sehingga akan menurunkan kebutuhan energi untuk
termoregulasi. Obat-obatan sedasi menurunkan aktivitas otot antara 10 hingga
15%, penggunaan obat pelumpuh otot menurunkan REE sebesar 10% pada
penelitian dengan subyek 20 anak yang menggunakan ventilator mekanik.
Terdapat penurunan metabolisme yang akan menurunkan pertumbuhan, sintesis
neurotransmiter dan sekresi katekolamin.53 Pada pasien yang menggunakan
ventilator BEE dikalikan dengan 0,85.54

Tabel 2.11. Menentukan faktor aktivitas dan faktor stres


Jenis aktivitas Faktor aktivitas
Non ambulatory, diintubasi, sedasi 0,8-0,9
Tirah baring 1,0-1,15
Ambulatory 1,2-1,3
Jenis stres Faktor stres
Kelaparan (starvasi) 0,7-0,9
Bedah 1,1-1,5
Sepsis 1,2-1,6
Cedera kepala 1,3
Trauma ringan 1,1-1,8
Gagal tumbuh 1,5-2
Luka bakar 1,2-1,3
Gagal jantung 1,2-1,3
Trauma berat 1,5-1,7

Sumber : daftar referensi no 55

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


39

Tabel 2.12. Derajat stres berdasarkan penyakit


Stres ringan
Bronkiolitis
Gastroenteritis
Operasi minor
Infeksi minor lain
Stres sedang
Operasi
Kardiopati kronik
Enteropati kronik
Infeksi berat
Cystic fibrosis
Penyakit sel sabit
Stres berat
Operasi jantung
Operasi mayor
Hemopati
Depresi berat
Sepsis berat
Penyakit kronis perburukan
Sumber : daftar referensi no 47

Dalam menghitung REE, persamaan WHO dan terutama Schofield (WH)


sebaiknya digunakan pada anak berusia kurang dari 10 tahun. Untuk anak berusia
10 tahun keatas dapat menggunakan persamaan Harris-Benedict, WHO dan
Schofield.52
White MS dkk56 mengadakan penelitian terhadap 100 anak sakit berat
dengan ventilasi mekanik yang membandingkan pengukuran pemakaian energi
dengan formula standar mendapatkan bias yang lebih besar, karena itu untuk
kasus-kasus berat dengan ventilasi mekanik dan pada anak usia di atas 2 bulan
dianjurkan menggunakan formula yang lebih akurat dan sesuai yaitu :
REE (kkal/hari) = (17 x Umur dalam bulan) + (48 x BB dalam kg) +
( 292 x suhu tubuh dalam oC)-9677 x 0,239 (2.1)

Pada anak sakit kritis yang dirawat di PICU (pediatric intensive care unit)
dengan menggunakan ventilator mekanik, berbagai penelitian menunjukkan
terjadinya hipermetabolik. Kegagalan dalam memenuhi asupan nutrisi yang cukup
dapat menyebabkan kehilangan massa otot tubuh dan juga dapat memperburuk
keadaan malnutrisi yang sudah terjadi. Penggunaan obat-obatan sedasi dan
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


40

ventilator menyebabkan penurunan energy expenditure karena penurunan


aktivitas, penurunan kehilangan cairan (insensible water loss) dan berhentinya
pertumbuhan selama sakit kritis. Pasien-pasien ini berisiko terjadi overfeeding
jika menggunakan perhitungan kebutuhan energi menggunakan persamaan untuk
anak sehat dan tidak memperhitungkan faktor stres.57
Overfeeding juga meningkatkan produksi CO2 dan meningkatkan kerja
ventilator sehingga memperpanjang lama penggunaan ventilator. Overfeeding
juga dapat mengganggu fungsi hepar dengan merangsang terjadinya steatosis dan
kolestasis dan meningkatkan risiko hiperglikemia. Hiperglikemia yang terjadi
karena overfeeding kalori berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap
ventilator dan lama rawat di PICU. Penggunaan Respiratory Quotient (RQ) untuk
mengukur penggunaan substrat tidak direkomendasikan pada anak.57

2.8.3.2. Kebutuhan Protein


Masa sakit kritis dan penyembuhan ditandai dengan meningkatnya katabolisme
dan turn over protein. Keuntungan dari turn over protein yang tinggi adalah aliran
asam amino yang terus-menerus tersedia untuk sintesis protein baru. Terutama
terjadi redistribusi asam amino dari otot skelet ke hepar, luka dan jaringan yang
terlibat dalam respons inflamasi.57
Pada anak sakit kritis terdapat peningkatan degradasi protein tubuh dan
juga sintesis protein, namun lebih banyak terjadi degradasi protein selama stres
terjadi, sehingga terjadi net negative protein dan balans nitrogen negatif, yang
ditandai oleh wasting otot skelet, penurunan berat badan dan disfungsi imun.
Katabolisme protein otot untuk menghasilkan glukosa dan sebagai respons
inflamasi merupakan adaptasi jangka pendek yang menguntungkan, namun hal ini
sangat terbatas karena cadangan protein pada anak dan neonatus sedikit.
Pemecahan protein otot yang berkelanjutan dapat mengakibatkan kehilangan otot
pada diafragma dan interkostal sehingga menyebabkan gangguan pada proses
pernapasan.57
Kebutuhan protein lebih tinggi pada anak sakit kritis jika dibandingkan
dengan anak sehat. Penelitian pada bayi menunjukkan peningkatan degradasi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


41

protein setelah pembedahan sebesar 25% dan peningkatan 100% ekskresi nitrogen
urine pada sepsis bakterial. Pemenuhan protein yang adekuat dapat membantu
proses sintesis protein, proses penyembuhan luka dan respons inflamasi, dan
mempertahankan massa otot skelet. Perkiraan kebutuhan protein pada anak sakit
kritis yaitu pada usia 0-2 tahun sebesar 2-3 g/kg BB/hari, 2-13 tahun sebesar 1,5-2
g/kg BB/hari dan 13-18 tahun sebesar 1,5 g/kg BB/hari.57
Anak sakit kritis membutuhkan asupan protein 2-3g/kgBB/hari untuk
mencapai balans nitrogen yang positif. Anak dengan luka bakar berat
membutuhkan protein 3 g/kg BB/hari untuk mendukung penyembuhan luka, dan
pada pasien dengan sepsis pemberian protein bisa sampai >4 g/kg BB/hari.57

2.8.3.3. Kebutuhan Karbohidrat


Ketika kebutuhan protein sudah tercukupi, pemenuhan kalori dari sumber
karbohidrat dan lemak mempunyai efek yang hampir sama pada sintesis protein
dan keseimbangan protein secara keseluruhan pada pasien sakit kritis. Glukosa
merupakan sumber energi utama pada otak, eritrosit dan medula ginjal dan
berguna pada perbaikan jaringan yang terluka. Cadangan glikogen terbatas
jumlahnya dan cepat habis pada sakit kritis sehingga meningkatkan kebutuhan
akan glukoneogenesis. Pemberian glukosa pada respons stres metabolik tidak
menghentikan proses glukoneogenesis, proses katabolisme protein otot untuk
menghasilkan glukosa terus berlangsung sehingga pemberian asupan tinggi
karbohidrat pada pasien sakit kritis tidak dianjurkan.51
Sebuah rekomendasi dari The Surviving Sepsis Campaign menyatakan
pentingnya kontrol glukosa yang ketat pada pasien dewasa yang sakit kritis.
Hiperglikemia sering terjadi pada anak sakit kritis dan berhubungan dengan
outcome yang buruk. Penyebab hiperglikemia saat respons stres bersifat
multifaktorial. Meskipun terdapat data prevalensi hiperglikemia pada anak, namun
tidak ada data yang menilai efek kontrol glukosa yang ketat pada kelompok
anak.51
Pada pasien ALI/ARDS pemilihan komposisi substrat harus diperhatikan.
Tipe dan jumlah substrat yang digunakan untuk memenuhi asupan nutrisi dapat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


42

mempengaruhi produksi CO2. Overfeeding dapat menyebabkan peningkatan


lipogenesis, peningkatan glukosa, disfungsi hepar, dan ketidakmampuan untuk
lepas dari ventilator. Pasien ICU dengan kondisi hipermetabolik, deplesi nutrisi,
stres, dan tidak mampu mengeliminasi CO2 mudah sekali overfeeding.33
Karbohidrat sering dihubungkan dengan terjadinya hiperkapnea yang
berhubungan dengan overfeeding. Namun penelitian Talper tahun 1992
mengklarifikasinya, saat dilakukan pemberian diet isokalori dengan berbagai
konsentrasi karbohidrat, produksi CO2 tidak berubah. Saat dinaikkan jumlah
kalori totalnya namun kadar karbohidratnya tetap (60%), terjadi peningkatan
produksi CO2 yang signifikan. Hal ini menjelaskan bahwa kalori total harus lebih
diperhatikan daripada presentase karbohidratnya. 33
Kontrol hiperglikemia pada pasien sakit kritis dewasa terbukti
memperbaiki outcome. Hiperglikemia dan hipoglikemia sering terjadi pada pasien
PICU. Anak sakit kritis yang tidak selamat mempunyai kadar glukosa yang lebih
tinggi dan lebih lama mengalami hiperglikemia daripada anak yang selamat.
Berdasarkan data yang ada, kontrol glukosa yang tepat pada anak adalah antara
140-180 mg/dL.57

2.8.3.4. Kebutuhan Lemak


Pada sakit kritis, trauma ataupun pembedahan, turnover lemak akan meningkat.
Penelitian mununjukkan bahwa pada anak sakit kritis terjadi oksidasi lemak yang
lebih tinggi. Hal ini menujukkan bahwa pada anak dengan stres metabolik, sumber
energi utama adalah asam lemak. Karena terjadi peningkatan kebutuhan akan
lemak dan terbatasnya cadangan lemak pada anak, pada anak sakit kritis berisiko
terjadi defisiensi asam lemak esensial jika diberikan diet bebas lemak. Gejala
defisiensi yang terjadi yaitu dermatitis, alopesia, trombositopenia dan peningkatan
infeksi bakteri.51
Untuk menghindari defisiensi asam lemak esensial pada anak sakit kritis
diberikan asam linoleat dengan rekomendasi 4,5% dan asam linolenat sebesar
0,5% dari total kalori. Pemberian emulsi lemak intravena (intravenous fat
emulsion, IVFE) dapat menurunkan risiko defisiensi asam lemak esensial, yang

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


43

akan memperbaiki penggunaan protein dan tidak meningkatkan produksi CO2.


Pemberian IVFE pada anak sakit kritis dimulai dari 1 g/kg BB/hari dan dapat
ditingkatkan dalam beberapa hari hingga 2-4 g/kg BB/hari dengan memonitor
kadar trigliserida darah. Pemberian IVFE dibatasi maksimal 30-40% dari kalori
total.51
Penelitian al-Saady, dkk tahun 1989 pada 20 pasien sakit kritis dewasa
yang membandingkan formula isokalori isonitrogen dengan formula tinggi lemak
rendah karbohidrat dan efeknya pada PaCO2 dan lama penggunaan ventilator.
Hasilnya saat weaning dari ventilasi mekanik, kadar PaCO2 pada kelompok
perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol, dan lama penggunaan
ventilator yang lebih singkat. Sehingga timbul hipotesis bahwa formula dengan
kadar lemak lebih tinggi dan rendah karbohidrat dapat memperbaiki status
respiratorik pada pasien dengan ventilator.58
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN)/ Society
of Critical Care Medicine (SCCM) dalam konsensusnya tahun 2009 menyatakan
bahwa pemberian formula tinggi lemak rendah karbohidrat untuk memanipulasi
respiratory quotient dan menurunkan produksi CO2 tidak direkomendasikan untuk
penggunaan rutin pada pasien ICU dengan gagal nafas akut. Karena berisiko
tinggi terhadap retensi CO2, pasien ALI/ARDS yang mendapat dukungan nutrisi
harus dimonitor ketat terhadap tanda-tanda underfeeding dan overfeeding.33
Pemberian lemak terutama asam lemak esensial digunakan untuk oksidasi
lemak pada tingkat seluler. Banyak penelitian yang menunjukkan efek
antiinflamasi pada pemberian asam lemak omega 3 terutama EPA dan DHA,
berguna pada penyakit inflamasi kronik termasuk rematoid artritis, penyakit
Crohn, kolitis ulseratif, lupus, multipel sklerosis dan asma. Pemberian lemak
antiinflamasi spesifik pada tahap akut yang digunakan untuk menjaga fungsi
organ-organ vital dan membantu proses imunitas, inflamasi, dan antioksidan
sudah sering dilakukan pada pasien ALI/ARDS di ICU.33
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan asam lemak omega 3 (EPA
dan DHA) yang tepat dapat melemahkan respons metabolik, mengembalikan atau
meminimalkan kehilangan jaringan bebas lemak, menghambat kerusakan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


44

oksidatif jaringan, dan memodulasi respons inflamasi. Dewasa ini sering


digunakan minyak ikan (EPA dan DHA) pada perawatan intensif untuk mengubah
respons metabolik terhadap stres dengan mengubah fosfolipid membran sel,
ekspresi gen, memodulasi ekspresi endotel yang mengatur integritas dan fungsi
vaskuler.33
Penelitian oleh Gadek tahun 1999 menggunakan formula lemak yang
menggunakan EPA, DHA, borage oil dan antioksidan melaporkan adanya
perbaikan ventilasi, oksigenasi dan lama rawat ICU yang lebih singkat pada
pasien ARDS. Penelitian oleh kelompok Brasil (Brazilian Group) melaporkan
penggunaan formula enteral yang mengandung minyak ikan, borage oil dan
antioksidan tidak hanya menurunkan morbiditas secara signifikan, namun juga
menurunkan mortalitas pada pasien ALI/ARDS dan sepsis. 33
Efek menguntungkan dari pemberian diet dengan EPA dan GLA pada
neutrofil paru, pertukaran gas, penggunaan ventilator, lama perawatan ICU dan
penurunan kejadian gagal organ menunjukkan bahwa pemberian nutrisi enteral ini
dapat menjadi terapi ajuvan pada pasien dewasa dengan ARDS atau berisiko
mengalami ARDS.58
Gagal napas yang disebabkan oleh ALI/ARDS berhubungan dengan
tingginya angka morbiditas pada anak. Nutrisi enteral yang diperkaya oleh EPA,
GLA dan antioksidan dapat memperbaiki profil asam lemak dan fosfolipid
plasma, menurunkan inflamasi dan memperbaiki kondisi klinis pada pasien
dewasa. Namun penggunaannya pada pasien anak belum banyak diteliti sehingga
belum dapat direkomendasikan.59

2.9.3.5. Kebutuhan Cairan


Kebutuhan cairan pada anak dihitung menggunakan formula yang dikembangkan
oleh Holliday-Segar tahun 1957.60 Kebutuhan cairan bervariasi tergantung usia
dan berat badan anak. Pembatasan cairan dilakukan pada kondisi anak dengan
tekanan tinggi intrakranial, gagal ginjal, penyakit jantung kongenital, dan
displasia bronkopulmoner. Pada kondisi ini dapat diberikan nutrisi parenteral dan
cairan infus intravena dengan konsentrasi lebih tinggi, nutrisi enteral dapat juga

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


45

diberikan dengan konsentrasi lebih tinggi. Osmolaritas dari cairan ini harus
dimonitor dengan seksama untuk menjamin toleransi yang adekuat dan mencegah
risiko dehidrasi. Adanya demam dapat meningkatkan kebutuhan cairan dengan
adanya kehilangan dari respirasi dan melalui kulit. Pada setiap kenaikan derajat
diatas 38oC, terdapat peningkatan insensible water loss sebesar 5 ml/kgBB dalam
24 jam.53 Perhitungan kebutuhan cairan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.13. Perhitungan kebutuhan cairan pada anak
Berat badan (kg) Volume (ml/hari)
0-10 100 ml/kgBB
11-20 1000 ml + 50 ml/kg untuk tiap kg > 10kg
>20 1500 ml + 20 ml/kg untuk tiap kg > 20kg
Sumber : daftar referensi no 60

Perhitungan kebutuhan cairan pada anak harus bersifat individual. Tidak ada
cairan intravena yang ideal untuk setiap anak selama fase sakit kritis, namun ada
bukti empirik yang menyatakan bahwa paling aman menggunakan cairan isotonis.
Cairan hipotonis hanya dipertimbangkan jika tujuan terapi adalah mencapai balans
bebas air positif. Anak sakit kritis mungkin memerlukan pengurangan hingga 40-
50% dari rekomendasi volume rumatan. Semua pasien yang mendapatkan infus
intravena harus dimonitor ketat berat badan, keseimbangan cairan, parameter
biokimia dan klinisnya.61

2.9.4. Kebutuhan Mikronutrien dan Imunonutrisi


Pasien sakit kritis sangat berisiko terhadap penurunan kadar mikronutrien dan
antioksidan dalam plasma, yang akan berefek negatif terhadap stres oksidatif dan
fungsi metaboliknya. Lyons 2001 menyatakan bahwa anak dengan sepsis
mengalami peningkatan oksidasi sistein dan penurunan sintesis glutation jika
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Seear 1992 menyatakan bahwa setelah
perawatan di PICU selama 2 minggu, 10 dari 80 anak sakit kritis mengalami
defisiensi tiamin dan 3 orang kadar riboflavinnya rendah. 57
Pada orang dewasa yang sakit kritis ditemukan keuntungan dengan
pemberian selenium dan asam askorbat intravena namun penelitian pada anak
sangat jarang. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang implikasi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


46

defisiensi mikronutrien dan apakah suplementasi mikronutrien pada anak sakit


kritis akan mempengaruhi outcome penyakit. Evaluasi terhadap vitamin dan
mineral pada anak sakit kritis (>10-14 hari) sangat perlu dilakukan.57
Penggunaan rutin imunonutrisi pada anak sakit kritis tidak
direkomendasikan. Formula enteral yang mengandung antioksidan dengan -3
PUFA eicosapentanoic acid (EPA) dan -6 PUFA gamma linolenic acid (GLA)
memberikan perbaikan pada outcome jika dibandingkan dengan formula isokalori
isonitrogen pada pasien dewasa dengan ARDS dan sepsis berat. Outcome yang
dinilai adalah peningkatan oksigenasi, penurunan lama pemakaian ventilator,
penurunan lama rawat ICU. Penggunaan rutin formula yang mengandung -3
dapat direkomendasikan pada anak yang lebih besar dengan ARDS. 51
Penggunaan probiotik dapat memberikan keuntungan pada pasien anak
melalui efek pada gastrointestinal dan sistem imun dan dapat mempersingkat lama
diare akut dan diare karena antibiotik. Deshpande 2007 menyatakan probiotik
dapat menurunkan insidensi necrotising enterocolitis (NEC) pada bayi berat
badan lahir sangat rendah. Namun karena sedikitnya penelitian, penggunaan
probiotik pada anak sakit kritis masih perlu dipertimbangkan. Belum ada
penelitian yang menyatakan keamanan atau efikasi pemberian probiotik pada anak
sakit kritis, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut sebelum probiotik dapat
rutin diberikan pada anak yang dirawat ICU.57

2.9.5. Pemilihan Jalur Pemberian


Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada anak sakit kritis, harus diperhatikan rute
pemberian nutrisinya. Pada anak sakit kritis dengan fungsi saluran gastrointestinal
yang masih baik, nutrisi enteral merupakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi bila dibandingkan nutrisi parenteral.51 Nutrisi enteral merupakan pilihan
utama bila pemberian oral tidak memungkinkan. Bagaimanapun juga pemberian
makanan lewat enteral adalah lebih baik dibandingkan dengan pemberian
makanan lewat parenteral. Beberapa keuntungan pemberian nutrisi enteral adalah
efek trofik pada vili intestinal, menurunkan translokasi bakteri. 41

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


47

Pemberian makanan lewat enteral dapat menjaga agar fungsi


gastrointestinal bekerja secara fisiologis, dapat mencegah terjadinya gastropati
yang diinduksi oleh stres maupun perdarahan gastrointestinal. Traktus
gastrointestinal mempertahankan ekosistem melalui keseimbangan antara
beberapa hal yaitu bakteri, nutrien, sistem defens intestinal (luminal, mukosa,
sistem imun submukosa). Bahkan dengan pemberian nutrisi enteral yang minimal
(trophic feeding), pertumbuhan sel epitel intestinal, aktivitas enzim brush border
dan motiiltas usus akan meningkat.41 Sebuah penelitian multisenter menunjukkan
bahwa penerapan protokol pemberian nutrisi enteral pada pasien-pasien sesuai
indikasi terbukti memberikan dampak terhadap outcome yang positif.62
Nutrisi enteral dini aman diberikan dan dapat ditoleransi pada anak sakit
kritis, meskipun dengan obat vasoaktif dan dapat memperbaiki metabolisme
protein dan defisit kalori. Pemberian nutrisi enteral pada pasien-pasien PICU
sebaiknya dilakukan secara dini setelah melihat toleransi gastrointestinalnya. 57
Anak sakit kritis berisiko terhadap efek dari puasa atau stres
berkepanjangan karena mereka mempunyai persentase otot dan lemak yang lebih
rendah dan kebutuhan energi basal yang lebih tinggi dari dewasa.
Direkomendasikan anak sakit kritis tidak dipuasakan lebih dari 24 hingga 48 jam.
Biasanya banyak anak sakit kritis yang pemberian nutrisinya dimulai terlambat
dan tidak menerima kebutuhan energi yang direncanakan. Hal ini disebabkan oleh
adanya restriksi cairan, interupsi karena prosedur, toleransi buruk atau masalah
mekanik (obstruksi pipa atau terlepas). Penelitian Briassoulis 2005 menemukan
sebanyak 93% anak sakit kritis menerima nutrisi pada hari ketiga setelah masuk
perawatan dan energi yang direncanakan baru tercapai penuh pada hari kelima. 63
Belum ada data yang cukup untuk merekomendasikan jalur nutrisi enteral
baik itu gastrik atau post pilorik/transpilorik. Pemberian nutrisi post
pilorik/transpilorik akan meningkatkan asupan jika dibandingkan dengan gastrik
dan lebih baik pada pasien yang berisiko terjadi aspirasi. 51
Nutrisi enteral via gastrik biasanya sulit ditoleransi pada anak dengan
penyakit kritis dan yang menggunakan ventilator mekanik dengan sedasi. Hal ini
menimbulkan tingginya persentase anak yang tidak mencapai asupan yang

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


48

direncanakan semula. Nutrisi via transpilorik duodenal-jejunal/transpilorik post


pilorik menurunkan volume residu gaster dan jumlah penundaan, menyebabkan
nutrisi dapat ditingkatkan bertahap dengan tujuan mencapai jumlah yang
direncanakan. Nutrisi transpilorik dapat lebih ditoleransi dan mempunyai
komplikasi yang lebih sedikit, meskipun belum ada penelitian yang menunjukkan
penurunan insidensi aspirasi pulmonal.63
Pemberian nutrisi parenteral digunakan sebagai tambahan jika pemberian
nutrisi enteral saja tidak dapat mencukupi asupan nutrisi, hal ini dapat disebabkan
oleh karena adanya intoleransi terhadap nutrisi enteral, pembatasan cairan,
penundaan nutrisi enteral karena prosedur dan ketidakstabilan hemodinamik
pasien.51 Jika nutrisi enteral tidak dapat diberikan atau tidak dapat ditoleransi
selama 5-7 hari pada pasien anak, maka nutrisi parenteral diindikasikan. Duggan,
dkk menyatakan bahwa nutrisi parenteral diberikan pada anak malnutrisi jika
nutrisi enteral tidak dapat diberikan >3 hari, peneliti menyatakan bahwa
pemberian nutrisi parenteral singkat <5 hari tidak memberikan keuntungan yang
signifikan. Pada pasien PICU yang tidak dapat menerima atau tidak toleransi
terhadap nutrisi enteral dalam 3-5 hari harus dimulai pemberian nutrisi
parenteral.57
Penambahan lemak dalam nutrisi parenteral pada bayi dan anak
menurunkan produksi karbon dioksida, minute ventilation dan deposit lemak,
meningkatkan oksidasi lemak, menambah retensi protein dan mencegah defisiensi
asam lemak esensial. Idealnya nutrisi parenteral untuk pasien PICU sebaiknya
mengandung asam amino mengandung sistein, glutamin dan arginin, karbohidrat
rendah hingga tinggi, sumber lemak -3 PUFA dan multivitamin serta
antioksidan. Sebuah penelitian dari Li tahun 2008 menyatakan dosis lemak
standar tidak mengubah fungsi imun pada anak setelah operasi saluran cerna. 57
Dewasa ini belum cukup bukti untuk membuat rekomendasi tentang
penggunaan prokinetik atau motility agents (untuk intoleransi nutrisi enteral),
prebiotik, probiotik atau sinbiotik pada anak sakit kritis. 51

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


49

2.9.6. Monitoring Status Nutrisi pada Anak Sakit Kritis


Ada beberapa parameter untuk memantau kemajuan terapi enteral dan parenteral
selama di PICU selain kondisi klinis dan hasil laboratorium. Bayi dan anak
dengan malnutrisi akut dan kronik, kehilangan berat badan atau puasa lama sangat
rentan terkena efek metabolik dan sindrom refeeding. Untuk anak yang berisiko
perlu dimonitor secara berkala kadar elektrolit, fosfor, magnesium, kalsium,
glukosa, status cairan dan fungsi kardiopulmonal.57
Hiperglikemia sering ditemukan pada anak sakit kritis dalam 48 jam
pertama perawatan, hal ini disebabkan oleh resistensi atau penurunan sensitivitas
jaringan terhadap insulin. Namun setelah periode awal, anak sakit kritis
menunjukkan toleransi baik terhadap pemberian karbohidrat enteral, sehingga
glukosa darah bukan merupakan indikator yang baik untuk menilai status nutrisi.
Albumin mempunyai waktu paruh yang panjang (20 hari) dan mempunyai
sensitivitas rendah terhadap perubahan yang akut sehingga bukan merupakan
parameter yang baik untuk monitor status nutrisi. Prealbumin dengan waktu paruh
yang pendek yaitu dua hari dan volume distribusinya sedikit, sangat sensitif dan
spesifik terhadap perubahan status nutrisi. Prealbumin merupakan parameter yang
baik untuk monitoring, renutrisi, dan perubahan status nutrisi pada sakit kritis dan
satu-satunya parameter yang valid untuk mengevaluasi status nutrisi pada gagal
ginjal.63
Anak yang mengalami sepsis setelah trauma atau operasi jantung,
mengalami tahap penghentian pertumbuhan (growth-resistant state), yang
ditandai dengan penurunan insulin-like growth factors dan peningkatan growth
hormone. Kondisi stress yang berkepanjangan dapat menyebabkan penghambatan
pertumbuhan, sehingga pengukuran antropometri serial harus dilakukan.
Meskipun berat badan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak
berhubungan dengan nutrisi di ICU, monitoring berat badan sangat berguna
setelah diuresis. Pengukuran tebal lipatan bawah kulit dan lingkar lengan atas
dapat mendeteksi perubahan pada massa lemak dan otot. Kalorimeter indirek,
respiratory quotient dan balans nitrogen merupakan penentu yang paling baik

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


50

dalam melihat kebutuhan makronutrien dan energi. Fungsi hepar dan paru harus
dimonitor untuk melihat sekuele negatif dari underfeeding dan overfeeding.57
Respons inflamasi sistemik akan mengutamakan sintesis protein hepar
untuk menurunkan produksi protein transport dan meningkatkan sintesis protein
fase akut. Perubahan pada metabolime protein dapat memprediksi outcome ICU
selama fase akut. Kadar albumin serum preoperatif berbanding terbalik dengan
lama rawat, infeksi dan mortalitas pada anak dan bayi yang menjalani operasi.
CRP (C-reactive protein) dan prealbumin juga dapat memprediksi mortalitas pada
bayi preoperatif. Normalisasi kadar CRP menunjukkan tahap anabolisme dan
peningkatan laju metabolik untuk energi yang digunakan untuk pertumbuhan. 57

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


51

BAB 3
KASUS

Kriteria pengambilan pasien pada serial kasus ini adalah pasien anak yang dirawat
di PICU RSABHK dengan pneumonia berat. Pasien anak dengan pneumonia berat
termasuk dalam kondisi sakit kritis dengan stres metabolisme yang berat dan
kecenderungan terjadinya risiko malnutrisi. Dukungan nutrisi yang optimal
memberikan hasil yang lebih baik pada pasien sakit kritis. Pemantauan dilakukan
minimal lima hari disertai intervensi nutrisi. Parameter yang dinilai selama
pemantauan adalah kondisi klinis pasien, toleransi asupan dan beberapa parameter
laboratorium. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat empat kasus serial yang
terjaring (1) pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, gizi kurang (2)
pneumonia berat, ventricle septal defect (VSD), kardiomegali, hernia skrotalis
dekstra, ARDS, gizi baik, stunted (3) pneumonia berat, hipereaktif bronkus,
suspek PJB sianotik, gizi baik (4) pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, gizi
buruk

3.1. Kasus 1 dengan Pneumonia berat, suspek hernia diafragmatika, ARDS,


gizi kurang
Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 4,5 bulan berinisial AK yang dirawat
di PICU RSABHK dengan keluhan sesak napas yang semakin berat. Pasien
dirujuk dari RS H dengan diagnosis pneumonia berat dan atelektasis lobus
superior dextra. Dua hari sebelum masuk RS H, pasien menderita batuk berdahak,
pilek dan demam. Ibu pasien memberikan obat batuk pilek, suhu tubuh pasien
turun namun kemudian naik lagi. Satu hari sebelum masuk RS H, pasien sesak
napas hingga mengalami kesulitan bernapas, pasien kemudian dibawa ke RS H.
Pasien dirawat di RS H selama 7 hari, 2 hari terakhir dirawat di ICU dan
dilakukan intubasi. Pasien kemudian dirujuk ke PICU RSAB HK. Pasien belum
pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, lahir prematur pada
usia kehamilan 30 minggu secara sectio caesarea oleh dokter kandungan atas

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


50
52

indikasi lilitan tali pusat. Berat badan lahir adalah 1400 gram, dengan panjang
badan 41 cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien tidak mengalami keluhan saat
hamil maupun minum obat-obatan tertentu pada saat kehamilannya, kontrol
teratur ke dokter spesialis kandungan. Usia saat hamil adalah 30 tahun, berat
badan ibu sebelum hamil adalah 52 kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan
yaitu 8 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 50, tinggi badan 155 cm, IMT 20,81
kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah bisa mengangkat kepala saat
telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B 1,2, Polio 1,2, DPT
1,2 dan BCG. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, dapat menyusu dengan kuat
menurut ibu pasien, setiap kali menyusu sekitar 10-15 menit setiap 2-3 jam sekali.
Dua hari sebelum masuk RS H mulai malas menyusu, menyusu hanya sebentar-
sebentar saja, sekitar 5-10 menit setiap menyusu, menyusu setiap 2-3 jam sekali.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 2
dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 123/65 mmHg, nadi 102 x per
menit, napas menggunakan ventilator dengan mode SIMV, PEEP 8 dengan
frekuensi napas 55 x per menit, suhu 36,8o C. Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung terpasang
pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik. Mulut terdapat pipa endotrakeal terhubung
dengan ventilator. Pemeriksaan thoraks tampak asimetris, terdapat retraksi sela
iga, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung I-II reguler, tanpa murmur dan
gallop, pemeriksaan paru menunjukkan suara napas vesikuler, suara napas di
hemithoraks kanan lebih lemah, terdapat ronkhi basah halus di kedua lapang paru,
wheezing tidak ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas normal,
supel, distensi tidak ada. Ekstremitas hangat, tidak terdapat oedem. Genitalia tidak
ada kelainan, kapasitas fungsional bedridden, BAK menggunakan kateter, pasien
belum BAB.
Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan
panjang badan (PB) 55 cm dan berat badan (BB) 4,7 kg. Pasien prematur dengan
usia gestasi 30 minggu, usia koreksi adalah 8 minggu. Berat badan ideal (BBI)
menurut kurva CDC adalah 5,3 kg. Lingkar lengan atas (LLA) yaitu 14 cm (LLA

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


53

P50 usia 4 bulan laki-laki adalah 14,1 cm), panjang badan termasuk persentil 10
(P10) masih tergolong normal. Penentuan status gizi berdasarkan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) adalah 88% kesan gizi kurang, berdasarkan
perbandingan lingkar lengan atas dengan lingkar lengan standar baku sesuai usia
adalah 99% sehingga kesannya adalah sesuai. Berdasarkan klinis, BB/TB dan
lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi kurang.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto
thoraks. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia (Hb 11,8 g/dL), Ht 34%,
leukosit 6200/L, trombosit 334000/L, albumin 3,4 g/dL, globulin 2,8 g/dL,
protein total 5,8 g/dL, bilirubin direk 0,2 mg/dL, bilirubin indirek 0,6 mg/dL,
bilirubin total 0,8 mg/dL, fungsi hati dalam batas normal (SGOT 19 U/L, SGPT
38 U/L). Pemeriksaan elektrolit terdapat hiponatremia (natrium 133 mmol/L),
elektrolit lain dalam batas normal (kalium 4,1 mmol/L, klorida 99 mmol/L), CRP
9,9 mg/dL. Foto thoraks kesan pneumonia lobaris, atelektasis lobus superior
dekstra, suspek hernia diafragmatika.
Terapi yang didapat adalah midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v,
Tizos 3 x 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x
sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Pasien mendapatkan infus Dekstrosa 10%
5x20 ml dan Benutrion VE 5x4 ml.
Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 254 kkal (protein 4,1 g, lemak
18 g dan KH 32 g), analisis 4 jam terakhir (pukul 02.00-06.00) adalah 38 kkal
(protein 1 g, lemak 0 g dan KH 10 g). Balans cairan pada pasien ini adalah -30 mL
(intake 100 mL dan output 130 mL dalam 4 jam)

Gambar 3.1. Analisis asupan sebelum sakit dan 4 jam terakhir kasus 1
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


54

Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, hernia diafragmatika,


hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hiponatremia, status
gastrointestinal dalam batas normal.
Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan
toleransi asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus
White dengan menggunakan usia koreksi, didapat 317 kkal (320 kkal) dengan
faktor stres 1,2 didapat kebutuhan energi total 380 kkal. Komposisi yang
diberikan protein 12 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak 25% (10,5 g) dan KH 24,7 g.
Rencana pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal yaitu sebesar 254 kkal,
protein 12 g (20 %), lemak 25% (7 g) dan KH 59,85 g. Kebutuhan cairan pada
pasien ini adalah 470 mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC sama dengan 1:106.
Setiap hari dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal
dan analisis asupan pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai
mencapai kebutuhan total.
Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui
NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam
dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan dekstrosa 10% sebanyak 200
ml/24 jam dan asam amino 5 % pediatri sebanyak 150 ml/24 jam.
Pasien dipantau selama delapan hari perawatan. Pada Gambar 3.2
disajikan pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan.
Pengambilan data tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama, yaitu
pagi hari.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


55

Gambar 3.2. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 1

Selama pemantauan kondisi pasien tampak sakit berat dengan kesadaran


somnolen, dengan fluktuasi tanda vital, seperti tergambar dalam Gambar 3.2.
Rasio PaO2/FiO2 pada hari ke-4 adalah 111 mmHg, sehingga pasien masuk dalam
kondisi ARDS. Kondisi sesak yang merupakan keluhan utama saat masuk masih
ada, namun tampak perbaikan pada hari perawatan ke-5 dan 6, namun pada hari
perawatan ke-7 frekuensi pernapasan meningkat lagi hingga 50x/menit dan
disertai peningkatan suhu tubuh. Selama perawatan pasien menggunakan
ventilator dengan fraksi O2 yang bervariasi. Selama perawatan pasien
menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik. Pada pemeriksaan paru
retraksi sela iga dan ronkhi tetap ada hingga akhir pemantauan. Abdomen tidak
ada kelainan selama pemantauan. Pada pemantauan hari ke-5, kurang lebih 20
menit pasca transfusi timbul ruam kemerahan di tungkai bawah kanan, akral
tampak sianosis, teraba dingin dengan capillary refill time lebih dari 3 detik, saat
itu juga transfusi dihentikan. Pasien kemudian dikonsulkan dengan hasil diagnosis
deep vein thrombosis, diberikan terapi heparin dan gejala menghilang pada hari
ke-7. Pasien BAB 2 hari sekali dengan bentuk padat dan berwarna coklat.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


56

Pada pemantauan hari ke-7 pasien sesak kembali dengan pernapasan 50


x/menit, hari ke-8 saat divisit pagi hari pernapasan 40x/menit, namun siang
harinya pasien menjadi sesak sekali hingga 60 x/menit, tekanan darah menurun
hingga dilakukan resusitasi jantung paru namun tidak berhasil. Pasien dinyatakan
meninggal dunia di hadapan keluarga.
Pemeriksaan laboratorium selama delapan hari masa pemantauan, kadar
hemoglobin menunjukkan anemia 6,7 mg/dL dan kemudian menjadi 12,6 mg/dL
setelah transfusi, kadar leukosit normal pada awal hingga hari ke-4, namun terjadi
leukositosis pada hari ke-5. Terdapat hipoalbuminemia 2,8 g/dL, hiponatremia
132 mmol/L menjadi 136 mmol/L pada hari ke-5. Pemeriksaan laboratorium lain
dalam batas normal. Hasil kultur bronkus yang keluar pada hari ke-7 adalah
positif Pseudomonas aeruginosa dengan hasil foto toraks kesan perburukan.
Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.3
berikut ini

Gambar 3.3. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 1

Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan
dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan
gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi totalnya yaitu 380
kkal pada hari ke-7 pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total yaitu 12 g

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


57

dicapai pada hari ke-4 pemantauan. Analisis asupan protein selama pemantauan
tampak pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 1

3.2. Kasus 2 dengan Pneumonia berat, VSD, kardiomegali, hernia skrotalis


dekstra, ARDS, gizi baik, stunted
Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 4 bulan berinisial MF yang dirawat di
PICU RSABHK dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 2 hari
SMRS. Pasien mengalami panas badan tidak terlalu tinggi, naik turun sejak 4 hari
SMRS, disertai batuk berdahak dan pilek. Ibu pasien mengatakan sejak 2 hari
SMRS menjadi malas menyusu, muntah 1 x berisi susu. Pasien kemudian dibawa
berobat ke poliklinik Aster dan diharuskan untuk rawat inap.
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Sejak usia 1,5 bulan
terdapat benjolan di kantung kemaluan sebelah kanan, namun belum direncanakan
tindakan operasi. Sejak usia 2 bulan pasien telah didiagnosis adanya kebocoran
katup jantung disertai tubuh yang membiru setiap kali menangis. Saat itu telah
disarankan untuk dilakukan tindakan operasi, namun karena alasan ekonomi
orangtua pasien memutuskan untuk menunda tindakan operasi tersebut. Kebiasaan
buang air besar satu kali sehari, lembek berwarna coklat.
Pasien merupakan anak pertama, lahir pada usia kehamilan 9 bulan secara
normal oleh bidan. Berat badan lahir adalah 3000 gram, dengan panjang badan 47
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


58

cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien tidak mengalami keluhan saat hamil
maupun minum obat-obatan tertentu pada saat kehamilannya, kontrol teratur ke
bidan. Usia saat hamil adalah 23 tahun, berat badan ibu sebelum hamil adalah 55
kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan 10 kg. Berat badan ibu sekarang
adalah 55 kg, tinggi badan 157 cm, IMT 22,31 kg/m2. Perkembangan pasien
sebelum sakit adalah miring kiri kanan saat terlentang. Imunisasi yang sudah
didapat adalah Hepatitis B 1, Polio 1. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, menyusu
sebentar-sebentar dan tidak begitu kuat. Setiap kali menyusu sekitar 10 menit,
menyusu setiap 2-3 jam.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari
ke 2 dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak lemah, kesadaran apatis. Tekanan darah 98/60 mmHg, nadi 142 x
permenit, napas menggunakan ventilator dengan mode SIMV, PEEP 5 dengan
frekuensi napas 53 x per menit, suhu 37,3oC. Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung terpasang
pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik. Mulut terdapat pipa endotrakeal terhubung
dengan ventilator. Pemeriksaan thoraks tampak simetris, tampak retraksi dinding
dada minimal, pemeriksaan jantung didapatkan kesan batas jantung melebar,
bunyi jantung ireguler, terdapat murmur dan gallop negatif, pemeriksaan paru
menunjukkan suara napas vesikuler, terdapat ronkhi basah kasar di kedua lapang
paru, wheezing ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas normal,
supel. Ekstremitas hangat, tidak terdapat oedem, tidak ada sianosis. Genitalia
skrotum kanan tampak membesar, BAK menggunakan kateter, BAB 1 x lembek
berwarna kecoklatan. Kapasitas fungsional bedridden.
Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan
panjang badan (PB) 57 cm dan berat badan (BB) 4,8 kg. Berat badan ideal (BBI)
menurut kurva CDC adalah 5 kg. LLA yaitu 12,5 cm (LLA P50 usia 4 bulan laki-
laki adalah 13,8 cm), panjang badan dibawah persentil 3 (<P3) kesan stunted
(perawakan pendek). Penentuan status gizi berdasarkan berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) 96% kesan gizi baik. Berdasarkan perbandingan lingkar
lengan atas dengan lingkar lengan standar baku sesuai usia adalah 90%.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


59

Berdasarkan klinis, BB/TB dan lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien
mempunyai status gizi baik dengan stunted.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto
toraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat anemia (Hb 11,8 g/dL), Ht
35%, leukosit 8800/L, trombosit 187000/L, albumin 3,6 g/dL, globulin 2,5
g/dL, bilirubin direk 0,1 mg/dL, bilirubin indirek 0,3 mg/dL, peningkatan enzim
hati (SGOT 88 U/L, SGPT 42 U/L), fungsi ginjal dalam batas normal (ureum 32
mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL). Pemeriksaan elektrolit terdapat hiponatremia
(natrium 132 mmol/L), kalium 5,8 mmol/L, klorida 104 mmol/L, glukosa darah
68 mg/dL, GGT (gamma glutamyl transferase) 69 (<50) U/L, ALP (alkali
fosfatase) 282 (anak 110-360) U/L. Foto toraks kesan interstitial pneumonia,
kardiomegali.
Terapi yang didapat adalah midazolam 7 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v,
vitamin C 1 x 200 mg i.v, Rantin 3 x 10 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Dialac 2
x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 282 kkal (protein 4,6 g, lemak
20 g dan KH 35,4 g. 24 jam sebelum sakit adalah 187 kkal (protein 3 g, lemak
13,3 g dan KH 23,5 g. Balans cairan pada pasien ini adalah positif 92 mL (intake
300 mL dan output 208 mL).

Gambar 3.5. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 2

Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect),
kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, hipermetabolisme sedang, status gizi baik,
perawakan pendek (stunted), anemia, hipernatremia, peningkatan enzim hati.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


60

Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan


toleransi asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus
White didapatkan 360 kkal dengan faktor stres 1,2 didapatkan kebutuhan energi
total 432 kkal. Komposisi yang diberikan protein 12 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak
25 % (12 g) dan KH 69 g. Pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal 288 kkal,
protein 12 g. (16,6 %), lemak 25% (8 g) dan KH 42 g. Jalur pemberian nutrisi
melalui enteral via NGT dan parenteral. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah
480 mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC sama dengan 1:125. Setiap hari
dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis
asupan pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai
kebutuhan total.
Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui
NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam
dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan dekstrosa 10% sebanyak 250
ml/24 jam dan asam amino 5 % pediatri sebanyak 100 ml/24 jam.
Pasien dipantau selama delapan hari perawatan. Pada Gambar 3.6
disajikan pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan.
Pengambilan data tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama yaitu
pagi hari.

Gambar 3.6. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 2

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


61

Selama pemantauan kondisi pasien tampak sakit berat dengan kesadaran


somnolen, dengan fluktuasi tanda vital, seperti tergambar dalam Gambar 3.6.
Rasio PaO2/FiO2 pada hari ke-4 adalah 147,5 mmHg, sehingga pasien masuk
dalam kondisi ARDS. Pada hari ke-5 suhu tubuh naik. Kondisi sesak yang
merupakan keluhan utama saat masuk masih ada, sempat membaik pada hari ke-7
namun sesak lagi pada hari ke-8. Selama perawatan pasien menggunakan
ventilator dengan fraksi O2 yang bervariasi. Pasien sempat gelisah dan disertai
pernapasan cuping hidung pada hari ke-8. Kondisi pasien mengalami perburukan
dan meninggal dunia pada hari ke-8. Selama perawatan pasien menggunakan
NGT, tidak pernah terdapat aliran balik. Pada pemeriksaan paru tampak retraksi
minimal dan ronkhi di kedua lapang paru yang tetap ada hingga akhir
pemantauan. Pada pemeriksaan jantung terdapat murmur hingga akhir
pemantauan. Abdomen tidak ada kelainan selama pemantauan. Pasien BAB 1-2
hari sekali dengan bentuk padat dan berwarna coklat.
Pemeriksaan laboratorium selama delapan hari masa pemantauan, kadar
hemoglobin menunjukkan anemia 8,6 mg/dL dan kemudian menjadi 11,6 mg/dL
setelah transfusi, kadar leukosit normal pada awal hingga hari ke-5, namun terjadi
leukositosis pada hari ke-7. Terdapat hiponatremia 133 mmol/L menjadi 135
mmol/L pada hari ke-8. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan selama
pemantauan adalah kultur darah dengan hasil S.epidermidis (+) dan kultur
bronkus dengan hasil Pseudomonas aeruginosa (+).
Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 2


Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


62

Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan
dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan
gastrointestinalnya. Pasien baru dapat mencapai kebutuhan energi basalnya yaitu
360 kkal pada hari ke-8 pemantauan, kebutuhan energi total belum dapat tercapai.
Sedangkan kebutuhan protein total yaitu 12 g dicapai pada hari ke-8 pemantauan.
Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar 3.8.berikut ini.

Gambar 3.8. Analisis asupan protein selama pemantauan

3.3. Kasus 3 Pneumonia berat, HRB (Hiperreaktif bronkus), suspek penyakit


jantung bawaan (PJB) sianotik, dekstrokardia, gizi baik
Pasien adalah seorang anak perempuan berusia 3 bulan berinisial NC yang dirawat
di PICU RSABHK dengan keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak 1
hari SMRS. Pasien mengalami batuk berdahak dan pilek sejak 2 hari SMRS. Ibu
pasien mengatakan sejak 2 hari SMRS menjadi malas menyusu.
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Sejak lahir kuku jari
tangan sering biru, daerah sekitar bibir sering kebiruan terutama jika menangis,
pasien belum berobat karena keluhannya ini.
Pasien merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, lahir pada usia
kehamilan 9 bulan secara normal oleh bidan. Berat badan lahir adalah 3150 gram,
dengan panjang badan 48 cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien pernah
mengalami keluar flek saat hamil 5 bulan, kontrol ke bidan dikatakan harus
istirahat selama satu minggu, tidak ada keluhan lain saat hamil maupun minum
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


63

obat-obatan tertentu pada saat kehamilan. Usia saat hamil adalah 30 tahun, berat
badan ibu sebelum hamil adalah 52 kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan
12 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 60 kg, tinggi badan 154 cm, IMT 25,3
kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah dapat mengangkat kepala saat
telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B, Polio, dan DPT
masing-masing 1 kali. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, menyusu tidak begitu
kuat dan sebentar-sebentar menurut ibu pasien. Setiap kali menyusu sekitar 15
menit dan menyusu tiap 2-3 jam. Kedua kakak pasien sehat, berumur 5 tahun dan
3 tahun.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 2
dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 101/49 mmHg, nadi 155 x per
menit, napas spontan dengan frekuensi napas 44 x per menit, suhu 36,2 oC.
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil
bulat isokor. Pada hidung terpasang pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik,
terpasang nasal kanul dengan O2 3 liter/menit, tidak terdapat pernapasan cuping
hidung. Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran
balik. Pada mulut terdapat sianosis perioral. Pemeriksaan thoraks tampak simetris,
tampak retraksi dinding dada minimal, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi
jantung ireguler, murmur ada dan gallop tidak ada, pemeriksaan paru
menunjukkan suara napas vesikuler, terdapat ronkhi basah kasar di kedua lapang
paru, wheezing tidak ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas
normal, supel. Ekstremitas atas bawah dingin, tampak sianotik, capillary refill
time >2 detik, tidak terdapat oedem. Genitalia tidak ada kelainan, BAK
menggunakan kateter, BAB belum sejak 2 hari.
Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan
panjang badan (PB) 58 cm dan berat badan (BB) 5,3 kg. Berat badan ideal (BBI)
menurut kurva CDC adalah 5,4 kg. LLA yaitu 13,1 cm (LLA P50 usia 3 bulan
perempuan adalah 13 cm), panjang badan termasuk persentil 25 (P25). Penentuan
status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 98,1 % kesan
gizi baik, berdasarkan perbandingan lingkar lengan atas dengan lingkar lengan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


64

standar baku sesuai usia adalah 100%. Berdasarkan klinis, BB/TB dan lingkar
lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi baik.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto
toraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium Hb 15,1 g/dL, Ht 45%,
leukositosis (leukosit 25400/L), trombosit (trombosit 420000/L), C-reactive
protein 1,0 mg/dL, bilirubin direk 0,1 mg/dL, bilirubin indirek 0,4 mg/dL, SGOT
32 U/L, SGPT 24 U/L, PT 14,2 detik, APTT 44,5 detik, glukosa darah 270 mg/dL
Pemeriksaan elektrolit natrium 137 mmol/L, kalium 5,2 mmol/L, klorida 105
mmol/L, kalsium 11 mg/dL. Pemeriksaan analisis gas darah pH 7,32, PCO 2 34,
PO2 39, BE -6,2, HCO3 18, Saturasi O2 68%, kesan asidosis metabolik. Foto
thoraks kesan pneumonia berat, dekstrokardia.
Terapi yang didapat adalah Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v,
vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v,
Glybotic 1 x 80 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup
1 x 1,5 ml p.o. Pasien mendapatkan infus KaEN 3A 10 x 20 ml.
Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 254 kkal (protein 4,1 g, lemak
18 g dan KH 32 g dan analisis asupan 10 jam terakhir adalah 21,6 kkal (protein 0
g, lemak 0 g dan KH 5,4 g. Balans cairan pada pasien ini adalah 45 mL (intake
200 mL dan output 155 mL)

Gambar 3.9. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 3

Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, suspek PJB sianotik,
dekstrokardia, hipermetabolisme sedang, leukositosis, asidosis metabolik, status
gizi baik.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


65

Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan toleransi
asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schofield
(BB-TB) didapat 266 kkal dengan faktor stres 1,3 didapat kebutuhan energi total
345 kkal. Komposisi yang diberikan protein 13,25 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak
25% (9,6 g) dan KH 52 g. Pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal 210 kkal,
protein 10,5 g (20 %), lemak 25 % (5,8 g) dan KH 30 g. Jalur pemberian nutrisi
melalui enteral melalui NGT dan parenteral. Kebutuhan cairan pada pasien ini
adalah 530 mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC adalah 1 : 100. Setiap hari
dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis
asupan pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai
kebutuhan total.
Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui
NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam
dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan asam amino 5 % pediatri
sebanyak 120 ml/24 jam.
Pasien dipantau selama sembilan hari. Pada Gambar 3.10 disajikan
pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan. Pengambilan data
tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama yaitu pagi hari.

Gambar 3.10. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 3

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


66

Selama pemantauan kondisi pasien tampak sakit berat dengan kesadaran


somnolen, dengan fluktuasi tanda vital, seperti tergambar dalam Gambar 3.10.
Kondisi sesak yang merupakan keluhan utama saat masuk membaik, suhu tubuh
masih dalam batas normal. Selama perawatan pasien dapat bernapas spontan,
menggunakan nasal kanul dari awal hingga akhir pemantauan. Selama perawatan
pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik. Pada pemeriksaan
paru tampak retraksi minimal dan ronkhi di kedua lapang paru yang tetap ada
hingga akhir pemantauan. Pada pemeriksaan jantung terdapat murmur hingga
akhir pemantauan. Abdomen tidak ada kelainan selama pemantauan. Pasien BAB
1-2 hari sekali dengan konsistensi lembek dan berwarna coklat.
Pemeriksaan laboratorium selama sembilan hari masa pemantauan,
terdapat leukositosis saat awal masuk kemudian membaik pada hari ke-5
pemantauan. Terdapat hiponatremia 131 mmol/L menjadi 132 mmol/L pada hari
ke-5 dan 134 mmol/L pada hari ke-6. Pemeriksaan laboratorium lain dalam batas
normal. Kondisi pasien membaik dan direncanakan pindah ke ruang perawatan
pada hari ke-9 pemantauan.
Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.11.

Gambar 3.11. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 3

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


67

Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan
dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan
gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi total yaitu 345 kkal
pada hari ke-5 pemantauan, dan dipertahankan asupannya hingga hari ke-9
pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total dicapai pada hari ke-6
pemantauan. Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar
3.12.

Gambar 3.12. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 3

3.4. Kasus 4 Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, gizi buruk


Pasien adalah seorang anak perempuan berusia 4 bulan berinisial AS yang dirawat
di PICU RSABHK dengan keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak 1
hari SMRS. Awalnya pasien batuk berdahak disertai lendir dan juga pilek selama
3 hari. Ibu pasien mengatakan sejak 2 hari SMRS menjadi malas menyusu. Pasien
dirujuk dari RSAL M, pasien sempat mengalami henti napas saat perawatan,
telah terpasang pipa saluran napas (pipa endotrakeal/ETT),
Pasien merupakan anak pertama, lahir pada usia kehamilan 9 bulan secara
normal oleh dokter spesialis kandungan. Berat badan lahir adalah 2900 gram,
dengan panjang badan 47 cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien kontrol
teratur ke dokter spesialis kandungan, tidak ada keluhan saat hamil maupun
minum obat-obatan tertentu pada saat kehamilan. Usia saat hamil adalah 27 tahun,
berat badan ibu sebelum hamil adalah 59 kg, kenaikan berat badan sampai
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


68

melahirkan yaitu 12 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 65 kg, tinggi badan 160
cm, IMT 25,3 kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah bisa mengangkat
kepala saat telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B 1, 2, Polio
1, 2, DPT 1, 2. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, Menyusu sebentar-sebentar
menurut ibu pasien, sekitar 5-10 menit tiap kali menyusu, dan sering muntah
setelah selesai menyusu.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 1
dan perawatan PICU hari ke 1. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 98/64 mmHg, nadi 171 x
permenit, napas menggunakan ventilator dengan mode PSIMV, PEEP 5 dan FiO2
40%, frekuensi napas 54 x per menit, suhu 36,6o C. Konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung
terpasang pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik, tidak terdapat pernapasan
cuping hidung. Pada mulut terdapat pipa endotrakeal tersambung dengan
ventilator. Pemeriksaan toraks tampak simetris, tampak iga gambang, terdapat
retraksi suprasternal, interkostal, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung I-
II reguler, tanpa murmur dan gallop, pemeriksaan paru menunjukkan adanya
stridor saat inspirasi, terdapat ronkhi di kedua lapang paru, wheezing tidak ada.
Abdomen tampak cekung, bising usus dalam batas normal, supel. Ekstremitas
tampak subcutan fat loss, hangat, capillary refill time <2 detik, tidak terdapat
oedem. Genitalia tidak ada kelainan, BAK menggunakan kateter, BAB padat 1 x
berwarna coklat. Kapasitas fungsional bedridden.
Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan
panjang badan (PB) 60 cm dan berat badan (BB) 4 kg. Berat badan ideal (BBI)
menurut kurva CDC) adalah 5,8 kg. LLA yaitu 10,5 cm (LLA P50 usia 4 bulan
perempuan adalah 13,4 cm), panjang badan menurut umur termasuk persentil 25
(P25) masih termasuk normal. Penentuan status gizi berdasarkan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) 68% kesan gizi buruk. Berdasarkan klinis, BB/TB
dan lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi buruk.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto
thoraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat anemia (Hb 10,7 g/dL),

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


69

Ht 31%, leukositosis (leukosit 26600/L), kenaikan enzim hati (SGOT 94 U/L,


SGPT 44 U/L), glukosa darah 94 mg/dL Pemeriksaan elektrolit natrium 137
mmol/L, kalium 4 mmol/L, klorida 110 mmol/L, hipokalsemia (kalsium 7,9
mg/dL). Pemeriksaan analisis gas darah pH 7,49, PCO2 25, PO2 24 , HCO3 23, BE
-2, Saturasi O2 99% (kesan : alkalosis respiratorik). Foto toraks terdapat infiltrat di
kedua lapang paru, kesan pneumonia lobaris.
Terapi yang didapat adalah Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 450 mg i.v,
vitamin C 1 x 100 mg i.v, ranitidin 3 x 5 mg i.v, Farmadol 4 x 50 mg i.v, inhalasi
Ventolin dan Pulmicort 3 x/hari. Pasien mendapat infus Kaen 3B 200 ml.
Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 282 kkal (protein 4,6 g, lemak
20 g dan KH 35,4 g dan 24 jam terakhir adalah 21,6 kkal (protein 0 g, lemak 0 g
dan KH 5,4 g. Balans cairan pada pasien ini adalah 40 mL (intake 340 mL dan
output 300 mL)

Gambar 3.13. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 4

Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, laringomalasia, status gizi
buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, leukositosis, hipokalsemia, alkalosis
respiratorik.
Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan
toleransi asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus
White didapat 303 kkal dengan faktor stres 1,3 didapat kebutuhan energi total 393
kkal. Komposisi yang diberikan protein 10 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak 25 % (11
g) dan KH 63 g. Pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal 242 kkal, protein
10 g (16%), lemak 25 % (6,7 g) dan KH 35 g. Jalur pemberian nutrisi melalui
enteral melalui NGT dan parenteral. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 400
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


70

mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC sama dengan 1:126. Setiap hari dilakukan
evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis asupan
pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai kebutuhan
total.
Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui
NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam
dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan dekstrosa 10% sebanyak 110
ml/24 jam dan asam amino 5 % pediatri sebanyak 100 ml/24 jam.
Pasien dipantau selama sebelas hari. Pada Gambar 3.10 disajikan
pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan. Pengambilan data
tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama yaitu pagi hari.

Gambar 3.14. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 4

Selama pemantauan kondisi pasien tampak sakit berat dengan kesadaran


somnolen, dengan fluktuasi tanda vital, seperti tergambar dalam Gambar 3.14.
Rasio PaO2/FiO2 pada hari ke-1 adalah 60 mmHg, sehingga pasien masuk dalam
kondisi ARDS. Tekanan darah baik sistolik maupun diastolik cenderung turun
hingga akhir pemantauan. Kondisi sesak yang merupakan keluhan utama saat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


71

masuk masih ada, sempat membaik pada hari ke-4 namun sesak lagi pada hari ke-
5 hingga akhir pemantauan, suhu tubuh naik pada hari ke-8. Selama perawatan
pasien menggunakan ventilator dan di hari ke-4 pasien sudah bisa weaning dari
ventilator dan bernapas spontan, pasien mengalami kondisi ARDS perbaikan.
Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik.
Pada pemeriksaan paru tampak retraksi suprasternal dan interkostal selama
perawatan, terdapat ronkhi di kedua lapang paru dan stridor insprasi yang tetap
ada hingga akhir pemantauan. Abdomen tidak ada kelainan selama pemantauan.
Pasien BAB 1-2 hari sekali dengan bentuk lembek hingga padat dan berwarna
coklat.
Pemeriksaan laboratorium selama sebelas hari masa pemantauan, kadar
hemoglobin menunjukkan 10,7 mg/dL pada awal masuk menjadi 9,6 mg/dL dan
kemudian menjadi 10,6 mg/dL, kadar leukosit tinggi pada saat masuk namun
kembali normal pada pemantauan hari ke-4. Terdapat hipokalemia dan
hipoalbuminemia. Kondisi pasien membaik dan direncanakan pindah ke ruang
perawatan pada hari ke-11 pemantauan.
Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.15.

Gambar 3.15. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 4

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


72

Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan
dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan
gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi total yaitu 393 kkal
pada hari ke-11 pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total dicapai pada hari
ke-7 pemantauan.
Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar 3.16 berikut ini.

Gambar 3.16. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 4

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


73

BAB 4
PEMBAHASAN

Serial kasus ini membahas empat buah kasus pasien anak yang didiagnosis
sebagai pneumonia berat dengan berbagai penyebab, penyakit penyerta, dan
kondisi. Tabel dibawah ini memperlihatkan karakteristik empat kasus tersebut.

Tabel 4.1. Karakteristik pasien


Kasus Diagnosis Usia Lahir Jenis PB BB Status
(bulan) kelamin (cm) (kg) gizi
1 Pneumonia berat, 4,5 Prematur Laki-laki 55 4,7 Kurang
hernia diafragmatika,
ARDS
2 Pneumonia berat, VSD, 4 Cukup bulan Laki-laki 57 4,8 Baik,
kardiomegali, hernia stunted
skrotalis dekstra, ARDS
3 Pneumonia berat, PJB 3 Cukup bulan Perempuan 58 5,3 Baik
sianotik
4 Pneumonia berat, 4 Cukup bulan Perempuan 60 4 Buruk
laringomalasia, ARDS

Pada keempat kasus, semua pasien berusia antara 3-4,5 bulan dengan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan berbanding 1:1. Angka kejadian pneumonia
tinggi pada anak dan balita, namun tidak dirinci pada usia berapa pneumonia berat
dapat terjadi. Tidak ada kepustakaan yang menyebutkan hubungan antara jenis
kelamin dengan angka kejadian pneumonia berat. Keempat pasien masuk kriteria
pneumonia berat karena terdapat pernapasan cepat lebih dari 50x/menit dan
terdapat penarikan dinding dada.
Keempat pasien adalah pasien PICU yang berisiko malnutrisi sehingga
harus dilakukan skrining nutrisi. Identifikasi dini terhadap risiko malnutrisi sangat
penting dilakukan dan terdapat banyak form skrining nutrisi yang dapat
digunakan. Setiap skrining mempunyai tujuan, aplikasi dan proses yang berbeda-
beda. Namun belum terdapat konsensus untuk skrining awal yang ideal dalam
menilai anak yang berisiko mengalami malnutrisi pada masa perawatan rumah
sakit dan akan mendapat manfaat dari dukungan nutrisi yang diberikan. 64
Terdapat enam buah skrining nutrisi untuk pasien anak yang dirawat di
rumah sakit yaitu Nutrition Risk Score (NRS), Pediatric Nutrition Risk Score
Universitas Indonesia
72

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


74

(PNRS), Screening Tool for the Assessment of Malnutrition in Paediatrics


(STAMP), Subjective Global Nutritional Assessment (SGNA), Pediatric Yorkhill
Malnutrition Score (PYMS) dan Screening Tool for Risk Of impaired Nutritional
Status and Growth (STRONGkids). Semua skrining menggunakan sistem skoring
untuk membagi risiko malnutrisi kedalam tiga kelompok yaitu malnutrisi ringan,
sedang dan berat.64
Tujuan dari keenam skrining nutrisi pediatri tersebut yaitu untuk
mengidentifikasi anak-anak pada awal perawatan rumah sakit terhadap risiko
terjadinya malnutrisi dan kebutuhan akan dukungan nutrisi selama perawatan
tersebut. STRONG merupakan skrining yang paling praktis, mudah digunakan
dan dapat dipercaya untuk menilai risiko malnutrisi. Sedangkan PYMS
merupakan skrining yang praktis untuk menilai risiko malnutrisi dan status nutrisi
pada saat ini.64
Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia belum ada
kriteria yang ideal untuk mendiagnosis malnutrisi rumah sakit maka penting untuk
mengenali kasus neonatus, bayi, dan anak yang memiliki risiko masalah nutrisi,
yaitu salah satu di bawah ini: 65
Berat badan lahir sangat rendah (<1500 gram) atau berat badan lahir
rendah (<2500 gram), dengan atau tanpa kelainan gastrointestinal, paru-
paru ataupun jantung.
Berat badan lahir kurang dari 2 standar deviasi di bawah rata-rata usia
kehamilan, dilihat dari fetal weight curve.
Kehilangan secara akut 10% berat badan atau lebih, bukan karena
dehidrasi atau hilangnya edema.
Berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) kurang dari persentil ke 10
atau lebih dari persentil ke 90.
Meningkatnya kebutuhan metabolik
Terdapat gangguan dalam kemampuan makan melalui oral.
Riwayat kekurangan makan atau nutrien yang tidak adekuat
Pertambahan berat badan yang tidak adekuat ataupun penurunan yang
signifikan dibandingkan pertumbuhan normal.
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


75

Faktor risiko untuk terjadinya pneumonia antara lain status gizi malnutrisi,
berat badan lahir rendah, ASI non eksklusif, belum imunisasi campak dalam 12
bulan pertama kehidupan.25 Berikut ini akan dibahas mengenai faktor risiko pada
masing-masing pasien.
Satu pasien yaitu pada kasus 1 lahir prematur dalam usia kehamilan 30
minggu, dengan berat badan lahir yaitu 1400 gram. Berat badan lahir rendah
<2500 g merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia. Pada pasien 1 untuk
melihat status gizinya perlu digunakan kurva pertumbuhan khusus oleh Babson
Benda dengan menggunakan usia koreksi. Untuk memantau tumbuh kembang
bayi prematur terdapat beberapa grafik yang dapat digunakan. Grafik
pertumbuhan berdasarkan pertumbuhan intrauterin lebih diutamakan
dibanndingkan yang berdasarkan pertumbuhan postnatal karena pola dan laju
pertumbuhan intrauterin yang normal merupakan standar pertumbuhan bagi
prematur. Pengukuran pertumbuhan dicatat berdasarkan umur gestasi yang telah
dikoreksi ke awal 12 bulan pertama kehidupan.48
Fenton66, menggabungkan serta mempublikasikan beberapa set grafik
pertumbuhan yang meliputi periode intrauterin dan periode postnatal dari minggu
ke 22 kehamilan sampai minggu ke 10 setelah lahir. Setelah bayi prematur
mencapai umur 40 minggu yang telah dikoreksi untuk umur gestasi, disarankan
untuk memonitor pertumbuhan dengan menggunakan grafik pertumbuhan CDC
yang baru. Bayi bekas lahir prematur dicatat dan ditelusuri dalam grafik ini
berdasarkan umur mereka yang telah dikoreksi dengan umur gestasinya.
Pasien kasus 1 lahir dalam usia kehamilan 30 minggu dari yang normalnya
40 minggu, sehingga usia koreksinya adalah dikurangi 10 minggu. Usia saat
pemeriksaan adalah 18 minggu sehingga usia setelah dikoreksi adalah 8 minggu.
Dalam menentukan status gizi dan kebutuhan energi pasien 1 menggunakan usia
koreksi.
Status gizi keempat pasien bervariasi dari gizi kurang, gizi baik dengan
stunted, gizi baik dan gizi buruk. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan
penyakit paru. Status nutrisi yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru
karena status nutrisi dapat mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


76

ventilasi, respon terhadap hipoksia dan mekanisme pertahanan paru. Kondisi


malnutrisi jangka panjang dapat mengubah respons imun tubuh dan dapat
mengakibatkan infeksi paru kronik atau infeksi paru berulang. 37
Pada keempat pasien ini mendapatkan ASI eksklusif, yaitu hanya minum
ASI saja. ASI diberikan on demand yaitu sesuai keinginan bayi. Ibu dari keempat
pasien tidak pernah memerah ASInya dan tidak pernah mengetahui berapa jumlah
ASI yang dihasilkan, sehingga dalam menentukan analisis asupan sebelum sakit
baik itu jumlah maupun komposisinya melalui perkiraan sesuai kepustakaan yang
didapat.
Pada umumnya, komposisi ASI bervariasi selama periode laktasi. Produksi
ASI yang pertama yaitu kolostrum yang diproduksi sejak lahir hingga 5 hari
postpartum. Kolostrum mengandung rendah lemak tinggi protein dan kaya akan
komponen imunoprotektif. Produksi ASI berikutnya adalah ASI transisional,
diproduksi selama sekitar 9 hari. Biasanya dalam 15 hari postpartum sudah
diproduksi ASI matur dan komposisinya relatif stabil hingga saat penyapihan
(weaning). Saat weaning terdapat perubahan pada konsentrasi protein, laktosa,
klorida dan natrium ketika volume ASI berkurang hingga 400 ml/hari. Kara dkk67
melaporkan bahwa seng, kalsium dan vitamin B6 dan C cenderung berkurang
antara 7 dan 25 bulan postpartum, sedangkan konsentrasi folat tetap stabil dan
konsentrasi magnesium menurun setelah 18 bulan laktasi.
Komposisi ASI akan berubah dalam tiap saat menyusu, ASI awal
(foremilk) yang dihasilkan oleh kelenjar mammae mengandung rendah lemak,
sedangkan ASI akhir (hindmilk) mengandung tinggi lemak. Kandungan lemak
dalam hindmilk sekitar dua hingga tiga kali lipat dari foremilk, dan mengandung
25-35 kkal/100ml. ASI matur mengandung hampir 88% air dengan osmolaritas
286 mOsm/L. ASI mengandung karbohidrat 70 g/L, lemak 40 g/L, protein 10 g/L,
dan mineral 2 g/L. ASI mengandung sekitar 650 hingga 700 kkal/L.67
Komposisi ASI tidak konstan dan tidak sama dari waktu ke waktu karena
dipengaruhi oleh tahap laktasi, ras, nutrisi ibu dan keadaan gizi ibu.68 Komposisi
ASI dapat dilihat dalam tabel 4.2 berikut ini

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


77

Tabel 4.2. Komposisi energi dan makronutrien dalam ASI matur


Komposisi Jumlah /liter
Energi 677 kkal
Total karbohidrat 70-85 g
Laktosa 60-70 g
Oligosakarida 5-15 g
Glukosa 0,2-0,3 g
Total Lemak 35-48 g
Trigliserida 34-47 g
Asam lemak 30-42 g
Kolesterol 0,1-0,2 g
Kolesteril ester 0,01 g
Fosfolipid 0,25-0,3 g
Total protein 8-11 g
Kasein 3-5 g
Whey 5-6 g
Sumber : Daftar referensi no 67

Volume ASI yang diproduksi bervariasi berdasarkan masa laktogenesis. Rerata


volume produksi ASI pada ibu dengan status gizi baik yang menyusui bayinya
secara eksklusif adalah 681 ml/hari dalam bulan pertama kelahiran, 724 ml/hari
pada bulan 1-2, 752 ml/hari pada bulan 2-3, 833 ml/hari pada bulan 3-4, 856
ml/hari pada bulan 4-5 dan 925 ml/hari pada bulan 5-6.69
Dari kepustakaan tersebut, dapat diperkirakan jumlah/volume ASI yang
diminum pasien, dengan mempertimbangkan kemampuan menyusu dan penyakit
yang mendasari, serta status gizi ibu pasien. Ibu pasien dari kasus 1 hingga 4
berturut-turut mempunyai IMT 20,81 kg/m2, 22,31 kg/m2, 25,3 kg/m2, dan 25,3
kg/m2, yaitu status gizinya baik hingga obes sehingga diperkirakan dapat
memproduksi ASI dengan baik. Pada semua pasien terdapat kemampuan menyusu
yang sebentar-sebentar sekitar 10-15 menit dari waktu normal menyusu yaitu 20-
30 menit. Sehingga diperkirakan jumlah ASI yang diminum adalah setengah dari
jumlah kepustakaan. Terlihat bahwa ternyata asupan pasien hanya setengah dari
kebutuhan totalnya, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya.
Malnutrisi karena kurangnya asupan makanan berdampak pada kekuatan dan
ketahanan otot-otot pernapasan, terutama diafragma dan juga pada bronkiolus
respiratori, alveoli dan kapiler.14
Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan insidensi pneumonia. Penyakit pneumonia lebih mudah menyerang
anak yang belum mendapat imunisasi campak dan DPT. Pneumonia yang
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


78

disebabkan oleh Haemophillus influenzae dapat dicegah dengan pemberian


imunisasi Hib. Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan
campak adalah imunisasi DPT dan campak dengan angka cakupan yang
menggembirakan; DPT berkisar 89,6 %-94,6 % dan campak 87,8 %-93,5 %.2
Keempat pasien berusia antara 3 hingga 4,5 bulan dimana imunisasi campak
belum didapat, karena imunisasi campak baru diberikan pada usia 9 bulan. Semua
pasien sudah mendapatkan imunisasi DPT namun belum tuntas, baru 1 atau 2 kali
dari total 3 kali. Hal ini juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya pneumonia
pada pasien-pasien ini.
Semua pasien didiagnosis dengan pneumonia berat dimana keluhan utama
pada semua pasien adalah sama yaitu sesak napas yang semakin berat, dan
menjadi malas menyusu. Pada pemeriksaan fisik terdapat pernapasan cepat lebih
dari 50x/menit, terdapat retraksi sela iga, suprasternal, dan adanya ronkhi di kedua
lapang paru.
Kasus dalam laporan ini mempunyai penyakit penyerta yang berbeda-
beda, pada kasus 1 adalah hernia diafragmatika. Hernia diafragmatika adalah
kelainan kongenital yang ditandai dengan adanya defek yang abnormal pada
diafragma akibat penyatuan yang tidak sempurna dari struktur-struktur diafragma
selama perkembangan janin. Pada hernia diafragmatika, defek yang terbentuk
pada diafragma tersebut membuat organ-organ abdomen dapat memasuki rongga
thoraks, dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang berat, sianosis, takikardi dan
takipnea saat bayi lahir.70
Ada dua tipe hernia diafragmatika yang utama, tergantung pada letak
defeknya. Hernia Bochdalek ditandai dengan defek di posterior diafragma, yang
membuat organ-organ, seperti lambung, usus halus, hati dan limpa bergerak ke
atas masuk ke rongga thoraks. Hernia Morgagni ditandai dengan defek di anterior
diafragma, yang membuat organ-organ, seperti hati dan usus halus dapat
memasuki rongga dada. Hernia diafragmatika adalah kondisi yang mengancam
jiwa, membutuhkan perawatan secepatnya karena mengganggu gerakan
pernafasan normal, mengurangi suplai oksigen dan menyebabkan kematian pada
bayi. Pada bayi-bayi seperti ini biasanya dipasang ventilator mekanik untuk

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


79

membantu pernafasan dan harus menjalani pembedahan untuk memperbaiki


diafragma.70
Pada hernia diafragmatika kongenital terjadi kompresi paru intratorakal
secara kronis akibat herniasi organ abdominal, mengakibatkan hambatan
perkembangan paru yang normal. Hipoplasia pulmonal dan hipertensi pulmonal
dapat terjadi, berhubungan dengan tingginya mortalitas pada pasien hernia
diafragmatika. Janin dengan hernia diafragmatika mempunyai volume paru
ipsilateral dan kontralateral yang lebih kecil dari janin yang normal. Pada janin
dengan usia gestasi 26 minggu mempunyai volume paru ipsilateral sekitar 15%
dan kontralatral 40% dari volume paru normal pada usia gestasi tersebut.71
Gejalanya berupa retraksi sela iga dan substernal, abdomen kecil dan
cekung, suara napas tidak terdengar pada paru karena terdesak isi abdomen, bunyi
jantung terdengar di daerah yang berlawanan karena terdorong oleh isi abdomen,
terdengar bising usus di daerah thoraks, gangguan pernafasan yang berat, sianosis,
takipnea, bentuk dinding thoraks kiri dan kanan asimetris, takikardia.71
Penyakit penyerta pada kasus 2 adalah VSD, kardiomegali, hernia skrotalis
dekstra. Sistem kardiovaskuler dan paru mempunyai hubungan yang sangat erat
dalam transport gas pernapasan dan hasil metabolisme ke dan dari jaringan perifer
tubuh sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh dan dalam batas fisiologis.
Bila ada salah satu kerusakan dari sistem tersebut akan mengganggu sistem yang
lain melalui mekanisme mekanik, otonomik dan neurohumoral.72
Penyakit VSD merupakan salah satu jenis PJB yang sering ditemukan,
yaitu sekitar 30% dari semua PJB.73 Penutupan septum interventrikel tidak terjadi
secara sempurna yang dapat disebabkan karena faktor genetik atau lingkungan.
Penutupan septum secara spontan pada pasien VSD dapat terjadi.74 Pirau pada
defek septum pada umumnya terjadi dengan arah dari ventrikel kiri ke kanan.73
Gejalanya antara lain penurunan toleransi aktivitas fisik yang pada bayi
akan terlihat sebagai tidak mampu mengisap susu dengan kuat dan banyak,
cenderung terserang infeksi paru berulang dan mungkin timbul gagal jantung yang
biasanya masih dapat diatasi secara medikamentosa.75 Anak dengan VSD dapat
diketahui atau tidak diketahui menderita gagal jantung ketika bayi. Rata-rata

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


80

tinggi dan berat badan menunjukkan hasil subnormal pada banyak anak dengan
VSD, dengan berat badan yang biasanya lebih terpengaruh daripada tinggi
badan.74,75 Kenaikan berat badan tidak memuaskan dan pasien seringkali
menderita infeksi paru yang memerlukan waktu lebih lama untuk sembuh.73
Semua gejala ini tampak pada pasien yaitu kemampuan menyusu yang
hanya sebentar-sebentar, riwayat diketahui mengalami kebocoran katup jantung
sejak usia 2 bulan. Pasien lahir cukup bulan dengan berat badan 3000 g, status gizi
pada saat pemeriksaan adalah 96% menurut BB/TB sehingga termasuk gizi baik,
namun PB dibawah P3 sehingga berperawakan pendek (stunted).
Anak dengan PJB merupakan kelompok anak yang rawan mengalami
gangguan pertumbuhan. PJB adalah kelainan struktural jantung yang
kemungkinan terjadi sejak lahir atau beberapa waktu setelah bayi dilahirkan.76
Bayi dengan PJB, biasanya lahir berat badan yang normal. Namun, masalah
nutrisi dan pertumbuhan sering muncul sangat cepat. Berat badan lebih
menunjukkan dampak yang lebih buruk daripada tinggi badan, dan laki-laki
memiliki kecenderungan malnutrisi lebih besar daripada perempuan. Perawakan
pendek (stunted) lebih sering pada anak di bawah usia 2 tahun (49%) daripada
pada anak yang usianya lebih tua (4%).77 Biasanya pasien dengan PJB sianotik
mengalami keterlambatan pertumbuhan yang lebih parah daripada pasien dengan
PJB asianotik.74
Pasien kasus 3 disertai dengan PJB sianotik, walaupun anak dengan PJB
yang tidak begitu parah biasanya memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang
normal, tetapi dengan adanya penyakit jantung yang dimiliknya mereka memiliki
risiko yang besar untuk jatuh dalam keadaan nutrisi buruk, anak dengan PJB
sering menunjukkan pencapaian berat badan yang tidak baik dan keterlambatan
pertumbuhan. Malnutrisi pada penyakit jantung menyebabkan kegagalan
perkembangan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat dan gangguan absorbsi. 78

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


81

Tabel 4.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan pertumbuhan


pada pasien PJB
Peningkatan kebutuhan energi Peningkatan BMR (karena takipneu dan takikardi)
Peningkatan Total Energy Expenditure
Peningkatan kebutuhan nutrisi otot-otot jantung dan
pernapasan
Infeksi
Prematuritas
Berkurangnya asupan makanan Anorexia atau cepat merasa kenyang
Disfagia
Refluks gastroesofageal
Peningkatan kehilangan nutrisi Malabsorbsi gastrointestinal
Hiperosmolaritas
Hambatan aliran vena
Enteropati yang menyebabkan kehilangan protein
Hilangnya elektrolit dari ginjal
Penggunaan nutrisi yang tidak efisien Asidosis
Hipoksia
Peningkatan tekanan pulmonal
Kelainan jantung kongestif Berkurangnya cardiac output dan renal blood flow
Respon terhadap stress
Berkurangnya kapasitas gaster atau ketidakmampuan
untuk mentolerir peningkatan volume asupan
makanan
Sumber : daftar referensi no 79

Faktor kardiak sendiri dapat melibatkan beban hemodinamik dengan


adanya hubungan yang besar dari jantung kiri ke jantung kanan dan pada PJB.
Derajat hipoksia pada pasien dengan PJB sianotik tidak berpengaruh secara nyata
pada gangguan pertumbuhan kecuali jika PJB tersebut mengurangi jumlah asupan
makanan yang masuk karena hipoksemia menyebabkan kelelahan saat makan. 80
Karakteristik pola pemberian makanan ditemukan pada bayi dengan PJB
sianotik yang memiliki hubungan antara jantung kiri ke jantung kanan yang besar
dan gagal jantung kongestif. Bayi tersebut tampak kelaparan dan menyusu dengan
sangat cepat, kemudian mereka mengalami takipneu dan kelelahan karena
menyusu dan kemudian mereka menyusu dengan lambat. Lalu mereka menjadi
gampang menangis dan akan menolak untuk menyusu atau tertidur, setelah
menyusu seperempat sampai sepertiga dari kebutuhan asupan makanan yang
seharusnya. Pola tersebut akan berulang satu atau dua jam setelahnya. Asupan
makanan yang tidak adekuat tersebut adalah hasil dari penyakitnya. Dispneu dan
takipneu karena PJB, kelelahan karena hipoksia, dan kesulitan menghisap ketika
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


82

bayi tersebut memerlukan kontraksi otot-otot besar untuk bernapas menyebabkan


kesulitan untuk memasukkan makanan secara adekuat.80
Asupan nutrisi dapat berkurang karena takipneu, dispneu dan
meningkatnya kelelahan. Berkurangnya perfusi sistemik pada sirkulasi rongga
abdomen dapat membatasi pengosongan lambung, mobilitas intestinal dan
penyerapan nutrisi. Distres respirasi juga dapat menyebabkan refluks
gastroesophageal. Bersamaan dengan berkurangnya asupan makanan, terjadi
peningkatan kebutuhan energi karena meningkatnya kerja respirasi dan kerja
jantung. Lebih lanjut, peningkatan kecepatan metabolisme basal mengakibatkan
rendahnya massa tubuh.76,80
Pada pasien kasus 3 PJB sianotik baru diketahui saat masuk perawatan
ICU, belum dilakukan pemeriksaan diagnostik lanjut untuk mengetahui jenisnya.
Pasien ini masuk rawat dengan status gizi baik dan dapat bernapas spontan.
Pemberian nutrisi dapat ditoleransi dengan baik, sehingga peningkatan jumlahnya
dapat terus diberikan.
Pasien kasus 4 disertai dengan laringomalasia, dimana laringomalasia
merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur supraglotik sehingga
terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas.81 Laringomalasia merupakan penyebab
utama stridor pada bayi.81,82 Etiologi laringomalasia masih belum diketahui secara
pasti. Tetapi karena tingginya insiden gangguan neuromuskuler pada bayi dengan
laringomalasia, beberapa peneliti mempercayai bahwa gangguan ini merupakan
bentuk hipotonia laring.83,84 Peneliti lain berpendapat bahwa penyakit refluks
gastroesofageal yang ditemukan pada 63% bayi dengan laringomalasia, mungkin
berperan, karena menyebabkan edema supraglotis dan mengubah resistensi aliran
udara, sehingga menimbulkan obstruksi nafas.85
Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan
pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun.86 Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul
segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor
dapat disertai dengan retraksi sternum, interkostal, dan epigastrium akibat usaha
pernafasan.87,88 Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat.
Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


83

muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan
gagal tumbuh.89
Pada pasien kasus 4 masuk dengan keluhan sesak napas yang semakin
berat, malas menyusu, ada periode apnea saat dirawat di RS sebelumnya, sehingga
pasien dirawat di ICU. Terdapat riwayat menyusu sebentar-sebentar dan sering
muntah setelah minum. Kebiasaan ini menyebabkan kurangnya asupan sehingga
menyebabkan gizi buruk yang diderita pasien Pada pemeriksaan tampak iga
gambang, adanya stridor inspirasi dan retraksi otot-otot pernapasan.
Pasien kasus 1, 2 dan 4 mengalami kondisi ARDS dengan PaO2/FiO2
berturut-turut adalah 111,6 mmHg, 147,5 mmHg dan 60 mmHg. Sehingga
perhitungan kebutuhan makronutrien dan mikronutrien disesuaikan dengan
kondisi tersebut.
Secara umum kebutuhan energi pasien dihitung berdasarkan kondisi sakit
kritis, khususnya yang menggunakan ventilator, dimana kebutuhan energi basal
menggunakan rumus White dan mengalikan dengan faktor stres. Khusus pada
pasien ketiga yang dapat bernapas spontan kebutuhan energi basal dihitung
menggunakan rumus Schofield. Penggunaan ventilator dan juga obat-obatan
sedasi akan menurunkan energy expenditure, sehingga hal tersebut
dipertimbangkan dalam menentukan faktor stres.
Penentuan kebutuhan protein yaitu sesuai pada kondisi sakit kritis dengan
jumlah 2-3g/kgBB, pada keempat pasien direncanakan pemberian protein sebesar
2,5 g/kgBB dengan mempertimbangkan N:NPC sesuai kondisi penyakitnya.
Pemberian protein melalui nutrisi enteral berupa formula semi elemental dan
karena belum mencukupi kebutuhan totalnya maka ditambah nutrisi parenteral
asam amino pediatri 5% untuk menambah asupan. Pemberian lemak melalui
nutrisi enteral susu formula semielemental dan sudah dapat mencukupi kebutuhan
lemak total, sehingga tidak diperlukan tambahan emulsi lemak intravena.
Semua pasien sebelum perawatan meminum ASI, namun setelah masuk
rawat ICU orangtua tidak dapat menyediakan ASI, sehingga diganti dengan susu
formula. Menurut American Academy of Pediatric ASI merupakan rekomendasi
nutrisi utama bagi bayi. ASI mengandung poliamin, nukleotida, asam lemak

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


84

omega 3 dan 6 yang bermanfaat bagi bayi. Namun jika ASI tidak tersedia dapat
diganti dengan susu formula berbahan dasar susu sapi atau susu kedelai. Formula
berbahan dasar susu sapi mengandung laktosa sebagai sumber karbohidrat utama.
Susu kedelai atau formula bebas laktosa dapat diberikan pada bayi dengan
intoleransi laktosa. Pada pasien bayi dengan malabsorpsi lemak dapat diberikan
formula yang mengandung MCT.35
Pemilihan pemberian formula enteral pada semua pasien karena fungsi
saluran gastrointestinalnya masih baik dan untuk mengurangi refluks yang
mungkin terjadi dalam pemberian nutrisi enteral, harus diperhatikan posisi kepala
yang lebih tinggi pada saat pemberian, nutrisi enteral diberikan dalam drip lambat
menggunakan syringe pump atau feeding buret. Pemilihan formula jenis semi
elemental pada pasien-pasien ini karena lebih mudah diabsorpsi, lebih tidak
membuat alergi, dapat ditoleransi lebih baik pada pasien malabsorpsi. Pasien
dikatakan berisiko mengalami malabsorbsi terhadap pemberian nutrisi enteral jika
merupakan pasien anak dengan fungsi gastrointestinal yang terganggu, pasien
anak sakit kritis yang dirawat di unit perawatan intensif, pasien yang menjalani
operasi abdomen atau reseksi usus, atau salah satu keadaan diatas yang
mengalami diare setelah pemberian nutrisi enteral. Proses absorpsi dan
keseimbangan nitrogen pada pasien-pasien tersebut akan lebih baik jika diberikan
diet dengan formula semi elemental.90
Formula semi elemental memiliki sumber nitrogen yaitu protein yang
sudah terhidrolisis menjadi oligopeptida, dipeptida dan tripeptida. Dipeptida dan
tripeptida memiliki mekanisme transport yang spesifik dan dapat diabsorpsi lebih
efisien dibanding protein utuh. Formula semi elemental juga mengandung kasein
dan hidrolisat laktalbumin yang dapat menstimulasi absorpsi air dan elektrolit di
jejunum.90
Pada kasus-kasus ini, kebutuhan mikronutrien didapatkan dari vitamin dan
elektrolit yang terkandung dalam asam amino 5% dan suplementasi berupa sirup
multivitamin. Dalam 1 sendok teh sirup multivitamin mengandung riboflavin 2
mg, piridoksin 5 mg, sianokobalamin 5 mcg, nikotinamid 10 mg, asam folat 15

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


85

mcg, biotin 100 mcg, vitamin E 5 IU, besi 7,5 mg, seng 7,5 mg, magnesium 35
mg, dan selenium 20 mcg.
Penggunaan rutin imunonutrisi pada anak sakit kritis tidak
direkomendasikan. Penggunaan probiotik dapat memberikan keuntungan pada
pasien anak melalui efek pada gastrointestinal dan sistem imun dan dapat
mempersingkat lama diare akut dan diare karena antibiotik. Pada semua pasien
diberikan probiotik dengan preparat yang dalam tiap sachet (1 gram) berisi
Lactobacillus acidophillus 340 mg, whey kalsium 20 mg, magnesium stearat 10
mg, niasin 1 mg, seng oksida 1,3 mg, tiamin 0,3 mg, riboflavin 0,3 mg, piridoksin
0,3 mg dan vitamin C 25 mg.
Semua pasien mendapatkan midazolam sebagai sedatif selama perawatan
di ICU. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah depresi kardiorespiratori,
apnea dan henti napas. Sebuah penelitian retrospektif melaporkan kejadian depresi
pernapasan pada pasien tanpa ventilator adalah 0,099 %, dan kejadian ini terjadi
pada pemakaian dosis tinggi dari midazolam. Gejala gastrointestinal yang
mungkin muncul antara lain mual, muntah yang terjadi pada 3% pasien.91
Pasien kasus 1 dan 2 mendapatkan terapi antibiotik berupa seftisoksim
yang mempunyai efek leukositosis, trombositopenia, peningkatan SGOT/SGPT,
alkaline fosfatase atau bilirubin, nyeri perut, diare berat dengan lendir atau darah
dalam feses, mual, muntah, stomatitis, dan nyeri kepala Pasien juga mendapat
antibiotik oral yaitu klaritomisin yang mempunyai efek samping diare, mual, nyeri
perut, rasa yang abnormal, dispepsia dan sakit kepala. Antibiotik tersebut dapat
menurunkan absorpsi vitamin K.92
Pasien kasus 3 dan 4 mendapatkan terapi antibiotik berupa seftriakson
yang merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga, bersifat spektrum luas,
memiliki aktivitas terhadap organisme gram negatif, gram positif (efektifitas
rendah). Aktivitas bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding bakteri dan
mengintervensi sintesis peptidoglikan, yang merupakan komponen utama dinding
sel bakteri. Obat ini berikatan dengan protein sebanyak 85-95%, dimetabolisme di
hati dan diekskresikan di urine sebesar 33-65%. Antibiotik golongan sefalosporin
dapat berefek deplesi bakteri normal usus, menurunkan absorpsi vitamin B1, B2,

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


86

93
B3, B6, B12, K, asam folat, biotin dan inositol. Semua pasien mendapatkan
dexamethasone yang merupakan glukokortikoid yang dapat menurunkan kadar
kalsium, kalium dan magnesium dalam darah.94
Pada pemeriksaan laboratorium selama pemantauan kasus 1, 2 dan 4
terdapat anemia, pada kasus 1 dari Hb awal 11,8g/dl menjadi 6,7g/dl pada hari
keempat perawatan, pada kasus 2 dari Hb awal 11,8g/dl menjadi 8,6 g/dl pada hari
kelima perawatan dan pada kasus 4 dari Hb awal 10,7 menjadi 9,6g/dl pada hari
keempat perawatan.
Anemia didefinisikan sebagai keadaan kurangnya jumlah atau ukuran dari
sel darah merah/eritrosit dan atau jumlah hemoglobin (Hb) yang dikandung per
100 ml darah di bawah nilai normal. Berdasarkan WHO, anemia pada anak usia 6-
59 bulan bila kadar Hb <11 g/dl dan atau jumlah eritrosit <3,9 juta sel/mm3.
Sedangkan anak usia 5-11 tahun dikatakan anemia jika kadar Hb <11,5 g/dl dan
atau jumlah eritrosit <4 juta sel/mm3.95
Pada pasien penyakit paru ada dua kemungkinan penyebab anemia yaitu
anemia sudah ada sebelum infeksi paru terjadi atau anemia terjadi akibat penyakit
infeksi parunya tersebut. Pada kondisi yang pertama anemia sudah ada sebelum
infeksi paru terjadi. Anemia dalam keadaan ini disebabkan berbagai hal, seperti
perdarahan aktif sehingga tubuh terus menerus kehilangan darah (misalnya karena
perdarahan lambung kronik dan infeksi cacing),96 gizi buruk/malnutrisi akibat
kurangnya asupan sehingga terjadi kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk
produksi protein hemoglobin dan/atau eritrosit (misalnya zat besi, kobalamin dan
asam folat),97 variasi/kelainan genetik sehingga terjadi kelainan pembentukan
dan/atau penghancuran hemoglobin dan/atau eritrosit (misalnya defisiensi G6PD,
thalassemia, hemofilia dan kelainan sel sabit),98 atau kombinasi dari berbagai
penyebab di atas. Selanjutnya anemia akan meningkatkan risiko seseorang
menderita infeksi paru seperti pneumonia dan tuberkulosis.99, 100
Pada kondisi yang kedua yaitu anemia akibat infeksi paru itu sendiri.
Infeksi paru, terutama disebabkan oleh bakteri dapat mengganggu metabolisme
zat besi tubuh karena zat besi merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan
bakteri untuk tumbuh kembang.101 Situasi ini secara tidak langsung akan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


87

mengganggu metabolisme zat besi dalam rangka membentuk hemoglobin


sehingga terjadi anemia terutama anemia pada penyakit kronik (anemia of chronic
disease) atau kini lazim disebut anemia pada keadaan inflamasi (anemia of
inflammatory response).102
Pada serial kasus ini kondisi anemia pada pasien disebabkan status gizi
malnutrisi akibat kurangnya asupan dan karena infeksi bakteri yang terjadi.
Sebaiknya sebelum seorang penderita infeksi paru dengan anemia mendapatkan
suplemen zat besi, perlu diketahui bagaimana status zat besi tubuh sehingga tidak
terjadi iron overload pada saat diberikan suplemen zat besi. Status zat besi pada
infeksi paru dengan anemia dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium
darah seperti kadar besi serum, total iron binding capacity (TIBC), kadar
transferin serum, saturasi transferin, ferritin. Namun pemeriksaan ini tidak
dilakukan pada keempat pasien.
Kondisi terakhir pada pasien kasus 1 yaitu meninggal dunia. Pemberian
nutrisi dapat diberikan bertahap hingga mencapai kebutuhan totalnya, namun
perjalanan penyakit dengan faktor risiko prematuritas dan gizi kurang
memperberat penyakitnya sehingga masuk ke dalam kondisi ARDS hingga
akhirnya meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan
bahwa anak dengan gizi kurang yang menderita ARDS prognosisnya adalah
buruk. Pada pasien kasus 2 kondisi terakhirnya adalah meninggal dunia. Pasien
dengan VSD, kardiomegali, gizi baik namun stunted (perawakan pendek). Nutrisi
dapat diberikan bertahap hingga mencapai kebutuhan basalnya, namun perjalanan
penyakit yang semakin berat hingga masuk ke dalam kondisi ARDS membuat
pasien meninggal dunia. Hal ini terbukti dengan hasil kultur bronkus yaitu
ditemukan Pseudomonas aeruginosa dengan prognosis yang buruk. Pasien kasus
3 yang dari awal perawatan bernapas spontan dapat pindah ke ruang rawat dengan
pemberian nutrisi sudah mencapai kebutuhan totalnya. Keluarga pasien diberikan
edukasi dalam memberikan nutrisi enteral sehingga dapat meneruskannya di
rumah apabila sudah diperbolehkan pulang. Pasien kasus 4 mengalami perbaikan
kondisi ARDS dan dapat bernapas spontan di hari keempat dan kemudian dapat
pindah ke ruang rawat. Pemberian nutrisi dapat diberikan hingga tercapai

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


88

kebutuhan totalnya. Keluarga pasien diberikan edukasi dalam memberikan nutrisi


enteral sehingga dapat meneruskannya di rumah apabila sudah diperbolehkan
pulang.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


89

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan paparan keempat kasus di atas, maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Semua pasien yang terdapat pada serial kasus ini, mengalami pneumonia
berat dengan perbandingan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan
seimbang dan rentang usia 3-4,5 bulan.
2. Proses infeksi, inflamasi dan perubahan metabolik pada pasien, perlu
dikelola dengan baik agar dapat mengoptimalkan perbaikan kondisi
pasien.
3. Kebutuhan nutrisi pasien anak dengan pneumonia berat sangat bervariasi,
sehingga tim dukungan nutrisi perlu menilai dan mengelolanya secara
individual sesuai kondisi pasien.
4. Adanya penyakit penyerta seperti hernia diafragmatika, VSD,
kardiomegali, PJB sianotik, laringomalasia, dan status gizi buruk
mempengaruhi hasil akhir dari tata laksana pasien anak dengan
pneumonia berat.
5. Pasien dengan status gizi kurang dan pasien dengan risiko terjadinya
malnutrisi perlu dilakukan skrining menggunakan skrining STRONG atau
PYMS khususnya pada populasi ruang PICU.
6. Tatalaksana nutrisi penyakit kritis pada anak dengan pneumonia berat
mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik,
tatalaksana cairan dan elektrolit serta monitoring status gizi dan edukasi
nutrisi.
7. Tatalaksana nutrisi bersifat individual, sehingga perlu dilakukan penilaian
status nutrisi dan perhitungan kebutuhan secara individual dengan
seksama.
8. Standar baku perhitungan kebutuhan energi pada anak adalah dengan
menggunakan kalorimetri indirek, namun apabila tidak tersedia dapat
Universitas Indonesia

89

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


90

digunakan berbagai formula yaitu WHO, Schofield WH dan Harris-


Benedict dengan memperhitungkan faktor stres. Diantara ketiga rumus
tersebut rumus Schofield WH terbukti paling akurat dalam memperkirakan
REE dalam keadaan failure to thrive. Jika anak menggunakan ventilator
maka rumus yang digunakan adalah rumus White. Namun kebutuhan ini
juga disesuaikan dengan kondisi kinis, hemodinamik, suhu, penggunaan
ventilator dan obat-obatan yang digunakan oleh pasien.
9. Perhitungan kebutuhan protein pada anak sakit kritis yaitu pada usia 0-2
tahun sebesar 2-3 g/kg BB/hari, 2-13 tahun sebesar 1,5-2 g/kg BB/hari dan
13-18 tahun sebesar 1,5 g/kg BB/hari.
10. Perhitungan kebutuhan lemak pada anak sakit kritis dimulai dari 1 g/kg
BB/hari dan dapat ditingkatkan dalam beberapa hari hingga 2-4 g/kg
BB/hari dengan memonitor kadar trigliserida darah. Pemberian infus
lemak intravena dibatasi maksimal 30-40% dari kalori total.
11. Nutrisi enteral yang diperkaya oleh EPA, GLA dan antioksidan dapat
memperbaiki profil asam lemak dan fosfolipid plasma, menurunkan
inflamasi dan memperbaiki kondisi klinis pada pasien dewasa. Namun
penggunaannya pada pasien anak belum banyak diteliti sehingga belum
dapat direkomendasikan.
12. Pemberian mikronutrien perlu dipenuhi melalui bahan makanan sumber,
jika tidak dapat terpenuhi, perlu diberikan suplementasi minimal sesuai
RDA. Pemberian rutin imunonutrisi pada anak sakit kritis tidak
direkomendasikan. Pemberian probiotik pada anak sakit kritis masih perlu
dipertimbangkan, dapat diberikan jika manfaatnya lebih besar daripada
efek sampingnya.
13. Nutrisi enteral dini aman diberikan dan dapat ditoleransi pada anak sakit
kritis. Pemberian nutrisi enteral pada pasien PICU sebaiknya dilakukan
setelah melihat toleransi gastrointestinalnya. Direkomendasikan pada anak
sakit kritis tidak dipuasakan lebih dari 24-48 jam. Pemberian nutrisi
parenteral pada kasus ini merupakan tambahan karena nutrisi enteral
belum mencukupi kebutuhan total pasien.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


91

14. Selama pemantauan, sejalan dengan terapi simtomatik dan dukungan


nutrisi yang diberikan, analisis asupan selama perawatan juga mengalami
perbaikan, walaupun ada yang belum mencapai kebutuhan totalnya.
15. Tatalaksana nutrisi pada pasien anak dengan pneumonia berat harus
dilakukan secara berkesinambungan dan monitoring pasien selama
perawatan sangat penting dilakukan.
16. Edukasi pada pasien dan keluarga perlu diberikan ketika pasien akan
pulang dari perawatan di RS, agar asupan makanan di rumah dapat
memenuhi kebutuhan pasien, sehingga kualitas hidup pasien lebih baik.

5.2. Saran
Sesuai dengan kesimpulan, maka kami mengajukan saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya skrining gizi untuk mengetahui risiko malnutrisi sebagai
prosedur awal pada anak yang dirawat di rumah sakit.
2. Dalam memilih jenis skrining perlu dipertimbangkan tujuan dan
aplikasinya. STRONG merupakan skrining yang paling praktis, mudah
digunakan dan dapat dipercaya untuk menilai risiko malnutrisi. Sedangkan
PYMS merupakan skrining yang praktis untuk menilai risiko malnutrisi
dan status nutrisi pada saat ini.
3. Skrining dilakukan pada awal masuk perawatan oleh perawat dan
ditatalaksana lebih lanjut sesuai kategori risikonya.
4. Pemantauan perlu dilakukan setiap minggu selama anak dirawat di rumah
sakit.
5. Anak dengan risiko tinggi malnutrisi harus diberikan konseling nutrisi
pada saat pulang dari perawatan.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


92

DAFTAR REFERENSI

1. Gessman LM, Rappaport DI. Approach to Community-Acquired Pneumonia


in Children. Clinical Review Article. Hospital Physician Sept/Oct 2009, p 1-5.

2. Said M. Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka Pencapaian


MDG 4. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 3. September 2010.

3. Kartasasmita CB. Pneumonia Pembunuh Balita. Buletin Jendela Epidemiologi


Vol 3. September 2010.

4. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

5. Brown SM, Dean NC. Defining and predicting severe community-acquired


pneumonia. Curr Opin Infect Dis 2010;23:158164.

6. Restrepo MI, Mortensen EM, Velez JA. A comparative study of community-


acquired pneumonia patients admitted to the ward and the ICU. Chest 2008;
133:610617.

7. Kollef KE, Schramm GE, Wills AR. Predictors of 30-day mortality and
hospital costs in patients with ventilatorassociated pneumonia attributed to
potentially antibiotic-resistant Gram-negative bacteria. Chest 2008; 134:281
287.

8. Muscedere JG, Day A, Heyland DK. Mortality, attributable mortality, and


clinical events as end points for clinical trials of ventilator-associated
pneumonia and hospital-acquired pneumonia. Clin Infect Dis 2010; 51 (1):
120125.

9. Torres A, Ewig S, Lode H, Carlet J. European HAP working group. Defining,


treating and preventing hospital acquired pneumonia: European perspective.
Intensive Care Med 2009; 35:929.

10. Pollack MM, Wiley JS, Holbrook PR. Early nutritional depletion in critically
ill children. Crit Care Med 1981;9:580.

11. Pollack MM, Ruttimann UE, Wiley JS. Nutritional depletions in critically ill
children: associations with physiologic instability and increased quantity of
care. J Parenter Enteral Nutr 198;9:309

12. Briassoulis G, Venkataraman S, Thomson AE. Energy expenditure in


critically ill children. Crit Care Med 2000;28:1166

13. Sadler TW. Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 10. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC

92 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


93

14. Bergman EA, Hawk SN. Diseases of the Respiratory System. Dalam: Nelms
M, Sucher K, Lacey K, Roth SL. Editor. Nutrition Therapy and
Pathophysiology. Ed 2. Wadsworth : Cangange Learning 2011:648-681.

15. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC 2003

16. Anonymous, diunduh dari www.healthbase.com

17. Guyton AC, Hall HE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996:597-653.

18. Anonymous, diunduh dari www.nhlbi.nih.gov

19. Dahlan Z. Pneumonia : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 4. 2007.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

20. Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM,
Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia: WB
Saunders, 2003:1432-5

21. Correa AG, Starke JR. Bacterial Pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat F,
editor. Kendigs Disorder of the Respiratory Tract in Children. Edisi 6.
Philadelphia: WB Saunders, 1998:485-503

22. McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Eng J Med


2002;346(6):429-37

23. Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and
Older Children. Dalam : Taussig LM, Landau LI, editor. Pediatric Respiratory
Medicine. St.Louis:Mosby Inc, 1999:595-664.

24. Durbin WJ, Stille C. Pneumonia. Pediatrics in Review 2008;29;147.

25. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H.


Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the World
Health Organization 2008;86:408416.

26. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric Pneumonia. Emerg Med Clin
N Am 2003;21:437-51.

27. Glezen WP. Viral Pneumonia. Dalam Chernick V, Boat F, editor. Kendigs
Disorders of ths Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia : WB
Saunders, 1998:518-26.

28. Frank G, Shah S. Uncomplicated Pneumonia. Dalam: Shah SS, editor.


Pediatric Practice Infectious Diseases. Philadelphia : McGraw-Hill Companies
Inc, 2009:298-309.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


94

29. Langley JM, Bradley JS. Defining pneumonia in critically ill infants and
children. Pediatr Crit Care Med 2005;6(suppl):S9-S13.

30. Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3):200-14.

31. British Thoracic Society Standards of Care Committee. British Thoracic


Society Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia
in Childhood. Thorax. 2002; 57 Suppl 1:1-24.

32. Lang F. Respiration, Acid-Base Balance. Dalam: Silbernagl S, Lang F, editor.


Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart : Thieme FlexiBook, 2000:66-91.

33. Turner KL, Moore FA, Martindale R. Nutrition Support for the Acute Lung
Injury/Adult Respiratory Distress Syndrome Patient : A Review. Nutr Clin
Pract. 2011;26:14-25.

34. The Berlin Definition. The ARDS Definition Task Force. JAMA. 2012;
307:2526.

35. Verger JT, Bradshaw DJ, Henry E, Roberts KE. The pragmatic of feeding the
pediatric patient with acute respiratory distress syndrome. Crit Care Nurs Clin
N Am. 2004;16:431-443.

36. Laycock H, Rajah A. Acute Lung Injury and Acute Respiratory Distress
Syndrome : A Review Article. BJMP 2010;3(2):324.

37. McCarthy MS. Pulmonary Failure. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the
Critically Ill Patient. A Guide to Practice. Florida : CRC Press. Taylor &
Francis Group. 2005:389-405.

38. Foex BA. Systemic responses to trauma. Brit Med Bulletin. 1999;55:726-43.

39. Neims MN, Sucher K, Lacey K.. Metabolic Stress. Nutrition therapy and
Pathophysiology, Thomson Brooks. 2007. 785-9.

40. Winkler MF, Malone AM, Mahan LK, Escott SS. Medical nutrition therapy
for metabolic stress: sepsis, trauma, burns and surgery. Dalam: Krauses Food
and Nutrition therapy. Elsevier. 2008; 1021-41.

41. Lestari ED. Nutrisi Enteral. Dalam Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar
SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid 1.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:49-62.

42. Mehta NM, Jaksic T. The Critically Ill Child. Dalam: Duggan C. Nutrition in
Pediatriccs. Ed 4. Hamilton, Ontario, Canada : BC Becker Inc. 2008:663-673.

43. Weissmann C. The metabolic response to stress; an overview and update.


Anesthesiology. 1990;73:308-27.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


95

44. Schmeling DJ, Coran AG. The hormonal and metabolic response to stress in
neonate. Pediatr Surg Int. 1990;5:307-21.

45. Griffiths RD, Hinds CJ, Little RA. Manipulating the metabolic response to
injury. Brit Med Bull. 1999;55:181-95.

46. Parsons HG. The nutritional status of hospitalized children. Am J Clin Nutr
1980: 33:1140-1146.

47. Sermet-Gaudelus. Simple pediatric nutritional risk score to identify children at


risk of malnutrition. Am J Clin Nutr 2000; 72: 64-70.

48. Hendarto A, Sjarif DR. Antropometri Anak dan Remaja. Dalam: Sjarif DR,
Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:23-34.

49. Cogill B. Anthropometry indicators measurement guide. Food and nutrition


technical asisstance. US Agency for international. 2001.

50. Sjarif DR. Prinsip Asuhan Nutrisi pada Anak. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED,
Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:36-48.

51. Mehta NM, Chomper C. ASPEN Clinical Guidelines : Nutrition Support of


the Critically Ill Child. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2009;33:260-276

52. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R, Parenteral Nutrition


Guidelines Working Group. Guidelines on Paediatric Parenteral Nutrition of
the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism (ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric
Research (ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. Vol 41, Suppl 2, Nov 2005.

53. Kowalski L, Nucci A. Pediatrics. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the
critically ill patient. A guide to practice. Florida : CRC Press. Taylor &
Francis Group. 2005:389-405.

54. Samaddar DP. Nutritional load in critically ill: the changing concepts. SAARC
J.Anaesth. 2008;1(2):135-141.

55. Walter Reed Army Medical Center Borden Institute. Emergency nutrition for
sick or injured patient infants and children. Dalam: Walter Reed Army
Medical Center Borden Institute, Fuenfer, Creamer. Pediatric Surgery and
Medicine for Hostile Environments, 2001:445-452

56. White MS, Shepherd RW, McEniery JA. Energy expenditure in 100
ventilated, critically ill children: improving the accuracy of predictive
equations. Crit Care Med 2000;28:230712.
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


96

57. Skillman HE, Wischmeyer PE. Nutrition Therapy in Critically Ill Infants and
Children. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2008;32:520-534

58. Gadek JE, DeMichele SJ, Karlstad MD. Effect of enteral feeding with
eicosapentaenoic acid, gamma-linolenic acid, and antioxidants in patients with
acute respiratory distress syndrome. Enteral Nutrition in ARDS Study Group.
Crit Care Med. 1999 Aug;27(8):1409-20.

59. Jacobs BR, Nadkarni V, Goldstein B. Nutritional immunomodulation in


critically ill children with acute lung injury: feasibility and impact on
circulating biomarkers. Pediatr Crit Care Med. 2013 Jan;14(1):e45-56.

60. Holliday MA, Segar WE. The maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 1957;19:323

61. Choong K, Bohn D. Maintenance parenteral fluids in the critically ill child. J
Pediatr. 2007 May;83(2):S3-S10.

62. Heyland DK, Cahill NE, Dhaliwal R, Sun X, Day AG, McClave SA. Impact
of Enteral Feeding Protocols on Enteral Nutrition Delivery: Results of a
Multicenter Observational Study. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2010;34:675-
84.

63. Prieto MB, Cid JLH. Malnutrition in the Critically Ill Child : The Importance
of Enteral Nutrition. Int J. Environ. Res. Public Health 2011,8:4353-4366.

64. Joosten KFM, Hulst JM. Nutritional screening tools for hospitalized children :
Methodological considerations. Clin Nutr. 2013;1-5

65. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skrining malnutrisi pada anak


yang dirawat di rumah sakit. 2007

66. Fenton TR. A new growth chart for preterm babies : Babson and Bendas
chart updated with recent data and a new format. BMC 2003;3:13-23.

67. Donovan SM. Human Milk : Nutritional Properties. Dalam: Duggan, Watkins,
Walker. Nutrition in Pediatrics. Basic Science Clinical Application. Hamilton:
BC Decker Inc. 2008:342-353

68. Lawrence RA, Lawrence RM. Breastfeeding: A guide for the medical
profession. Ed 6. Philadelphia: Elsevier Mosby. 2005:105-170.

69. Ferris AM, Jensen RG. Lipids in human milk : a review. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 3:108. 1984

70. Mei-Zahav M, Solomon M, Trachsel D, Langer JC. Bochdalek diaphragmatic


hernia: not only a neonatal disease. Arch Dis Child 2003;88:532535

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


97

71. Peralta CFA, Jani J, Cos T, Nicolaides KH, Deprest J. Ultrasound Obstet
Gynecol 2006; 27: 551554. Left and right lung volumes in fetuses with
diaphragmatic hernia

72. Spinella PC, Strieper MJ, Callahan CW. Congestive heart failure in a neonate
secondary to bilaeral intralobar and extralobar pulmonary sequestrations.
Pediatrics 1998,101:120-134.

73. Sastroasmoro S, Madiyono B. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Jantung


Bawaan. Dalam : Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku ajar Kardiologi Anak.
Jakarta: IDAI; 1994.

74. Hull A. Children with Chronic Congenital Heart Disease and Renal Disease.
Dalam Ekvall SW, editor. Pediatric Nutrition in Chronic Disease and
Development Disorder Prevention, Assesment and Treatment. Oxford
Univesity Press; 1993.

75. Roebiono PS. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Diunduh
dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/68321669235fd5a14595241e858
93e6bbb8907f2.pdf.

76. Wisnuwardhana M. Manfaat pemberian diet tambahan terhadap pertumbuhan


pada anak dengan penyakit jantung bawaan asianotik [desertasi]. Semarang :
Universitas Diponegoro; 2006.

77. Forchielli ML, McColl R, Walker WA, Lo C. Children with Congenital Heart
Disease : A Nutritional Challenge. Nutrition Grand Rounds. 1994 Oct : 348-
53.

78. Quinn NL. Manual Pediatric Nutrition. Ed 4. London: Hendricks KM, Duggan
C.; 2005. Chapter 20, Cardiac Disease; 401-9.

79. Rosenthal A. Nutritional Considerations in the Prognosis and Treatment of


Children with Congenital Heart Disease. Dalam : Suskind RM, Suskind MM,
editor. Textbook of Pediatric Nutrition. Ed 2. New York : Raven Press; 1992.

80. Lewis A, Hsieh V. Congenital Heart Disease and Lipid Disorders in Chidren.
Pediatric Nutrition. Ed 2. 2005.

81. Stern RC. Congenital anomalies. Dalam: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen
HB editors. Nelson textbook of pediatric. Ed 16, Philadelphia: WB Saunders,
2000:1271-2.

82. Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia:


common dynamic airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


98

83. Krashin E, Springer C, Avital A. Synchronous airway lesions in


laryngomalacia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2008; 72: 501-7

84. Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its treatment.
Laryngoscope 1999; 109: 1770-5

85. Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D. The prevalence of gastroesophageal reflux


in children with tracheomalacia and laryngomalacia. Chest. 2001;119: 409-13

86. Jamal N, Bent JP, Vicencio AG. A neurologic etiology for tracheomalacia. Int
J Pediatr Otorhinolaryngol 2009;73: 885-7

87. Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. Dalam: Snow JB editors.


Otorhinolaryngology head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc;
2003:1049-51

88. Cotton RT, Reilly JS. Respiratory disorder of the newborn. Dalam: Bluestone
CD, Stool SE, Kenna MA. Pediatric otolaryngology. Vol II. Ed 3.
Philadelphia: WB Saunders, 1999:1300-1.

89. Bye MR. Laryngomalacia.


http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527.

90. Makola D, Parish CR. Elemental and semi elemental formulas: Are they
superior to polymeric formulas? Nutrition issues in gastroenterology. 2005;
34:59-72.

91. Anonymous, www.drugs.com/sfx/midazolam-side-


effects.html#oytmbwU5DMP8VCfw.99

92. Anonymous, diunduh dari www.mims.com

93. Anonymous, diunduh dari www.medscape.com

94. Anonymous, diunduh dari http://medical-


dictionary.thefreedictionary.com/dexamethasone

95. Harmatz P, Butensky E, Cabin B. Nutritional Anemias. Dalam: Nutrition in


Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications. Ed 3. Canada: BC
Decker; 2003:831.

96. Shaw JG, Friedman JF. Iron deficiency anemia: focus on infectious diseases in
lesser developed countries. Anemia. 2011;260380.

97. Levy A, Fraser D, Rosen SD, Dagan R, Deckelbaum RJ, Coles C, et al.
Anemia as a risk factor for infectious diseases in infants and toddlers: results
from a prospective study. Eur J Epidemiol. 2005;20(3):277-84.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


99

98. Kohgo Y, Ikuta K, Ohtake T, Torimoto Y, Kato J. Body iron metabolism and
pathophysiology of iron overload. Int J Hematol. 2008;88(1):7-15.

99. Harris AM, Sempertegui F, Estrella B, Narvaez X, Egas J, Woodin M, et al.


Air pollution and anemia as risk factors for pneumonia in Ecuadorian children:
a retrospective cohort analysis. Environ Health. 2011;10:93.

100. Mourad S, Rajab M, Alameddine A, Fares M, Ziade F, Merhi BA.


Hemoglobin level as a risk factor for lower respiratory tract infections in
Lebanese children. N Am J Med Sci. 2010;2(10):461-6.

101. Niederweis M. Nutrient acquisition by mycobacteria. Microbiology.


2008;154(3):679-92.

102. Kumar V, Choudhry VP. Iron deficiency and infection. Indian J Pediatr.
2010;77(7):789-93.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


100

Pemantauan Pasien Kasus 1

Tanggal 08/02/2013 (H+3) Tanggal 09/02/2013 (H+4) Tanggal 10/02/2013 (H+5)


S BAB (-) BAB (2x) padat, coklat BAB (-), pasca transfusi PRC 55 ml
O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
TD : 107/48 mmHg TD : 111/69 mmHg TD : 130/84 mmHg
HR : 173x/menit HR : 184x/menit HR : 158x/menit
R : 46 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, R : 50 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, R : 30 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8,
FiO2 80%) FiO2 60%) FiO2 50%)
S : 36,5 C S : 36,8 C S : 36,2 C
Saturasi O2 : 96% Saturasi O2 : 85% Saturasi O2 : 96%

Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-)
Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+)
- Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih - Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih - Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih
lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : hangat, oedem (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-) Ekstremitas : pasca transfusi timbul ruam kemerahan di
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden tungkai bawah kanan, sianosis (+), dingin CRT > 3,
tungkai bawah kiri hangat, CRT < 2
Laboratorium : Na 132, K 3,9, Cl 100, Ca 10,3 Laboratorium: Hb 6,7, Ht 20, Leu 8300, Tr 254000, Kapasitas fungsional: bedridden
GDS 117 Laboratorium: Hb 12,6, Ht 37, Leu 28300, Tr 285000,
Analisis Asupan : AGD : pH 7,45, pCO2 32, pO2 67, HCO3 23, BE -0,2, GDS 96, Alb 2,8, Glob 2,6, Bil direk 0,2, Bil indirek
Vol E P L KH Saturasi O2 92 (pO2/FiO2 111) 0,6, Na 136, K 4,6, Cl 106, Ca 10,3, LED 6, CRP 6,7,
Universitas Indonesia

(ml) (kkal) (g) (g) (g) Analisis Asupan : PT 13,1, APTT 34,6
Pregestimil 8 x 30 184 4,53 9,1 16,5 Vol E P L KH Analisis Asupan :
Dekstrosa10% 24 x 4 32,6 - - 9,6 (ml) (kkal) (g) (g) (g) Vol E P L KH
Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 - - Pregestimil 8 x 30 184 4,5 9,1 16,5 (ml) (kkal) (g) (g) (g)

Lampiran 1
Total 432 235,8 9,33 9,1 26,1 Dekstrosa10% 24 x4 32,6 - - 9,6 Pregestimil 8 x 45 276 6,8 13,7 24,8
Benutrion VE 24 x 6 28,8 7,2 - - Dekstrosa10% 24 x4 32,6 - - 9,6
- Intake : 495 mL Total 480 245,4 11,7 9,1 26,1 Benutrion VE 24 x 6 28,8 7,2 - -
- Output : 575 mL - Intake : 572 mL Total 552 337,4 14 13,7 34,4
- Balans cairan : -80 mL - Output : 610 mL - Intake : 594,5 mL
- Produksi urin : 5 mL/ kg BB/jam - Balans cairan : - 38 mL - Output : 545 mL
- Produksi urin : 5,2 mL/ kg BB/jam - Balans cairan : - 49,5 mL
Universitas Indonesia

100
Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013
101

Terapi : Terapi : - Produksi urin : 4,7 mL/ kg BB/jam


midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x Terapi :
250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x
p.o, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. mg p.o, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml 250 mg i.v, Targocid 1 x 50mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg
p.o. i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x sachet p.o,
Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, hernia diafragmatika, Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARRDS,
hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang,
hiponatremia dalam perawatan hari ke-3, status saluran hiponatremia dalam perawatan hari ke-4, status saluran leukositosis, hipoalbuminemia dalam perawatan hari ke-
cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 5, deep vein thrombosis (DVT) femoralis kanan, status
80 mL 38 mL saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan
positif 49,5 mL
Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi
P Nutrisi diberikan tetap 80% KEB (253 kal) Nutrisi ditingkatkan menjadi 100% KEB (317 kal) Nutrisi tetap 100% KEB (317 kal)
- Rute : per NGT - Rute : per NGT - Rute : per NGT
- Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : Makanan cair dan parenteral - Jenis : Makanan cair dan parenteral
- Mikronutrien : 1 xRDA - Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA
- -
Vol E P (g) L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Formula 8x30 184 4,5 9,1 16,5 Formula 8x45 276 6,8 13,7 24,8 Formula 8x45 276 6,8 13,7 24,8
semielemental semielemental semielemental
Dekstrosa10% 100 34 - - 10 Dekstrosa10% 100 34 - - 10 Dekstrosa10% 100 34 - - 10
Asam amino 5% 150 30 7,5 - - Asam amino 5% 150 30 7,5 - - Asam amino 5% 150 30 7,5 - -
Total 490 248 12 9,1 26,5
Universitas Indonesia

Total 340 14,3 13,7 34,8 Total 340 14,3 13,7 34,8
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka tanggal Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka tanggal Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien
09/02/2013 asupan dapat ditingkatkan bertahap menjadi 10/02/2013 asupan dapat ditingkatkan bertahap menjadi selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai
kebutuhan total 100% kebutuhan total kebutuhan energi total

Universitas Indonesia

101
Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013
102

Tanggal 11/02/2013 (H+6) Tanggal 12/02/2013 (H+7) Tanggal 13/02/2013 (H+8)


S BAB (1x) lembek BAB (-) BAB (-)
O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
TD : 121/63 mmHg TD : 129/90 mmHg TD : 127/78 mmHg
HR : 129x/menit HR : 188x/menit HR : 154x/menit
R : 35 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, R : 50 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, R : 40 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8,
FiO2 50%) FiO2 50%) FiO2 50%)
S : 37,1 C S : 37,8 C S : 36,7 C
Saturasi O2 : 96% Saturasi O2 : 96% Saturasi O2 : 94%

Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-)
Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+)
- Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih - Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih - Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih
lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : tungkai bawah kanan, sianosis (+), dingin Ekstremitas : hangat, oedem (-) sianosis (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-) sianosis (-)
CRT > 3, tungkai bawah kiri hangat, CRT < 2 Kapasitas fungsional: bedridden
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium
Laboratorium : Ur 27, Cr 0,3, Bil total 5,4 AGD : pH 7,5, pCO2 29, pO2 81, HCO3 23, BE +0,9, Laboratorium:
Saturasi O2 96 (pO2/FiO2 162) AGD : pH 7,41, pCO2 46, pO2 85, HCO3 29, BE +4,9,
Saturasi O2 93 (pO2/FiO2 170)
Analisis Asupan : Analisis Asupan : Analisis Asupan :
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Pregestimil 8 x 45 276 6,8 13,7 24,8 Pregestimil 8 x 45 276 6,8 - - Pregestimil 8x60 368 9,1 18,2 33,1
Dekstrosa10% Dekstrosa10% Asam amino 5% 100 20 5 - -
24 x4 32,6 - - 9,6 24 x4 38,4 - - 9,6
Universitas Indonesia

Benutrion VE Benutrion VE Total 388 14,1 18,2 33,1


24 x 6 28,8 7,2 - - 24 x 4 19,2 4,8 - -
Total 552 337,4 14 13,7 34,4 Total 552 333,6 11,6 - 9,6
- Intake : 627,5 mL
- Output : 990 mL
- Intake : 580 mL - Intake : 590 mL
- Balans cairan : - 49,5 mL
- Output : 550 mL - Output : 530 mL
- Produksi urin : 4,7 mL/ kg BB/jam
- Balans cairan : +30 mL - Balans cairan : +60 mL
- Produksi urin : 4,77 mL/ kg BB/jam - Produksi urin : 5,2 mL/ kg BB/jam

102
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


103

Terapi : Terapi : Terapi :


midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x
250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Heparin 2000 Unit 250 mg i.v, Targocid 1 x 50mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg
Heparin 360 Unit (drip), difenhidramin 1 x 5 mg i.v, (drip dalam NaCl 0,9% 40 ml), Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, i.v, Meropenem 3 x 200 mg i.v, Heparin 2000 Unit (drip
Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. dalam NaCl 0,9% 40 ml), Abbotic 2 x 1,5 mg p.o,
syrup 1 x 2 ml p.o. Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o,
Diflucan 1 x 30 mg
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS,
hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, leukositosis, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia,
hipoalbuminemia dalam perawatan hari ke-6, deep vein hiponatremia dalam perawatan hari ke-7, pasca deep hiponatremia dalam perawatan hari ke-8, pasca deep
thrombosis (DVT) femoralis kanan, status saluran cerna vein thrombosis (DVT), status saluran cerna dalam batas vein thrombosis (DVT), status saluran cerna dalam batas
dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 30 ml normal, keseimbangan cairan positif 60 mL normal, keseimbangan cairan negatif 49,5 mL
Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi
P Nutrisi ditingkatkan menjadi 100% KET (380 kal) Nutrisi 100% KET (380 kal) - Nutrisi 100% KET (380 kal)
- Rute : per NGT - Rute : per NGT - Rute : per NGT
- Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral
- Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien :1xRDA - Mikronutrien :1xRDA
-
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Formula 8x60 368 9,1 18,2 33,1 Formula 8x60 368 9,1 18,2 33,1 Formula 8x60 368 9,1 18,2 33,1
semielemental semielemental semielemental
Asam amino 5% 100 20 5 - - Asam amino 5% 100 20 5 - - Asam amino 5% 100 20 5 - -
Total 388 14,1 18,2 33,1 Total 388 14,1 18,2 33,1 Total 388 14,1 18,2 33,1
Universitas Indonesia

M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien
selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai
kebutuhan energi total kebutuhan energi total kebutuhan energi total

Universitas Indonesia

103
Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013
104

Pemantauan Pasien Kasus 2

Tanggal 08/02/2013 (H+3) Tanggal 09/02/2013 (H+4) Tanggal 10/02/2013 (H+5)


S BAB (-) BAB (1x) lembek, coklat BAB (-)
O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
TD : 100/57 mmHg TD : 105/65 mmHg TD : 100/60 mmHg
HR : 173x/menit HR : 154x/menit HR : 140x/menit
R : 46 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, R : 50 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, R : 53 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5,
FiO2 40%) FiO2 40%) FiO2 40%)
S : 36,5 C S : 36,7 C S : 37,9 C
Saturasi O2 : 96% Saturasi O2 :95 % Saturasi O2 : 96%

Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-)
Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+)
- Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-)
- Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru,
wheezing (+) wheezing (+) wheezing (+)
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Genitalia : scrotum kanan membesar Genitalia : scrotum kanan membesar Genitalia : scrotum kanan membesar
Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-)
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden

Laboratorium : - Laboratorium: Laboratorium: Hb 8,6, Ht 26, Leu 7900, Tr 154000,

Lampiran 2
AGD : pH 7,39, pCO2 47, pO2 59, HCO3 29, BE +3,9, GDS 87, Na 133, K 4, Cl 100, Ca 6,5
Analisis Asupan : Saturasi O2 89, (Kesan : Asidosis respiratorik) GDS 94 AGD : pH 7,49, pCO2 32, pO2 90, HCO3 25, BE +2,6,
Vol E P L KH (pO2/FiO2 147,5) Saturasi O2 96 (Kesan : alkalosis respiratorik akut)
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Analisis Asupan : GDS 87 (pO2/FiO2 225)
Universitas Indonesia

Dekstrosa5% 24x16 65,28 - - 19,2 Vol E P (g) L KH Analisis Asupan :


Total 65,28 - - 19,2 (ml) (kkal) (g) (g) Vol E P (g) L KH
Pregestimil 8 x 15 92 2,25 4,55 8,25 (ml) (kkal) (g) (g)
Dekstrosa5% 24x10 40,8 - - 12 Pregestimil 8 x 15 92 2,25 4,55 8,25
- Intake : 412 mL Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 - - Dekstrosa5% 24x6 24,5 - - 7,2
- Output : 707 mL Total 456 152 7,05 4,55 20,25 Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 - -
- Balans cairan : -295 mL Total 360 135,7 7,05 4,55 15,45
- Produksi urin : 6,1 mL/ kg BB/jam - Intake : 460 mL

104
- Output : 532mL - Intake : 463 mL

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


105

Terapi : - Balans cairan : - 72 mL - Output : 547 mL


midazolam 7mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, vitamin C 1 x - Produksi urin : 4,6 mL/ kg BB/jam - Balans cairan : - 84 mL
200 mg i.v, Rantin 3 x 10 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg Terapi : - Produksi urin : 4,7 mL/ kg BB/jam
i.v, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. midazolam 7mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, vitamin C 1 xTerapi :
200 mg i.v, Rantin 3 x 10 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mgmidazolam 7mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v aminofilin 4 x
i.v, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
12 mg i.v, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml
p.o
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect),
kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, hipermetabolisme kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS,
sedang, status gizi baik, perawakan pendek (stunted), hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan
anemia, hiponatremia, peningkatan enzim hati, dalam pendek (stunted), anemia, hiponatremia, peningkatan pendek (stunted), anemia, hiponatremia, peningkatan
perawatan hari ke-3, status saluran cerna dalam batas enzim hati, dalam perawatan hari ke-4, status saluran enzim hati, dalam perawatan hari ke-5, status saluran
normal, keseimbangan cairan negatif 295 mL cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif
72 mL 84 mL
Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi
P Nutrisi diberikan 80% KEB (288 kkal) Nutrisi diberikan 80% KEB (288 kkal) Nutrisi diberikan 80% KEB (288 kkal)
- Rute : per NGT - Rute : per NGT - Rute : per NGT
- Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral
- Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA

Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH


(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Formula 8x30 184 4,5 9,1 16,5 Formula 8x30 184 4,5 9,1 16,5 Formula 8x30 184 4,5 9,1 16,5
semielemental semielemental semielemental
Dekstrosa 10% 250 85 - - 25 Dekstrosa 10% 250 85 - - 25 Dekstrosa 10% 250 85 - - 25
Asam amino5% 100 20 5 - - Asam amino5% 100 20 5 - - Asam amino5% 100 20 5 - -
Universitas Indonesia

Total 289 9,5 9,1 41,5 Total 289 9,5 9,1 41,5 Total 289 9,5 9,1 41,5
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat
ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap

Universitas Indonesia

105
Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013
106

Tanggal 11/02/2013 (H+6) Tanggal 12/02/2013 (H+7) Tanggal 13/02/2013 (H+8)


S BAB (2x), lembek, coklat BAB (1x) lembek BAB (-)
O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen, gelisah Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
TD : 120/100 mmHg TD : 71/41mmHg TD : 102/70 mmHg
HR : 180x/menit HR : 188x/menit HR : 98x/menit
R : 50 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, R : 40 x/menit on ventilator (mode PCMV, PEEP 5, R : 53 x/menit on ventilator (mode PCMV, PEEP 5,
FiO2 40%) FiO2 40%) FiO2 40%)
S : 36,8 C S : 37,6 C S : 37 C
Saturasi O2 : 100% Saturasi O2 : 90 % Saturasi O2 : 98%

Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-), Hidung : NGT (+), GRV (-)
Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) pernapasan cuping hidung (+) mulut : slym kental (+)
- Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) mulut : slym kental (+) (plug) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+)
- Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-)
wheezing (+) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru,
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (+)
Genitalia : scrotum kanan membesar wheezing (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Genitalia : scrotum kanan membesar
Kapasitas fungsional: bedridden Genitalia : scrotum kanan membesar Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-)
Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium : AGD : pH 7,32, pCO2 31, pO2 186, Kapasitas fungsional: bedridden
HCO3 17, BE -7,3, Saturasi O2 97 (pO2/FiO2 465) Laboratorium:
(Kesan : asidosis respiratorik akut) Laboratorium: GDS 110, Na 135, K 4,8, Cl 103, Ca 6,8
Alb 3,4, Glob 3,1, Bil direk 0,1, Bil indirek 0,5 Hb 11,6, Ht 34, Leu 12100, Tromb 207000 AGD : pH 7,36, pCO2 45, pO2 56, HCO3 24, BE -0,9,
Kultur darah : S.epidermidis AGD : pH 7,52, pCO2 34, pO2 122, HCO3 28, BE +5,6, Saturasi O2 85, GDS 87 (pO2/FiO2 140)
Saturasi O2 98 (Kesan : alkalosis respiratorik) GDS 71 Kultur bronkhus : Pseudomonas aeruginosa
Analisis Asupan : (pO2/FiO2 305)
Vol E P L KH Analisis Asupan : Analisis Asupan :
Universitas Indonesia

(ml) (kkal) (g) (g) (g) Vol E P L KH Vol E P L KH


Pregestimil 8 x 30 184 4,5 9,1 16,5 (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) g) (g) (g)
Dekstrosa 5% 24x1 4,08 - - 1,2 Pregestimil 8x30 184 4,5 9,1 16,5 Pregestimil 8x45 276 6,8 13,6 24,8
Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 - - Dekstrosa 10% 250 85 - - 25 Dekstrosa 10% 200 68 - - 20
Total 360 207,28 9,4 9,1 17,7 Asam amino5% 100 20 5 - - Asam amino5% 100 20 5 - -
Total 289 9,5 9,1 41,5 Total 364 11,8 13,6 44,8
- Intake : 449 mL - Intake : 550 mL - Intake : 614 mL
- Output : 503 mL - Output : 500 mL - Output : 787 mL
- Balans cairan : -54 mL - Balans cairan : + 50 mL - Balans cairan : - 173 mL

106
- Produksi urin : 4,36 mL/ kg BB/jam - Produksi urin : 4,34 mL/ kg BB/jam - Produksi urin : 6,83 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


107

Terapi : Terapi : Terapi :


midazolam 7mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v aminofilin 4 x midazolam 7mg i.v, Targocid 1 x 50 mg i.v, midazolam 7mg i.v, Targocid 1 x 50 mg i.v, aminofilin
12 mg i.v, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml aminofilin 4 x 12 mg i.v, dexamethasone 3 x 0,75 mg 4 x 12 mg i.v, dexamethasone 3 x 0,75 mg i.v,
p.o i.v, Abbotic 2x1,5 ml p.o, Dialac 1 x 1 sachet p.o, ceftriaxone 1 x 500 mg i.v, Abbotic 2x1,5 ml p.o,
Zamel syrup 1 x 2 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1 cth p.o Dialac 1 x 1 sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o,
Fluimucyl 3 x 1 cth p.o
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect),
kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ards,
hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan
pendek (stunted), anemia, hiponatremia, peningkatan pendek (stunted), anemia, leukositosis, hiponatremia, pendek (stunted), anemia, peningkatan enzim hati,
enzim hati, dalam perawatan hari ke-6, status saluran peningkatan enzim hati, dalam perawatan hari ke-7, dalam perawatan hari ke-8, status saluran cerna dalam
cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan batas normal, keseimbangan cairan negatif 84 mL
54 mL cairan positif 50ml

Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi


P Nutrisi diberikan 80% KEB (288 kkal) Nutrisi ditingkatkan menjadi KEB (360 kkal) Nutrisi diberikan tetap KEB (360 kkal)
- Rute : per NGT - Rute : per NGT - Rute : per NGT
- Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral
- Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA

Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH


(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) g) (g) (g) (ml) (kkal) g) (g) (g)
Formula 8x30 184 4,5 9,1 16,5 Formula 8x45 276 6,8 13,6 24,8 Formula 8x45 276 6,8 13,6 24,8
semielemental semielemental semielemental
Dekstrosa 10% 250 85 - - 25 Dekstrosa 10% 200 68 - - 20 Dekstrosa 10% 200 68 - - 20
Asam amino5% 100 20 5 - - Asam amino5% 100 20 5 - - Asam amino5% 100 20 5 - -
Universitas Indonesia

Total 289 9,5 9,1 41,5 Total 364 11,8 13,6 44,8 Total 364 11,8 13,6 44,8
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat
ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap

107
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


108

Pemantauan Pasien Kasus 3

Tanggal 19/02/2013 (H+3) Tanggal 20/02/2013 (H+4) Tanggal 21/02/2013 (H+5)


S BAB (-) BAB (1x) lembek, coklat BAB (-)
O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
TD : 88/43 mmHg TD : 111/72 mmHg TD : 102/63 mmHg
HR : 147 x/menit HR : 140x/menit HR : 134x/menit
R : 40 x/menit, nafas spontan R : 38 x/menit , nafas spontan R : 43 x/menit nafas spontan
S : 36,8 C S : 36 C S : 37,2 C
Saturasi O2 : 96% Saturasi O2 :95 % Saturasi O2 : 94 %

Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit
Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+)
- Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-)
- Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru,
wheezing (-) wheezing (-) wheezing (-)
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2 Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2 Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden

Laboratorium : Laboratorium: Laboratorium: Hb 16, Ht 49, Leu 13900, Tr 348000,


Na 131, K 5,4, Cl 106, Ca 10,8 AGD : pH 7,52, pCO2 28, pO2 41, HCO3 24, BE +2,0, GDS 94, Na 132, K 5,8, Cl 101, Ca 10,5, Albumin 3,3,
AGD : pH 7,42, pCO2 32 pO2 38, HCO3 21 BE -2,4, Saturasi O2 81% (Kesan alkalosis respiratorik) Globulin 2,9
Saturasi O2 72 (Kesan : alkalosis respiratorik). AGD : pH 7,46, pCO2 45, pO2 32, HCO3 28, BE +3,6,
Analisis Asupan : Saturasi O2 98 (kesan alkalosis metabolik)

Lampiran 3
Analisis Asupan : Vol E P L KH Analisis Asupan :
Universitas Indonesia

Vol E P L KH (ml) (kkal) (g) (g) (g) Vol E P L KH


(ml) (kkal) (g) (g) (g) Pregestimil 8 x 30 184 1,7 3,42 6,21 (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Pregestimil 6 x 15 69,12 1,7 3,42 6,21 Kaen 3A 24x5 13 - - 3,24 Pregestimil 8 x 45 276 6,8 13,68 24,84
Dekstrosa 10% 24 x 3 24,48 - - 7,2
Kaen 3A 24x10 26 - - 6,48 Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 - -
Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 - -
Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 - - Total 456 216,2 6,4 3,42 9,45 Total 528 310 11,6 13,68 32,04
Total 426 114,32 6,5 3,42 12,69 - Intake : 564 mL
- Intake : 450 mL - Intake : 470 mL - Output : 765 mL
- Output : 600 mL - Output : 532 mL - Balans cairan : - 201 mL
- Balans cairan : -150 mL - Balans cairan : - 62 mL - Produksi urin : 6,01 mL/ kg BB/jam
- Produksi urin -

108
: 4,71 mL/ kg BB/jam Produksi urin : 4,18 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


109

Terapi : Terapi : Terapi :


midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, Glybotic midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v,
1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v,
x 0,75 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v,
sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Lasix 2 x 2 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x Lasix 2 x 2 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x
sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia,
hipermetabolisme sedang, leukositosis, hiponatremia, hipermetabolisme sedang, leukositosis, hiponatremia, hipermetabolisme sedang, alkalosis metabolik, status gizi
alkalosis respiratorik, status gizi baik, dalam perawatan alkalosis respiratorik, status gizi baik, dalam perawatan baik, dalam perawatan hari ke-5, status saluran cerna
hari ke-3, status saluran cerna dalam batas normal, hari ke-4, status saluran cerna dalam batas normal, dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 201 mL
keseimbangan cairan negatif 295 mL keseimbangan cairan negatif 62 mL

Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi


P Nutrisi diberikan 80% KEB (210 kal) Nutrisi diberikan KEB (266 kal) Nutrisi ditingkatkan menjadi 100% KET (345 kal)
- Rute : per NGT - Rute : per NGT - Rute : per NGT
- Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral
- Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA
- - -
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Formula 8x30 184 4,5 9,1 16,5 Formula 8x45 276 6,8 13,68 24,84 Formula 8x45 276 6,8 13,68 24,84
semielemental semielemental semielemental
Asamamino 5% 120 24 6 - - Total 360 276 6,8 13,68 24,84 Dekstrosa 10% 150 51 - - 15
Total 360 208 10,5 9,1 16,5 Asamamino 5% 120 24 6 - -
Total 630 351 12,8 13,68 39,84
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
Universitas Indonesia

darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat
ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap

109
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


110

Tanggal 22/02/2013 (H+6) Tanggal 25/02/2013 (H+9)


S BAB (2x), lembek, kecoklatan BAB (1x) lembek, coklat, pasien rencana pindah ke
ruangan rawat
O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
TD : 89/41 mmHg TD : 96/65 mmHg
HR : 129 x/menit HR : 142x/menit
R : 40 x/menit, nafas spontan R : 45 x/menit , nafas spontan
S : 36,8 C S : 36,2 C
Saturasi O2 : 96% Saturasi O2 :98 %

Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit
Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+)
- Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-)
- Paru : vesikuler, ronkhi (-) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (-) kedua lapang paru,
wheezing (-) wheezing (-)
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2 Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden

Laboratorium : Laboratorium:
Na 134, K 4,5, Cl 99, Ca 10,4 AGD : pH 7,52, pCO2 28, pO2 41, HCO3 24, BE +2,0,
AGD : pH 7,48, pCO2 39 pO2 38, HCO3 25, BE -2,4, Saturasi O2 81% (Kesan alkalosis respiratorik)
Saturasi O2 86% (Kesan : alkalosis metabolik).
Analisis Asupan :
Analisis Asupan : Vol E P L KH
Vol E P L KH (ml) (kkal) (g) (g) (g)
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Pregestimil 8x45 276 6,8 13,68 24,84
Universitas Indonesia

Pregestimil 8x45 276 6,8 13,68 24,84 Dekstrosa 10% 150 51 - - 15


Dekstrosa 10% 150 51 - - 15 Benutrion VE 5% 120 24 6 - -
Benutrion VE 5% 120 24 6 - - Total 630 351 12,8 13,68 39,84
Total 630 351 12,8 13,68 39,84
- Intake : 650 mL - Intake : 670 mL
- Output : 570 mL - Output : 532 mL

110
- Balans cairan : 80 mL - Balans cairan : 138 mL
- Produksi urin : 4,48 mL/ kg BB/jam - Produksi urin : 4,18 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


111

Terapi : Terapi :
midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, Glybotic midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v,
1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v,
x 0,75 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v,
sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Lasix 2 x 2 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x
sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, Pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia,
hipermetabolisme sedang, alkalosis metabolik, status gizi hipermetabolisme sedang, leukositosis, alkalosis
baik, dalam perawatan hari ke-6, status saluran cerna respiratorik, status gizi baik, dalam perawatan hari ke-9,
dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 80 mL status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan
cairan positif 138 mL

Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi


P Nutrisi diberikan sesuai KET (345 kkal) Nutrisi diberikan sesuai KET (345 kkal)
- Rute : per NGT - Rute : per NGT
- Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral
- Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA
Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Formula 8x45 276 6,8 13,68 24,84 Formula 8x45 276 6,8 13,68 24,84
semielemental semielemental
Dekstrosa 10% 150 51 - - 15 Dekstrosa 10% 150 51 - - 15
Asamamino 5% 120 24 6 - - Asamamino 5% 120 24 6 - -
Total 630 351 12,8 13,68 39,84 Total 630 351 12,8 13,68 39,84
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Universitas Indonesia

Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan
dipertahankan dipertahankan

111
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


112

Pemantauan pasien Kasus 4

Tanggal 13/02/2013 (H+2) Tanggal 14/02/2013 (H+3) Tanggal 15/02/2013 (H+4)


S BAB (-) BAB (-) BAB (1x), padat, coklat, post ekstubasi
O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
TD : 90/70 mmHg TD : 98/64 mmHg TD : 81/44 mmHg
HR : 182 x/menit HR : 171x/menit HR : 150x/menit
R : 42 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, R : 54 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, R : 40 x/menit, napas spontan
FiO2 40%) FiO2 40%) S : 36,2 C
S : 36,7 C S : 36,6 C Saturasi O2 : 100%
Saturasi O2 : 96% Saturasi O2 :97 %
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun- Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun- ubun tidak cekung
ubun tidak cekung ubun tidak cekung Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-),
Hidung : NGT (+),GRV(-),pernapasan cuping hidung (-) Hidung : NGT (+),GRV(-),pernapasan cuping hidung (-) pernapasan cuping hidung (-)
Thoraks : simetris, iga gambang (+), Thoraks : simetris, iga gambang (+), Thoraks : simetris, iga gambang (+),
retraksi suprasternal (+), interkostal (+) retraksi suprasternal (+) interkostal (+) retraksi suprasternal (+) interkostal (+)
- Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua - Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua - Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua
lapang paru, wheezing (-) lapang paru, wheezing (-) lapang paru, wheezing (-)
Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-)
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden

Laboratorium : Na 137, K 4, Cl 110, Ca 7,9, GDS 94 Laboratorium: GDS 81 Laboratorium: Hb 9,6, Ht 28, Leu 11400, Tr 239000,
GDS 103, Na 136, K 2,5, Cl 109, Ca 9,6, Alb 2,4
Analisis Asupan : Analisis Asupan : AGD : pH 7,49, pCO2 23, pO2 291, HCO3 18, BE -3,3,
Universitas Indonesia

Vol E P L KH Vol E P (g) L KH Saturasi O2 99 (Kesan : alkalosis respiratorik akut)

Lampiran 4
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) GDS 103
Pregestimil 8x15 92,16 2,2 4,56 8,28 Pregestimil 8x15 92,16 2,2 4,56 8,28
Dextrose 10% 24x 7 57,1 - - 16,8 Analisis Asupan :
Kaen 3B 15x17 27,6 - - 6,9
Benutrion VE 24x3 14,4 3,6 - -
Total 119,76 2,2 4,56 15,18 Vol E P (g) L KH
Total 240 163,66 5,8 4,56 25,08 (ml) (kkal) (g) (g)
- Intake : 300 mL Pregestimil 8 x 30 184 4,5 9,1 16,5
- Intake : 219 mL - Output : 332 mL Dextrosa10% 24x4 32,64 - - 9,6
- Output : 295 mL - Balans cairan : - 32 mL Benutrion VE 24x4 19,2 4,8 - -
- Balans cairan : -76 mL - Produksi urin : 3,45 mL/ kg BB/jam Total 211,2 235,84 9,3 9,1 26,1

112
- Produksi urin : 2,3 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


113

Terapi : - Intake : 250 mL


Terapi : Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 450 mg i.v, - Output : 300 mL
Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 450 mg i.v, vitamin vitamin C 1 x 100 mg i.v, ranitidin 3 x 5 mg i.v, - Balans cairan : - 50mL
C 1 x 100 mg i.v, ranitidin 3 x 5 mg i.v, Farmadol 4 x Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg, - Produksi urin : 3,12 mL/ kg BB/jam
50 mg i.v, inhalasi Ventolin dan Pulmicort 3 x/hari inhalasi Ventolin dan Pulmicort 3 x/hari Terapi :
Miloz 7 mg i.v, dobutamin 30 mg, albumin 25% 50ml,
ceftriaxone 1 x 450 mg i.v, vitamin C 1 x 100 mg i.v,
ranitidin 3 x 5 mg i.v, Farmadol 4 x 50 mg i.v,
meropenem 3 x 150 mg, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, status gizi Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, status gizi Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan,
buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, leukositosis, buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, leukositosis, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia,
trombositosis, hipokalsemia, alkalosis respiratorik, trombositosis, hipokalsemia, alkalosis respiratorik, hipoalbuminemia, hipokalemia, alkalosis respiratorik,
dalam perawatan hari ke-2, status saluran cerna dalam dalam perawatan hari ke-3, status saluran cerna dalam dalam perawatan hari ke-4, status saluran cerna dalam
batas normal, keseimbangan cairan negatif 76 mL batas normal, keseimbangan cairan negatif 32 mL batas normal, keseimbangan cairan negatif 50 mL

Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi


P Nutrisi diberikan sesuai 80% KEB (242 kal) Nutrisi diberikan sesuai 80% KEB (242 kal) Nutrisi ditingkatkan menjadi KEB (300 kal)
- Rute : per NGT - Rute : per NGT - Rute : per NGT
- Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral
- Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA
- -
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) g) (g) (g)
Formula 8x30 184 4,5 9,1 16,5 Formula 8x30 184 4,5 9,1 16,5 Formula 8x45 276,5 6,8 13,7 24,8
semielemental semielemental semielemental
Dekstrosa 10% 110 37,4 - - 11 Dekstrosa 10% 110 37,4 - - 11 Dekstrosa 10% 35 12 - - 3,5
Asamamino 5% 100 20 5 - - Asamamino 5% 100 20 5 - - Asamamino 5% 60 12 3 - -
Total 450 241,4 9,5 9,1 27,5 Total 450 241,4 9,5 9,1 27,5 Total 455 300 9,8 13,68 28,3
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
Universitas Indonesia

pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)


Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, makaasupan Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, makaasupan Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien
dapat ditingkatkan bertahap menjadi kebutuhan total dapat ditingkatkan bertahap menjadi kebutuhan total selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai

113
kebutuhan energi total
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


114

Tanggal 18/02/2013 (H+7) Tanggal 19/02/2013 (H+8) Tanggal 22/02/2013 (H+11)


S BAB (-) BAB (1x) lembek, kecoklatan BAB (1x), lembek, coklat
O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
TD : 75/43 mmHg TD : 98/46 mmHg TD : 77/41 mmHg
HR : 190 x/menit HR : 164x/menit HR : 107x/menit
R : 49 x/menit, napas spontan R : 50 x/menit, napas spontan R : 48 x/menit, napas spontan
S : 36,2 C S : 37,1 C S : 36,7 C
Saturasi O2 : 96% Saturasi O2 :98 % Saturasi O2 : 100%

Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun- Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun- Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-
ubun tidak cekung ubun tidak cekung ubun tidak cekung
Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-), Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-), Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-),
pernapasan cuping hidung (-) pernapasan cuping hidung (-) pernapasan cuping hidung (-)
Thoraks : simetris, iga gambang (+), Thoraks : simetris, iga gambang (+), Thoraks : simetris, iga gambang (+),
retraksi suprasternal (+) interkostal (+) retraksi suprasternal (+), interkostal (+) retraksi suprasternal (+), interkostal (+)
- Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua - Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua - Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua
lapang paru, wheezing (-) lapang paru, wheezing (-) lapang paru, wheezing (-)
Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat, oedem (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-)
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden

Laboratorium : - Laboratorium: Hb 10,6, Ht 31, Leu 12900, Tr 307000, Laboratorium:


AGD : pH 7,42, pCO2 49, pO2 225, HCO3 32, BE +7,3, AGD : pH 7,42, pCO2 14, pO2 163, HCO3 16, BE -11,6,
Analisis Asupan : Saturasi O2 99 (Kesan : alkalosis metabolik mix asidosis Saturasi O2 100 (Kesan : alkalosis respiratorik)
Vol E P (g) L KH respiratorik)
(ml) (kkal) (g) (g) Laringoskopi : Obstruksi laring ec laringomalasia DD/ Analisis Asupan :
Pregestimil 8 x45 276,5 6,8 13,7 24,8 faringolaringitis akut, oedem laring Vol E P L KH
Universitas Indonesia

Dekstrosa10% 24x2 16,32 - 4,8 (ml) (kkal) g) (g) (g)


Benutrion VE 24x4 19,2 4,8 - - Pregestimil 8 x 60 368,6 9 18,24 33,23
Analisis Asupan :
Total 504 312 11,6 13,7 29,6 Benutrion VE 100 20 5 - -
Vol E P (g) L KH
(ml) (kkal) (g) (g) Total 580 388 14 18,24 33,23
- Intake : 550 mL Pregestimil 8 x45 276,5 6,8 13,7 24,8
- Output : 525 mL Dekstrose 10% 24x1 16,32 - - 4,8 - Intake : 586 mL
- Balans cairan : 25 mL Benutrion VE 24x4 19,2 4,8 - - - Output : 595 mL
- Produksi urin : 4,12 mL/ kg BB/jam Total 480 312 11,6 13,7 29,2 - Balans cairan : - 9 mL
Terapi : - Intake : 514 mL - Produksi urin : 6,19 mL/ kg BB/jam
Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg, Zamel - Output : 680 mL Terapi :
syrup 1 x 2 ml p.o. - Balans cairan : - 166 mL Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg,

114
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


115

- Produksi urin : 7,08 mL/ kg BB/jam dexametason, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x
Terapi : 2 ml p.o., Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1,5 ml
Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg, p.o, nebulizer Adrenalin 2,5ml+Pulmicort amp
dexametason, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 (3x/hari)
x 2 ml p.o., Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1,5
ml p.o.
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan, Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan, Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan,
status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia,
hipoalbuminemia, hipokalemia, alkalosis respiratorik, leukositosis, trombositosis, hipokalsemia, alkalosis hipoalbuminemia, hipokalemia, alkalosis respiratorik,
dalam perawatan hari ke-7, status saluran cerna dalam respiratorik, dalam perawatan hari ke-8, status saluran dalam perawatan hari ke-4, status saluran cerna dalam
batas normal, keseimbangan cairan positif 25 mL cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif batas normal, keseimbangan cairan negatif 9 mL
166 mL

Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi


P Nutrisi diberikan tetap KEB (300 kal) Nutrisi ditingkatkan menjadi 100% KET (393 kal) Nutrisi diberikan 100% KET (393 kal)
- Rute : per NGT - Rute : per NGT - Rute : per NGT
- Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral
- Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA

Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH


(ml) (kkal) g) (g) (g) (ml) (kkal) g) (g) (g) (ml) (kkal) g) (g) (g)
Formula 8x45 276,5 6,8 13,7 24,8 Formula 8 x 60 368,6 9 18,24 33,23 Formula 8 x 60 368,6 9 18,24 33,23
semielemental semielemental semielemental
Dekstrosa 10% 35 12 - - 3,5 Asamamino 5% 100 20 5 - - Asamamino 5% 100 20 5 - -
Asamamino 5% 60 12 3 - - Total 580 388 14 18,24 33,23 Total 580 388 14 18,24 33,23
Total 455 300 9,8 13,68 28,3

M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Universitas Indonesia

Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien
selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai selanjutnya dipertahankan sesuai kebutuhan energi total selanjutnya dipertahankan sesuai kebutuhan energi total

115
kebutuhan energi total
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


Lampiran 5 116

Kurva Pertumbuhan Bayi Prematur Babson dan Benda

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


Lampiran 6 117

Formulir skrining STRONG


No STRONGkids Skor
(Screening Tool for Risk on Nutritional Status and Growth)
Tanggal skrining :..................
1 Penilaian klinis subyektif
Apakah pasien dalam status nutrisi yang buruk? 0
(Kehilangan lemak subkutan dan atau massa otot dan atau muka cekung) 1
2 Penyakit risiko tinggi
Apakah ada penyakit yang mendasari dengan risiko malnutrisi/ 0
diperkirakan akan menjalani operasi mayor? 1
(Lihat Tabel) 2
3 Asupan Nutrisi
Apakah ada salah satu keadaan dibawah ini? 0
- Diare berlebihan ( 5 x/hari) dan atau muntah (>3 x/hari) dalam beberapa 1
hari terakhir
- Penurunan asupan makan dalam beberapa hari sebelum masuk RS (tidak
termasuk puasa untuk persiapan operasi)
- Pernah mendapat intervensi nutrisi sebelumnya
- Rasa nyeri yang mengakibatkan ketidakmampuan mengonsumsi makanan
4 Penurunan berat badan/ kenaikan berat badan
Apakah ada penurunan berat badan/ tidak ada kenaikan berat badan (pada bayi 0
< 1 tahun) dalam beberapa minggu/bulan terakhir? 1
Skor Risiko gizi Tatalaksana gizi
4-5 Risiko tinggi Konsultasi dokter dan dietisien untuk diagnosis dan advis nutrisi
individual dan pemantauan
Mulai pemberian minuman tambahan hingga diagnosis tegak
1-3 Risiko sedang Konsultasi dokter untuk diagnosis lengkap, pertimbangkan
intervensi nutrisi dengan dietisien
Periksa berat badan 2x/minggu dan evaluasi risiko malnutrisi
setelah 1 minggu
0 Risiko rendah Tidak diperlukan intervensi
Periksa berat badan sesuai kebijakan RS dan eveluasi risiko
malnutrisi setelah 1 minggu

Catatan :
- Nomer 1 dan 2 dinilai oleh dokter spesialis anak
- Nomer 3 dan 4 didiskusikan bersama dengan orangtua/pengasuh
- Jawaban tidak jelas dianggap sebagai tidak

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


118

Penyakit Risiko Tinggi


Anorexia nervosa
Luka bakar
Bronkopulmoner displasia (maksimun usia 2 tahun)
Penyakit seliak
Sistik fibrosis
Dismaturitas/prematuritas (usia koreksi 6 bulan)
Penyakit jantung, kronis
Penyakit infeksi (AIDS)
Inflammatory Bowel Disease
Kanker
Penyakit hati, kronis
Pankreatitis
Short Bowel Syndrome
Penyakit otot
Penyakit metabolik
Trauma
Keterbelakangan mental/retardasi
Akan menjalani operasi mayor
Tidak spesifik (diklasifikasikan oleh dokter)

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


Lampiran 7 119

Formulir Skrining PYMS (Paediatric Yorkhill Malnutrition Score)


Nama : No MR: Tanggal
Nama belakang : Ttd perawat
Tanggal lahir : BB
Umur : Lk/Pr TB
Bangsal : Konsultan : IMT

Apakah IMT Tidak 0


1.
dibawah standard? Ya 2
Tidak 0
Ya
- Penurunan BB yang tidak
Apakah terdapat
2. dikehendaki
penurunan BB? 1
- Baju longgar
- Kenaikan berat badan
lambat (jika < 2 tahun)
Tidak
0
(Asupan seperti biasa)
Apakah terdapat
Ya
penurunan asupan
(Penurunan asupan 1
3. makan ?
seminggu terakhir)
(dalam beberapa
minggu terakhir) Ya
(Tidak ada asupan 2
seminggu terakhir)
Tidak 0
Ya
Apakah nutrisi
Setidaknya dalam seminggu :
anak akan
- Penurunan asupan dan/ 1
terpengaruh
- Peningkatan kebutuhan dan/
4. selama perawatan
- Peningkatan kehilangan
di RS?
Ya
(seminggu
Tidak ada asupan
kedepan) 2
(atau hanya beberapa
hisapan)

5. Jumlahkan no 1-4 Skor PYMS Total

Skor PYMS Total Tindakan Tatalaksana gizi


0 Ulangi Skrining PYMS -
dalam 1 minggu
1 Ulangi Skrining PYMS Observasi balans cairan
dalam 3 hari Observasi asupan
2 Ulangi Skrining PYMS Membutuhkan Intervensi
dalam 1 minggu Nutrisi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


120

1
Gessman LM, Rappaport DI. Approach to Community-Acquired Pneumonia in Children. Clinical
Review Article. Hospital Physician Sept/Oct 2009, p 1-5.
2
Said M. Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka Pencapaian MDG 4. Buletin
Jendela Epidemiologi Vol 3. September 2010.
3
Kartasasmita CB. Pneumonia Pembunuh Balita. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 3. September
2010.
4
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
5
Brown SM, Dean NC. Defining and predicting severe community-acquired pneumonia. Curr
Opin Infect Dis 2010;23:158164.
6
Restrepo MI, Mortensen EM, Velez JA. A comparative study of community-acquired pneumonia
patients admitted to the ward and the ICU. Chest 2008; 133:610617.
7
Kollef KE, Schramm GE, Wills AR. Predictors of 30-day mortality and hospital costs in patients
with ventilatorassociated pneumonia attributed to potentially antibiotic-resistant Gram-negative
bacteria. Chest 2008; 134:281 287.
8
Muscedere JG, Day A, Heyland DK. Mortality, attributable mortality, and clinical events as end
points for clinical trials of ventilator-associated pneumonia and hospital-acquired pneumonia.
Clin Infect Dis 2010; 51 (1): 120125.
9
Torres A, Ewig S, Lode H, Carlet J. European HAP working group. Defining, treating and
preventing hospital acquired pneumonia: European perspective. Intensive Care Med 2009;
35:929.
10
Pollack MM, Wiley JS, Holbrook PR. Early nutritional depletion in critically ill children. Crit
Care Med 1981;9:580.
11
Pollack MM, Ruttimann UE, Wiley JS. Nutritional depletions in critically ill children:
associations with physiologic instability and increased quantity of care. J Parenter Enteral Nutr
198;9:309
12
Briassoulis G, Venkataraman S, Thomson AE. Energy expenditure in critically ill children. Crit
Care Med 2000;28:1166
13
Sadler TW. Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 10. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
14
Bergman EA, Hawk SN. Diseases of the Respiratory System. Dalam: Nelms M, Sucher K,
Lacey K, Roth SL. Editor. Nutrition Therapy and Pathophysiology. Ed 2. Wadsworth :
Cangange Learning 2011:648-681.
15
Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 2003
16
Anonymous, diunduh dari www.healthbase.com
17
Guyton AC, Hall HE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1996:597-653.
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


121

18
Anonymous, diunduh dari www.nhlbi.nih.gov
19
Dahlan Z. Pneumonia : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 4. 2007. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
20
Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, editor.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia: WB Saunders, 2003:1432-5
21
Correa AG, Starke JR. Bacterial Pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat F, editor. Kendigs
Disorder of the Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia: WB Saunders, 1998:485-
503
22
McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Eng J Med 2002;346(6):429-37
23
Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older Children.
Dalam : Taussig LM, Landau LI, editor. Pediatric Respiratory Medicine. St.Louis:Mosby Inc,
1999:595-664.
24
Durbin WJ, Stille C. Pneumonia. Pediatrics in Review 2008;29;147.
25
Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology and etiology of
childhood pneumonia. Bulletin of the World Health Organization 2008;86:408416.
26
Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric Pneumonia. Emerg Med Clin N Am
2003;21:437-51.
27
Glezen WP. Viral Pneumonia. Dalam Chernick V, Boat F, editor. Kendigs Disorders of ths
Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia : WB Saunders, 1998:518-26.
28
Frank G, Shah S. Uncomplicated Pneumonia. Dalam: Shah SS, editor. Pediatric Practice
Infectious Diseases. Philadelphia : McGraw-Hill Companies Inc, 2009:298-309.
29
Langley JM, Bradley JS. Defining pneumonia in critically ill infants and children. Pediatr Crit
Care Med 2005;6(suppl):S9-S13.
30
Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3):200-14.
31
British Thoracic Society Standards of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for
the Management of Community Acquired Pneumonia in Childhood. Thorax. 2002; 57 Suppl
1:1-24.
32
Lang F. Respiration, Acid-Base Balance. Dalam: Silbernagl S, Lang F, editor. Color Atlas of
Pathophysiology. Stuttgart : Thieme FlexiBook, 2000:66-91.
33
Turner KL, Moore FA, Martindale R. Nutrition Support for the Acute Lung Injury/Adult
Respiratory Distress Syndrome Patient : A Review. Nutr Clin Pract. 2011;26:14-25.
34
The Berlin Definition. The ARDS Definition Task Force. JAMA. 2012; 307:2526.
35
Verger JT, Bradshaw DJ, Henry E, Roberts KE. The pragmatic of feeding the pediatric patient
with acute respiratory distress syndrome. Crit Care Nurs Clin N Am. 2004;16:431-443.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


122

36
Laycock H, Rajah A. Acute Lung Injury and Acute Respiratory Distress Syndrome : A Review
Article. BJMP 2010;3(2):324.
37
McCarthy MS. Pulmonary Failure. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the Critically Ill
Patient. A Guide to Practice. Florida : CRC Press. Taylor & Francis Group. 2005:389-405.
38
Foex BA. Systemic responses to trauma. Brit Med Bulletin. 1999;55:726-43.
39
Neims MN, Sucher K, Lacey K.. Metabolic Stress. Nutrition therapy and Pathophysiology,
Thomson Brooks. 2007. 785-9.
40
Winkler MF, Malone AM, Mahan LK, Escott SS. Medical nutrition therapy for metabolic stress:
sepsis, trauma, burns and surgery. Dalam: Krauses Food and Nutrition therapy. Elsevier. 2008;
1021-41.
41
Lestari ED. Nutrisi Enteral. Dalam Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku
Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:49-
62.
42
Mehta NM, Jaksic T. The Critically Ill Child. Dalam: Duggan C. Nutrition in Pediatriccs. Ed 4.
Hamilton, Ontario, Canada : BC Becker Inc. 2008:663-673.
43
Weissmann C. The metabolic response to stress; an overview and update. Anesthesiology.
1990;73:308-27.
44
Schmeling DJ, Coran AG. The hormonal and metabolic response to stress in neonate. Pediatr
Surg Int. 1990;5:307-21.
45
Griffiths RD, Hinds CJ, Little RA. Manipulating the metabolic response to injury. Brit Med
Bull. 1999;55:181-95.
46
Parsons HG. The nutritional status of hospitalized children. Am J Clin Nutr 1980: 33:1140-1146.
47
Sermet-Gaudelus. Simple pediatric nutritional risk score to identify children at risk of
malnutrition. Am J Clin Nutr 2000; 72: 64-70.
48
Hendarto A, Sjarif DR. Antropometri Anak dan Remaja. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED,
Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta
: Badan Penerbit IDAI, 2011:23-34.
49
Cogill B. Anthropometry indicators measurement guide. Food and nutrition technical asisstance.
US Agency for international. 2001.
50
Sjarif DR. Prinsip Asuhan Nutrisi pada Anak. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar
SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI, 2011:36-48.
51
Mehta NM, Chomper C. ASPEN Clinical Guidelines : Nutrition Support of the Critically Ill
Child. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2009;33:260-276
52
Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R, Parenteral Nutrition Guidelines Working
Group. Guidelines on Paediatric Parenteral Nutrition of the European Society of Paediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


123

Nutrition and Metabolism (ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research
(ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. Vol 41, Suppl 2, Nov 2005.
53
Kowalski L, Nucci A. Pediatrics. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the critically ill
patient. A guide to practice. Florida : CRC Press. Taylor & Francis Group. 2005:389-405.
54
Samaddar DP. Nutritional load in critically ill: the changing concepts. SAARC J.Anaesth.
2008;1(2):135-141.
55
Walter Reed Army Medical Center Borden Institute. Emergency nutrition for sick or injured
patient infants and children. Dalam: Walter Reed Army Medical Center Borden Institute,
Fuenfer, Creamer. Pediatric Surgery and Medicine for Hostile Environments, 2001:445-452
56
White MS, Shepherd RW, McEniery JA. Energy expenditure in 100 ventilated, critically ill
children: improving the accuracy of predictive equations. Crit Care Med 2000;28:230712.
57
Skillman HE, Wischmeyer PE. Nutrition Therapy in Critically Ill Infants and Children. JPEN J
Parenter Enteral Nutr 2008;32:520-534
58
Gadek JE, DeMichele SJ, Karlstad MD. Effect of enteral feeding with eicosapentaenoic acid,
gamma-linolenic acid, and antioxidants in patients with acute respiratory distress syndrome.
Enteral Nutrition in ARDS Study Group. Crit Care Med. 1999 Aug;27(8):1409-20.
59
Jacobs BR, Nadkarni V, Goldstein B. Nutritional immunomodulation in critically ill children
with acute lung injury: feasibility and impact on circulating biomarkers. Pediatr Crit Care Med.
2013 Jan;14(1):e45-56.
60
Holliday MA, Segar WE. The maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:323
61
Choong K, Bohn D. Maintenance parenteral fluids in the critically ill child. J Pediatr. 2007
May;83(2):S3-S10.
62
Heyland DK, Cahill NE, Dhaliwal R, Sun X, Day AG, McClave SA. Impact of Enteral Feeding
Protocols on Enteral Nutrition Delivery: Results of a Multicenter Observational Study. JPEN J
Parenter Enteral Nutr 2010;34:675-84.
63
Prieto MB, Cid JLH. Malnutrition in the Critically Ill Child : The Importance of Enteral
Nutrition. Int J. Environ. Res. Public Health 2011,8:4353-4366.
64
Joosten KFM, Hulst JM. Nutritional screening tools for hospitalized children : Methodological
considerations. Clin Nutr. 2013;1-5
65
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skrining malnutrisi pada anak yang dirawat di
rumah sakit. 2007
66
Fenton TR. A new growth chart for preterm babies : Babson and Bendas chart updated with
recent data and a new format. BMC 2003;3:13-23.
67
Donovan SM. Human Milk : Nutritional Properties. Dalam: Duggan, Watkins, Walker. Nutrition
in Pediatrics. Basic Science Clinical Application. Hamilton: BC Decker Inc. 2008:342-353

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


124

68
Lawrence RA, Lawrence RM. Breastfeeding: A guide for the medical profession. Ed 6.
Philadelphia: Elsevier Mosby. 2005:105-170.
69
Ferris AM, Jensen RG. Lipids in human milk : a review. J Pediatr Gastroenterol Nutr 3:108.
1984
70
Mei-Zahav M, Solomon M, Trachsel D, Langer JC. Bochdalek diaphragmatic hernia: not only a
neonatal disease. Arch Dis Child 2003;88:532535
71
Peralta CFA, Jani J, Cos T, Nicolaides KH, Deprest J. Ultrasound Obstet Gynecol 2006; 27:
551554. Left and right lung volumes in fetuses with diaphragmatic hernia
72
Spinella PC, Strieper MJ, Callahan CW. Congestive heart failure in a neonate secondary to
bilaeral intralobar and extralobar pulmonary sequestrations. Pediatrics 1998,101:120-134.
73
Sastroasmoro S, Madiyono B. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Jantung Bawaan. Dalam :
Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku ajar Kardiologi Anak. Jakarta: IDAI; 1994.
74
Hull A. Children with Chronic Congenital Heart Disease and Renal Disease. Dalam Ekvall SW,
editor. Pediatric Nutrition in Chronic Disease and Development Disorder Prevention, Assesment
and Treatment. Oxford Univesity Press; 1993.
75
Roebiono PS. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Diunduh dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/68321669235fd5a14595241e85893e6bbb8907f2.pd
f.
76
Wisnuwardhana M. Manfaat pemberian diet tambahan terhadap pertumbuhan pada anak dengan
penyakit jantung bawaan asianotik [desertasi]. Semarang : Universitas Diponegoro; 2006.
77
Forchielli ML, McColl R, Walker WA, Lo C. Children with Congenital Heart Disease : A
Nutritional Challenge. Nutrition Grand Rounds. 1994 Oct : 348-53.
78
Rosenthal A. Nutritional Considerations in the Prognosis and Treatment of Children with
Congenital Heart Disease. Dalam : Suskind RM, Suskind MM, editor. Textbook of Pediatric
Nutrition. Ed 2. New York : Raven Press; 1992.
79
Quinn NL. Manual Pediatric Nutrition. Ed 4. London: Hendricks KM, Duggan C.; 2005.
Chapter 20, Cardiac Disease; 401-9.
80
Lewis A, Hsieh V. Congenital Heart Disease and Lipid Disorders in Chidren. Pediatric
Nutrition. Ed 2. 2005.
81
Stern RC. Congenital anomalies. Dalam: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors.
Nelson textbook of pediatric. Ed 16, Philadelphia: WB Saunders, 2000:1271-2.
82
Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic
airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5
83
Krashin E, Springer C, Avital A. Synchronous airway lesions in laryngomalacia. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. 2008; 72: 501-7
84
Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its treatment. Laryngoscope 1999;
109: 1770-5
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013


125

85
Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D. The prevalence of gastroesophageal reflux in children with
tracheomalacia and laryngomalacia. Chest. 2001;119: 409-13
86
Jamal N, Bent JP, Vicencio AG. A neurologic etiology for tracheomalacia. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol 2009;73: 885-7
87
Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. Dalam: Snow JB editors. Otorhinolaryngology
head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003:1049-51
88
Cotton RT, Reilly JS. Respiratory disorder of the newborn. Dalam: Bluestone CD, Stool SE,
Kenna MA. Pediatric otolaryngology. Vol II. Ed 3. Philadelphia: WB Saunders, 1999:1300-1.
89
Bye MR. Laryngomalacia. http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527.
90
Makola D, Parish CR. Elemental and semi elemental formulas: Are they superior to polymeric
formulas? Nutrition issues in gastroenterology. 2005; 34:59-72.
91
Anonymous, www.drugs.com/sfx/midazolam-side-effects.html#oytmbwU5DMP8VCfw.99
92
Anonymous, diunduh dari www.mims.com
93
Anonymous, diunduh dari www.medscape.com
94
Anonymous, diunduh dari http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/dexamethasone

95
Harmatz P, Butensky E, Cabin B. Nutritional Anemias. Dalam: Nutrition in Pediatrics, Basic
Science and Clinical Applications. Ed 3. Canada: BC Decker; 2003:831.
96
Shaw JG, Friedman JF. Iron deficiency anemia: focus on infectious diseases in lesser developed
countries. Anemia. 2011;260380.
97
Levy A, Fraser D, Rosen SD, Dagan R, Deckelbaum RJ, Coles C, et al. Anemia as a risk factor
for infectious diseases in infants and toddlers: results from a prospective study. Eur J Epidemiol.
2005;20(3):277-84.
98
Kohgo Y, Ikuta K, Ohtake T, Torimoto Y, Kato J. Body iron metabolism and pathophysiology of
iron overload. Int J Hematol. 2008;88(1):7-15.
99
Harris AM, Sempertegui F, Estrella B, Narvaez X, Egas J, Woodin M, et al. Air pollution and
anemia as risk factors for pneumonia in Ecuadorian children: a retrospective cohort analysis.
Environ Health. 2011;10:93.
100
Mourad S, Rajab M, Alameddine A, Fares M, Ziade F, Merhi BA. Hemoglobin level as a risk
factor for lower respiratory tract infections in Lebanese children. N Am J Med Sci.
2010;2(10):461-6.
101
Niederweis M. Nutrient acquisition by mycobacteria. Microbiology. 2008;154(3):679-92.
102
Kumar V, Choudhry VP. Iron deficiency and infection. Indian J Pediatr. 2010;77(7):789-93.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai