Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Arsitektur adalah cerminan dari kebudayaan, oleh karena itu dari sebuah karya arsitektur,
kita dapat mengetahui latar belakang budaya satu bangsa. (Hidayatun 2005).
Arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia, yang lebih dari sekedar fisik, tapi juga
menyangkut pranata-pranata budaya dasar. Pranata ini meliputi: tata atur kehidupan sosial dan
budaya masyarkat, yang diwadahi dan sekaligus mempengaruhi arsitektur. (Rappoport, 1981).
Dari pengertian arsitektur di atas dapat disimpulkan bahwa arsitektur selalu dipengaruhi
oleh sosial dan budaya masyarakatnya. Perkembangan arsitektur sejalan dengan perkembangan
perbedaan manusia dari periode ke periode berikutnya. Dimana manusia membutuhkan ruang
sebagai wadah kegiatan hidup dengan aman, nyaman, bermanfaat, dan dapat memberikan
kenikmatan, dan rasa kebahagiaan.
Demikian pula dengan arsitektur di Indonesia, perkembangan arsitektur di Indonesia
dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan budaya masyarakatnnya, termasuk juga pengaruh dari
zaman kolonialisme Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh
Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan. Para
pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional dalam
perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunannya. Adanya
pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial Belanda di Indonesia menjadi fenomena
budaya yang unik. Arsitektur kolonial di berbagai tempat di Indonesia bila diteliti lebih jauh,
mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri antara tempat yang satu dengan yang lain.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang pengaruh arsitektur kolonial di Indonesia, maka penulis mengambil
studi kasus pada bangunan Museum Fatahillah yang terletak di Kota Tua Jakarta sebagai objek
pengamatan. Dari objek tersebut didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:

1.2.1 Elemen arsitektur kolonial apa saja yang terdapat pada Museum Fatahillah?

1
1.2.2 Bagaimana peran & pengaruh arsitektur kolonial di Museum Fatahillah?

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah, maka ditentukan tujuan dari
pengerjaan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui elemen-elemen arsitektur kolonial yang ada di Museum Fatahillah.
1.3.2 Untuk mempelajari dan mengetahui peran & pengaruh arsitektur kolonial di Museum
Fatahillah.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Untuk mahasiswa


a) Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai perkembangan arsitektur kolonial di
Indonesia, khususnya Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta.
b) Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam pembuatan makalah.

1.4.2 Untuk Masyarakat


a) Memberi informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan arsitektur kolonial di
Indonesia
b) Memberi informasi tentang Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta

1.4.3 Untuk dosen


a) Memberi wawasan tambahan kepada Bapak/Ibu dosen mengenai pengaruh arsitektur kolonial
pada Museum Fatahillah
b) Membantu Bapak/Ibu dosen untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam pembuatan
makalah.

1.5 Sistematika Penulisan

2
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penhyusunan makalah mata kuliah
Arsitektur Indonesia dengan judul Peran dan Pengaruh Arsitektur Kolonial Pada Museum
Fatahillah di Kota Tua Jakarta ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dari
penulisan malah ini, manfaat baik bagi mahasiswa maupun dosen, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisikan tinjauan-tinjauan teori yang akan digunakan untuk membantu
pembahasan pada bab IV. Tinjauan yang dimaksud seperti pengertian dari pengaruh dan
arsitektur kolonial Belanda termasuk didalamnya ciri-ciri serta karakteristiknya.
BAB III ARSITEKTUR MUSEUM FATAHILLAH
Pada bab ini membahas tentang arsitektur yang terdapat pada objek yaitu Museum
Fatahillah di Kota Tua Jakarta. Dalam bab ini menguraikan mengenai lokasi objek, sejarah dari
Museum Fatahillah, beserta elemen-elemen arsitektur yang terdapat pada objek.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab pembahasan ini akan dilakukan analisa mengenai elemen-elemen arsitektur
yang terdapat pada Museum Fatahillah serta dikaitkan dengan objek dari segi pengaruhnya.
BAB V PENUTUP
Pada bab penutup ini berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan beserta saran sebagai usaha
pengembangan makalah.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental (Barat) dalam
berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan. Para pengelola kota dan arsitek
Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional dalam perencanaan dan
pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunannya. Adapun peran dan pengaruh dari
arsitektur Kolonial Belanda yang terdapat di Indonesia. Menurut Soekanto (1990:268), peran
adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Sementara
menurut Liliweri (n.d), peran adalah sebuah harapan budaya terhadap suatu posisi atau
kedudukan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan peran sebagai
perangkat tingkah yg diharapkan dimiliki oleh orang yg berkedudukan di masyarakat. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 849), pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari
sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.
Sementara itu, Surakhmad (1982:7) menyatakan bahwa pengaruh adalah kekuatan yang muncul
dari suatu benda atau orang dan juga gejala dalam yang dapat memberikan perubahan terhadap
apa-apa yang ada di sekelilingnya. Jadi, dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa pengaruh merupakan suatu daya atau kekuatan yang timbul dari sesuatu, baik itu orang
maupun benda serta segala sesuatu yang ada di alam sehingga mempengaruhi apa-apa yang ada
di sekitarnya.

2.2 Pengertian Arsitektur Kolonial


Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan
Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukkan bagi bangsa
Belanda yang tinggal di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan. (Safeyah, 2006).
Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa kedaerah
jajahannya. Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan di

4
Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun
1942. (Soekiman,2011).

2.3 Perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia


Dalam perkembangan arsitektur kolonial di Indonesia sejarah mencatat, bahwa bangsa
Eropa yang pertama kali dating ke Indonesi adalah Portugis, yang kemudian diikuti oleh
Spanyol, Inggris, dan Belanda. Pada mulanya kedatangan mereka dengan maksud berdagang.
Mereka membangun rumah dan pemukiman di beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak
dekat dengan pelabuhan. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu dan papan dengan penutup
atap ijuk. Namun karena sering terjadi konflik mulailah dibangun benteng. Hampir di setiap kota
besar di Indonesia.
Dalam benteng tersebut, mulailah bangsa Eropa membngun beberapa bangunan dari
bahan batu bata. Batu bata dan para tukang didatangkan dari Negara Eropa. Mereka membangun
banyak rumah, gereja dan bangunan-bangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan
arsitektur yang sama persis dengan negara asal mereka. Dari era ini mulailah berkembang
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Setelah memiliki pengalaman yang cukup dalam
membangun rumah dan bangunan di daerah tropis lembab, maka mereka mulai memodifikasi
bangunan mereka dengan bentuk-bentuk yang lebih tepat dan dapat meningkatkan kenyamanan
di dalam bangunan.
Helen Jessup dalam Handinoto (1996: 129-130) membagi periodisasi perkembangan
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat
bagian, yaitu:

2.3.1 Abad 16 sampai tahun 1800-an

Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di
bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada
bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas.
Bahkan yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi
dengan iklim dan lingkungan setempat.

5
2.3.2 Tahun 1800-an sampai tahun 1902

Ketika itu, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang
VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815. Hindia Belanda
kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan
untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-
19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung
yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya
arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu
itu. Terbentuk gaya arsitektur tersendiri yang dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW yang
dikenal dengan the Empire style, atau The Ducth Colonial Villa : Gaya arsitektur neo-klasik yang
melanda Eropa (terutama Prancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya terbentuk gaya
Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang disesuaikan dengan ingkungan lokal, iklim dan
material yang tersedia pada masa itu. Bangunan-bangunan yang berkesan grandeur (megah)
dengan gaya arsitektur Neo Klasik dikenal Indische Architectuur karakter arsitektur seperti:

a. Denah simetris dengan satu terbuka, pilar di serambi depan dan belakang (ruang makan)
dan didalamnya terdapat serambi tengah yang mejuju ke ruang tidur dan kamar-kamar
lamnya;

b. Pilar menjulang ke atas (gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas serambi
depan dan belakang;

c. Menggunakan atap perisai.

2.3.3 Tahun 1902-1920-an

Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang dinamakan politik
etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang Belanda tumbuh dengan
cepat. Dengan adanya suasana tersebut, maka indische architectuur menjadi terdesak dan

6
hilang. Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun
pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.

2.3.4 Tahun 1920 sampai tahun 1940-an

Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun
internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya
saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga
muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul
arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia
Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber
pengembangannya.

2.4 Karakteristik Arsitektur Kolonial Belanda

Sebagai sebuah langgam arsitektur, tentu arsitektur kolonial Belanda di Indonesia ini
memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dari arsitektur lainnya di Indonesia.
Karakteristik bangunan kolonial ini dapat terlihat secara fisik dan non fisik. Ciri fisik dapat
terlihat dari fasade bangunan, material, elemen-elemen pembentuk bangunannya (lantai, dinding,
dan atap), serta ragam hias dari bangunan tersebut. Berikut merupakan beberapa karakter yang
dapat dilihat dari beberapa elemen yang biasa digunakan pada bangunan kolonial.

a. Gable/Gevel
Terletak pada bagian depan atau tampak bangunan, memiliki bentuk segitiga atau yang
mengikuti bentuk dari atap bangunan itu sendiri.

b. Tower/Menara
Memiliki bentuk yang sangat beragam, mulai dari bentuk kotak segi empat, segi enam, bulat,
hingga bentuk-bentuk geometris lainnya, dan beberapa di antara memadukanya denga gevel
depan. Tower / menara biasanya berfungsi sebagai penanda pintu masuk bagian depan bangunan.

7
c. Nok Acroteire / Hiasan Puncak Atap
Hiasan puncak atap biasanya digunakan pada rumah-rumah para petani di Belanda. Pada
awalnya di Negara Belanda hiasan puncak atap menggunakan alang-alang, namun di daerah
Hindia Belanda hiasan ini dibuat menggunakan semen.

d. Dormer/Cerobong Asap Semu


Memiliki fungsi untuk penghawaan dan pencahayaan pada bangunan. Memiliki bentuk yang
menjulang tinggi keatas, dormer di negara aslinya, Belanda, biasanya digunakan sebagai ruang
atau cerobong asap perapian.

e. Windwijer / Penunjuk Angin


Berfungsi sebagai penunjuk arah angin, biasanya diletakan di atas nok dan dapat berputar
mengikuti arah angin.

f. Ballustrade
Memiliki fungsi sebagai pagar pembatas balkon, ataupun dek bangunan. Biasanya terbuat dari
beton cor ataupun dari bahan metal.

g. Tympanum
Bagian dari bentuk geometri dan hiasan (dekorasi) yang berbentuk segitiga (kadang juga
setengah lingkaran) di atas pintu, jendela atau portico. Di Indonesia, banyak digunakan pada
bagian atas portico, bentukan atap, serta di atas pintu dan jendela.

h. Geveltoppen
Geveltoppen atau hiasan kemuncak tampak depan terlentak di puncak gevel. Ragam hias yang
dipahatkan seringkali berupa huruf yang distilisasi sehingga menjadi motif ragam hias
(runenschrift)

8
i. Ragam Hias Pada Tubuh Bangunan
Ragam hias juga terdapat pada bagian tubuh bangunan, misalnya pada lubang-lubang angin
(bovenlicht) yang terletak diatas pintu atau jendela. Selain itu ragam hias juga bisa terdapat di
kolom-kolom yang berjajar dengan gaya neo clasic.

j. Fasade Simetris
Fasade bangunan memiliki komposisi yang simetri dengan perulangan yang seimbang serta
bentuk hirarki yang terpusat menurut skala, wujud dan peletakkan unsur-unsur fasade bangunan
seperti pada kolom, jendela, serta tower dan memiliki nilai hirarki yang tinggi pada entrance
sebagai komposisi yang dominan pada fasade bangunan.

k.. Material Dari Batu Bata / Kayu Tanpa Pelapis


Penggunaan material batu bata dan/atau kayu tanpa pelapis disesuaikan dengan karakter dan
material lokal yang terdapat di daerah.

l. Entrance Mempunyai 2 Daun Pintu


Penggunaan entrance utama bangunan kolonial biasanya menggunakan pintu dengan 2 daun
pintu (pintu dari serambi/ruang tamu menuju ruang keluarga/utama). Sedangkan pintu lain di
dalam ruangan menggunakan pintu dengan 1 daun.

m. Pintu Masuk Terletak di Samping Bangunan


Tipe rumah kolonial tahun 1950-an (tipe jengki), memiliki ciri-ciri pintu rumah telah bergeser ke
pinggir (tidak di bagian depan bangunan).

n. Denah Simetris
Bentukan simetris pada rumah tinggal yang menggunakan susunan dua lajur kolom (ruang)
dengan koridor di tengah bangunan, sehingga terbentuk garis simetri bangunannya. Penataan ini
sesuai dengan studi yang menunjukkan mengenai pola simetris rumah tinggal kolonial. Aspek
simetris pada bangunan dapat dilihat secara sebagian, dalam arti simetris pada unit ruang. Aspek
simetris dapat terlihat pada tatanan fasade, yang terdiri atas penataan pintu dan jendela utama.

9
o. Jendela Besar Berbingkai Kayu

Gambar 2.1 Tipologi Bentuk Jendela Bangunan Kolonial

Sumber: Bunga Indra (2011:150)

Bangunan kolonial Belanda identik dengan jendela-jendela besar dengann bingkai kayu.
Terdapat 3 tipe bentuk jendela yaitu jendela tunggal dengan bukaan satu arah, jendela rangkap
ganda yaitu jendela dengan dua rangkap (kayu di luar, kaca di dalam), dan jendela ganda yaitu
jendela dengan dua bukaan keluar.

p. Cripedoma
Merupakan trap-trap tangga naik menuju bangunan (untuk masuk ke bangunan melewati
beberapa tingkat tangga).

q. Kolom-Kolom Berjajar
Ciri/karakteristik ini merupakan perkembangan dari gaya klasik di eropa, dengan deretan kolom-
kolom besar di bagian fasade depan bangunan untuk memberi kesan megah, besar, kokoh dan
kuat bagi bangunan dan status orang yang mendiaminya.

10
BAB III
ARSITEKTUR MUSEUM FATAHILLAH

3.1 Letak Museum Fatahillah

Gambar 3.1 Letak Museum Fatahillah Ditinjau Dari Pulau Jakarta


Sumber: www.google.com/maps/place/Museum+Sejarah+Jakarta

Gambar 3.2 Letak Museum Fatahillah Di Kota Tua Jakarta


Sumber: www.google.com/maps/place/Museum+Sejarah+Jakarta

Museum Fatahillah terletak di Jalan Taman Fatahillah No.1, Pinangsia, Tamansari, Kota
Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11110, Indonesia. Museum ini terletak dalam satu
kawasan di Kota Tua dimana terdapat 5 Museum, yaitu Museum Fatahillah, Museum Wayang,
Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Bank Indonesia, dan Museum Bank Mandiri. Letak
Museum Fatahillah ini persis berada di depan pelataran Kota Tua.

11
3.2 Sejarah Museum Fatahillah
Museum Fatahillah Jakarta adalah salah satu bangunan gedung peninggalan Era
penjajahan Belanda, Selain itu gedung ini merupakan salah satu bangunan bersejarah yang
merupakan saksi bisu perjuangan bangsa kita meraih kemerdekaan. Museum yang terletak pada
wilayah Jakarta pusat ini, memang memiliki ketertarikan tersendiri. Selain letaknya pada pusat
kota, museum ini juga menyimpan sejarah pada masa penjajahan Belanda di tanah air khususnya
di Jakarta.
Pada awalnya museum fatahillah merupakan bangunan kolonial Belanda yang
dipergunakan sebagai balai kota. Peresmian gedung dilakukan pada tanggal 27 April 1626, oleh
Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier (1623-1627) dan membangun gedung balai kota baru
yang kemudian direnovasi pada tanggal 25 Januari 1707, pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Joan van Hoorn dan baru selesai pada tanggal 10 Juli 1710 di masa pemerintahan lain,
yaitu pada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck. Gedung yang dipergunakan sebagai
Balaikota ini, juga memiliki fungsi sebagai Pengadilan, Kantor Catatan Sipil, tempat warga
beribadah di hari Minggu, dan Dewan Kotapraja (College van Scheppen). Kemudian sekitar
tahun 1925-1942, gedung tersebut juga digunakan untuk mengatur sistem Pemerintahan pada
Provinsi Jawa Barat. Kemudian tahun 1942-1945, difungsikan sebagai kantor tempat
pengumpulan logistik Dai Nippon.
Kemudian sekitar tahun 1919 untuk memperingati berdirinya batavia ke 300 tahun, warga
kota Batavia khususnya para orang Belanda mulai tertarik untuk membuat sejarah tentang kota
Batavia. Lalu pada tahun 1930, didirikanlah yayasan yang bernama Oud Batavia (Batavia Lama)
yang bertujuan untuk mengumpulkan segala hal tentang sejarah kota Batavia. Tahun 1936,
Museum Oud Batavia diresmikan oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer
(1936-1942), dan dibuka untuk umum pada tahun 1939.. Setelah itu pada tahun 1968 gedung ini
diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta dan kemudian dijadikan sebagai Museum pada tahun
1974.
Sejarah Museum Fatahillah berdasarkan pembentukannya hingga bisa kita kunjungi
sampai sekarang ini, menyimpan sisa penjajahan di dalamnya. Terbentuk menjadi dua lantai
dengan ruang bawah tanah ini, berisikan banyak peninggalan bersejarah yaitu :

12
Lantai bawah : Berisikan peninggalan VOC seperti patung, keramik-keramik barang
kerajinan seperti prasasti, gerabah, dan penemuan batuan yang ditemukan para arkeolog.
Terdapat pula peninggalan kerajinan asli Betawi (Batavia) seperti dapur khas Betawi
tempo dulu
Lantai dua : Terdapat perabotan peninggalan para bangsa Belanda mulai dari tempat tidur
dan lukisan-lukisan, lengkap dengan jendela besar yang menghadap alun-alun. Konon,
jendela besar inilah yang digunakan untuk melihat hukuman mati para tahanan yang
dilakukan di tengah alun-alun.
Ruang bawah tanah : Yang tidak kalah penting pada bangunan ini adalah, penjara bawah
tanah para tahanan yang melawan pemerintahan Belanda. Terdiri dari 5 ruangan sempit
dan pengap dengan bandul besi, sebagai belenggu kaki para tahanan.

3.3 Arsitektur Museum Fatahillah


Bangunan Museum Fatahillah yang telah berdiri sejak tahun 1626 ini memiliki ciri
arsitektur neoklasik dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari
kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin. Museum ini
memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok dan sebuah
kolam dihiasi beberapa pohon tua.

Gambar 3.3 Arsitektur Museum Fatahillah Di Kota Tua Jakarta


Sumber: www.google.com/maps/place/Museum+Sejarah+Jakarta

13
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan tinjauan pustaka, terdapat beberapa elemen yang menjadi ciri khas
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Namun tidak semua elemen arsitektur tersebut
terdapat pada bangunan Museum Fatahillah sehingga diperlukan batasan-batasan pembahasan
dari elemen arsitektur kolonial di objek pengamatan. Berikut merupakan elemen-elemen yang
terdapat pada bangunan Museum Fatahillah.

4.1 Elemen Arsitektur Kolonial Pada Museum Fatahillah

Elemen arsitektur kolonial pada Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta dapat dilihat dari
tampilan bangunan yang memiliki elemen arsitektur Belanda yang melahirkan bangunan dengan
arsitektur kolonial yang unik. Pengaruh kolonial terlihat pada elemen-elemen bangunan museum
yang dapat diuraikan sebagai berikut.

4.1.1 Fasade Simetris

Gambar 4.1 Fasade Simetris Museum Fatahillah


Sumber: modifikasi www.google.com/image /Museum+Sejarah+Jakarta

14
Museum Fatahillah ini memiliki fasade yang simetris, dengan bentuk persegi panjang dan
serambi di bagian depan bangunan. Bangunan terletak di bagian barat tapak dan mengahdap ke
arah Timur, dengan fasade yang memanjang. Dimana bangunan dibagi menjadi tiga bagian yaitu
kepala (atap bangunan yang memiliki penunjuk arah mata angin), badan (dinding), dan kaki
(batur/lantai)

4.1.2 Entrance Mempunyai Dua Daun Pintu

Gambar 4.2 Pintu Ganda di bagian depan Museum Fatahillah


Sumber: yesi 21.09.2016

15
Entrance utama menuju museum menggunakan pintu dengan dua daun pintu. Bentuk dari
pintu tidak terdapat ornamen hias yang banyak, hanya terdapat lis dengan bentuk sederhana.
Pintu ini menggunakan bukaan ke arah dalam bangunan.

4.1.3 Denah Simetris

Gambar 4.3 Denah Museum Fatahillah


Sumber: modifikasi www.google.co.id/ denah+museum+fatahillah

Denah terlihat simetris dengan adanya serambi dan deretan kolom disepanjang
koridor bangunan. Terlihat pada denah, koridor memegang peranan penting, karena setiap
ruangan museum dihubungkan dengan koridor/selasar tersebut.

16
4.1.4 Jendela Besar Berbingkai Kayu

Gambar 4.4 Jendela Kayu di Museum Fatahillah


Sumber: yesi 21.09.2016

Bentuk jendela persegi panjang dengan material dari kayu jati berwarna hijau tua dengan
bukaan mengarah keluar. Bukaan jendela mencapai hampir 1800, hingga jendela sampai
menyentuh dinding luar. Ciri khas ini juga menjadi ciri khas dari arsitektur di Jakarta/Betawi.
Jendela tidak menggunakan material kaca, sehingga bila jendela di tutup maka ruangan di
dalamnya akan menjadi gelap.

17
4.1.5 Dormer

Gambar 4.5 Dormer di Museum Fatahillah


Sumber: yesi 21.09.2016

Dormer merupakan jendela yang terletak di atap bangunan. Pada museum Fatahillah
terdapat dormer yang terletak bagian depan atap bangunan yang menghadap kearah timur.

4.1.6 Gevel (Gable)

Gambar 4.6 Gevel di Fasade Depan Museum Fatahillah


Sumber: yesi 21.09.2016

18
Gevel / Gable terletak pada bagian depan atau tampak bangunan, memiliki bentuk
segitiga atau yang mengikuti bentuk dari atap bangunan itu sendiri. Bentuk gevel di museum ini
menggunakan bentuk pediment yaitu bentuk segitiga di tampak bangunan. Pada bangunan klasik
biasanya menggunakan penutup atap dengan material beton, namun di bangunan musem ini
tetap menggunakan genteng sebagai ciri khas bangunan tropis di Indonesia. Selain itu, pada
gevel/gable ini juga terdapat overstack sehingga air hujan tidak langsung mengenai bagian depan
gevel.

4.1.7 Tower dan Windwijzer (penunjuk angin)

WINDWIJZE
R

TOWER

Gambar 4.7 Tower dan Windwijzer (penunjuk arah mata angin) di Museum Fatahillah
Sumber: yesi 21.09.2016

Keberadaan tower mencirikann bahwa bangunan mempuyai cirri khas arsitektur kolonial
Belanda. Dimana pada Museum Fatahillah memiliki sebuah tower yang di bagian atasnya
terdapat alat penunjuk arah mata angin.

19
4.1.8 Cripedoma

Gambar 4.8 Cripedoma di Museum Fatahillah


Sumber: yesi 21.09.2016

Cripedoma atau trap tangga naik menuju bangunan ini terletak di depan serambi. Tangga
naik menghubungkan halaman dengan bangunan Museum.

4.1.9 Kolom-Kolom Berjajar

Gambar 4.9 Kolom-Kolom Berjajar di Museum Fatahillah


Sumber: yesi 28.06.1996

20
Bangunan Museum Fatahillah menggunakan deretan kolom berjajar di bagian koridor
depan bangunan. Kolom ditata berjajar sepanjang selasar. Dari segi bentuk dan ornamen yang
digunakan adalah ornament bangunan tropis.

4.2 Tabel Elemen Arsitektur Kolonial Belanda di Museum Fatahillah

Di Museum Semarajaya
No. Elemen Arsitektur Kolonial Belanda
Ada Tidak Ada
1. Fasade simetris v
2. Material dari bata atau kayu tanpa pelapis v
3. Entrance mempunyai dua daun pintu v
4. Pintu masuk terletak di samping bangunan v
5. Denah simetris v
6. Jendela besar berbingkai kayu v
7. Dormer v
8. Gevel (gable) pada tampak bangunan v
9. Tower v
10. Windwijzer (penunjuk angin) v
11. Nok acroterie (hiasan puncak atap) v
Geveltoppen (hiasan kemuncak atap
12. v
depan)
13. Balustrade v

14. Ragam hias klasik pada tubuh bangunan v


15. Cripedoma (trap-trap tangga naik) v
Kolom-kolom berjajar (seperti gaya
16. neoclasik) v
17 Tympanum v
Tabel 4.1 Elemen Arsitektur Kolonial Belanda di Museum Fatahillah

4.3 Peran & Pengaruh Arsitektur Kolonial di Museum Fatahillah

21
Gaya arsitektur kolonial di Indonesia seolah lekat dengan perjalanan panjang negeri ini
dalam bingkai pembangunan menuju kemerdekaan. Bangunan-bangunan bergaya kolonial
banyak tersebar diberbagai kota di tanah air sebagai dampak dari pengaruh kolonialisme.
Ditinjau dari objek yaitu Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta, dapat diuraikan peran serta
pengaruh arsitektur kolonial terhadap museum ini, sebagai berikut.
A. Tipologi Baru

Arsitektur kolonial merupakan sebutan singkat untuk langgam arsitektur yang


berkembang selama masa pendudukan Belanda di tanah air. Masuknya unsur Eropa ke dalam
komposisi kependudukan menambah kekayaan ragam arsitektur di nusantara. Seiring
berkembangnya peran dan kuasa, kamp-kamp Eropa semakin dominan dan permanen hingga
akhirnya berhasil berekspansi dan mendatangkan tipologi bangunan-bangunan baru. Semangat
modernisasi dan globalisasi (khususnya pada abad ke-18 dan ke-19) memperkenalkan bangunan
modern seperti administrasi pemerintah kolonial, rumah sakit, sekolah atau fasilitas militer.
Dilihat dari peran bangunan tentu tidak ditemukan tipologi bangunan pemerintahan
kolonial (dahulunya Museum Fatahillah adalah bangunan pemerintahan kolonial) ataupun
tipologi bangunan museum. Hal ini bertanda bahwa arsitektur kolonial berperan penting terhadap
berkembangnya tipologi-tipologi bangunan baru seperti saat ini.

B. Perkembangan & Kombinasi Arsitektur

Adanya kolonialisme juga mempengaruhi perkembangan arsitektur di Indonesia.


Perkembangan baik dari segi jenis, material, langgam/gaya, serta perkawinan/ kombinasi
arsitektur. Hal ini dapat dilihat dari objek Museum Fatahillah dimana terdapat perbedaan dari
jenis bangunan, material yang digunakan, serta langgam/ gaya bangunan yang timbul lain
daripada bangunan disekitarnya. Kombinasi dari arsitektur eropa dan lokal ini menghasilkan
bangunan dengan langgam kolonial khas Indonesia dengan gaya tropis.

BAB IV
22
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Arsitektur kolonial Belanda berperan dan memberi pengaruh terhadap perkembangan


desain arsitektur di Indonesia. Masuknya Belanda ke Indonesia memberi perubahan pada
tampilan arsitektur tradisional di Indonesia. Bangunan-bangunan yang muncul dengan
perkawinan arsitektur modern dari Belanda dengan arsitektur khas tropis di Nusantara
menyebabkan lahirnya bangunan dengan gaya kolonial yang unik
.Secara khusus, pada bangunan Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta muncul sebagai
salah satu hasil pencampuran tampilan arsitektur Belanda dengan arsitektur lokal. Ciri khas
kolonial ini dapat dilihat dari tampilan fasade bangunannya yang simetris, denah simetris,
tampilan pintu & jendelanya, gevel, balustrade, kolom yang berderet dan lain sebagainya.

4.2 Saran
Sisi positif dari arsitektur kolonial di Indonesia dapat dipergunakan sebagai pelajaran.
Arsitektur kolonial timbul karena adaptasi dan penyesuaian nilai arsitektur luar dengan arsitektur
lokal dengan penyesuaian elemen-elemen pembentuknya. Diharapkan kajian mengenai bangunan
kolonial Museum Faatahillah ini mampu menjadi acuan terhadap perkembangan bentuk
arsitektur kolonial yang berlandaskan kebudayaan lokal dan iklim tropis, sehingga diharapkan
bentuk-bentuk arsitektur mampu dijadikan cerminan pada bangunan kolonial di Indonesia serta
mampu dijadikan titik awal mengenai karakteristik, peran serta pengaruh arsitektur kolonial
dalam rangka menambah pengetahuan mengenai pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia
serta menganalisis bangunan sebagai cagar budaya dan kekayaan bangsa Indonesia

Daftar Pustaka

23
http://nuharifiandi.blogspot.co.id/2012/03/arsitektur-kolonial-belanda.html
https://iketsa.wordpress.com/2010/05/29/karakteristik-arsitektur-kolonial-belanda/
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Fatahillah
http://satupedang.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-gedung-museum-fatahillah.html
https://www.google.co.id/maps/place/Museum+Sejarah+Jakarta

24

Anda mungkin juga menyukai