TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan atau
organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
abdomen yang dibatasi oleh diafragma dan batas atas dengan leher dapat diraba
insisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus
seratus anterior, dan muskulus interkostalis. Tulang dinding dada terdiri dari
sternum, vertebra thorakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak didalam rongga
thoraks yaitu paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar,
Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim paru,
5
6
2.1.2 Epidemiologi
mortalitas trauma tumpul thoraks dapat mencapai 60%. Disamping itu 20-25%
Data yang akurat mengenai trauma thoraks di Indonesia belum pernah diteliti.
Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien
karena trauma, 25% diantaranya karena trauma thoraks langsung. Di Australia, 45%
dari trauma tumpul mengenai rongga thoraks. Dengan adanya trauma pada thoraks
akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Trauma thoraks
kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69% (Eggiimann, 2001; Jean, 2005).
pneumothoraks 5%, hematothoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum 20%.
Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan menjadi ARDS.
Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade terakhir, ARDS masih
merupakan salah satu komplikasi trauma thoraks yang sangat serius dengan angka
2.1.3 Etiologi
Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan
bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan
(impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh
karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena
setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma thoraks oleh
berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol, dan berenergi
tinggi seperti pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks yang lain adalah adanya
sternum, rongga pleura saluran nafas intra thoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini
2014).
2.1.4 Patofisiologi
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat
tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang
ringan pada dinding thoraks berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan
anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan komplikasi
menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung
(Kukuh, 2002).
8
ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu
penyebab kematian pada trauma thoraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh
Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks yang paling
sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding thoraks, perdarahan massif
dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit, subkutan, otot dan
2012).
Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun
tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35-40% pada trauma thoraks.
Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding dada.
Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat
batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah
daerah yang terkena untuk bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini
Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta-kosta yang berdekatan
patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral. Angka
kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab
9
yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali
disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus dicurigai
pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium (dengan nyeri
fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic, et al., 2012).
paling umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul
pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim,
darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto thoraks, dan CT scan thoraks.
Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi mekanik
sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis.
terjadi ketika adanya peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat
dan atau bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur
dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada
pneumothoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu (Milisavljevic, et al., 2012).
Hematothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk
ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau
mediastinum. Insiden dari hematothoraks tinggi pada trauma tumpul, 37% kasus
Beberapa sistem penilaian telah dibuat untuk mengevaluasi prognosis pasien setelah
trauma tumpul dada seperti Thoracic Trauma Score (TTS), Pulmonary Contusion
Score (PCS) atau Skor Wagner, yang dihitung sebagai indikator independen dari
prognosis yang menilai mortalitas dan morbiditas setelah trauma tumpul thoraks.
mortalitas pasien trauma tumpul thoraks antara lain umur pasien, jumlah patah tulang
kosta, ada tidaknya patah tulang kosta bilateral, dan derajat keparahan dari kontusio
morbiditas dan mortalitas dari gagal nafas, deep vein thrombosis, dan emboli
pulmonum. Nilai Chest Trauma Score (CTS) lebih dari 5 berhubungan dengan
outcome pasien yang lebih buruk. Selain itu kelompok pasien tersebut mempunyai
risiko empat kali lipat kematian dibandingkan dengan kelompok pasien dengan CTS
yang lokal pada thoraks. Kebanyakan kasus tersebut berhubungan dengan trauma
ringan seperti fraktur iga dan lecet pada dada. Tetapi pada trauma thoraks berat
dengan AIS > 3 terjadi pada 80-90% pasien dengan multiple trauma (Pinilla, 1982).
mekanik dan lamanya perawatan. Score CTS 7-8 dapat memprediksi peningkatan
Karena karakteristik yang homogen dari pasien trauma yang datang dengan
poli trauma dengan komorbid yang multipel, CTS tidak dapat mengidentifikasikan
setiap outcome yang mungkin terjadi. Sebagai tambahan, karena pola manajemen
trauma, pasien selalu overtriage sebagai upaya untuk mencegah cedera yang
terlewat, CTS dibuat untuk meningkatkan sensitifitas dengan spesifisitas yang lebih
rendah untuk mencegah terlewatnya pasien dengan kemungkinan outcome yang lebih
jelek. Pada penelitian Chen, et al. (2014) nilai sensitifitas receiver operating
12
characteristics (ROC) CTS pada acute respiratory failure sebesar 0,72. CTS adalah
suatu metode yang mudah dan cepat untuk menilai keparahan relatif dari pasien
trauma thoraks. Meskipun tidak ada satupun sistem penilaian yang dapat meramalkan
berhubungan dengan outcome yang lebih buruk, termasuk umur, jumlah fraktur iga,
kontusio pulmonum, dan trauma yang bilateral atau tidak (Pressley, et al., 2012).
Tabel 2.1.
Sistem Chest Trauma Score (Chen, et al., 2014)
Age score
<45 th 1
45-65 th 2
>65 th 3
Pulmonary contusion score
None 0
Unilateral minor 1
Bilateral minor 2
Unilateral mayor 3
Bilateral mayor 4
Rib score
<3 rib fracture 1
3-5 rib fracture 2
>5 rib fracture 3
Bilateral rib fracture score
No 0
Yes 2
13
Bergeron, et al. (2003) menemukan bahwa pasien lebih tua dari 65 tahun
dengan 3 atau lebih fraktur kosta mempunyai kemungkinan lebih besar kematian dan
lebih muda dengan jumlah fraktur kosta yang sama (Bergeron, et al., 2003).
Abbreviated Injury Scale (AIS) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1971.
AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkan beratnya trauma pada organ
tersebut dan tidak memberikan prediksi atau outcome. AIS merupakan dasar dari
ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama kali dipublikasikan. AIS-
71 hanya untuk trauma tumpul, AIS-85 meliputi trauma penetrating dan AIS-90
mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma dan memberikan dasar dari banyak
sistem skoring trauma. Skala trauma pada AIS dari 1 sampai 6. Setiap organ yang
mengalami trauma memiliki derajat AIS. (Copes, et al., 1990; Chawda, et al., 2004)
Tabel 2.2.
Derajat penilaian Abbreviated Injury Scale (AIS) (Chawda, et al., 2004)
Injury AIS
1 Minor
2 Moderate
3 Serious
4 Severe
5 Critical
6 Unsurvivable
Setiap trauma organ memiliki skor AIS yang dibagi menjadi enam bagian
tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan struktur eksternal. Hanya
14
skor AIS tertinggi yang digunakan pada setiap bagian tubuh. Skor AIS tiga bagian
Tabel 2.3.
Abbreviated Injury Scale (AIS) Thoraks (Chawda, et al., 2004)
AIS Score Thorax
ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1967, ketika Asbaugh dan
pada rongent thoraks. Awalnya gejala ini disebut adult respiratory distress
syndrome, saat ini istilah tersebut diganti dengan acute respiratory distress syndrome
scoring ini berdasarkan tekanan positif akhir ekspirasi, rasio dari PaO2/FiO2,
komplians paru dan derajat infiltrat pada radiografi. Pada tahun 1994 definisi baru
mengetahui variasi keparahan cedera paru secara klinis, pasien dengan hipoksia
ringan (PaO2/FiO2 <300) merupakan acute lung injury (ALI) dan hipoksia berat
(PaO2/FiO2 <200) merupakan ARDS. Kedua, mudah digunakan pada situasi klinis
kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam
ARDS juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik. Sindrom ini
oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya
membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan nafas normal
(Muttaqin, 2008).
Tabel 2.4.
Definisi ARDS (Ware, et al., 2000)
ARDS diakui sebagai bentuk yang paling parah dari acute lung injury (ALI),
suatu bentuk cedera difus alveolar. AECC mendefinisikan ARDS sebagai kondisi
akut yang ditandai dengan infiltrat paru bilateral dan hipoksemia berat karena tidak
adanya bukti untuk edema paru kardiogenik. Menurut kriteria AECC, yaitu aspek
didefinisikan oleh rasio tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2)
dengan fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2). Dalam ARDS, rasio PaO2/FIO2
kurang dari 200, dan ALI kurang dari 300. Selain itu, edema paru kardiogenik harus
17
disingkirkan baik oleh kriteria klinis atau dengan pulmonary capillary wedge
The European Society of Intensive Care Medicine dengan dorongan dari the
American Thoracic Society serta the Society of Critical care Medicine berkumpul
pada sebuah acara panel ahli internasional untuk merevisi definisi ARDS. Panel ini
bertemu pada tahun 2011 di Berlin, dan dicetuskan sebuah definisi baru yaitu definisi
Berlin. Tujuan dari definisi Berlin adalah untuk mencoba dan meningkatkan
fisibilitas, realibilitas, penampakan dan validitas prediktif. Yang menarik, definisi ini
dengan definisi AECC, dengan menggunakan data yang berasal dari uji klinis multi-
pusat dan pusat tunggal. Terdapat beberapa modifikasi kunci (oksigenasi, waktu
onset akut, x-ray thoraks, dan kriteria pulmonary wedge pressure) pada definisi
Pada definisi Berlin, tidak terdapat penggunaan dari terminologi Acute Lung
Injury (ALI). Komite ini menilai bahwa terminologi ini digunakan secara tidak
sesuai pada berbagai konteks dan tidak membantu. Pada definisi Berlin, ARDS
PaO2/FiO2. Yang penting adalah nilai rasio PaO2/FiO2 dianggap hanya dengan
ARDS jelas didefinisikan dalam definisi Berlin. Hal ini didefinisikan sebagai
paparan terhadap faktor risiko yang diketahui atau perburukan gejala respirasi dalam
18
satu minggu. Hal ini penting untuk mengidentifikasi faktor risiko yang menjelaskan
melibatkan paling tidak 3 kuadran yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh efusi
pleura, atelektasis dan nodul. Jika tidak terdapat faktor risiko yang diketahui, edema
akibat kardiogenik harus diekslusi dengan evaluasi objektif dari fungsi kardiak
pressure dapat ditinggalkan karena ARDS dapat terjadi bersamaan dengan edema
hidrostatik yang diakibatkan dari overload cairan atau kegagalan jantung (Fanelli, et
al., 2013).
Tabel 2.5.
Definisi ARDS Berlin (Fanelli, et al., 2013)
Definisi Berlin mengenai Acute Respiratory Distress Syndrome
Waktu Terjadi dalam 1 minggu pada setelah gangguan klinis yang
sudah diketahui sebelumnya atau baru atau gejala respirasi
yang mengalami perburukan.
Pencitraan Opasitas bilateral tidak secara penuh dijelaskan oleh efusi,
thoraks kolaps paru/lobaris, atau nodul.
Sumber Edema Kegagalan pernafasan tidak secara penuh dijelaskan oleh
kegagalan jantung atau kelebihan cairan.
Memerlukan penilaian objektif (contoh Ekokardiografi) untuk
mengeksklusi edema hidrostatik jika faktor risiko tidak ada.
Oksigenasi
Ringan 200 mmHg < PaO2/FIO2 300 mmHg, PEEP atau CPAP 5
cmH2O
Sedang 100 mmHg < PaO2/FIO2 200 mmHg, PEEP 5 cmH2O
Berat PaO2/FIO2 100 mmHg, PEEP 5 cmH2O
untuk mortalitas dengan menggunakan database klinis jumlah besar dari uji klinis
19
multi pusat dan pusat tunggal yang melibatkan 3.670 pasien. Laju mortalitas ARDS
dinyatakan sebesar 27% untuk ringan, 32% untuk sedang dan 45% untuk berat.
Selain itu, jumlah hari bebas ventilator menurun dari ARDS ringan ke berat, dan
stadium ARDS yang lebih berat dihubungkan dengan peningkatan progresif paru
yang ditemukan pada evaluasi CT scan dan shunt fraction (Fanelli, et al., 2013).
2.3.2 Epidemiologi
Perkiraan angka kejadian yang akurat terhadap ALI dan ARDS sulit
ditentukan, hal ini dikarenakan oleh kurangnya definisi yang seragam dan
(NIH), angka kejadian di Amerika 75 per 100.000 populasi. Pada penelitian lain
dilaporkan kejadian yang lebih rendah 1,5 8,3 per 100.000 populasi (Ware, et al.
2000).
Saat ini ARDS memiliki angka kematian yang cukup tinggi 40-60%.
Sebagian besar kematian disebabkan oleh sepsis atau multi organ dysfunction
(MOD) daripada penyebab respirasi primer. Walaupun terapi saat ini dengan
ventilasi tidal volume rendah, pada beberapa kasus kematian langsung disebabkan
oleh kerusakan paru. Pada pasien yang berhasil bertahan hidup dari ARDS fungsi
paru kembali normal dalam 6-12 bulan tanpa memperhatikan derajat keparahan paru
kelompok. Kelompok pertama terdiri dari kontusio pulmonum, aspirasi dari cairan
20
lambung, pneumonia, cedera inhalasi dan tenggelam. Pada kelompok kedua terdiri
dari syok traumatik berat yang memerlukan resusitasi cairan dan transfusi yang
berulang, trauma kepala berat, sepsis abdominal, luka bakar, emboli lemak dan
Tabel 2.6.
Kelainan klinis yang berkaitan dengan ARDS (Fanelli, et al., 2013)
Direk Indirek
Pneumonia Sepsis non-pulmoner
Aspirasi isi gaster Trauma mayor
Cedera inhalasi Pankreatitis
Kontusio pulmoner Luka bakar berat
Vaskulitis pulmoner Syok non kardiogenik
Tenggelam Overdosis obat-obatan
Transfusi multipel atau Transfusion
associated acute lung injury (TRALI)
Faktor risiko pada pasien dapat dibagi menjadi kondisi predisposisi yaitu
sepsis, syok, pneumonia, aspirasi, trauma dan operasi berisiko tinggi dan risiko yang
hipoalbumin, asidosis, takipneu. Walaupun dapat terjadi ARDS pada pasien memiliki
faktor risiko teori dari patogenesis ARDS dapat menjelaskan perkembangan dari
kerusakan paru awal menjadi ARDS ringan atau dari ARDS ringan sedang menjadi
ARDS berat. Untuk mengakhiri lingkaran pathogenesis ini perlu melibatkan berbagai
faktor seperti faktor genetik, faktor eksternal (sepsis, trauma dan syok) dan
Gambar 2.1.
Faktor predisposisi ARDS (Haro, et al., 2013)
ARDS dikaitkan dengan kerusakan difus alveolar dan cedera paru endotel
kapiler. Tahap awal digambarkan sebagai eksudatif, sedangkan fase kemudian adalah
Berbagai beban mengakibatkan kerusakan baik pada endotel pembuluh darah atau
dan masuknya cairan yang kaya protein ke ruang alveolar. Cedera pada sel-sel
lapisan alveolar akan menyebabkan terjadinya edema paru. Ada dua jenis sel epitel
alveolar yaitu pneumosit tipe I, yang membentuk 90% dari epitel alveolar. Kerusakan
penurunan pengeluaran cairan dari ruang alveolar. Pneumosit tipe II relatif lebih
tahan terhadap cedera. Namun, pneumosit tipe II memiliki beberapa fungsi penting,
dibagi dalam 3 tahap yang berlangsung dalam beberapa minggu sampai bulan. Tahap
pertama yaitu tahap eksudatif ditandai dengan pembentukan cairan yang berlebihan,
protein serta sel inflamatori dari kapiler yang kemudian akan menumpuk kedalam
Gambar 2.2.
Sel alveolus normal (kiri) dan sel alveolus pada ARDS (kanan)
(Ware, et al., 2000)
23
Tahap kedua, tahap fibroproliferatif pada tahap ini akibat dari respon
terhadap stimuli yang merugikan maka akan dibentuk jaringan ikat dengan beberapa
perubahan struktur paru sehingga secara mikroskopik jaringan paru tampak seperti
jaringan padat. Dalam keadaan ini pertukaran gas pada alveolar akan sangat
Tahap ketiga yaitu tahap resolusi dan pemulihan. Pada beberapa penderita
yang dapat melampaui fase akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Edema
paru ditanggulangi dengan transport aktif Na, transport pasif Cl dan transport H2O
melalui aquaporins pada pneumosit tipe I, sementara protein yang tidak larut dibuang
dengan proses difusi, endositosis sel epitel dan fagositosis oleh sel makrofag.
berproliferasi pada dasar membarana basalis. Proses ini distimulasi oleh growth
factors seperti keratinocyte growth factor (KGF). Neutrofil dibuang melalui proses
apoptosis. Sedangkan beberapa penderita yang lain tetap dalam tahap fibrosis ( hal
ini terjadi secara dini yaitu pada hari ke 5-6 setelah diagnosa ARDS). Ruang alveolar
yang lebih buruk, apalagi bila muncul prokolagen III secara dini pada cairan broncho
alveolar lavage (BAL) maka mortalitas akan meningkat (Milisavljevic, et al., 2012).
24
Gambar 2.3.
Fase resolusi pada ARDS (Ware, et al., 2000)
setelah cedera (12-24 jam pertama) terjadi takipnea, takikardi, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan pada auskultasi didapatkan ronki ekspirasi. Pada analisa
gas darah didapatkan hipoksia progresif, hiperkapnea dan asidosis. Pada pemeriksaan
rontgen thoraks didapatkan sebaran infiltrat, pada keadaan klinis ARDS yang
kandungan oksigen jaringan ataupun sel akibat gangguan penghantaran oksigen yang
diperlukan pada proses oksidatif. Hipoksemia adalah jumlah oksigen di darah arterial
yang tidak adekuat akibat penurunan PaO2, SaO2, atau hemoglobin. Adapun
komponen yang harus dipenuhi pada hipoksia adalah kadar O2 rendah, Cardiac
25
output rendah, atau uptake oksigen pada tingkat jaringan rendah dengan ada atau
tanpa adanya hipoksemia. Oleh sebab itu, hasil akhir dari pertukaran udara yang
menyebabkan berkurangnya struktur dan fungsi paru normal. Cedera tumpul pada
paru selama 24 jam akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas dan
komponen darah pada paru, 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum bilateral
Kontusio pulmonum terjadi sekitar 20% pada pasien dengan injury severity
score diatas 15, dan paling sering terjadi pada trauma thoraks anak-anak. Kontusio
pulmonum bilateral yang berat akan menyebabkan terjadinya hipoksia, tetapi lebih
sering berkembang menjadi ARDS (Miller, et al., 2002; Bakowitz, et al., 2012).
jaringan. Pada kondisi normal, sistem respirasi menghirup udara atmosfir yang
26
mengandung 21% oksigen dengan tekanan parsial 150 mmHg, selanjutnya sampai di
alveoli tekanan parsialnya akan turun menjadi 103 mmHg akibat pengaruh tekanan
uap air yang terjadi pada jalan nafas. Pada alveoli, oksigen akan segera berdifusi ke
dalam aliran darah paru melalui proses aktif akibat perbedaan tekanan (Mangku, et
al., 2010).
daya ekstraksi oksigen jaringan. Secara umum indikasi klinis terapi oksigen
terjadi akibat sumbatan jalan nafas, depresi pusat nafas, penyakit saraf otonom,
trauma thoraks atau penyakit pada paru seperti misalnya ARDS yang dapat
menyebabkan terjadinya gagal nafas. Teknik dan alat yang digunakan dalam terapi
fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2), tidak menyebabkan akumulasi CO2, tahanan
terhadap pernafasan minimal, irit dan efisien dalam penggunaan oksigen dan
diterima serta enak dipakai oleh pasien. Beberapa alat yang umum digunakan untuk
terapi oksigen adalah kanul nasal mampu memberikan FiO2 pada kecepatan aliran 1-
6 liter/menit sebesar 24-44%, sungkup muka pada kecepatan aliran 5-8 liter/menit