Anda di halaman 1dari 11

TOLERANSI UMAT BERAGAMA BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM

PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA


Oleh:
Agus Susilo, S.Pd.B.,M.M
prajnaaguest@gmail.com
Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB)
Jinarakkhita

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah negara yang masyarakatnya bersifat majemuk.
Kemajemukan tersebut terdiri dari adat-istiadat, budaya, suku, agama, ras dan
golongan. Dalam memaknai kemajemukan perlu adanya pemahaman yang tidak
terkontaminasi oleh pikiran yang subyektif atau diskriminatif. Pemahaman benar
adalah bagaimana seseorang mampu mencintai suatu perbedaan dengan rasa
pengertian, penerimaan, serta tenggang rasa atau bersikap toleransi sehingga
keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama dapat terwujud.
Cara berpikir yang fanatik adalah sikap mental yang tidak tepat didalam
kemajemukan. Karena fanatik merupakan sikap mental yang akan
mengkondisikan seseorang terbelenggu dalam keakuan yaitu merasa bahwa apa
yang telah dipahami adalah paling benar. Hal tersebut akan menimbulkan
konflik individu bahkan dapat menjadi suatu konflik yang lebih besar. Sikap
mental seperti inilah yang akan dapat merusak dan menciderai nilai-nilai
keberagaman dalam kebhinekaan Indonesia.
Konflik yang terjadi sering dikarenakan kemajemukan pada masyarakat
Indonesia. Konflik tersebut sering disebabkan adanya pergesekan atau perbedaan
pandangan yaitu masih memiliki cara berpikir yang dangkal dan mudahnya
untuk terprofokasi oleh hal-hal yang belum jelas inti pokok permasalahannya.
Hal ini membuat suatu konflik rentan untuk terjadi dan pokok permasalahan
dapat mengarah kedalam ranah agama.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebagai dasar
pembahasan, maka terdapat beberapa rumusan untuk membahas toleransi umat

1
beragama berbasis kearifan lokal dalam pandangan agama Buddha yaitu sebagai
berikut;
a. Bagaimanakah toleransi umat beragama berbasis kearifan lokal?
b. Bagaimanakan kearifan lokal dalam mewujudkan toleransi umat beragama
dalam perspektif agama Buddha?

3. Tujuan
Terdapat beberapa tujuan untuk memahami toleransi umat beragama
berbasis kearifan lokal dalam perspektif agama Buddha yaitu, antara lain;
a. Mengetahui toleransi umat beragama berbasis kearifan lokal.
b. Memahami kearifan lokal dalam mewujudkan toleransi umat beragama dalam
perspektif agama Buddha.

4. Manfaat
Terdapat beberapa manfaat setelah mengetahui dan memahami
pembahasan tentang toleransi umat beragama berbasis kearifan lokal dalam
perspektif agama Buddha, antara lain;
a. Menambah wawasan atau pengetahuan luas untuk bersikap toleransi antar
umat beragama berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal.
b. Menjadi pelopor dalam mewujudkan sikap toleransi umat beragama di
masyarakat berdasarkan kearifan lokal.

B. PEMBAHASAN
1. Toleransi Umat Beragama
Toleran dalam bahasa latin berarti dapat menanggung, menahan dan
sabar. Toleran adalah kesediaan untuk menerima kehadiran orang yang
berkeyakinan lain, menghormati keyakinan lain, meskipun bertentangan dengan
keyakinan sendiri, tidak memaksakan agama atau kepercayaan kepada orang
lain.
Pengertian Toleransi menurut Kamus Besar Bhasa Indonesia adalah sikap
atau sifat toleran. sedangkan Toleran adalah bersikap tenggang rasa, bersikap
menghargai pendirian orang lain, penyimpangan yang masih dapat diterima
dalam pengukuran kerja (Muda, 2006:534). Berdasarkan pengertian diatas,
sebenarnya makna toleransi tidaklah hanya sebatas itu tetapi lebih memiliki
makna yang mendalam yaitu mencintai perbedaan. Seseorang yang mencintai
perbedaan akan lebih universal tanpa adanya keganjalan apapun untuk menerima
segala perbedaan maupun kekurangan yang dimilki oleh pihak lain.

2
Pengertian umat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
masyarakat, makhluk manusia, penganut suatu agama, pemeluk agama (Muda,
2006:551). Umat yang dikatakan sebagai pemeluk agama merupakan bagian
dari lapisan masyarkat yang berkaitan pada keyakinan seseorang terhadap agama
tertentu. Agama yang diakui di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha dan Kong Hu Chu. Sedangkan beragama adalah prinsip kepercayaan
kepada Tuhan Yang Mahas Esa dengan melaksanakan ajaran dari agama
tersebut.
Toleransi beragama merupakan sifat atau sikap tenggang rasa untuk
menghargai atau menghormati keyakinan orang lain dan dapat hidup bersama
ditengah masyarakat. Mewujudkan keharmonisan dan kerukunan antar pemeluk
umat beragama merupakan tindakan nyata bagi individu yang memiliki
pemahaman yang benar dalam ajaran agamanya.

2. Kearifan Lokal
Kearifan merupakan kebijaksanaan atau kecendekian. Lokal adalah
bersifat atau berlaku secara terbatas yang meliputi tempat, wilayah tertentu.
Kearifan lokal merupakan bagian dari adat kebudayaan suatu masyarakat yang
biasanya diwariskan secara turun temurun. Kearifan lokal dalam mewujudkan
toleransi umat beragama memiliki peran yang sangat penting karena lebih dekat
dengan perilaku individu maupun masyarakat.
Menurut Jamilah & Taufik Rahman (2014), kerukunan umat beragama
tidak cukup dengan hanya mengandalkan para pemuka agama semata atau para
intelektual, namum diperlukan juga sikap kerjasama dan proaktif dari semua
elemen masyarakat. Diperlukan adanya kerjasama yang sehat, terutama dalam
bidang keagamaan. Hal ini dapat terlaksana dengan dibentuknya suatu organisasi
yang didalamnya terdapat semua elemen keagamaan. selain itu, terciptanya sikap
terbuka di antara umat beragama, sehingga tidak terjadi prasangka dan curiga,
terutama dalam hal misi atau dakwah dan juga dalam hal pembangunan tempat
peribadatan.
Kearifan lokal memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan
toleransi umat beragama. Karena dengan kearifan lokal tidak hanya sebatas
mengatasi terjadinya konflik, tetapi mencegah sekaligus memupuk kerukunan
dan keharmonisan antar umat beragama. Budaya dan adat merupakan suatu cara

3
pandang dan pola perilaku masyarakat yang terjadi secara turun menurun
mewujudkan eksistensi kebersamaan individu.

3. Toleransi Umat Beragama Berbasis Kearifan Lokal dalam Perspektif


Agama Buddha
Toleransi ini merupakan konsekuensi dari pengakuan atas hak dan
kebebasan yang sama dari setiap orang untuk hidup menurut keyakinan masing-
masing. Dalam perjumpaan dengan agama lain, selain toleransi, agama Buddha
juga menawarkan welas kasih (karuna) dan kebijaksanaan (prajna) (Edward
Conze 1959).
Sikap toleran menjadi sangat penting menghadapi suatu kondisi dan
fenomena khususnya dalam kehidupan beragama. Upali, seorang hartawan
terkemuka, dikirim oleh gurunya (Nataputa) untuk berdebat dengan Buddha
mengenai beberapa aspek hukum karma. Pada akhir perdebatan Upali
memperoleh keyakinan bahwa pandangan agama Buddha yang benar dan
gurunya sendiri keliru.
Ketika ia mengajukan permohonan untuk menjadi upasaka, Buddha juga
memintanya agar berpikir matang-matang. Upali mengajukan permohonan
sampai tiga kali, dan setelah berjanji untuk tidak menghentikan sokongan
terhadap golongan agama yang pernah dianutnya dahulu, baru Buddha berkenan
mengabulkannya. Sikap ini menunjukkan bagaimana mereka yang telah
memeluk agama Buddha harus tetap menghargai agama lain.
Toleransi bukanlah suatu pilihan, suka atau tidak suka, melainkan
merupakan sebuah kewajiban moral dan etis penganut agama Buddha terhadap
penganut agama lain (Harkiman 1994). Itulah yang ditunjukkan Raja Asoka
(abad ke-3 SM), sebagaimana yang dibaca pada prasasti Batu Kalingga No.XXII
Janganlah kita menghormati agama sendiri dengan mencela agama lain.
Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu.
Dengan menghormati agama orang lain akan membuat agama kita sendiri
berkembang. Apabila berbuat sebaliknya, akan merugikan agama sendiri, dan
juga merugikan agama lain. Oleh karena itu, kerukunan dianjurkan dengan
pengertian biarlah semua orang mendengar dan bersedia mendengar ajaran yang
dianut orang lain.
Menurut Kalama Sutta, orang-orang Kalama dari Kesaputta mengeluh
kepada Buddha, bahwa ada beberapa orang pertapa dan brahmana menyiarkan

4
dan menyebarkan ajaran mereka sendiri yang paling sempurna, dengan
menghina, menjelekkan dan menyerang agama lain. Mendengarnya, orang-orang
kalama menjadi bingung, siapa yang berbicara benar, dan siapa yang berbicara
salah. Lalu Buddha memberikan petunjuk agar mereka jangan mudah percaya
sebelum menyelidiki sendiri dengan benar. Sesuatu yang tidak berguna, tercela
dan tidak dibenarkan oleh orang-orang bijaksana, dan jika diikuti akan
mengakibatkan kerugian dan penderitaan, tentunya harus ditolak.
Benar atau tidak, terkait dengan baik atau buruk, dilihat dari ada tidaknya
unsur keserakahan, kebencian dan kegelapan batin. Hal tersebutlah yang
membuat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya, ia mungkin akan
memaksa dengan kekerasan hingga membunuh, mengambil sesuatu yang tidak
menjadi haknya, melanggar kesusilaan, dan lain-lain. Sebaliknya tanpa
keserakahan, kebencian dan kebodohan, orang dapat mengendalikan dirinya
dengan baik dan pikirannya terarah, batinnya dipenuhi oleh rasa kasih sayang,
belas kasih, simpati dan keseimbangan yang ditujukan ke segala arah tanpa
batas, bebas dari perasaan bermusuhan dan perasaan tertekan, tidak ternoda,
bersih dan hidupnya tenteram (A.I.188-121).
Sejak zaman kehidupan Buddha praktik penghormatan terhadap toleransi
telah dilakukan oleh Buddha dan juga para pengikutnya. Ajaran Buddha
mengajarkan tentang cinta kasih (metta), tanpa kekerasan (ahimsa/avihimsa),
kemurahan hati (dana) dan penghormatan (garava) merupakan contoh nyata
bahwa prinsip-prinsip etika sosial Buddhis sangat ditekankan. Praktik cinta kasih
(metta) akan memungkinkan bagi terciptanya kondisi kerukunan dalam
kaitannya dengan hubungan antarpersonal maupun dalam konteks kehidupan
yang lebih luas. Kerukunan itu tidak lain tercipta karena adanya prinsip saling
mengasihi satu sama lain sehingga masing-masing individu akan merasa
dihargai martabatnya.
Sikap saling menghormati adalah bagian dari nilai yang terkandung
dalam upaya mewujudkan kehidupan toleransi. Dengan kata lain, di dalam
menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang hendaknya berpedoman serta
melihat hakikat yang nyata bahwa pada intinya setiap orang mempunyai
martabat yang sama. Dengan demikian tak ada alasan untuk merendahkan orang
lain atau tidak menghormati mereka sedikit pun.

5
Fanatisme dapat dijumpai disetiap lapisan masyarakat, di negeri maju,
maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada
kelompak awam. Buddha bersabda dalam Canki Sutta;
Dalam hal pembuktian suatu kebenaran apapun yang hanya didasari oleh
keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, pertimbangan dan penerimaan
pandangan melalui perenungan, semuanya bisa benar atau salah (M.95: II
168-77).
Hanya setelah seseorang melakukan penyelidikan dengan usaha yang
tekun dan melalui pengulangan pengembangan faktor-faktor yang mengarah
menuju penemuan kebenaran, serta telah terbebas dari pengaruh keserakahan,
kebencian dan kebodohan batin maka seseorang akhirnya sampai pada
kebenaran; melihat dan menembusnya dengan kebijaksanaan. Dan ia dengan
tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi Nibbana (paramasacca) .

Sikap fanatisme bisa muncul dalam pikiran seseorang yang tidak


terkendali. Dalam Dhammapada Buddha bersabda;

Pikiran mendahului semua kondisi batin, pikiran adalah pemimpin, segalanya


diciptakan oleh pikiran. Apabila dengan pikiran yang jahat seseorang
berbicara atau berbuat dengan jasmani, maka penderitaan akan mengikuti si
pelaku karenanya, seperti roda kereta yang mengikuti jejak kaki lembu
jantan yang menariknya (dikutip dalam Widya 2004).
Buddha telah mengajarkan tentang pentingnya kebebasan berpikir, yaitu
dengan cara melenyapkan belenggu dari pemikiran (Piyadassi 429). Manusia
yang terikat oleh ideologi, pemikiran, serta pandangan yang dipaksakan
kepadanya menyebabkan manusia tersebut tidak akan maju dan berkembang.
Pemikiran manusia tersebut hanya akan terbatas pada ideologi, pemikiran, dan
pandangan yang telah diperolehnya.
Kesadaran akan kemajemukan tidak hanya karena didasari oleh perasaan
suka atau tidak suka, melainkan sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap
penganut agama Buddha terhadap penganut agama lain. Umat Buddha harus
meneladani Raja Asoka sebagai pemeluk agama Buddha yang telah
menunjukkan kesadaran akan berharganya agama lain, yaitu dengan tidak
menghina dan menjelek-jelekannya. Oleh karena itu, umat Buddha harus selalu
berpedoman kepada ajaran Buddha dan tidak meninggalkan cara hidup yang
penuh toleransi, sebagaimana yang tertera dalam nilai moral beragama dari Raja
Asoka, yaitu:

6
Jangan membanggakan agamanya sendiri, jangan mencela ajaran agama
orang lain tanpa alasan yang jelas. Dan jika memang ada alasan untuk
mengkritik, haruslah dilakukan secara lembut. Tetapi tetap saja lebih baik
untuk menghargai ajaran agama lain oleh karena alasan tadi. Dengan
melakukan hal ini, akan memberi keuntungan bagi agama orang itu sendiri
dan begitu pula bagi ajaran agama orang lain, dan berbuat yang sebaliknya
bakal merugikan agama orang itu dan agama orang lainnya. Siapapun yang
membanggakan ajaran agamanya sendiri, oleh karena keyakinan yang
fanatik, dan menghina yang lain dengan pemikiran saya mengagungkan
agama saya hanya akan merugikan agamanya sendiri. Oleh sebab itu,
kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang
hendaknya mendengarkan ajaran-ajaran agamanya dan bersedia juga
mendengarkan ajaran-ajaran yang dianut orang lain, (Dhammika 25-26).

Buddha mengajarkan tentang kesabaran yang memiliki manfaat dan


merupakan latihan mental yang tertinggi. Banyak manfaat yang diperoleh
dengan menerapkan kesabaran. Terkait dengan toleransi antar umat beragama
tentunya sikap sabar dan menerima perbedaan merupakan sikap sabar sehingga
dapat menahan sikap fanatik yang muncul dari dalam diri. Kesabaran disebutkan
sebagai praktek bertapa tertinggi bagi para pertapa. Sebagaimana sabda Buddha
dalam Dhammapada 184;
Kesabaran adalah praktek pertapa yang paling tinggi, nibbana adalah yang
teringgi, begitulah sabda para Buddha. Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang petapa (samana) (dikutip dalam Widya
2004)
Selain praktik kesabaran, Buddha menganjurkan agar para siswanya tidak
menghina agama lain dan kelompok lain, menyakiti orang lain yang berada
dimanapun. Siswa Buddha juga dianjurkan agar dapat mengendalikan diri sesuai
dengan sila, peraturan, serta adat istiadat yang berlaku dimanapun berada.
Pengembangan batin luhur brahma vihara pun seharusnya dikembangkan. Cinta
kasih, kasih sayang/belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin merupakan
pengembangan batin luhur yang membawa seseorang pada pencapaian luhur.
bersabda dalam Dhammapada 184;

Tidak menghina, tidak menyakiti, dapat mengendalikan diri sesuai dengan


peraturan, memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam ditempat yang
sunyi serta giat mengembangkan batin nan luhur, inilah Ajaran Para Buddha
(dikutip dalam Widya 2004).

7
Sikap yang eksklusif dan cenderung merendahkan agama orang lain
menimbulkan penolakan terhadap musyawarah. Hambatan tersebut muncul dari
ingatan konflik sebelumnya. Kesulitan yang sering terjadi adalah masalah
bahasa dan persepsi.
Dalam Brahmajala Sutta tercatat bagaimana Buddha mengajarkan siswa-
Nya agar bersikap kritis terhadap penganutan agama Buddha sendiri; para
bhikkhu, jika ada orang berbicara menentang aku, atau menentang dharma dan
sangha, janganlah karena hal itu engkau menjadi marah, benci dan menaruh
dendam. Jika engkau merasa tersinggung dan sakit hati, hal itu akan
menghalangi perjalananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika engkau merasa
jengkel dan marah ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang menentang
kita, bagaimana engkau dapat menilai sejauh mana ucapannya itu benar atau
salah? [] jika ada orang-orang yang mengucapkan kata merendahkan Aku,
Dharma dan Sangha, engkau harus menjelaskan apa yang keliru dan
menunjukkan kesalahannya dengan menyatakan berdasarkan hal ini dan itu, ini
tidak benar, itu bukan begitu, hal demikian tidak ditemukan diantara kami dan
bukan pada kami.
Untuk menghindari masalah-masalah seperti itu, dapat dilakukan dengan
membersihkan diri dari berbagai kekotoran batin yaitu sifat egoisme dan
sebaliknya mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang untuk menjalin
solidaritas persaudaraan dan kebersamaan yang solid antar sesama umat
beragama. Oleh karena iu sebagai umat Buddha kita harus berpedoman pada
Sabda Buddha dalam Dhammapada syair 5:
Dalam dunia ini, kebencian tidak pernah dapat dilenyapkan dengan
kebencian, kebencian hanya dapat dilenyapkan dengan cinta kasih (kasih
sayang) dan saling memaafkan. Ini adalah kebenaran abadi (dikutip dalam
Widya 2004).

Kebencian akan berakhir kalau kebencian itu kita tinggalkan dan abaikan
dengan demikian suasana hidup nyaman yang penuh dengan hormat menghormati
serta penuh toleransi yang sedang diperjuangkan oleh semua umat beragama hingga
sekarang ini mendambakan adanya kebebasan, kebersamaan, dan solidaritas
persaudaraan dari semua umat yang seagama dan bahkan antar agama akan
terwujud.

C. KESIMPULAN

8
Kerukunan umat beragama merupakan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia
yang harus terus dijaga. Mengingat Indonesia adalah Negara majemuk dan
multicultural yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, golongan serta budaya.
Toleransi merupakan sebuah kewajiban moral dan etis penganut agama Buddha
terhadap penganut agama lain. Dengan adanya toleransi antar umat beragama maka
akan terwujudlah sebuah kerukunan umat beragama. Salah satu penghambat
kerukunan antar umat beragama tersebut adalah sikap fanatik.
Toleransi umat beragama berbasis kearifan lokal yang ditawarkan Buddha
tidak hanya sebatas pada adat istiadat maupun budaya dimasyarakat tertentu untuk
berperan aktif dalam terwujudnya toleransi umat beragama, melainkan pada
kearifan atau kebijaksanaan yang ada dalam diri setiap individu untuk dipupuk
secara terus menerus. Karena terjadinya suatu konflik berasal dari antar individu
yang selanjutnya berpotensi untuk menimbulkan orang lain terprovokasi oleh
masalah yang belum dipahami secara benar. Hal tersebut berdasarkan pada persepsi
yang keliru dari setiap individu dalam memahami problematika kehidupan.
Buddha menjelaskan terdapat enam faktor yang membawa keharmonisan
yaitu; 1) cinta kasih diwujudkan dalam perbuatan, 2) cinta kasih diwujudkan
dengan ucapan, 3) cinta kasih diwujudkan dengan pikiran, 4) memberi kesempatan
kepada sesamanya untuk ikut menikmati apa yang diperoleh, 5) di depan umum
ataupun pribadi ia menjalankan kehidupan bermoral, tidak berbuat sesuatu yang
melukai perasaan orang lain, 6) di depan umum ataupun pribadi memiliki
pandangan yang sama, yang bersifat membebaskan dari penderitaan dan
membawanya berbuat sesuai dengan pandangan tersebut, hidup harmonis, tidak
bertengkar karena perbedaan pandangan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Haidlor Ali. 2010. Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformasi. Jakarta.
Puslitbang Bidang Keagamaan.

Azzuhri, Muhandis. 2012. Konsep Multikulturalisme Dan Pluralisme Dalam


Pendidikan Agama. Forum Tarbiyah 10 (9): 4748.

Bahri, Media Zainul. 2013. Gagasan Pluralisme Agama Pada Kaum Teosofi Indonesia
(1901-1933). ULUMUNA. http://ejurnal.iainmataram.ac.id
/index.php/ulumuna/article/view/168/162.

Dhammananda, Sri. 2004. Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan oleh Ida Kurniati.
2005. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.

Dhammapada (The Word of The Doctrine). 2000. Translated Norman. Oxford: The Pali
Text Society.

Dhammika. S. 2006. Seri Literatur dan Wacana Buddhis Maklumat Raja Asoka.
Yogyakarta: Vidyasena Production.

Fitriyani. 2011. Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam. Jurnal Al- Ulum
11 (2): 32542.

10
Haris. 2014. Buddhisme dan Toleransi Beragama. Vihara Gunajayo. diakses 30 Agustus
2016. http://viharagunavijaya.com/buddhisme-dan-toleransi-beragama-oleh-
pmd-haris-s-ag/

Harkiman. 1994. Menuju Peningkatan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia;


Sebuah Gagasan Buddhis, Makalah pada Musyawarah Cendikiawan Antar-
agama, Medan.

Jamilah & Taufik Rahman. 2014. "Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Kerukunan Umat
Beragama di Sumenep (Jurnal Online) Volume 6. (diunduh 19 Oktober 2016).

Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Vol. III. 1999. Horner, I.B. Pali Text
Society.

Mukti, Krisnanda Wijaya. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan


Pembangunan.

Piyadassi. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri
Ratna.

Rosyada, Dede. dkk. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidyatullah.

Rumagit, Stev Koresy. 2013. Kekerasan Dan Diskriminasi Antar Umat Beragama Di
Indonesia. Lex Administratum 1 (2): 5665.

Sonze, Edward, 1959. Buddhism; Its Essence and Development, New York; Haper
Torchbooks, dikutip oleh Coward, op.cit., hlm.148.

Sumiarti dan Attabik. 2008. Pluralisme Agama: Studi Tentang Kearifan Lokal Di Desa
Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Jurnal Penelitian Agama
9 (2): 27191.

Taridi dan Adi. 2015. Pluralisme Dan Intergrasi Nasional Dalam Perspektif Spiritual.
STIAB JINARAKKHITA 1: 15.

The Book of The Gradual Sayings (Anguttara-nikaya). Vol 1. 1989. Woodward, F.L.
Oxford: Pali text Society.

The Gradual Sayings (Anguttara-Nikaya) Vol.III. 1989. Terjemahan Hare. Oxford: The
Pali Text Society.

Tim Penyusun. 2010 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.

Widya Surya. 2004. Dhammapada. Jakarta: Yayasan Abdi Dhamma Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai