Anda di halaman 1dari 9

A.

Sinusitir maxillaris

1. Anamnesis
a. Identitas
b. Keluhan utama
c. Keluhan penyerta
d. Riwayat penyakit
e. Riwayat pengobatan
f. Riwayat keluarga
g. Pola hidup
h. Lingkungan social
2. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi. Pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan


pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang
berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukan sinusitis maksilaris
akut.
b. Palpasi. Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan
adanya sinusitis maksilaris.

3. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:


a. Pemeriksaan transluminasi.
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram atau
gelap. Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah,
karena akan nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang
sakit.
b. Pencitraan
Dengan foto kepala posisi Waters, PA, dan lateral, akan terlihat perselubungan
atau penebalan mukosa atau air-fluid level pada sinus yang sakit. CT Scan
adalah pemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus sinusitis.
c. Kultur
Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme
penyebab, maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari meatus
medius, meatus superior, atau aspirasi sinus.

4. Manifestasi dan Kriteria Diagnostik

Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang paling


sering ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal purulen,
kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga, demam,
nyeri kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau berkurangnya penciuman. Gejala
seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas karena virus,
sehingga durasi gejala menjadi penting dalam diagnosis. Pasien dengan gejala
diatas selama lebih dari 7 hari mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis.
Kriteria diagnosis sinusitis dirangkum dalam tabel 1.

Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis


Mayor Minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala


Sekret nasal purulen Batuk
Demam Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan pada telinga

Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria
minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

5. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis.Virus


adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis
bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian
antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan
medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif
sinusitis di Amerika Serikat.
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia,
terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin,
dengan konsentrasi pollen yang tinggiterkait dengan prevalensi yang lebih
tinggi dari sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang
terbesar.

6. Etiologi
Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu
genetik, kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor
lingkungan yaitu infeksi bakteri, trauma, medikamentosa, tindakan bedah.
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen),
gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun
jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma,
berenang atau menyelam. Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya
sinusitis adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan
rinitis alergi.

7. Patofisiologi

Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila
klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang
menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan
parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang
berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sinusitis dibagi atas:


1. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa sinusitis dibagi atas pengobatan pada orang
dewasa dan pada anak anak.
a. Orang dewasa
i. Terapi awal:
- Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir
- Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10
hari, atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
iii. Pasien dengan gagal pengobatan
- Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali
sehari selama 10 hari, atau
- Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300
mg per oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
b. Anak anak
i. Terapi awal: Pengobatan oral selama 10 hari dengan:
- Amoxicillin 45-90 mg/kg/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis
sehari, atau
- Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari,
atau
- Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir: Pengobatan oral
selama 10 hari dengan:
- Amoxicillin 90 mg/kg/hari (maksimal 2 gram) plus Clavulanate 6,4
mg/kg/hari, keduanya terbagi dalam dua dosis sehari, atau
- Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari,
atau
- Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
2. Diatermi
Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu penyembuhan
sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
3. Tindakan pembedahan
Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis maksilaris,
yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi maksilaris,
prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini, antrostomi unilateral
dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan standar sinusitis maksilaris
kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan antrostomi inferior antrostomy
jarang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR,
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia,
PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90
2. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors.
Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill;
2005. p. 185-93
3. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Supardi EA, Iskandar N, editor.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Ed 5.
Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2001. p.120-4
4. Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA,
editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA: WB
Saunders Company; 1989. p.240-62
5. Musher DM. Moraxella Catarrhalis and Other Moraxella Species.. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p.
862-3
B. Karsinima Nasofaring

a. Anamnesis
a. Identitas
b. Keluhan utama
c. Keluhan penyerta
d. Riwayat penyakit
e. Riwayat pengobatan
f. Riwayat keluarga
g. Pola hidup
h. Lingkungan social
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral, dan
waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar
tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa srebri
media. Dapat pula dilakukan tomografi computer daerah kepala dan leher
serta pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA. Diagnosis perlu
dilakukan dengan biopsi dari hidung atau mulut. Pemeriksaan darah tepi,
fungsi hati, ginjal, dll dilakukan untuk mendeteksi metastasis.

Pemeriksaan penunjang yg lain, diantaranya:

Nasofaringoskopi
Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
Biopsi multiple
Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone
scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang)
Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor
kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak,
manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.

c. Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan
timbulnya KNF adalah:

Kerentanan Genetik. Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk


tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada
kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human
leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma
nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .
Infeksi Virus Eipstein-Barr. Banyak perhatian ditujukan kepada
hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer
antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia
dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder
telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid
virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan
antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang
tinggi.
Faktor Lingkungan. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat
berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring yaitu
golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan
dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya
nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).

d. Epidemiologi

Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang


terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga ,
Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan KNF (Nasir, 2009). Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980
menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus
per tahun (Punagi,2007). Dari data laporan profil KNF di Rumah Sakit
Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar ,periode
Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang
THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2002 -2007
ditemukan 684 penderita KNF.

e. Manifestasi Klinis

Gejala Dini

Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien


mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga
tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut
yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi
cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi
kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran ( Roezin, Anida,
2007 dan National Cancer Institute, 2009).

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh
sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau
mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain
itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga
hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini
bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada
infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering
terjadi pada anak yang sedang menderita radang.

Gejala Lanjut

Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5
sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran
kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh
yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh
pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit
digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar
limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter
(Nutrisno, Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009 ).

Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah


rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak
dan menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah
wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran
serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat
penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot
rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi
tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua
sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009). Gejala akibat metastasis apabila sel-sel
kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering
ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan
prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

f. Patofisiologi
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam family Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma sel T, mononucleosis dan karsinoma
nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah
nasofaring yaitu pada daerah cekung Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran
eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF yaitu infeksi HBV,
faktor lingkungan dan genetic.
g. Penatalaksanaan
Pengobatan utama adalah radioterapi. Sebagai tambahan dapat
dilakukan diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon,
kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus. Sebagai ajuvan terbaik
adalah kemoterapi dengan kombinasi sis-platinum sebagai inti. Diseksi
leher radikal dilakukan bila benjolan di leher tidak menghilang dengan
radiasi atau timbul kembali, dengan syarat tumor induk telah hilang.

Rasa kering di mulut dapat terjadi sampai berbulan-bulan


paskaradiasi akibat kerusakan kelenjar liur. Disarankan untuk makan
banyak kuah, memebawa minuman ke mana pun pergi. Serta mencoba
memakan dan mengunyah bahan asam sehingga merangsang keluarnya air
liur. Dapat juga terjadi mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di
leher karena fibrosis, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, muntah, atau
mual paskapengobatan, dapat pula timbul metastasis jauh paskapengobatan
ke tulang, paru, hati dan otak. Pada keadaan tumor residif tidak banyak
tindakan medis yang dapat dilakukan selain simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.

h. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta
mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang
timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan- kemungkinan
faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan
IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih
dini

Sumber:

Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media


Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai