1
SURVEY CEPAT KLB GEMPA
DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DAN JAWA TENGAH
TAHUN 2006
I. PENDAHULUAN
Gempa tektonik yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 jam 05.54 WIB telah memporak porandakan
sebagian daerah di kedua provinsi tersebut di atas. Catatan terakhir korban
meninggal sebesar 6.618, luka yang dirawat berjumlah 123.848 yang berasal dari 5
kabupaten di DIY dan satu kabupaten di Jawa Tengah ( Kabupaten Bantul, Kodya
Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul, Sleman, Kulon Progo dan satu kabupaten di
Jawa Tengah yaitu Kabupaten Klaten). Kerusakan fisik demikian beratnya di daerah
- daerah tersebut diatas.
Survey cepat yang dilakukan pada tangal 29 30 Mei 2006 telah
mengumpulkan data tentang :
- Kebutuhan sumber daya pelayanan kesehatan di berbagai tingkat fasilitas
kesehatan dan pos pengungsian.
- Kebutuhan sarana kesehatan lingkungan di berbagai tingkatan fasilitas
kesehatan dan pos pengungsian.
- Asupan gizi di berbagai tingkatan fasilitas kesehatan dan pos pengungsian.
Data mengenai vektor dan reservoir penyakit yang mungkin akan segera
muncul misalnya lalat (diare), nyamuk (DBD dan malaria) belum diketahui. Selain
itu penyakit yang ditularkan oleh tikus misalnya leptospirosis perlu diwaspadai
karena dengan kerusakan rumah penduduk maka tikus akan menyebar ke tempat lain,
terutama di daerah endemik leptospirosis di kabupaten Klaten.
Dengan adanya gempa akan menyebabkan kerusakan bangunan sehingga
banyak daerah yang penuh dengan puing-puing dan sampah serta sisa-sisa makanan
yang akan meningkatkan populasi tikus, baik tikus got, tikus rumah dan tikus kebun
(Rattus norvegicus, R. tanezumi dan R. exulans). Dengan meningkatnya populasi
tikus akan menyebabkan risiko penularan leptospirosis juga akan meningkat.
Tumpukan sampah juga akan meningkatkan populasi lalat dan kecoa yang
merupakan vektor mekanik berbagai penyakit antara lain diare.
2
Bertumpuknya sampah baik sampah organik, anorganik dan terutama kaleng
bekas makanan dsb akan meningkatkan jumlah habitat nyamuk Aedes aegypti.
Dengan meningkatnya populasi Ae. aegypti maka risiko penularan DBD akan
meningkat juga. Hal tersebut akan diperparah dengan turunnya hujan yang akan
mengisi kaleng bekas dan bejana-bejana lain yang akan menjadi habitat nyamuk
vektor DBD tersebut di atas.
Kesehatan lingkungan merupakan masalah utama sesuai dengan data yang
dikumpulkan oleh survey cepat pertama. Untuk itu perlu dicermati lebih mendalam
dan mendetail akan kebutuhan sanitasi, air bersih dan semua yang berhubungan
dengan kesehatan lingkungan.
Melalui metode pengamatan dapat diketahui makna di balik berbagai perilaku
masyarakat kaitannya dengan kesehatan lingkungan pasca gempa. Melalui survei
cepat ini akan diketahui status kesehatan masyarakat pasca gempa, penyakit apa saja
yang diperkirakan akan muncul dan menjadi masalah di kemudian hari.
Untuk itu pada tanggal 20-22 Juni 2006 kembali dilakukan kegiatan
pengumpulan data atau survei cepat untuk menjawab hal tersebut di atas.
II. TUJUAN
Untuk mengkaji risiko penularan penyakit tular vektor, leptospirosis,
kesehatan lingkungan, perilaku individu dan masyarakat, serta status kesehatan di
daerah pasca gempa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa
Tengah.
III. MANFAAT
Mendapatkan data akurat mengenai penyebaran vektor DBD, tikus penular
leptospirosis, kesehatan lingkungan, perilaku masyarakat dan status kesehatan pasca
gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Survei dilakukan selama tiga hari berturut-turut pada tanggal 20-22 Juni 2006,
di tiga lokasi sebagai berikut :
3
3) Desa Jogoprayan, Kragilan dan Mlese, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah
Sampel terpilih 210 rumah tangga, dengan masing-masing daerah/lokasi diambil
di Kota Yogyakarta 91 rumah tangga (43,3 %), Kabupaten Bantul 48 rumah tangga
(22,9 %), dan Kabupaten Klaten 71 rumah tangga (33,8 %).
4
B. Aspek Biologi Lingkungan
1. Penyakit Tular vektor dan Reservoir Penyakit
5
kasus DBD, dan satu diantaranya meninggal dunia dengan jumlah
penduduk berisiko 3.412 jiwa.
6
terdiri dari mikroskop dissecting, lampu baterai, aspirator, paper cup,
kain kassa, kertas saring, chloroform.
7
bekerja. Tikus yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantong kain
ukuran 30 x 40 cm, kemudian diberi label (tanggal, habitat dan kode
lokasi), untuk selanjutnya diproses.
2) Cara pengambilan darah
Tikus yang berada di dalam kantong dilemaskan dengan menarik ekor
dan menekan lehernya. Tikus yang sudah lemas diambil darah dari
jantung, yaitu menusukkan jarum suntik 45 terhadap tubuh dibawah
tulang rusuk menggunakan syringe needle ukuran 3 ml.
3) Cara penggunaan leptotek lateral flow
Darah yang digunakan adalah darah segar sebanyak 3 tetes
dimasukkan kedalam sumuran leptotek. Kemudian ditetesi larutan
buffer 10 l. Akan muncul garis pada bilik kontrol dan apabila
positif akan muncul garis pada bilik test.
4) Cara pengumpulan ektoparasit
Tikus yang sudah mati dikoleksi ektoparasitnya dengan cara menyisir
berlawanan arah rambut. Kemudian ektoparasit dimasukkan ke dalam
botol vial yang telah diisi alkohol 70 % dan label (kode lokasi dan
nomor inang). Ektoparasit yang menempel di telinga, hidung dan
pangkal ekor dikorek dengan jarum/pinset kemudian dimasukkan ke
dalam botol vial.
5) Cara identifikasi tikus
Jenis tikus yang tertangkap diidentifikasi dengan melihat tanda
tanda morfologi luar yang meliputi : warna pada tubuh dan ekor
dibagian dorsal dan ventral. Kemudian mengukur panjang total; dari
ujung hidung sampai ujung ekor (panjang total = PT), panjang ekor;
dari pangkal sampai ujung (panjang ekor = PE), panjang telapak kaki
belakang; dari tumit sampai ujung kaki (panjang kaki belakang = K),
panjang telinga; dari pangkal sampai ujung daun telinga (T), berat
badan dan jumlah puting susu pada tikus betina, yaitu jumlah puting
susu di bagian dada dan perut (dada (D) + perut (P)).
6) Cara determinasi dan identifikasi pinjal
Ektoparasit yang diperoleh diletakkan di atas petridish kemudian
diamati di bawah mikroskop disecting dengan perbesaran 40 X untuk
determinasi. Untuk pembuatan preparat, pinjal direndam dalam
8
larutan KOH 10 % dan ditusuk pada bagian abdomen. Perendaman
dilakukan selama 24 jam, selanjutnya dipindah ke aquadest selama 5
menit, kemudian kedalam asam asetat selama 30 menit. Pinjal yang
terlihat transparan diambil dan diletakkan dalam gelas objek, kaki
diatur sehingga semua kaki mengarah ke bawah.
9
D. Aspek Status Kesehatan
1. Persiapan
- Kepada semua pewawancara diberikan penjelasan akan maksud dan
tujuan survey ini dan penjelasan mengenai isi kuesioner yang akan
dipakai untuk wawancara pada rumah tangga (RT).
- Dilakukan penentuan RT dengan memilih kabupaten/kota yang
mengalami bencana gempa bumi dengan tingkat keparahan yang cukup
tinggi.
