UNIVERSITAS INDONESIA
SERIAL KASUS
UNIVERSITAS INDONESIA
SERIAL KASUS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik
NPM : 1106026791
Tanda tangan:
ii Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 19 Desember 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas perlindungan dan berkatMu selama
ini yang telah memberikan kesempatan, kekuatan dan ketabahan, sehingga
penyusunan laporan serial kasus ini dapat diselesaikan. Laporan serial kasus yang
berjudul Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan Pneumonia
Berat, disusun sebagai tugas akhir dalam menempuh Program Pendidikan Dokter
Spesialis Gizi Klinik di Departemen Ilmu Gizi FKUI-RSCM, Jakarta.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Sri Sukmaniah. MSc,
SpGK sebagai ketua program studi atas bimbingan dan motivasinya. Kepada
DR.Dr. Johana Titus, MS, SpGK sebagai sekretaris program studi atas kesabaran,
bimbingan dan motivasi yang tidak pernah putus.
Ucapan terima kasih tak terhingga saya ucapkan kepada DR.Dr. Fiastuti
Witjaksono, MSc, MS, SpGK selaku Ketua Departemen Ilmu Gizi dan sebagai
pembimbing akademik yang telah membimbing saya dengan penuh kesabaran
selama menempuh pendidikan ini. Terima kasih kepada seluruh dosen
pembimbing di RSCM dan rumah sakit jejaring di RSUD Tangerang, RS Sumber
Waras, dan RSAB Harapan Kita, atas bimbingan selama masa pendidikan.
Terima kasih kepada teman-teman peserta PPDS Ilmu Gizi Klinik FKUI-
RSCM angkatan kedua yang telah setia menemani dalam suka maupun duka,
melewati segala rintangan selama ini. Kepada semua rekan PPDS Ilmu Gizi
Klinik FKUI-RSCM terima kasih atas dukungannya, semoga persahabatan ini
tetap berlanjut dan semoga kita dapat memanfaatkan ilmu yang kita dapat untuk
kebaikan dan kemajuan bersama. Terima kasih kepada teman-teman dietisien
RSCM, RSUD Tangerang, RS Sumber Waras, dan RSAB Harapan Kita atas kerja
sama yang terjalin baik selama ini. Penghargaan tak terhingga kepada semua
pasien di seluruh rumah sakit pendidikan. Ucapan terima kasih kepada seluruh
karyawan Departemen Ilmu Gizi, atas bantuan dan dukungan selama
menyelesaikan pendidikan ini.
iv Universitas Indonesia
Penulis
v Universitas Indonesia
Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan Pneumonia Berat
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Dibuat di Jakarta
Pada tanggal 19 Desember 2013
Yang menyatakan
vi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Tatalaksana nutrisi penyakit kritis pada anak dengan pneumonia berat mencakup
pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, manajemen cairan dan
elektrolit serta monitoring status gizi. Terapi nutrisi yang adekuat harus diberikan
pada anak sakit kritis yang dirawat intensif dengan tujuan meminimalkan efek
fase akut. Sekitar 15-20% anak masuk perawatan intensif sudah dalam kondisi
malnutrisi sebelumnya. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit
paru. Status nutrisi yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru pada pasien
yang bernapas spontan maupun yang menggunakan ventilator, karena status
nutrisi dapat mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan ventilasi, respon
terhadap hipoksia dan mekanisme pertahanan paru.
Pasien pada serial kasus ini mempunyai rentang usia 3-4,5 bulan.
Umumnya keluhan utama adalah sesak napas yang semakin berat, disertai dengan
tarikan dinding dada dan malas menyusu. Berkurangnya asupan menyebabkan
pasien mengalami masalah gizi sehingga perlu adanya dukungan nutrisi. Terapi
nutrisi diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien, yang dihitung
dengan rumus Schofield atau rumus White jika menggunakan ventilator,
kemudian dikalikan faktor stres dan pemberiannya dimulai dari 80% kebutuhan
energi basal, yang secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai kebutuhan total.
Kebutuhan protein dan lemak disesuaikan dengan kondisi sakit kritis. Pemantauan
terapi nutrisi dilakukan pada delapan hingga sebelas hari. Pemantauan mencakup
tanda klinis, toleransi asupan makanan, kapasitas fungsional, balans cairan,
parameter laboratorium dan antropometri.
Selama pemantauan didapatkan bahwa sebagian besar pasien dapat
mencapai kebutuhan energi total pada hari keenam hingga delapan pemantauan.
Pemberian nutrisi pada pasien sakit kritis bersifat individual dan mencakup semua
aspek. Dengan tatalaksana nutrisi yang baik, diharapkan kualitas hidup pasien
pneumonia berat dengan berbagai penyakit penyerta akan lebih baik.
ABSTRACT
Nutrition therapy in critically ill children with severe pneumonia includes the
provision of macronutrient, micronutrient, specific nutrition, fluid and electrolyte
management and nutrition status monitoring. Adequate nutrition therapy should
be given in critically ill children in the intensive care to minimize acute phase
effect. Approximately 15-20% children admitted to the intensive care already in
malnutrition state. Malnutrition is common in patients with pulmonary disease.
Altered nutrition status can effect pulmonary function in spontaneous breathing or
in mechanically ventilator dependent patient, because nutritional status can affect
muscle function, ventilatory drive, hypoxia response and pulmonary defense
mechanism.
Patients in this case series have an age range from 3 to 4.5 months. Their
chief complaints were dyspnoe (difficulty in breathing) with chest retraction and
lack of breastfeed. Reduce intake caused patient prone to nutritional problem.
Nutritional support is given according to each patients requirement, which is
calculated with Schofield equation or White equation if the patient on ventilator,
using stress factor and the administration starts with 80% basal energy
expenditure, which gradually increased to reach the total energy expenditure.
Protein and lipid requirement is calculated based on critically ill state. Patients
monitoring performed on eight to eleven days. Patients clinical signs, food intake
tolerance, functional capacity, fluid balance, laboratory and anthropometric
parameter were taken.
During the monitoring it was found that most patients can achieve total
energy requirement on day six to eight monitoring. Nutrition in critically ill
patients is individualized and includes all aspects. With the management of good
nutrition, expected quality of life of patients with severe pneumonia various
comorbidities would be better.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
HALAMAN PENGESAHAN . iii
KATA PENGANTAR . iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................ vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR .. xii
DAFTAR SINGKATAN . xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
1. PENDAHULUAN .. 1
1.1. Latar Belakang . 1
1.2. Tujuan 3
1.2.1. Tujuan umum . 3
1.2.2. Tujuan khusus . 3
1.3. Manfaat Penulisan 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .. 5
2.1. Embriologi Paru 5
2.2. Anatomi Paru 5
2.3. Fisiologi Paru. 6
2.4. Metabolisme Paru dalam Kondisi Normal .. 8
2.5. Pneumonia 9
2.5.1. Definisi 9
2.5.2. Epidemiologi 10
2.5.3. Etiologi . 11
2.5.4. Faktor Risiko 12
2.5.5. Patogenesis dan Patofisiologi 13
2.5.5.1. Pneumonia Bakterial 14
2.5.5.2. Pneumonia Atipik 15
2.5.5.3. Pneumonia Neonatus .. 16
2.5.6. Diagnosis .. 16
2.5.7. Pneumonia berat . 20
2.5.8. Terapi 21.
2.5.9. Pencegahan 23
2.6. Sindrom Distres Pernapasan Akut (Acute Respiratory Distress
Syndrome, ARDS) .................................................................. 24
2.7. Pengaruh Malnutrisi pada Penyakit Paru . 25
2.8. Perubahan Metabolisme pada Sakit Kritis (Critically Ill) 27
2.8.1. Perubahan Metabolisme Karbohidrat .. 29
2.8.2. Perubahan Metabolisme Protein .. 30
ix Universitas Indonesia
3. KASUS
3.1. Kasus 1 Pneumonia berat, suspek hernia diafragmatika, ARDS,
gizi kurang ...................................................................................... 50
3.2. Kasus 2 Pneumonia berat, VSD, kardiomegali, hernia skrotalis
dekstra, ARDS, gizi baik, stunted ............ 57
3.3. Kasus 3 dengan Pneumonia berat, HRB (Hiperreaktif bronkus),
suspek PJB sianotik, dekstrokardia, gizi baik....... 62.
3.4. Kasus 4 dengan Pneumonia berat, laringomalasia, gizi buruk 67
4. PEMBAHASAN . 72
5. KESIMPULAN DAN SARAN 89
DAFTAR REFERENSI . 92
LAMPIRAN .. 100
x Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
xi Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR LAMPIRAN
xv Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan umum
Penyusunan serial kasus ini bertujuan untuk membahas tatalaksana nutrisi
pada kondisi sakit kritis terutama pada anak dengan pneumonia berat, yang
mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, manajemen
cairan dan elektrolit serta monitoring status gizi.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5 Universitas Indonesia
alat pernapasan utama yang merupakan dua organ berbentuk kerucut dengan
apeks diatas dan sedikit lebih tinggi dari klavikula.14
Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura. Paru kanan terbagi
menjadi 3 lobus dan paru kiri terbagi menjadi 2 lobus. Paru mempunnyai hillus
paru yang dibentuk oleh arteri pulmonalis, vena pulmonalis, bronkus, arteri
bronkialis, vena bronkialis, pembuluh limfe, dan saraf. Paru dilapisi oleh lapisan
tipis yang disebut pleura. Pleura terdiri dari pleura viseralis yang melekat pada
paru dan pleura parietalis yang melapisi sternum, diafragma dan mediastinum.
Ruang diantar kedua pleura tersebut dinamakan rongga pleura, berisi cairan pleura
yang memungkinkan paru untuk berkembang dan berkontraksi tanpa gesekan.15
Universitas Indonesia
karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel, dan (4) pengaturan
ventilasi dan hal lain dari pernapasan.17
Paru dapat dikembang kempiskan melalui dua cara yaitu diafragma
bergerak turun naik untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada, dan
depresi elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter
anteroposterior rongga dada. Pernapasan normal dan tenang dapat dicapai dengan
hampir sempurna melalui metode pertama yaitu melalui gerakan diafragma. Saat
inspirasi kontraksi diafragma menarik permukaan paru ke arah bawah, dan saat
ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi dan sifat elastis daya lenting paru
(elastic recoil) dinding dada, dan struktur abdominal akan menekan paru. Selama
bernapas kuat, daya elastis tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan
ekspirasi cepat yang diperlukan, sehingga diperlukan tenaga ekstra dari otot-otot
abdominal yang mendorong isi abdomen keatas melawan dasar diafragma. 17
Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat
rangka iga. Pengembangan paru dapat terjadi karena saat posisi istirahat iga
miring kebawah, sternum turun ke belakang kearah kolumna vertebralis. Tetapi
bila rangka iga dielevasikan, tulang iga langsung maju sehingga sternum sekarang
bergerak ke depan menjauhi spinal, membentuk jarak anteroposterior dada kira-
kira 20% lebih besar selama inspirasi maksimum dibandingkan selama ekspirasi.
Oleh karena itu, otot-otot yang mengelevasikan rangka dada dapat
diklassifikasikan sebagai otot ekspirasi.17
Paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon dan
mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Tidak terdapat perlekatan antara paru dan
dinding dada kecuali pada bagian dimana paru tergantung pada hilum dari
mediastinumnya. Paru sebetulnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi
lapisan tipis pleura dengan cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru
di dalam rongga. Selanjutnya cairan yang berlebihan akan diisap kedalam saluran
limfatik.17
Selama pernapasan normal dan tenang, hanya 3 sampai 5 % dari energi
total yang dikeluarkan tubuh dipakai pada proses ventilasi paru. Selama latihan
Universitas Indonesia
yang berat jumlah energi yang dibutukan dapat meningkat hingga 50 kali lipat,
terutama bila orang tersebut mengalami peningkatan resistensi jalan napas atau
penurunan compliance paru.17
Universitas Indonesia
sel. Dengan demikian pada keadaan normal, oksigen dibawa ke jaringan hampir
seluruhnya oleh hemoglobin. Molekul oksigen bergabung secara longgar dan
reversibel dengan bagian heme dari hemoglobin. Bila PO2 tinggi seperti dalam
kapiler paru, oksigen akan berikatan dengan hemoglobin, tetapi bila PO 2 rendah
misalnya dalam kapiler jaringan, oksigen dilepaskan dari hemoglobin. 17 Gambar
pertukaran udara di dalam paru dapat dilihat di bawah ini.
Darah orang normal mengandung sekitar 15 gram hemoglobin dalam setiap 100
ml darah, dan tiap gram hemoglobin dapat berikatan dengan maksimal 1,34 ml
oksigen. Oleh karena itu rata-rata hemoglobin dalam 100 ml darah dapat
bergabung dengan total hampir 20 ml oksigen bila tingkat kejenuhannya 100
persen.17
2.5. Pneumonia
2.5.1. Definisi
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. 1
Universitas Indonesia
Pneumonia pada anak tidak sama dengan pneumonia pada dewasa. Pneumonia
pada anak merupakan masalah yang umum dan menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di dunia. Terjadinya pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut
bronkopneumonia.1,19
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang
terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun (anak dan balita).
Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun,
mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta anak
dan balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang. Oleh
karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak nomor 1 (the number one
killer of children). Di negara berkembang pneumonia merupakan penyakit yang
terabaikan (the neglected disease) atau penyakit yang terlupakan (the forgotten
disease) karena begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia namun
sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia. 2
2.5.2. Epidemiologi
Pneumonia adalah penyakit infeksi menular yang merupakan penyebab utama
kematian pada balita di dunia. Di seluruh dunia terjadi 1,6 sampai 2,2 juta
kematian anak dan balita karena pneumonia setiap tahun, sebagian besar terjadi di
negara berkembang, 70% terdapat di Afrika dan Asia Tenggara. Pada tahun 2005
WHO melaporkan proporsi penyebab kematian anak dan balita di negara
berkembang adalah pneumonia 19%, diare 17%, malaria 8% dan campak 4%.
Disamping itu terdapat 37% penyebab kematian pada neonatus, 26% di antaranya
disebabkan oleh infeksi berat yaitu sepsis, meningitis dan pneumonia yang secara
klinis sukar dibedakan satu sama lain. Data di atas menunjukkan bahwa
pneumonia berkontribusi besar sebagai penyebab kematian anak dan balita.
Penurunan angka kematian pneumonia anak dan balita menyebabkan penurunan
angka kematian anak dan balita keseluruhan.2
Data dari WHO memperkirakan insidens pneumonia anak dan balita di
negara berkembang adalah 0,29 episode per anak/tahun atau 151,8 juta kasus
Universitas Indonesia
Gambar 2.3. Proporsi Penyebab Kematian pada Usia 1-4 tahun di Indonesia
Sumber : daftar referensi no 4
2.5.3. Etiologi
Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil oleh hal lain seperti bahan kimia (hidrokarbon, lipoid
substances)/benda asing yang teraspirasi.20 Pola kuman penyebab pneumonia
biasanya sesuai dengan distribusi umur penderita. Sebagian besar kasus
penyebabnya adalah virus, yang tersering yaitu Respiratory Syncytial Virus
(RSV), virus Parainfluenza, virus Influenza dan Adenovirus. Penyebab berikutnya
adalah bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza,
Universitas Indonesia
factors), dan faktor risiko yang masih mungkin (possible risk factors). Faktor
risiko yang selalu ada (definite risk factors) meliputi gizi kurang, berat badan
lahir rendah, tidak ada/tidak memberikan ASI, polusi udara dalam-ruang, dan
pemukiman padat. Faktor risiko ini seharusnya diperhatikan secara serius dan
perlu intervensi-segera agar penurunan insidens pneumonia berdampak signifikan
pada penurunan angka kematian anak balita.2 Faktor risiko tersebut dapat dilihat
pada tabel 2.2 berikut ini.
melalui refleks batuk, pembersihan kearah kranial oleh mukosilier. Sistem respon
pertahanan tubuh yang terlibat adalah sekresi lokal imunoglobulin A maupun
respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
alveolar makrofag, dan cell mediated immunity.21
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami
gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran napas bagian bawah.
Inokulasi patogen penyebab pada saluran napas menimbulkan respon inflamasi
akut pada pejamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebab. Virus akan
menginvasi saluran napas kecil dan alveoli, bersifat patchy dan mengenai banyak
lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan
akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel
mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah sel PMN akan
didapatkan dalam saluran napas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya
sejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran
napas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total.26,27
Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa
yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi di dalam alveoli
ini juga seperti yang terjadi pada ruang interstitial yang terdiri dari sel-sel
mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya denudasi
(pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke
interstitial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak
merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya
barier mukosa. 26,27
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Efek dari reaksi silang antibodi merupakan mekanisme untuk terjadinya hemolisis
dan manifestasi kutaneus.28
2.5.6. Diagnosis
Diagnosis pneumonia utamanya berdasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan
foto thoraks dan laboratorium perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping
itu untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat.29 Sebagian besar
gambaran klinis pneumonia anak-balita berkisar antara ringan sampai sedang
hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil berupa penyakit berat
mengancam kehidupan dan perlu rawat inap. Secara umum gambaran klinis
pneumonia diklasifikasi menjadi 2 kelompok. Pertama, gejala umum misalnya
demam, sakit kepala, malaise, nafsu makan kurang, gejala gastrointestinal seperti
mual, muntah dan diare. Kedua, gejala respiratorik seperti batuk, napas cepat
(takipnea/fast breathing), napas sesak (retraksi dada/chest indrawing), napas
cuping hidung, air hunger dan sianosis. Hipoksia merupakan tanda klinis
pneumonia berat. Anak pneumonia dengan hipoksemia 5 kali lebih sering
meninggal dibandingkan dengan pneumonia tanpa hipoksemia.2
Gejala klinis pneumonia bervariasi tergantung pada kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa
berat yaitu sesak, sianosis, dan mungkin juga tidak terlihat jelas gejalanya seperti
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
usia 2-12 bulan, 40 x/menit pada usia 1-5 tahun dan 20 x/menit pada usia diatas 5
tahun. Pernapasan harus dihitung lebih dari 60 detik untuk melihat adanya
pernapasan periodik dan faktor perilaku. Sebuah penelitian di Kanada tahun 1997
menyatakan bahwa tidak terdapatnya takipnea, ronkhi, penurunan suara napas dan
distres pernapasan berarti bukan pneumonia.30
Tabel 2.3. Kriteria takipnea menurut WHO
Umur Laju Napas Normal Takipnea
(frekuensi/menit) (frekuensi/menit)
0-2 bulan 30-50 60
2-12 bulan 25-40 50
1-5 tahun 20-30 40
> 5 tahun 15-20 20
Sumber : daftar referensi no 30
Secara klinis sulit membedakan pneumonia karena bakteri atau virus pada anak.
Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya
cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit
dijumpai pada seluruh kasus.26,30
Tabel 2.4. Gejala Klinis Pneumonia pada Anak
Sindrom Bakteri Penyebab Kelompok Umur Gejala Klinis
Bakteri (supuratif) Pneumococcus Semua umur, lebih Onset mendadak, demam tinggi,
sering < 6tahun penampakan sangat sakit, nyeri
dada/perut, infiltrat pada foto
thoraks
Atipik (infant) Chlamydia < 3 bulan Takipnea, hipokemia ringan,
trachomatis jarang demam, wheezing, infiltrat
interstisial pada foto thoraks
Atipik Mycoplasma > 5 tahun Onset bertahap, demam ringan,
(anak lebih besar) pemeriksaan fisik tidak khas,
infiltrat difus pada foto thoraks
Virus Virus multipel Semua umur, lebih Gejala ISPA jelas, demam
sering pada 3 ringan/tidak ada, pemeriksaan
bulan hingga 5 fisik tidak khas, wheezing,
tahun infiltrat interstitial difus pada
foto thoraks.
Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau
ascending dari infeksi intrauterin. Bakteri penyebab utama adalah Streptokokus
Grup B selain bakteri gram negatif. Gejalanya berupa respiratory distress yang
Universitas Indonesia
merintih, napas cuping hidung, retraksi dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam
hitungan jam, dan hampir semua bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam
pertama kehidupan. Pada bayi pematur, gambaran infeksi karena Streptokokus
Grup B menyerupai gambaran Respiratory Distress Syndrome.21
Pemeriksaan radiologis yang memperkuat adanya pneumonia adalah
adanya infiltrat baru atau perubahan infitrat pada foto thoraks, namun
pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara pneumonia bakterial atau viral
dan bersifat nonspesifik (atelektasis, edema atau perdarahan). Pemeriksaan
laboratorium yang paling baik untuk diagnosis pneumonia adalah pemeriksaan
yang dapat mengidentifikasi adanya kuman patogen dalam saluran napas, bisa dari
sputum atau apus bronkus. Pada anak yang berusia kurang dari 7 tahun sulit
mengeluarkan sputum sehingga pemeriksaan ini sulit dilakukan.29
Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan laboratorium mungkin dapat
membantu memperkirakan mikroorganisme penyebab. Leukositosis >15000/L
seringkali dijumpai pada anak dengan demam tanpa adanya fokus infeksi,
mempunyai sensitifitas 65% terhadap pneumonia. Dominasi netrofil pada hitung
jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri sebagai penyebab.
Leukosit >30000/L dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus dan stafilokokus.29
Laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) merupakan indikator
inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit membantu. Adanya CRP yang
positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar CRP yang lebih tinggi
ditemukan pada pasien dengan pneumonia alveolar dibandingkan pneumonia
intestitialis. Kultur darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi
hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat
membantu pada penanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab
stafilokokus dan pneumokokus yang tidak berespon terhadap penanganan awal.
Kultur darah juga direkomendasikan pada kasus pneumonia berat dan pada bayi
usia kurang dari 3 bulan.29
Universitas Indonesia
Pneumonia Pernapasan :
> 50x/menit (usia 2-11 bulan)
> 40 x/menit (usia 12-59 bulan)
Tidak ada penarikan dinding dada
Pneumonia Sangat Berat Tidak bisa minum, kejang, pola tidur abnormal
atau sulit dibangunkan, stridor, malnutrisi berat
ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 4/5)
yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya
sehingga terjadi usaha napas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan
berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang
mengakibatkan terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat dapat terjadi gagal
napas.32
2.5.8. Terapi
Terapi pneumonia segera diberikan setelah menilai apakah pasien perlu rawat inap
di rumah sakit atau rawat jalan. Indikasi rawat inap adalah pneumonia terjadi pada
usia yang sangat dini (<3 bulan) karena kondisi pasein dapat memburuk dengan
cepat dan lebih rentan terhadap hipoksemia dan bakteremia, hipoksemia persisten
yang membutuhkan oksigenasi suplemental, adanya faktor komplikasi seperti
dehidrasi atau muntah berat yang membutuhkan jalur intravena, penampilan toksis
atau adanya kondisi penyakit kronik yang mendasari. Selain keadaan tersebut,
pasien bisa dirawat jalan.24
Pada pasien rawat jalan, pada usia 3 bulan-5 tahun pneumonia biasa
disebabkan oleh virus, sehingga bayi atau anak yang hanya menderita demam
ringan dan tidak demam dan pada pemeriksaan tidak terdapat napas cepat tidak
perlu diberikan antibiotik.24
Tabel 2.6. Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat jalan
Antibiotik Dosis (mg/kgBB/hari) Dosis maksimum
Amoxicillin 80-100 dibagi BIB/TID 1 g TID
Cefdinir 14 dibagi QD/BID 600 QD
Cefuroxime 30 dibagi BID 500 BID
Cefpodoxime 10 dibagi BID 200 mg BID
Ceftriaxone 50 mg IM diberikan QD 2 g QD
Azithromycin 10 mg QD hari 1, 5mg QD hari 2-5, 500 mg
atau 10 mg QD selama 3 hari 250 mg/hari
500 mg/hari selama 3 hari
Doxycycline 4 mg dibagi BID 100 mg BID
Clindamycin 20-40 mg dibagi BID 600 mg TID
Amoxicillin- 80-100 mg dibagi BID/TID 2 g BID
Clavulanate
QD = 1x/hari, BID = 2x/hari, TID = 3 x/hari, IM = intramuskular
Sumber : daftar referensi no 24
Universitas Indonesia
Pada beberapa kasus diperlukan rawat inap di rumah sakit. Bayi usia 3 minggu
hingga 3 bulan yang menderita pneumonia biasanya dirawat di RS, terutama jika
terdapat demam, hipoksia, distress pernapasan atau dehidrasi. Bayi-bayi yang
lebih besar, anak dan remaja dengan tanda-tanda distress pernapasan yang sedang
berlangsung, termasuk takipnea, suara napas merintih, peningkatan usaha
bernapas atau hipoksemia, adanya dehidrasi atau panas tinggi dan penampilan
toksik juga harus dirawat. Perawatan perlu dipertimbangkan pada anak dengan
penyakit seperti jantung, paru, metabolik, imunologi, hematologi (terutama
penyakit sel sabit/sickle cell disease). Pasien rawat jalan yang tidak membaik
dengan pengobatan yang tepat, atau terjadi komplikasi seperti efusi atau abses
harus dirawat di rumah sakit.24
Tabel 2.7. Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat inap
Antibiotik Dosis intravena (mg/kgBB/hari) Dosis maksimum
Ceftriaxone 50 2g
Ampicillin 200 dibagi QID 12 g
Vancomycin 40-60 dibagi BID 3-4 g
Clindamycin 30-40 dibagi TID 2,7 g
Levofloxacin Tidak direkomendasikan pada anak 750 mg
Azithromycin 10 mg hari 1, 500mg,
5 mg hari 2-5 250 mg
Doxycycline Tidak direkomendasikan pada anak 200 mg
Nafcillin/Oxacillin 200 dibagi per 6 jam 12 g
Linezolid 30 dibagi TID < 12 tahun 600 mg BID
20 dibagi BID > 12 tahun
Ampicillin-Sulbactam 200 ampicillin dibagi per 6 jam 12 g
Piperacillin-Tazobactam 300 piperacillin dibagi per 6 jam 16 g
Meropenem 60 dibagi per 8 jam 3g
QID = 1x/hari, BID = 2x/hari, TID = 3 x/hari, IM = intramuskular
Sumber : daftar referensi no 24
Pada perawatan rumah sakit dilakukan foto rontgen thoraks, tes laboratorium
darah lengkap, kultur darah dan kimia darah. Hal ini penting untuk menentukan
patogen penyebab sehingga dapat diberikan terapi antibiotik yang optimal. Pada
anak yang lebih besar dan dapat mengeluarkan dahak, sputumnya harus diperiksa
untuk menemukan bakteri patogen. Pada beberapa tempat Mycoplasma,
Chlamydophila dan Legionella dapat ditentukan secara serologis. Perawatan di
rumah sakit termasuk oksigen suplementasi, suction, cairan intravena, analgetik
dan antipiretik. Harus dilakukan pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik
secara berkala.24
Universitas Indonesia
2.5.9. Pencegahan
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan pneumonia
pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi
terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan
strategi pencegahan spesifik. Pencegahan non-imunisasi merupakan pencegahan
non-spesifik misalnya mengatasi berbagai faktor-risiko seperti polusi udara
dalam-ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan
dan lain-lain.2
Imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan
pneumonia. Pneumonia diketahui dapat menjadi komplikasi dari campak, pertusis
dan varicella, sehingga imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan
penyakit tersebut akan membantu menurunkan insiden pneumonia. Pneumonia
yang disebabkan oleh Haemophillus influenzae dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi Hib. Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan
campak adalah imunisasi DPT dan campak dengan angka cakupan yang
menggembirakan; DPT berkisar 89,6 %-94,6 % dan campak 87,8 %-93,5 %.2
Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin
pneumokokus konjungat dapat mencegah penyakit dan kematian 20-35% kasus
pneumonia pneumokokus dan vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian 15-
30% kasus pneumonia Hib. Pada saat ini di banyak negara berkembang
direkomendasikan vaksin Hib untuk diintegrasikan ke dalam program imunisasi
rutin dan vaksin pneumokokus konjugat direkomendasikan sebagai vaksin yang
dianjurkan.
Kekurangan yang mungkin masih ditemukan sehubungan dengan
imunisasi sebagai pencegahan spesifik terutama di beberapa negara berkembang
adalah cakupan imunisasi campak dan DPT/pertusis mungkin belum memuaskan,
imunisasi Hib belum termasuk imunisasi wajib, imunisasi pneumokokus tidak
efektif karena serotipe tidak sesuai, dan imunisasi terhadap patogen lain (RSV,
stafilokokus, Gram negatif) belum tersedia.2
Disamping imunisasi sebagai pencegahan spesifik pencegahan non-
imunisasi sebagai upaya pencegahan nonspesifik merupakan komponen yang
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada pasien dengan ARDS dan sepsis terdapat penurunan antioksidan dan
peningkatan ROS (reactive oxygen species). Fase terakhir yaitu fase fibrosis atau
fase kronik dimana terjadi konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru. Terjadi
restriktif paru yang progresif dan dapat terbentuk pneumonia lokal, fibrosis paru
dan terjadi gangguan oksigenasi. Fase eksudatif berlangsung pada 24-48 jam
pertama, fase proliferatif antara 2-7 hari dan fase fibrosis setelah 7 hari. Pada
pasien yang bertahan hidup, fungsi paru kembali normal dalam 6-12 bulan.35
Penyebab ARDS terutama karena injuri paru baik itu direk maupun
indirek. Penyebab direk yang sering terjadi antara lain pneumonia dan aspirasi,
penyebab direk yang lebih jarang yaitu kontusio paru, emboli lemak/cairan
amnion, tenggelam, trauma inhalasi dan trauma reperfusi. Penyebab indirek yang
sering adalah sepsis, trauma berat dengan syok dan transfusi multipel. Penyebab
indirek yang lebih jarang yaitu luka bakar, bypass kardiopulmoner, overdosis obat
(heroin, barbiturat) dan pankreatitis akut.36
Universitas Indonesia
katabolisme protein sebagai sumber energi. Apabila terjadi asupan nutrisi yang
tidak adekuat pada sakit kritis, sumber energi dihasilkan dari katabolisme protein
dan glukoneogenesis. Katabolisme protein terbanyak berasal dari protein otot,
termasuk otot diafragma dan otot interkostal, sehingga akan mempengaruhi fungsi
pernapasan.37 Malnutrisi karena kurangnya asupan makanan berdampak pada
kekuatan dan ketahanan otot-otot pernapasan, terutama diafragma dan juga pada
bronkiolus respiratori, alveoli dan kapiler.14
Pada penelitian dengan subyek malnutrisi tanpa penyakit paru, kekuatan
otot pernapasan turun hingga 37%, ventilasi volunter maksimum turun 41% dan
kapasitas vital paru turun 63%. Pasien dengan penyakit paru kronis cenderung
terjadi malnutrisi sebagai mekanisme adaptif untuk menurunkan konsumsi
oksigen dan menurunkan kemampuan bernapas. Interaksi antara nutrisi dan
kemampuan ventilasi merupakan efek langsung dari peran nutrisi terhadap laju
metabolik. Penurunan kekuatan bernapas dan penurunan kemampuan ventilasi
dapat menyebabkan penurunan kemampuan batuk dan ketidakmampuan
mengeluarkan sekret, dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonia pada pasien
paru yang bernapas spontan. Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat
menyebabkan perpanjangan penggunaan ventilator mekanik pada pasien ICU.
Penggunaan ventilator mekanik yang memanjang dapat menyebabkan pasien
berisiko terhadap infeksi nosokomial, lama rawat yang memanjang dan biaya
perawatan. Kondisi malnutrisi jangka panjang dapat mengubah respons imun
tubuh dan dapat mengakibatkan infeksi paru kronik atau infeksi paru berulang.37
Berbeda dengan malnutrisi dimana cadangan glikogen sangat terbatas dan
cepat habis dengan sumber energi yang dipakai adalah lemak, pada anak sakit
kritis sumber energi didapat dari pemecahan protein. Tujuan pemberian nutrisi
pada anak sakit kritis adalah mengurangi sekecil mungkin efek hipermetabolisme
dan katabolisme yang terjadi, memperbaiki balans nitrogen, mempertahankan
fungsi organ dan mencegah disfungsi sistim kardiovaskular, respirasi dan
kekebalan tubuh, mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal.37
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Ekskresi nitrogen
Laju metabolisme
Konsumsi O2
Gangguan penggunaan energi
Setiap anak sakit akan mengalami perubahan metabolik, apalagi bila anak tersebut
sakit kritis. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan pada energi yaitu
hipermetabolisme, serta peningkatan konsumsi oksigen dan glukoneogenesis.
Pada metabolisme karbohidrat akan terjadi hiperglikemia, peningkatan piruvat,
laktat dan resistensi insulin. Pada metabolisme protein dapat terjadi katabolisme
protein, glukoneogenesis asam amino, produksi glutamin, dan mediator inflamasi.
Sedangkan sintesis albumin dan hemoglobin mengalami penurunan. Pada
metabolisme lemak akan terjadi peningkatan liposisis dan oksidasi trigliserida
serta penurunan lipogenesis dan benda keton.41
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.9. Terapi Nutrisi pada Anak Sakit Kritis dengan Penyakit Paru
Salah satu kesulitan dalam mempelajari hubungan antara nutrisi dan diet dengan
penyakit pernapasan adalah kurangnya penelitian berbasis evidence terutama
dengan penyakit pernapasan yang spesifik, sehingga rekomendasi sulit
didapatkan. Beberapa penelitian mengenai hubungan antara asupan nutrisi dengan
penyakit paru hanya berdasarkan studi retrospektif dan bukan intervensi.14
Dukungan nutrisi merupakan faktor penting pada pasien paru dengan sakit
kritis yang dirawat di ICU. Meskipun terdapat keterbatasan data dalam
menentukan nutrisi spesifik pada penyakit paru, telah diketahui adanya hubungan
kuat antara nutrisi dengan fungsi paru. Pasien dengan malnutrisi protein kalori
mempunyai peningkatan kejadian pneumonia, gagal napas dan ARDS. Malnutrisi
dapat mempengaruhi fungsi paru dengan cara menurunkan kemampuan otot
pernapasan, mengubah kapasitas ventilasi dan mengganggu fungsi imun.37
Pemenuhan nutrisi yang tepat dan pencegahan terhadap malnutrisi lebih
lanjut selama periode sakit kritis dapat memperbaiki fungsi yang berubah dan
merupakan faktor penting dalam memperbaiki keluaran. Pasien sakit kritis dengan
penyakit paru rentan terkena komplikasi dari underfeeding atau overfeeding. Pada
pasien tersebut sering dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik, mengakibatkan
pemberian nutrisi melalui mulut terbatas selama lima hari atau lebih. Berdasarkan
pedoman American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN),
pemberian dukungan nutrisi dimulai setelah puasa 5-10 hari.37
Pada penyakit paru akut maupun kronis, pemenuhan nutrisi yang tidak
adekuat dapat mengakibatkan imunokompromais, wasting otot pernapasan dan
disfungsi ventilasi sehingga memperpanjang ketergantungan terhadap ventilator.
Universitas Indonesia
Pemberian nutrisi yang berlebihan akan memberikan efek merugikan pada pasien
paru karena adanya peningkatan produksi karbon dioksida (CO2) dan kebutuhan
oksigenasi yang meningkat pada sistem organ yang sudah terganggu. Tujuan
dukungan nutrisi pada pasien paru dalam kondisi sakit kritis adalah untuk
memenuhi kebutuhan energi yang sesuai dengan kebutuhan metabolik dan
protein, mencegah terjadinya wasting otot pernapasan dengan tujuan untuk
memperbaiki fungsi pernapasan.37
Terdapat hubungan antara peran antioksidan dalam diet seperti Vitamin C,
Vitamin E, karoten dan selenium dengan fungsi paru yang baik. Berbagai
antioksidan terdapat dalam cairan ekstraselular dan berperan penting dalam
melindungi paru dari cidera oksidatif akibat proses inflamasi karena inhalasi asap
rokok dan polutan lainnya. Hasil penelitian selama 3 tahun terhadap hubungan
asupan antioksidan harian dengan fungsi paru menunjukkan hubungan yang
positif antara fungsi paru dengan asupan vitamin C, vitamin E dan karotenoid.
Dari semua karotenoid yang diteliti, lutein/zeaxanthin mempunyai hubungan
terkuat dengan fungsi paru.14
Penyakit paru dapat memberikan gejala klinis yang dapat mempengaruhi
asupan nutrisi, seperti rasa mudah kenyang, anoreksia, penurunan berat badan,
batuk dan sesak saat makan. Ketika penyakitnya bertambah berat, gejala klinis
sangat berdampak buruk terhadap status nutrisi, sehingga penilaian status nutrisi
sangat penting dilakukan. Penilaian tersebut mencakup riwayat berat badan,
asupan makanan, pengobatan, marker biokimia (albumin, prealbumin, profil lipid)
dan status fungsional.14
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 2.9. Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada anak usia 0-3 tahun
Sumber Jenis Kelamin Persamaan
WHO Laki-laki REE = 60,9 x BB -54
Perempuan REE = 61 x BB 51
Schofield (W) Laki-laki BMR = 59,48 x BB 30,33
Perempuan BMR = 58,29 x BB 31,05
Schofield (WH) Laki-laki BMR = 0,167 x BB + 1517,4 x TB 617,6
Perempuan BMR = 16,25 x BB + 1023,2 x TB 413,5
Harris-Benedict Laki-laki REE = 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 x TB 6,76 x U
Perempuan REE = 655,1 + 9,56 x BB + 1,85 x TB 4,68 x U
BB = berat badan dalam kg, TB = tinggi badan dalam m, U=umur dalam tahun
Sumber : daftar referensi no 52
Universitas Indonesia
Tabel 2.10. Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada anak usia 3-10 tahun
Sumber Jenis Kelamin Persamaan
WHO Laki-laki REE = 22,7 x BB + 495
Perempuan REE = 22,4 x BB + 499
Schofield (W) Laki-laki BMR = 22,7 x BB + 505
Perempuan BMR = 20,3 x BB + 486
Schofield (WH) Laki-laki BMR = 19,6 x BB + 130,3 x TB + 414,9
Perempuan BMR = 16,97 x BB + 161,8 x TB + 371,2
Harris-Benedict Laki-laki REE = 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 x TB 6,76 x U
Perempuan REE = 655,1 + 9,56 x BB + 1,85 x TB 4,68 x U
BB = berat badan dalam kg, TB = tinggi badan dalam m, U=umur dalam tahun
Sumber : daftar referensi no 52
Universitas Indonesia
Pada anak sakit kritis yang dirawat di PICU (pediatric intensive care unit)
dengan menggunakan ventilator mekanik, berbagai penelitian menunjukkan
terjadinya hipermetabolik. Kegagalan dalam memenuhi asupan nutrisi yang cukup
dapat menyebabkan kehilangan massa otot tubuh dan juga dapat memperburuk
keadaan malnutrisi yang sudah terjadi. Penggunaan obat-obatan sedasi dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
protein setelah pembedahan sebesar 25% dan peningkatan 100% ekskresi nitrogen
urine pada sepsis bakterial. Pemenuhan protein yang adekuat dapat membantu
proses sintesis protein, proses penyembuhan luka dan respons inflamasi, dan
mempertahankan massa otot skelet. Perkiraan kebutuhan protein pada anak sakit
kritis yaitu pada usia 0-2 tahun sebesar 2-3 g/kg BB/hari, 2-13 tahun sebesar 1,5-2
g/kg BB/hari dan 13-18 tahun sebesar 1,5 g/kg BB/hari.57
Anak sakit kritis membutuhkan asupan protein 2-3g/kgBB/hari untuk
mencapai balans nitrogen yang positif. Anak dengan luka bakar berat
membutuhkan protein 3 g/kg BB/hari untuk mendukung penyembuhan luka, dan
pada pasien dengan sepsis pemberian protein bisa sampai >4 g/kg BB/hari.57
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
diberikan dengan konsentrasi lebih tinggi. Osmolaritas dari cairan ini harus
dimonitor dengan seksama untuk menjamin toleransi yang adekuat dan mencegah
risiko dehidrasi. Adanya demam dapat meningkatkan kebutuhan cairan dengan
adanya kehilangan dari respirasi dan melalui kulit. Pada setiap kenaikan derajat
diatas 38oC, terdapat peningkatan insensible water loss sebesar 5 ml/kgBB dalam
24 jam.53 Perhitungan kebutuhan cairan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.13. Perhitungan kebutuhan cairan pada anak
Berat badan (kg) Volume (ml/hari)
0-10 100 ml/kgBB
11-20 1000 ml + 50 ml/kg untuk tiap kg > 10kg
>20 1500 ml + 20 ml/kg untuk tiap kg > 20kg
Sumber : daftar referensi no 60
Perhitungan kebutuhan cairan pada anak harus bersifat individual. Tidak ada
cairan intravena yang ideal untuk setiap anak selama fase sakit kritis, namun ada
bukti empirik yang menyatakan bahwa paling aman menggunakan cairan isotonis.
Cairan hipotonis hanya dipertimbangkan jika tujuan terapi adalah mencapai balans
bebas air positif. Anak sakit kritis mungkin memerlukan pengurangan hingga 40-
50% dari rekomendasi volume rumatan. Semua pasien yang mendapatkan infus
intravena harus dimonitor ketat berat badan, keseimbangan cairan, parameter
biokimia dan klinisnya.61
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dalam melihat kebutuhan makronutrien dan energi. Fungsi hepar dan paru harus
dimonitor untuk melihat sekuele negatif dari underfeeding dan overfeeding.57
Respons inflamasi sistemik akan mengutamakan sintesis protein hepar
untuk menurunkan produksi protein transport dan meningkatkan sintesis protein
fase akut. Perubahan pada metabolime protein dapat memprediksi outcome ICU
selama fase akut. Kadar albumin serum preoperatif berbanding terbalik dengan
lama rawat, infeksi dan mortalitas pada anak dan bayi yang menjalani operasi.
CRP (C-reactive protein) dan prealbumin juga dapat memprediksi mortalitas pada
bayi preoperatif. Normalisasi kadar CRP menunjukkan tahap anabolisme dan
peningkatan laju metabolik untuk energi yang digunakan untuk pertumbuhan. 57
Universitas Indonesia
BAB 3
KASUS
Kriteria pengambilan pasien pada serial kasus ini adalah pasien anak yang dirawat
di PICU RSABHK dengan pneumonia berat. Pasien anak dengan pneumonia berat
termasuk dalam kondisi sakit kritis dengan stres metabolisme yang berat dan
kecenderungan terjadinya risiko malnutrisi. Dukungan nutrisi yang optimal
memberikan hasil yang lebih baik pada pasien sakit kritis. Pemantauan dilakukan
minimal lima hari disertai intervensi nutrisi. Parameter yang dinilai selama
pemantauan adalah kondisi klinis pasien, toleransi asupan dan beberapa parameter
laboratorium. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat empat kasus serial yang
terjaring (1) pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, gizi kurang (2)
pneumonia berat, ventricle septal defect (VSD), kardiomegali, hernia skrotalis
dekstra, ARDS, gizi baik, stunted (3) pneumonia berat, hipereaktif bronkus,
suspek PJB sianotik, gizi baik (4) pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, gizi
buruk
Universitas Indonesia
indikasi lilitan tali pusat. Berat badan lahir adalah 1400 gram, dengan panjang
badan 41 cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien tidak mengalami keluhan saat
hamil maupun minum obat-obatan tertentu pada saat kehamilannya, kontrol
teratur ke dokter spesialis kandungan. Usia saat hamil adalah 30 tahun, berat
badan ibu sebelum hamil adalah 52 kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan
yaitu 8 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 50, tinggi badan 155 cm, IMT 20,81
kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah bisa mengangkat kepala saat
telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B 1,2, Polio 1,2, DPT
1,2 dan BCG. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, dapat menyusu dengan kuat
menurut ibu pasien, setiap kali menyusu sekitar 10-15 menit setiap 2-3 jam sekali.
Dua hari sebelum masuk RS H mulai malas menyusu, menyusu hanya sebentar-
sebentar saja, sekitar 5-10 menit setiap menyusu, menyusu setiap 2-3 jam sekali.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 2
dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 123/65 mmHg, nadi 102 x per
menit, napas menggunakan ventilator dengan mode SIMV, PEEP 8 dengan
frekuensi napas 55 x per menit, suhu 36,8o C. Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung terpasang
pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik. Mulut terdapat pipa endotrakeal terhubung
dengan ventilator. Pemeriksaan thoraks tampak asimetris, terdapat retraksi sela
iga, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung I-II reguler, tanpa murmur dan
gallop, pemeriksaan paru menunjukkan suara napas vesikuler, suara napas di
hemithoraks kanan lebih lemah, terdapat ronkhi basah halus di kedua lapang paru,
wheezing tidak ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas normal,
supel, distensi tidak ada. Ekstremitas hangat, tidak terdapat oedem. Genitalia tidak
ada kelainan, kapasitas fungsional bedridden, BAK menggunakan kateter, pasien
belum BAB.
Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan
panjang badan (PB) 55 cm dan berat badan (BB) 4,7 kg. Pasien prematur dengan
usia gestasi 30 minggu, usia koreksi adalah 8 minggu. Berat badan ideal (BBI)
menurut kurva CDC adalah 5,3 kg. Lingkar lengan atas (LLA) yaitu 14 cm (LLA
Universitas Indonesia
P50 usia 4 bulan laki-laki adalah 14,1 cm), panjang badan termasuk persentil 10
(P10) masih tergolong normal. Penentuan status gizi berdasarkan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) adalah 88% kesan gizi kurang, berdasarkan
perbandingan lingkar lengan atas dengan lingkar lengan standar baku sesuai usia
adalah 99% sehingga kesannya adalah sesuai. Berdasarkan klinis, BB/TB dan
lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi kurang.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto
thoraks. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia (Hb 11,8 g/dL), Ht 34%,
leukosit 6200/L, trombosit 334000/L, albumin 3,4 g/dL, globulin 2,8 g/dL,
protein total 5,8 g/dL, bilirubin direk 0,2 mg/dL, bilirubin indirek 0,6 mg/dL,
bilirubin total 0,8 mg/dL, fungsi hati dalam batas normal (SGOT 19 U/L, SGPT
38 U/L). Pemeriksaan elektrolit terdapat hiponatremia (natrium 133 mmol/L),
elektrolit lain dalam batas normal (kalium 4,1 mmol/L, klorida 99 mmol/L), CRP
9,9 mg/dL. Foto thoraks kesan pneumonia lobaris, atelektasis lobus superior
dekstra, suspek hernia diafragmatika.
Terapi yang didapat adalah midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v,
Tizos 3 x 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x
sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Pasien mendapatkan infus Dekstrosa 10%
5x20 ml dan Benutrion VE 5x4 ml.
Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 254 kkal (protein 4,1 g, lemak
18 g dan KH 32 g), analisis 4 jam terakhir (pukul 02.00-06.00) adalah 38 kkal
(protein 1 g, lemak 0 g dan KH 10 g). Balans cairan pada pasien ini adalah -30 mL
(intake 100 mL dan output 130 mL dalam 4 jam)
Gambar 3.1. Analisis asupan sebelum sakit dan 4 jam terakhir kasus 1
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan
dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan
gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi totalnya yaitu 380
kkal pada hari ke-7 pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total yaitu 12 g
Universitas Indonesia
dicapai pada hari ke-4 pemantauan. Analisis asupan protein selama pemantauan
tampak pada Gambar 3.4.
cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien tidak mengalami keluhan saat hamil
maupun minum obat-obatan tertentu pada saat kehamilannya, kontrol teratur ke
bidan. Usia saat hamil adalah 23 tahun, berat badan ibu sebelum hamil adalah 55
kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan 10 kg. Berat badan ibu sekarang
adalah 55 kg, tinggi badan 157 cm, IMT 22,31 kg/m2. Perkembangan pasien
sebelum sakit adalah miring kiri kanan saat terlentang. Imunisasi yang sudah
didapat adalah Hepatitis B 1, Polio 1. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, menyusu
sebentar-sebentar dan tidak begitu kuat. Setiap kali menyusu sekitar 10 menit,
menyusu setiap 2-3 jam.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari
ke 2 dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak lemah, kesadaran apatis. Tekanan darah 98/60 mmHg, nadi 142 x
permenit, napas menggunakan ventilator dengan mode SIMV, PEEP 5 dengan
frekuensi napas 53 x per menit, suhu 37,3oC. Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung terpasang
pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik. Mulut terdapat pipa endotrakeal terhubung
dengan ventilator. Pemeriksaan thoraks tampak simetris, tampak retraksi dinding
dada minimal, pemeriksaan jantung didapatkan kesan batas jantung melebar,
bunyi jantung ireguler, terdapat murmur dan gallop negatif, pemeriksaan paru
menunjukkan suara napas vesikuler, terdapat ronkhi basah kasar di kedua lapang
paru, wheezing ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas normal,
supel. Ekstremitas hangat, tidak terdapat oedem, tidak ada sianosis. Genitalia
skrotum kanan tampak membesar, BAK menggunakan kateter, BAB 1 x lembek
berwarna kecoklatan. Kapasitas fungsional bedridden.
Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan
panjang badan (PB) 57 cm dan berat badan (BB) 4,8 kg. Berat badan ideal (BBI)
menurut kurva CDC adalah 5 kg. LLA yaitu 12,5 cm (LLA P50 usia 4 bulan laki-
laki adalah 13,8 cm), panjang badan dibawah persentil 3 (<P3) kesan stunted
(perawakan pendek). Penentuan status gizi berdasarkan berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) 96% kesan gizi baik. Berdasarkan perbandingan lingkar
lengan atas dengan lingkar lengan standar baku sesuai usia adalah 90%.
Universitas Indonesia
Berdasarkan klinis, BB/TB dan lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien
mempunyai status gizi baik dengan stunted.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto
toraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat anemia (Hb 11,8 g/dL), Ht
35%, leukosit 8800/L, trombosit 187000/L, albumin 3,6 g/dL, globulin 2,5
g/dL, bilirubin direk 0,1 mg/dL, bilirubin indirek 0,3 mg/dL, peningkatan enzim
hati (SGOT 88 U/L, SGPT 42 U/L), fungsi ginjal dalam batas normal (ureum 32
mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL). Pemeriksaan elektrolit terdapat hiponatremia
(natrium 132 mmol/L), kalium 5,8 mmol/L, klorida 104 mmol/L, glukosa darah
68 mg/dL, GGT (gamma glutamyl transferase) 69 (<50) U/L, ALP (alkali
fosfatase) 282 (anak 110-360) U/L. Foto toraks kesan interstitial pneumonia,
kardiomegali.
Terapi yang didapat adalah midazolam 7 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v,
vitamin C 1 x 200 mg i.v, Rantin 3 x 10 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Dialac 2
x sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 282 kkal (protein 4,6 g, lemak
20 g dan KH 35,4 g. 24 jam sebelum sakit adalah 187 kkal (protein 3 g, lemak
13,3 g dan KH 23,5 g. Balans cairan pada pasien ini adalah positif 92 mL (intake
300 mL dan output 208 mL).
Gambar 3.5. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 2
Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect),
kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, hipermetabolisme sedang, status gizi baik,
perawakan pendek (stunted), anemia, hipernatremia, peningkatan enzim hati.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan
dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan
gastrointestinalnya. Pasien baru dapat mencapai kebutuhan energi basalnya yaitu
360 kkal pada hari ke-8 pemantauan, kebutuhan energi total belum dapat tercapai.
Sedangkan kebutuhan protein total yaitu 12 g dicapai pada hari ke-8 pemantauan.
Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar 3.8.berikut ini.
obat-obatan tertentu pada saat kehamilan. Usia saat hamil adalah 30 tahun, berat
badan ibu sebelum hamil adalah 52 kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan
12 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 60 kg, tinggi badan 154 cm, IMT 25,3
kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah dapat mengangkat kepala saat
telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B, Polio, dan DPT
masing-masing 1 kali. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, menyusu tidak begitu
kuat dan sebentar-sebentar menurut ibu pasien. Setiap kali menyusu sekitar 15
menit dan menyusu tiap 2-3 jam. Kedua kakak pasien sehat, berumur 5 tahun dan
3 tahun.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 2
dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 101/49 mmHg, nadi 155 x per
menit, napas spontan dengan frekuensi napas 44 x per menit, suhu 36,2 oC.
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil
bulat isokor. Pada hidung terpasang pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik,
terpasang nasal kanul dengan O2 3 liter/menit, tidak terdapat pernapasan cuping
hidung. Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran
balik. Pada mulut terdapat sianosis perioral. Pemeriksaan thoraks tampak simetris,
tampak retraksi dinding dada minimal, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi
jantung ireguler, murmur ada dan gallop tidak ada, pemeriksaan paru
menunjukkan suara napas vesikuler, terdapat ronkhi basah kasar di kedua lapang
paru, wheezing tidak ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas
normal, supel. Ekstremitas atas bawah dingin, tampak sianotik, capillary refill
time >2 detik, tidak terdapat oedem. Genitalia tidak ada kelainan, BAK
menggunakan kateter, BAB belum sejak 2 hari.
Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan
panjang badan (PB) 58 cm dan berat badan (BB) 5,3 kg. Berat badan ideal (BBI)
menurut kurva CDC adalah 5,4 kg. LLA yaitu 13,1 cm (LLA P50 usia 3 bulan
perempuan adalah 13 cm), panjang badan termasuk persentil 25 (P25). Penentuan
status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 98,1 % kesan
gizi baik, berdasarkan perbandingan lingkar lengan atas dengan lingkar lengan
Universitas Indonesia
standar baku sesuai usia adalah 100%. Berdasarkan klinis, BB/TB dan lingkar
lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi baik.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto
toraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium Hb 15,1 g/dL, Ht 45%,
leukositosis (leukosit 25400/L), trombosit (trombosit 420000/L), C-reactive
protein 1,0 mg/dL, bilirubin direk 0,1 mg/dL, bilirubin indirek 0,4 mg/dL, SGOT
32 U/L, SGPT 24 U/L, PT 14,2 detik, APTT 44,5 detik, glukosa darah 270 mg/dL
Pemeriksaan elektrolit natrium 137 mmol/L, kalium 5,2 mmol/L, klorida 105
mmol/L, kalsium 11 mg/dL. Pemeriksaan analisis gas darah pH 7,32, PCO 2 34,
PO2 39, BE -6,2, HCO3 18, Saturasi O2 68%, kesan asidosis metabolik. Foto
thoraks kesan pneumonia berat, dekstrokardia.
Terapi yang didapat adalah Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v,
vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v,
Glybotic 1 x 80 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup
1 x 1,5 ml p.o. Pasien mendapatkan infus KaEN 3A 10 x 20 ml.
Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 254 kkal (protein 4,1 g, lemak
18 g dan KH 32 g dan analisis asupan 10 jam terakhir adalah 21,6 kkal (protein 0
g, lemak 0 g dan KH 5,4 g. Balans cairan pada pasien ini adalah 45 mL (intake
200 mL dan output 155 mL)
Gambar 3.9. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 3
Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, suspek PJB sianotik,
dekstrokardia, hipermetabolisme sedang, leukositosis, asidosis metabolik, status
gizi baik.
Universitas Indonesia
Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan toleransi
asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schofield
(BB-TB) didapat 266 kkal dengan faktor stres 1,3 didapat kebutuhan energi total
345 kkal. Komposisi yang diberikan protein 13,25 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak
25% (9,6 g) dan KH 52 g. Pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal 210 kkal,
protein 10,5 g (20 %), lemak 25 % (5,8 g) dan KH 30 g. Jalur pemberian nutrisi
melalui enteral melalui NGT dan parenteral. Kebutuhan cairan pada pasien ini
adalah 530 mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC adalah 1 : 100. Setiap hari
dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis
asupan pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai
kebutuhan total.
Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui
NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam
dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan asam amino 5 % pediatri
sebanyak 120 ml/24 jam.
Pasien dipantau selama sembilan hari. Pada Gambar 3.10 disajikan
pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan. Pengambilan data
tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama yaitu pagi hari.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan
dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan
gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi total yaitu 345 kkal
pada hari ke-5 pemantauan, dan dipertahankan asupannya hingga hari ke-9
pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total dicapai pada hari ke-6
pemantauan. Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar
3.12.
melahirkan yaitu 12 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 65 kg, tinggi badan 160
cm, IMT 25,3 kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah bisa mengangkat
kepala saat telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B 1, 2, Polio
1, 2, DPT 1, 2. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, Menyusu sebentar-sebentar
menurut ibu pasien, sekitar 5-10 menit tiap kali menyusu, dan sering muntah
setelah selesai menyusu.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 1
dan perawatan PICU hari ke 1. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 98/64 mmHg, nadi 171 x
permenit, napas menggunakan ventilator dengan mode PSIMV, PEEP 5 dan FiO2
40%, frekuensi napas 54 x per menit, suhu 36,6o C. Konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung
terpasang pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik, tidak terdapat pernapasan
cuping hidung. Pada mulut terdapat pipa endotrakeal tersambung dengan
ventilator. Pemeriksaan toraks tampak simetris, tampak iga gambang, terdapat
retraksi suprasternal, interkostal, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung I-
II reguler, tanpa murmur dan gallop, pemeriksaan paru menunjukkan adanya
stridor saat inspirasi, terdapat ronkhi di kedua lapang paru, wheezing tidak ada.
Abdomen tampak cekung, bising usus dalam batas normal, supel. Ekstremitas
tampak subcutan fat loss, hangat, capillary refill time <2 detik, tidak terdapat
oedem. Genitalia tidak ada kelainan, BAK menggunakan kateter, BAB padat 1 x
berwarna coklat. Kapasitas fungsional bedridden.
Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan
panjang badan (PB) 60 cm dan berat badan (BB) 4 kg. Berat badan ideal (BBI)
menurut kurva CDC) adalah 5,8 kg. LLA yaitu 10,5 cm (LLA P50 usia 4 bulan
perempuan adalah 13,4 cm), panjang badan menurut umur termasuk persentil 25
(P25) masih termasuk normal. Penentuan status gizi berdasarkan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) 68% kesan gizi buruk. Berdasarkan klinis, BB/TB
dan lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi buruk.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto
thoraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat anemia (Hb 10,7 g/dL),
Universitas Indonesia
Gambar 3.13. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 4
Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, laringomalasia, status gizi
buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, leukositosis, hipokalsemia, alkalosis
respiratorik.
Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan
toleransi asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus
White didapat 303 kkal dengan faktor stres 1,3 didapat kebutuhan energi total 393
kkal. Komposisi yang diberikan protein 10 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak 25 % (11
g) dan KH 63 g. Pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal 242 kkal, protein
10 g (16%), lemak 25 % (6,7 g) dan KH 35 g. Jalur pemberian nutrisi melalui
enteral melalui NGT dan parenteral. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 400
Universitas Indonesia
mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC sama dengan 1:126. Setiap hari dilakukan
evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis asupan
pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai kebutuhan
total.
Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui
NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam
dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan dekstrosa 10% sebanyak 110
ml/24 jam dan asam amino 5 % pediatri sebanyak 100 ml/24 jam.
Pasien dipantau selama sebelas hari. Pada Gambar 3.10 disajikan
pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan. Pengambilan data
tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama yaitu pagi hari.
Universitas Indonesia
masuk masih ada, sempat membaik pada hari ke-4 namun sesak lagi pada hari ke-
5 hingga akhir pemantauan, suhu tubuh naik pada hari ke-8. Selama perawatan
pasien menggunakan ventilator dan di hari ke-4 pasien sudah bisa weaning dari
ventilator dan bernapas spontan, pasien mengalami kondisi ARDS perbaikan.
Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik.
Pada pemeriksaan paru tampak retraksi suprasternal dan interkostal selama
perawatan, terdapat ronkhi di kedua lapang paru dan stridor insprasi yang tetap
ada hingga akhir pemantauan. Abdomen tidak ada kelainan selama pemantauan.
Pasien BAB 1-2 hari sekali dengan bentuk lembek hingga padat dan berwarna
coklat.
Pemeriksaan laboratorium selama sebelas hari masa pemantauan, kadar
hemoglobin menunjukkan 10,7 mg/dL pada awal masuk menjadi 9,6 mg/dL dan
kemudian menjadi 10,6 mg/dL, kadar leukosit tinggi pada saat masuk namun
kembali normal pada pemantauan hari ke-4. Terdapat hipokalemia dan
hipoalbuminemia. Kondisi pasien membaik dan direncanakan pindah ke ruang
perawatan pada hari ke-11 pemantauan.
Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.15.
Universitas Indonesia
Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan
dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan
gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi total yaitu 393 kkal
pada hari ke-11 pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total dicapai pada hari
ke-7 pemantauan.
Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar 3.16 berikut ini.
Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
Serial kasus ini membahas empat buah kasus pasien anak yang didiagnosis
sebagai pneumonia berat dengan berbagai penyebab, penyakit penyerta, dan
kondisi. Tabel dibawah ini memperlihatkan karakteristik empat kasus tersebut.
Pada keempat kasus, semua pasien berusia antara 3-4,5 bulan dengan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan berbanding 1:1. Angka kejadian pneumonia
tinggi pada anak dan balita, namun tidak dirinci pada usia berapa pneumonia berat
dapat terjadi. Tidak ada kepustakaan yang menyebutkan hubungan antara jenis
kelamin dengan angka kejadian pneumonia berat. Keempat pasien masuk kriteria
pneumonia berat karena terdapat pernapasan cepat lebih dari 50x/menit dan
terdapat penarikan dinding dada.
Keempat pasien adalah pasien PICU yang berisiko malnutrisi sehingga
harus dilakukan skrining nutrisi. Identifikasi dini terhadap risiko malnutrisi sangat
penting dilakukan dan terdapat banyak form skrining nutrisi yang dapat
digunakan. Setiap skrining mempunyai tujuan, aplikasi dan proses yang berbeda-
beda. Namun belum terdapat konsensus untuk skrining awal yang ideal dalam
menilai anak yang berisiko mengalami malnutrisi pada masa perawatan rumah
sakit dan akan mendapat manfaat dari dukungan nutrisi yang diberikan. 64
Terdapat enam buah skrining nutrisi untuk pasien anak yang dirawat di
rumah sakit yaitu Nutrition Risk Score (NRS), Pediatric Nutrition Risk Score
Universitas Indonesia
72
Faktor risiko untuk terjadinya pneumonia antara lain status gizi malnutrisi,
berat badan lahir rendah, ASI non eksklusif, belum imunisasi campak dalam 12
bulan pertama kehidupan.25 Berikut ini akan dibahas mengenai faktor risiko pada
masing-masing pasien.
Satu pasien yaitu pada kasus 1 lahir prematur dalam usia kehamilan 30
minggu, dengan berat badan lahir yaitu 1400 gram. Berat badan lahir rendah
<2500 g merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia. Pada pasien 1 untuk
melihat status gizinya perlu digunakan kurva pertumbuhan khusus oleh Babson
Benda dengan menggunakan usia koreksi. Untuk memantau tumbuh kembang
bayi prematur terdapat beberapa grafik yang dapat digunakan. Grafik
pertumbuhan berdasarkan pertumbuhan intrauterin lebih diutamakan
dibanndingkan yang berdasarkan pertumbuhan postnatal karena pola dan laju
pertumbuhan intrauterin yang normal merupakan standar pertumbuhan bagi
prematur. Pengukuran pertumbuhan dicatat berdasarkan umur gestasi yang telah
dikoreksi ke awal 12 bulan pertama kehidupan.48
Fenton66, menggabungkan serta mempublikasikan beberapa set grafik
pertumbuhan yang meliputi periode intrauterin dan periode postnatal dari minggu
ke 22 kehamilan sampai minggu ke 10 setelah lahir. Setelah bayi prematur
mencapai umur 40 minggu yang telah dikoreksi untuk umur gestasi, disarankan
untuk memonitor pertumbuhan dengan menggunakan grafik pertumbuhan CDC
yang baru. Bayi bekas lahir prematur dicatat dan ditelusuri dalam grafik ini
berdasarkan umur mereka yang telah dikoreksi dengan umur gestasinya.
Pasien kasus 1 lahir dalam usia kehamilan 30 minggu dari yang normalnya
40 minggu, sehingga usia koreksinya adalah dikurangi 10 minggu. Usia saat
pemeriksaan adalah 18 minggu sehingga usia setelah dikoreksi adalah 8 minggu.
Dalam menentukan status gizi dan kebutuhan energi pasien 1 menggunakan usia
koreksi.
Status gizi keempat pasien bervariasi dari gizi kurang, gizi baik dengan
stunted, gizi baik dan gizi buruk. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan
penyakit paru. Status nutrisi yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru
karena status nutrisi dapat mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tinggi dan berat badan menunjukkan hasil subnormal pada banyak anak dengan
VSD, dengan berat badan yang biasanya lebih terpengaruh daripada tinggi
badan.74,75 Kenaikan berat badan tidak memuaskan dan pasien seringkali
menderita infeksi paru yang memerlukan waktu lebih lama untuk sembuh.73
Semua gejala ini tampak pada pasien yaitu kemampuan menyusu yang
hanya sebentar-sebentar, riwayat diketahui mengalami kebocoran katup jantung
sejak usia 2 bulan. Pasien lahir cukup bulan dengan berat badan 3000 g, status gizi
pada saat pemeriksaan adalah 96% menurut BB/TB sehingga termasuk gizi baik,
namun PB dibawah P3 sehingga berperawakan pendek (stunted).
Anak dengan PJB merupakan kelompok anak yang rawan mengalami
gangguan pertumbuhan. PJB adalah kelainan struktural jantung yang
kemungkinan terjadi sejak lahir atau beberapa waktu setelah bayi dilahirkan.76
Bayi dengan PJB, biasanya lahir berat badan yang normal. Namun, masalah
nutrisi dan pertumbuhan sering muncul sangat cepat. Berat badan lebih
menunjukkan dampak yang lebih buruk daripada tinggi badan, dan laki-laki
memiliki kecenderungan malnutrisi lebih besar daripada perempuan. Perawakan
pendek (stunted) lebih sering pada anak di bawah usia 2 tahun (49%) daripada
pada anak yang usianya lebih tua (4%).77 Biasanya pasien dengan PJB sianotik
mengalami keterlambatan pertumbuhan yang lebih parah daripada pasien dengan
PJB asianotik.74
Pasien kasus 3 disertai dengan PJB sianotik, walaupun anak dengan PJB
yang tidak begitu parah biasanya memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang
normal, tetapi dengan adanya penyakit jantung yang dimiliknya mereka memiliki
risiko yang besar untuk jatuh dalam keadaan nutrisi buruk, anak dengan PJB
sering menunjukkan pencapaian berat badan yang tidak baik dan keterlambatan
pertumbuhan. Malnutrisi pada penyakit jantung menyebabkan kegagalan
perkembangan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat dan gangguan absorbsi. 78
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan
gagal tumbuh.89
Pada pasien kasus 4 masuk dengan keluhan sesak napas yang semakin
berat, malas menyusu, ada periode apnea saat dirawat di RS sebelumnya, sehingga
pasien dirawat di ICU. Terdapat riwayat menyusu sebentar-sebentar dan sering
muntah setelah minum. Kebiasaan ini menyebabkan kurangnya asupan sehingga
menyebabkan gizi buruk yang diderita pasien Pada pemeriksaan tampak iga
gambang, adanya stridor inspirasi dan retraksi otot-otot pernapasan.
Pasien kasus 1, 2 dan 4 mengalami kondisi ARDS dengan PaO2/FiO2
berturut-turut adalah 111,6 mmHg, 147,5 mmHg dan 60 mmHg. Sehingga
perhitungan kebutuhan makronutrien dan mikronutrien disesuaikan dengan
kondisi tersebut.
Secara umum kebutuhan energi pasien dihitung berdasarkan kondisi sakit
kritis, khususnya yang menggunakan ventilator, dimana kebutuhan energi basal
menggunakan rumus White dan mengalikan dengan faktor stres. Khusus pada
pasien ketiga yang dapat bernapas spontan kebutuhan energi basal dihitung
menggunakan rumus Schofield. Penggunaan ventilator dan juga obat-obatan
sedasi akan menurunkan energy expenditure, sehingga hal tersebut
dipertimbangkan dalam menentukan faktor stres.
Penentuan kebutuhan protein yaitu sesuai pada kondisi sakit kritis dengan
jumlah 2-3g/kgBB, pada keempat pasien direncanakan pemberian protein sebesar
2,5 g/kgBB dengan mempertimbangkan N:NPC sesuai kondisi penyakitnya.
Pemberian protein melalui nutrisi enteral berupa formula semi elemental dan
karena belum mencukupi kebutuhan totalnya maka ditambah nutrisi parenteral
asam amino pediatri 5% untuk menambah asupan. Pemberian lemak melalui
nutrisi enteral susu formula semielemental dan sudah dapat mencukupi kebutuhan
lemak total, sehingga tidak diperlukan tambahan emulsi lemak intravena.
Semua pasien sebelum perawatan meminum ASI, namun setelah masuk
rawat ICU orangtua tidak dapat menyediakan ASI, sehingga diganti dengan susu
formula. Menurut American Academy of Pediatric ASI merupakan rekomendasi
nutrisi utama bagi bayi. ASI mengandung poliamin, nukleotida, asam lemak
Universitas Indonesia
omega 3 dan 6 yang bermanfaat bagi bayi. Namun jika ASI tidak tersedia dapat
diganti dengan susu formula berbahan dasar susu sapi atau susu kedelai. Formula
berbahan dasar susu sapi mengandung laktosa sebagai sumber karbohidrat utama.
Susu kedelai atau formula bebas laktosa dapat diberikan pada bayi dengan
intoleransi laktosa. Pada pasien bayi dengan malabsorpsi lemak dapat diberikan
formula yang mengandung MCT.35
Pemilihan pemberian formula enteral pada semua pasien karena fungsi
saluran gastrointestinalnya masih baik dan untuk mengurangi refluks yang
mungkin terjadi dalam pemberian nutrisi enteral, harus diperhatikan posisi kepala
yang lebih tinggi pada saat pemberian, nutrisi enteral diberikan dalam drip lambat
menggunakan syringe pump atau feeding buret. Pemilihan formula jenis semi
elemental pada pasien-pasien ini karena lebih mudah diabsorpsi, lebih tidak
membuat alergi, dapat ditoleransi lebih baik pada pasien malabsorpsi. Pasien
dikatakan berisiko mengalami malabsorbsi terhadap pemberian nutrisi enteral jika
merupakan pasien anak dengan fungsi gastrointestinal yang terganggu, pasien
anak sakit kritis yang dirawat di unit perawatan intensif, pasien yang menjalani
operasi abdomen atau reseksi usus, atau salah satu keadaan diatas yang
mengalami diare setelah pemberian nutrisi enteral. Proses absorpsi dan
keseimbangan nitrogen pada pasien-pasien tersebut akan lebih baik jika diberikan
diet dengan formula semi elemental.90
Formula semi elemental memiliki sumber nitrogen yaitu protein yang
sudah terhidrolisis menjadi oligopeptida, dipeptida dan tripeptida. Dipeptida dan
tripeptida memiliki mekanisme transport yang spesifik dan dapat diabsorpsi lebih
efisien dibanding protein utuh. Formula semi elemental juga mengandung kasein
dan hidrolisat laktalbumin yang dapat menstimulasi absorpsi air dan elektrolit di
jejunum.90
Pada kasus-kasus ini, kebutuhan mikronutrien didapatkan dari vitamin dan
elektrolit yang terkandung dalam asam amino 5% dan suplementasi berupa sirup
multivitamin. Dalam 1 sendok teh sirup multivitamin mengandung riboflavin 2
mg, piridoksin 5 mg, sianokobalamin 5 mcg, nikotinamid 10 mg, asam folat 15
Universitas Indonesia
mcg, biotin 100 mcg, vitamin E 5 IU, besi 7,5 mg, seng 7,5 mg, magnesium 35
mg, dan selenium 20 mcg.
Penggunaan rutin imunonutrisi pada anak sakit kritis tidak
direkomendasikan. Penggunaan probiotik dapat memberikan keuntungan pada
pasien anak melalui efek pada gastrointestinal dan sistem imun dan dapat
mempersingkat lama diare akut dan diare karena antibiotik. Pada semua pasien
diberikan probiotik dengan preparat yang dalam tiap sachet (1 gram) berisi
Lactobacillus acidophillus 340 mg, whey kalsium 20 mg, magnesium stearat 10
mg, niasin 1 mg, seng oksida 1,3 mg, tiamin 0,3 mg, riboflavin 0,3 mg, piridoksin
0,3 mg dan vitamin C 25 mg.
Semua pasien mendapatkan midazolam sebagai sedatif selama perawatan
di ICU. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah depresi kardiorespiratori,
apnea dan henti napas. Sebuah penelitian retrospektif melaporkan kejadian depresi
pernapasan pada pasien tanpa ventilator adalah 0,099 %, dan kejadian ini terjadi
pada pemakaian dosis tinggi dari midazolam. Gejala gastrointestinal yang
mungkin muncul antara lain mual, muntah yang terjadi pada 3% pasien.91
Pasien kasus 1 dan 2 mendapatkan terapi antibiotik berupa seftisoksim
yang mempunyai efek leukositosis, trombositopenia, peningkatan SGOT/SGPT,
alkaline fosfatase atau bilirubin, nyeri perut, diare berat dengan lendir atau darah
dalam feses, mual, muntah, stomatitis, dan nyeri kepala Pasien juga mendapat
antibiotik oral yaitu klaritomisin yang mempunyai efek samping diare, mual, nyeri
perut, rasa yang abnormal, dispepsia dan sakit kepala. Antibiotik tersebut dapat
menurunkan absorpsi vitamin K.92
Pasien kasus 3 dan 4 mendapatkan terapi antibiotik berupa seftriakson
yang merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga, bersifat spektrum luas,
memiliki aktivitas terhadap organisme gram negatif, gram positif (efektifitas
rendah). Aktivitas bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding bakteri dan
mengintervensi sintesis peptidoglikan, yang merupakan komponen utama dinding
sel bakteri. Obat ini berikatan dengan protein sebanyak 85-95%, dimetabolisme di
hati dan diekskresikan di urine sebesar 33-65%. Antibiotik golongan sefalosporin
dapat berefek deplesi bakteri normal usus, menurunkan absorpsi vitamin B1, B2,
Universitas Indonesia
93
B3, B6, B12, K, asam folat, biotin dan inositol. Semua pasien mendapatkan
dexamethasone yang merupakan glukokortikoid yang dapat menurunkan kadar
kalsium, kalium dan magnesium dalam darah.94
Pada pemeriksaan laboratorium selama pemantauan kasus 1, 2 dan 4
terdapat anemia, pada kasus 1 dari Hb awal 11,8g/dl menjadi 6,7g/dl pada hari
keempat perawatan, pada kasus 2 dari Hb awal 11,8g/dl menjadi 8,6 g/dl pada hari
kelima perawatan dan pada kasus 4 dari Hb awal 10,7 menjadi 9,6g/dl pada hari
keempat perawatan.
Anemia didefinisikan sebagai keadaan kurangnya jumlah atau ukuran dari
sel darah merah/eritrosit dan atau jumlah hemoglobin (Hb) yang dikandung per
100 ml darah di bawah nilai normal. Berdasarkan WHO, anemia pada anak usia 6-
59 bulan bila kadar Hb <11 g/dl dan atau jumlah eritrosit <3,9 juta sel/mm3.
Sedangkan anak usia 5-11 tahun dikatakan anemia jika kadar Hb <11,5 g/dl dan
atau jumlah eritrosit <4 juta sel/mm3.95
Pada pasien penyakit paru ada dua kemungkinan penyebab anemia yaitu
anemia sudah ada sebelum infeksi paru terjadi atau anemia terjadi akibat penyakit
infeksi parunya tersebut. Pada kondisi yang pertama anemia sudah ada sebelum
infeksi paru terjadi. Anemia dalam keadaan ini disebabkan berbagai hal, seperti
perdarahan aktif sehingga tubuh terus menerus kehilangan darah (misalnya karena
perdarahan lambung kronik dan infeksi cacing),96 gizi buruk/malnutrisi akibat
kurangnya asupan sehingga terjadi kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk
produksi protein hemoglobin dan/atau eritrosit (misalnya zat besi, kobalamin dan
asam folat),97 variasi/kelainan genetik sehingga terjadi kelainan pembentukan
dan/atau penghancuran hemoglobin dan/atau eritrosit (misalnya defisiensi G6PD,
thalassemia, hemofilia dan kelainan sel sabit),98 atau kombinasi dari berbagai
penyebab di atas. Selanjutnya anemia akan meningkatkan risiko seseorang
menderita infeksi paru seperti pneumonia dan tuberkulosis.99, 100
Pada kondisi yang kedua yaitu anemia akibat infeksi paru itu sendiri.
Infeksi paru, terutama disebabkan oleh bakteri dapat mengganggu metabolisme
zat besi tubuh karena zat besi merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan
bakteri untuk tumbuh kembang.101 Situasi ini secara tidak langsung akan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan paparan keempat kasus di atas, maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Semua pasien yang terdapat pada serial kasus ini, mengalami pneumonia
berat dengan perbandingan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan
seimbang dan rentang usia 3-4,5 bulan.
2. Proses infeksi, inflamasi dan perubahan metabolik pada pasien, perlu
dikelola dengan baik agar dapat mengoptimalkan perbaikan kondisi
pasien.
3. Kebutuhan nutrisi pasien anak dengan pneumonia berat sangat bervariasi,
sehingga tim dukungan nutrisi perlu menilai dan mengelolanya secara
individual sesuai kondisi pasien.
4. Adanya penyakit penyerta seperti hernia diafragmatika, VSD,
kardiomegali, PJB sianotik, laringomalasia, dan status gizi buruk
mempengaruhi hasil akhir dari tata laksana pasien anak dengan
pneumonia berat.
5. Pasien dengan status gizi kurang dan pasien dengan risiko terjadinya
malnutrisi perlu dilakukan skrining menggunakan skrining STRONG atau
PYMS khususnya pada populasi ruang PICU.
6. Tatalaksana nutrisi penyakit kritis pada anak dengan pneumonia berat
mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik,
tatalaksana cairan dan elektrolit serta monitoring status gizi dan edukasi
nutrisi.
7. Tatalaksana nutrisi bersifat individual, sehingga perlu dilakukan penilaian
status nutrisi dan perhitungan kebutuhan secara individual dengan
seksama.
8. Standar baku perhitungan kebutuhan energi pada anak adalah dengan
menggunakan kalorimetri indirek, namun apabila tidak tersedia dapat
Universitas Indonesia
89
Universitas Indonesia
5.2. Saran
Sesuai dengan kesimpulan, maka kami mengajukan saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya skrining gizi untuk mengetahui risiko malnutrisi sebagai
prosedur awal pada anak yang dirawat di rumah sakit.
2. Dalam memilih jenis skrining perlu dipertimbangkan tujuan dan
aplikasinya. STRONG merupakan skrining yang paling praktis, mudah
digunakan dan dapat dipercaya untuk menilai risiko malnutrisi. Sedangkan
PYMS merupakan skrining yang praktis untuk menilai risiko malnutrisi
dan status nutrisi pada saat ini.
3. Skrining dilakukan pada awal masuk perawatan oleh perawat dan
ditatalaksana lebih lanjut sesuai kategori risikonya.
4. Pemantauan perlu dilakukan setiap minggu selama anak dirawat di rumah
sakit.
5. Anak dengan risiko tinggi malnutrisi harus diberikan konseling nutrisi
pada saat pulang dari perawatan.
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
7. Kollef KE, Schramm GE, Wills AR. Predictors of 30-day mortality and
hospital costs in patients with ventilatorassociated pneumonia attributed to
potentially antibiotic-resistant Gram-negative bacteria. Chest 2008; 134:281
287.
10. Pollack MM, Wiley JS, Holbrook PR. Early nutritional depletion in critically
ill children. Crit Care Med 1981;9:580.
11. Pollack MM, Ruttimann UE, Wiley JS. Nutritional depletions in critically ill
children: associations with physiologic instability and increased quantity of
care. J Parenter Enteral Nutr 198;9:309
13. Sadler TW. Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 10. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
92 Universitas Indonesia
14. Bergman EA, Hawk SN. Diseases of the Respiratory System. Dalam: Nelms
M, Sucher K, Lacey K, Roth SL. Editor. Nutrition Therapy and
Pathophysiology. Ed 2. Wadsworth : Cangange Learning 2011:648-681.
15. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC 2003
17. Guyton AC, Hall HE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996:597-653.
19. Dahlan Z. Pneumonia : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 4. 2007.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
20. Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM,
Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia: WB
Saunders, 2003:1432-5
21. Correa AG, Starke JR. Bacterial Pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat F,
editor. Kendigs Disorder of the Respiratory Tract in Children. Edisi 6.
Philadelphia: WB Saunders, 1998:485-503
23. Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and
Older Children. Dalam : Taussig LM, Landau LI, editor. Pediatric Respiratory
Medicine. St.Louis:Mosby Inc, 1999:595-664.
26. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric Pneumonia. Emerg Med Clin
N Am 2003;21:437-51.
27. Glezen WP. Viral Pneumonia. Dalam Chernick V, Boat F, editor. Kendigs
Disorders of ths Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia : WB
Saunders, 1998:518-26.
Universitas Indonesia
29. Langley JM, Bradley JS. Defining pneumonia in critically ill infants and
children. Pediatr Crit Care Med 2005;6(suppl):S9-S13.
30. Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3):200-14.
33. Turner KL, Moore FA, Martindale R. Nutrition Support for the Acute Lung
Injury/Adult Respiratory Distress Syndrome Patient : A Review. Nutr Clin
Pract. 2011;26:14-25.
34. The Berlin Definition. The ARDS Definition Task Force. JAMA. 2012;
307:2526.
35. Verger JT, Bradshaw DJ, Henry E, Roberts KE. The pragmatic of feeding the
pediatric patient with acute respiratory distress syndrome. Crit Care Nurs Clin
N Am. 2004;16:431-443.
36. Laycock H, Rajah A. Acute Lung Injury and Acute Respiratory Distress
Syndrome : A Review Article. BJMP 2010;3(2):324.
37. McCarthy MS. Pulmonary Failure. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the
Critically Ill Patient. A Guide to Practice. Florida : CRC Press. Taylor &
Francis Group. 2005:389-405.
38. Foex BA. Systemic responses to trauma. Brit Med Bulletin. 1999;55:726-43.
39. Neims MN, Sucher K, Lacey K.. Metabolic Stress. Nutrition therapy and
Pathophysiology, Thomson Brooks. 2007. 785-9.
40. Winkler MF, Malone AM, Mahan LK, Escott SS. Medical nutrition therapy
for metabolic stress: sepsis, trauma, burns and surgery. Dalam: Krauses Food
and Nutrition therapy. Elsevier. 2008; 1021-41.
41. Lestari ED. Nutrisi Enteral. Dalam Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar
SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid 1.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:49-62.
42. Mehta NM, Jaksic T. The Critically Ill Child. Dalam: Duggan C. Nutrition in
Pediatriccs. Ed 4. Hamilton, Ontario, Canada : BC Becker Inc. 2008:663-673.
Universitas Indonesia
44. Schmeling DJ, Coran AG. The hormonal and metabolic response to stress in
neonate. Pediatr Surg Int. 1990;5:307-21.
45. Griffiths RD, Hinds CJ, Little RA. Manipulating the metabolic response to
injury. Brit Med Bull. 1999;55:181-95.
46. Parsons HG. The nutritional status of hospitalized children. Am J Clin Nutr
1980: 33:1140-1146.
48. Hendarto A, Sjarif DR. Antropometri Anak dan Remaja. Dalam: Sjarif DR,
Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:23-34.
50. Sjarif DR. Prinsip Asuhan Nutrisi pada Anak. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED,
Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:36-48.
53. Kowalski L, Nucci A. Pediatrics. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the
critically ill patient. A guide to practice. Florida : CRC Press. Taylor &
Francis Group. 2005:389-405.
54. Samaddar DP. Nutritional load in critically ill: the changing concepts. SAARC
J.Anaesth. 2008;1(2):135-141.
55. Walter Reed Army Medical Center Borden Institute. Emergency nutrition for
sick or injured patient infants and children. Dalam: Walter Reed Army
Medical Center Borden Institute, Fuenfer, Creamer. Pediatric Surgery and
Medicine for Hostile Environments, 2001:445-452
56. White MS, Shepherd RW, McEniery JA. Energy expenditure in 100
ventilated, critically ill children: improving the accuracy of predictive
equations. Crit Care Med 2000;28:230712.
Universitas Indonesia
57. Skillman HE, Wischmeyer PE. Nutrition Therapy in Critically Ill Infants and
Children. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2008;32:520-534
58. Gadek JE, DeMichele SJ, Karlstad MD. Effect of enteral feeding with
eicosapentaenoic acid, gamma-linolenic acid, and antioxidants in patients with
acute respiratory distress syndrome. Enteral Nutrition in ARDS Study Group.
Crit Care Med. 1999 Aug;27(8):1409-20.
60. Holliday MA, Segar WE. The maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 1957;19:323
61. Choong K, Bohn D. Maintenance parenteral fluids in the critically ill child. J
Pediatr. 2007 May;83(2):S3-S10.
62. Heyland DK, Cahill NE, Dhaliwal R, Sun X, Day AG, McClave SA. Impact
of Enteral Feeding Protocols on Enteral Nutrition Delivery: Results of a
Multicenter Observational Study. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2010;34:675-
84.
63. Prieto MB, Cid JLH. Malnutrition in the Critically Ill Child : The Importance
of Enteral Nutrition. Int J. Environ. Res. Public Health 2011,8:4353-4366.
64. Joosten KFM, Hulst JM. Nutritional screening tools for hospitalized children :
Methodological considerations. Clin Nutr. 2013;1-5
66. Fenton TR. A new growth chart for preterm babies : Babson and Bendas
chart updated with recent data and a new format. BMC 2003;3:13-23.
67. Donovan SM. Human Milk : Nutritional Properties. Dalam: Duggan, Watkins,
Walker. Nutrition in Pediatrics. Basic Science Clinical Application. Hamilton:
BC Decker Inc. 2008:342-353
68. Lawrence RA, Lawrence RM. Breastfeeding: A guide for the medical
profession. Ed 6. Philadelphia: Elsevier Mosby. 2005:105-170.
69. Ferris AM, Jensen RG. Lipids in human milk : a review. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 3:108. 1984
Universitas Indonesia
71. Peralta CFA, Jani J, Cos T, Nicolaides KH, Deprest J. Ultrasound Obstet
Gynecol 2006; 27: 551554. Left and right lung volumes in fetuses with
diaphragmatic hernia
72. Spinella PC, Strieper MJ, Callahan CW. Congestive heart failure in a neonate
secondary to bilaeral intralobar and extralobar pulmonary sequestrations.
Pediatrics 1998,101:120-134.
74. Hull A. Children with Chronic Congenital Heart Disease and Renal Disease.
Dalam Ekvall SW, editor. Pediatric Nutrition in Chronic Disease and
Development Disorder Prevention, Assesment and Treatment. Oxford
Univesity Press; 1993.
75. Roebiono PS. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Diunduh
dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/68321669235fd5a14595241e858
93e6bbb8907f2.pdf.
77. Forchielli ML, McColl R, Walker WA, Lo C. Children with Congenital Heart
Disease : A Nutritional Challenge. Nutrition Grand Rounds. 1994 Oct : 348-
53.
78. Quinn NL. Manual Pediatric Nutrition. Ed 4. London: Hendricks KM, Duggan
C.; 2005. Chapter 20, Cardiac Disease; 401-9.
80. Lewis A, Hsieh V. Congenital Heart Disease and Lipid Disorders in Chidren.
Pediatric Nutrition. Ed 2. 2005.
81. Stern RC. Congenital anomalies. Dalam: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen
HB editors. Nelson textbook of pediatric. Ed 16, Philadelphia: WB Saunders,
2000:1271-2.
Universitas Indonesia
84. Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its treatment.
Laryngoscope 1999; 109: 1770-5
86. Jamal N, Bent JP, Vicencio AG. A neurologic etiology for tracheomalacia. Int
J Pediatr Otorhinolaryngol 2009;73: 885-7
88. Cotton RT, Reilly JS. Respiratory disorder of the newborn. Dalam: Bluestone
CD, Stool SE, Kenna MA. Pediatric otolaryngology. Vol II. Ed 3.
Philadelphia: WB Saunders, 1999:1300-1.
90. Makola D, Parish CR. Elemental and semi elemental formulas: Are they
superior to polymeric formulas? Nutrition issues in gastroenterology. 2005;
34:59-72.
96. Shaw JG, Friedman JF. Iron deficiency anemia: focus on infectious diseases in
lesser developed countries. Anemia. 2011;260380.
97. Levy A, Fraser D, Rosen SD, Dagan R, Deckelbaum RJ, Coles C, et al.
Anemia as a risk factor for infectious diseases in infants and toddlers: results
from a prospective study. Eur J Epidemiol. 2005;20(3):277-84.
Universitas Indonesia
98. Kohgo Y, Ikuta K, Ohtake T, Torimoto Y, Kato J. Body iron metabolism and
pathophysiology of iron overload. Int J Hematol. 2008;88(1):7-15.
102. Kumar V, Choudhry VP. Iron deficiency and infection. Indian J Pediatr.
2010;77(7):789-93.
Universitas Indonesia
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-)
Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+)
- Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih - Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih - Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih
lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : hangat, oedem (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-) Ekstremitas : pasca transfusi timbul ruam kemerahan di
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden tungkai bawah kanan, sianosis (+), dingin CRT > 3,
tungkai bawah kiri hangat, CRT < 2
Laboratorium : Na 132, K 3,9, Cl 100, Ca 10,3 Laboratorium: Hb 6,7, Ht 20, Leu 8300, Tr 254000, Kapasitas fungsional: bedridden
GDS 117 Laboratorium: Hb 12,6, Ht 37, Leu 28300, Tr 285000,
Analisis Asupan : AGD : pH 7,45, pCO2 32, pO2 67, HCO3 23, BE -0,2, GDS 96, Alb 2,8, Glob 2,6, Bil direk 0,2, Bil indirek
Vol E P L KH Saturasi O2 92 (pO2/FiO2 111) 0,6, Na 136, K 4,6, Cl 106, Ca 10,3, LED 6, CRP 6,7,
Universitas Indonesia
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Analisis Asupan : PT 13,1, APTT 34,6
Pregestimil 8 x 30 184 4,53 9,1 16,5 Vol E P L KH Analisis Asupan :
Dekstrosa10% 24 x 4 32,6 - - 9,6 (ml) (kkal) (g) (g) (g) Vol E P L KH
Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 - - Pregestimil 8 x 30 184 4,5 9,1 16,5 (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Lampiran 1
Total 432 235,8 9,33 9,1 26,1 Dekstrosa10% 24 x4 32,6 - - 9,6 Pregestimil 8 x 45 276 6,8 13,7 24,8
Benutrion VE 24 x 6 28,8 7,2 - - Dekstrosa10% 24 x4 32,6 - - 9,6
- Intake : 495 mL Total 480 245,4 11,7 9,1 26,1 Benutrion VE 24 x 6 28,8 7,2 - -
- Output : 575 mL - Intake : 572 mL Total 552 337,4 14 13,7 34,4
- Balans cairan : -80 mL - Output : 610 mL - Intake : 594,5 mL
- Produksi urin : 5 mL/ kg BB/jam - Balans cairan : - 38 mL - Output : 545 mL
- Produksi urin : 5,2 mL/ kg BB/jam - Balans cairan : - 49,5 mL
Universitas Indonesia
100
Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013
101
Total 340 14,3 13,7 34,8 Total 340 14,3 13,7 34,8
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka tanggal Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka tanggal Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien
09/02/2013 asupan dapat ditingkatkan bertahap menjadi 10/02/2013 asupan dapat ditingkatkan bertahap menjadi selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai
kebutuhan total 100% kebutuhan total kebutuhan energi total
Universitas Indonesia
101
Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013
102
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-)
Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+)
- Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih - Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih - Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih
lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : tungkai bawah kanan, sianosis (+), dingin Ekstremitas : hangat, oedem (-) sianosis (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-) sianosis (-)
CRT > 3, tungkai bawah kiri hangat, CRT < 2 Kapasitas fungsional: bedridden
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium
Laboratorium : Ur 27, Cr 0,3, Bil total 5,4 AGD : pH 7,5, pCO2 29, pO2 81, HCO3 23, BE +0,9, Laboratorium:
Saturasi O2 96 (pO2/FiO2 162) AGD : pH 7,41, pCO2 46, pO2 85, HCO3 29, BE +4,9,
Saturasi O2 93 (pO2/FiO2 170)
Analisis Asupan : Analisis Asupan : Analisis Asupan :
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g)
Pregestimil 8 x 45 276 6,8 13,7 24,8 Pregestimil 8 x 45 276 6,8 - - Pregestimil 8x60 368 9,1 18,2 33,1
Dekstrosa10% Dekstrosa10% Asam amino 5% 100 20 5 - -
24 x4 32,6 - - 9,6 24 x4 38,4 - - 9,6
Universitas Indonesia
102
Universitas Indonesia
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien
selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai
kebutuhan energi total kebutuhan energi total kebutuhan energi total
Universitas Indonesia
103
Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013
104
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-)
Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+)
- Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-)
- Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru,
wheezing (+) wheezing (+) wheezing (+)
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Genitalia : scrotum kanan membesar Genitalia : scrotum kanan membesar Genitalia : scrotum kanan membesar
Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-)
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden
Lampiran 2
AGD : pH 7,39, pCO2 47, pO2 59, HCO3 29, BE +3,9, GDS 87, Na 133, K 4, Cl 100, Ca 6,5
Analisis Asupan : Saturasi O2 89, (Kesan : Asidosis respiratorik) GDS 94 AGD : pH 7,49, pCO2 32, pO2 90, HCO3 25, BE +2,6,
Vol E P L KH (pO2/FiO2 147,5) Saturasi O2 96 (Kesan : alkalosis respiratorik akut)
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Analisis Asupan : GDS 87 (pO2/FiO2 225)
Universitas Indonesia
104
- Output : 532mL - Intake : 463 mL
Universitas Indonesia
Total 289 9,5 9,1 41,5 Total 289 9,5 9,1 41,5 Total 289 9,5 9,1 41,5
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat
ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap
Universitas Indonesia
105
Tatalaksana nutrisi.., Diana Felicia, FK UI, 2013
106
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-) Hidung : NGT (+), GRV (-), Hidung : NGT (+), GRV (-)
Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) pernapasan cuping hidung (+) mulut : slym kental (+)
- Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) mulut : slym kental (+) (plug) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+)
- Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-)
wheezing (+) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru,
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (+)
Genitalia : scrotum kanan membesar wheezing (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Genitalia : scrotum kanan membesar
Kapasitas fungsional: bedridden Genitalia : scrotum kanan membesar Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-)
Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium : AGD : pH 7,32, pCO2 31, pO2 186, Kapasitas fungsional: bedridden
HCO3 17, BE -7,3, Saturasi O2 97 (pO2/FiO2 465) Laboratorium:
(Kesan : asidosis respiratorik akut) Laboratorium: GDS 110, Na 135, K 4,8, Cl 103, Ca 6,8
Alb 3,4, Glob 3,1, Bil direk 0,1, Bil indirek 0,5 Hb 11,6, Ht 34, Leu 12100, Tromb 207000 AGD : pH 7,36, pCO2 45, pO2 56, HCO3 24, BE -0,9,
Kultur darah : S.epidermidis AGD : pH 7,52, pCO2 34, pO2 122, HCO3 28, BE +5,6, Saturasi O2 85, GDS 87 (pO2/FiO2 140)
Saturasi O2 98 (Kesan : alkalosis respiratorik) GDS 71 Kultur bronkhus : Pseudomonas aeruginosa
Analisis Asupan : (pO2/FiO2 305)
Vol E P L KH Analisis Asupan : Analisis Asupan :
Universitas Indonesia
106
- Produksi urin : 4,36 mL/ kg BB/jam - Produksi urin : 4,34 mL/ kg BB/jam - Produksi urin : 6,83 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia
Total 289 9,5 9,1 41,5 Total 364 11,8 13,6 44,8 Total 364 11,8 13,6 44,8
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat
ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap
107
Universitas Indonesia
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit
Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+)
- Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-)
- Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru,
wheezing (-) wheezing (-) wheezing (-)
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2 Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2 Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden
Lampiran 3
Analisis Asupan : Vol E P L KH Analisis Asupan :
Universitas Indonesia
108
: 4,71 mL/ kg BB/jam Produksi urin : 4,18 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat
ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap ditingkatkan bertahap
109
Universitas Indonesia
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit
Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+)
- Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) - Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-)
- Paru : vesikuler, ronkhi (-) kedua lapang paru, - Paru : vesikuler, ronkhi (-) kedua lapang paru,
wheezing (-) wheezing (-)
Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2 Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium : Laboratorium:
Na 134, K 4,5, Cl 99, Ca 10,4 AGD : pH 7,52, pCO2 28, pO2 41, HCO3 24, BE +2,0,
AGD : pH 7,48, pCO2 39 pO2 38, HCO3 25, BE -2,4, Saturasi O2 81% (Kesan alkalosis respiratorik)
Saturasi O2 86% (Kesan : alkalosis metabolik).
Analisis Asupan :
Analisis Asupan : Vol E P L KH
Vol E P L KH (ml) (kkal) (g) (g) (g)
(ml) (kkal) (g) (g) (g) Pregestimil 8x45 276 6,8 13,68 24,84
Universitas Indonesia
110
- Balans cairan : 80 mL - Balans cairan : 138 mL
- Produksi urin : 4,48 mL/ kg BB/jam - Produksi urin : 4,18 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia
Terapi : Terapi :
midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, Glybotic midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v,
1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v,
x 0,75 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v,
sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Lasix 2 x 2 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x
sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, Pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia,
hipermetabolisme sedang, alkalosis metabolik, status gizi hipermetabolisme sedang, leukositosis, alkalosis
baik, dalam perawatan hari ke-6, status saluran cerna respiratorik, status gizi baik, dalam perawatan hari ke-9,
dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 80 mL status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan
cairan positif 138 mL
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan
dipertahankan dipertahankan
111
Universitas Indonesia
Laboratorium : Na 137, K 4, Cl 110, Ca 7,9, GDS 94 Laboratorium: GDS 81 Laboratorium: Hb 9,6, Ht 28, Leu 11400, Tr 239000,
GDS 103, Na 136, K 2,5, Cl 109, Ca 9,6, Alb 2,4
Analisis Asupan : Analisis Asupan : AGD : pH 7,49, pCO2 23, pO2 291, HCO3 18, BE -3,3,
Universitas Indonesia
Lampiran 4
(ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) GDS 103
Pregestimil 8x15 92,16 2,2 4,56 8,28 Pregestimil 8x15 92,16 2,2 4,56 8,28
Dextrose 10% 24x 7 57,1 - - 16,8 Analisis Asupan :
Kaen 3B 15x17 27,6 - - 6,9
Benutrion VE 24x3 14,4 3,6 - -
Total 119,76 2,2 4,56 15,18 Vol E P (g) L KH
Total 240 163,66 5,8 4,56 25,08 (ml) (kkal) (g) (g)
- Intake : 300 mL Pregestimil 8 x 30 184 4,5 9,1 16,5
- Intake : 219 mL - Output : 332 mL Dextrosa10% 24x4 32,64 - - 9,6
- Output : 295 mL - Balans cairan : - 32 mL Benutrion VE 24x4 19,2 4,8 - -
- Balans cairan : -76 mL - Produksi urin : 3,45 mL/ kg BB/jam Total 211,2 235,84 9,3 9,1 26,1
112
- Produksi urin : 2,3 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia
113
kebutuhan energi total
Universitas Indonesia
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun- Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun- Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-
ubun tidak cekung ubun tidak cekung ubun tidak cekung
Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-), Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-), Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-),
pernapasan cuping hidung (-) pernapasan cuping hidung (-) pernapasan cuping hidung (-)
Thoraks : simetris, iga gambang (+), Thoraks : simetris, iga gambang (+), Thoraks : simetris, iga gambang (+),
retraksi suprasternal (+) interkostal (+) retraksi suprasternal (+), interkostal (+) retraksi suprasternal (+), interkostal (+)
- Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) - Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua - Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua - Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua
lapang paru, wheezing (-) lapang paru, wheezing (-) lapang paru, wheezing (-)
Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-)
Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat, oedem (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-)
Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden Kapasitas fungsional: bedridden
114
Universitas Indonesia
- Produksi urin : 7,08 mL/ kg BB/jam dexametason, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 x
Terapi : 2 ml p.o., Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1,5 ml
Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg, p.o, nebulizer Adrenalin 2,5ml+Pulmicort amp
dexametason, Dialac 2 x sachet p.o, Zamel syrup 1 (3x/hari)
x 2 ml p.o., Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1,5
ml p.o.
A Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan, Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan, Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan,
status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia,
hipoalbuminemia, hipokalemia, alkalosis respiratorik, leukositosis, trombositosis, hipokalsemia, alkalosis hipoalbuminemia, hipokalemia, alkalosis respiratorik,
dalam perawatan hari ke-7, status saluran cerna dalam respiratorik, dalam perawatan hari ke-8, status saluran dalam perawatan hari ke-4, status saluran cerna dalam
batas normal, keseimbangan cairan positif 25 mL cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif batas normal, keseimbangan cairan negatif 9 mL
166 mL
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu) pernapasan, suhu) pernapasan, suhu)
Universitas Indonesia
Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal Toleransi asupan dan status gastrointestinal
Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu Antropometri setiap minggu
Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula
darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu,
Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu.
E Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien
selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai selanjutnya dipertahankan sesuai kebutuhan energi total selanjutnya dipertahankan sesuai kebutuhan energi total
115
kebutuhan energi total
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Catatan :
- Nomer 1 dan 2 dinilai oleh dokter spesialis anak
- Nomer 3 dan 4 didiskusikan bersama dengan orangtua/pengasuh
- Jawaban tidak jelas dianggap sebagai tidak
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1
Gessman LM, Rappaport DI. Approach to Community-Acquired Pneumonia in Children. Clinical
Review Article. Hospital Physician Sept/Oct 2009, p 1-5.
2
Said M. Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka Pencapaian MDG 4. Buletin
Jendela Epidemiologi Vol 3. September 2010.
3
Kartasasmita CB. Pneumonia Pembunuh Balita. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 3. September
2010.
4
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
5
Brown SM, Dean NC. Defining and predicting severe community-acquired pneumonia. Curr
Opin Infect Dis 2010;23:158164.
6
Restrepo MI, Mortensen EM, Velez JA. A comparative study of community-acquired pneumonia
patients admitted to the ward and the ICU. Chest 2008; 133:610617.
7
Kollef KE, Schramm GE, Wills AR. Predictors of 30-day mortality and hospital costs in patients
with ventilatorassociated pneumonia attributed to potentially antibiotic-resistant Gram-negative
bacteria. Chest 2008; 134:281 287.
8
Muscedere JG, Day A, Heyland DK. Mortality, attributable mortality, and clinical events as end
points for clinical trials of ventilator-associated pneumonia and hospital-acquired pneumonia.
Clin Infect Dis 2010; 51 (1): 120125.
9
Torres A, Ewig S, Lode H, Carlet J. European HAP working group. Defining, treating and
preventing hospital acquired pneumonia: European perspective. Intensive Care Med 2009;
35:929.
10
Pollack MM, Wiley JS, Holbrook PR. Early nutritional depletion in critically ill children. Crit
Care Med 1981;9:580.
11
Pollack MM, Ruttimann UE, Wiley JS. Nutritional depletions in critically ill children:
associations with physiologic instability and increased quantity of care. J Parenter Enteral Nutr
198;9:309
12
Briassoulis G, Venkataraman S, Thomson AE. Energy expenditure in critically ill children. Crit
Care Med 2000;28:1166
13
Sadler TW. Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 10. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
14
Bergman EA, Hawk SN. Diseases of the Respiratory System. Dalam: Nelms M, Sucher K,
Lacey K, Roth SL. Editor. Nutrition Therapy and Pathophysiology. Ed 2. Wadsworth :
Cangange Learning 2011:648-681.
15
Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 2003
16
Anonymous, diunduh dari www.healthbase.com
17
Guyton AC, Hall HE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1996:597-653.
Universitas Indonesia
18
Anonymous, diunduh dari www.nhlbi.nih.gov
19
Dahlan Z. Pneumonia : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 4. 2007. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
20
Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, editor.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia: WB Saunders, 2003:1432-5
21
Correa AG, Starke JR. Bacterial Pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat F, editor. Kendigs
Disorder of the Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia: WB Saunders, 1998:485-
503
22
McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Eng J Med 2002;346(6):429-37
23
Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older Children.
Dalam : Taussig LM, Landau LI, editor. Pediatric Respiratory Medicine. St.Louis:Mosby Inc,
1999:595-664.
24
Durbin WJ, Stille C. Pneumonia. Pediatrics in Review 2008;29;147.
25
Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology and etiology of
childhood pneumonia. Bulletin of the World Health Organization 2008;86:408416.
26
Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric Pneumonia. Emerg Med Clin N Am
2003;21:437-51.
27
Glezen WP. Viral Pneumonia. Dalam Chernick V, Boat F, editor. Kendigs Disorders of ths
Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia : WB Saunders, 1998:518-26.
28
Frank G, Shah S. Uncomplicated Pneumonia. Dalam: Shah SS, editor. Pediatric Practice
Infectious Diseases. Philadelphia : McGraw-Hill Companies Inc, 2009:298-309.
29
Langley JM, Bradley JS. Defining pneumonia in critically ill infants and children. Pediatr Crit
Care Med 2005;6(suppl):S9-S13.
30
Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3):200-14.
31
British Thoracic Society Standards of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for
the Management of Community Acquired Pneumonia in Childhood. Thorax. 2002; 57 Suppl
1:1-24.
32
Lang F. Respiration, Acid-Base Balance. Dalam: Silbernagl S, Lang F, editor. Color Atlas of
Pathophysiology. Stuttgart : Thieme FlexiBook, 2000:66-91.
33
Turner KL, Moore FA, Martindale R. Nutrition Support for the Acute Lung Injury/Adult
Respiratory Distress Syndrome Patient : A Review. Nutr Clin Pract. 2011;26:14-25.
34
The Berlin Definition. The ARDS Definition Task Force. JAMA. 2012; 307:2526.
35
Verger JT, Bradshaw DJ, Henry E, Roberts KE. The pragmatic of feeding the pediatric patient
with acute respiratory distress syndrome. Crit Care Nurs Clin N Am. 2004;16:431-443.
Universitas Indonesia
36
Laycock H, Rajah A. Acute Lung Injury and Acute Respiratory Distress Syndrome : A Review
Article. BJMP 2010;3(2):324.
37
McCarthy MS. Pulmonary Failure. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the Critically Ill
Patient. A Guide to Practice. Florida : CRC Press. Taylor & Francis Group. 2005:389-405.
38
Foex BA. Systemic responses to trauma. Brit Med Bulletin. 1999;55:726-43.
39
Neims MN, Sucher K, Lacey K.. Metabolic Stress. Nutrition therapy and Pathophysiology,
Thomson Brooks. 2007. 785-9.
40
Winkler MF, Malone AM, Mahan LK, Escott SS. Medical nutrition therapy for metabolic stress:
sepsis, trauma, burns and surgery. Dalam: Krauses Food and Nutrition therapy. Elsevier. 2008;
1021-41.
41
Lestari ED. Nutrisi Enteral. Dalam Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku
Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:49-
62.
42
Mehta NM, Jaksic T. The Critically Ill Child. Dalam: Duggan C. Nutrition in Pediatriccs. Ed 4.
Hamilton, Ontario, Canada : BC Becker Inc. 2008:663-673.
43
Weissmann C. The metabolic response to stress; an overview and update. Anesthesiology.
1990;73:308-27.
44
Schmeling DJ, Coran AG. The hormonal and metabolic response to stress in neonate. Pediatr
Surg Int. 1990;5:307-21.
45
Griffiths RD, Hinds CJ, Little RA. Manipulating the metabolic response to injury. Brit Med
Bull. 1999;55:181-95.
46
Parsons HG. The nutritional status of hospitalized children. Am J Clin Nutr 1980: 33:1140-1146.
47
Sermet-Gaudelus. Simple pediatric nutritional risk score to identify children at risk of
malnutrition. Am J Clin Nutr 2000; 72: 64-70.
48
Hendarto A, Sjarif DR. Antropometri Anak dan Remaja. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED,
Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta
: Badan Penerbit IDAI, 2011:23-34.
49
Cogill B. Anthropometry indicators measurement guide. Food and nutrition technical asisstance.
US Agency for international. 2001.
50
Sjarif DR. Prinsip Asuhan Nutrisi pada Anak. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar
SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI, 2011:36-48.
51
Mehta NM, Chomper C. ASPEN Clinical Guidelines : Nutrition Support of the Critically Ill
Child. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2009;33:260-276
52
Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R, Parenteral Nutrition Guidelines Working
Group. Guidelines on Paediatric Parenteral Nutrition of the European Society of Paediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical
Universitas Indonesia
Nutrition and Metabolism (ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research
(ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. Vol 41, Suppl 2, Nov 2005.
53
Kowalski L, Nucci A. Pediatrics. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the critically ill
patient. A guide to practice. Florida : CRC Press. Taylor & Francis Group. 2005:389-405.
54
Samaddar DP. Nutritional load in critically ill: the changing concepts. SAARC J.Anaesth.
2008;1(2):135-141.
55
Walter Reed Army Medical Center Borden Institute. Emergency nutrition for sick or injured
patient infants and children. Dalam: Walter Reed Army Medical Center Borden Institute,
Fuenfer, Creamer. Pediatric Surgery and Medicine for Hostile Environments, 2001:445-452
56
White MS, Shepherd RW, McEniery JA. Energy expenditure in 100 ventilated, critically ill
children: improving the accuracy of predictive equations. Crit Care Med 2000;28:230712.
57
Skillman HE, Wischmeyer PE. Nutrition Therapy in Critically Ill Infants and Children. JPEN J
Parenter Enteral Nutr 2008;32:520-534
58
Gadek JE, DeMichele SJ, Karlstad MD. Effect of enteral feeding with eicosapentaenoic acid,
gamma-linolenic acid, and antioxidants in patients with acute respiratory distress syndrome.
Enteral Nutrition in ARDS Study Group. Crit Care Med. 1999 Aug;27(8):1409-20.
59
Jacobs BR, Nadkarni V, Goldstein B. Nutritional immunomodulation in critically ill children
with acute lung injury: feasibility and impact on circulating biomarkers. Pediatr Crit Care Med.
2013 Jan;14(1):e45-56.
60
Holliday MA, Segar WE. The maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:323
61
Choong K, Bohn D. Maintenance parenteral fluids in the critically ill child. J Pediatr. 2007
May;83(2):S3-S10.
62
Heyland DK, Cahill NE, Dhaliwal R, Sun X, Day AG, McClave SA. Impact of Enteral Feeding
Protocols on Enteral Nutrition Delivery: Results of a Multicenter Observational Study. JPEN J
Parenter Enteral Nutr 2010;34:675-84.
63
Prieto MB, Cid JLH. Malnutrition in the Critically Ill Child : The Importance of Enteral
Nutrition. Int J. Environ. Res. Public Health 2011,8:4353-4366.
64
Joosten KFM, Hulst JM. Nutritional screening tools for hospitalized children : Methodological
considerations. Clin Nutr. 2013;1-5
65
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skrining malnutrisi pada anak yang dirawat di
rumah sakit. 2007
66
Fenton TR. A new growth chart for preterm babies : Babson and Bendas chart updated with
recent data and a new format. BMC 2003;3:13-23.
67
Donovan SM. Human Milk : Nutritional Properties. Dalam: Duggan, Watkins, Walker. Nutrition
in Pediatrics. Basic Science Clinical Application. Hamilton: BC Decker Inc. 2008:342-353
Universitas Indonesia
68
Lawrence RA, Lawrence RM. Breastfeeding: A guide for the medical profession. Ed 6.
Philadelphia: Elsevier Mosby. 2005:105-170.
69
Ferris AM, Jensen RG. Lipids in human milk : a review. J Pediatr Gastroenterol Nutr 3:108.
1984
70
Mei-Zahav M, Solomon M, Trachsel D, Langer JC. Bochdalek diaphragmatic hernia: not only a
neonatal disease. Arch Dis Child 2003;88:532535
71
Peralta CFA, Jani J, Cos T, Nicolaides KH, Deprest J. Ultrasound Obstet Gynecol 2006; 27:
551554. Left and right lung volumes in fetuses with diaphragmatic hernia
72
Spinella PC, Strieper MJ, Callahan CW. Congestive heart failure in a neonate secondary to
bilaeral intralobar and extralobar pulmonary sequestrations. Pediatrics 1998,101:120-134.
73
Sastroasmoro S, Madiyono B. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Jantung Bawaan. Dalam :
Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku ajar Kardiologi Anak. Jakarta: IDAI; 1994.
74
Hull A. Children with Chronic Congenital Heart Disease and Renal Disease. Dalam Ekvall SW,
editor. Pediatric Nutrition in Chronic Disease and Development Disorder Prevention, Assesment
and Treatment. Oxford Univesity Press; 1993.
75
Roebiono PS. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Diunduh dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/68321669235fd5a14595241e85893e6bbb8907f2.pd
f.
76
Wisnuwardhana M. Manfaat pemberian diet tambahan terhadap pertumbuhan pada anak dengan
penyakit jantung bawaan asianotik [desertasi]. Semarang : Universitas Diponegoro; 2006.
77
Forchielli ML, McColl R, Walker WA, Lo C. Children with Congenital Heart Disease : A
Nutritional Challenge. Nutrition Grand Rounds. 1994 Oct : 348-53.
78
Rosenthal A. Nutritional Considerations in the Prognosis and Treatment of Children with
Congenital Heart Disease. Dalam : Suskind RM, Suskind MM, editor. Textbook of Pediatric
Nutrition. Ed 2. New York : Raven Press; 1992.
79
Quinn NL. Manual Pediatric Nutrition. Ed 4. London: Hendricks KM, Duggan C.; 2005.
Chapter 20, Cardiac Disease; 401-9.
80
Lewis A, Hsieh V. Congenital Heart Disease and Lipid Disorders in Chidren. Pediatric
Nutrition. Ed 2. 2005.
81
Stern RC. Congenital anomalies. Dalam: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors.
Nelson textbook of pediatric. Ed 16, Philadelphia: WB Saunders, 2000:1271-2.
82
Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic
airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5
83
Krashin E, Springer C, Avital A. Synchronous airway lesions in laryngomalacia. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. 2008; 72: 501-7
84
Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its treatment. Laryngoscope 1999;
109: 1770-5
Universitas Indonesia
85
Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D. The prevalence of gastroesophageal reflux in children with
tracheomalacia and laryngomalacia. Chest. 2001;119: 409-13
86
Jamal N, Bent JP, Vicencio AG. A neurologic etiology for tracheomalacia. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol 2009;73: 885-7
87
Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. Dalam: Snow JB editors. Otorhinolaryngology
head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003:1049-51
88
Cotton RT, Reilly JS. Respiratory disorder of the newborn. Dalam: Bluestone CD, Stool SE,
Kenna MA. Pediatric otolaryngology. Vol II. Ed 3. Philadelphia: WB Saunders, 1999:1300-1.
89
Bye MR. Laryngomalacia. http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527.
90
Makola D, Parish CR. Elemental and semi elemental formulas: Are they superior to polymeric
formulas? Nutrition issues in gastroenterology. 2005; 34:59-72.
91
Anonymous, www.drugs.com/sfx/midazolam-side-effects.html#oytmbwU5DMP8VCfw.99
92
Anonymous, diunduh dari www.mims.com
93
Anonymous, diunduh dari www.medscape.com
94
Anonymous, diunduh dari http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/dexamethasone
95
Harmatz P, Butensky E, Cabin B. Nutritional Anemias. Dalam: Nutrition in Pediatrics, Basic
Science and Clinical Applications. Ed 3. Canada: BC Decker; 2003:831.
96
Shaw JG, Friedman JF. Iron deficiency anemia: focus on infectious diseases in lesser developed
countries. Anemia. 2011;260380.
97
Levy A, Fraser D, Rosen SD, Dagan R, Deckelbaum RJ, Coles C, et al. Anemia as a risk factor
for infectious diseases in infants and toddlers: results from a prospective study. Eur J Epidemiol.
2005;20(3):277-84.
98
Kohgo Y, Ikuta K, Ohtake T, Torimoto Y, Kato J. Body iron metabolism and pathophysiology of
iron overload. Int J Hematol. 2008;88(1):7-15.
99
Harris AM, Sempertegui F, Estrella B, Narvaez X, Egas J, Woodin M, et al. Air pollution and
anemia as risk factors for pneumonia in Ecuadorian children: a retrospective cohort analysis.
Environ Health. 2011;10:93.
100
Mourad S, Rajab M, Alameddine A, Fares M, Ziade F, Merhi BA. Hemoglobin level as a risk
factor for lower respiratory tract infections in Lebanese children. N Am J Med Sci.
2010;2(10):461-6.
101
Niederweis M. Nutrient acquisition by mycobacteria. Microbiology. 2008;154(3):679-92.
102
Kumar V, Choudhry VP. Iron deficiency and infection. Indian J Pediatr. 2010;77(7):789-93.
Universitas Indonesia