PENDAHULUAN
Dari latar belakang pengaruh arsitektur kolonial di Indonesia, maka penulis mengambil
studi kasus pada bangunan Museum Fatahillah yang terletak di Kota Tua Jakarta sebagai objek
pengamatan. Dari objek tersebut didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Elemen arsitektur kolonial apa saja yang terdapat pada Museum Fatahillah?
1
1.2.2 Bagaimana peran & pengaruh arsitektur kolonial di Museum Fatahillah?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah, maka ditentukan tujuan dari
pengerjaan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui elemen-elemen arsitektur kolonial yang ada di Museum Fatahillah.
1.3.2 Untuk mempelajari dan mengetahui peran & pengaruh arsitektur kolonial di Museum
Fatahillah.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
2
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penhyusunan makalah mata kuliah
Arsitektur Indonesia dengan judul Peran dan Pengaruh Arsitektur Kolonial Pada Museum
Fatahillah di Kota Tua Jakarta ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dari
penulisan malah ini, manfaat baik bagi mahasiswa maupun dosen, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisikan tinjauan-tinjauan teori yang akan digunakan untuk membantu
pembahasan pada bab IV. Tinjauan yang dimaksud seperti pengertian dari pengaruh dan
arsitektur kolonial Belanda termasuk didalamnya ciri-ciri serta karakteristiknya.
BAB III ARSITEKTUR MUSEUM FATAHILLAH
Pada bab ini membahas tentang arsitektur yang terdapat pada objek yaitu Museum
Fatahillah di Kota Tua Jakarta. Dalam bab ini menguraikan mengenai lokasi objek, sejarah dari
Museum Fatahillah, beserta elemen-elemen arsitektur yang terdapat pada objek.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab pembahasan ini akan dilakukan analisa mengenai elemen-elemen arsitektur
yang terdapat pada Museum Fatahillah serta dikaitkan dengan objek dari segi pengaruhnya.
BAB V PENUTUP
Pada bab penutup ini berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan beserta saran sebagai usaha
pengembangan makalah.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun
1942. (Soekiman,2011).
Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di
bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada
bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas.
Bahkan yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi
dengan iklim dan lingkungan setempat.
5
2.3.2 Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Ketika itu, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang
VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815. Hindia Belanda
kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan
untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-
19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung
yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya
arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu
itu. Terbentuk gaya arsitektur tersendiri yang dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW yang
dikenal dengan the Empire style, atau The Ducth Colonial Villa : Gaya arsitektur neo-klasik yang
melanda Eropa (terutama Prancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya terbentuk gaya
Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang disesuaikan dengan ingkungan lokal, iklim dan
material yang tersedia pada masa itu. Bangunan-bangunan yang berkesan grandeur (megah)
dengan gaya arsitektur Neo Klasik dikenal Indische Architectuur karakter arsitektur seperti:
a. Denah simetris dengan satu terbuka, pilar di serambi depan dan belakang (ruang makan)
dan didalamnya terdapat serambi tengah yang mejuju ke ruang tidur dan kamar-kamar
lamnya;
b. Pilar menjulang ke atas (gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas serambi
depan dan belakang;
Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang dinamakan politik
etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang Belanda tumbuh dengan
cepat. Dengan adanya suasana tersebut, maka indische architectuur menjadi terdesak dan
6
hilang. Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun
pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.
Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun
internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya
saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga
muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul
arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia
Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber
pengembangannya.
Sebagai sebuah langgam arsitektur, tentu arsitektur kolonial Belanda di Indonesia ini
memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dari arsitektur lainnya di Indonesia.
Karakteristik bangunan kolonial ini dapat terlihat secara fisik dan non fisik. Ciri fisik dapat
terlihat dari fasade bangunan, material, elemen-elemen pembentuk bangunannya (lantai, dinding,
dan atap), serta ragam hias dari bangunan tersebut. Berikut merupakan beberapa karakter yang
dapat dilihat dari beberapa elemen yang biasa digunakan pada bangunan kolonial.
a. Gable/Gevel
Terletak pada bagian depan atau tampak bangunan, memiliki bentuk segitiga atau yang
mengikuti bentuk dari atap bangunan itu sendiri.
b. Tower/Menara
Memiliki bentuk yang sangat beragam, mulai dari bentuk kotak segi empat, segi enam, bulat,
hingga bentuk-bentuk geometris lainnya, dan beberapa di antara memadukanya denga gevel
depan. Tower / menara biasanya berfungsi sebagai penanda pintu masuk bagian depan bangunan.
7
c. Nok Acroteire / Hiasan Puncak Atap
Hiasan puncak atap biasanya digunakan pada rumah-rumah para petani di Belanda. Pada
awalnya di Negara Belanda hiasan puncak atap menggunakan alang-alang, namun di daerah
Hindia Belanda hiasan ini dibuat menggunakan semen.
f. Ballustrade
Memiliki fungsi sebagai pagar pembatas balkon, ataupun dek bangunan. Biasanya terbuat dari
beton cor ataupun dari bahan metal.
g. Tympanum
Bagian dari bentuk geometri dan hiasan (dekorasi) yang berbentuk segitiga (kadang juga
setengah lingkaran) di atas pintu, jendela atau portico. Di Indonesia, banyak digunakan pada
bagian atas portico, bentukan atap, serta di atas pintu dan jendela.
h. Geveltoppen
Geveltoppen atau hiasan kemuncak tampak depan terlentak di puncak gevel. Ragam hias yang
dipahatkan seringkali berupa huruf yang distilisasi sehingga menjadi motif ragam hias
(runenschrift)
8
i. Ragam Hias Pada Tubuh Bangunan
Ragam hias juga terdapat pada bagian tubuh bangunan, misalnya pada lubang-lubang angin
(bovenlicht) yang terletak diatas pintu atau jendela. Selain itu ragam hias juga bisa terdapat di
kolom-kolom yang berjajar dengan gaya neo clasic.
j. Fasade Simetris
Fasade bangunan memiliki komposisi yang simetri dengan perulangan yang seimbang serta
bentuk hirarki yang terpusat menurut skala, wujud dan peletakkan unsur-unsur fasade bangunan
seperti pada kolom, jendela, serta tower dan memiliki nilai hirarki yang tinggi pada entrance
sebagai komposisi yang dominan pada fasade bangunan.
n. Denah Simetris
Bentukan simetris pada rumah tinggal yang menggunakan susunan dua lajur kolom (ruang)
dengan koridor di tengah bangunan, sehingga terbentuk garis simetri bangunannya. Penataan ini
sesuai dengan studi yang menunjukkan mengenai pola simetris rumah tinggal kolonial. Aspek
simetris pada bangunan dapat dilihat secara sebagian, dalam arti simetris pada unit ruang. Aspek
simetris dapat terlihat pada tatanan fasade, yang terdiri atas penataan pintu dan jendela utama.
9
o. Jendela Besar Berbingkai Kayu
Bangunan kolonial Belanda identik dengan jendela-jendela besar dengann bingkai kayu.
Terdapat 3 tipe bentuk jendela yaitu jendela tunggal dengan bukaan satu arah, jendela rangkap
ganda yaitu jendela dengan dua rangkap (kayu di luar, kaca di dalam), dan jendela ganda yaitu
jendela dengan dua bukaan keluar.
p. Cripedoma
Merupakan trap-trap tangga naik menuju bangunan (untuk masuk ke bangunan melewati
beberapa tingkat tangga).
q. Kolom-Kolom Berjajar
Ciri/karakteristik ini merupakan perkembangan dari gaya klasik di eropa, dengan deretan kolom-
kolom besar di bagian fasade depan bangunan untuk memberi kesan megah, besar, kokoh dan
kuat bagi bangunan dan status orang yang mendiaminya.
10
BAB III
ARSITEKTUR MUSEUM FATAHILLAH
Museum Fatahillah terletak di Jalan Taman Fatahillah No.1, Pinangsia, Tamansari, Kota
Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11110, Indonesia. Museum ini terletak dalam satu
kawasan di Kota Tua dimana terdapat 5 Museum, yaitu Museum Fatahillah, Museum Wayang,
Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Bank Indonesia, dan Museum Bank Mandiri. Letak
Museum Fatahillah ini persis berada di depan pelataran Kota Tua.
11
3.2 Sejarah Museum Fatahillah
Museum Fatahillah Jakarta adalah salah satu bangunan gedung peninggalan Era
penjajahan Belanda, Selain itu gedung ini merupakan salah satu bangunan bersejarah yang
merupakan saksi bisu perjuangan bangsa kita meraih kemerdekaan. Museum yang terletak pada
wilayah Jakarta pusat ini, memang memiliki ketertarikan tersendiri. Selain letaknya pada pusat
kota, museum ini juga menyimpan sejarah pada masa penjajahan Belanda di tanah air khususnya
di Jakarta.
Pada awalnya museum fatahillah merupakan bangunan kolonial Belanda yang
dipergunakan sebagai balai kota. Peresmian gedung dilakukan pada tanggal 27 April 1626, oleh
Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier (1623-1627) dan membangun gedung balai kota baru
yang kemudian direnovasi pada tanggal 25 Januari 1707, pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Joan van Hoorn dan baru selesai pada tanggal 10 Juli 1710 di masa pemerintahan lain,
yaitu pada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck. Gedung yang dipergunakan sebagai
Balaikota ini, juga memiliki fungsi sebagai Pengadilan, Kantor Catatan Sipil, tempat warga
beribadah di hari Minggu, dan Dewan Kotapraja (College van Scheppen). Kemudian sekitar
tahun 1925-1942, gedung tersebut juga digunakan untuk mengatur sistem Pemerintahan pada
Provinsi Jawa Barat. Kemudian tahun 1942-1945, difungsikan sebagai kantor tempat
pengumpulan logistik Dai Nippon.
Kemudian sekitar tahun 1919 untuk memperingati berdirinya batavia ke 300 tahun, warga
kota Batavia khususnya para orang Belanda mulai tertarik untuk membuat sejarah tentang kota
Batavia. Lalu pada tahun 1930, didirikanlah yayasan yang bernama Oud Batavia (Batavia Lama)
yang bertujuan untuk mengumpulkan segala hal tentang sejarah kota Batavia. Tahun 1936,
Museum Oud Batavia diresmikan oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer
(1936-1942), dan dibuka untuk umum pada tahun 1939.. Setelah itu pada tahun 1968 gedung ini
diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta dan kemudian dijadikan sebagai Museum pada tahun
1974.
Sejarah Museum Fatahillah berdasarkan pembentukannya hingga bisa kita kunjungi
sampai sekarang ini, menyimpan sisa penjajahan di dalamnya. Terbentuk menjadi dua lantai
dengan ruang bawah tanah ini, berisikan banyak peninggalan bersejarah yaitu :
12
Lantai bawah : Berisikan peninggalan VOC seperti patung, keramik-keramik barang
kerajinan seperti prasasti, gerabah, dan penemuan batuan yang ditemukan para arkeolog.
Terdapat pula peninggalan kerajinan asli Betawi (Batavia) seperti dapur khas Betawi
tempo dulu
Lantai dua : Terdapat perabotan peninggalan para bangsa Belanda mulai dari tempat tidur
dan lukisan-lukisan, lengkap dengan jendela besar yang menghadap alun-alun. Konon,
jendela besar inilah yang digunakan untuk melihat hukuman mati para tahanan yang
dilakukan di tengah alun-alun.
Ruang bawah tanah : Yang tidak kalah penting pada bangunan ini adalah, penjara bawah
tanah para tahanan yang melawan pemerintahan Belanda. Terdiri dari 5 ruangan sempit
dan pengap dengan bandul besi, sebagai belenggu kaki para tahanan.
13
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan tinjauan pustaka, terdapat beberapa elemen yang menjadi ciri khas
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Namun tidak semua elemen arsitektur tersebut
terdapat pada bangunan Museum Fatahillah sehingga diperlukan batasan-batasan pembahasan
dari elemen arsitektur kolonial di objek pengamatan. Berikut merupakan elemen-elemen yang
terdapat pada bangunan Museum Fatahillah.
Elemen arsitektur kolonial pada Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta dapat dilihat dari
tampilan bangunan yang memiliki elemen arsitektur Belanda yang melahirkan bangunan dengan
arsitektur kolonial yang unik. Pengaruh kolonial terlihat pada elemen-elemen bangunan museum
yang dapat diuraikan sebagai berikut.
14
Museum Fatahillah ini memiliki fasade yang simetris, dengan bentuk persegi panjang dan
serambi di bagian depan bangunan. Bangunan terletak di bagian barat tapak dan mengahdap ke
arah Timur, dengan fasade yang memanjang. Dimana bangunan dibagi menjadi tiga bagian yaitu
kepala (atap bangunan yang memiliki penunjuk arah mata angin), badan (dinding), dan kaki
(batur/lantai)
15
Entrance utama menuju museum menggunakan pintu dengan dua daun pintu. Bentuk dari
pintu tidak terdapat ornamen hias yang banyak, hanya terdapat lis dengan bentuk sederhana.
Pintu ini menggunakan bukaan ke arah dalam bangunan.
Denah terlihat simetris dengan adanya serambi dan deretan kolom disepanjang
koridor bangunan. Terlihat pada denah, koridor memegang peranan penting, karena setiap
ruangan museum dihubungkan dengan koridor/selasar tersebut.
16
4.1.4 Jendela Besar Berbingkai Kayu
Bentuk jendela persegi panjang dengan material dari kayu jati berwarna hijau tua dengan
bukaan mengarah keluar. Bukaan jendela mencapai hampir 1800, hingga jendela sampai
menyentuh dinding luar. Ciri khas ini juga menjadi ciri khas dari arsitektur di Jakarta/Betawi.
Jendela tidak menggunakan material kaca, sehingga bila jendela di tutup maka ruangan di
dalamnya akan menjadi gelap.
17
4.1.5 Dormer
Dormer merupakan jendela yang terletak di atap bangunan. Pada museum Fatahillah
terdapat dormer yang terletak bagian depan atap bangunan yang menghadap kearah timur.
18
Gevel / Gable terletak pada bagian depan atau tampak bangunan, memiliki bentuk
segitiga atau yang mengikuti bentuk dari atap bangunan itu sendiri. Bentuk gevel di museum ini
menggunakan bentuk pediment yaitu bentuk segitiga di tampak bangunan. Pada bangunan klasik
biasanya menggunakan penutup atap dengan material beton, namun di bangunan musem ini
tetap menggunakan genteng sebagai ciri khas bangunan tropis di Indonesia. Selain itu, pada
gevel/gable ini juga terdapat overstack sehingga air hujan tidak langsung mengenai bagian depan
gevel.
WINDWIJZE
R
TOWER
Gambar 4.7 Tower dan Windwijzer (penunjuk arah mata angin) di Museum Fatahillah
Sumber: yesi 21.09.2016
Keberadaan tower mencirikann bahwa bangunan mempuyai cirri khas arsitektur kolonial
Belanda. Dimana pada Museum Fatahillah memiliki sebuah tower yang di bagian atasnya
terdapat alat penunjuk arah mata angin.
19
4.1.8 Cripedoma
Cripedoma atau trap tangga naik menuju bangunan ini terletak di depan serambi. Tangga
naik menghubungkan halaman dengan bangunan Museum.
20
Bangunan Museum Fatahillah menggunakan deretan kolom berjajar di bagian koridor
depan bangunan. Kolom ditata berjajar sepanjang selasar. Dari segi bentuk dan ornamen yang
digunakan adalah ornament bangunan tropis.
Di Museum Semarajaya
No. Elemen Arsitektur Kolonial Belanda
Ada Tidak Ada
1. Fasade simetris v
2. Material dari bata atau kayu tanpa pelapis v
3. Entrance mempunyai dua daun pintu v
4. Pintu masuk terletak di samping bangunan v
5. Denah simetris v
6. Jendela besar berbingkai kayu v
7. Dormer v
8. Gevel (gable) pada tampak bangunan v
9. Tower v
10. Windwijzer (penunjuk angin) v
11. Nok acroterie (hiasan puncak atap) v
Geveltoppen (hiasan kemuncak atap
12. v
depan)
13. Balustrade v
21
Gaya arsitektur kolonial di Indonesia seolah lekat dengan perjalanan panjang negeri ini
dalam bingkai pembangunan menuju kemerdekaan. Bangunan-bangunan bergaya kolonial
banyak tersebar diberbagai kota di tanah air sebagai dampak dari pengaruh kolonialisme.
Ditinjau dari objek yaitu Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta, dapat diuraikan peran serta
pengaruh arsitektur kolonial terhadap museum ini, sebagai berikut.
A. Tipologi Baru
BAB IV
22
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Sisi positif dari arsitektur kolonial di Indonesia dapat dipergunakan sebagai pelajaran.
Arsitektur kolonial timbul karena adaptasi dan penyesuaian nilai arsitektur luar dengan arsitektur
lokal dengan penyesuaian elemen-elemen pembentuknya. Diharapkan kajian mengenai bangunan
kolonial Museum Faatahillah ini mampu menjadi acuan terhadap perkembangan bentuk
arsitektur kolonial yang berlandaskan kebudayaan lokal dan iklim tropis, sehingga diharapkan
bentuk-bentuk arsitektur mampu dijadikan cerminan pada bangunan kolonial di Indonesia serta
mampu dijadikan titik awal mengenai karakteristik, peran serta pengaruh arsitektur kolonial
dalam rangka menambah pengetahuan mengenai pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia
serta menganalisis bangunan sebagai cagar budaya dan kekayaan bangsa Indonesia
Daftar Pustaka
23
http://nuharifiandi.blogspot.co.id/2012/03/arsitektur-kolonial-belanda.html
https://iketsa.wordpress.com/2010/05/29/karakteristik-arsitektur-kolonial-belanda/
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Fatahillah
http://satupedang.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-gedung-museum-fatahillah.html
https://www.google.co.id/maps/place/Museum+Sejarah+Jakarta
24