Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Pasien dengan gejala takikardia memerlukan perhatian medis segera. Meskipun


umumnya percaya bahwa diagnosis yang tepat dari takikardia diperlukan sebelum terapi dimulai,
pengobatan segera biasanya dapat disesuaikan dengan karakteristik respon ventrikel. Dengan
berfokus pada respon ventrikel, kita dapat menentukan takikardia supraventricular klinis relevan
dengan diagnostic dan kelompok terapeutik pada dasar kecepatan onset, denyut jantung, dan
keteraturan takikardia.5
Insiden takikardia supraventricular adalah sekitar 35 kasus per 100.000 orang per tahun,
dan prevalensinya sekitar 2,25 per 1000 (tidak termasuk fibrilasi atrium, atrial flutter, dan
multifokal takikardia atrium).Menurut Clarke dari hasil analisa Takikardi Supraventrikuler
(TSV) pada orang yang terkena berkisar pada umur 16 hingga 65 tahun, dan dari populasi normal
sekitar 12%. Menurut penelitian tentang insidensi menurut Harrison sekitar 18% dan dapat
meningkat berkaitan dengan penambahanusua dan adanya riwayat penyakit jantung. Adapun
menurut literature lainnya TSV memiliki insiden diperkirakan 35 per 100.000 orang-tahun,
dengan prevalensi 2,29 per 1.000 orang. Sinus takikardia, jauh takikardia supraventricular yang
paling umum, bukan aritmia patologis (dengan pengecualian langka yang tidak pantas sinus
takikardia) melainkan merupakan respon jantung yang tepat untuk acara fisiologis. Sinus
takikardia bertahap dalam onset dan resesi.10,1,2
Diagnosis awal dan tatalaksana SVT memberikan hasil yang memuaskan. Keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi akan memperburuk prognosis, mengingat
kemungkinan terjadinya gagal jantung bila TSV berlangsung lebih dari 24-36 jam, baik dengan
kelainan struktural maupun tidak.1,2

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Takikardia supraventikuler (TSV) adalah takikardi memiliki substrat elektrofisilogi


timbul atas berkas His dan menyebabkan denyut jantung melebihi 150 denyut per menit.
Kelainan pada TSV mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi di bagian atas bundel HIS.
Pada kebanyakan TSV mempunyai kompleks QRS normal. Kelainan ini sering terjadi pada
demam, emosi, aktivitas fisik dan gagal jantung.2

2.2 Epidemiologi

Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular yang sering


ditemukan. Prevalensi diperkirakan paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT) dalam
sampel 3,5% dari catatan medis di Marshfield (Wisconsin, USA) Study Area Epidemiologi
(MESA) adalah 2,25 per 1000 (10). Insiden PSVT dalam survei ini adalah 35 per 100 000 orang-
tahun. Kasus TSV sering ditemukan dengan pasien yang memiliki gagal jantung kongestif,
berumur tua, jenis kelamin laki-laki, dan memiliki gambaran radiologis berupa kardiomegali
pada foto toraks.3

2.3 Etiologi
Etiologi dari takikardi supraventricular, yaitu:11
1. Idiopatik, ditemukan hampir setengah jumlah insiden. Tipe idiopatik lebih sering pada
bayi daripada anak.
2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) 10-20% terjadi setelah konversi menjadi sinus
aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan interval PR yang pendek dan
interval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan
ventrikel melalui jaras tambahan.
3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebsteins, single ventricle, L-TGA)
4. Mempunyai penyakit jantung seperti, pericarditis, gagal jantung kongestif
5. Komsumsi kokaine, alcohol, merokok, pneumonia, dan penyakit tiroid
3

2.4 Klasifikasi
Berikut ini adalah jenis takikardia supraventrikular:4
1) SVT yang melibatkan jaringan sinoatrial :
a. Sinus tachycardia
b. Inappropriate sinus tachycardia
c. Sinoatrial node reentrant tachycardia (SANRT)
2) SVT yang melibatkan jaringan atrial :
a. Atrial tachycardia (Unifocal) (AT)
b. Multifocal atrial tachycardia (MAT)
c. Atrial fibrillation
d. Atrial flutter
3) SVT yang melibatkan jaringan nodus atrioventrikular :
a. AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT)
b. AV reentrant tachycardia (AVRT)
c. Junctional ectopic tachycardia

2.5 Diagnosis
Gejala klinis takikardia supraventrikular (SVT) biasanya dibawa karena mendadak
gelisah, bernafas cepat, tampak pucat, muntah-muntah, laju nadi sangat cepat sekitar 200-300
per menit, tidak jarang disertai gagal jantung atau kegagalan sirkulasi yang nyata. Takikardia
supraventrikular pada pasien serangan awal disebabkan oleh sindrom WPW, baik yang
manifes maupun yang tersembunyi (concealed) sering menyebabkan pasien dibawa ke dokter
karena rasa berdebar dan perasaan tidak enak.Gejala lain berupa nyeri dada, diaphoresis,
presinkop ataupun sinkop.2,3
SVT kronik dapat berlangsung selama berminggu-minggu bahkan sampai bertahun-
tahun. Frekuensi denyut nadi yang lebih lambat, berlangsung lebih lama, gejalanya lebih
ringan dan juga lebih dipengaruhi oleh sistem susunana saraf autonom. Sebagian besar pasien
terdapat disfungsi miokard akibat SVT pada saat serangan atau pada SVT sebelumnya.
Gejala klinis lain SVT dapat berupa palpitasi, lightheadness, mudah lelah, pusing, nyeri dada,
nafas pendek dan bahkan penurunan kesadaran. Pasien juga mengeluh lemah, nyeri kepala
dan rasa tidak enak di tenggorokan.3
4

Adapun tanda-tanda sebagai berikut:6,8


(1) AVNRT : gelombang P yang menghilang atau timbul segera setelah kompleks QRS sebagai
pseudo r dalam V1 atau pseudo s dalam lead inferior.
(2) AVRT orthodromik : gelombang P yang mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit
karena adanya konduksi retrograde.
(3) AVRT antidromik : kompleks QRS melebar
(4) Atrial tachycardia : Rasio gelombang P : QRS berkisar 2:1 sampai dengan 4:1

Tabel. Pemeriksaan fisik dan Penunjang2


Pada pemeriksaan EKG dapat dilihat sebagai berikut

Gambar. EKG pada TSV9


5

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan utama untuk setiap SVT adalah lenyapnya, terutama pada pasien
yang berada pada hemodinamik risiko dan tidak bisa mentolerir takiaritmia berkepanjangan.
SVT mungkin jarang dan singkat pada beberapa pasien, sedangkan pada orang lain, itu lebih
sering dan dapat menyebabkan gejala serius seperti presinkop atau sinkop. Di bawah ini
merupakan tatalaksana TSV stabil dan tidak stabil yang dilihat dari keadaan klinis pasien.9

Gambar. Tatalaksana SVT

Pengobatan SVT dapat dibagi menjadi jangka pendek atau manajemen mendesak dan
pengelolaan jangka panjang.Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka panjang.2,3,9
1) Penatalaksanaan jangka pendek
Jangka pendek atau manajemen mendesak TSV dapat dipisahkan menjadi strategi
farmakologis dan nonfarmakologis. Manajemen nonfarmakologis biasanya menggunakan
manuver yang meningkatkan tonus vagus untuk menurunkan denyut jantung. Manajemen
farmakologis biasanya meliputi adenosin intravena (Adenocard) atau verapamil, yang adalah
pilihan pengobatan yang aman dan efektif untuk mengakhiri SVT, tapi verapamil lebih efektif
untuk menekan ritme ini dari waktu ke waktu. Gambar adalah algoritma untuk pengelolaan
jangka pendek SVT. Pasien yang membutuhkan hemodinamik tidak stabil untuk diresusitasi
dengan electrocardioversion untuk menghindari kerusakan lebih lanjut status kardiovaskular.
Jika pasien hemodinamik stabil, kompleks QRS dapat memberikan informasi dalam
pengambilan keputusan. Sebuah kompleks QRS sempit (kurang dari 120 msec) biasanya
menunjukkan SVT, dan manuver Valsalva adalah pilihan yang paling banyak digunakan dan
layak pengobatan pada pasien peringatan. Meskipun penggunaan teknik ini telah diterima dalam
pengaturan rumah sakit, belum dipelajari dalam pengaturan pra-rumah sakit untuk menentukan
6

effectiveness.20 yang vagal manuver merupakan pilihan pengobatan lini pertama yang efektif
untuk SVT pada pasien yang lebih muda yang hemodinamik stabil; mereka juga bisa diagnostik
untuk nodal-dependent TSV.Carotid pijat dapat digunakan sebagai alat diagnostik dan terapeutik;
Namun, itu tidak boleh digunakan pada orang yang mungkin memiliki plak aterosklerosis yang
bisa copot sebagai hasil dari teknik tersebut (yaitu, riwayat penyakit arteri karotis atau karotis
bruit).
Jika metode ini gagal untuk mengakhiri TSV, atau jika TSV segera kembali, terapi
farmakologis digunakan. Tabel menunjukkan direkomendasikan agen untuk pengelolaan jangka
pendek dari TSV. Yang agen dipilih setelah penggunaan manuver vagal dan adenosin tergantung
pada faktor pasien, seperti kontraindikasi (kondisi komorbiditas atau alergi), stabilitas
hemodinamik, atau adanya kompleks QRS lebar

Tabel. Pemilihan medikamentosa pada terapi jangka pendek


7

Gambar 4. Penatalaksanaan Jangka Pendek SVT Algoritma

2) Penanganan Jangka Panjang


Umur pasien dengan SVT digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang SVT. Di
antara yang menunjukkan tanda dan gejala SVT, kurang lebih sepertiganya akan membaik
sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan
mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan
merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.
8

Gambar 5. Algoritma Manajemen Jangka Panjang SVT

a. Medikamentosa
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena
umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan
dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi.
Pasien yang sensitif terhadap pengobatan adenosine dapat diberikan long
acting blocker, yang telah terbukti aman digunakan dan tidak membutuhkan
monitoring spesifik. Pada pasien yang mengalami syok atau sulit untuk dilakukan
kardioversi, dapat diberikan obat-obatan antiaritmia yang lebih kuat, seperti sotalol,
flecainide atau amiodarone yang masing-masing membutuhkan monitoring intensif.
Konsentrasi flecainide dalam darah harus diukur pada pemberian hari ke tujuh untuk
memastikan tidak tercapainya konsentrasi yang bersifat toksik. Pada pemberian
9

sotalol, harus dilakukan monitoring terhadap interval QT. Dosis yang diberikan dapat
diterima jika interval QT mencapai 0,5 detik. Sotalol memiliki beberapa efek
blocker dan harus diperhatikan kemungkinan terjadinya disfungsi miokard.
Digoksin kadang-kadang digunakan sebagai obat tambahan yang
dikombinasikan dengan obat-obatan tersebut. Digoksin tidak diunakan sebagai terapi
tunggal karena dianggap kurang efektif. Penggunaannya juga berpotensi memberikan
resiko terjadinya atrial takikardi di masa mendatang. Penggunaan digoksin
dikontraindikasikan untuk pasien dengan Wolff-Parkinson-White (WPW) karena
meningkatkan sifat konduksi dari jalur aksesori dan merupakan predisposisi untuk
mempercepat terjadinya fibrilasi atrium dan kematian mendadak pada pasien.
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun,
radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang
menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak
mungkin mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau kepatuhannya
kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dapat dilakukan bila SVT
refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada
pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif terhadap pasien
dengan aritmia yang refrakter dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti
takikardi pace maker atau ablasi pembedahan.

Tabel 1. Klasifikasi obat-obatan yang biasa digunakan dalam manajemen takikardi.


Klasifikasi Obat-Obatan
Kelas 1 : Sodium channel blocker Flecainide, propafenone
Kelas 2 : blockers Atenolol, propanolol, esmolol,
nodolol
Kelas 3 : potassium channel Amiodarone, sotalol
blocker
Kelas 4 : calcium channel Verapamil, diltiazem
blocker
10

Tabel. Pemilihan terapi jangka panjang


b. Ablasi Kateter
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan kuratif berupa
ablasi kateter. Ablasi kateter pertama sekali diperkenalkan oleh Gallagher dkk tahun
1982. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus
langsung yang tinggi (high energy direct current) berupa DC Shock menggunakan
kateter elektroda multipolar yang diletakkan di jantung. Karena pemberian energi
dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini
ablasi dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50 watt yang diberikan sekitar
30-60 detik. Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan
frekuensi 500.000 siklus per detik (hertz).
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul pemanasan resistif akibat
agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di bawah kateter ablasi yang menjadi sumber
energi panas, bukan kateter itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme utama
kerusakan jaringan selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu jaringan menyebabkan
denaturasi dan evaporasi cairan yang kemudian menimbulkan kerusakan jaringan
lebih lanjut dan koagulasi jaringan dan darah. Kerusakan jaringan permanen timbul
pada temperatur sekitar 50 derajat celsius.
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan memasukkan kateter
ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya ke jantung kanan) dengan panduan
sinar X. Biasanya prosedur ini bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi.
Selanjutnya kateter ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting dalam
mempertahankan kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan konduksi normal.
11

Bila lokasi yang tepat sudah ditemukan, maka energi radiofrekuensi diberikan melalui
kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan adanya rasa panas tapi kadang-
kadang dapat juga dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pada
pasien, hanya perlu dirawat selama 1 hari bahkan bisa pulang hari.
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama dan frekuensi
takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan toleransi terhadap obat anti
aritmia, dan ada tidaknya kelainan struktur jantung. Untuk SVT yang teratur, banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada obat dalam aspek
peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya daripada obat anti aritmia.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF
pada SVT adalah 90-98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka penyulit
sekitar 1%. ARF dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama dibandingkan dengan
obat-obatan.

c. Pacu Jantung Dan Terapi Bedah


Alat pacu jantung akan segera berfungsi bila terjadi bradikardi hebat. Alat
pacu jantung untuk bayi dan anak yang dapat diprogram secara automatik (automatic
multiprogrammable overdrive pacemaker) akan sangat memudahkan penggunaannya
pada pasien yang memerlukan. Pacu jantung juga dapat dipasang di ventrikel setelah
pemotongan bundel HIS, yaitu pada pasien dengan SVT automatik yang tidak dapat
diatasi. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir setelah tindakan pembedahan
langsung gagal.
Tindakan pembedahan dilakukan pertama kali pada pasien sindrom WPW.
Angka keberhasilannya mencapai 90%. Karena memberikan hasil yang sangat
memuaskan, akhir-akhir ini cara ini lebih disukai daripada pengobatan
medikamentosa. Telah dicoba pula tindakan bedah pada SVT yang disebabkan
mekanisme automatik dengan jalan menghilangkan fokus ektopik secara kriotermik.
Gillete tahun 1983 melaporkan satu kasus dengan fokus ektopik di A-V junctionyang
berhasil diatasi dengan tehnik kriotermi dilanjutkan dengan pemasangann pacu
jantung permanen di ventrikel.
12

Dengan kemajuan di bidang kateter ablasi, tindakan bedah mulai ditinggalkan.


Akan tetapi di beberapa senter kardiologi, kesulitan melakukan ablasi transkateter
dapat diatasi dengan pendekatan bedah dengan menggunakan tehnik kombinasi insisi
dan cryoablation jaringan. Pada saat yang sama adanya residu kelainan hemodinamik
yang menyebabkan hipertensi atrium dan ventrikel dapat dikoreksi sekaligus.

KESIMPULAN
Takikardi supraventricular merupakan kegawatdaruratan dari jantung.
Umumnya terjadi pada umur dari 16 tahun hingga 65 tahun
Penanganan segera perlu dilakukan untuk menstabilkan keadaan umum pasien
13

DAFTAR PUSTAKA
1. Fox JD, Tischenko A, Krahn AD, Skanes AC, Gula LJ, Yee RK, and Klein GJ. 2008.
Supraventricular Tachycardia: Diagnosis and Management. Mayo Clin Proc. 83(12): 1400-11.
2. Colucci RA, Silver MJ, and Do JS. Common types of Supraventricular Tachycardia:
Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 82(8):942-952.
3. ESC. 2003. ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients With
Supraventricular Arrhythmias.
https://www.escardio.org/static_file/Escardio/Guidelines/publications/SVAguidelines-SVA-
FT.pdf. (Diakses pada tanggal 18 Desember 2015).
4. Santoso K. 2003. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
5. Link MS. 2012. Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular Tachycardia. The New
England Journal of Medicine, 367(15): 1438-48.
6. Kantoch MJ. 2011. Supraventricular tachycardia. Indian Journal. 72: 609-19.
7. Manole MD & Saladino RA. 2007. Emergency Department Management of the Pediatric
Patient With Supraventricular Tachycardia. Emergency Care, 23(3): 176-189.
8. Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M., 2011. Supraventricular Tachycardia in the
Primary Care Setting: Agerelated Presentation, Diagnosis, and Management. Journal of
Health Care. 22(5): 289-99.
9. American Heart Association, 2010. Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care: Advanced life support. Circulation, 112: 167-187.
10. Delacretaz E. 2006. Supraventricular Tachycardia. N Engl J Med. 354:1039-51.
11. Davis CP. 2014. Supraventricular Taachycardia.
http://www.emedicinehealth.com/supraventricular_tachycardia. (Diakses pada tanggal 19
Desember 2015).

Anda mungkin juga menyukai