NO.BP : 1410111165
Pada abad ke-5 S.M. pengiriman dan penerimaan kedutaan-kedutaan menjadi semakin sering
antara negara-negara kota Yunani. Yunani saat itu telah menyadari bahwa hubungan antar negara tak
dapat diatur hanya melalui tipu muslihat dan kekerasan. Mereka juga menganggap tidak beriman dan
tidak adil bila melakukan serangan dadakan terhadap negara tetangga yang tak dicurigai atau memulai
perang yang tidak dinyatakan lebih dulu dan tak dapat diselesaikan. Mereka tidak ragu-ragu
mengutuk setiap kekejaman kepada orang yang luka atau yang mati di medan perang. Mereka juga
secara terang-terangan mengakui prinsip universal yang harus diterapkan kepada seluruh umat
manusia dan tidak hanya kepada anggota masyarakat Yunani saja (secara samar mereka mengakui
hukum internasional yang mengatur hubungan antar negara). Seperti halnya juga pendapat
Thucydides bahwa perang sebagai upaya penyelesaian perselisihan internasional adalah tidak baik
dan tidak aman.
Apabila ada seorang staf kedutaan yang ketahuan melanggar hukum, ia dikirim kembali ke
negara asalnya, sehingga ia bisa diadili di negaranya sesuai dengan hukum negaranya. Setelah
kekuasaan Romawi naik dengan pesat, perwakilan asing diperlakukan dengan kehormatan yang
sedikit. Selama periode ini apabila suatu kedutaan datang berkunjung dan sampai di pinggiran kota,
personelnya harus menunggu di luar, memberitahukan kehadirannya, dan hanya setelah mendapat
persetujuan Senat baru bisa masuk ke Kota Roma. Sepanjang Roma masih kuat dan merupakan pusat
kekaisaran Romawi, ia memperlakukan negara lain dengan perlakuan yang jelas menghina walaupun
terselubung.
Tetapi ketika Roma mulai menurun, para penguasa Roma merasa perlu memanfaatkan seni
negosiasi atau diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Namun hal itu tak mampu menahan
keruntuhan Roma sehingga Roma kehilangan Kebesaran dan Kekuasaannya. Keruntuhan ini akhirnya
ditanggung oleh Kekaisaran Romawi Timur.
Duta, sebutan sejak masa regweda dan sesudahnya, istilah prahita digunakan pertama kali dikitab
yajurweda. Duta adalah ahli dalam hal pengumpulan informasi mengeni utusan yang dikirim oleh
rajanya.Dalam hal ini terlihat bahwa pesan dan utusan, telah diperluas pada periode yajurweda dan
telah dibebani tanggung jawab baru.
Plagala, berfungsi sebagia pembawa pesan diplomatik kenegara tetangga
Suta menjalankan sejumlah tugas seberti charioteer, penyebarluasan informasi dan lain lain.
4. Zaman Yahudi
Diplomasi yahudi ditandai dengan keberhasilan mereka mendirikan negara Israel tahun 1948 melalui
diplomasi panjang melawan palestina.
5. Negara- negara Islam
Pada periode ini umat islam terbagi-terbagi pada beberapa Negara dan bangsa, sehingga tidak
dimungkinkannya untuk menyatakan suatu pandangan Islam yang dapat mewakili semua kelompok
yang terdapat didalamya. Beberapa sarjana memiliki anggapan bahwa hukum internasional modern
tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif warisan Eropa. Sehingga mereka berkesimpulan
akan terdapatnya pengaruh-pengaruh yang indispensable dari peradaban-peradaban lain, yang
diantaranya adalah peradaban Islam, yang pada saat itu merupakan kekuatan ekonomi di atas bangsa
Eropa. Pengaruh Islam terhadap sistem hukum internasional Eropa dinyatakan oleh beberapa
sejarawan Eropa diantaranya Marcel Boissard dan Theodor Landschdeit.
Hukum internasional islam telah muncul jauh sebelum hukum internasional barat ada. Di
zaman Rasulullah, praktek internasional telah diberlakukan dengan seadil-adilnya. Rasulullah telah
membuat pedoman hubungan antara negara Islam dengan non-Islam dalam perang dan damai. Beliau
juga telah mengadakan beberapa perjanjian-perjanjian internasional dengan bangsa-bangsa lain.Pakar
Hukum internasional Islam modern Madjid Khaduduri mengakui, Islam memiliki karakter agresif
dengan lebih mengarah pada penaklukkan dibandingkan kristen, sebagaimana yg tercantum dalam
Wasiat Lama ataupun Baru. Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Islam memiliki kelebihan dalam hal
pengaturan mengenai hukum perang yang lebih komprehensif, yang dibuktikan dengan pengecualian
wanita, anak-anak, orang tua, binatang dan lingkungan sebagai kategori non-combatans, sebagaimana
dinyatakan dalam pidato Abu Bakar ra, ataupun praktek pertukaran tawanan secara besar-besaran
yang diduga bermula dari Khalifah Harun Al-Rasyid.
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bnyak mempunyai dampak
terhadap peri-hubungan antar negara dan perkembangan anggota masyarakat Internasional (dengan
laju pertumbuhan negara-negara yang baru merdeka) maka dirasakan adanya tantangan untuk
mengembangkan lagi koodifikasi hukum diplomatik secara lebih luas. Pengembangan itu tidak hanya
ditujukan untuk memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan ketentuan
hukum diplomatik yang sudah ada.
Sejarah telah membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia mengenal dan
menjalankan praktik hubungan diplomatik dengan perwakilan diplomatik secara tetap seperti yang
ada sekarang, pada zaman india kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antar raja atau kerajaan, dimana hubungan bangsa-bangsa pada waktu itu
mengenal istilah DUTA.
Penerimaan duta-duta kenegara asing sudah dikenal di Indonesia dan negara-negara Asia serta
Arab sejak sebelum negar-negara barat mengetahuinya. Di Benua Eropa, baru pada abad ke 16 soal
pengiriman dan penempatan duta itu diatur menurut hukum kebiasaan. Akan tetapi, hubungan
kebiasaan Internasional mengenai soal ini baru menjadi jelas pada abad ke 19, dimana pengaturan
hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada Kongres Wina tahun 1815
yang diubah oleh protokol Aixla-Chapelle 1818. Kongres wina tersebut pada hakikatnya merupakan
tonggak sejarah diplomasi modern karna telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara
sistematis termasuk praktek-praktek cara-cara secara umum dibidang diplomasi.
Pada tanggal 8 Desember 1969, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dengan
baik konvensi mengenai misi khusus dan suatu protok opsional mengenai penyelesaian sengketa
secara wajib. Konvensi mengenai misi khusu terbuka bagi penandatangan pada tanggal 16 Desember
1969. Konvensi yang terdiri atas suatu pembukaan dan 55 pasal memnentukan aturan hukum yang
belaku utnuk mengirim dan menerima misi khusu, yaitu misi kenegara lain dengan persetujuan negara
tersebut untuk menangani masalah-masalah khusu atau menjalankan hgal-hal yang berhubungan
dengan tugas-tugas tertentu.
Indonesia dapat menerima seluruh isi konvensi mengenai misi khusus tersebut, kecuali protokol
opsional mengenai penyelasaian sengketa secara wajib. Konvensi mengenai misi khusu yang
dimaksudkan untuk melengkapi konvensi wina 1961 mengenai hubungan diplomatik dan konvensi
wina 1963 mengenai hubungan konsuler akan dapat membantu meningkatkan hubungan persahabatan
antara bangsa didunia yang prinsipnya tanpa membedakan ideologi, sistem politi, atau sistem
sosialnya.