Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA

Kehamilan Kembar
Kehamilan kembar ini penting untuk dibicarakan karena beberapa sebab :
1. Tingginya angka mortalitas dan morbiditas sebagian besar dihubungkan dengan
prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, malformasi janin dan sindroma twin-twin
transfusi. Penelitian Scotland menyatakan bahwa angka kejadian mortalitas pada hamil
kembar 6x lebih sering dibandingkan hamil tunggal.

2. Faktor resiko dari semua komplikasi kehamilan pada hamil kembar lebih besar
dibandingkan hamil tunggal.

Peningkatan jumlah kembar akhir-akhir ini disebabkan meningkatnya penggunaan obat-


obatan pemicu ovulasi

A. Definisi
Kehamilan kembar atau kehamilan multipel ialah suatu kehamilan dengan dua janin atau
lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan ganda/ gemelli (2 janin), triplet ( 3 janin ),
kuadruplet ( 4 janin ), Quintiplet ( 5 janin ) dan seterusnya dengan frekuensi kejadian yang
semakin jarang.
B. Insidensi

Greulich (1930) melaporkan frekuensi kehamilan kembar pada 121 juta persalinan
sebagai berikut : gemelli 1 : 85, triplet 1 : 7.629, kuadrupet 1 : 670.743, dan quintiplet 1 :
41.600.000. angka tersebut kira-kira sesuai dengan hukum Hellin yang menyatakan bahwa
perbandingan antara kehamilan kembar dan tunggal adalah 1 : 89. Untuk triplet 1 : 89 2, untuk
kuadruplet 1 : 893, quintuplet 1 : 894, dan sextuplet 1 : 895. Prawirohardjo (1948)
mengumumkan diantara 16.288 persalinan terdapat 197 persalinan gamelli dn 6 persalinan
triplet.

C. Faktor yang mempengaruhi

1. Ras
Frekuensi kehamilan multipel bervariasi pada setiap ras. Insidensi kehamilan multipel
berdasarkan ras yaitu 1 kehamilan multipel setiap 100 kehamilan pada wanita kulit
putih, sedangkan 1 pada setiap 80 kehamilan pada wanita kulit hitam. Hasil survei
pada salah satu komunitas di Nigeria menunjukkan kehamilan multipel terjadi setiap
20 kehamilan. Perbedaan ini mungkin merupakan akibat variasi ras terhadap tingkat
follicle-stimulating hormone (FSH).

1
2. Umur
Frekuensi pembentukan kembar meningkat dari saat pubertas, yaitu saat aktivitas
ovarium minimal, hingga puncaknya pada usia 37 40 tahun, saat terjadi stimulasi
maksimal hormon yang meningkatkan angka ovulasi ganda, yaitu peningkatan dari
kadar Follicle stimulating hormon (FSH) di dalam serum. Setelah umur 40 tahun
frekuensi kehamilan kembar kembali menurun, ini kemungkinan disebabkan karena
habisnya folikel de Graaf.
3. Paritas
Frekuensi kehamilan kembar juga meningkat dengan paritas ibu. Pada primipara 9,8
per 1000 persalinan dan naik menjadi 18,9 per 1000 untuk persalinan multipara
(oktipara).
4. Herediter
Pada kehamilan multipel, riwayat dari keluarga ibu lebih penting daripada ayah.
Penelitian menurut Cunningham F, terhadap suatu komunitas menemukan bahwa
wanita yang merupakan kembar dizigotik melahirkan anak kembar 1 kali per 58
kelahiran. Sedangkan wanita yang bukan anak kembar tetapi bersuami yang
merupakan kembar dizigotik melahirkan anak kembar 1 kali per 116 kehamilan. Hal
ini disebabkan oleh pelepasan ovum multipel pada wanita sifatnya diturunkan.1

5. Pituitary Gonadotropin

Faktor yang menghubungkan antara kehamilan multipel dengan ras, usia, berat badan,
dan kesuburan adalah level FSH, teori ini didukung dengan fakta meningkatnya
kehamilan multipel pada wanita yang berhenti menggunakan kontrasepsi oral selama
1 bulan tetapi tidak pada bulan selanjutnya. Hal ini disebabkan pelepasan pituitary
gonadotropin secara tiba-tiba dalam jumlah yang lebih tinggi daripada biasanya pada
siklus pertama setelah berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal.

6. Terapi infertilitas

Induksi ovulasi dengan menggunakan FSH dengan korionik gonadotropin atau


clomiphene citrate meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan multipel.
Insidensi kehamilan multipel pada terapi gonadotropin konvensional 16-40%. Terapi
superovulasi yang meningkatkan kemungkinan kehamilan dengan cara mengambil
folikel multipel menghasilkan 25-30% kehamilan multipel.

2
Faktor risiko fetus multipel setelah stimulasi ovarium dengan menggunakan hMG
yaitu peningkatan level estradiol pada hari penyuntikkan gonadotropin serta
konsentrasi dan pergerakkan sperma.

7. Assisted Reproductive Technology

Teknik seperti ART yang dirancang untuk meningkatkan kemungkinan kehamilan


dapat pula meningkatkan kemungkinan kehamilan multipel. Mekanismenya masih
kontroversial, diantaranya termasuk beberapa faktor yaitu: induksi ovulasi, keadaan
kultur in vitro, mikromanipulasi terhadap zona pelusida dan riwayat pasien.
Umumnya pada pasien yang melakukan superovulasi, fertilisasi in vitro dimasukkan
2-4 embrio ke dalam uterusnya sehingga semakin besar risiko terjadinya kehamilan
multipel

8. Nutrisi

Suatu penelitian menurut Cunningham F menunjukkan hubungan antara nutrisi ibu


dan kejadian kehamilan multipel. Wanita yang lebih tinggi dan berat mempunyai
kemungkinan mengalami kehamilan multipel 20-30% lebih tinggi daripada wanita
yang pendek dengan nutrisi kurang.

D. Etiologi

Faktor bangsa, umur, paritas, herediter dan obat-obatan serta hormon mempunyai
pengaruh terhadap kehamilan kembar yang betrasal dari 2 telur atau dizigotik. Faktor-
faktor tersebut dan mungkin pula faktor lain dengan mekanisme tertentu menyebabkan
matangnya 2 atau lebih folikel de Graaf atau terbentuknya 2 ovum atau lebih dalam satu
folikel.

Pada kembar yang berasal dari satu telur, faktor bangsa, umur, paritas, dan herediter
tidak atau sedikit sekali mempengaruhi terjadinya kehamilan kembar. Sel telur yang telah
dibuahi akan membelah diri menjadi 2 bagian yang masing-masing akan tumbuh menjadi
janin. Diperkirakan sebabnya adalah faktor penghambat pada masa pertumbuhan dini
hasil konsepsi., sehingga tidak semua bagian akan terus membelah diri.

Faktor penghambat yang mempengaruhi segmentasi sebelum blastula terbentuk atau


pembelahan terjadi sebelum massa sel dalam (morula) terbentuk dan lapisan luar
blastokista belum pasti menjadi korion, yaitu, dalam 72 jam pertama setelah

3
pembuahan, maka akan menghasilkan kehamilan kembar dengan 2 amnion, 2 korion,
dan 2 plasenta seperti pada kehamilan dizigotik atau terjadi kehamilan kembar
monozigotik, diamnionik, dan dikorionik dengan plasenta tepisah dua atau satu
berfusi.

Bila faktor pengambat terjadi setelah blastula tetapi sebelum amnion terbentuk, atau
pembelahan terjadi antara hari keempat dan kedelapan, setelah massa sel dlam
terbentuk dan sel-sel yag ditakdirkan menjadi korion sudah mulai berdeferensiasi
tetapi sel-sel amnion belum, maka akan terbentuk kehamilan kembar dengan 2 amnion
terpisah. Dua kantong amnion akhirnya akan ditutupi oleh sebuah korion bersama
sehingga dihasilkan kembar monozigotik, diamnotik, dan monokorionik.

Namun, apabila sebelum primitive streak tampak, atau amnion sudah terbentuk yang
terjadi sekitar 8 hari setelah pembuahan, maka akan menghasilkan kehamilan kembar
dengan 1 amnion atau kembar monozigotik, monoamnionik, dan monokorionik.

Apabila pembelahan dimulai lebih belakangan lagi, yaitu setelah lempeng embrionik
atau primitive streak terbentuk, maka akan terjadi pemisahan tidak lengkap dan
terbentuk kembar siam atau kembar dempet dalam berbagai bentuk.

Sumber: Cunningham F.1

4
Saat terjadi hambatan Janin Amnio Korio Plasent
n n a

< 48 jam 2 2 2 2

Sebelum blastula terbentuk atau pembelahan


terjadi sebelum massa sel dalam (morula)
terbentuk dan lapisan luar blastokista belum
pasti menjadi korion

Hari ke 2 4 2 2 2 1

Hari ke 4 8 2 2 1 1

setelah blastula tetapi sebelum amnion terbentuk

Hari ke 8 13 2 1 1 1

sebelum primitive streak tampak, atau amnion


sudah terbentuk

> Hari ke-13 Kembar 1 1 1


siam
setelah lempeng embrionik atau primitive streak
terbentuk

Gambar : Plasenta dan tali pusat janin kembar

Twin to Twin Transfusion Syndrome

5
E. Definisi

Twin to twin transfusion syndrome adalah suatu keadaan dimana terjadi transfusi
darah intrauterin dari janin satu ke janin yang lainnya pada kehamilan kembar. TTTS
merupakan komplikasi dari kehamilan kembar monochorionik dimana dari gambaran
sonografi terlihat ditemukan polihidroamnion pada satu kantong dan oligohidroamnion pada
kantong lainnya pada suatu kehamilan ganda monochorionik-diamniotik.

Darah ditransfusikan dari kembar donor ke kembarannya sebagai resipien sedemikian


rupa sehingga donor menjadi anemic dan pertumbuhannya terganggu, sementara resipien
menjadi polisitemik dan mungkin mengalami kelebihan beban sirkulasi yang bermanifestasi
sebagai hidrops.

F. Epidemiologi

Angka kejadian TTTS berkisar antara 4% sampai 35% dari seluruh kehamilan kembar
monochorionic dan menyebabkan kematian pada lebih dari 17% dari seluruh kehamilan
kembar. Bila tidak diberikan penanganan adekuat, > 80% janin dari kehamilan tersebut akan
mati intrauterin atau mati selama masa neonatus. Kematian dari satu janin intrauterin akan
membawa konsekuensi disseminated intravascular coagulation (DIC).

G. Klasifikasi

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) berdasarkan berat ringannya penyakit dibagi atas:

1. TTTS tipe berat, biasanya terjadi pada awal trimester ke II, umur kehamilan 16-18
minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5 minggu kehamilan. Ukuran tali
pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb biasanya sama pada kedua janin. Polihidroamnion
terjadi pada kembar resipien karena adanya volume overload dan peningkatan jumlah
urin janin. Oligohidroamnion terjadi pada kembar donor oleh karena hipovolemia dan
penurunan jumlah urin janin. Oligohidroamnion yang berat bisa menyebabkan
terjadinya fenomena stuck-twin dimana janin terfiksir pada dinding uterus.
2. TTTS tipe sedang, terjadi pada akhir trimester ke II, umur kehamilan 24-30 minggu.
Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5 minggu kehamilan,
polihidroamnion dan oligohidroamnion tidak terjadi. Kembar donor menjadi anemia,
hipovolemia dan pertumbuhan terhambat. Sedangkan kembar resipien mengalami

6
plethoric, hipovolemia, dan makrosomia. Kedua janin bisa berkembang menjadi
hidrops.
3. TTTS tipe ringan, terjadi secara perlahan pada trimester III. Polihidramnion dan
oligohdroamnion biasanya tidak terjadi. Konsentrasi Hb berbeda lebih dari 5 gr%.
Ukuran besar janin berbeda lebih drai 20%.

Twin to twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasikan menjadi akut dan
kronik. Patofisiologi yang mendasar penyakit ini, gambaran klinis, morbiditas dan mortalitas
pada kedua tipe ini sangat berbeda. Angka kematian perinatal yang tinggi pada twin to twin
transfusion syndrome terutama disebabkan oleh tipe yang kronik.

