Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN PUSTAKA

Rumen

Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang

menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kerja ekstansif

bakteri dan mikroba terhadap zat-zat makanan menghasilkan pelepasan produk

akhir yang dapat diasimilasi. Papila berkembang dengan baik sehingga luas

permukaan rumen bertambah 7 kalinya. Dari keseluruhan asam lemak terbang

yang diproduksi, 85% diabsorbsi melalui epitelium yang berada pada dinding

retikulo-rumen (Blakely and Bade,1982).

Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan mikroorganisme yang paling

sesuai dan dapat hidup dapat ditemukan didalamnya. Tekanan osmos pada rumen

mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 3842oC, pH

dipertahankan dengan adanya absorbsi asam lemak dan amonia. Saliva yang

masuk kedalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan

pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar ion HCO3 dan PO4

(Arora, 1995).

Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen

sedangkan secara hidrolisis dilakukan oleh jasad renik dengan cara penguraian

dalam rumen (Tillman et al, 1991).

Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan

ditempatkan ke dalam termos yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu

39oC. Cairan rumen disaring dengan kain kasa dan ditampung kedalam wadah

yang telah ditempatkan di dalam water bath pada suhu 39oC. Cairan rumen

Universitas Sumatera Utara


ditambahkan gas CO2 supaya kondisi anaerob sampai dilakukan inokulasi

(Afdal dan Erwan, 2008).

Metabolisme Rumen

Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara

bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut

akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga

membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian

masuk ke rumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses

fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel

pakan yang tidak dicerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara

hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernan tersebut akan diserap oleh usus

halus dan selanjutnya masuk ke dalam darah (Sutardi, 1977). Proses fermentasi

pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2, dan

CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1995).

Produksi Volatil Fatty Acid (VFA) dalam Rumen

VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan

sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA

menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba

rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur

fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). McDonald et al., (2002) menyatakan bahwa

pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasi untuk menghasilkan produk

berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Karbohidrat pakan di

dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan

Universitas Sumatera Utara


oleh mikroba rumen. Pada tahap pertama mikroba rumen mengalami hidrolisis

menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan

tahap pertama masuk ke jalur glikolisis Embden-Meyerhoff untuk mengalami

pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat selanjutnya akan

dirubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari asetat, butirat, dan propionat

(Arora, 1995).

Kisaran produk VFA cairan rumen normal yang mendukung pertumbuhan

mikroba adalah 80 sampai 160 mM (Sutardi, 1980), sedangkan konsentrasi VFA

yang dihasilkan oleh ternak sapi rata-rata 111 mM (Hungate, 1966).

McDonald et al., (2002) menjelaskan konsentrasi VFA sangat dipengaruhi oleh

jenis pakan, VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan

karbohidrat mudah larut dari pakan.

Produksi N-Amonia (NH3) dalam Rumen

Di dalam rumen, protein pakan akan mengalami proses degradasi menjadi

peptida-peptida dan akhirnya menjadi asam-asam amino. NH3 berasal dari protein

pakan yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Di dalam rumen, protein

dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen (Arora, 1989).

Beberapa asam amino langsung digunakan oleh bakteri untuk sintesis

protein tubuhnya sendiri, tetapi sebagian besar mikroba rumen tidak dapat

memanfaatkan asam amino secara langsung karena diduga mikroba tersebut tidak

memiliki sistem transpor untuk mengangkut asam amino ke dalam tubuhnya.

Mikroba tersebut lebih suka merombak asam amino menjadi amonia. Lebih

kurang 50-70% nitrogen mikroba berasal dari amonia (Sutardi, 1980).

Universitas Sumatera Utara


Pengukuran N-NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi

degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi

oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4

jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang

digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al, 1976).

Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi,

maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/1 atau 3,57

mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974).

Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba

maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran

optmum NH3 dalam rumen berkisar antara 85 300 mg/l 1 atau 6-21 mM

(McDonald et al., 2002).

McDonald et al. (2002) menjelaskan bahwa konsentrasi NH3 yang tinggi

dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses

pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi

dalam rumen.

Peran Mikroba Rumen

Adanya mikroba dan aktifitas fermentasi di dalam rumen merupakan salah

satu karakteristik yang membedakan sistem pencernaan ternak ruminansia dengan

ternak lain. Mikroba tersebut sangat berperan dalam mendegradasi pakan yang

masuk ke dalam rumen menjadi produk-produk sederhana yang dapat

dimanfaatkan oleh mikroba maupun induk semang dimana aktifitas mikroba

tersebut sangat tergantung pada ketersediaan nitrogen dan energi

(Offer dan Robert, 1996). Kelompok utama mikroba yang berperan dalam

Universitas Sumatera Utara


pencernaan tersebut terdiri dari bakteri, protozoa dan jamur yang jumlah dan

komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak

(Preston dan Leng, 1987).

Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang

mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatile Fatty Acids =

VFAs) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam

isobutirat dan asam isovalerat. VFAs diserap melalui dinding rumen dan

dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh ternak. Sedangkan produk metabolis

yang tidak dimanfaatkan oleh ternak yang pada umumnya berupa gas akan

dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry et al., 1977). Namun yang

lebih penting ialah mikroba rumen itu sendiri, karena biomas mikroba yang

meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia.

Sauvant et al. (1995) menyebutkan bahwa 2/3 3/4 bagian dari protein yang

diabsorbsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein mikroba.

Kualitas pakan yang rendah seperti yang umum terjadi di daerah tropis

menyebabkan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia sebagian besar dipasok

oleh protein mikroba rumen. Soetanto (1994) menyebutkan hampir sekitar 70 %

kebutuhan protein dapat dicukupi oleh mikroba rumen.

Produk akhir fermentasi protein akan digunakan untuk pertumbuhan

mikroba itu sendiri dan digunakan untuk mensintesis protein sel mikroba rumen

sebagai pasokan utama protein bagi ternak ruminansia. Menurut Aurora (1995)

sekitar 47% sampai 71% dari nitrogen yang ada di dalam rumen berada dalam

bentuk protein mikroba.

Universitas Sumatera Utara


Teknik In Vitro

Teknik fermentasi rumen secara in vitro adalah teknik yang mencoba

untuk meniru fermentasi struktur komponen karbohidrat menjadi komponen yang

larut oleh enzim mikrobia rumen dalam keadaan anaerob dan temperatur serta pH

yang terkontrol.

Metode kecernaan in vitro mula-mula dikembangkan oleh Tilley dan Terry

pada tahun 1963 di Grassland Research Institute, Hurley, England. Metode ini

terdiri dari dua fase, dimana kedua fase tersebut masing-masing menyerupai atau

meniru pencernaan bahan pakan yang terjadi di alat pencernaan ternak

ruminansia, yaitu fase I seperti yang terjadi di dalam rumen dan fase II seperti

yang terjadi di dalam usus, sedang pengerjaannya dilakukan dengan tabung-

tabung reaksi, khemikalia, dan alat-alat tertentu di laboratorium.

Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen

yaitu berkisar 40-420C. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi

berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan

kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen

berkisar antara 6,7 7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan

penambahan larutan buffer bikarbonat dan fosfat (Johnson, 1996).

Sumber inokulum in vitro berupa cairan rumen. Perbedaaan hasil

fermentasi secara in vitro dapat disebabkan oleh sumber inokulum

(Johnson, 1996). Untuk fermentasi jenis tersebut digunakan tabung fermentor

sebagai bejana fermentasi sehingga pada akhir fermentasi tidak perlu

memindahkan ke dalam tabung lain. Pada akhir fermentasi tabung disentrifuge

dan supernatan dipisahkan dari residunya. Pemberian gas CO2 secepatnya

Universitas Sumatera Utara


bersamaan dengan pengadukan secara mekanik dilakukan dalam fermentasi

in vitro dengan meniru prinsip pengadukan dalam rumen sesungguhnya yang

selalu bergerak secara teratur. Gerakan rumen juga ditiru dengan penempatan

bejana fermentasi dalam shakerbat.

Potensi Bulu Ayam

Keunggulan penggunaan tepung bulu ayam untuk ternak ruminansia

adalah sejumlah protein yang tahan terhadap perombakan oleh mikroorganisme

rumen (rumen undegranable/RUP), dan mampu diurai secara enzimatis pada

saluran pencernaan pasca rumen. Nilai RUP tersebut berkisar antara 53-88%,

sementara nilai kecernaan dalam rumen berkisar 12-46% (Adiati et al., 2002).

Tabel 1. Kandungan nutrisi tepung bulu

Zat Nutrisi Kandungan (%)

Protein Kasar 79,80


Serat Kasar 0,32
Lemak Kasar 3,77
Bahan Kering 91,37
Methionine 0,50
Sumber : Rasyaf (1994)

Menurut Indah (1993) asam amino bersulfur (sistin, sistein, methionine)

merupakan asam amino pembatas yang perlu ditambahkan sebagai prekursor

untuk pertumbuhan bahan optimum mikroba rumen. Salah satu sumber asam

amino bersulfur yang alami adalah tepung bulu ayam.

Kandungan protein kasar bulu ayam lebih tinggi dari kandungan protein

kasar bungkil kedelai (42,5 %) dan tepung ikan yang hanya mencapai 66,2%,

yang umumnya dipergunakan sebagai komponen utama sumber protein dalam

konsentrat/ransum. Namun demikian, kandungan protein kasar yang tinggi

Universitas Sumatera Utara


tersebut belum disertai dengan nilai biologis yang tinggi. Tingkat kecernaan bahan

kering dan bahan organik bulu ayam secara in vitro masing-masing hanya sebesar

5,8% dan 0,7%. Rendahnya nilai kecernaan tersebut disebabkan bulu ayam

tergolong dalam protein fibrous/serat. Oleh karena itu, diperlukan sentuhan

teknologi, agar kualitas protein tercerna bulu ayam dapat ditingkatkan

(Adiati et al., 2002).

Potensi Limbah Udang

Udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, selama ini

potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4% per tahun (pada tahun

2001), potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju

peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan

sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk eksport, 60-70% berat

udang menjadi limbah (bagian kulit, kepala dan ekor) sehingga diperkirakan akan

dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton (Prasetyo, 2004).

Tabel 2. Kandungan nutrisi limbah udang tanpa dan dengan pengolahan

Nutrisi (%) L.udang Hidrolisat Hidrolisat Hoidrolisat Ferment.


NaOH 3% HCl 6% H2O2 5% A.niger
Kandungan 10.65 16.42 18.50 7.98 8.48
air
Bahan Kering 89.35 83.58 81.50 92.02 91.52
Serat Kasar 19.82 15.43 16.58 19.00 12.72
Protein Kasar 42,65* 37.01 32.04 39.08 39.75
Lemak Kasar 9.49 11.55 10.37 13.56 9.24
Abu 22,75* 21.81 22.14 21.06 21.99
Energi Bruto 4023.30 3801.59 3810.83 4024.98 3961.65
(Kkal/kg)
Sumber : Adiati et al. (2002)
* Lab. Ilmu Makanan Ternak, Departemen Peternakan USU (2009)

Salah satu pilihan sumber protein adalah tepung limbah udang. Tepung

limbah udang merupakan limbah industri pengolahan udang yang terdiri dari

Universitas Sumatera Utara


kepala dan kulit udang. Proporsi kepala dan kulit udang diperkirakan antara 30%-

40% dari bobot udang segar. Faktor positif bagi tepung limbah udang karena

produk ini limbah maka berkesinambungan penyediaannya terjamin sehingga

harganya cukup stabil dan kandungan nutrisinya bersaing dengan bahan baku

lainnya (Widjaya, 1993).

Menurut Shahidi dan Synowiecki (1992), limbah udang mengandung

protein 41,9%, khitin 17,0%, abu 29,2% dan lemak 4,5% dari bahan kering. Dari

kandungan protein yang cukup tingi, limbah kepala udang juga mengandung

semua asam amino esensial terutama methionine yang sering menjadi faktor

pembatas pada protein nabati.

Teknik Pengolahan Bulu Ayam

Kendala utama penggunaan tepung bulu ayam dalam ransum untuk ternak

adalah rendahnya daya cerna protein bulu. Hal tersebut disebabkan karena

sebagian besar kandungan protein kasar berbentuk keratin (Indah, 1993). Dalam

saluran pencernaan, keratin tidak dapat dirombak menjadi protein tercerna

sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak. Bulu ayam yang merupakan

produk sampingan dari pemotongan ayam sampai saat ini belum banyak

dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan karena protein yang terkandung

di dalamnya sulit dicerna. Protein kasar bulu ayam termasuk dalam jenis protein

serat, yaitu keratin yang sulit dicerna baik oleh mikroorganisme rumen maupun

oleh enzim-enzim pencernaan pascarumen (Tillman et al., 1982). Agar dapat

dimanfaatkan sebagai bahan pakan, bulu ayam harus diberi perlakuan, dengan

memecahkan ikatan sulfur dari sistin dalam bulu ayam tersebut (Indah, 1993).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Adiati et al. (2002), pengolahan tepung bulu ayam dapat

dilakukan dengan empat cara, yaitu perlakuan fisik dengan temperatur dan

tekanan (autoclave), perlakuan kimia dengan asam dan basa (NaOH, HCI),

perlakuan enzim (Papadopoulos et al., 1985) dan fermentasi dengan

mikroorganisme (Williams et al., 1991). Pengolahan secara kimia dapat dilakukan

secara hidrolisis dengan menggunakan HCl 6%, NaOH 3% dan H2O2 5%

(Titgemeyer et al., 2002).

Gambar 1. Struktur kimia keratin


NHCHRCONHCHCONHCHRCO

CH2

S

S

CH2

OCCHRNHOCCHNHOCCHRNH
Sumber : Haurowitz (1984) disitasi Ketaren (2008)

Hidrolisis Bulu Ayam

Teknik hidrolisis bulu ayam yang telah banyak dilakukan yaitu dengan

asam alkali. Selain itu penggunaan tekanan dan suhu tinggi juga telah digunakan,

khususnya pada skala industri yaitu menggunakan tekanan sebesar 3 Bar, suhu

105C selama 8 jam dengan kelembaban 8-10%, kadar air 40%, dan ini akan

menghasilkan tepung bulu ayam dengan kadar protein 76%, akan tetapi teknik

ini membutuhkan biaya mahal dan kualitas protein bulu ayam menurun karena

terdenaturasi akibat suhu tinggi (Adiati et al., 2002)

Universitas Sumatera Utara


Tepung bulu ayam dalam bentuk alami tanpa pengolahan mempunyai nilai

nutrisi yang rendah. Oleh sebab itu, bulu ayam sebelum digunakan sebagai pakan

ternak terlebih dahulu dilakukan pengolahan. Hidrolisat bulu ayam dengan HCl

12% merupakan salah satu cara pengolahan bulu ayam. Hidrolisat bulu ayam

dengan HCl 12% memberikan hasil tepung bulu ayam yang lebih alami dan asam

amino yang rusak dapat dikurangi. Bulu ayam yang dihidrolisat terlebih dahulu

dikeringkan sampai kadar air 15%. Selanjutnya, bahan tersebut dicampur dengan

larutan HCl 12%. Perbandingan berat bulu ayam dengan volume HCl 12% dalam

pencampuran adalah 2:1 (100 kg bulu ayam dicampur dengan 50 liter HCl 12%).

Bulu ayam dan HCl 12% dicampur merata, setelah itu dilakukan pemeraman

selama 3 hari. Setelah pemeraman, hidrolisat bulu ayam dikeringkan dengan

panas matahari atau oven 60oC sampai kadar air 13-15%. Selanjutnya, hidrolisat

bulu ayam digiling dan diberikan pada ternak dalam bentuk halus

(Muhtarudin et al., 2002).

Muhtarudin et al. (2002) juga menjelaskan protein bulu ayam terikat oleh

ikatan keratin, sehingga perlu pengolahan terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan

oleh ternak. Pengolahan secara kimiawi dapat dilakukan dengan hidrolisis

memakai HCl 12% atau NaOH 3-6%. Secara fisik dapat dilakukan dengan

tekanan 3 bar dan suhu 150oC. Pengolahan yang dipilih adalah dengan hidrolisis

memakai HCl 12%, dengan pertimbangan bahwa produksi NH3 yang diperoleh

tertinggi dan kerusakan asam amino seminimal mungkin.

Asam amino bersulfur (sistin, sistein, dan mehtionine) merupakan asam

amino pembatas yang perlu ditambahkan sebagai prekursor untuk pertumbuhan

optimum mikroba rumen. Salah satu sumber asam amino bersulfur yang alami

Universitas Sumatera Utara


adalah tepung bulu ayam. Hidrolisat bulu ayam (hasil hidrolisis bulu ayam dengan

NaOH atau HCl) mengandung asam amino sistein (3.6g/16g N) yang tinggi serta

sedikit methionine (0.7g/16g N) (Cunningham et al., 1994) dan total proteinnya

mencapai 81.0%. Hidrolisat bulu ayam merupakan sumber asam amino pembatas

lainnya pada ternak ruminansia, hidrolisat bulu ayam juga dapat merupakan

sumber asam amino rantai cabang (valin, isoleusin, dan leusin) dan lisin

(Muhtarudin, 2002). Asam amino lisin merupakan asam amino pembatas karena

ketersediaannya di alam bahan pakan kurang, sehingga diperlukan penambahan

atau bahan pakan sumber lisin. Hidrolisat bulu ayam merupakan sumber lisin dan

ketersediaannya tinggi (Klemesrud et al., 1998 ; Muhtarudin, 2002).

Teknik Pengolahan Limbah Udang

Limbah kepala udang sebagai sumber asam amino pembatas mempunyaii

keterbatasan dalam penggunaannya, karena mengandung khitin. Oleh karena itu,

kualitas kepala udang dapat diperbaiki dengan cam fisik, biologi, maupun kimia.

Pengolahan secara kimia dapat dilakukan secara hidrolisis dengan menggunakan

HCI 6%, NaOH 3% dan H202 5%. Tujuan dari pengolahan tersebut adalah untuk

meningkatkan nilai kecernaan dan laju degradasi dalam rumen dan pascarumen,

sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ternak ruminansia

(Qisthon dan Adhianto, 2007).

Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1986),

merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam

anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya

tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut

Universitas Sumatera Utara


dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi

sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.

Proses isolasi khitin dari kulit udang secara garis besar dapat dibagi

menjadi dua, demineralisasi (penghilangan mineral) dan deproteinasi

(penghilangan protein). Jika khitin diproses selanjutnya menggunakan larutan

basa pekat maka akan dihasilkan produk baru yaitu kitosan.Secara kimia, khitin

dan kitosan dapat dianggap sebagai turunan selulosa dengan gugus hidroksil pada

atom C-2 selulosa digantikan oleh gugus asetamida dan amina bebas. Jika gugus

hidroksi pada atom C-2 selulosa digantikan oleh gugus asetamida, maka senyawa

yang terbentuk adalah khitin. Tetapi jika gugus hidroksi pada atom C-2 selulosa

digantikan oleh gugus amina bebas maka senyawa yang terbentuk adalah kitosan

(Ledyastuti, 2007).

Gambar 2. Struktur kimia Khitin

Sumber : Ledyastuti (2007)

Penggunaan limbah udang sebagai bahan pakan ternak perlu sentuhan

teknologi untuk meningkatkan nilai gizinya, karena bahan ini mempunyai

beberapa kelemahan yaitu serat kasar tinggi, dan memiliki kecernaan protein yang

rendah karena mengandung zat anti nutrisi khitin sebanyak 23-30%

(Hartadi et al., 1997). Zat ini merupakan suatu polisakarida yang bergabung

dengan protein sebagai bahan dasar pembentuk kulit luar serangga dan crustaceae

Universitas Sumatera Utara


yang merupakan faktor pembatas penggunaan limbah kepala udang

(Wanasuria, 1990).

Khitin terdiri dari unit-unit N-asetilglukosamin dengan ikatan beta 1,4.

Modifikasi khitin banyak digunakan pada produk-produk yang membutuhkan

perlakuan kemikalia. Modifikasi khitin memerlukan pemecahan dengan enzim

khitinase. Banyak bakteri yang menghasilkan khitinase dan salah satu di antaranya

adalah Serratia marcescens. Khitinase memiliki peran penting dalam

pengendalian biologis terhadap jamur-jamur patogen pada tanaman dan degradasi

khitin yang terkandung pada limbah. Pemurnian khitinase dari Serratia

marcescens relatif sulit karena terdapat lima jenis enzim kihtinase yang berbeda.

Pemurnian satu tahap dengan fraksionasi enzim merupakan teknik yang canggih

dan sulit dilakukan. Metode yang lebih sederhana adalah filtrasi gel

(Nawani and Kapadnia, 2001).

Hidrolisis Limbah Udang

Pengolahan secara kimia dapat dilakukan secara hidrolisis dengan

menggunakan HCl 6%, NaOH 3% dan H2O2 5% (Titgemeyer et al., 2002).

Hidrolisis ditujukan untuk mendegradasi khitin yang terdapat dalam

protein limbah udang (Batubara, 2000). Pada hidrolisis dalam suasana asam,

asamasam amino akan rusak karena mengalami deaminasi (perenggangan ikatan

secara selektif). Pada hidrolisis dalam suasana basa, asamasam amino akan

mengalami rasemasi (kehilangan kegiatan optik) (Schumm, 1992). Hidrolisis

dapat menyebabkan perubahan sifat suatu senyawa kimia akibat dari

perenggangan ikatan senyawa kimia. Hasil dari hidrolisat tergantung dari jenis

Universitas Sumatera Utara


substrat atau senyawa yang akan dihidrolisis, bahan pelarut hidrolisis, dan kondisi

sekeliling (Mulyono, 2001).

Cara hidrolisis limbah udang yang dilakukan oleh Bastaman (1989),

sebagai berikut:

1. Mengambil sampel limbah udang, kemudian masing-masing dicampur dengan

larutan (NaOH 3%, HCl 6%, dan H2O2 5%).

2. Memberikan perlakuan dengan perbandingan berat limbah udang dan volume

masing-masing 1: 1 ( 100 g limbah tepung udang dalam 100 ml larutan).

3. Mencampur limbah udang dengan larutan tersebut secara merata, selanjutnya

dilakukan pemeraman selama 6 hari untuk hidrolisis dengan NaOH 3% dan HCl

6%, sedangkan untuk H2O2 selama 6 jam.

4. Setelah pemeraman, segera mengeringkan hidrolisat limbah udang dipanas

matahari atau oven 8085oC selama 30 menit.

Proses Fermentasi

Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim

dari mikroba untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia

lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan

menghasilkan produk tertentu (Saono, 1976) dan menyebabkan terjadinya

perubahan sifat bahan tersebut (Winarno, et al., 1980).

Menurut jenis mediumnya, proses fermentasi dibagi 2 yaitu fermentasi

medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat merupakan

proses fermentasi di mana medium yang digunakan tidak larut tapi cukup

mengandung air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi medium

cair adalah proses yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair

Universitas Sumatera Utara


Keuntungan menggunakan medium padat antara lain: (1). Tidak memerlukan

tambahan lain kecuali air. (2). Persiapan inokulum lebih sederhana. (3). Dapat

menghasilkan produk dengan kecepatan tinggi. (4). Kontrol terhadap kontaminan

lebih mudah. (5). Kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh alamiah.

(6). Produktivitas tinggi. (7). Aerasi optimum. (8). Tidak diperlukan kontrol pH

maupun suhu yang teliti (Harjo et al., 1989).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai