Chapter II
Chapter II
Rumen
akhir yang dapat diasimilasi. Papila berkembang dengan baik sehingga luas
yang diproduksi, 85% diabsorbsi melalui epitelium yang berada pada dinding
sesuai dan dapat hidup dapat ditemukan didalamnya. Tekanan osmos pada rumen
mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 3842oC, pH
dipertahankan dengan adanya absorbsi asam lemak dan amonia. Saliva yang
pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar ion HCO3 dan PO4
(Arora, 1995).
sedangkan secara hidrolisis dilakukan oleh jasad renik dengan cara penguraian
ditempatkan ke dalam termos yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu
39oC. Cairan rumen disaring dengan kain kasa dan ditampung kedalam wadah
yang telah ditempatkan di dalam water bath pada suhu 39oC. Cairan rumen
Metabolisme Rumen
bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut
membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian
fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel
pakan yang tidak dicerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara
hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernan tersebut akan diserap oleh usus
halus dan selanjutnya masuk ke dalam darah (Sutardi, 1977). Proses fermentasi
pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2, dan
CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1995).
rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur
berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Karbohidrat pakan di
dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan
dirubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari asetat, butirat, dan propionat
(Arora, 1995).
jenis pakan, VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan
peptida-peptida dan akhirnya menjadi asam-asam amino. NH3 berasal dari protein
protein tubuhnya sendiri, tetapi sebagian besar mikroba rumen tidak dapat
memanfaatkan asam amino secara langsung karena diduga mikroba tersebut tidak
Mikroba tersebut lebih suka merombak asam amino menjadi amonia. Lebih
oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4
jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang
digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al, 1976).
Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi,
maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/1 atau 3,57
mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974).
Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba
optmum NH3 dalam rumen berkisar antara 85 300 mg/l 1 atau 6-21 mM
dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses
dalam rumen.
ternak lain. Mikroba tersebut sangat berperan dalam mendegradasi pakan yang
(Offer dan Robert, 1996). Kelompok utama mikroba yang berperan dalam
mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatile Fatty Acids =
VFAs) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam
isobutirat dan asam isovalerat. VFAs diserap melalui dinding rumen dan
yang tidak dimanfaatkan oleh ternak yang pada umumnya berupa gas akan
dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry et al., 1977). Namun yang
lebih penting ialah mikroba rumen itu sendiri, karena biomas mikroba yang
Sauvant et al. (1995) menyebutkan bahwa 2/3 3/4 bagian dari protein yang
Kualitas pakan yang rendah seperti yang umum terjadi di daerah tropis
mikroba itu sendiri dan digunakan untuk mensintesis protein sel mikroba rumen
sebagai pasokan utama protein bagi ternak ruminansia. Menurut Aurora (1995)
sekitar 47% sampai 71% dari nitrogen yang ada di dalam rumen berada dalam
larut oleh enzim mikrobia rumen dalam keadaan anaerob dan temperatur serta pH
yang terkontrol.
pada tahun 1963 di Grassland Research Institute, Hurley, England. Metode ini
terdiri dari dua fase, dimana kedua fase tersebut masing-masing menyerupai atau
ruminansia, yaitu fase I seperti yang terjadi di dalam rumen dan fase II seperti
yaitu berkisar 40-420C. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi
berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan
kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen
berkisar antara 6,7 7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan
selalu bergerak secara teratur. Gerakan rumen juga ditiru dengan penempatan
saluran pencernaan pasca rumen. Nilai RUP tersebut berkisar antara 53-88%,
sementara nilai kecernaan dalam rumen berkisar 12-46% (Adiati et al., 2002).
untuk pertumbuhan bahan optimum mikroba rumen. Salah satu sumber asam
Kandungan protein kasar bulu ayam lebih tinggi dari kandungan protein
kasar bungkil kedelai (42,5 %) dan tepung ikan yang hanya mencapai 66,2%,
kering dan bahan organik bulu ayam secara in vitro masing-masing hanya sebesar
5,8% dan 0,7%. Rendahnya nilai kecernaan tersebut disebabkan bulu ayam
potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4% per tahun (pada tahun
2001), potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju
peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan
sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk eksport, 60-70% berat
udang menjadi limbah (bagian kulit, kepala dan ekor) sehingga diperkirakan akan
Salah satu pilihan sumber protein adalah tepung limbah udang. Tepung
limbah udang merupakan limbah industri pengolahan udang yang terdiri dari
40% dari bobot udang segar. Faktor positif bagi tepung limbah udang karena
harganya cukup stabil dan kandungan nutrisinya bersaing dengan bahan baku
protein 41,9%, khitin 17,0%, abu 29,2% dan lemak 4,5% dari bahan kering. Dari
kandungan protein yang cukup tingi, limbah kepala udang juga mengandung
semua asam amino esensial terutama methionine yang sering menjadi faktor
Kendala utama penggunaan tepung bulu ayam dalam ransum untuk ternak
adalah rendahnya daya cerna protein bulu. Hal tersebut disebabkan karena
sebagian besar kandungan protein kasar berbentuk keratin (Indah, 1993). Dalam
sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak. Bulu ayam yang merupakan
produk sampingan dari pemotongan ayam sampai saat ini belum banyak
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan karena protein yang terkandung
di dalamnya sulit dicerna. Protein kasar bulu ayam termasuk dalam jenis protein
serat, yaitu keratin yang sulit dicerna baik oleh mikroorganisme rumen maupun
dimanfaatkan sebagai bahan pakan, bulu ayam harus diberi perlakuan, dengan
memecahkan ikatan sulfur dari sistin dalam bulu ayam tersebut (Indah, 1993).
dilakukan dengan empat cara, yaitu perlakuan fisik dengan temperatur dan
tekanan (autoclave), perlakuan kimia dengan asam dan basa (NaOH, HCI),
Teknik hidrolisis bulu ayam yang telah banyak dilakukan yaitu dengan
asam alkali. Selain itu penggunaan tekanan dan suhu tinggi juga telah digunakan,
khususnya pada skala industri yaitu menggunakan tekanan sebesar 3 Bar, suhu
105C selama 8 jam dengan kelembaban 8-10%, kadar air 40%, dan ini akan
menghasilkan tepung bulu ayam dengan kadar protein 76%, akan tetapi teknik
ini membutuhkan biaya mahal dan kualitas protein bulu ayam menurun karena
nutrisi yang rendah. Oleh sebab itu, bulu ayam sebelum digunakan sebagai pakan
ternak terlebih dahulu dilakukan pengolahan. Hidrolisat bulu ayam dengan HCl
12% merupakan salah satu cara pengolahan bulu ayam. Hidrolisat bulu ayam
dengan HCl 12% memberikan hasil tepung bulu ayam yang lebih alami dan asam
amino yang rusak dapat dikurangi. Bulu ayam yang dihidrolisat terlebih dahulu
dikeringkan sampai kadar air 15%. Selanjutnya, bahan tersebut dicampur dengan
larutan HCl 12%. Perbandingan berat bulu ayam dengan volume HCl 12% dalam
pencampuran adalah 2:1 (100 kg bulu ayam dicampur dengan 50 liter HCl 12%).
Bulu ayam dan HCl 12% dicampur merata, setelah itu dilakukan pemeraman
panas matahari atau oven 60oC sampai kadar air 13-15%. Selanjutnya, hidrolisat
bulu ayam digiling dan diberikan pada ternak dalam bentuk halus
Muhtarudin et al. (2002) juga menjelaskan protein bulu ayam terikat oleh
memakai HCl 12% atau NaOH 3-6%. Secara fisik dapat dilakukan dengan
tekanan 3 bar dan suhu 150oC. Pengolahan yang dipilih adalah dengan hidrolisis
memakai HCl 12%, dengan pertimbangan bahwa produksi NH3 yang diperoleh
optimum mikroba rumen. Salah satu sumber asam amino bersulfur yang alami
NaOH atau HCl) mengandung asam amino sistein (3.6g/16g N) yang tinggi serta
mencapai 81.0%. Hidrolisat bulu ayam merupakan sumber asam amino pembatas
lainnya pada ternak ruminansia, hidrolisat bulu ayam juga dapat merupakan
sumber asam amino rantai cabang (valin, isoleusin, dan leusin) dan lisin
(Muhtarudin, 2002). Asam amino lisin merupakan asam amino pembatas karena
atau bahan pakan sumber lisin. Hidrolisat bulu ayam merupakan sumber lisin dan
kualitas kepala udang dapat diperbaiki dengan cam fisik, biologi, maupun kimia.
HCI 6%, NaOH 3% dan H202 5%. Tujuan dari pengolahan tersebut adalah untuk
meningkatkan nilai kecernaan dan laju degradasi dalam rumen dan pascarumen,
merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam
anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya
tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut
Proses isolasi khitin dari kulit udang secara garis besar dapat dibagi
basa pekat maka akan dihasilkan produk baru yaitu kitosan.Secara kimia, khitin
dan kitosan dapat dianggap sebagai turunan selulosa dengan gugus hidroksil pada
atom C-2 selulosa digantikan oleh gugus asetamida dan amina bebas. Jika gugus
hidroksi pada atom C-2 selulosa digantikan oleh gugus asetamida, maka senyawa
yang terbentuk adalah khitin. Tetapi jika gugus hidroksi pada atom C-2 selulosa
digantikan oleh gugus amina bebas maka senyawa yang terbentuk adalah kitosan
(Ledyastuti, 2007).
beberapa kelemahan yaitu serat kasar tinggi, dan memiliki kecernaan protein yang
(Hartadi et al., 1997). Zat ini merupakan suatu polisakarida yang bergabung
dengan protein sebagai bahan dasar pembentuk kulit luar serangga dan crustaceae
(Wanasuria, 1990).
khitinase. Banyak bakteri yang menghasilkan khitinase dan salah satu di antaranya
marcescens relatif sulit karena terdapat lima jenis enzim kihtinase yang berbeda.
Pemurnian satu tahap dengan fraksionasi enzim merupakan teknik yang canggih
dan sulit dilakukan. Metode yang lebih sederhana adalah filtrasi gel
protein limbah udang (Batubara, 2000). Pada hidrolisis dalam suasana asam,
secara selektif). Pada hidrolisis dalam suasana basa, asamasam amino akan
perenggangan ikatan senyawa kimia. Hasil dari hidrolisat tergantung dari jenis
sebagai berikut:
dilakukan pemeraman selama 6 hari untuk hidrolisis dengan NaOH 3% dan HCl
Proses Fermentasi
dari mikroba untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia
lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan
medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat merupakan
proses fermentasi di mana medium yang digunakan tidak larut tapi cukup
cair adalah proses yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair
tambahan lain kecuali air. (2). Persiapan inokulum lebih sederhana. (3). Dapat
lebih mudah. (5). Kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh alamiah.
(6). Produktivitas tinggi. (7). Aerasi optimum. (8). Tidak diperlukan kontrol pH