a. Tipe akut jika terjadi transfusi darah secara akut/tiba-tiba dari satu janin ke janin
yang lain, biasanya pada trimester ke tiga atau selama persalinan dari kehamilan
monokorionik yang tidak berkomplikasi, menyebabkan hipovolemia pada kembar
donor dan hipervolemia pada kembar resipien, dengan berat badan lahir yang sama.
Transfusi dari kembar pertama ke kembar kedua saat kelahiran kembar pertama.
Namun demikian, bila tali pusat kembar pertama terlambat dijepit, darah dari kembar
yang belum dilahirkan dapat ditransfusikan ke kembar pertama. Diagnosis biasa
dibuat pada saat postnatal.
b. Tipe Kronik biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan 12-26
minggu). Kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah karena bayinya masih
imatur dan tidak dapat dilahirkan, sehingga dalam pertumbuhannya di uterus, bisa
mengalami kelainan akibat dari twin-to-twin transfusion syndrome seperti hydrops.
Tanpa terapi, sebagian besar bayi tidak dapat bertahan hidup atau bila survival, akan
timbul kecacatan. Walaupun arah transfusi darah menuju kembar resipien, tetapi
thrombus dapat secara bebas berpindah arah melalui anstomosis pembuluh darah
sehingga dapat menyebabkan infark atau kematian pada kedua janin.

H. Patofisiologi

Ada beberapa factor yang mempengaruhi patofisiologi terjadinya TTTS menurut Bajoria,
Rekha(1998), yakni:

1. Tipe dan jumlah dari anstomosis yang ada ( Machin et all, 1996), juga dipengaruhi
letak yang sangat bergantung pada ukuran zona plasenta dan insersi tali pusat (sentral,
eksentrik, marginal, velamentosa)
2. Tekanan yang abnormal pada insersi dari umbilical cord ( Fries et al,1993)
3. Insufisiensi aliran uteroplasenta ( Saunders et al, 1992 )

7
Teori yang banyak difahami adalah bahwa transfusi darah dari donor kepada penerima
kembar terjadi melalui anastomosis vaskular plasenta. Dimana koneksi vaskuler antar janin
kembar terdiri dari 2 tipe, yaitu: Pertama tipe superficial dan kedua tipe profunda. Masing-
masing tipe mempunyai karakteristik aliran, pola resistensi tersendiri yang mempengaruhi
pertumbuhan janin kembar monokorionik. Koneksi tipe superficial seperti arterioarteriosa
(aa); venovenosa (vv). Gambaran ini terlihat jelas pertemuannya di atas lempeng korion,
dimana hubungan ini jarang menimbulkan antenatal TTS. Justru hubungan ini akan
melindungi supaya tidak berkembang menjadi TTS. Koneksi arterioarteriosa lebih sering
dibanding koneksi venavenosa. Dalam Shandra Rajene, 1999 Koneksi arterioarteriosa dan
venavenosa memberikan pembagian darah yang seimbang pada kedua janin dan tidak ada
anastomosis arteriovenosa. Koneksi tipe profunda atau sirkulasi ketiga bersifat arteriovenosa
(a-v) dimana salah satu janin bersifat sebagai donor dan janin yang lain sebagai resipien.
Anastomosis ini tidak tampak pada lempeng korionik dikarenakan adanya perbedaan tekanan
(gradien) yang terjadi pada sirkulasi tersebut. Anastomosis ini jarang terjadi, kebanyakan jika
terjadi anastomosis arteriovenosa diikuti dengan anastomosis arterioarteriosa yang
melindungi terjadinya sirkulasi ketiga. Karena sirkulasi menghasilkan keseimbangan dinamis
dimana disamping terjadinya penurunan tekanan donor juga terjadi peningkatan resipien.

8
I. Diagnosis

Diagnosis prenatal TTTS dibuat dengan menggunakan ultrasonografi. Dengan berbagai


variasi, para ahli memberikan kriteria untuk diagnosis TTTS antenatal sebagai berikut:

Tabel 1.

Keadaan pada trimester I untuk diagnosis twin to twin transfusion syndrome:

Kehamilan monokorionik
Ukuran nuchal translucency > 3 mm pada umur kehamilan 10-14 minggu
Ukuran crown-rump length yang kurang pada satu janin
Membrane pemisah pada umur kehamilan 10-13 minggu

Kriteria diagnostik trimester kedua dan awal trimester ketiga termasuk, kehamilan
monochorionik, kembar dengan jenis kelamin sama, kombinasi polihidroamnion pada satu
kantong dan oligohidroamnion pada kantong yang lainnya, dan kecil atau tidak terlihatnya
kandung kemih pada donor sementara pada resipien memiliki kandung kemih yang besar.
(Tabel. 2)

9
Tabel 2.

Kriteria diagnostik twin to twin transfusion syndrome pada trimester kedua atau awal
trimester ketiga (Kriteria diagnostik Ultrasonografi)

Kehamilan monokorionik
Jenis kelamin yang sama
Satu massa plasenta
Membrane pemisah yang tipis
Kelainan volume cairan amnion
Satu kantong amnion oligohidroamnion, ukuran vertical 2,0 cm
Satu kantong amnion polihidroamnion, ukuran vertical 8,0 cm
Kantung kencing yang persisten
Kantung kencing yang kecil atau tidak tampak pada kembar oligohdroamnion

Tampak kantung kencing yang besar pada kembar polihidroamnion

Tambahan untuk membantu diagnosis


Perkiraan perbedaan berat janin (20% lebih berat kembar besar)
Adanya stuck twin
Hindrops fetalis (adanya satu atau lebih gejala: edema kulit [tebal 5 mm], efusi
pericardial, efusi pleura, dan ascites)
Membrane pembungkus pada umur kehamilan 14-17 minggu
*kriteria diagnosis TTTS ini diterapkan pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
kehamilan. Ultrasonografi serial sangat dianjurkan.

10
Diagnosis postnatal TTTS dapat ditegakkan dengan :

a) Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang > 500 g, atau perbedaan>20 % pada
janin pretemi (untuk TTTS yang kronis).
b) Terdapat perbedaan kadar Hemoglobin dan Hematokrit dari kedua janin, janin donor
dapat mencapai 8 g% atau kurang, dan janin resipien bisa mencapai 27%.
c) Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar dan thymus.

J. Tatalaksana

Beberapa jenis teknik terapi telah dilakukan dalam usaha memperbaiki hasil luaran
kehamilan kasus twin-to-twin transfusion syndrome. Pendekatan ini meliputi terapi
amniosentesis, septostomi, ablasi laser terhadap anastomosis pembuluh darah, selektif
feticide, dan terapi ibu dengan memakai digoksin.

11
Tabel 3

Pilihan Terapi

Pemeriksaan antenatal dengan ultrasonografi, analisa aliran darah dengan Doppler,


echokardiografi fetus dan kardiotokografi fetus atau non stress test , pemberian tokolisis
untuk mencegah partus prematurus.
Pengurangan volume cairan amnion secara serial (amnioreduksi)
Oklusi fetoskopik dengan penggunaan laser pada Pembuluh darah plasenta
Septostomi
Terminasi selektif
Histerotomi dengan mengangkat salah satu janin
Ligasi tali pusat secara endoskopi atau percutaneus

Terapi amniosentesis dilakukan dengan mengurangi cairan amnion yaug berlebihan


pada kantung amnion kembar resipien. Terapi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu:
memberi ruang yang lebih pada kembar yang lebih kecil (stuck twin), menstabilkan kembar
yang besar, mengurangi ketidaknyamanan ibu akibat jumlah cairan amnion yang banyak, dan
kehamilan dapat berlanjut lebih aman dengan berkurangnya risiko persalinan prematur.
Komplikasi terapi ini (sekitar 8%) meliputi korioamnionitis, persalinan prematur, ketuban
pecah dini, dan solusio plasenta. Secara keseluruhan. keberhasilan terapi amniosintesis cukup
baik. Dengan sekitar 44% kehamilan kedua janin hidup. dan 66% satu janin hidup, survival
rate 30%-83%, namun kelainan neurologi masih tinggi 5%-32%.

Septostomi (diperkenalkan oleh Dr. George Saade dkk dari Amerika) dilakukan
dengan cara membuat lubang kecil pada membran pemisah, yang akan berfungsi sebagai
tempat lewatnya cairan amnion dari satu kantung amnion ke kantung amnion yang lain
sehingga terjadi keseimbangan cairan amnion. Komplikasi terapi ini meliputi pecahnya
selaput pemisah, terjadi pertautan tali pusat kedua janin dan kematian janin.

Terapi laser (dipelopori Dr. Julian De Lia dkk dari Amerika Serikat) dilakukan
dengan memasang endoskopi melalui perut ibu ke kantung amnion kembar resipien. Fetoskop
dan laser dilewatkan melalui endoskop. Dengan bantuan USG dan petunjuk pada video
realtime . laser digunakan untuk mengkoagulasi atau merusak anastomosis pembuluh darah
secara selektif.

12
Selektif feticide dilakukan pada kronik twin-to-twin transfusion syndrome sebelum
umur kehamilan 25 minggu. Cara yang dipergunakan berupa ligasi tali pusat dengan bantuan
USG dan injeksi larutan NaCl kedalam kaviun pericardial sehingga terjadi tamponade
jantung. Pemakaian digoksin bertujuan mengatasi gagal jantung kembar resipien, namun
sering tidak berhasil oleh karena digoksin tidak dapat melewati plasenta dalam jumlah yang
cukup untuk terapi tersebut.

Pilihan penanganan kasus dengan kematian satu janin adalah persalinan preterm
elektif terhadap janin yang hidup (dengan steroid untuk mematangkan paru) dengan segala
risiko prematuritas atau konservatif yang juga berisiko kematian janin dalam uterus dan
kelainan neurologi.

K. Prognosis

Hasil tergantung pada usia kehamilan pada saat kelahiran dan apakah iskemia otak
janin intrauterin terjadi. Semakin rendah saat lahir usia kehamilan semakin besar risiko lama
sequele neurologis atau paru-paru.

Kematian perinatal anak kembar lebih tinggi daripada anak kehamilan tunggal.
Prematuritas merupakan sebab utama. Selain itu, juga lebih sering terjadi pre-eklampsia dan
eklampsia, hidramnion, kelainan letak, prolapsus funikuli dan operasi perdarahan serebral
dan kemungkinan adanya kelainan bawaan pada bayi.

Kematian anak kedua lebih tinggi daripada yang pertama karena lebih sering terjadi
gangguan sirkulasi plasenta setelah anak pertama lahir, lebih banyaknya terjadi prolapsus
funikuli, solusio plasenta, serta kelainan letak pada janin kedua.

Kematian anak pada kehamilan monozigotik lebih besar daripada kehamilan dizigotik karena
pada yang pertama dapat terjadi lilitan tali pusat antara janin pertama dan kedua.

Setelah bayi Twin to Twin Transfusion lahir, di butuhkan penanganan yang berbeda.
Pada janin resipien yang berat lahir lebih besar cenderung mengalami hiperviskositas cairan
dan memiliki resiko kelainan jantung. Sebanyak 2/3 janin resipien menunjukkan disfungsi
diastolic yang dapat berkembang menjadi kardiomiopati seperti hipertrofi ventrikel kanan,
regurgitasi katup trikuspid ataupun mitral. Kemungkinan distress pernafasan dapat terjadi
akibat overload cairan. Oleh karena itu 20-30% fungsi dan anatomis jantung janin resipien
berbeda dengan janin biasa ataupun janin donor. Sehingga pemantauan keadaan umum janin

13
resipien yang lebih besar meliputi pernafasan spontan, auskultasi suara nafas dan jantung,
hipertensi, ikterik ataupun kondisi hiperglikemi patut diperhatikan. Pada janin donor pada
Twin to Twin Transfusion cenderung memiliki fungsi jantung yang normal, hanya 5-10%
yang ditemukan kelainan jantung akibat insufisiensi plasenta yang sangat berat. Peningkatan
aliran diastolik pada arteri umbilkal, kelainan fungsi aorta akibat sedikitnya venous return
dapat ditemukan pada sedikit janin donor. Efek terhadap janin donor setelah lahir biasanya
terjadinya hipotensi, anemia, hipoglikemi akibat insufisiensi plasenta intrauterin. Pada bayi
donor yang lebih kecil perlu diperhatikan tanda kematangan dan adaptasinya terhadapa
lingkungan luar, karena cenderung lebih kecil sehingga juga menimbulkan resiko tinggi
untuk bertahan hidup ektrauterin. Kelainan perkembangan neurologis seperti Cerebral Palsy
juga dilaporkan pada bayi kembar dengan sindrom transfusi kembar .

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary, et al. 2006. Obstetri Williams Vol. 1 Ed. 21. EGC : Jakarta.

14
2. http://www.medicines.org.uk/emc/medicine/22344/spc

3. Mochtar, Rustaam.1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1 Ed.2. EGC : Jakarta.

4. Mochtar, Rustaam.1998. Sinopsis Obstetri Jilid 2 Ed.2. EGC : Jakarta.

5. Wiknjosastro, Daifuddin, & Rachimhadhi. 2006. Ilmu Kebidanan Sarwono


Prawiirohardjo Ed. 3. PT. Yayasan Bina Pustaka : Jakarta.

6. Wiknjosastro, Daifuddin, & Rachimhadhi. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan Sarwono


Prawiirohardjo Ed.1. PT. Yayasan Bina Pustaka : Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai