Anda di halaman 1dari 28

I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penciptaan


Karya seni merupakan sebuah citra, apakah itu berupa tari, patung, lukisan,
musik, ataupun karya puisi. Ini adalah sesuatu yang mempertunjukan pancaran dari
alam batinnya, suatu presentasi obyektif dari realita subyektif; dan bahwa itu semua
bisa melambangkan sesuatu dari kehidupan batiniahnya, adalah karena kesamaan
beberapa elemen serta macam-macam kaitan yang kandungnya. Setiap karya seni
merupakan bentuk obyektifikasi kehidupan subyektif, dan begitulah adanya pada
setiap karya seni. (Langer: 9)
Tari adalah ekspresi manusia yang paling dasar dan paling tua. Melalui
tubuhnya, manusia memikirkan dan merasakan ketegangan dan ritme-ritme alam
sekitarnya (Hawkins, Hadi 2003: 1). Seorang seniman untuk mewujudkan karya seni
khususnya seni tari, pada umumnya tidak terlepas dari pengalaman pribadi terkait
dengan pengalaman batin, lingkungan, serta latar belakang kehidupan kultural yang
melekat dalam dirinya. Selanjutnya seseorang akan menangkap sesuatu makna secara
pribadi sesuai dengan pengalamannya. Biasanya obyek benda atau hal yang
menimbulkan ide dalam melahirkan karya seni. (Soedarmadji,1979: 30)
Kemunculan ide dan gagasan ini dilatarbelakangi pengalaman empiris
terhadap sebuah revitalisasi budaya yang memiliki nilai-nilai tinggi.Munculnya ide
dan gagasan yang akan dituangkan ke dalam garapan tari ini, berawal dari obyek
legenda dalam sejarah Bangka pada abad ke 15. Sebagai putra daerah dan melekatnya
legenda sebagai bagian dari cikal bakal sejarah kota Bangka, penata tari tertarik untuk
mengemasnya ke dalam sebuah garapan karya tari Tugas Akhir ini.
Pulau Bangka terletak di pesisir pulau Sumatera. Pulau dengan luas 11. 693.
54 km 2. Di sebelah utara pulau Bangka berbatasan dengan laut Natuna dan laut Cina
selatan, bagian timur berbatasan dengan selat Gaspar dan selatan Karimata, bagian
timur berbatasan dengan pulau Belitung, bagian selatan berbatasan dengan laut Jawa,
dan bagian barat terdapat selat Bangka dan berbatasan dengan pantai timur pulau
Sumatera. Posisi pulau Bangka memanjang dari barat laut ke tenggara sepanjang
hampir 180 km, berbentuk mirip seperti kuda laut. ( Hippocampus Bargibanti, .......)
Letak geografis dan strategis menjadi perarairan disekitar pulau Bangka sangat
penting bagi jalur perdagangan dan pelayaran dunia yang menghubungkan antara
1
Cina, India, Arab, dan Kepulauan Nusantara, sehingga kawasan perairan bagian barat
Kepulauan Nusantara tersebut harus dikuasai oleh beberapa kerajaan besar di
Nusantara. Seperti Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Singosari, Keprabuan Majapahit,
Kesultanan Banten, dan Kesultanan Palembang Darussalam. (....., .....)
Pada masa Dinasti Ming (1363-1643), pulau Bangka sudah disebut dalam
berita Tionghua. Berita ini ditulis oleh Fei Hsin pada tahun 1436 dengan judul
Laporan Umum Perjalanan di Laut ( Hsing-cha Sheng-Lan), dalam kutipannya
menjelaskan bahwa:
Ma-yi-tung (Bangka) letaknya di sebelah barat Kau-lan (Belitung) di laut
sebelah selatan. Di pulau ini terdapat gunung-gunung yang tinggi dan daratan
luas, yang dipisahkan oleh sungai-sungai kecil. Penduduk pulau tinggal di
kampung-kampung. Laki-laki dan perempuan rambutnya diikat, memakai kain
panjang dan sarung yang berbeda warnanya. Ladangnya sangat subur dan
penghasilan lebih banyak dibandingkan dengan negeri lain. Hasil dari pulau ini
adalah garam, arak, katun, lilin kuning, kulit penyu, buah pinang, dan kain katun
yang dihiasi oleh motif bunga. Barang-barang yang diimpor dari tempat lain
adalah pot tembaga, besi tuangan, dan kain sutra dari berbagai warna.
(Groeneveldt, W.P: 1960)

Fei Xin (1436) melalui tulisannya Xingcha Shenglan atau Catatan Umum
Perjalanan di Lautan, menggambarkan kehidupan masyarakat Bangka pada masa itu.
Dalam bukunya menjelaskan bahwa penduduk Bangka hidup bermasyarakat dalam
sistem desa. Laki-laki dan perempuan menyanggul rambutnya dan menggunakan
pakaian panjang dan sarung. Mereka hidup bercocok tanam. Mereka adalah
masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai kesetiaan dan kesucian hubungan
suami isteri. Ketika seorang suami meninggal, sang isteri akan memotong rambutnya,
mencoreng-coreng wajahnya, tidak makan selama tujuh hari, serta tidur disamping
jenazah suaminya. (Groeneveldt, W.P: 1960)
Tulisan Fei Xin ini memberikan indikasi bahwa pemukiman masyarakat telah
tumbuh di Bangka abad ke 15. Mereka merupakan masyarakat yang masih
berpegangan pada tradisi dasar hindu. Tidak ditemukan bukti adanya pengaruh islam
pada masa itu. Disamping uraian diatas, pemahaman sejarah Bangka pada abad ke 15
juga dapat dilakukan dengan mempelajari Fasal yang ke dua puluh H. Idris. Catatan
ini untuk pertama kalinya menyebutkan Bangka dengan kerajaan Johor dan
Minangkabau, khususnya setelah Majapahit melepaskan Bangka. (H. Idris: 1861)

2
Legenda (dimuktahirkan dari kumpulan H. Idris, 1861, Fasal yang ke
duapuluh; Abang Muhammad Ali Tumenggung kartanegara II, 1879, Fasal 20; Raden
Achmad, 1926, Fasal IV).

a. Bangka Pasca Majapahit Sesudah Abad ke 15


Pada saat Bangka tidak lagi berada di bawah naungan kerajaan Majapahit,
orang-orang Melukut dibawah pimpinan Raja Tidung menyerang Bangka. Menurut
hasil wawancara dengan Florifono, umur 60 tahun, bahwa Raja Tidung atau Etnis
Tidung terdapat juga di wilayah kalimantan dan tepatnya di kalimantan Utara.
Kalimantan Utara Terdiri lima etnis, yaitu Lundayo, Tagol, Brusu, Tengara, dan
Bulungan. Yang berkembang saat ini bahwa masyarakat yang dinamakan etnis tidung
yaitu masyarakat dayak yang sudah memeluk agama islam, orang kampung atau
pagum. (Florifono: 2016)
Orang Tidung juga berasal dari Pulau Sumatera, tepatnya di tanah Batak.
(Leiden: KITLV: 1925) Etnis dimana dari mereka membinasahkan kedua kampung
tersebut. Rakyat yang lolos dari penyerangan lari menyelamatkan diri ke dalam hutan
bersama Patih Depak dan Patih Jeruk. Seorang pendekar bernama Hulubalang
Selangor turut serta bersama mereka. Namun banyak dari mereka mati kelaparan
karena sulitnya makan di dalam hutan.
Di tengah bencana ini, sebuah kapal milik seorang saudagar arab yang
bernama Tuan Syara sedang melintasi selat Bangka. Saat terdengarnya berita bahwa
Bangka sedang di serang oleh Raja Tidung. Tuang Syara ingin menolong, tapi tidak
memiliki kekuatan yang cukup. Di sebabkan pada saat itu kapalnya hanya satu dan
awaknya dalam keadaan lelah setelah pelayaran yang jauh. Tidak sebanding dengan
kekuatan Raja Tidung.
Tuan Syara kemudian pergi ke hutan Johor. Sangat mungkin kesultanan Johor
pada waktu itu berpusat di Siak karena bersekutu dengan Minangkabau. Tuan Syara
mengadukan penyerangan Raja Tidung dan penderitaan rakyat Bangka kepada Sultan
Johor. Sultan Johor merasa iba dan merundingkan hal ini dengan Sultan
Minangkabau. Ke dua Sultan sepakat untuk menolong penduduk Bangka dengan
menyerang dan mengusir Raja Tidung. Pembagian kekuatan pun dilakukan. Sultan
Johor mengerahkan angkatan lautnya, sementara Sultan Mingkabau dengan angkatan
daratnya yang dipimpin oleh Hulubalang Alam Harimau Garang. Pimpinan ke dua
pasukan dipercayakan pada Tuan Syara.
3
Setiba di Bangka mereka segera mengatur siasat sebagian kapal bergerak
mengelilingi pulau. Sebagian yang lain memasuki sungai Jeruk di bawah pimpinan
Alam Harimau Garang. Sisa pasukan memasuki sungai disamping sungai Jeruk
dengan komando Tuan Syara. Sementara itu Alam Harimau Garang menemukan Patih
Reksa Kuning dan Hulubalang Selangor beserta pengikutnya yang bersembunyi di
dalam hutan. Mereka segera menghimpun seluruh orang Bangka di satu tempat di
daerah selatan.
Tuan Syara dan Hulu Balang Harimau Garang juga menghimpun pasukannya
di lapangan yang luas. Tepatnya ditepi sungai yang ditandai dengan sebuah pohon
beringin besar, berhadapan dengan kapal yang tenggelam. Tempat itu kemudian
dijadikan pangkalan yang dinamakan kota Beringin (kota Waringin).
Dari ke dua tempat ini penyerangan terhadap Raja Tidung dan pasukannya
dilancarkan. Mereka kocar kacir dan tercerai berai. Sebagian besar dari mereka lari
kembali ke kapal mereka yang berlabuh di pantai. Tetapi rakyat Bangka sudah
menanti di sana dan membakar kapal-kapal mereka. Raja Tidung dan setengah dari
pasukannya berhasil bertahan, melarikan diri ke arah utara dan bertahan di bukit
Semugiri (Sambunggiri). Sebagian yang lain bersembunyi di tanah cengal dengan
menggali lubang-lubang persembunyian. Tetapi di Bukit Sambung Giri dan sekitarnya
telah dikepung rapat-rapat oleh Alam Harimau Garang dan Tuan Syara. Mereka pun
tidak bisa meloloskan diri. Raja Tidung dan seluruh pengikutnya ditumpas habis di
bukit Sambunggiri. Dalam pertempuran ini tidak sedikit orang Bangka dan pasukan
Johor dan Minangkabau yang terbunuh.
Bangka kembali aman. Rakyat berbondong-bondong keluar dari
persembunyian di hutan. Bersama pimpinannya mereka menghadap Alam Harimau
Garang dan Tuan Syara untuk menyatakan rasa terimakasih. Namun Patih Panjang
Jongor beserta pengikutnya di kota Kapur di selatan Kuala menduk menolak untuk
datang menghadap, walaupun diundang sekalipun. Hal ini menimbulkan kecurigaan
bahwa Patih Panjang Jongor berpihak pada Raja Tidung. Kecurigaan ini mendapat
peneguhan setelah penduduk bersaksi bahwa Patih Panjang Jongor tidak memberi
bantuan oleh Melekut. Daerah Kapur dan kuala menduk juga tidak dapat mendapat
serangan dari Melekut.
Kota Kapur pada masa itu diduga sebagai wilayah dengan pertahanan yang
paling kuat dibandingkan dengan wilayah lainnya yang mudah dihancurkan Raja
Tidung. Kekuatan kota Kapur juga ditunjukan dengan jumlah penduduk yang besar.
4
Konon mereka terdiri dari orang bugis yang pada abad ke 14 hingga ke 16 menguasai
daerah-daerah penting di kawasan selat Malaka.
Patih Panjang Jongor tinggal bersama enam orang anak perempuannya di
rumah ini. Ketegangan ini memicu peristiwa yang terjadi sebelum rencana serangan
besar itu dilancarkan. Diawali dari ketika salah satu anak perempuan Panjang Jongor
yang bernama Dupang turun dari rumah untuk menumbuk padi. Mengingat besok
akan ada perang Dupan merasa perlu untuk menyukupi persediaan beras. Ketika
menginjak tanah ia dipatuk ular berbisa yang bernama Mati Ekor. Hal inilah yang
membuat suasana menjadi mencekam, karena meninggal dunianya Dupang membuat
panik ke lima saudaranya.Kebingungan dan rasa takut Patih Panjang Jongor akhirnya
melarikan diri masuk hutan rawa-rawa lebat kuala menduk, dan pada akhirnya mati
karena kelaparan. Para prajurit merasa kehilangan pemimpin. Mereka bertebaran
melarikan diri.
Keesokan harinya pasukan Alam Harimau garang memasuki kota kapur, dan
menemui pangkalan pertahanan yang tidak terjaga. Tanpa pertahanan, kota Kapur
jatuh ketangan Alam Harimau Garang. Para hulubalang dan rakyat kota kapur
menyerahkan daerahnya kepada Alam Harimau Garang. Lima orang anak Patih
Panjang Jongor, atas perkenan Alam Harimau Garang dipersilahkan oleh para proatin
(pembantu hulubalang) yang berjasa dalam peperangan.

b. Bangka di Bawah Johor dan Minangkabau


Alam Harimau Garang dan Tuan Syara melakukan pengaturan masyarakat.
Tuan Syara menjadi Raja Bangka kota dan menyebaran ajaran agama islam.
Sedangkan Alam Harimau Garang menjadi raja di kota Beringin, dimana Alam
Harimau Garang mengembangkan tata tertib bermasyarakat sesuai dengan ajaran
islam. Sejak berlangsungnya kerajaan Johor dan Minangkabau maka terjadilah
percampuran adat jawa dan melayu.
Secara keseluruhan kepemimpinan Bangka dibawah Sultan Johor. Separuh
bala tentara yang ikut berperang kembali ke Johor dan Minangkabau. Sedangkan yang
lainnya menetap di Bangka.
Tuan Syara memimpin Bangka dengan sukses. Dalam kepemerintahan yang
dipimpinannya membawa kebahagiaan dan kemakmuran bagi penduduknya. Ketika
Tuan Syara wafat, Tuan Syara di makamkan di Bangka kota. Makamnya disebut
sebagai keramat Tuan Syara. Sepeninggalan Tuan Syara, Raja Alam Harimau Garang
5
menempati kota Waringin. Di dampingi Patih Raksa kuning dan Hulubalang Selangor.
Sultan Johor tidak berminat mengangkat pengganti Tuang Syarah sebagai penguasa
Johor di Bangka. Untuk selanjutnya pulau Bangka diserahkan pada Raja Alam
Harimau Garang. Maka pulau Bangka dibawah kerajaan Minangkabau.
Ketika raja Alam Harimau Garang wafat, ia dimakamkan di kota Waringin.
Makam ini dikeramatkan oleh masyarakat setempat yang disebut keramat Garang.
Setelah Raja Alam Harimau wafat nasib pengikutnya menjadi terbagi-bagi. Sebagian
pulang keasalnya, sebagian menetap di kota Beringin. Tidak lama wafatnya Alam
Harimau Garang, Patih Reksa Kuning juga disusul Hulubalang juga berpulang. Sultan
Minangkangkabau kembali tidak berminat mengangkat pengganti.

3. Cikal Bakal Bangka


Pada saat Bangka tidak lagi di pegang oleh kepemerintahan Tuan Syara dari
Sultan Johor dan Alam Harimau Garang dari Minangkabau. Pulau Bangka tidak lagi
berpemerintahan. Pimpinan daerah dipimpin oleh masing-masing Batin, yaitu kepala
di bawah patih.
Dari penuturan H. Idris tersebut di atas, jelas bahwa islamisasi terjadi di
Bangka selama berada di kepemerintahan Johor. Untuk menegaskan awal dari
islamisasi Bangka, di bawah ini adalah dari buku sejarah Daerah Sumatera Selatan
yang di tulis oleh Drs. Mamoen Abdullah. (Mamoen Abdullah: 1991) Yaitu:
..... Islamisasi daerah Bangka Belitung Tidak dilakukan Oleh Mubalig-mubalig
dari Palembang, Jambi, atau Jawa, tetapi dari Johor, yang mula-mula terjadi pada
abad ke-16, yang dilakukan oleh Tuan Syara dan Alam Harimau Garang.
Kemudian pada abad ke 17 datang Nahkoda Sulaiman seorang Qori Arab,
berasal dari Batu Sangkar bersama dengan anak-anak dan cucunya mendirikan
Masjid di Muntok...

Bersahabat dengan alam dan lingkungan berarti berada di dunia secara sadar,
dengan pengakuan, bahwa semua itu ada di bawah mandat Tuhan. Manusia dengan
melaksanakan mandat Tuhan untuk melakukan pemujaan dan pemuliaan Tuhan
sekaligus mandat membudayakan bumi dan alam semesta pada umumnya
(Sastrosupeno, 1984:30).
Kajian tentang cikal bakal Bangka dari legenda yang sudah dijelaskan di atas,
dapat mengilhami penata tari dalam perancangan garapan tari ini. Kerja koreografer di
sini termotivasi secara emosional terhadap legenda atau cerita masa lampau di Bangka
agar semakin dikenal.

6
Proses transforming ini merupakan wujud rasa syukur sebagai umat manusia
atas kecintaannya terhadap kehadiran alam semesta, dan nilai budaya kesukuan. Dasar
pokok pemikiran kreatif adalah mengenai perebutan kekuasaan antara Raja Lanun,
Tuan Syafa, dan Alam Harimau Garang.Sebagai emberio dari cikal bakal kota
Bangka. Hal tersebut merupakan sebuah cerminan terhadap peran koreografer untuk
memperkenalkanlegenda yang ada dan berkembang di pulau Bangka.
Istilah transformasi itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti
perubahan rupa, bentuk atau sifat (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1988: 959), sedangkan menurut I Made Bandem yang
mengutip dari The Random Hause Dictionary Of Inglish Language, Unbridged,
transformasi berarti perubahan bentuk, penampilan, situasi atau karakter (Bandem,
1996: 67). Proses transformasi ini diharapkan dapat merespon berbagai macam
persoalan tentang tata nilai budaya yang diyakini kebenarannya.
Hal tersebut mendasari kerja seorang penata tari dalam menentukan langkah-
langkah koreografinya. Dalam konteks ini adalah bagaimana memahami tiga karakter
penokohan dari ke tiga raja, danmasing-masing memiliki latarbelakang dan karakter
yang berbeda. Proses kerja kreatif ini dimetaforkan sebagai pembentukan ekspresi
tarinya.
Dalam mendukung karya tari sini, aspek kualitas kemampuan penari dalam
mengekspresikan ide-ide menjadi sangat penting. Harapan nantinya dapat menguasai
gerak yang merupakan hasil olah rasa dan suasana emosional, dan bukan sekedar
tuntunan fisikal, tetapi sungguh-sungguh ekspresi jiwa.

B. Rumusan Masalah
Berawal dari alam yang memiliki kekuatan untuk memunculkan energi dalam
tubuh manusia sebagai sumber inspirasi dan ruang imajinasi. Rumusan karya tari ini
adalah:
1. Perebutan kekuasaan antara Raja Tidung, Tuan Syara, dan Hulubang Alam
Harimau garang ?
2. Cikal Bakal bedirinya Kubu Bangka ?

C. Keaslian/ Orisinalitas
Mengkaji tentang keaslian atau orisinaliatas suatu karya tari ini dirasa sangat
rumit, karena penata tari disini harus memiliki kejelian terhadap perkembangan tari
7
yang ada.Hal ini bertujuan sebagai referensi karya, agarhasil ciptaan tarinya tidak
terjadi kesamaan terhadap karya orang lain. Peran koreografer dalam proses kreatif
disini harus melewati pengalaman empiris dalam menciptakan bentuk sajian tari yang
kreatif dan inovatif, dan diharapkan hasil pengkaryaan tari nantinya menjadisebuah
identitas diri terhadap penciptanya. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Susanne K.
Langer dalam bukunya, yaitu; Apa yang terungkap dalam tari adalah sebuah cita;
sebuah cita dari laku rasa, emosi dan banyak ungkapan subyektif lainnya yang tampil
silih berganti, muncul dan berkembang dalam suatu proses yang rumit menuju pada
suatu proses keselarasan, serta memberikan konsumsi kehidupan batiniah kita
dalam warna identitas pribadi. Apa yang dimaksud dengan kehidupan batiniah
seseorang adalah gambaran cerita dan riwayat hidup dari pribadi seseorang yang
bersangkutan, cara kehidupan lingkungan yang bersangkutan. (Langer, 1988: 7)

D. Tujuan dan Manfaat Penciptaan


Adapun tujuan dan manfaat penciptaan karya tari ini secara khusus adalah
sebagai berikut.
1. Tujuan
Penggarapan karya tari berjudul Kubu Bangka ini,agar masyarakat Bangka
lebih mengerti bahwa tari bukan untuk dinikmati lalu selesai begitu saja. Akan
tetapi tujuan tari ini merupakan suatu penyampaian gagasan atas imajinasi dan
kreativitas penata tari untuk berekspresi dengan bahasa simbol (gerak). Yaitu
sebagai gambaran sejarah tentang Lanun di Bangka. Dan cerita masa lalu atau
legenda, yang menjadi embrio dari cikal bakal terbentuknya pulau Bangka.
2. Manfaat
Karya tari yang memiliki nilai estetik dan informatif memberikan kesadaran
tentang gerak tari sebagai ruang imajinasi. Selain itu juga gerak tari dapat dilacak
hubungan antara Minangkabau, Johor, dan kalimantan.

8
II
KAJIAN SUMBER PENCIPTAAN

A. Kajian Sumber lisan/ Wawancara


Florifono, umur 60 tahun, alumni ISI Yogyakarta lulus tahun 1987, banyak melakukan
penelitian di Kalimantan Timur dan Utara. Wawancara: Yogyakarta, 4 Juni 2016,
pukul 21.00 WIB. Sebagai salah satu sumber asal usul Raja Tidung. Menjelaskan
bahwa Raja Tidung atau Etnis Tidung terdapat juga di wilayah kalimantan dan
tepatnya di kalimantan Utara. Kalimantan Utara Terdiri lima etnis, yaitu Lundayo,
Tagol, Brusu, Tengara, dan Bulungan. Yang berkembang saat ini bahwa masyarakat
yang dinamakan etnis tidung yaitu masyarakat dayak yang sudah memeluk agama
islam, orang kampung atau pagum.

B. Kajian Sumber Pustaka


1. Terkait Dengan Topik
1. Raden Achmad
Riwajat Poelau Bangka Berhoeboeng dengan Palembang
Leinden: KITLV, 1925.
Departemen Sosial Republik Indonesia menamakan kelompok masyarakat
yang terisolir itu sebagai masyarakat terasing. Melalui Keputusan Presiden
(Kepres) Republik Indonesia No. 111 tahun 1999 tentang pembinaan
kesejahteraan sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT). Penanganan KAT di
propinsi Jambi yang dimulai dari sejak tahun 1954 yang dapat dibedakan
menjadi beberapa fase perkembangan. Dampak adanya kebijaksanaan dan
pendekatan tersebut di atas sebagian komunitas adat terpencil belum mampu
melepaskan dirinya dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sebagai
akibat dari lokasi mereka yang terisolir. Hingga setelah berganti era Orde Baru
dengan Orde Reformasi sebagian besar permasalahan tersebut diatas belum
tuntas, bahkan muncul permasalahan baru. Fenomena tersebut mendorong
para ahli sosial untuk menemukan pardigma baru dalam pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil (KAT) khusus Suku Anak Dalam di propinsi Jambi.
Salah satu model yang dipandang dapat mengatasi masalah disekitar
kehidupan dan pemberdayaan KAT di Jambi adalah Pemberdayaan Model
Entry Point. Salah satu model ini telah disampaikan dalam forum diskusi
9
Departemen Sosial dan telah diakui sebagai salah satu model pemberdayaan
KAT di Indonesia.
2. Hartono, Rita Rifati, Dewi Novita Sari, Syaeful Muslih, Fitria Ipada
Profil Suku Anak Dalam (SAD), Hasil Sensus Penduduk 2010
Jambi: Badan Pusat Statistik Propinsi Jambi, 2011. No. Publikasi 15522.10.20,
Katalog BPS 2102014.15, ukuran buku 14,8 cm x 21 cm, jumlah halaman xii,
99, 23 daftar tabel, dan 13 daftar gambar.
Buku ini mengulas tentang keberadaan Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi.
Orang terang sering menyebut mereka sebagai Orang Kubu. Kata kubu
sering dimaknai sebagai ejekan yang artinya bodoh. Karakteristik Suku Anak
Dalam itu sendiri dikenal sebagai orang yang sulit diatur, berpakaian minim,
kumuh, tidak mau menetap dan sering berpindah-pindah yang disebabkan
karena budaya melangun. Sisi lain mereka lebih beradab dibandingkan orang
terang seperti yang ditunjukan dari cara mereka memperlakukan alam.
Tulisan-tulisan yang disajikan bab demi bab dalam buku ini dapat memberi
gambaran bahwa ternyata ukuran kebahagiaan antara Suku Anak Dalam
dengan orang terang sangatlah berbeda. Apapun fakta yang tergambarkan
dalam buku ini, kiranya merupakan pembelajaran bagi kita semua dalam
mengenal Suku Anak Dalam.
3. Heru Sri Naryanto, Sutopo Purwo Nugroho, Lilik Kurniawan dan Yuni Ikawati
Indonesia Diantara Berkah dan Musibah
Jakarta: Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), 2009. (xvi,176
hlm., 20 cm x 22 cm, 119 gambar foto, 13 gambar peta, 15 tabel)
Buku ini menyoroti tentang kondisi geografis dan geologis Indonesia dari
sabang sampai merauke, dari miangas sampai pulau rote, merupakan anugrah
tuhan Yang Maha Esa yang patut kita syukuri. Hutan yang lebat, kekayaan laut
yang berlimpah, tanah yang subur dan kandungan mineral yang kaya
merupakan berkah bagi kita semua. Dibalik sumber daya alam yang kita miliki
ini, kondisi geografis dan geologis ini tanah air kita juga menghadirkan
sejumlah fenomena dan gejolak alam. Hal ini diketahui bahwa negeri ini
berada didekat pertemuan tiga lempeng dunia yang saling bertumbukan.
Sehingga menyebabkan guncangan gempa bumi yang kadang disertai
terjangan tsunami dan letusan gunung merapi, kerap kali terjadi di berbagai
wilayah di Indonesia. Selain itu, sebagai Negara kepulauan dengan iklim
10
tropis, tanah air kita memiliki curah hujan yang tinggi dengan waktu yang
singkat, sehingga berpotensi menimbulkan bencana banjir dan tanah lonsor.
Berbagai fenomena dan gejolak alam ini telah berlangsung sejak berabad-abad
silam dan pada hakikatnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari siklus alam
itu sendiri. Tulisan buku ini menjelaskan bahwa musibah dapat disebabkan
oleh bencana alam dan pengaruh intervensi manusia. Namun dibalik fenomena
tersebut, muncul hal-hal yang tidak kita duga yang kemudian kita bisa
mengatakan sebuah berkah. Berkah ini identik dengan potensi sumber daya
alam.

2. Terkait Dengan Metodologi


1. Alma M. Hawkins
Mencipta Lewat Tari (Creating Through Dance). Terj. Y. Sumandiyo Hadi
Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, 1990. (iv, 248 halm.,8 bagian)
Buku ini ditulis guna untuk memberikan perhatian khusus yang lebih serius
terhadap seni gerak sebagai suatu keutuhan. Tulisannya lebih mengarah pada
fenomena berkreativitas dan hubungannya dengan studi koreografi. Buku ini
juga membicarakan tentang konsep-konsep dasar pengertian tentang tari
sebagai pengalaman kreatif. Hal ini sebagai kontribusi bahwa inti dari suatu
karya tari adalah kreativitas, dan bahwa setiap aspek dari pengalaman tari itu
sendiri mempunyai hubungan yang berarti dengan perkembangan kreatif dari
seseorang, hingga tercapai dalam tujuan pokok tarinya. Tulisan dalam buku ini
terdiri dari VIII bagian, yang pertama adalah membahas tentang tari sebagai
satu pengalaman kreatif. Ke dua adalah menyoroti pengembangan kreativitas.
Ke tiga yaitu meningkatkan kesadaran estetis. Selanjutnya membahas
bagaimana bergerak dengan control, mencipta dengan bentuk, menilai
komposisi tari, mempola pengalaman tari, dan yang terakhir adalah
menyajikan dan mengevaluasi pengalaman tari.
2. Anya Peterson Royce
Antropologi Tari. Terj. F.X. Widaryanto.
Bandung: Sunan Ambu Press, 1980. (xv, 260 halm., referensi, dan riwayat
hidup penerjemah)
Buku antropologi ini menarik untuk dikaji, karena sebagaimana dapat
diketahui bahwa disiplin antropologi sebagai kajian tentang manusia. Tulisan
11
di dalam buku ini tidak sekedar menyinggung batasan kajian yang sebatas
hanya pada komunitas non-literer atau non-barat. Tetapi lebih dari itu, buku ini
mencakup pula masyarakat barat, masyarakat literer, masyarakat industri, dan
masyarakat perkotaan. Wawasan yang ditawarkan Royce melalui buku ini,
yang bicara tari menurut tinjauan antropologis sungguh luas, sekaligus
memberikan keleluasaan bagi kita yang bergelut di dunia kajian seni
pertunjukan tari atau antropologi, untuk dapat berada pada wilayah kajian
antropologi yang dapat mencapai kajian budaya tari dari segala macam wujud
dan bentuk kelompok masyarakat dan budaya yang ada di berbagai belahan
dunia. Royce mengarah tulisannya untuk meneliti tari dengan tetap
mengaitkannya dengan orang-orang yang melakukannya, atau dikaitkan pada
gejala konteks keberadaannya.
3. La Meri
Komposisi Tari, Elemen-elemen Dasar. Terj. Soedarsono
Yogyakarta: Akademi Seni Tari, 1975. (iv, 108 halm, 21 gambar)
Bagian pertama buku ini mengupas tentang ketrampilan teknis yang
diperlukan sekali oleh seorang calon koreografer, dan bagian kedua mengenai
persiapan-persiapan yang harus dilakukan sampai pada pertunjukan
berlangsung. Tulisan pada bagian pertama buku La Meri tentang The Craft
(ketrampilan) oleh Soedarsono dibagi menjadi x bagian. Yaitu: desain lantai,
yang tulisannya membahas ruang tari, pola-pola garis dasar, sentuhan-
sentuhan, emosional dasar pada pola lantai, penerapan praktek, dan pola jarak
yang dianjurkan. Desain atas, yaitu elemen-elemen dasar, beberapa sentuhan
emosional dari elemen dasar, penggunaan praktek, pelajaran yang dianjurkan.
Desain musik, antara lain tari dan frase musik, tari dan komposisi penuh,
perpaduan terhadap musik, penggunaan praktek, dan pelajaran anjuran. Desain
dramatik, desain garis, desain lantai, atas, musik sebagai pembawa dramatik,
penggunaan praktek dan anjuran. Dinamika, mekanika dan kekuatan, kualitas-
desakan-dorongan, kontrol mental, tiga desain atas tergantung pada dinamika,
level emosional dan dinamika, pelajaran anjuran. Tema, sumber-sumber tema,
lima tes untuk bisa tidaknya tema, penggunaan praktek, dan tugas anjuran.
Gerak, terdiri dari pemilihan gerak, penggunaan gerak, dan anjuran. Proses,
yaitu tema, gerak tematik, musik, kerja bagian pada rencana dramatik, cek
sesudahnya, dan anjuran. Perlengkapan-perlengkapan, yaitu musik, kostum,
12
penampilan pribadi, properti, setting, lighting, programming, dan tugas
anjuran. Dan terakhir adalah Koreografi kelompok, terdiri dari desain lantai,
desain atas, desain musik, desain dramatik, tema, proses dan kelengkapannya,
tari-tarian rakyat, penerapan praktek, dan pelajaran anjuran tugas.

3. Terkait Dengan Wawasan


1. Edi Sedyawati
Pertumbuhan Seni Pertunjukan
Jakarta: Sinar Harapan, 1981. (ix, 161 halm., 32 foto, 64 catatan, dan biografi
penulis)
Buku ini ditulis dalam hubungan penelitian Tari Dalam Sejarah Kesenian
Jawa dan Bali Kuno yang dilakukan oleh penulis, dengan memperoleh
pembiayaan dari Rektorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat, Ditjen, Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, dalam rangka Proyek Studi Sektoral/ dan Regional. Latar
belakang pembahasan yang luas dan mendalam, meliputi tari, wayang, tortor,
pencak, musik, sastra, seni lukis, seni ukir, seni pahat, arsitektur, lalu sejarah
kesenian itu sendiri dan lain-lain. Hal ini dapat memudahkan pemahaman
pembaca terhadap kesenian Indonesia yang berbagai ragam.
2. Lois Ellfeldt
Pedoman Dasar Penata Tari ( A. Primer For Choreographers). Terj. Sal
Murgiyanto
Jakarta:Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, 1967. (iv, 56 halm.,)
Diktat Kuliah
Peata tari adalah seorang pembuat tari, yang ciptaanya mewujud sebagai
panduan rangkaian-rangkaian gerak di atas pentas. Dalam medium apapun
sebuah karya seni bukanlah sekedar kumpulan unsur-unsur suara, desain, atau
gerakan-gerakan yang disusun di dalam pola-pola atau rangkaian-rangkaian.
Dibalik proses kreatif terdapat pengalaman pribadi penciptanya. Yaitu berupa
kehidupan, serta tanggapan dari manusia yang membuat perwujudan-
perwujudan lewat materi-materi yang dikuasainya. Buku ini juga membekali
para penari muda untuk meciptakan karya tari dengan sarana dan usaha untuk
menemukan prosesnya sendiri dengan benar-benar mencoba.
3. Margaret N. H Doubler
13
Tari, Pengalaman Seni Yang Kreatif. Terj. Tugas Kumorohadi
Surabaya: Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, 1985. (iii, 169 halaman)
Melihat kondisi latar belakang penulis buku Dance A Creative Art
Experience ini berbeda sekali dengan budaya timur, akan tetapi penerjamah
dalam bukunya Margaret N.H Doubler membahas pada kehidupan yang lebih
esensial. Buku ini terdapat Sembilan bab, yaitu: survey Budaya terhadap tari,
dijelaskan di sini bahwa tari sebagai suatu ekspresi masyarakat menyajikan;
pertumbuhannya, dari gerak-gerak ekspresif menuju bentuk seni yang
diciptakan dengan sadar, memuaskan perasaan estetis manusia. Bidang
lingkup tari, seni sebagai ungkap kreatif bersumber dari dalam struktur fisikal,
mental dan emosional manusia. Pendidikan melalui tari, membahas tentang
kebutuhan terhadap aktivitas seni kreatif dalam sistem edukasi. Teknis dan
ungkap, struktur psykophisikal-anatomikal serta hubungannya dengan gerak
dan tari. Hal ini dijelaskan bahwa bagaimana melatih jiwa dengan tubuh
sebagai instrument ekspresif. Bentuk sebagai kesatuan organik. Bentuk dan isi.
Bentuk dan struktur. Tari dan musik.
4. Soedarsono
Pengantar Pengetahuan Tari
Yogyakarta: Akademi Seni Tari, 1976 (50 halmn dan 8 gambar)
Tulisan buku ini pada bagian pertama yaitu membahas tentang beberapa
persyaratan menggarap tari. Hal ini terdiri dari beberapa sub-sub topik
bahasan, yaitu mengapa orang menari, memilih tema yang baik, fasilitas yang
harus diadakan (lantai tari, kostum dan rias tari, properti tari, stage lighting
dan sound sistem), proses penggarapan. Pada bagian ke dua, terdiri dari jenis
tari. Ke tiga adalah membahas makna dan watak gerak tari. Bagian ke empat
adalah mengulas tentang tari sebagai bentuk seni. Bagian selanjut adalah
membahas tentang apakah tari itu dan gambar beberapa desain atas.
5. Suzanne K. Langer
Problematika Seni. Terj. Fx. Widaryanto.
Bandung: Akademi Seni Tari Indonesia, 1988. (ii, 168 halm., )
Suzanne K. Langer adalah seorang filosof kelahiran New York City. Buku
aslinya yang berjudul Problems Of Art ini sangat menarik kaitannya dengan
berbagai bidang seni, seperti tari, musik, karawitan, sastra, seni rupa, dan
sebagainya. Tulisan buku ini sangat bervareasi, yang terdiri dari sepuluh topik
14
permasalahan, yang pendekatannya sangat mendasar, kaitannya dengan apa
yang akan diciptakannya, diekspresikan, dan dialami dalam penghayatan
berbagai macam seni. Hal ini dikembangkan dalam berbagai macam
pertanyaan, dan dijawab lewat sifat-sifat dasar seni yang dimilikinya. Berbagai
contoh yang dihadirkan dalam buku ini tidak akrab dengan konteks seni dalam
disiplin ilmu yang kita miliki, perlu disiasati kembali aplikasinya dengan
kondisi yang dimilikinya. Dengan demikian daya guna buku ini bisa dipetik
sebagai salah satu kontribusi dalam perkembangan seni di masa yang akan
datang.
6. Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi
Aspek-aspek Dasar Koreografi Kelompok
Yogyakarta: eLKAPHI (Lembaga Kajian Pendidikan dan Humaniora
Indonesia), cetakan 2, Edisi Revisi, 2003. (xvi, 100 hlm.; 21 cm, dan 32
gambar)
Tulisan buku ini mengkaji suatu bentuk koreografi yang semata-mata sebagai
penyadaran diri pada keutuhan kerjasama antara penari sebagai perwujudan
bentuk. Hal ini sebagai dasar pembentukan para penari untuk saling
bekerjasama, saling ketergantungan atau terkait satu sama lain. Struktur
internal dari hubungan kekuatan masing-masing penari menciptakan satu
pengertian hidup, saling berhubungan sebagai bentuk satu bentuk organik,
suatu pengorganisasian sistem struktur dan aktivitas para penari.
Dalam ilustrasi gambar dalam edisi buku ini diambil dari buku The Art of
Making Dances (Doris Humphrey); Dance Composition and production
(Elisabeth R. Hayes); The Intimate Act Of Choreography (Lynne Anne Blom
and L. Tarin Chaplin); dan dirancang kembali oleh Agus. S.

C. Tinjauan Sumber Acuan Discografi


Peranan tinjauan secara discografi di sini dapat mengetahui secara jelas atas
gambaran tentang aktifitas kehidupan Orang Rimba. Hal ini dapat membangkitkan
daya pikir kembali atas proses penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Selain itu
dapat juga membantu penata tari dalam merangsang munculnya ide dan gagasan baru
terhadap garapan karya tarinya.Kehadiran discografi berupa hasil dokumentasi
garapan karya tari RIM-BA, garapan karya tari Patoling Ragong Play Bepuncak,
SesedungDalamRimba, koreografi lingkungan Melangun.
15
Garapan karya tari RIM-BA, merupakan hasil pendokumentasian untuk
memenuhi Tugas Akhir S-1 Jurusan Tari, ISI Yogyakarta. Alur cerita dalam karya tari
Rim-Ba ini dibagi menjadi empat bagian dengan uraian sebagai berikut: Adegan
Pertama, sebagai penggambaran perjuangan orang rimba atas fenomena yang terjadi
di luar rimba, seperti modernisasi. Cacian dan hinaan masyarakat luar terhadap pola
hidup mereka. Adegan Dua, bagian ini menggambarkan sifat keprimitifan Orang
Rimba sebagi penghuni hutan belantara Bukit Duabelas, dengan para dewa yang
melindungi mereka di dalamnya. Adegan Tiga, Pada bagian ini berisi tentang cara
bertahan hidup Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi. Bagian
selanjutnya, sebagai penggambaran ekspresi Orang Rimba dalam melakukan aktivitas
budaya melangun, mereka lakukan dikarenakan pada saat itu mereka sedang
menghadapi remayo (paceklik). Adegan Empat, menggambarkan kesedihan Orang
Rimba, sikap berontak dan rasa geram mereka terhadap konflik sosial sedang terjadi.
seperti adanya illegal loging. Hal ini berdampak semakin sempitnya sumber
kehidupan dan penghidupan orang rimba. Sebagai ending dari karya tari ini adalah
dampak pada kondisi sosial Orang Rimba itu sendiri, yaitu mengemis di pinggir jalan.
Gambaran-gambaran yang dihadirkan dalam karya tari Rim-Ba ini menambahkan
wawasan dalam penggarapan karyatari ini, dimana perannya membantuk untuk
memunculkan bahasa simbol dan suasana dramatik yang akan dihadirkan dalam
pertunjukan nantinya.

D. Tinjauan Sumber Acuan Televisi


Metro TV, Kuliner extrim, 3 Maret 2008. Acara kuliner ekstrim ini sebagai
penggabaran secara nyata atas sifat keprimitifan Orang Rimba dengan aktifitas
berburu secara tradisional di dalam hutan dan mendapatkan binatang buruan, yaitu
komodo. Memperlihatkan kesederhanaannya dalam menggunakan perapian saja untuk
memasak binatang buruannya, kemudian dimakan pada saat itu juga. Gambaran
tersebut merupakan sebuah tinjauan yang nantinya berperan sebagai peningkatan
emusional atas ungkapan secara ekspresif penata tari dalam berkarya seni (tari).

16
III
KONSEP PENCIPTAAN

A. Kerangka Dasar Pemikiran


Latar belakang masalah tersebut dirumuskan dalam serangkaian rumusan
masalah yang akan dicari pemecahannya. Rumusan masalah tersebut sebelumnya
telah diterangkan di dalam pembahasan Bab I. Untuk mempertajam konsep
penciptaan, dibutuhkan sumber-sumber acuan penciptaan yang beranotasi dan bisa
dipertanggungjawabkan kelayakannya sebagai karya tulis ilmiah. Konsep penciptaan
mendasari penata tari dalam proses kreatif, agar tidak keluar dari batasan-batasan
yang telah ditentukan sebelumnya. Proses kreatif dimaksudkan untuk
memproyeksikan konsep ke dalam bentuk penyajian karya tari yang nantinya akan
dinikmati oleh penikmat seni atau penonton. Untuk lebih jelasnya akan dibahas lebih
lanjut di Bab berikutnya.Nantinya hasil karya tari ini akan diuji kembali untuk
dipertanggungjawabkan kelayakannya. Sehingga karya tari ini dapat menyampaikan
pesannya kepada penonton.
Adapun hubungan antar variabel di atas, diterangkan secara jelas dalam tabel
kerangka pemikiran di bawah ini.

Tabel 3.1. Kerangka Pemikiran

17
B. Landasan Penciptaan
Landasan penciptaan dalam karya tari ini mengambil kajian teori dari buku
Susanne K. Langer, Problems Of Art, yang diterjemahkan oleh fx. Widaryanto,
(1988), Problematika Seni, Akademi Seni Tari Bandung, Bandung
Tari adalah suatu fenomena; jika anda suka istilah ini sebut saja suatu
perwujudan. Hal ini bersemi dan tumbuh dari laku yang dikerjakan oleh para penari;
atau bahkan juga oleh hal-hal yang lainnya. Suatu gerak tubuh mungkin saja
diterapkan pada keseluruhan penari, sehingga memunculkan suatu misteri kekuatan
dihadapan anda. Namun kekuatan-kekuatan yang disajikan tidaklah semata-mata
kekuatan otot. Disini kekuatan yang nampak kita rasakan diciptakan secara tepat dan
menyakinkan bagi persepsi kita; serta keberadaannya hanya untuk itu saja. (Langer: 5)
Hakekat dari citra dinamis itu adalah untuk segera mengungkapkan berbagai
cerita dari penciptanya, apa yang dirasakan serta gejolak emosinya. Penyajiannya
secara tepat, adalah perasaan itu seperti apa. Suatu karya seni adalah sebuah
komposisi dari gaya-gaya tegang dan resolusinya, balans dan imbalans, hubungan
ritmis, demikian juga kesatuan dan kesinambungan yang tidak kekal. Suatu tarian
bukanlah merupakan sebuah gejala dari apa yang sudah dirasakan oleh penarinya, dari
sebuah ekspresi dari apa yang diketahui oleh penyusunnya tentang berbagai perasaan.
(Langer: 8)
Dalam menetapkan apa karya seni itu saya telah menggunakan dengan kata-
kata bentuk, ekspresi, dan kreasi, ketiganya adalah kata-kata yang penting.
Setiap kata-kata tersebut terus akan terkait dengan pembicaraan tentang karya seni
yang kita lakukan. (Langer: 15)
1. Bentuk
Suatu bentuk ekspresi bisa dipahami dan dicitrakan secara menyeluruh yang
menunjukan tata-hubungan dari bagian-bagiannya, atau maksud yang
dikandungnya, atau juga kualitas maupun keseluruhan aspek yang ada di
dalamnnya, sehingga mungkin bisa menggambarkan secara menyeluruh dalam
beberapa hal yang berbeda yang dipunyai oleh elemen-elemen tersebut. (Langer:
20)
2. Ekspresi

Karya seni adalah suatu bentuk ekspresi yang diciptakan bagi presepsi kita lewat
sensasi atau pencitraan, dan apa yang diekspresikannya adalah perasaan insani.
18
Kata perasaan harus dipergunakan di sini dalam pengertian yang lebih luas,
maksudnya sesuatu yang bisa dirasakan, dari sensasi fisik, derita hati maupun
kesenangan, kegaerahan dan ketenangan, sebagaian emosi yang paling kompleks,
tekanan pikiran ataupun sifat-sifat perasaan yang tetap terkait dalam kehidupan
manusia. (Langer: 14)
3. Kreasi
Prinsip kreasi bagi semua seni adalah sama, sekalipun bila yang diciptakan itu
berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap karya seni keseluruhannya disebut
sebagai kreasi; ini tidak berupa ilusi serta di dalamnya tidak tercampur dengan
elemen-elemen yang sebenarnya. Materi-materinya merupakan sesuatu yang
sebenarnya, namun elemen-elemen seninya selalu merupakan sesuatu yang
sebenarnya, namun elemen-elemen seninya selalu merupakan sesuatu yang
virtual; dan ini adalah elemen-elemen yang disusun oleh seorang seniman
menjadi suatu perwujudan, yaitu menjadi sebuah bentuk ekspresi. (Langer: 43)

C. Konsep Karya Tari


Konsep dasar tari Kubu Bangka berpijak dari cerita atau legenda di pulau
bangka. Cikal bakal Bangka yang dilatar belakangi oleh adanya perebutan kekuasaan
orang-orang malukut, dipimpin oleh Raja Tidung dengan kerajaan Johor oleh Tuan
Syara dan kerajaan Minangkabau yaitu Hulubalang Alam Harimau Garang. Penyajian
Kubu Bangka ini merupakan suatu bentuk ungkapan ekspresi diri penata tari dalam
mengupas lebih dalam lagi tentang keterkaitan adanya akulturasi budaya yang
berkembang di Bangka saat ini. Hal ini melahirkan respon positif penata tari untuk
mengetahui tentang kebenaran adanya legenda sebagai ruang imajinasi dan sumber
kreativitas karya tarinya.
Beberapa hal penting yang harus dilalui dalam proses perancangan dan
penggarapan karya tari adalah:

1. Rangsang Tari
Rangsang didefinisikan sebagai suatu yang membangkitkan fikir atau
mendorong kegiatan (Smith, 1985: 21). Bermula dari hasrat dan imjinasi kreatif,
sebuah karya tari ini lahir sebagai upaya seniman untuk mengkomunikasikan
pengalaman-pengalaman berharganya kepada penikmatnya. Pengalaman berharga

19
ini diperoleh karena kepekaan menyerap hal-hal yang terjadi di sekitar, yang sering
luput dari pengamatan orang biasa (Murgiyanto, 2004: 57). Proses penggarapan
karya tari ini berawal dari rangsang emperis, menurut kamus bahasa Indonesia
empiris adalah berdasarkan pengalaman (melalui panca indera, terutama yang
diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan, yang telah dilakukan) atau
pengalaman yang ditemui dari alam sebagai sumber pengetahuan.

2. Tema Tari
Tema merupakan hal yang paling mendasar atau penting dalam sebuah
karya tari. Namun terkadang kita menjumpai sebuah karya tari yang tidak melalui
tema terlebih dahulu, tetapi diawali dengan eksplorasi untuk merangsang ide atau
gagasan. Ide atau gagasan tersebut pada dasarnya hanya memuat satu pokok
permasalahan.
Tema dalam karta tari ini adalah perebutan kekuasaan sebagai cikal bakal
Kubu Bangka. Hal ini diartikan sebagai perebutan kekuasaan antara Raja Tidung,
dengan Tuan Syara dan Hulubalang Alam Harimau Garang yang terjadi pada 16-
an.

3. Judul Tari
Judul merupakan sarana untuk mengidentifikasikan suatu karya tari dan
merupakan faktor terpenting sebagai daya tarik. Melalui judul dapat diperoleh
gambaran tentang apa yang akan ditampilkan kepada penikmat seni. Judul yang
dipilih garapan karya tari ini adalah Kubu Bangka. Maksud dan arti dari Kubu
Bangka itu sendiri adalah Kubu berarti pertahanan, dan Bangka berarti nama dari
kota Bangka itu sendiri.

4. Tipe Tari
Tipe tari dalam garapan ini adalah tipe tari dramatik yang bersifat literal
yang mengandung sebuah cerita, di mana dalam garapannya lebih menekankan
pada suasana dramatik yang dihadirkan pada uraian temanya.
Suasana dramatik yang dihadirkan pada garapan karya tari ini adalah
ketegangan yang menggambarkan peristiwa peperangan dari perebutan kekuasaan.
Kesedihan menggambarkan peristiwa kematian hasil dari peperangan itu sendiri,
kebahagian dan kesunyian hasil dari kemenangan dan kewaspadaan.
20
5. Mode Penyajian
Mode penyajian dalam sebuah karya tari dipahami sebagai cara ungkap,
penyampaian maksud dan makna baik secara langsung maupun tidak langsung.
Karya tari ini menggunakan mode penyajian simbolis representasional. Simbol
seni adalah satu dan padu, ia tidak hanya menyampaikan makna untuk dimengerti,
tetapi lebih kepada pesan untuk diresapkan. Terhadap makna orang dapat
mengerti atau tidak mengerti, tetapi terhadap pesan terutama dalam seni, orang
dapat bersentuhan secara mendalam dan intensif (Hadi, 2006: 25). Adapun alur
cerita yang terdiri dari adegan-adegan disusun sebagai berikut;
a. Adegan Pertama
Bagian awal ini adalah introduksi, suasana perebutan kekuasaan yang
dimenangkan oleh pasukan yang dipimpin Raja Tidung. Selanjutnya
menampilkan suasana kecemasan masyarakat Bangka pada saat dipimpin oleh
Raja Tidung. Banyaknya masyarakat yang mengungsi di dalam hutan
mencerminkan kepemerintahan Raja Tidung tidak nyaman dan harmonis.
b. Adegan Dua
Melihat fenomena tersebut perebutan kekuasaan kembali pecah. Suasana tegang
pada saat terjadinya perebutan kekuasaan antara Raja Tidung dengan Tuan Syara
dari kerajaan Johor dan dibantu dengan Hulubalang Alam Harimau Garang
darikerajaan Pagaruyung. Dan dimenangkan oleh Tuan Syara dan Hulubalang
Alam Harimau Garang.
c. Adegan tiga
Berkembangnya agama islam ke dalam sistem kepemerintahan Tuan Syara dan
Hulubalang Alam Harimau Garang. Berdampak pada stabilnya kondisi sistem
kepemerintahannya dan memberikan kenyamanan dan keharmonisan
masyarakat pulau Bangka pada saat itu. Suasana yang ditampilkan pada adegan
tiga ini adalah suasana keceriaan.
d. Adegan Empat
Bagian ke empat pada garapan karya tari ini adalah wafatnya Tuan Syara dan
Hulubalang Alam Harimau Garang. Sebagai awal mulanya silamnya
kepemerintahan yang dikuasai Kerajaan Johor dan Minangkabau, yang
disebabkan oleh tidak adanya penerus tahta kepemerintahan.
e. Adegan Lima
21
Adegan lima adalah ending, dengan tidak adanya penerus tahta ini lah pulau
Bangka mejadi satu kesatuan Kubu Bangka.

6. Gerak Tari
Gerak sebagai elemen dasar dari tari memiliki peranan penting dalam
mengkomposisikan maksud sebuah garapan kepada penonton. Gerak tubuh
memiliki tiga buah aspek: terjadi dalam ruang, membutuhkan waktu, dan
membutuhkan ruang. Ke tiga elemen gerak tari ini juga selalu merupakan indikasi
emosi dan perasaan (Murgiyanto, 2004: 55).
Sumber gerak muncul berawal dan prakarsa penata tari dalam merasakan
secara langsung di tengah-tengah masyarakat Orang Rimba, dan pemaknaan atas
peranan ruang-ruang rimba itu sendiri di eksplorasi bersama para penari yang
dijadikan sebagai ruang eksprimen dalam pencarian gerak, mengolah teknik, dan
isi dari rasa atau penjiwaan dari gerak itu sendiri. Pengalaman gerak secara
eksplorasi berpijak pada teori Alma M. Hawkins dalam bukunya, Menurut Kata
Hati. Pengembangan gerak dasar mengambil gerak pencak silat Harimau Garang
yang dikombinasi dengan gerak tradisi Bangka yang dieksplorasi sedemikian rupa
hingga menemukan gerak yang sekiranya unik dan menarik.

7. Penari
Penari, yang terdiri dari empat penari putra dan tiga penari putri. Pemilihan
jumlah penari di sini untuk mempermudah dalam penggarapan bentuk koreografi
kelompok. Pemilihan penari di sini juga dipilih berdasarkan kemampuan penari
dalam mencerna ide gagasan, teknik gerak, dan penjiwaan dari karakter gerak yang
akan dihadirkan oleh penata tari. Oleh karena itu pemilihan penari harus
mempertimbangkan secara matang karena berpengaruh pada pencapaian maksud
dan keberhasilan pertunjukan nantinya.

8. Iringan Tari
Musik sebagai iringan tari pada pertunjukan ini ditampilkan secara live.
Konsep garap musik sebagai pengiring tari, dalam garapan karya tari ini yaitu
sebagai media untuk membangun suasana dramatik penyajian bersifat ilustrasi/
ritmis dan dinamis. Musik pengiring ini meliputi bentuk langgam senandung,
inang, dan silat. Musik tari ini bertujuan agar dapat membantu dalam penekanan
22
suasana melayu Bangka. Sehingga diharapkan dapat menumbuhkan rasa emosional
dan dapat membangun suasana yang akan dihadirkan.

9. Tata Rupa Pentas


Garapan tari ini akan dipentaskan di panggung prosenium.

10. Tata Rias dan Busana


Tata rias dan busana sangat penting untuk menonjolkan karakter yang
ditampilkan. Karya tari ini menampilkan tubuh sebagai ruang imajinasi alam
rimba, sehingga tata rias untuk penari putra adalah rias tampan dan ptata rias putri
menggunakan rias cantik dan anggun
Busana yang digunakan adalah cekak mungsang dan teluk belanga atau
baju melayu Bangka.

23
IV
PROSES PENCIPTAAN KARYA

Salah satu konsep dasar sebagai langkah awal penggarapan karya tari adalah
kerangka dasar, yang berfungsi sebagai pijakan untuk mengarahkan ide dan gagasan
yang akan ditransformasikan ke dalam sebuah karya tari.
Langkah awal yang ditempuh menggunakan landasan berpikir dengan metode
kreativitas dalam mencipta karya, sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai
dengan maksimal. Dalam hal ini proses penggarapan karya tari ini diawali dengan
proses eksplorasi, improvisasi, dan forming.

1. Proses Eksplorasi
Eksplorasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam pembentukan karya
tari. Untuk mengetahui sejauh mana penguasaan tubuh dalam bergerak, maka
penggarapan diawali dengan melakukan proses eksplorasi. Pengertian eksplorasi
adalah suatu proses penjajakan, yaitu sebagai pengalaman untuk menanggapi obyek
dari luar, meliputi berpikir, berimajinasi, merasakan, dan merespon (Sumandiyo Hadi,
2003: 65). Dalam proses eksplorasi ini, penata tari akan mengalami pengalaman
koreografi yang esensial untuk menciptakan karya tari yang sesuai dengan konsep
penciptaannya. Diagram berikut memperlihatkan sebuah struktur kerangka kerja bagi
pengalaman koreografi. Diagram ini mengilustrasikan saluran dan keterkaitan dari
berbagai fase dari proses tersebut. Walaupun kegiatan kreatif mungkin dimulai dengan
memahami dan diakhiri dengan pemberian bentuk, ada suatu kejadian terus-menerus
yang saling mempengaruhi antara fase yang berbeda dalam keseluruhan proses.

2. Proses Improvisasi
Improvisasi diartikan sebagai penemuan gerak secara kebetulan atau spontan,
walaupun gerak-gerak tertentu muncul dari gerak-gerak yang pernah dipelajari atau
ditemukan sebelumnya, tetapi ciri spontanitas menandai hadirnya improvisasi (Y.
Sumandiyo Hadi, 2003: 69-70). Proses improvisasi juga merupakan penjelajahan
gerak, kaitannya dengan pengayaan gerak secara tidak sadar akan muncul gerak
tertentu yang dirasa cocok dengan imajinasi yang direncanakan oleh penata tari.
Proses koreografi melalui penyeleksian merupakan proses pembentukan atau
penyatuan materi tari yang telah ditemukan. Dalam proses koreografi kelompok,
24
proses pengembangan materi telah dimulai dari pengalaman eksplorasi dan
improvisasi secara bersama antara penata tari dengan penari. Langkah ini diambil
guna mencari bentuk-bentuk gerak tari dan menyeleksi gerak dari hasil proses
eksplorasi dan improvisasi. Gerak-gerak yang ditemukan kemudian digali dan disusun
menjadi sekumpulan motif gerak, proses ini dilakukan bersama penari dengan tujuan
untuk menyeleksi baik dari segi estetis maupun teknik gerak.

3. Pembentukan
Penata tari seperti halnya para pencipta di bidang seni lainnya selalu bergulat
dengan masalah-masalah; isi, bentuk, teknik dan proyeksi. Kata-kata ini jelas
menggambarkan aspek-aspek khusus dari proses koreografi semuanya harus hadir,
tetapi tergantung dari konsep penata aspek tari mana yang lebih ditonjolkan.
Pada tahapan forming ini penata tari mulai menyeleksi dan menyatukan materi
tari yang telah ditemukan melalui pengalaman-pengalaman tari sebelumnya yaitu
eksplorasi dan improvisasi. Hasil dari proses ekplorasi dan improvisasi melahirkan
beberapa motif gerak yang kemudian motif-motif tersebut diseleksi, dikembangkan
dan disatukan sesuai dengan alur cerita di dalam karya tari ini nantinya.

25
V
PENUTUP

Karya tari ini terinspirasi dari legenda pada abad 15. Konsep sejarah tentang
lanun di Bangka dan cerita masa lalu yang akan menjadi cikal bakal kubu Bangka.
Terjadinya perebutan kekuasaan antara Raja Tidung dengan Tuan Syara dan
Hulubalang Alam Harimau Garang. Materi gerak berangkat dari gerak dasar silat dan
motif gerak dasar melayu Bangka. Proses garapan terhadap pembentukan gestur,
teknik, maupun rasa gerak dan penjiwaan, dilakukan dengan proses improvisasi dan
eksplorasi.
Demikian tulisan perencanaan garapan karya tari ini disampaikan, semoga
dapat digunakan sebagai penjelasan tentang rancangan dan proses bentuk karya yang
akan diciptakandan dapat bermanfaat bagi kita semua. Dalam konsep ini, penyaji
menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan dan
kata-kata yang kurang berkenan dalam tulisan ini.

26
Daftar Sumber Acuan

A. Sumber Tertulis

Dadijono, Darmawan. (Desember 2008), Komposisi Tari Bunga di Atas Karang


dalam RESITAL, Jurnal Ilmiah Seni Pertunjukan, IX/02, Fakultas Seni
Pertunjukan ISI Yogyakarta, Yogyakarta.
Doubler, Margaret N. H. (1985), Tari, Pengalaman Seni Yang Kreatif. Terj. Tugas
Kumorohadi, Surabaya: Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta.
Ellfeldt, Lois. (1967). A. Primer For Choreographers atau Pedoman Dasar Penata
Tari, Terj. Sal Murgiyanto, Jakarta: Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta.
Hadi, Y. Sumandiyo.(2003), Aspek-Aspek Dasar Koreografi Kelompok, Yogyakarta:
ELKAPHI.
Hawkins, Alma M.(1988),Creating Through Dance atau MenciptaLewat Tari,
diterjemahkan oleh Y. Sumandiyo Hadi (2003),Yogyakarta: Manthili.
Koentjaraningrat. (2009), Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kussudiardjo, Bagong. (1993), Olah Seni Sebuah Pengalaman, Bintang Intervisi
Utama, Yogyakarta.
Langer, Suzanne K.(1988), Problematika Seni. Terj. Fx. Widaryanto. Bandung:
Akademi Seni Tari Indonesia,.
Margaret M. Poloma. (1992), Sosiologi Kontemporer, diterjemahan oleh Tim
Penterjemah YASOGAMA, Jakarta: CV Rajawali.
Martono, Hendro. (2008), Sekelumit Ruang Pentas, Modern dan Tradisi, Yogyakarta:
Cipta Media.
Meri, La. (1975), Komposisi Tari, Elemen-elemenDasar. Terj. Soedarsono.
Yogyakarta: Akademi Seni Tari.
Murgiyanto Sal. (1993), Ketika Cahaya Merah Memudar: Sebuah Kritik Tari, Deviri
Ganan, Jakarta.
Nardono, Tri. (November 2007), Studi Perbandingan Kualitas Teknik Individu
Penari dalam JOGED, Jurnal Seni Tari, II/02, Jurusan Tari Fakultas Seni
Pertunjukan ISI Yogyakarta, Yogyakarta.
Pramutomo, R.M.(2005), Tari Dalam Pandangan Politik Tubuh, Yogyakarta: Jurusan
Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISI.
Pramutomo, R.M. (Mei 2005), Tari Dalam Pandangan Politik Tubuh dalam
JOGED, Jurnal Seni Tari. I/1, Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI
Yogyakarta.
Sedyawati, Edi. (1981), Pertumbuhan Seni Pertunjukan,Jakarta: Sinar Harapan.
Smith, Jacqueline. (1985), Komposisi Tari: Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru,
diterjemahkan oleh Ben Suharto. Yogyakarta: Ikalasti.

27
Soedarsono. (1976), Pengantar Pengetahuan Tari, Akademi Seni Tari Indonesia,
Yogyakarta.
Suparlan, Parsudi. (1984), Manusia, Kebudayaan, Lingkungan, CV Rajawali, Jakarta.

B. Sumber Lisan

Floryfono, 60 tahun, seniman tari dan peneliti kalimatan utara. Wawancara tanggal 4
juni 2016 di kediaman, Yogyakarta.
Raja Alfira Findra, 50 tahun, Dosen Seni Tari ISI Yogyakarta. Wawancara tanggal 1-2
juni 2016 di kediaman, Yogyakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai