Anda di halaman 1dari 18

selalu dianggap ada cedera cervical sampai terbukti secara klinis dan radiologis

tidak ada.
Penderita sadar.
Nyeri pada leher atau punggung, seringkali menjalar karena terdapat iritasi pada
saraf.
Adanya gangguan sensoris.
Kelemahan atau paralise tipe flaksid sesuai dengan tingkahnya.
G.2.Pemeriksaan Level Cedera Medulla Spinalis.
1. Pemeriksaan motorik.
C5 mengangkat siku sampai setinggi bahu ( deltoid ).
C6 fleksi lengan bawah ( biceps ), ekstensi pergelangan tangan ( ekstensor
karpi radialis dan brevis ).
C7 ekstensi lengan bawah ( triceps ).
C8 fleksi pergelangan tangan dan jari ( flexor digitorum profundus ).
2. Pemeriksaan sensorik.
Sesuai dermatome : C5 area pada deltoid.
C6 ibu jari.
C7 jari tangan tengah.
C8 kelingking.
G.3. Pemeriksaan Radiologi.
Cervical Photo series dilakukan atas indikasi pasien dengan keluhan nyeri
lokal, deformitas, krepitasi, edema, gangguan neurologis yang berhubungan dengan
vertebra cervical, penurunan tingkat kesadaran, kemungkinan menderita keracunan,
atau pasien dengan multipel trauma yang potensial terjadi cervical spine injury.
Complete cervical spine series terdiri dari AP, lateral view, open mouth dan oblique.
Swimmer dan fleksi ekstensi dilakukan bila diperlukan.
Gambaran radiologi merupakan standar tertinggi dalam penentuan diagnosis
yang tepat dari cedera tulang belakang. Yang pertama dan paling penting dalam
mengambil foto radiologi pada pasien yang dicurigai mengalami cedera servikal
adalah foto lateral. Foto AP juga harus dilakukan termasuk foto open mouth untuk
memperlihatkan C1 dan C2 ( untuk fraktur lateral mass dan odontoid ).
Pada foto lateral, dasar tengkorak, seluruh ke 7 vertebra servikal dan vertebra
T1 harus tampak dalam foto rontgen. Untuk menghindarkan terlewatnya fraktur dan
fraktur dislokasi pada vertebra servikal bawah, maka bahu penderita ditarik ke bawah
sewaktu melakukan foto servikal lateral. Bila ke 7 vertebra servikal tidak tampak
dengan pemeriksaan foto lateral, maka perlu dilakukan swimmers view untuk
melihat vertebra servikal bewah dan torakal atas.
Pemeriksaan foto rontgen buka mulut ( open mouth odontoid view ) harus
meliputi seluruh prosesus odontoid dan artikulasi antara C1 dan C2 kiri dan kanan.
Pemeriksaan foto servikal AP membantu mengidentifikasi adanya dislokasi faset
unilateral dimana hanya tampak sedikit atau tidak terlihat adanya dislokasi pada foto
lateral. CT Scan axial dengan interval 3 mm juga harus dilakukan bila dicurigai
adanya daerah yang mencurigakan pada foto polos atau pada daerah vertebra servikal
bawah yang tidak tampak secara adekuat pada foto polos. CT Scan axial pada C1 dan
C2 juga lebih sensitif dibandingkan dengan foto polos untuk mendeteksi adanya
fraktur pada vertebra tersebut. Bila foto dengan kualitas yang baik serta
diintrepetasikan secara tepat, maka cedera vertebra servikal yang tidak stabil dapat
dideteksi dengan sensitivitas lebih dari 97%. Foto rontgen vertebra servikal lengkap
harus dinilai oleh seorang dokter yang mempunyai pengalaman dalam menilai secara
cermat foto ini sebelum dinyatakan normal dan cervical collar dilepas.
Bila didapatkan hasil normal pada foto skrining, maka perlu dilakukan foto
rontgen fleksi ekstensi vertebra servikal pada penderita yang tidak mengalami
gangguan kesadaran atau yang mengeluh adanya nyeri leher, untuk mendeteksi
instability yang tak jelas atau untuk menentukan stabilitas suatu fraktur, seperti
fraktur lamina atau fraktur kompresi. Penderita mungkin mengalami hanya cedera
ligament saja tanpa disertai dengan fraktur, walaupun pada penelitian terakhir
menduga bila foto polos vertebra servikal 3 posisi dengan tambahan pemeriksaan CT
Scan adalah normal ( tak terdapat pembengkakan jaringan lunak di bagian depan
leher, tak terdapat angulasi yang abnormal ), maka tidak terdapat adanya instabilitas.
Pada beberapa penderita dengan cedera jaringan lunak yang jelas, adanya spasme
otot paraspinal akan membatasi derajat fleksi dan ekstensi leher. Pada kasus seperti
ini, penderita ditangani dengan penggunaan kolar servikal semirigid selama 2-3
minggu sebelum pemeriksaan lain dilakukan untuk mendapat gamabaran foto fleksi-
ekstensi. Leher penderita tidak boleh digerakkan paksa untuk mengurangi nyeri.
Semua gerakan haruslah volunter. Foto ini harus dilakukan di bawah pengawasan
dokter yang berpengalaman.
Pada kurang lebih 10% penderita fraktur vertebra servikalis akan ditemukan
fraktur lain pada vertebra ( yang mungkin tidak berdekatan ) pada kolumna
vertebralis. Maka perlu pemeriksaan skrining radiologik lengkap vertebra pada
penderita dengan fraktur vertebra servikalis. Skrining semacam ini disarankan pada
semua penderita koma karena trauma.
Jika terdapat defisit neurologis, penggunaan MRI paling tepat untuk
mendeteksi adanya lesi kompresi jaringan lunak seperti spinal epidural hematom atau
HNP traumatika yang tidak dapat diperiksa dengan foto polos. Tetapi kadang-kadang
MRI tidak mungkin untuk dilakukan karena penderita tidak stabil. Bila MRI tidak
dapat dilakukan, maka dapat dilakukan pemeriksaan CT mielografi untuk
menyingkirkan adanya kompresi pada medulla spinalis yang disebabkan oleh HNP
traumatik atau epidural hematom. Pemeriksaan ini dilakukan atas permintaan seorang
ahli bedah konsultan spine.
Gambar 18.Foto Cervical Lateral.

Deskripsi : - Alignment : identifikasi dan menilai ke 4 kurva lordotik.


a. Korpus vertebra anterior.
b. Kanalis spinalis anterior.
c. Kanalis spinalis posterior.
d. Ujung ( tip ) dari prosesus spinosus.
- Bone, harus dinilai :
a. Kontur korpus vertebra dan tinggi axial.
b. Massa tulang lateral :
1. Pedikel.
2. Sendi faset.
3. Lamina.
4. Prosesus transversus.
c.Prosesus spinosus.
- Cartilage, harus dinilai :
a.Diskus untervertebralis.
b.Sendi faset posterolateral.
- Soft tissue, harus dinilai :
a.Ruang prevertebra.
b.Prevertebral fat stripe.
c.Ruang diantara prosesus spinosus.
Petunjuk penilaian untuk mendeteksi keabnormalan.
1. Alignment, penilaian untuk :
a. Kehilangan alignment pada daerah korpus vertebra aspek posterior
( perluasan anterior dari kanalis vertebralis ) dislokasi.
b. Penyempitan kanalis vertebralis kompresi medulla spinalis.
2. Bone, penilaian untuk :
a. Deformitas tulang fraktur kompresi.
b. Fraktur korpus vertebra atau prosesus.
3. Soft tissue, penilaian untuk :
a. Perluasan daerah jaringan lunak prevertebra ( > 5mm pada C3 )
perdarahan yang bersamaan dengan cedera medulla spinalis.
b. Peningkatan jarak diantara prosesus spinosus pada satu level robeknya
ligamentum interspinosum dan biasanya terdapat fraktur kanalis spinalis di
bagian anterior.

Bila ke 7 vertebra servikal tidak tampak dengan pemeriksaan foto lateral, maka
perlu dilakukan swimmers view untuk melihat vertebra servikal bawah dan torakal
atas.

Gambar 19. Photo Cervical Lateral, Swimmers View.

Foto AP termasuk foto open mouth dilakukan untuk memperlihatkan C1 dan


C2 ( untuk fraktur lateral mass dan odontoid ).
Gambar 20. Photo Cervical AP.

Gambar 21. Photo Cervical, Open Mouth.


Gambar 21. Photo Cervical, Open Mouth.

CT Scan.
Gambar 22. CT Scan Cervical, potongan axial.

Gambar 22. CT Scan Cervical, potongan transversal.


MRI.

Gambar 23. MRI Cervical.

H. Penatalaksanaan.
1. Imobilisasi.
Pada fase pra RS biasanya dilakukan tindakan imobilisasi sebelum transfer
penderita ke UGD. Setiap penderita yang dicurigai mengalami cedera tulang belakang
harus dilakukan imobilisasi di bagian atas dan bawah bagian yang dicurigai menderita
cedera, sampai fraktur dapat disingkirkan dengan pemeriksaan rontgen. Harap diingat,
proteksi vertebra harus dipertahankan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan.
Imobilisasi yang tepat dilakukan pada penderita dengan posisi netral, seperti berbaring
terlentang tanpa rotasi atau membengkokkan tulang belakang. Apabila ditemukan
deformitas yang jelas, jangan lakukan reduksi. Anak-anak mungkin menderita
tortikolis dan pada orang tua menderita penyakit tulang belakang degeneratif berat
yang menyebabkan mereka mengalami kifosis nontraumatik atau angulasi pada tulang
belakangnya. Penderita seperti ini harus di imobilisasi dalam spine board dengan
posisi yang nyaman. Perlu digunakan bantalan yang tepat untuk mencegah
terbentuknya dekubitus. Usaha untuk meluruskan tulang belakang dalam rangka
imobilisasi pada spine board tidak direkomendasikan bila menyebabkan nyeri.
Imobilisasi leher dengan kolar servikal semirigid tidak menjamin stabilisasi
tulang leher yang lengkap. Imobilisasi dengan menggunakan spine board dengan
memakai tambahan alat penyangga kepala, jauh lebih efektif dalam mengurangi
gerakan leher. Penggunaan long spine board direkomendasikan. Penderita cedera
tulang servikal membutuhkan imobilisasi seluruh tubuh penderita dengan kolar
servikal semirigid, imobilisasi kepala, backboard, plester dan tali pengikat sebelum
dan sewaktu transfer ke fasilitas yang definitif. Ekstensi dan fleksi leher harus
dihindarkan. Hal yang sangat penting adalah airway pada penderita cedera medulla
spinalis, karena itu intubasi harus segera dilakukan bila terdapat bukti gangguan
respirasi. Sewaktu melakukan intubasi, leher dipertahankan dalam posisi netral.
Perlu perhatian khusus dalam melakukan imobilisasi bagi penderita yang gelisah
dan agitasi. Keadaan ini disebabkan karena nyeri, bingung yang berhubungan dengan
hipoksia atau hipotensi, alkohol atau obat-obatan, atau kelainan kepribadian. Dapat
diberikan sedativa bila diperlukan, bahkan obat pelumpuh otot, dengan catatan perlu
proteksi dan kontrol airway serta ventilasi. Penggunaan sedativa atau pelumpuh otot
memerlukan pertimbangan klinis yang tepat, dianjurkan untuk menggunakan obat
dengan masa kerja pendek serta reversibel.
Sewaktu penderita datang di UGD, yang pertama dilakukan adalah secepatnya
melepas long spine board setelah dilakukan pemeriksaan, untuk mengurangi terjadinya
ulkus dekubitus. Melepaskan long spine board biasanya dilakukan sebagai bagian dari
survey sekunder yaitu sewaktu dilakukan tindakan logroll pada penderita untuk
memeriksa bagian belakang tubuh. Jangan sampai ditunda.
Gerakan yang aman, atau melakukan logroll pada penderita cedera tulang
belakang yang tidak stabil atau akan menjadi tidak stabil, memerlukan perencanaan
dan bantuan dari 4 atau lebih penolong tergantung ukuran tubuh penderita.
Kesegarisan ( alignment ) anatomi netral dari seluruh kolumna vertebralis harus
dipertahankan sewaktu memutar atau mengangkat penderita. Satu orang bertugas
mempertahankan imobilisasi inline kepala dan leher. Posisi orang kedua dan ketiga
adalah pada sisi yang sama dengan torso penderita, mencegah secara manual
terjadinya rotasi, fleksi, ekstensi, bengkok ke lateral pada daerah dada dan perut
sewaktu transfer penderita. Orang keempat bertanggung jawab untuk menggerakkan
kaki dan melepas spine board serta memeriksa bagian belakang penderita.
2. Cairan Intravena.
Pada penderita dengan kecurigaan mengalami cedera medulla spinalis,
pemberian cairan intravena adalah sebagai tindakan resusitasi pada penderita cedera.
Bila tidak ditemukan atau dicurigai adanya perdarahan aktif tetapi terdapat hipotensi
yang menetap walaupun telah diberikan cairan 2 liter atau lebih, maka hal ini
meningkatkan kecurigaan terhadap syok neurogenik.
Penderita yang mengalami syok hipovolemik biasanya takikardi sedangkan yang
mengalami syok neurogenik akan mengalami bradikardi. Bila tekanan darah tidak
membaik setelah pemberian cairan, indikasi penggunaan vasopressor dapat
dipertimbangkan. Direkomendasikan penggunaan phenylephrine hydrochloride,
dopamin atau norepinephrine. Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan
oedem paru. Penggunaan monitor invasif akan membantu, bila volume cairannya tidak
jelas diketahui. Kateter urin dipasang untuk monitor hasil urin dan mencegah
terjadinya distensi kandung kencing.
3. Obat-obatan.
Di Amerika Utara, pada penderita yang terbukti mengalami cedera medulla
spinalis yang bukan akibat luka tembus, diberikan metilprednisolon pada waktu 8 jam
pertama setelah terjadi. Ini merupakan terapi yang saat ini diterima. Metilprednisolon
diberikan dengan dosis 30 mg/kg dalam 15 menit pertama, diikuti dengan 5,4
mg/kg/jam. Untuk penderita dimana obat diberikan dalam 3 jam pertama setelah
cedera, infus intravena harus dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan bila pengobatan
dimulai antara 3-8 jam, maka harus dilanjutkan sampai dengan 48 jam, kecuali
terdapat komplikasi. Studi-studi menunjukkan tidak ada kegunaan steroid bila
diberikan setelah 8 jam pasca cedera.
4. Transfer.
Penderita fraktur yang tidak stabil atau tercatat mengalami defisit neurologis
harus ditransfer ke fasilitas perawatan definitif. Prosedur yang aman untuk mentransfer
penderita setelah melakukan konsultasi dengan ahli terkait melalui telpon. Hindari
keterlambatan yang tidak perlu. Harus dilakukan stabilisasi keadaan penderita dan
dilakukan fiksasi menggunakan bidai, backboard dan atau kolar servikal semirigid.
Perlu diingat, trauma servikal letak tinggi akan menyebabkan gangguan fungsi
respirasi secara parsial atau total. Bila pernapasan tidak adekuat, maka perlu dilakukan
intubasi sebelum transfer penderita.

5. Terapi Non Operatif Pada Fraktur Servikal.


Cervical Orthoses dan Cranioskeletal Traction.
Cervical Level Diagnosis Orthosis

C0
Occipitocervical dislocation and ORIF, Halo
subluxation.

C1
Posterior arch Collar
Jefferson fractures
< 7 mm displacement Collar, CTO
7 mm displacement Halo
Ruptured mid-transverse ligament Surgery
C2
Type I Collar
Type II Halo or surgery
Type III Halo
Atlantoaxial Rotatory Deformities
Reducible Collar, CTO
Unreducible Traction or surgery
Hangmans Fracture
Type I Collar
Type II Collar / halo
Type III Surgery

C3 C7
Flexion / Compression Fractures
Stable Collar / Halo
Unstable Surgery
Burst Fractures
Neurologically intact / stable fracture Halo / CTO
pattern
Neurologic defisit / unstable fracture Surgery
pattern
Facet Dislocations
Unilateral Tongs / Halo, then Surgery
Bilateral Tongs / Halo, then Surgery
Distraction-Extension Injuries ( Intact
Ligament / Disk )
Without spinal cord compression Halo / Surgery
With spinal cord compression Surgery
Ruptured ligament / disk/ fracture Surgery
Compression-Extension Injuries
Nondisplaced Collar / CTO
Displaced Surgery
Tabel 1. Penatalaksanaan Non Operatif Pada Fraktur Servikal.

Macam-macam Collar.
Membatasi gerakan pada leher.
Fleksi, ekstensi dan lateral 5-15%,
rotasi 10-17%.
Digunakan untuk menyangga leher
selama nyeri leher akut, minor muscle
spasm dan spondilosis serta cervical
strain.
Gambar 24. Soft Cervical Collar

Memberikan
perlindungan pada
kepala dan leher
lebih baik daripada
soft collar.
Fleksi lateral 45,
fleksi 40, ekstensi
34 dan rotasi 32.

Gambar 25. Philadelphia Collar

Memiliki komposisi yang sama


dengan Philadelphia Collar.
Bagian depan terbuka untuk
trakheostomi.
Fleksi dan ekstensi 55-75%, rotasi
70% dan lateral 60%.

Gambar 26. Miami J Collar


Sama dengan Miami J Collar dan
Malibu Collar, bagian depan
terbuka untuk trakheostomi.
Fleksi dan ekstensi 55-60%, rotasi
60%, lateral 60%.

Gambar 27. Aspen Collar.

Memiliki desain V-back yang unik


untuk memberikan perlindungan
maksimal pada oksipital. Bagian
depan terbuka untuk
trakheostomi.

Gambar 28. PMT Cervmax Collar.

Indikasi untuk fraktur tidak stabil


minimal.

Gambar 29. Aspen CTO System.


Gambar 30. Minerva CTO.

Indikasi : imobilisasi pada


instabilitas atlantoaksial
sekunder pada rheumatoid
arthritis dan neural arch
fracture dari C2.

Gambar 31. Sternooccipitomandibular Orthosis ( SOMI ).


Gambar 32. Halo and Pin Placement.
Indikasi : Ketidakstabilan upper cervical spine terutama C1-C2, stabilisasi tambahan
setelah surgical fixation, fraktur tidak stabil pada pertengahan dan bawah cervical
spine.

Gambar 33. Gardner-Wells Tongs.

6. Tindakan Operasi.
Terdapat dua indikasi yang jelas untuk tindakan operasi gawat darurat atas
fraktur dan dislokasi tulang belakang servikal, yaitu :

Anda mungkin juga menyukai