Anda di halaman 1dari 16

Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

BUDAYA TEKNOLOGI DI INDONESIA:


KENDALA DAN PELUANG MASA DEPAN

Yasraf Amir Piliang*


Email: ya-piliang@bdg.centrin.net.id

ABSTRAK

Teknologi adalah manifestasi dari imajinasi manusia tentang sebuah dunia yang lebih baik.
Melalui teknologi manusia membangun masa depan kebudayaan dan kehidupan mereka.
Perkembangan teknologi tidak saja ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang ada, tetapi ia justru dapat
membentuk budaya-budaya baru: budaya media, budaya informasi atau budaya virtual. Dalam relasi
antara teknologi dan budaya, ada sebuah paradoks. Di satu pihak, untuk menumbuhkan teknologi,
diperlukan semacam budaya teknologi, yaitu nilai-nilai budaya yang mendorong perkembangan
teknologi : daya kreativitas, rasionalitas, mental produktif, dan berorientasi ke depan. Di pihak lain,
ada berbagai benturan nilai akibat keberadaan teknologi tertentu di dalam masyarakat. Benturan ini
terjadi bila teknologi tak hanya dipandang sebagai sebuah alat guna dan utilitas, tetapi sebagai pencipta
makna. Nihilisme adalah kondisi ketika manusia menyerahkan diri mereka pada bingkai teknologi,
yang kemudian mengendalikan makna hidup mereka: panik, serba cepat, instan, dan tercabut dari
alam. Teknologi lalu menjadi semacam beban sosial. Untuk menghindarkan sifat nihilisme teknologi,
berbagai paradigma baru diusulkan: budaya berpikir holistik, yang melihat teknologi dalam sudut
pandang seluas-luasnya; budaya ketiga, yaitu simbiosis antara paradigma teknologi dan kebudayaan;
dan teknologi yang manusiawi, yaitu kombinasi teknologi tinggi dan sentuhan manusia.

Kata kunci: teknologi, manusia, kebudayaan, makna, kreativitas

ABSTRACT

Technology is a manifestation of human imagination about a better world. Through


technology, humans build their future culture and their lives. Technological development is not only
determined by cultural values that exist, but it establishes new cultures instead: the media culture,
virtual culture or cultural information. In the relationship between technology and culture, there is a
paradox. On the one hand, to develop the technology, some kind of "technological culture" is needed,
i.e. cultural values that encourage the development of technology: creativity, rationality, mentally
productive and future oriented. On the other hand, there are various conflicts of values due to the
existence of certain technologies in society. This collision occurred when the technology is not only
seen as a tool for and utility, but as a creator of meaning. Nihilism is the condition when humans
submit themselves within the frame of technology, which then controls the meaning of their lives:
frantic, fast-paced, instant and unplugging nature. Technology then becomes a sort of 'social burden'.
To avoid the nihilism nature of technology, various new paradigm proposed "holistic thinking
culture", which saw the technology in the widest angle of view; "third culture", which is a symbiosis
between technology and cultural paradigms, and "human technology", which is a combination of high
technology and the human touch.

Key words: technology, humans, culture, meaning, creativity.

* Dosen pada Program Magister Seni Rupa dan Desain,


FSRD, Institut Teknologi Bandung
Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 247
Institut Teknologi Bandung
Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

PENDAHULUAN kepalsuan, kesemuan, dan manipulasi


realitas, yang disebut hiperrealitas kebuda-
Pencapaian sains dan teknologi yaan (cultural hyperreality).
mutakhir memperlihatkan pengaruh yang Perkembangan sains dan teknologi
semakin besar terhadap perkembangan dalam konteks kebudayaan Indonesia sangat
kebudayaan, yang kini berkembang ke arah dipengaruhi berbagai mitos, relasi ke-
bentuk yang semakin komplek. Perkem- kuasaan (power relation), dan kondisi
bangan teknologi dan efeknya yang luar hiperrealitas. Hal ini, menciptakan berbagai
biasabaik negatif maupun positiftidak bentuk kepalsuan, kesemuan, dan
saja dapat mengubah sebuah bangsa, tetapi manipulasi kultural sehingga menciptakan
seluruh umat manusia dan lingkungan jurang antara imagining Indonesia dan
hidupnya. Terlepas dari gambaran suram realitas sesungguhnya. Ketimbang berperan
itu, yang jelas berdasarkan sejarah membangun peradaban, sains dan teknologi
peradaban, sains dan teknologi digunakan justru menciptakan berbagai ketercabutan,
sebagai wahana untuk menggapai sebuah marjinalisasi, dan alienasi manusia dari
masa depan imajiner (imaginary future), teknologi. Dalam meneropong peran sains
yaitu imajinasi tentang sebuah masyarakat dan teknologi dalam membangun per-
masa depan, yang kemudian direalisasikan adaban Indonesia di masa depan, diperlukan
lewat peran sains dan teknologi di sebuah refleksi mendalam terhadap relasi
dalamnya. Sains dan teknologi, dengan tersebut, khususnya reinterpretasi mendalam
demikian, berperan besar dalam mewu- tentang makna dan hakikat teknologi
judkan sebuah komunitas yang diimajinasi- (essence of technology) dalam pembangun-
kan (imagining community) melalui produk an manusia dan peradaban masa depan.
teknologi.
Meskipun demikian, sering imajinasi SAINS, TEKNOLOGI, DAN
itu adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak BENTURAN NILAI
pernah ada atau tidak mungkin dicapai
dalam konteks masa kini (misalnya ide Kendala budaya yang (tidak dita-
tentang kejayaan masa lalu). Ada jurang namkan sejak dini, yaitu (1) kehendak
abadi antara imajinasi dan realitas yang berpikir (bebas), (2) budaya riset, (3)
sesungguhnya. Di sinilah, kebudayaan kehendak inovasi dan prestasi, (4)
hidup di dalam berbagai bentuk mitos, penyimpangan modal intelektual (intellec-
termasuk mitos teknologi sendiri (myth of tual capital, habitus yang tidak sehat
technology). Mitos-mitos kejayaan masa dengan segala modal di dalamnya). Habitus
lalu, seperti Palapa, yang dihidupkan tidak mendukung perkembangan sains dan
dalam konteks masa kini (satelit Palapa) teknologi. Tidak ada kehendak, hasrat, atau
adalah contoh mitos teknologi tersebut, niat untuk manghasilkan inovasi. Modal
yang sesungguhnya tidak mengakar pada intelektual selama ini cenderung dijadikan
realitas masyarakatnya. Selain itu, sains dan sebagai cara mencari popularitas, keuntung-
teknologi juga berperan besar dalam an ekonomi (komersialisasi). Perbincangan
mendefinisikan apa yang disebut sebagai mengenai relasi antara sains, teknologi, dan
realitas di dalam sebuah kebudayaan. kebudayaan menyangkut dua wilayah
Ketika perkembangan teknologi mampu sistem nilai (value system), yaitu sistem
mengintervensi jauh ke dalam ruang nilai di dalam proses pencipta teknologi,
pendefinisian realitas itu, misalnya lewat dan sistem nilai dalam penggunaan dan
perkembangan teknologi informasi dan penerimaan teknologi. Dalam hal ini, dapat
simulasi (elektronik, digital), memberikan dibedakan antara nilai budaya Indonesia
fungsi positif sebagai pembangun realitas pada umumnya, yang secara umum, disebut
kebudayaan, teknologi justru membuka budaya nonteknologis (non-technological
peluang untuk menciptakan berbagai culture)yang di dalamnya termasuk

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 248


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

budaya agraris (agrarian culture)dan hanya untuk menunjukkan berbagai nilai


nilai-nilai yang mendukung penciptaan yang semestinya berkembang dalam budaya
teknologi yang berasal dari dunia Barat Indonesia, dalam konteks pengembangan
(technological culture). sains dan teknologi, yang bila
Meskipun demikian, perbedaan nilai dikombinasikan dengan nilai-nilai budaya
budaya ini bersifat sangat umum dan tidak sendiri dapat menghasilkan sebuah dunia
bersifat oposisi biner (binary opposition). sains dan teknologi yang mungkin lebih
Dalam pengertian bahwa budaya teknologi baik di bandingkan budaya teknologi yang
tidak lebih baik dan positif dibandingkan ada (Barat).
dengan budaya teknologi. Perbedaan ini

Budaya Teknologi Budaya Nonteknologi


rasionalitas irasionalitas
orientasi ke masa depan ke masa lalu
inovasi imitasi
produktif konsumtif.
proses hasil akhir
formalistik informalistik
individualitas komunalitas
dialektika (konflik) harmoni

Budaya teknologi menuntut kemampuan kebiasaan, bukan sebagai langkah awal


kreatif dan daya inovatif dari setiap orang inovasi, seperti yang terjadi pada awal
yang terlibat di dalamnya. Kebutuhan akan modernisasi masyarakat Jepang
inovasi inilah yang mendorong sains dan Karakter lain budaya teknologi
teknologi Barat mampu menjelajah daerah- adalah cara berpikir orang-orang di
daerah baru, menghasilkan kebaruan dalamnya yang berorientasi ke depan (future
(newness), dan mencapai kemajuan thinking), yaitu orang yang selalu tidak puas
(progress). Ada penghargaan (material, dengan apa yang telah dicapai; selalu
sosial, moral) yang sangat tinggi terhadap mencari kebaruan; memiliki imajinasi
inovasi sehingga diperlukan perlindungan tentang kehidupan masa depan; dan
khusus atas hak intelektual penciptanya. Di memiliki utopia yang ingin dicapai lewat
dalam masyarakat Indonesia, inovasi belum sains dan teknologi. Ia selalu dihantui oleh
mendapatkan tempat yang penting sehingga harapan baru (new expectation) di masa
tidak ada dorongan dan gairah ke arah depan, dan melihat apa yang diperoleh hari
pencapaiaannya. Sebaliknya, meniru, ini sebagai pencapaian (temporality) semata.
mengimitasi, menjiplak, atau mengopi Budaya teknologi memerlukan perangkat
merupakan aktivitas yang dianggap tidak pengetahuan, kemampuan prediksi, berpikir
hina, dan tidak memiliki sanksi sosial dialektis, dan peramalan. Bahkan, pada
sehingga dilakukan pada hampir setiap tingkat yang lebih populer, budaya
lapisan sosial. Karena meluasnya kebiasaan teknologi memerlukan para pengkhayal,
meniru ini, tidak ada dorongan yang kuat seperti penulis fiksi ilmiah (science fiction),
untuk inovasi dan kreativitas. Dalam hampir yang mengerahkan segala kemampuan
semua bidang, ada semacam kebiasaan, fantasi mereka dalam menyusun sebuah
bahwa kalau masih bisa meniru, mengopi, lukisan masa depan, yang sering menjadi
menjiplak, membajak, mengimitasi, atau realitas misalnya, bagaimana fiksi ilmiah
menduplikasi, mengapa harus menciptakan William Gibson, Neuromancer tentang
sesuatu dari awal. Dengan demikian, masyarakat digital masa depan, menjadi
peniruan dan pembajakan menjadi sebuah kenyataan kini dalam apa yang kita sebut
Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 249
Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

cyberspace. Kemampuan berpikir ke depan teknologi, masyarakat kita cenderung


ini sangat lemah di masyarakat Indonesia menjadi konsumen produk teknologi,
pada umumnya, yang cenderung meng- daripada produsernya, menjadi user
adopsi atau meniru saja lukisan, ekspektasi, daripada creator misalnya, teknologi
dan utopia masa depan dari pihak luar internet cenderung digunakan di dalam
secara tidak kritis. masyarakat kita untuk kegiatan konsumtif
Selain itu, budaya teknologi memer- (hiburan, permainan, tontonan) daripada
lukan tingkat rasionalitas tertentu, yaitu kegiatan produktif.
pilihan-pilihan tindakan dan keputusan yang Budaya teknologi menuntut ikatan
diambil dalam rangka mencapai sebuah formalitas-normatif tertentu (normative-
tujuan tertentu. Dalam konteks pengem- formality), yaitu dikembangkannya secara
bangan sains dan teknologi, rasionalitas formal berbagai aturan, standar, kode, dan
dipahami sebagai tindakan penciptaan untuk konvensi menyangkut pengembangan,
mencapai tujuan atau memecahkan masalah produksi, dan penggunaan berbagai produk
tertentu dengan mengikuti langkah yang sains dan teknologi. Ada berbagai prosedur,
terkalkulasi segala aspeknya sehingga dapat langkah, atau cara yang harus mengikuti
dihasilkan sebuah produk teknologi dengan aturan formal yang disepakati bersama
tingkat efisiensi dan efektivitas tinggi, serta sebagai konsensus, serta mempunyai
dengan sekecil mungkin kesalahan (error). kekuatan hukum, sehingga berbagai
Rasionalitas, memerlukan berbagai tindakan dan dampaknya dapat dikendali-
perangkat kalkulasi dan perhitungan (efi- kan. Pada masyarakat Indonesia pada
siensi, efektivitas, produktivitas), untuk umumnya, ada kecenderungan berkembang-
mencapai optimasi sebuah produk nya budaya informal (informal culture) di
teknologi. Meskipun masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Ada
tidak dapat dikatakan tidak mempunyai berbagai aturan tak tampak atau aturan
tingkat rasionalitas tersebut, dalam berbagai informal(informal rule) yang mengatur
aktivitas (sosial, ekonomi, politik) berbagai kegiatan masyarakat (seperti lalu
rasionalitas itu seringkali tidak digunakan, lintas, pasar, bisnis, produksi, transportasi,
untuk kemudian diambil alih oleh berbagai dan pendidikan), yang di dalamnya tidak
kekuatan irasional (petunjuk, wangsit, dsb.). ada standardisasi, konsensus, rasionalisasi
Budaya teknologi juga menuntut yang justru menjadi unsur penting budaya
setiap orang untuk menanamkan sikap teknologi misalnya, bagaimana sebuah pasar
produktif (productive culture) di dalam diatur oleh preman pasar, lalu lintas
dirinya, yaitu bagaimana sains dan ditertibkan oleh calo jalan.
teknologi digunakan secara maksimal Beberapa ciri budaya nonteknologi
sebagai cara untuk meningkatkan di atas tidak selalu bersifat negatif misalnya,
produktivitas. Sikap produktif ini sikap komunalitas, menjaga harmoni bahkan
mempunyai hubungan langsung-mutual irasionalitas di dalam aspek kehidupan
dengan sikap inovatif. Inovasi mendorong tertentu justru dapat menjaga nilai
orang untuk berproduksi, sebaliknya, kemanusiaan dan spiritualitas. Sebaliknya,
produksi menuntut inovasi baru. tidak semua ciri budaya teknologi (Barat)
Kebudayaan Indonesia masa kini itu bersifat positif dalam kaitannya dengan
ditandai oleh kesenjangan antara budaya manusia dan kemanusiaan. Bila aspek
produksi (production culture) dan budaya positif dari budaya teknologi dan
konsumsi (consumption culture). Budaya nonteknologi tersebut dikombinasikan
konsumer (consumer culture) dan gaya dengan cara tertentu, boleh jadi ia dapat
hidup konsumerisme (consumerism) menciptakan sebuah kebudayaan yang lebih
cenderung lebih mendapatkan tempat di hati baik dibandingkan budaya teknologi yang
masyarakat, dibandingkan dorongan untuk ada sekarang ini.
produksi. Dalam kaitannya dengan produk

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 250


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

REINTERPRETASI HAKIKAT SAINS yaitu penyingkapan kebenaran (truth),


DAN TEKNOLOGI kurang lebih seperti peran seni (Heidegger,
1971 : 294). Kata teknologi, yang mempu-
Berbagai kegagalan masa lalu me- nyai akar katanya dari kata techn, mempu-
nyangkut relasi sains dan teknologi dan nyai makna yang lebih luas, tidak saja
peradaban yang diakibatkan oleh berbagai menunjuk pada sebuah keterampilan (skill)
benturan nilai dibaliknya, menuntut upaya tertentu, melainkan pada seni (art). Jadi,
lebih serius dalam melakukan pemikiran techn, mempunyai makna keteknikan dan
ulang terhadap teknologi (rethinking instrumental sekaligus puitis (poisis).
technology). Sains dan teknololgi harus Teknologi dilihat oleh Heidegger (1971)
selalu dipertanyakan. Meskipun demikian, sebagai sebuah bentuk jaminan eksistensi,
pertanyaan itu semestinya tidak hanya yaitu jaminan keberadaan di dunia, yang di
menyangkut kegunaan pragmatis teknologi dalamnya manusia tercekam oleh hasratnya
(aksiologis). Akan tetapi, harus menghujam untuk selalu meningkatkan kelengkapan
lebih dalam mempertanyakan makna serta kemudahan dirinya berhadapan dengan
(meaning) dan hakikat teknologi (essence) alam.
dalam kaitannya dengan peradaban bangsa. Ada semacam sifat totalitarian
Teknologi tidak hanya harus teknologi, yang dilihat oleh Heidegger
dijelaskan berdasarkan sebuah penjelasan (1971), yaitu ketika teknologi membingkai
ilmiah (explanation), tetapi lebih jauh lagi atau mematok kebenaran itu sendiri,
harus ditafsirkan melalui sebuah cara dengan cara mengambilalih penafsiran atas
pemahaman (understanding), yaitu men- kebenaran, berdasarkan bingkai yang dibuat
coba membentangkan maknanya yang teknologi itu (Gestell), layaknya seorang
paling dalam. Oleh karena itu, makna fotografer yang membingkai objek yang
adalah dari dan untuk manusia, pendekatan difoto di dalam frame foto. Kecenderungan
dalam pemahaman makna teknologi tidak teknologi membuat produk yang tersedia
dapat lagi bersandar pada pendekatan sains sebagai barang siap pakai bagi manusia,
dan teknologi itu sendiri, melainkan sama artinya dengan membingkai manusia
pendekatan yang berbasis pada ilmu dalam satu model kenyataan dan eksistensi
kemanusiaan (humanity). Salah satu ilmu di dunia, yang manusia tidak dapat keluar
kemanusiaan yang mempunyai perhatian dari bingkai eksistensi tersebut. Teknologi
khusus terhadap makna adalah herme- membingkai sebuah bentuk eksistensi, dan
neutika (hermeneutics). Hermeneutika, tidak memberi tempat bagi bentuk eksistensi
sebagai ilmu tentang makna teks, dapat yang lain (Heidegger, 1971:302).i Pembing-
membentangkan makna teknologi yang kaian teknologi itu menghalangi kebenaran
paling dalam, yang tidak dapat dicapai lewat sejati menampakkan dirinya dengan
pendekatan ilmiah semata. caranya sendiri, yaitu menghalangi manusia
Martin Heidegger adalah salah menemukan cara penyingkapan kebenaran
seorang pemikir hermeneutika-eksistensialis yang lebih otentik. Oleh sebab itu, hakikat
yang mempunyai perhatian khusus terhadap teknologi bagi Heidegger tidak terletak di
makna dan hakikat teknologi. Dalam dalam teknologi itu sendirimisalnya
tulisannya The Question Concerning hubungan antara piston, gear, klep, metal,
Technology, Heidegger (1971) menjelaskan dan kondensor di dalam sebuah sistem
hakikat teknologi (essence of technology), mesinmelainkan bagaimana ia membing-
sebagai sesuatu yang tidak bersifat kai eksistensi.
teknologisyaitu cara berpikir teknis- Nihilisme adalah satu bentuk
instrumentalmelainkan cara membentang- penyerahan diri segala eksistensi ke dalam
kan totalitas ada (being) atau eksistensi. kekuasaan teknologi, dan menjadikan
Teknologi tidak hanya cara (mean), manusia sebagai pelayan setianya: pelayan
melainkan cara penyingkapan (revealing), setia abad informasi, pasar bebas,

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 251


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

globalisasi, televisi, telepon genggam, menciptakan semacam kemabukan dalam


cyberspace, perang, terorisme, fashion, masyarakat, yang disebut oleh Naisbitt
mobil, dan gaya hidup. Teknologi tanpa sebagai kemabukan high-tech (high tech
henti mengonstruksi dunia realitas dengan intoxication), yaitu ketika manusia hanyut
terus-menerus mengeksploitasi kemungkin- di dalam sistemnya, tanpa mampu
an adayang sesungguhnya hanyalah menemukan makna di dalamnya, khususnya
ketiadaan (nothingness)sebagai jaminan makna eksistensialnya. Naisbitt men-
berlangsungnya aktivitas tak bertujuan, jelaskan enam gejala mabuk teknologi yang
yang di dalamnya teknologi melengkapi menjerat manusia masa kini, yaitu
setiap aktivitas absurd tak bertujuan itu: merayakan kecepatan dan kesegeraan (tujuh
teknologi perang, teknologi teror, teknologi langkah menjadi miliyuner, dua hari
mata-mata; industrialisasi hiburan, menjadi penulis, dst.), memuja teknologi
industrialisasi iklan, industrialisasi seksual (penyembuhan, keamanan, iman), me-
(Heidegger, 1971:107). Daripada menjadi ngaburkan yang nyata dan tiruan (virtual,
tuan dari teknologi, kini manusia menjadi cyber, artifisial), menganggap kekerasan
bahan baku dari produknya, yaitu pada sebagai biasa (film, perang, game),
eksistensi manusia sebagai makhluk mencintai teknologi sebagai mainan (high-
konsumer (homo consumatoris). Dalam tech toy, internet adult game), terbiasa
konteks kebudayaan, teknologi tidak hanya dalam ketercerabutan dari realitas (virtual
merujuk pada mesin atau alat-alat semata, community, telepresence) (Naisbitt, 1999:4-
tetapi juga cara semuanya diorganisasi 22).
secara sosial, termasuk pengetahuan ilmiah,
relasi kekuasaan, serta nilai-nilai yang MASA DEPAN ILMU DAN
memungkinkannya tercipta. Faktor-faktor TEKNOLOGI DALAM MEMBANGUN
ekonomi, sosial, politik tidak hanya PERADABAN INDONESIA
menentukan bentuk teknologi, tetapi juga
makna teknologi itu secara sosial (Caplan, Loncatan teknologi (technological
1972:91).ii Ketika perkembangan teknologi leap)yaitu masuk secara langsung ke
mengabaikan implikasi sosio-kultural, dalam teknologi tinggi (high technology),
terbentuk determinasi teknologi (technolo- sebagaimana dilakukan Orde Baru
gical determinism). Sebaliknya, bila per- terbukti telah mengalami kegagalan,
timbangan sosial berperan besar dalam khususnya disebabkan tidak harmonisnya
penciptaan teknologi. Teknologi tidak lagi teknologi itu dengan budaya masyarakatnya
menjadi determinan dan menjadi pelayan sehingga menciptakan berbagai bentuk
sosial. Akan tetapi, kompleksitas ketercerabutan dari akar-akar budaya,
perkembangan sains dan teknologi itu marginalisasi pengetahuan indigenous
sendiri, dalam banyak kasus tidak sejalan (pertanian dan maritim), keterasingan dan
dengan perkembangan masyarakat dan alienasi masyarakat dari teknologi,
kebudayaannya sehingga menimbulkan ju- mitologisasi teknologi, serta berbagai ben-
rang di antara keduanya. Kecepatan per- tuk hiperrealitas kultural yang di
tumbuhan teknologi tidak terkejar lagi oleh hasilkannya. Teknologi lalu tidak saja
kecepatan manusia dalam memaknainya, tercerabut dari tanahnya (lingkungan hidup),
yang menciptakan apa yang dikatakan tetapi juga dari manusianya.
Anthony Giddens dunia tunggang- Berpikir ulang tentang teknologi,
langgang (the runaway world). serta reinterpretasi terhadap hakikat
Perkembangan teknologi ke arah melampaui teknologi itu merupakan langkah awal
batas, misalnya ke arah super-high- dalam melihat peran baru sains dan
technology, cenderung menjadi beban teknologi pada masa depan dalam konteks
sosial, ketika ia tidak dapat lagi diserap dan pembangunan peradaban. Sebuah imagining
dimaknai oleh manusia. Teknologi lalu Indonesia di masa depan harus disusun,

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 252


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu di Dalam konteks kebudayaan Indo-


dalam bingkai the third culture. Berbagai nesia, menimbang berbagai kegagalan ideo-
alternatif skenario masa depan relasi sains logisasi teknologi di masa lalu lewat
dan teknologi dan peradabanuntuk nasionalisme teknologis, serta aspek-aspek
merealisasikan imajinasi di atasperlu positif paradigma yang ditawarkan
dibuat dalam rangka mengantisipasi Henderson dan Naisbitt, dapat diusulkan di
berbagai perubahan dan konstelasi sains dan sini sebuah paradigma baru teknologi dalam
teknologi masa depan. Berbagai alternatif konteks pembangunan peradaban Indonesia
paradigma harus dikembangkan sebagai masa depan, yaitu paradigma relijiusisme
model wacana menuju imajinasi itu. teknologis (technological religiosism).
Berbagai mentalitas baru harus pula Yang dimaksud bukanlah mengatur
disiapkan, bukan dalam rangka mengikuti penciptaan teknologi dengan aturan
determinasi teknologi, melainkan bersikap keagamaan, tetapi menggunakan spirit
proaktif-kritis terhadapnya. keagamaandalam pengertian Weberian
Henderson (1991) mengusulkan peru- sebagai paradigma teknologi, khususnya
bahan pada tingkat paradigma dalam menjadikan prinsip-prinsip dasar keagama-
pengelolaan teknologi oleh kekuatan an: keyakinan, disiplin, konsistensi (isti-
ekonomi. Pengelolaan teknologi selama ini qomah), haus ilmu (produktif), kritis
didominasi oleh sistem kapitalisme, yang (ijtihad), menahan diri (nafs) sebagai jalan
mengutamakan keuntungan ekonomi semata teknologi, misalnya disiplin yang sudah
(economic profit) sehingga mentoleransi mengakar pada kehidupan keberagamaan
berbagai ekses yang merusak alam, (ibadah), dapat dijadikan sebagai model
lingkungan, dan manusia sendiri. Henderson disiplin dalam wacana pengembangan
lalu mengusulkan paradigma sains dan teknologi.
teknologi yang lebih berpihak kepada Paradigma baru teknologi tersebut,
masyarakat, yaitu paradigma teknologi yang sebagaimana dikatakan Allen Tough
memberikan keuntungan sosial (social tentunya memerlukan penataan ulang pada
profit) pada manusia, daripada keuntungan berbagai tingkat cara berpikir, kebiasaan
ekonomi semata (Henderson, 1991). mental, dan cara kerja masyarakat (Tough,
Naisbitt menawarkan paradigma 1996:181). Cara berpikir jalan pintas,
teknologi yang manusiawi, yaitu mengom- mementingkan hasil, dan irasionalitas; cara
binasikan teknologi tinggi (high tech) kerja indisipliner, informalistik, dan tak-
dengan sentuhan tinggi (high touch), yang sistematik; kebiasaan mental yang imitatif,
disebutnya paradigma high-tech high-touch. konsumtif dan reaktif, harus diubah ke arah
Paradigma ini menerima teknologi yang yang lebih sistematis, berdisiplin, produktif,
menjaga kemanusiaan dan menolak proaktif, kreatif, kritis, inovatif, dan
teknologi yang mengancamnya. Teknologi dinamis.
dianggap sebagai bagian integratif evolusi
kebudayaan dan produk kreatif dari KREATIVITAS DAN BUDAYA
imajinasi manusia. Di dalam paradigma INOVATIF
baru ini, seni, sejarah, agama, alam, dan
waktu dilihat sebagai mitra setara dalam Meskipun bukan sebuah wacana
evolusi teknologi, karena semua inilah yang baru, kreativitas masih aktual untuk
mampu memberikan teknologi spirit diperbincangkan, terutama dalam konteks
(Naisbitt, 1999:26). Kemajuan teknologi reformasi bangsa untuk keluar dari krisis.
diharapkan sejalan dengan jalan Tuhan, Meskipun demikian, istilah kreativitas
kepercayaan dan spiritual; seni dan masih sering dicampuradukkan dengan
kemanusiaan; tidak sebaliknya, istilah lain, seperti fantasi, imajinasi,
menghancurkannya. orisinal, invensi, inovasi, intuisi, bakat
(talent), dan jenius. Padahal, ada perbedaan

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 253


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

mendasar di antara istilah-istilah tersebut. (Ghiselin, 1960:12). Meskipun ada tanda-


Fantasi, imajinasi, intuisi dapat dikatakan tanda kreativitas di dalam masyarakat
sebagai bagian tak utuh dari kreativitas, primitif, tetapi ia bukan merupakan zeitgeist
yang lebih besifat total. Perbedaan masyarakat tersebut, karena perubahan tidak
signifikan terdapat pada istilah kreativitas menjadi motif utama dunia kehidupan
dan invensi (invention). Invensi adalah mereka. Akan tetapi, di dalam masyarakat
penemuan khusus dalam bidang sains dan modern, yang dibangun terutama oleh pilar-
teknologi yang lebih bersandar pada pilar penemuan, perubahan, dan kebaruan,
kekuatan rasio, tanpa melibatkan kapasitas kreativitas adalah energi pendorong hidup.
rasa, emosi, dan kehendak. Kreativitas, Ada budaya jalan pintas yang
sebaliknya, melibatkan semua kapasitas berkembang luas di kalangan masyarakat
tersebut (Tabrani, 2006:16). Kreativitas bangsa, baik pemerintah, industri (swasta),
berbeda pula dari inovasi. Bila kreativitas dan masyarakat luas, bahkan perguruan
adalah sebuah kapasitas pikiran, inovasi tinggi. Perlu ada kehendak budaya (cultural
adalah produknya, berupa ide atau gagasan will) pada diri setiap komponen bangsa
baru. Talenta adalah kemampuan bawaan, (pemerintah, pengusaha, rakyat, akademisi,
yang mendukung kreativitas, meskipun peneliti) untuk menumbuhkan kebutuhan
orang bertalenta belum tentu kreatif. akan inovasi sains dan teknologi, dengan
Jenius adalah orang yang cemerlang mengembangkan sendiri, bukan secara jalan
(brilliant) sekaligus kreatif. pintas mengimpor teori, sains dan teknologi,
Kreativitas, menurut Csikszent- sebagai kebiasaan. Diperlukan need of
mihalyi (1997), mengacu pada orang yang progress (nPro), yaitu hasrat untuk
mengekspresikan pemikiran tak biasa; yang menghasilkan sesuatu yang baru.
mengalami dunia dengan cara yang baru,
orisinil, segar, dan mencerahkan; yang Selain itu, Csikszentmihalyi melihat
mengubah budaya kita secara radikal kreativitas bukan domain individu, tetapi
(Csikszentmihalyi, 1997:26). Kreativitas domain sosial dan kultural. Ia menjelaskan
adalah pemikiran yang hasilnya adalah ide- tiga pilar kreativitas yang mesti ada.
ide yang baru yang berguna. Inovasi Pertama, domain, yaitu seperangkat aturan
adalah produk kreativitas, dengan dan prosedur simbolik atau pengetahuan
beberapa pengetian, yaitu ide baru, yang dimiliki bersama oleh sebuah
pengenalan ide baru, penemuan, pengenalan masyarakat, seperti matematika, teknologi,
penemuan, ide yang berbeda dari bentuk- sosiologi atau seni, yang semuanya
bentuk yang ada, pengenalan sebuah ide berumah di dalam kebudayaan. Kedua,
yang mengganggu perilaku umum (Holt, medan sosial (social field), yaitu seluruh
1983:13). Inovasi adalah proses individu yang bertindak sebagai penjaga
penggunaan pengetahuan atau informasi gawang domain yang tugasnya adalah
yang relevan bagi penciptaan dan memutuskan apakah sebuah ide atau produk
pengenalan sesuatu yang baru dan berguna, baru dapat disertakan ke dalam domain,
baik inovasi teknologi, inovasi misalnya ilmuwan, guru, dosen, peneliti,
administratif, inovasi sosial, inovasi kritikus, pengamat, dan fondasi dan agensi
finansial dan inovasi pasar. pemerintah yang membangun medan sains
Kreativitas tidak dapat dipisahkan dan teknologi. Ketiga, orang (person)
dari konsep perubahan (change). Kreativitas secara individu, yaitu ilmuwan dan teknolog
dibangun bagi perubahan. Kreativitas yang dengan mengeksplorasi simbol-simbol
diperlukan untukdan hanya untuk di dalam sebuah domain (matematika,
mengubah sesuatu. Sebagaimana dikatakan rekayasa, teknik) menghasilkan ide, sistem,
Ghiselin (1960), proses kreatif adalah ... prinsip, bentuk atau pola-pola baru
proses perubahan, pengembangan, evolusi (Csikszentmihalyi, 1997:28).
di dalam organisasi kehidupan subjektif

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 254


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

Domain sangat menentukan dapat membuat sebuah sumbangan kreatif, tidak


tumbuh atau tidaknya kreativitas di dalam akan ada juga karya kreatif. Pribadi kreatif
sebuah masyarakat. Tiga dimensi domain adalah pribadi cerdas (smart), terbuka,
perlu dipertimbangkan di sini, yaitu mempunyai spirit bermain (playfulness),
kejelasan struktur, sentralitas di dalam disiplin, penuh imajinasi dan fantasi,
kebudayaan, dan aksesibilitas mempunyai rasa kebanggaan, memiliki
(accessibility). Misalnya, di dalam sebuah semangat pemberontak, penuh gairah,
negara yang mempunyai struktur sains dan mempunyai sikap keterbukaan dan
teknologi yang jelas dan sistematik; yang di sensitivitas, mencintai apa yang mereka
dalam struktur sosial, ekonomi, politik dan kerjakan (Csikszentmihalyi, 1997:51-76),
kulturalnya inovasi sains dan teknologi memiliki ciri spontan dan iseng
dihargai tinggi; dan yang di dalamnya (unusualness) (Tabrani, 2006:243-259).
wadah untuk berinovasi dijamin oleh Di samping domain, medan dan
negara, peluang bagi tumbuhnya inovasi individu, kondisi lingkungan, dalam
sains dan teknologi lebih besar berbagai kasus, ikut mendorong impluls
dibandingkan negara yang mempunyai kreativitas. Kondisi yang genting, suasana
kondisi sebaliknya. Di dalam sebuah kacau, krisis multidisiplin, kondisi perang,
perusahaan tempat pengetahuan distruktur- konflik, suasana penuh teror semestinya
kan secara lebih baik, dianggap berperan merupakan kondisi yang menjadikan pribadi
penting dan lebih mudah diakses, peluang kreatif terdorong untuk berbuat sesuatu,
bagi tumbuhnya inovasi lebih terbuka. untuk menemukan solusi-solusi, menawar-
Kualitas medan atau penghuni kan gagasan pemecahan, menghasilkan ide
domain juga mempengaruhi kadar segar, dan terobosan baru. Bila kondisi
kreativitas. Pertama, apakah medan itu krisis tidak mampu menghasilkan ide segar,
reaktif atau proaktif, medan reaktif tidak terobosan baru, dan pemecahan masalah, ini
mendorong kreativitas, sebaliknya medan menunjukkan tidak adanya pribadi kreatif
proaktif mendorongnya. Kedua, apakah dan budaya kreatif. Pribadi kreatif adalah
medan mempunyai saringan ketat atau pribadi yang mempunyai persiapan diri dan
longgar dalam menyaring kebaruan. mental lebih baik untuk menghadapi kondisi
Medan konservatif bersifat sangat krisis yang mengancam keberlanjutan
membatasi (restrictive) dengan hanya mereka.
meloloskan sedikit kebaruan dan inovasi
sehingga tempo perubahannya lambat dan
frekuensi inovasinya rendah; sebaliknya KREATIVITAS DAN MENTALITAS
medan liberal bersifat afirmatif MINIMALIS
(affirmative) dengan menerima ide baru apa
pun ke dalam domainnya sehingga tempo Pertumbuhan kreativitas tidak dapat
perubahannya tinggi dan dinamika dilepaskan dari mentalitas. Ada tipe
inovasinya sangat cepat. Ketiga, apakah mentalitas yang mendorong tumbuhnya
medan menjalin relasi yang baik dan akrab kreativitas, dan sebaliknya ada yang
dengan sistem sosial lainnya atau sebaliknya menghambatnya. Dalam hal ini, kita dapat
bersifat tertutup sama sekali. berbicara mengenai mentalitas kolektif
Meskipun domain dan medan sudah (collective mentality), yaitu mentalitas pada
mendukung, kreativitas tetap tidak dapat umunya anggota sebuah komunitas atau
tumbuh, bila tidak ada pribadi kreatif, masyarakat. Meskipun domain dan medan
yaitu pribadi yang pikiran atau tindaknya sangat mendukung tumbuhnya kreativitas,
mampu memproduksi ide baru atau inovasi. tetapi bila sifat mentalitas rata-rata anggota
Sebuah sistem yang strukturnya mendukung masyarakat tidak mendukung bagi
kreativitas, tetapi tidak ada orang yang pertumbuhan itu, kecil kemungkinan ide
mempunyai keinginan atau motivasi untuk baru dan inovasi dapat dihasilkan.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 255


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

Meskipun tidak secara langsung dunia kehidupan, meskipun kondisi diri dan
dikaitkan dengan kreativitas, Koentjaraning- lingkungan tidak mendukung, orang
rat (1992) menjelaskan beberapa sifat melakukan tindak yang minimalis. Pribadi
mentalitas, yang menghambat kreativitas minimalis menunjukkan ekspresi diri yang
dan kemajuan, yaitu: sifat mentalitas yang minimum, tanpa penghayatan penuh,
meremehkan mutu; sifat mentalitas yang bertindak karena terpaksa, tanpa tang-
suka menerabas; sifat tak percaya kepada gungjawab, tanpa sensibilitas, pengetahuan,
diri sendiri; sifat tak berdisiplin murni; dan wawasan, keterampilan, kecakapan, dan
sifat mentalitas yang suka mengabaikan kompetensi yang diperlukan, yang lebih
tanggungjawab (Koentjaraningrat, 1992:45). merayakan penampakan luar daripada
Mentalitas menerabas mendorong substansi.
setiap orang mencari jalan pintas, seperti Minimalitas domain ditandai oleh
mencontek, membeli gelar, atau mengim- minimalisme dalam berbagai unsur yang
por. Di sini, orang tidak mementingkan membangun pengetahuan, pikiran, institusi,
proses, tetapi hasil akhir. Mentalitas sarana, ide, gagasan, inovasi, dan
meremehkan mutu menggiring orang untuk kreativitas. Aturan tidak jelas, sarana tidak
menghasilkan sesuatu sekadar untuk memadai, peluang tidak dibuka, orang tanpa
memenuhi target kuantitas, formalitas, dan gairah, komunitas tak antusias, pasar tak
prestise. Mentalitas tak percaya diri bergairah adalah tanda-tanda dari kondisi
mendorong orang untuk bersikap reaktif, minimalitas itu. Minimalitas medan
me too, follower, peniru, imitator, dan tidak ditandai oleh lemahnya dorongan dari
berani menghadapi risiko. komunitas bagi penciptaaan ide-ide baru
Ada kondisi baik domain, medan, dan inovasi. Misalnya, perusahaan yang
individu, maupun mentalitas berada pada terbiasa meniru, mengopi bahkan membajak
kadar paling rendah dan minim, sehingga produk luar negeri, tidak menimbulkan
tidak menyisakan ruang bagi tumbuhnya iklim yang bergairah bagi penemuan ide
semangat kreativitas, tak ada ide besar yang baru dan inovasi. Minimalitas aktor
diproduksi, tak ada produk baru yang ditandai oleh pribadi dengan pandangan
dibuat, tak ada terobosan baru yang hidup yang sekadar bertahan hidup.
ditawarkan dan tak ada nilai baru yang Pengetahuan direduksi untuk kebutuhan
dihasilkan. Inilah yang disebut kondisi teknis, praktis, dan pragmatis, seperti untuk
minimalisme kreativitas (creativity sekadar dapat ijazah, sekadar kebutuhan
minimalism) atau kreativitas minimalis komersial, dan tidak mampu mengem-
(minimalist creativity). Bukan tidak ada ide, bangkan kepentingan yang lebih tinggi,
melainkan ide itu dikerjakan dengan pikiran seperti kepentingan menciptakan budaya
yang minimal, dengan kualitas seadanya, kreatif.
dengan motivasi sekadarnya, dan dengan Manusia minimalis, sebagaimana
ekspresi sekenanya. Orang merasa cepat dikatakan Marcuse (1972) adalah manusia
puas, tak perlu kerja keras, dan tak ada satu dimensi (one dimensional man), yang
dorongan berbuat terbaik. mengembangkan pengetahuan sekadar
Lasch (1984) menggunakan istilah untuk memenuhi tujuan-tujuan praktis,
minimalisme secara lebih longgar, untuk seperti memperkaya diri, mengendalikan
menjelaskan berbagai fenomena psikis atau produksi, dan meningkatkan kapital
sosial, yang berkaitan dengan keadaan di (Marcuse, 1972:130), mencari keuntungan
dalam diri seseorang atau kelompok sosial, materi jangka pendek, menghabiskan
yang mengalami keadaan diri minimal anggaran, mencari sambilan tambahan
(minimal self), yaitu diri yang terjerat di hidup. Pengembangan pengetahuan tidak
dalam semacam minimalisme perspektif, disertai visi jauh ke depan, untuk mencapai
visi dan motivasi (Lasch, 1984:19). Agar sebuah tujuan besar, ideal atau utopia
sekadar dapat survive dan eksis di dalam tertentu, melalui sebuah pencarian

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 256


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

pengetahuan yang sistematis, terstruktur, mengerti dan saling curiga, yang justru
konsisten dan berdisiplin. Tanpa visi besar merugikan bagi pembangunan budaya
itu, pengembangan pengetahuan menjadi kreatif (Snow, 1963).
sangat parsial, sektoral atau fragmentaris, Minimalisme dialog dan interaksi ini
dengan ekspresi yang minimal yang satu dilukiskan oleh Richard P. Brennan
sama lain tidak saling berkaitan dalam (1990:xii) sebagai sebuah situasi, yang di
mendukung sebuah konsep, ide, atau dalamnya ilmuwan tidak melek seni (art
gagasan besar tertentu. literacy) dan sebaliknya para sastrawan dan
Csikszentmihalyi (1993) menjelas- seniman tidak melek ilmiah (scientific
kan domain tak sehat pada tingkat psikis literacy). Ketertutupan dan kesalingcurigaan
sebagai domain yang ditumbuhi oleh di antara kedua belah pihak, telah
parasit merusak. Parasit adalah seseorang mempersempit wawasan dan imajinasi.
yang menghisap energi psikis orang lain . . . Imajinasinya terkungkung di dalam ruang,
yang mengambil sari pati energi dari orang bahasa, istilah, dan konsep-konsep yang
yang lebih memiliki kuasa (Csikszent- menjadi spesialisasinya masing-masing,
mihalyi, 1993:105). Parasit pikiran adalah dan tak mampu memperluasnya ke dalam
pikiran yang menumpang hidup pada domain lebih luas. Padahal kreativitas
pikiran orang lain, yang mempunyai nama, menuntut adanya ruang yang di dalamnya
kekuatan, karisma, atau popularitas. Ia imajinasi dan fantasi-fantasi dapat tumbuh
mempunyai ketergantungan tinggi pada dengan liar dan dinamis.
pikiran besar para pemikir besar: banyak
mengutip pandangannya, menggunakan Berdasarkan problem yang dihadapi-
istilahnya, atau meniru gayanya melalui nya, ada dua model berpikir yang saling
mimicry. Orang yang hidup sebagai parasit, mendukung. Pertama, model kotak hitam
tidak dapat menghidupi rumah (black box), yang melaluinya dapat
kreativitasnya, karena ketidakmampuannya dihasilkan loncatan kreatif (creative leap).
mencari makanan dan gizi bagi kreativitas Kedua, model kotak kaca (glass box),
sehingga tak mampu menghasilkan ide yang di dalamnya berlangsung sebuah
kreatif. proses rasional. Meskipun berbeda karakter,
Salah satu penyebab minimalisme cara berpikir black box dan glass box adalah
domain adalah berbagai bentuk dua cara berpikir yang saling mendukung
ketertutupan, kekakuan, sektarianisme yang satu sama lainnya, bukan dua kutub yang
berkembang di dalam sebuah domain, yang saling bertentangan. Beberapa ahli seperti
menyebabkan tertutupnya kerja sama, Newman berpendapat, bahwa otak adalah
dialog, kemitraan, atau saling pemahaman sebuah jaringan variabel yang mengubah
bersama di antara domain, disiplin, atau polanya berdasarkan masukan yang
bidang. Sebuah domain memandang curiga, diterimanya dari dunia luar. Berdasarkan
tak percaya, tak respek, tak apresiatif teori ini, loncatan pemahaman (leap of
bahkan memandang rendah domain lainnya, insight) dapat dihasilkan ketika pikiran di
sehingga menutup pintu bagi pertukaran dalam ketakberaturan atau di dalam
yang saling menguntungkan (mutual kegelapan kabutnya secara cepat mampu
exchange) di antara mereka, seperti yang mengubah strukturnya, berdasarkan sebuah
kerap terjadi antara ilmu pengetahuan alam masukan internal maupun eksternal, se-
(science) dan seni, sastra atau humaniora. hingga menghasilkan Eureka! (Christopher,
C.P. Snow (1963) menyebut pemisahan 1970:47). Kotak hitam adalah cara
besar ini sebagai kecenderungan dua berpikir yang secara aktif masuk ke dalam
budaya (two culture), yang di dalamnya kabut-kabut pikiran, akan tetapi mampu
ada benteng kokoh yang dibangun di menguak kabut-kabut itu, untuk
antara bidang sains dan seni atau sastra, menghasilkan ide cemerlang. Memasuki
yang di dalamnya mereka tidak saling mau kotak hitampikiran berarti memasuki

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 257


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

sebuah ruang pikiran, yang di dalamnya berpikir kotak kaca adalah cara berpikir
bersemayam ketakpastian, ketakberaturan, rasional yang untuk mencapai optimasi
keacakan, dan turbulensi. Akan tetapi, outputnya, membersihkan dirinya dari
loncatan pemahaman justru dihasilkan di segala kabut pikiran, baik yang berasal
dalam lubang hitam itu, bila kabut di dalam dari perasaan dan kehendak manusia.
pikiran bisa dikendalikan. Loncatan pema- Sebagaimana dijelaskan di atas, cara
haman semacam inilah yang biasa dihasil- berpikir black box dan glass box adalah dua
kan oleh seorang seniman besar, desainer, cara berpikir yang saling mendukung secara
arsitek, atau penemu (inventor)para mutual. Artinya, ada masalah-masalah yang
penghasil ide cemerlang, dengan hanya dapat diselesaikan melalui model
menemukan order di dalam disorder. kotak hitam (kreativitas, pemecahan baru,
Akan tetapi, dunia disorder ini tidak ide orisinal), ada pula yang hanya dapat
hanya dunia seniman. Filsuf dan para diselesaikan melalui kotak kaca (optimasi,
ilmuwan juga dapat memasuki lubang hitam kalkulasi, kuantifikasi). Akan tetapi, ada
chaos yang sama, untuk menghasilkan masalah tertentu yang memerlukan
pemikiran-pemikiran orisinil dan kombinasi kedua cara berpikir ini.
cemerlang. Tugas utama pemikir di dalam Memaksakan model kotak kaca untuk
kotak hitam pikiran adalah mengubah memecahkan masalah yang menuntut
gagasan-gagasan yang acak dan chaotic ke kreativitas tinggi berarti melakukan sebuah
dalam pola-pola yang koheren (Christopher, pembingkaian pikiran (framing of mind),
1970:48). Mengubah kabut gelap menjadi yang melalui pikirannya diaktifkan secara
sinar terang ide dan gagasan cemerlang. parsial (misalnya nalar semata, rasa semata,
Bila tidak ada lagi benteng tinggi yang dst.) sehingga menghasilkan pegetahuan
memisahkan antara seniman dan parsial, seperti pengetahuan rasional.
ilmuwan, maka tidak saja seorang ilmu-
wan mampu berkomunikasi, memahami, Minimalisme Pikiran dan Epistemologis
dan mengapresiasi karya-karya seniman,
tetapi ia dapat menggunakan paradigma Bila epistemologi dapat diartikan
seni di dalam bagian-bagian tertentu sebagai cara pengetahuan itu dikembang-
karyanya. Dalam pengertian, bahwa cara kan, cara tersebut tentunya tidak dapat
berpikir kotak hitam yang menghargai dipisahkan dari skema tujuan, kondisi
ketakberaturan (chaos) dapat menjadi lingkungan, infrastruktur, keadaan mental,
bagian dari proses ilmiah itu sendiri. dan cara berpikir orang yang memakainya,
Artinya, ilmuwan berani masuk ke dalam yang memungkinkan kemajuan pengeta-
dunia ketakberaturan pikiran (disorder) huan. Dalam domain epistemologi yang
dalam rangka menemukan keberaturan lebih melingkupi ini, kita dapat berbicara
(order) darinya, sebagaimana yang tentang kualitas pikiran (quality of mind),
umumnya dilakukan oleh seniman. berdasarkan kualitas cara, kondisi dan
Cara berpikir kotak kaca adalah cara keadaan pikiran, cara mengelola kabut-
berpikir sistematik, rasional, dan terukur, kabut pikiran, dalam membangun
seperti cara kerja komputer, misalnya pengetahuan. Cara mengetahui (epistemo-
sebuah masalah yang dihadapi diselesaikan logi) dan pengetahuan yang dihasilkan,
hanya berdasarkan informasi yang tersedia sebagaimana dikatakan Archie J. Bahm
padanya, yang di dalamnya ilmuwan (1995:1) dalam Epistemology: Theory of
mengikuti sepenuhnya tahap dan siklus Knowledge, tidak dapat dilepaskan dari
analisis, sintesis, dan evaluasi secara sebab (cause) dan kondisi (condition)
terencana, untuk sampai pada solusi pengetahuan itu dikembangkan, termasuk
optimum dari semua kemungkinan solusi. kondisi pikiran dan mental. Meskipun agak
Optimalitas merupakan produk dari model janggal berbicara tentang kualitas pikiran,
kotak kaca (Christopher, 1970:50). Cara akan tetapi kondisi-kondisi internal pikiran

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 258


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

dan kondisi eksternal (lingkungan, institusi, membangun ruang pengetahuan itu sendiri,
infrastruktur) mempengaruhi kualitas pe- yang meliputi subjek, pikiran, institusi,
ngetahuan. Minimalisme pikiran akan sarana, ide, gagasan, inovasi dan kreativitas
menggiring pada minimalisme pengeta- yang terlibat di dalamnya. Minimalisme
huan. yang disebabkan kualitas subjek dan kabut-
Dalam hal ini, ada dua titik ekstrem kabut pikirannya disebut sebagai
dalam pikiran, dilihat dari kualitasnya minimalisme pikiran, yaitu pikiran dan
dalam membangun pengetahuan, yaitu kesadaran yang tidak mampu
maksimalisme pikiran (maximalism of mengekspresikan dirinya secara maksimal.
mind)yaitu ketika pikiran dan kesadaran Minimalisme pikiran (minimalism of
bekerja dalam kondisi yang maksimal, mind) dalam membangun pengetahuan,
dalam pengertian mampu menggerakkan disebabkan pandangan dan perspektif
secara maksimal semua kapasitas pikiran dikuasai oleh strategi bertahan hidup par
(nalar, rasa, dan kehendak) dan semua excellence (Lasch, 1984:19). Habermas,
model-modelnya (black box dan glass box), menjelaskan pengetahuan minimalis ini
mampu mengelola kabut-kabut pikiran, sebagai pengetahuan yang dibingkai di
mampu mengelola parasit pikiran sehingga dalam kepentingan konstitusi pengetahuan
mampu menghasilkan pengetahuan kompre- yang bersifat teknis dan praktis (technical
hensif, holistik, kreatif, dan inovatif. Pada or practical knowledge-constitutive inte-
titik ekstrem lain adalah minimalisme rest), seperti pengetahuan sekedar untuk
pikiran (minimalism of mind)yaitu ketika sekedar mengejar target pertumbuhan
pikiran tidak mampu memaksimalkan ekonomi atau persaingan militer dan tidak
semua potensi dan kapasitasya, tidak mampu mengembangkan kepentingan yang
mampu mengelola kabut-kabut pikiran dan lebih tinggi, seperti kepentingan kognitif
terjerat di dalam kekacauan dan turbulensi- pembebasan (emancipatory cognitive inte-
nya, sehingga pengetahuan tidak dapat rest), yaitu pengetahuan sebagai pembe-
berkembang secara maksimal, dan hanya basan (Habermas, 1972 : 301-317).
mampu menghasilkan pengetahuan parsial, Herbert Marcuse menjelaskan
seperti pengetahuan rasional. manusia minimalis sebagai manusia satu
Christopher Lasch (1984) di dalam dimensi (one dimensional man), yang
The Minimal Self menggunakan istilah mengembangkan pengetahuan rasional
minimalisme untuk menjelaskan berbagai sekadar untuk menjadi pelayan bagi tujuan-
fenomena psikis, sosial maupun politik, tujuan praktis, seperti memperkaya diri,
yang dicirikan oleh mentalitas survival. mengendalikan produksi, dan meningkatkan
Istilah ini berkaitan dengan keadaan psikis kapital (Marcuse, 1972 :130). Ilmuan
pada diri seseorang atau kelompok sosial, minimalis adalah ilmuan yang mengem-
yang mengalami keadaan diri minimal bangkan pengetahuan, yang lebih didorong
(minimal self), yaitu diri yang terjerat di oleh keuntungan materi jangka pendek,
dalam semacam minimalisme perspektif menghabiskan anggaran, mencari tambahan
dan visi (Christopher, 1984 : 19). hidup, atau lebih parah lagi sebagai tempat
Dorongan hasrat yang sangat kuat untuk menggantungkan hidup. Pengembangan
tetap survive dan eksis di dalam dunia pengetahuan tidak mampu dibingkai oleh
kehidupan (akademis, pemikiran, intelek- sebuah visi jauh ke depan, untuk mencapai
tual)meskipun kondisi diri dan ling- sebuah tujuan besar, ideal atau utopia
kungan tidak mendukungtelah meme- tertentu di masa depan, melalui sebuah
rangkap diri dalam kondisi minimalisme pencarian pengetahuan yang sistematis,
perspektif, pandangan dan wawasan. terstruktur, konsisten, dan berdisiplin.
Minimalisme pengetahuan (minima- Akibat tidak adanya visi besar ke depan ini,
lism of knowledge) dapat dijelaskan sebagai pengembangan pengetahuan bersifat sangat
minimalisme dalam berbagai unsur yang parsial, sektroal, atau terfragmentasi

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 259


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

menjadi fragmen-fragmen pengetahuan menemukan konflik budaya berpikir ini


(dengan ekspresi yang minimal), yang satu tidak hanya terjadi di antara dunia ilmu
sama lain tidak saling berkaitan dalam pengetahuan alam dan sastra, tetapi juga
mendukung sebuah konsep, ide, atau konflik antara ilmu pengetahuan ilmiah
gagasan besar tertentu. versus pengetahuan agama, pengetahuan
ilmiah versus pengetahuan ontologis.
Budaya Sains dan Teknologi Baru Baik pengetahuan agama, ontologis maupun
seni mempunyai kebenaran masing-
Salah satu bentuk kabut pikiran yang masing yang tidak dapat disamakan dengan
menyelimuti para intelektual dan ilmuwan kebenaran pengetahuan ilmiah (Joesoef,
adalah kabut pemisahan besar (great tanpa tahun). Akan tetapi, dalam konteks
divide) di antara dua tradisi pengetahuan, perbincangan tentang kabut pikiran di
yaitu antara tradisi ilmu pengetahuan alam dalam tulisan ini, tiga konflik pengetahuan
(science) dan tradisi seni, sastra, atau sebagaimana digambarkan Daoed Joesoef
humaniora pada umumnya (humanity). C.P. dapat diredusir menjadi konflik antara dua
Snow di dalam The Two Cultures, budaya berpikir, yaitu budaya ilmiah dan
menyebut pemisahan besar ini sebagai budaya nonilmiah (yang mencakup di
kecenderungan dua budaya (two culture), dalamnya pengetahuan agama, ontologis,
yang di dalamnya ilmuwan membuat dua seni, dan humaniora)
benteng kokoh yang memisahkan dunia Kecenderungan dua budaya berpikir
ilmu pengetahuan dan dunia seni ini di dalam tradisi filsafat modern telah
(humaniora). Kondisi dua budaya menje- menciptakan divergensi pengetahuan,
laskan ilmuwan (teknolog) yang meng- yaitu fragmentasi pengetahuan ke dalam
anggap pikiran seniman (ahli humaniora) kotak-kotak spesialisasi yang steril dari
sebagai pikiran berkabut, dan sebaliknya pengaruh model-model berpikir dan
seniman yang melihat pikiran ilmuan pengetahuan lain. Bersamaan dengan
sebagai pikiran steril (Snow, 1963). pengkotakan pengetahuan itu, dibangun
Richard P. Brennan (1990:xii), di pula ukuran-ukuran tentang apa yang
dalam Levitating Trains & Kamikaze Genes, disebut ilmiah dan rasional sehingga
melukiskan situasi dua budaya ini, yang di sebagaimana dikatakan Laura Nader,
dalamnya ilmuwan tidak melek seni (art pengetahuan agama, pengetahuan seni,
literacy) dan sebaliknya para sastrawan dan pengetahuan etnis, local knowledge tidak
seniman tidak melek ilmiah (scientific dianggap sebagai pengetahuan ilmiah.
literacy). Kurangnya saling pemahaman John Brockman (1995), dalam The
(mutual understanding) di antara seniman Third Culture: Beyond the Scientific
dan ilmuwan ini telah mempersempit Revolution, menjelaskan budaya berpikir
wawasan dan imajinasinya. Imajinasinya baru, yang di dalamnya benteng tinggi
terkungkung di dalam ruang, bahasa, istilah, yang memisahkan antara dunia ilmuan,
dan konsep-konsep yang menjadi spesia- dunia seni, dunia makna dan dunia
lisasinya, dan tidak mampu memperluasnya ketuhanan diruntuhkan, melalui apa yang
ke dalam ruang-ruang yang lebih lebar. disebutnya kekuatan komunikasi. Bila di
Dengan demikian, seorang seniman tidak dalam kondisi pengetahuan konvensional
mampu mengimajinasikan konsep-konsep (dua budaya), para intelektual sastra tidak
seperti fraktal, superstring, biodiversitas, mau memahami, berkomuniaksi dan
nanoteknologi atau chaos. Sebaliknya, mengapresiasi kaum ilmuan, dan sebalik-
seorang ilmuan tidak mampu mengimaji- nya, kini dibentuk sebuah ruang komuniaksi
nasikan apa yang dimaksud oleh seorang aktif di antara mereka. Selain itu, bila dalam
seniman di dalam lukisannya sebagai relasi konvensional, para ilmuan tidak mau
makna, keindahan, keseimbangan, berkomunikasi langsung dengan masyarakat
kedalaman, atau sublimasi. Daoed Joesoef atau publik, dan fungsi komunikasi ini

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 260


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

diperankan oleh semacam middleman Cara berpikir gelas kaca adalah cara
(seperti wartawan atau penulis ilmu berpikir dominan para ilmuwan modern,
pengetahuan populer), kini di dalam buda- yang di dalam menyelesaikan sebuah
ya ketiga, para ilmuan berkomunikasi masalah, ia mengikuti sepenuhnya tahap
langsung dengan publik, dengan memasuki analisis, sintesis dan evaluasi, untuk
ruang publik pengetahuan itu sendiri, menghasilkan pengetahuan sistematis,
sehingga berbagai terminologi ilmiah optimum dan rasional. Akan tetapi, tidak
seperti biologi molekul, kecerdasan semua pengetahuan dapat dihasilkan
artifisial, artificial life, teori chaos, massive melalui prosedur gelas kaca bening itu.
parallelism, fraktal, kompleksitas, super- Pengetahuan seni (baca kreativitas seni),
string, theory of everything, biodiversitas, misalnya, banyak dihasilkan justru dengan
nanoteknologi, human genome, hipotesis menolak sistematika atau prosedur ilmiah
Gaia, realitas virtual, cyberspace, kini dapat itu, untuk memasuki sebuah dunia black
menjadi milik publik (Brockman, 1995 : box, entropi, noise, turbulensi, chaos yang
19). Berbagai pemikir telah menawarkan di dalamnya imaji, ide, dan gagasan
budaya berpikir baru ini, seperti budaya bergerak, bercampuraduk dan tumpang-
berpikir holistik, yang diusulkan oleh tindih secara acak, untuk kemudian secara
pemikir-pemikir seperti Fritjof Capra dan alamiah mengkristal menjadi sebuah
Willis W.Harman, melalui dunia dilihat iluminasi ide kreatif, melalui rangkaian
sebagai sebuah keseluruhan, keutuhan, dan proses kreatif, yang disebut penghayatan,
kesalingberkaitan, yang di dalamnya pengendapan, dan ekspresi yang dapat
bagian (each) merupakan bagian, dan menghasilkan wujud-wujud yang memiliki
saling bersentuhan dengan keseluruhan pola dan keteraturan (oder). Metode untuk
(Whole), dan di antara keseluruhan itu, menghasilkan order dari disorder inilah
manusia tidak lagi menjadi pusat dunia yang disebut abduksi (abduction), yaitu cara
(antroposentrisme), tetapi sebaliknya menghasilkan pengetahuan dengan mem-
menjadi bagian dari alam spiritual lebih biarkan pikiran bergerak di dalam kabut-
tinggi (higher spiritual nature), yang kabut pikiran atau di dalam dataran chaos
dengan merusak bagiannya berarti merusak (the brink of chaos), untuk melalui
keseluruhan itu sendiri (Capra, 1997 dan pengendapan menemukan sebuah ilumi-
Harman, 1996: 445-447). nasi atau order. Abduksi memungkinkan
Budaya berpikir baru ini memer- seseorang menangkap keseluruhan ide
lukan revolusi cara berpikir, dengan mem- secara holistik, batapapun kabur atau
balikkan cara berpikir divergensi-partiku- berkabutnya ide tersebut (Tabrani, 2006).
laristik Cartesian ke arah cara beripikir Ketiga, dari two culture menuju
konvergensi-holistik, yang melihat bagian- third culture. Benteng-benteng tinggi yang
bagian dari kacamata keseluruhan. selama ini memisahkan antara pengetahuan
Sebagaimana dikemukakan James Ogilvy, ilmiah, pengetahuan seni, pengetahuan
revolusi cara berpikir holistik adalah agama, pengetahuan lokal, dan
pandangan, bahwa keseluruhan (whole) pengetahuan implisit lainnya (tacit
menentukan bagian-bagian (parts), knowledge) kini tidak dapat dipertahankan
ketimbang bagian-bagianmelalui sifat- lagi. Benteng-benteng epistemologis itu
sifat intrinsiknyamenentukan keseluruhan selama ini telah mempersempit ruang gerak
(James, 1996 : 51). pikiran dalam pencarian pengetahuan,
Kedua, dari glass box menuju black sehingga orang hanya hidup di dalam
box. Cara kerja seniman yang acak, main- sebuah ruang eksklusif pikiran, yang selalu
main, iseng, irasional, nyentrik dilindungi agar steril dari pengaruh atau
hendaknya tidak manjadi bahan tertawaan, ancaman model-model pikiran lain dan di
tetapi perlu dipahami, diapresiasi dan sana ia menemukan rasa aman ontologis
dihargai sebagai sebuah epistemologi. (ontological security). Akan tetapi, rasa

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 261


Budaya Teknologi di Indonesia : Kendala dan Peluang Masa Depan

aman ontologis itu adalah palsu yang justru


menjadi kabut penutup dan pembatas Flow and the Psychology of Discovery and
wawasaninilah logika two culture. Invention. New York: Harper Perennial.
Dekonstruksi batas-batas epistemologis Ghiselin, Bewster. 1960. The Creative
yang kaku itu diharapkan dapat mencipta- Process. New York: A Mentor Books.
kan sebuah budaya berpikir yang lebih cair, Habermas, Jurgen. 1972. Knowledge and
Human Interests. London : Heinemann.
dinamis dan produktif. Akan tetapi, Harman, Willis W. 1996. Holistic Beliefs,
pembongkaran batas itu hendaknya tidak dalam George Thomas Kurian,
diartikan sebagai lenyapnya batas-batas Encyclopedia of the Future. MacMillan.
disiplin yang mengarah pada anarkisme
dan relativisme epistemologis yang Heidegger, Martin. 1971. The Question
radikal, yang di dalamnya orang dapat Concerning Technology, dalam Basic
berbuat apa saja (anything goes), tanpa ada Writings. San Francisco : Harper
norma-norma yang mengatur. Dekonstruksi Henderson, Hazel. 1991. Paradigms in
batas-batas epistemologis itu lebih tepat Progress: Life Beyond Economics.
dilihat sebagai peluang bagi para pemikir Knowledge System.
untuk menjadikan pikirannya lebih terbuka, Holt, Knut. 1983. Product Innovation
Anagement. London: Butterworths.
lentur dan inklusif, sehingga ia mampu
Joesoef, Daoed. 1995. Mencari
hidup di dunia antara (in between), dan
Pemahaman Melalui Pengetahuan,
mengembangkan pengetahuan baru di
makalah (tanpa tahun).
dalamnya: di antara ilmu pengetahuan dan Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan,
seni, di antara black box dan glass box, di Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.
antara order dan disorder, di antara nalar Gramedia Pustaka Utama.
dan rasa. Di dalam dunia antara itulah Lasch, Christopher. 1984. The Minimal Self:
seseorang mempunyai cukup keberanian Psychic Survival in Troubled Times.
memasuki kabut-kabut pikiran atau London : Picador.
disorder, dan mampu mengelolanya, dalam Marcuse, Herbert.1972. One Dimensional Man.
rangka menghasilkan pengetahuan baru. Abacus.
Naisbitt, John Naisbitt. 1999. High-Tech High-
Touch: Technology and Our Search for
Meaning. Broadway Books.
Oglivy, James Oglivy. 1996. Future Studies
and the Human Sciences, dalam Richard
DAFTAR PUSTAKA
A.Slaughter (ed), New Thinking for a New
Millenium. Routledge.
Bahm, Archie J. 1995. Epistemology: Theory of
Knowledge. World Books. Snow, C.P. 1963. The Two Cultures,
Brennan, Richard P. 1990. Levitating Trains Cambridge : Cambridge University
& Kamikaze Genes. San Francisco : Press.
Tabrani, Primadi. 2006. Kreativitas &
Harper Perennial.
Humanitas: Sebuah Studi Tentang Peranan
Brockman, John Brockman. 1995. The Kreativitas alam Perikehidupan Manusia .
Third Culture: Beyond the Scientific Yogyakarta : Jalasutra.
Revolution. Simon & Schuster. Tough, Allen Tough. 1996. Developing
Caplan, David. 1972. Culture Theory. New Knowledge in Future Studies dalam Richard
Jersey : Prentice Hall Inc. Slaughter (ed) New Thinking for a New
Capra, Fritjof. 1997. Titik Balik Peradaban: Millenium. Routledge.
Sains, Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan, (terjemahan). Yogyakarta :
Bentang Budaya.
Christopher, John. 1970. Design Method: Seeds
of Human Future. Wiley Interscience.
Csikszentmihalyi, Mihaly. 1997. Creativity:

Jurnal Sosioteknologi Edisi 28 Tahun 12, April 2013 262

Anda mungkin juga menyukai