- Terpilih Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta di Provinsi DIY dan
Kab. Klaten di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya bersama Dinkes
Provinsi dan Kab/Kota menetapkan Kecamatan dan Desa/kelurahan.
Kemudian terpilih Kecamatan Imogiri Desa Karangtalun di Kab. Bantul,
Kec. Umbulharjo Desa Sorosutan di Kota Jogyakarta, dan Kec.
Gantiwarno Desa Jogoprayan, Kragilan dan Mlese di Kab. Klaten.
- Sampel terpilih 210 rumah tangga, dengan masing-masing daerah/lokasi
diambil di Kota Jogyakarta 91 RT, Kab. Bantul 48 RT, dan Kab. Klaten
71 RT.
2. Pengumpulan dan analisis data
- Hari pertama pewawancara melaporkan kegiatan survey ini di Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten kemudian ke Puskesmas setempat
dalam wilayah kerja sesuai desa terpilih.
- Selanjutnya melakukan wawancara pada RT, dengan menggunakan
kuesioner yang meliputi aspek pengenalan tempat, keterangan rumah
tangga dan anggota rumah tangga, keterangan kesehatan semua anggota
rumah tangga dan kesehatan mental (untuk usia 15 tahun ke atas).
- Setelah selesai wawancara langsung dilakukan edit dan entry data di
lapangan.
- Selanjutnya dilakukan analisis data secara deskriptif analitik.
10
V. HASIL PENELITIAN
A. Kesehatan Lingkungan
1. Penyediaan Air Minum dan Air Bersih
Tabel V.1, menyajikan distribusi frekuensi dari variabel-variabel
penyediaan air minum untuk minum dan memasak menurut
kabupaten/kota. Variabel penyediaan air minum meliputi jenis sarana,
kepemilikan, kecukupan kuantitas air, kualitas air, dan jarak dari rumah.
Sebelum gempa bumi, proporsi jenis sarana yang paling banyak
digunakan masyarakat di kota Yogyakarta adalah sumur gali (SGL)
dengan pompa listrik (57,1%), demikian pula di Bantul adalah SGL
dengan listrik (52,1%), sedangkan di Klaten adalah SGL dengan timba
(63,4%). Setelah gempa bumi jenis sarana air minum yang paling
banyak digunakan masyarakat berubah dari SGL dengan pompa listrik
menjadi SGL dengan timba dengan masing-masing proporsi sebesar
53,8%, 72,9%, dan 91,5%. Kepemilikan sarana air minum yang paling
banyak adalah sarana milik sendiri yaitu masing-masing untuk
Yogyakarta, Bantul, dan Klaten secara berturut-turut sebesar 87,9%,
95,8%, dan 93,0%. Dari segi kuantitas kecukupan air minum sebelum
gempa bumi, sebagian besar responden menyatakan kuantitas air untuk
minum dan memasak mencukupi di semua kabupaten/kota, dengan
proporsi sebesar 87,9%, 95,8%, dan 93,0%. Setelah gempa bumi
proporsi kecukupan air minum menurun menjadi 65,9%, 83,3%, dan
81,7%. Demikian pula dari segi kualitas fisik air minum, sebagian
besar responden di tiga kabupaten/kota menyatakan air minumnya
jernih, dengan persentase 97,8%, 100%, dan 100%. Namun setelah
gempa bumi persentase responden yang airnya jernih menurun menjadi
90,1%, 95,8%, dan 98,6%. Dalam hal jarak sarana air mnium dengan
rumah, tidak ada perubahan antara sebelum dan sesudah gempa bumi,
yaitu persentase terbesar pada jarak 10 meter atau kurang.
11
Tabel V.1
Penyediaan Sarana Air Minum di DIY dan Jawa Tengah Sebelum dan Setelah
Gempa Bumi tahun 2006
Kota Yogja Kab. Bantul Kab. Klaten
No Penyediaan Air Minum Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
n % n % n % n % n % n %
Sarana Air Minum
a. Perpipaan/ledeng 5 5,5 5 5,5 2 4.2 6 12,5 0 0,0 0 0,0
1 b. SGL dengan timba 33 36,3 49 53,8 21 43,8 35 72,9 45 63.4 65 91,5
c. SGL dgn pompa listrik 52 57,1 36 39,6 25 52,1 7 14,6 26 36.6 6 8,5
d. Sumur pompa tangan 1 1,1 1 1,1 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Kepemilikan Sarana Air
Minum : Milik sendiri
2
a. Ya 80 87,9 60 65,9 46 95,8 40 83,3 66 93,0 58 81,7
b. Tidak
Pemilik Sarana Air
Minum
a. Tetangga 1 50,0 31 34,1 4 100 6 12.5 5 83,3 13 18,3
3
b. Bantuan pemerintah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
c. Bantuan LSM 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
d. Lainnya 1 50.0 1 16.7
Kuantitas Air Minum
mencukupi sepanjang
4 tahun
a. Ya 91 100 91 100 48 100 48 100 71 100 71 100
b. Tidak
Kualitas Air Minum
a. Jernih 89 97,8 82 90,1 48 100 46 95,8 71 100 70 98,6
5
b. Keruh 2 2,2 9 9,9 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,4
c. Berwarna 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Jarak rumah ke Sumber
Air Minum
6
a. 10 meter 91 100 91 100 48 100 48 100 71 100 71 100
b. > 10 meter
12
Tabel V.2
Penyediaan Sarana Air Bersih untuk mandi, cuci dan kakus di DIY dan Jawa Tengah
Sebelum dan Setelah Gempa Bumi tahun 2006
2. Pembuangan Kotoran
Tabel V.3, menyajikan proporsi untuk variabel pembuangan kotoran
yang meliputi jenis tempat membuang air besar dan kepemilikan sarana
tersebut sebelum dan setelah gempa bumi di kota Yogyakarta,
Kabupaten Bantul dan Kabupaten Klaten. Sebelum gempa bumi,
proporsi jenis tempat membuang air besar yang paling banyak
digunakan di Yogyakarta adalah jamban leher angsa dengan tangki
teptik (92,3%), demikian pula di Bantul dengan jenis sarana yang sama
sebesar 68,8% dan di Klaten sebesar 67,6%.
Setelah gempa bumi, proporsi penggunaan jamban leher angsa dengan
tangki septik sedikit meningkat menjadi 95,6%, sedangkan di Bantul
dan Klaten menurun, masing-masing menjadi 60,4%, dan 63,4%.
Kepemilikan tempat membuang air besar setelah gempa bumi yang
terbesar adalah milik sendiri, masing-masing dengan proporsi untuk
Yogyakarta sebesar 56,8%, Bantul sebesar 93,3%, dan Klaten sebesar
84,5%.
13
Tabel V.3
Pembuangan Kotoran di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah Sebelum dan Setelah
Gempa Bumi tahun 2006
Kota Yogyakarta Bantul Klaten
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
No Pembuangan Kotoran
n % n % n % n % n % n %
(91) (91) (91) (91) (91) (91)
Tempat Buang Air Besar
a. Jamban leher angsa 84 92,3 87 95,6 33 68,8 29 60,4 48 67.6 45 63,4
dengan tangki septik
b. Jamban leher angsa tanpa 1 1,1 1 1,1 2 4,2 1 2,1 16 22.5 13 18,3
tangki septik
1
c. Jamban plengsengan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,4
tanpa tangki septik
d. Jamban umum 6 6,6 0 0,0 13 27,1 1 2,1 6 8.5 4 5,6
e. Sungai 0 0,0 3 3,3 0 0,0 16 33,3 0 0,0 8 11,3
f. Kebun 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 2,1 0 0,0 0 0,0
Kepemilikan jamban
a. Milik sendiri 0 0,0 50 56,8 0 0,0 28 93,3 0 0,0 49 84,5
2
b. Tetangga 0 0,0 38 43,2 0 0,0 2 6,7 0 0,0 8 13,8
c. Bantuan pemerintah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,7
14
Tabel V.4
Higiene dan Sanitasi Makanan di Yogyakarta dan Jateng Setelah Gempa Bumi
Kota Yogyakarta Kab. Bantul Kab. Klaten
No Higiene dan Sanitasi Makanan
n % n % n %
Mengolah Makanan Sendiri Setelah Gempa Bumi
1 a. Ya 49 53,8 40 83,3 71 100,0
b. Tidak
Bila ya, apakah peralatan memasak dalam keadaan
bersih?
2
a. Ya 29 59,2 28 70,0 59 83,1
b. Tidak
Bila tidak, apakah memperoleh bantuan makanan
dari pihak lain dalam bentuk makanan masak/siap
3 saji?
a. Ya 62 96,9 6 75,0
b. Tidak
Asal makanan siap saji tersebut
a. Tidak tahu
b. Posko 39 60,9 1 25,0
4
c. Bantuan LSM 18 28,1
d. Bantuan pemerintah 3 4,7 3 75,0
e. Lainnya 2 3,1
Makanan siap saji tsb dalam keadaan bersih dan
tidak basi
5
a. Ya 64 100,0 2 100,0
b. Tidak
15
Proporsi responden yang mengeluh terganggu oleh bau limbah padat
hanya sedikit, yaitu di Yogyakarta (10,1), Bantul (29,2%), dan Klaten
(2,8%). Limbah cair yang dialirkan secara baik di Yogyakarta, Bantul,
dan Klaten masing-masing secara berurutan sebesar 95,5%, 60,4% dan
59,2%. Sedangkan responden yang mengeluh adanya gangguan karena
limbah cair yang tersumbat paling banyak di Yogyakarta dan Bantul
yaitu masing-masing sebesar 50,0%.
Tabel V.5
Pengelolaan Limbah Domestik Padat di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah Setelah
Gempa Bumi
Kota Yogyakarta Kab. Bantul Kab. Klaten
No Higiene dan Sanitasi Makanan
n % n % n %
Limbah padat dari sisa makanan dan sejenisnya
dikumpulkan dalam suatu wadah?
1
a. Ya 87 97.8 6 12.5 3 4.2
b. Tidak
Jenis wadah yang digunakan?
a. Kantong plastik 15 17.2
b. Kaleng bekas 2 2.3 1 20.0
2
c. Kardus bekas 1 20.0 2 66.7
d. Ember plastic bekas 18 20.7 3 60.0 1 33.3
e. Lainnya 52 59.8
Kemana limbah tersebut dibuang?
a. Ke kebun 2 2.5 7 16.7 26 38.2
b. Ke sungai 2 2.5 6 14.3 4 5.9
3 c. Sembarang tempat 11 26.2 5 7.4
d. Bakar 21 26.6 16 38.1 30 44.1
e. Ditanam dalam tanah 1 1.3 2 4.8 3 4.4
f. Diambil petugas 53 67.1
Apakah limbah padat tsb mengganggu?
4 a. Ya 9 10.1 14 29.2 2 2.8
b. Tidak
Apakah limbah domestik cair dari tempat mandi,
cuci dan kakus dan air hujan mengalir dengan baik?
5
a. Ya 85 95.5 29 60.4 42 59.2
b. Tidak
Bila tidak mengalir, apakah limbah cair tsb
6 mengganggu?
a. Ya 2 66.7 4 26.7 9 31.0
b. Tidak
Bila ya, apa gangguannya?
7 a. Bau 1 50.0 2 50.0 3 42.9
b. Tempat serangga 1 50.0 2 50.0 3 42.9
c. Mengenai tenda 1 14.3
d. Lainnya
16
di Bantul dan 71 SAM di Klaten. Jumlah sampel untuk inspeksi sanitasi
tidak sama dengan jumlah sampel dari survey yang lain karena satu
SAM dapat digunakan untuk lebih dari satu rumah tangga (Tabel V.6).
Persentase terbanyak SAM di Yogyakarta adalah SAM dengan risiko
rendah (75,8%), sedangkan di Bantul dengan SAM berisiko sedang
(52,1%), dan di Klaten dengan SAM berisiko tinggi sebesar 40,8%.
Tabel V.6
Inspeksi Sanitasi Sarana Air Bersih di Yogyakarta dan Jateng
Setelah Gempa Bumi
Kota Bantul Klaten
Yogyakarta (N=48) (N=71)
Inspeksi Sanitasi Sarana Air Bersih
(N=81)
n % n % n %
a. Rendah (A) 69 75.8 16 33.3 14 19.7
b. Sedang (B) 20 22.0 25 52.1 24 33.8
c. Tinggi (C) 2 2.2 7 14.6 29 40.8
d. Sangat tinggi (D) 0 0,0 0,0 4 5.6
17
Jenis limbah medis yang paling banyak dihasilkan adalah
limbah infeksius yang dihasilkan dari tindakan medis dan
operasi berupa kapas, perban, dan limbah tajam dari jarum
suntik, ampul dan scalpel dsb. Limbah farmasi belum
banyak dihasilkan karena masih sedikit sediaan farmasi yang
masih belum melampaui masa kadaluarsa.
Persediaan sarana pengumpulan limbah medis masih
mencukupi karena telah diantisipasi kemungkinan terjadi
lonjakan pasien akibat aktivitas gunung Merapi.
Tenaga pengumpul limbah medis dibantu oleh Akademi
Kesehatan Lingkungan Yogyakarta yang bertugas
mengumpulkan limbah medis dari segala sumber selama
seminggu pasca gempa.
2) Pengangkutan dan penyimpanan sementara
18
b. RSUD KOTA YOGYAKARTA
1) Produksi, pengumpulan, pemilahan dan pewadahan
Produksi limbah medis yang dihasilkan oleh RS Kota
meningkat sekitar 4 kali, demikian pula kiriman limbah
medis dari puskesmas yang selama ini mengolahkan limbah
medisnya ke RS tersebut. Limbah medis dikumpulkan
terpisah dari limbah non medis di sumbernya.
Produksi limbah farmasi belum meningkat karena belum
banyak obat-obatan yang kadaluarsa sehingga masih boleh
diolah dengan incinerator.
Limbah infeksius dikumpulkan dalam plastik kuning
berlabel infeksius sedangkan limbah medis tajam
dikumpulkan dalam safety box warna kuning berbahan
karton. Jarum suntik tidak dipotong sebelum dimasukkan ke
dalam safety box. Kualitas safety box-nya lebih tipis
dibandingkan dengan safety box bantuan Unicef karena
harganya lebih murah.
2) Pengangkutan dan penyimpanan sementara
Pengangkutan limbah medis dari sumber di lingkungan RS
Kota dilakukan dengan kontainer plastik beroda dan
berwarna hijau dan dilengkapi dengan penutup.
Pengangkutan limbah dari sumber di luar RS dilakukan
dengan kendaraan bantuan Dinas Kimpraswil Yogyakarta.
Tempat penyimpanan sementara limbah medis sebelum
pengolahan adalah ruangan di sekitar incinerator yang
keadaannya terbuka dan pagarnya rusak karena gempa
sehingga kemungkinan terkena hujan atau dijangkau oleh
pemulung.
3) Pengolahan dan pembuangan akhir
Pengolahan limbah medis dilakukan dengan menggunakan
insinerator yang telah berumur 12 tahun bantuan dari
Dinas Lingkungan Hidup. Incinerator sempat rusak karena
19
terkena gempa namun 2 hari setelah gempa dapat
berfungsi kembali.
Frekuensi pengolahan limbah medis dilakukan 2 kali
dalam sehari dengan rata-rata 100 kg per hari.
20
d. RSUD PKU MUHAMMADIYAH BANTUL
1) Produksi, pengumpulan, pemilahan dan pewadahan
Produksi limbah medis meningkat sekitar 4 kali dibandingkan
sebelum gempa bumi. Limbah medis dikumpulkan dari
sumbernya di kontainer tertutup dan berlabel terpisah dengan
limbah non medis. Warna kontainer tidak sesuai dengan standar
karena berwarna abu-abu. Perlakuan jarum suntik setelah
dipakai belum benar karena jarum ditutup kembali setelah
dipakai sehingga berisiko terjadi tusukan.
2) Pengangkutan dan penyimpanan sementara
Pengangkutan limbah medis di lingkungan RS menggunakan
trolley khusus dan kadang-kadang dijinjing. Limbah medis yang
akan diolah disimpan di sekitar incinerator. Tempat
penyimpanan sementara tidak memenuhi syarat karena banyak
berserakan limbah farmasi dan abu sisa pembakaran yang belum
dibuang.
3) Pengolahan, pemusnahan dan pembuangan akhir
Pengolahan limbah medis menggunakan insinerator berukuran
kecil yang tidak dilengkapi dengan pengatur suhu. Semua
limbah medis padat dibakar dengan frekuensi sekali sehari.
B. Lingkungan Biologi
1. Jentik, Nyamuk Dewasa dan Habitat Aedes sp
Pada Tabel V.7, tampak hasil pengamatan jentik pada tempat
penampungan air di rumah-rumah penduduk di tiga lokasi survei
menunjukkan indeks jentik (House Index) tertinggi di Klaten (28,6%)
diikuti Bantul (18,6%) dan Yogyakarta (11,9%). Desa Mlese
Kecamatan Gantiwarno Kabupaten Klaten dan Desa Karangtalun
Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul mewakili daerah perdesaan
sedangkan Kelurahan Sorosutan Kecamatan Umbulhardjo Yogyakarta
mewakili daerah perkotaan. Angka bebas jentik (ABJ) di tiga lokasi
survei tampak masih < 90%. Tampak risiko penularan virus dengue di
daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan.
21
Sebagian besar jentik yang ditemukan di lokasi survei adalah
Aedes aegypti. Hanya di Desa Karangtalun Kecamatan Imogiri
Kabupaten Bantul ditemukan jentik Ae.albopictus. Jentik Ae. aegypti
umumnya ditemukan di rumah-rumah penduduk yang tidak mengalami
kehancuran berat. Pada beberapa rumah yang hancur dan ditinggalkan
penghuninya tampak tempat penampungan air terlantar dipenuhi jentik
Ae.albopictus. Nyamuk dewasa Ae.aegypti ditemukan ditempat
istirahatnya di baju bergantung masing-masing satu ekor di semua
lokasi survei.
Tabel V.7
House Index dan Angka Bebas Jentik di Tiga Lokasi Survei
Rumah
Lokasi Survei House Index Angka Bebas Jentik
Diperiksa Jentik (+)
(%) (%)
Yogyakarta 59 7 11.9 88,1
Bantul 43 8 18.6 81,4
Klaten 28 8 28.6 71,4
Total 130 23 17,7 82,3
Tabel V.8
Jenis Tempat Penampungan Air di Tiga Lokasi Survei yang Berpotensi
Sebagai Tempat Pekembangbiakan Aedes spp.
Bak Tempayan Drum Ember Lainnya Total
Lokasi
Mandi
Survei
n % n % n % n % n % n
Sorosutan 61 59,2 6 5,8 1 1,0 35 34,0 0 0,0 103
(DIY)
Karangtalun 40 64,6 2 3,2 1 1,6 18 29,0 1 1,6 62
(Bantul)
Mlese 31 81,6 1 2,6 0 0,0 6 15,8 0 0,0 38
(Klaten)
Total 132 65,0 9 4,4 2 1,0 59 29,1 1 0,5 203
22
tanah, logam dan plastik. Sebagian besar bahannya adalah plastik di
lokasi survei di Yogyakarta (35,0%), semen di Bantul (53,3%) dan
Klaten (57,9%)
Tabel V.9
Bahan Tempat Penampungan Air di Tiga Lokasi Survei yang Berpotensi Sebagai
Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes spp
Tabel V.10
Tempat Penampungan Air Yang Tertutup Rapat di Tiga Lokasi Survei
Jumlah
Lokasi Tertutup Tidak tertutup
diperiksa
Yogyakarta 99 14 (14,1%) 85 (85,9%)
Bantul 62 9 (14,5%) 53 (85,5%)
Klaten 31 4 (12,9) 27 (87,1%)
Total 192 27 (14,1) 165 (85,9%)
23
Tabel V.11
Kondisi Bangunan Rumah di Tiga Lokasi Survei
Jumlah Bangunan Rumah
Lokasi Survei diperiksa Tidak Rusak Rusak Hancur
n % n % n %
Yogyakarta 59 1 1,7 43 72,9 15 25,4
Bantul 43 0 0,0 6 14,0 37 86,0
Klaten 28 2 7,1 21 75,0 5 17,9
Total 130 3 2,4 70 53,8 57 43,8
Tabel V.11
Ditemukan Barang-barang Bekas (kaleng, ember, plastik, dll) di Tiga Lokasi Survei
Jumlah Ditemukan Barang-barang Bekas
Lokasi Survei diperiksa Banyak Sedikit Tidak Ada
n % n % n %
Yogyakarta 59 16 27,1 39 66,1 4 6,8
Bantul 43 21 48,8 22 51,2 0 0,0
Klaten 28 2 7,1 26 92,9 0 0,0
Total 130 39 30,0 87 66,9 4 3,1
24
Tabel V.12
Keberadaan Lalat di Sekitar Rumah
Ditemukan Lalat
Lokasi Survei Banyak Sedikit Tidak Ada Total
n % N % n %
Yogyakarta 18 30,5 38 64,4 3 5,1 59 100,0
Bantul 5 11,6 26 60,5 12 27,9 43 100,0
Klaten 13 46,4 15 53,6 0 0,0 28 100,0
Total 36 27,7 79 60,8 15 11,5 130 100,0
Banyak: >10 per lapangan pandang, sedikit <10 per lapangan pandang
25
lebih banyak sumber pakan. Dengan adanya migrasi maka
memungkinkan terjadi penyebaran leptospirosis.
c. Pengujian darah menggunakan leptotek
Seluruh sampel darah diuji menggunakan leptotek lateral flow. Dari
17 sampel yang diperiksa, tidak satupun tikus yang mengandung
bakteri Leptospira. Pada tahun 2005 ditemukan 5 sampel darah
tikus yang mengandung Leptospira serovar ichterohaemorrhagie
dan jenis Leptospira autumnalis. Kedua jenis Leptospira tersebut
virulen pada manusia. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan
atau surveilans leptospirosis.
d. Pemetaan menggunakan GPS
Setiap rumah yang dipassangi perangkap dan rumah kasus
ditentukan koordinatnya dengan menggunakan GPS. Data tersebut
akan dimasukkan kedalam Arc View sehiungga akan didapatkan
peta penyrbarannya.
e. Investasi ektoparasit pada tikus
Jumlah ektoparasit yang dikoleksi dari seluruh tikus dan cecurut
yang tertangkap berjumlah 50 spesimen. Ektoparasit tersebut terdiri
dari pinjal (flea), Xenopsilla sp. dan tungau (mites), Laelaps sp.
Kedua jenis ektoparasit ini paling sering dijumpai pada tikus
domestik. Indeks umum pinjal pada R. tanezumi sebesar 2,73%
sedangkan indeks umum pinjal pada S. murinus sebesar 0,60%.
Tabel V.13
Fauna tikus dan investasi ektoparasit pada tikus yang tertangkap di Desa Bakung
dan Desa Rejoso, Kec. Jogonalan, Kab. Klaten
Jenis kelamin Ektoparasit
No Jenis tikus Habitat Jumlah Hasil uji Xenopsylla sp. Laelaps sp.
tikus Jantan Betina leptotek % %
Rumah 7 3
1 Rattus 11 negatif 30 2,73 17 1,54
Kebun 0 1
tanezumi
Rumah 0 0
2 Bandicota 1 negatif 0 0 0 0
Kebun 0 1
indica
Rumah 1 0
3 Suncus 5 negatif 3 0,6 0 0
Kebun 3 1
murinus
26
Tabel V.14
Trap success pada penangkapan tikus di Desa Bakung dan Desa
Rejoso, Kec . Jogonalan, Kab. Klaten
No. Habitat Jumlah perangkap dipasang Trap success
1 Rumah 120 11 (9,20%)
2 Kebun 80 6 (7,50%)
Total 200 17 (8,5%)
Tabel V.15
Diskripsi daerah yang di survei di Kec. Jogonalan, Kab. Klaten
No. Nama Desa Keadaan daerah
1 Bakung Tanah datar dengan sawah monokultur yaitu padi (Oryza
sativa) menggunakan irigasi dan sebagian daerah ditanami
jagung serta tembakau.
C. Sosial Masyarakat
27
sebagian besar telah hancur akibat bencana gempa yang telah
terjadi. Sarana ibadah (musholla) ada yang masih utuh berdiri.
3) Keberadaan dan ketidakberadaan serangga
Menurut masyarakat jenis serangga yang ada di lingkungan sekitar
adalah banyaknya nyamuk pada malam hari. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya lalat disekitar tempat
tinggal sementara.
4) Kepadatan hunian tenda
Masyarakat membuat tempat tinggal sementara yang dibangun
dari bahan kayu atau bambu untuk dindingnya, ada juga yang
menggunakan seng untuk dindingnya sedangkan lantainya terbuat
dari plesteran semen dan sebagian besar atapnya menggunakan
plastik terpal dan ada juga yang menggunakan seng. Umumnya
tempat tinggal sementara tersebut ditinggali oleh satu keluarga
tetapi ada juga yang lebih dari satu keluarga.
5) Tanda-tanda adanya kehidupan tikus di sekitar rumah atau
tenda
Berdasarkan pengakuan penduduk tidak ada tikus di sekitar
tempat tinggal sementara.
b. Perilaku Masyarakat
1) Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan masalah
kesehatan lingkungan
a) Samijaga
Sarana pemanfatan air bersih lebih banyak diperoleh dari
sumur gali dan ada beberapa yang menggunakan pompa
listrik. Pemanfaatan sarana air bersih tersebut digunakan
untuk kepentingan air minum, mandi, mencuci pakaian dan
alat makan. Secara umum tidak ada perilaku menampung air
bersih didalam tempat penampungan air.
Sebelum terjadi gempa perilaku masyarakat dalam hal
pembuangan kotoran / buang air besar (BAB) sudah cukup
baik dengan menggunakan jamban berseptic tank di rumah
masing-masing. Meski demikian masih ada juga masyarakat
28
yang BAB di parit dan sungai terutama masyarakat yang
tempat tinggalnya dekat dengan parit atau sungai.
Setelah gempa perilaku penduduk dalam pembuangan
kotoran (BAB) tidak berubah.
Di desa Karangtalun terdapat juga jamban yang dibuat oleh
UNICEF tetapi belum berfungsi karena proses
pembangunannya belum selesai.
b) Limbah domestik (sampah)
Umumnya masyarakat desa Karangtalun memanfaatkan
sungai yang ada di dekat rumah sebagai tempat pembuangan
limbah domestik (sampah). Namun ada sebagian keluarga
yang membakar dan mengubur limbah domestik (sampah).
Demikian pula halnya sesudah gempa, masyarakat masih
memanfaatkan sungai dan membakar atau mengubur limbah
domestik mereka.
c) Sanitasi makanan (Hygiene)
Karena keadaan tempat tinggal yang tidak memungkinkan,
maka dapur masyarakat sesudah gempa berada di area
terbuka. Begitu pula dengan cara penempatan alat-alat
masak dan makan, sehingga kebersihannya kurang terjamin
karena ditempatkan di tempat terbuka yang memungkinkan
debu-debu menempel pada alat tersebut.
29
3) Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan pencarian
pengobatan pasca bencana
a) Keadaan yang merasakan dirinya sedang sakit (Konsepsi
sakit/sehat)
30
c. Perilaku Masyarakat yang mengakibatkan gangguan
psikosomatik setelah gempa
1) Jenis gangguan psikosomatis
31
terpal yang ditopang dengan bambu atau kayu. Posko atau tenda
pengungsian tersebut ada yang digunakan beramai-ramai atau
dihuni oleh beberapa keluarga. Selain itu ada juga para korban
yang membuat tenda di bekas rumahnya atau di dekat bekas
rumahnya yang ambruk. Umumnya satu tenda ditempati oleh
satu keluarga. Para korban yang tinggal di tenda mengeluhkan
rasa dingin pada malam hari dan merasa kepanasan karena udara
panas pada siang hari jika tinggal di tenda.
Pemukiman masyarakat relatif cukup padat sedangkan jenis
bangunan yang ada terdiri dari perumahan masyarakat yang
telah hancur akibat bencana gempa yang telah terjadi, tetapi
tidak semua rumah mengalami rusak parah ada sebagian rumah
yang hanya retak-retak dan ada yang tidak rusak sama sekali
Selain perumahan warga, sarana umum yang mengalami
kerusakan parah adalah puskesmas dan sekolah TK.
2) Keberadaan dan ketidakberadaan serangga
Menurut masyarakat jenis serangga yang ada di lingkungan
sekitar adalah nyamuk pada malam hari. Ada juga lalat di siang
hari yang terdapat di tenda-tenda tapi jumlahnya tidak terlalu
banyak yang umumnya ada di sekitar dapur darurat. Pada malam
hari, para korban yang tinggal di tenda mengeluhkan keberadaan
nyamuk karena kondisi tenda yang tidak tertutup rapat.
3) Kepadatan hunian tenda
Setelah bencana gempa terjadi masyarakat mendirikan posko,
satu RT terdiri dari beberapa tenda dan ada juga posko yang
terbuat dari plastik terpal yang disanggah dengan bambu. Satu
tenda terdiri dari beberapa keluarga sehingga keadaan tenda
sangat sempit, tetapi sekarang sudah mulai berkurang karena ada
beberapa masyarakat yang mengungsi di tempat sanak
saudaranya. Selain itu juga ada juga keluarga yang membuat
tenda untuk keluarganya sendiri dan lokasi tenda di dekat
rumahnya yang rubuh.
32
4) Tanda-tanda adanya kehidupan tikus di sekitar rumah atau
tenda
Berdasarkan pengakuan masyarakat tidak ada tikus di sekitar
tempat tinggal sementara.
b. Perilaku Masyarakat
1) Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan masalah
kesehatan lingkungan
a) Samijaga
Sarana pemanfatan air bersih lebih banyak diperoleh dari
pompa listrik dan ada beberapa yang menggunakan sumur
gali. Pemanfaatan sarana air bersih tersebut digunakan untuk
kepentingan air minum, mandi, mencuci pakaian dan alat
makan.
Sebelum terjadi gempa perilaku masyarakat dalam hal
pembuangan kotoran (BAB) sudah cukup baik dengan
menggunakan jamban berseptic tank.
Setelah gempa perilaku masyarakat dalam pembuangan
kotoran (BAB) tidak berubah. Walaupun ada masyarakat
yang BAB nya menumpang di tempat tetangga dan kantor
yang berada di dekat rumah.
b) Limbah domestik (sampah)
Umumnya limbah domestik (sampah) masyarakat desa
Sorosutan diambil oleh petugas kebersihan setiap dua hari
sekali dan membayar uang kebersihan setiap bulannya sama
seperti ketika sebelum gempa. Namun demikian, ada juga
masyarakat yang mengumpulkan sampahnya lalu dibakar
dan mengubur limbah domestik (sampah) di sekitar tenda
mereka.
c) Sanitasi makanan (Hygiene)
Dalam hal perilaku masyarakat yang berhubungan dengan
makanan, pada beberapa posko memasak menggunakan
kompor gas walaupun dapurnya dalam keadaan terbuka,
setelah makanan matang baru ditutup. Ada juga masyarakat
33
yang memasak menggunakan kompor minyak tanah, juga
yang menggunakan tumpukan batu bata dan menggunakan
kayu bakar. Berdasarkan hasil pengamatan, para korban
yang tinggal di tendanya sendiri menyimpan dan meletakkan
peralatan masak dan minumnya di tempat terbuka. Hal itu
mengakibatkan debu-debu dan kotoran lain terutama dari
bekas bangunan mudah menempel di peralatan masak dan
minumnya. Kondisi tersebut dapat menjadi sumber penyakit
terutama diare bagi para korban.
34
Umumnya penyakit yang diderita oleh masyarakat desa Sorosutan
adalah patah tulang iga dan patah tulang rahang, kerusakan
pendengaran yang disebabkan tertimpa puing, batuk, pilek dan sesak
nafas. Pengobatan yang mereka lakukan adalah berobat ke klinik
kesehatan, RS swasta, puskesmas keliling, posko kesehatan. Untuk
pengobatan yang ringan masyarakat melakukan pengobatan sendiri
dengan menggunakan obat merah. Sedangkan untuk pengobatan
yang parah dirujuk ke rumah sakit terdekat yaitu RS swasta.
35
mendalam akibat kehilangan anggota keluarga dan harta benda.
Rasa trauma dan ketakutan, bukan saja dialami oleh orang
dewasa saja tetapi juga terjadi pada anak-anak. Banyak anak-
anak yang setelah terjadi gempa mengalami ketakutan dengan
gempa-gempa susulan yang masih sering terjadi walaupun
dengan kekuatan gempa yang lebih kecil. Ketakutan dan
kecemasan pada anak-anak juga menyebabkan mereka takut
untuk tidur siang, takut tidur sendirian, dan takut tinggal di
rumahnya yang masih utuh. Ada juga sebagian masyarakat yang
tidak mengalami gangguan tersebut, menurut mereka hal ini
disebabkan adanya sikap pasrah dari mereka.
2) Cara masyarakat mengatasinya
Cara masyarakat mengatasi gangguan tersebut antara lain
dengan berusaha pasrah menerima kondisi yang ada. Mereka
merasa bahwa tidak hanya mereka sendiri yang mengalami
bencana, tetapi banyak juga orang lain yang mengalami hal
seperti mereka.
36
masyarakat mendirikan tenda di dekat reruntuhan rumah
mereka. Tenda mereka terbuat dari plastik terpal yang ditopang
dengan kayu, atau tenda pembagian dari UNICEF. Tenda
tersebut ada yang digunakan beramai-ramai atau dihuni oleh
beberapa keluarga. Umumnya satu tenda ditempati oleh satu
keluarga. Menurut masyarakat, tidak nyaman tinggal di tenda,
tetapi karena keadaan maka mereka terpaksa tinggal di tenda
atau di luar tenda. Mereka mengeluh merasa dingin pada malam
hari dan merasa kepanasan karena udara panas pada siang hari
jika tinggal di tenda.
Pemukiman masyarakat di kedua desa relatif cukup padat Selain
perumahan warga, sarana umum yang mengalami kerusakan
parah adalah polindes, puskesmas dan sekolah SD.
2) Keberadaan serangga
Menurut masyarakat jenis serangga yang ada di lingkungan
sekitar adalah nyamuk pada malam hari. Sedang lalat banyak
terdapat di siang hari yang terdapat di sekitar tenda-tenda dan
dapur darurat mereka, sebab mereka meletakkan piring kotor
dan makanan di sembarang tempat di dekat tungku bata yang
digunakan sebagai alat untuk memasak.
3) Kepadatan hunian tenda
Pada umumnya satu tenda terdiri dari beberapa keluarga
sehingga keadaan tenda sangat sempit, tetapi ada juga yang satu
tenda sekarang sudah mulai berkurang karena ada beberapa
masyarakat yang mengungsi di tempat sanak saudaranya atau
ada juga keluarga yang membuat tenda untuk keluarganya
sendiri dan lokasi tenda di dekat rumahnya yang rubuh.
4) Tanda-tanda adanya kehidupan tikus di sekitar rumah atau
tenda
Berdasarkan pengakuan masyarakat tidak diketemukan adanya
tikus di sekitar tempat tinggal sementara.
37
b. Perilaku Masyarakat
1) Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan masalah
kesehatan lingkungan
a) Samijaga
Sarana pemanfaatan air bersih lebih banyak diperoleh dari
sisa-sisa sumur gali. Air bersih mereka dapatkan dari
bantuan PDAM yang diantar 2 hari sekali. Pemanfaatan
sarana air bersih tersebut digunakan untuk kepentingan air
mandi, mencuci pakaian dan alat makan. Sedang untuk
makan dan minum mereka menggunakan air bersih bantuan
PDAM.
Sebelum terjadi gempa perilaku masyarakat dalam hal
pembuangan kotoran (BAB) adalah dengan menggunakan
jamban jongkok.
Setelah gempa perilaku masyarakat dalam pembuangan
kotoran (BAB) tidak berubah tetap menggunakan sisa-sisa
sarana MCK walaupun atap dari MCK tersebut sudah tidak
ada alias beratapkan langit. Walaupun ada juga masyarakat
yang BAB nya menumpang di tempat tetangga terutama bagi
masyarakat yang WC nya hancur.
b) Limbah domestik (sampah)
Pada umumnya masyarakat di kedua desa membakar atau
mengubur limbah domestik (sampah) nya, baik itu sebelum
gempa ataupun sesudah gempa di sekitar tenda mereka.
c) Sanitasi makanan (Hygiene)
Dalam hal perilaku masyarakat yang berhubungan dengan
makanan, pada umumnya masyarakat di desa Sawahan
maupun desa Teluk keadaannya sangat memprihatinkan.
Mereka masak menggunakan tumpukan batu bata dan
menggunakan ranting kering atau kayu bakar. Berdasarkan
hasil pengamatan, para korban yang tinggal di tendanya
sendiri menyimpan dan meletakkan peralatan masak dan
minumnya di tempat terbuka dekat dapur darurat mereka.
Hal itu membuat debu-debu dan kuman terutama debu dari
38
bekas bangunan yang sedang mereka bersihkan dan
kumpulkan mudah menempel di peralatan masak dan
minumnya. Kondisi tersebut dapat menjadi sumber penyakit
terutama diare bagi masyarakat.
2) Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan masalah
biologi lingkungan
a) Keberadaan nyamuk
Masyarakat mengaku banyak digigit nyamuk pada malam
hari. Mereka mengaku kadang membakar ranting untuk
mengurangi nyamuk.
b) Keberadaan tikus
Berdasarkan pengakuan masyarakat tidak ada tikus di sekitar
tempat tinggal sementara (tenda-tenda).
3) Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan pencarian
pengobatan pasca bencana
a) Konsepsi sakit / sehat
Bagi masyarakat keadaan sakit setelah gempa adalah jika
mereka merasa sudah tidak dapat lagi melakukan sesuatu
(terkapar) tetapi apabila mereka masih dapat mengerjakan
sesuatu maka menurut mereka adalah belum sakit atau masih
sehat. Contohnya seorang masyarakat yang patah tulang kaki
nya dan hanya bisa tiduran atau jalan menggunakan
kruk/tongkat penyangga, maka ia mengatakan sedang sakit,
walaupun dihati kecilnya ia ingin bekerja membereskan
reruntuhan rumahnya. Begitu juga halnya jika meskipun
seseorang sudah terluka dan panas badannya tetapi masih
bisa beraktivitas maka ia mengatakan bahwa dirinya tidak
sakit meskipun tubuhnya terluka.
Umumnya penyakit yang diderita oleh masyarakat desa
Sawahan antara lain adalah patah tulang, kerusakan
pendengaran yang disebabkan karena gempa, batuk, pilek,
sakit pinggang dan sesak nafas. Begitu pula halnya di desa
Teluk. Pengobatan yang mereka lakukan adalah berobat ke
puskesmas keliling, RS swasta di Klaten dan posko relawan.
39
Di desa Teluk terdapat bantuan Rumah Sakit darurat
(Emergency Hospital) bantuan dari pemerintah Cuba yang
fasilitasnya cukup lengkap (mislanya terdapat fasilitas untuk
X-Ray, ICU, Partus, Orthopedi, Laboratorium dll). Setiap
hari rumah sakit tersebut banyak didatangi masyakrakat
sekitar bahkan dari desa lain untuk berobat karena biayanya
gratis. Untuk pengobatan yang ringan masyarakat
melakukan pengobatan sendiri dengan memakai obat warung
atau obat merah. Sedangkan untuk pengobatan yang parah
dirujuk ke rumah sakit terdekat yaitu RS pemerintah atau
swasta di Klaten.
4) Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan pemulihan
kesehatan pasca bencana
Pemulihan kesehatan pasca gempa dilakukan masyarakat dengan
melakukan kontrol ke rumah sakit pemerintah atau swasta di
Klaten serta di posko pengobatan relawan. Tetapi apabila
mereka merasa sudah bisa bekerja kembali maka mereka tidak
kembali periksa ke pelayanan kesehatan.
5) Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan konsumsi
makanan
Setelah terjadi gempa, Masyarakat memasak sendiri keperluan
sehari-hari dengan bahan sekadarnya. Di desa Sawahan
masyarakat mendapat bantuan uang lauk-pauk Rp.3.000,-
/hari/jiwa. Maka umumnya setiap jiwa mendapat bantuan uang
lauk Rp.90.000,-/bulan. Tetapi karena untuk ke pasar mereka
mendapatkan kesulitan karena pasar jauh dan masih belum
beraktivitas seperti biasa, juga kendala transportasi, maka masih
banyak masyarakat yang ditemukan mengkonsumsi mie instan
untuk kebutuhan konsumsinya. Di desa Teluk, masyarakat lebih
baik keadaannya karena desa mereka masih lebih mudah
terjangkau/lebih terbuka dan lebih bagus keadaan ekonominya,
terlihat dengan banyaknya masyarakat yang mempunyai motor
serta rumah bertembok (berdasarkan pengamatan dari sisa-sisa
puing rumah).
40
6) Pemanfaatan tanaman dan hewan yang tersedia
Baik di desa Sawahan maupun desa Teluk masyarakat sangat
memanfaatkan tanaman yang tersedia di sekitar rumah mereka
seperti daun singkong, daun melinjo dan buah melinjo dll, namun
mereka tidak memanfaatkan hewan yang mereka punyai seperti
sapi, bebek atau ayam.
c. Perilaku Masyarakat yang mengakibatkan gangguan
psikosomatik setelah gempa
1) Jenis gangguan psikosomatis
Hampir semua masyarakat di kedua desa mengalami trauma dan
ketakutan terhadap terjadinya gempa, menurut penuturan
mereka terutama bila ada getaran-getaran dan suara-suara keras.
Mereka sangat khawatir akan terjadi gempa lagi. Mereka
mengatakan rasa trauma dan ketakutan tersebut membuat
mereka sulit tidur, dan rasa cemas yang berlebihan. Gangguan
lainnya adalah mereka sering menangis karena rasa sedih yang
masih mendalam akibat kehilangan anggota keluarga dan harta
benda. Rasa trauma dan ketakutan, bukan saja dialami oleh
orang dewasa saja tetapi juga terjadi pada anak-anak. Ketakutan
dan kecemasan pada anak-anak juga menyebabkan mereka takut
untuk tidur siang, takut tidur sendirian, dan takut tinggal di
rumahnya yang masih utuh, mereka selalu ingin tidur dengan
orang tuanya. Walaupun demikian ada juga beberapa
masyarakat yang tidak mengalami gangguan tersebut, menurut
mereka hal ini disebabkan adanya sikap pasrah dari mereka.
Rasa frustasi tampak dan dapat dirasakan dari penuturan
masyarakat yang sebelum gempa termasuk masyarakat yang
mampu karena mempunyai rumah gedong dan motor, tetapi
tiba-tiba sesudah gempa hartanya habis, dan bahkan mereka
mendapatkan bantuan nasi bungkus dari relawan/donatur. Hal
seperti ini dirasa sangat menyedihkan sekali. Beberapa warga
sering merasa masih tidak percaya pada encana ini, karena
menurut mereka kejadiannya sangat cepat sekali, sehingga
41
mereka tidak dapat menyelamatkan apapun juga, hanya nyawa
saja yang mereka bisa selamatkan.
2) Cara masyarakat mengatasinya
Umumnya masyarakat mengatasi gangguan tersebut antara lain
dengan berusaha bersikap pasrah menerima kondisi yang ada.
Menurut mereka, bencana ini tidak saja hanya dialami mereka
tetapi dialami juga oleh orang lain di Jogya dan Klaten. Mereka
merasa bersyukur walaupun harta habis, tetapi mereka tetap
diberi umur panjang dan selamat dari gempa. Untuk menghibur
diri, saat ini masyarakat di wilayah Klaten bergotong royong
mengumpulkan puing-puing rumahnya dan membersihkan sisa-
sisa reruntuhan, bagi sebagian warga ini dianggap suatu hal
pelipur lara, karena bersama-sama bekerja dengan tetangga yang
lain.
d. Interaksi Sosial (Kecurigaan terhadap orang asing)
Masyarakat di desa Sawahan dan di desa Teluk menerima secara
baik pihak luar yang datang ke desa mereka untuk membantu,
seperti bantuan psikologis dari Sanata Dharma di desa Sawahan
maupun bantuan rumah sakit darurat dari pemerintah Cuba di desa
Teluk. Tidak terdapat sikap kecurigaan terhadap orang asing atau
orang luar desa. Mereka bahkan sangat menerima dengan tangan
terbuka pada orang luar yang ingin membantu. Pada orang luar yang
mereka anggap dapat mengerti perasaan mereka seperti saat peneliti
ke lapangan dan wawancara dengan menggunakan bahasa jawa,
mereka bahkan mencurahkan isi hati sambil menangis menceritakan
saat gempa dan perasaan mereka saat itu. Mereka merasa sangat
diperhatikan jika kita berkunjung ke tenda mereka.
D. Status Kesehatan
1. Keadaan Umum
Keadaan umum sampel rumah tangga di daerah yang terkena bencana
gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006 di provinsi DI Yogyakarta dan
Jawa Tengah adalah sebagai berikut : jumlah rumah tangga di Kota
42
Yogyakarta 91 RT (43,3%), kab. Bantul 48 RT (22,9%) dan di kab.
Klaten 71 RT (33,8%). (Tabel V.16)
Tabel V.16
Jumlah Rumah Tangga sampel di daerah Pasca Gempa DIY dan Jawa Tengah 2006
2. Keadaan Demografi
Keadaan demografi/latar belakang ART di daerah pasca gempa
yaitu paling banyak kelompok umur 15-49 tahun yakni di kota
Yogyakarta (55,1%), Bantul (54,6%) dan Klaten (54,3%). Balita di
Kota (9%), Bantul (2%) dan Klaten (1%). Kelompok umur lanjut usia
(lansia) usia 50 tahun keatas di Kota Yogya (20%), Bantul (26%),
Klaten (26%). Jenis kelamin perempuan paling banyak di kota Yogya
dan kab Bantul masing-masing 51%, sedang jenis kelamin laki-laki
banyak di Klaten (55%). Status perkawinan anggota rumah tangga di
daerah gempa yaitu di kota Yogya paling banyak belum kawin (48%),
sedangkan di Bantul paling banyak sudah kawin (54%) dan Klaten
(49%). (Tabel V.17).
Tabel V.17
Keadaan demografi anggota rumah tangga
di daerah Pasca Gempa DIY dan Jawa Tengah 2006
43
3. Status Morbiditas
Status Morbiditas (kesakitan) dari masyarakat korban bencana
gempa bumi di provinsi DIY dan Jawa Tengah pada umumnya anggota
rumah tangga menderita sakit Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA),
luka-luka / vulnus traumaticum, hematoma/bengkak kemerahan dan
sakit pinggang. Di kota Yogyakarta penyakit yang paling banyak
diderita berturut-turut adalah ISPA (21,8%), luka/vulnus (11,9%),
pusing-pusing (10,5%) dan hematom (9,7%). Sedangkan di kab. Bantul
penyakit terbanyak ISPA (15,1%), vulnus(14,6%) dan hematoma
(13,2%). Penyakit yang banyak diderita di kab Klaten yaitu ISPA
(19,3%), sakit pinggang (17,2%), sakit punggung (15,5%) dan pusing-
pusing (16,6%). Kesimpulan terjadi peningkatan kasus ISPA pada
lokasi-lokasi akibat gempa. (Tabel V.18)
Tabel V.18
Status Morbiditas anggota rumah tangga/responden di daerah Pasca Gempa DIY dan Jawa
Tengah 2006
44
Status morbiditas/kesakitan tertinggi di Kota Jogyakarta yaitu :
1. ISPA 21,8 %
2. Luka/vulnus traumatikum 11,9 %
3. Pusing-pusing 10,5 %
4. Memar/hematom 9,7 %
5. Sakit punggung 5,1 %
45
Tabel V.19.
Keterangan cedera dan penyebabnya di daerah Pasca Gempa DIY dan Jawa Tengah 2006
5. Keterangan Pengobatan
Pada Tabel V.20, ditunjukkan responden yang mengalami gempa
mencari pengobatan dengan pengobatan sendiri di Kota (7,8%), Bantul
(7,3%) dan di Klaten (4,5%). Sedangkan jenis pengobatan yang dipilih
di Kota Yogya pengobatan Modern (13,2%), tradisional (1,6%),
sedangkan di Bantul pengobatan Modern (8,8%), tradisional (2,4%). Di
Klaten pengobatan Modern (7,2%) dan Tradisional (3,8%). Masyarakat
yang setelah gempa di Rawat Inap, di Kota Yogya (1,9%), Bantul
(8,3%) dan Klaten (3,1%). Setelah gempa penderita yang berobat jalan,
di Kota Yogyakarta (21,3%), di Bantul 14,6%) dan Klaten (5,2%).
Tabel V.20
Keterangan pengobatan di daerah Pasca Gempa DIY dan Jawa Tengah 2006
46
6. Keterangan Tempat Berobat
Masyarakat yang setelah terjadi gempa dan mencari pertolongan
ke fasilitas kesehatan terdekat yaitu di Kota Yogya paling banyak ke
Puskesmas (8,9%), Posko pengobatan/relawan (6,7%), dan RS Swasta
(4,6%). Sedangkan di Bantul tempat berobat yang paling banyak ke RS
Swasta (8,8%), Posko relawan (7,3%), dan RS Pemerintah (3,9%). Di
Klaten paling banyak ke Posko relawan (12,1%), Praktek
dokter/perawat (11,0%), pengobatan Tradisional (9,7%) dan RS Swasta
(5,2%). (Tabel V.21)
Tabel V.21
Keterangan tempat berobat di daerah Pasca Gempa DIY dan Jawa Tengah 2006
47
Tabel V.22
Jaminan Pembiayaan/asuransi Kesehatan
di daerah Pasca Gempa DIY dan Jawa Tengah 2006
8. Kesehatan Mental
Kesehatan mental dianalisis dengan menggunakan kuesioner Self
Reporting Questionnaire-20 (SRC-20) dari WHO. Pertanyaan ini
ditanyakan kepada anggota rumah tangga berusia 15 tahun ke atas
dimana dari 20 pertanyaan diambil nilai score (cut of point 8) artinya
nilai score 8 ke atas termasuk ada gangguan mental. Hasilnya
ditemukan gangguan mental (score >7) terbanyak di Kab Klaten 33
orang (14,8%) kemudian di Bantul 23 orang (13,7%) dan kota
Yogyakarta 2 orang (0,7%). Kesimpulan: Di Kab Bantul dan Kab
Klaten ada kecenderungan peningkatan gangguan mental/ jiwa. (Tabel
V.23)
Tabel V.23
Kesehatan Mental responden (15+ tahun)
di daerah Pasca Gempa DIY dan Jawa Tengah 2006
48
VI. PEMBAHASAN
Ternyata dari hasil pengamatan perilaku masyarakat yang berhubungan
dengan masalah samijaga, di ketiga daerah studi tidak terdapat perbedaan yang
Untuk MCK di Bantul dan wilayah DIY Kota, masyarakat menggunakan jamban di
antara reruntuhan atau sisa rumah yang masih ada. Sedang di Klaten masyarakat
menggunakan jamban kepunyaan tetangga atau warga yang masih terdapat jamban di
hampir mempunyai kesamaan, mereka memasak menggunakan tungku dan kayu atau
ranting kering sebagai bahan bakarnya. Disisi lain sanitasi makanan sangat
Disemua desa studi tidak disebutkan adanya tikus, tetapi nyamuk dan lalat
sangat banyak. Lalat banyak dilihat disekitar makanan atau dapur darurat, sehingga
dapat pula berisiko terjadinya penyakit pencernaan atau diare. Untuk menghalau
nyamuk, masyarakat menggunakan obat nyamuk bakar sehingga apabila hal ini terus
memindahkan batuan atau kayu ke tempat di dekatnya. Hal ini sangat berisiko untuk
terkena penyakit ISPA, beberapa warga sudah mengeluhkan batuk-batuk akibat debu
dari kegiatan tersebut. Pada beberapa orang tua dikeluhkan adanya sakit mata karena
debu dari runtuhan bangunan. Bahkan jika ada yang terkena paku, dapat berisiko
49
menggunakan alas kaki pelindung, mereka hanya memakai alas kaki seadanya saja.
Hal ini dapat menjadi lebih buruk jika mereka tidak mendapatkan kekebalan yang
Akibat dari bencana gempa ini, gangguan psikosomatis merupakan hal yang
sangat penting dan harus mendapat perhatian. Sebab dari temuan lapangan di ketiga
daerah studi, banyak korban gempa yang mengalami trauma. Hal ini tidak hanya
menimpa orang dewasa tetapi juga anak-anak. Dampak bencana terhadap kesehatan
bencana dalam tingkat parah, misalnya hampir kehilangan nyawanya atau kehilangan
orang-orang yang dia cintai, kemungkinan mengalami gangguan stress pasca trauma.
terjadinya masalah kejiwaan yang lebih serius, seperti meningkatnya kasus bunuh
diri, orang sakit jiwa. Walaupun saat ini diantara mereka ada yang mengatakan
biasa-biasa saja dan adanya nilai budaya nrimo serta falsafah guyub (merasa
tidak sendiri atau bersama-sama), tetapi di kemudian hari seiring dengan beban
kebutuhan hidup mereka yang terus meningkat, sementara disisi lain mereka sudah
tidak mempunyai apa-apa lagi, dapat membuat mereka frustasi dan depresi. Hal
Depresi dan gangguan stress pasca trauma apalagi jika tingkat keparahan
yang tinggi bisa menimbulkan dampak besar bagi yang mengalaminya. Hilangnya
gairah dan semangat hidup, kehilangan kemampuan untuk berfungsi secara sosial
maupun produktif, hanyalah sebagian kecil dari dampak depresi dan stress pasca
trauma.
50
Yang perlu kita ingat, dimana saja dan kapan saja terjadi bencana, orang-
orang yang mengalaminya membutuhkan satu hal: orang lain. Karena itu, bagi
rohani yang dapat menguatkan sisi kejiwaan mereka, bukan hanya segi materiil saja
pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat (misalnya tokoh agama). Hal ini tidak
terlepas dari adat, tradisi, kepercayaan serta nilai-nilai yang melekat pada setiap diri
individu di desa studi yang secara sosial dan mental sangat terikat dengan lingkungan
sekitarnya.
VII. K E S I M P U L A N
Sesuai dengan hasil pengamatan serta wawancara mendalam terhadap
masyarakat dan tokoh masyarakat maka dapat disimpulkan bahwa hal-hal tersebut di
keras, kalau ada goncangan, mereka takut tidur di dalam rumah, sehingga
51
2. Akibat tidur di luar rumah dalam tenda darurat maka mereka mulai
merasakan sakit-sakit.
3. Perilaku mereka dalam BAB dan kebiasaan membersihkan diri masih sama
52
METODA
Pengamatan habitat
Pemasangan perangkap
Pencarian pinjal
Inspeksi Sanitasi
53
ANGGOTA TIM
54