Tugas Pitong
Tugas Pitong
Sinusitir maxillaris
1. Anamnesis
a. Identitas
b. Keluhan utama
c. Keluhan penyerta
d. Riwayat penyakit
e. Riwayat pengobatan
f. Riwayat keluarga
g. Pola hidup
h. Lingkungan social
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria
minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.
5. Epidemiologi
6. Etiologi
Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu
genetik, kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor
lingkungan yaitu infeksi bakteri, trauma, medikamentosa, tindakan bedah.
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen),
gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun
jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma,
berenang atau menyelam. Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya
sinusitis adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan
rinitis alergi.
7. Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila
klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang
menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan
parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang
berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.
8. Penatalaksanaan
1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR,
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia,
PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90
2. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors.
Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill;
2005. p. 185-93
3. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Supardi EA, Iskandar N, editor.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Ed 5.
Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2001. p.120-4
4. Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA,
editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA: WB
Saunders Company; 1989. p.240-62
5. Musher DM. Moraxella Catarrhalis and Other Moraxella Species.. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p.
862-3
B. Karsinima Nasofaring
a. Anamnesis
a. Identitas
b. Keluhan utama
c. Keluhan penyerta
d. Riwayat penyakit
e. Riwayat pengobatan
f. Riwayat keluarga
g. Pola hidup
h. Lingkungan social
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral, dan
waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar
tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa srebri
media. Dapat pula dilakukan tomografi computer daerah kepala dan leher
serta pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA. Diagnosis perlu
dilakukan dengan biopsi dari hidung atau mulut. Pemeriksaan darah tepi,
fungsi hati, ginjal, dll dilakukan untuk mendeteksi metastasis.
Nasofaringoskopi
Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
Biopsi multiple
Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone
scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang)
Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor
kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak,
manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.
c. Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan
timbulnya KNF adalah:
d. Epidemiologi
e. Manifestasi Klinis
Gejala Dini
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh
sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau
mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain
itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga
hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini
bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada
infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering
terjadi pada anak yang sedang menderita radang.
Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5
sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran
kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh
yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh
pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit
digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar
limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter
(Nutrisno, Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009 ).
f. Patofisiologi
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam family Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma sel T, mononucleosis dan karsinoma
nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah
nasofaring yaitu pada daerah cekung Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran
eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF yaitu infeksi HBV,
faktor lingkungan dan genetic.
g. Penatalaksanaan
Pengobatan utama adalah radioterapi. Sebagai tambahan dapat
dilakukan diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon,
kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus. Sebagai ajuvan terbaik
adalah kemoterapi dengan kombinasi sis-platinum sebagai inti. Diseksi
leher radikal dilakukan bila benjolan di leher tidak menghilang dengan
radiasi atau timbul kembali, dengan syarat tumor induk telah hilang.
h. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta
mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang
timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan- kemungkinan
faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan
IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih
dini
Sumber: