Anda di halaman 1dari 16

DEFINISI

Preeklampsia merupakan hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan


disertai dengan gangguan system organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20
minggu. Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan
proteinuri yang baru terjadi pada kehamian (new onset hypertension with
proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia,
beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multisystem
lain yang menunjukan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien
tersebut tidak mengalami proteinuri (ACOG, 2013 ; POGI, 2016).

FAKTOR RESIKO

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Duckitt & Harrington pada tahun 2005
mengenai faktor resiko preeklampsia, terdapat 17 faktor yang terbukti meningkatkan
resiko preeklampsia (POGI, 2016):

1. Usia Ibu hamil > 40 hamil


2. Nulipara
3. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
4. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
5. Multipara yang berjarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
6. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
7. Kehamilan multiple
8. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
9. Hipertensi kronik
10. Penyakit ginjal
11. Sindrom antifosfolipid (APS)
12. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
13. Obesitas sebelum hamil
14. Indeks masa tubuh > 35
15. Tekanan darah diastolic > 80 mmHg
16. Proteinuria (dipstick > +1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara
kuantitatif 300 mg/24 jam)

PATOGENESIS
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya preeklampsia,
antara lain adalah sebagai berikut (Prawirohardjo, 2011; Cunningham, 2009) :
1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan
menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang
arteri spiralis.
Pada kehamilan yang normal, terjadi mekanisme remodelling arteri spiralis.
Terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot arteri spiralis, terjadi degenerasi lapisan otot dan dilatasi.
Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan
matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan darah
uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik.
Pada kasus hipertensi dalam kehamilan, terjadi kegagalan remodelling arteri
spiralis, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan
jaringan matriks di sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap aku dan keras
sehingga lumen arteri spiralis tidak mungkin mengalami vasodiltasi. Akibatnya, arteri
spiralis mengalami vasokonstriksi, dan terjadiah hipoksia dan iskemia plasenta.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan
pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal, vasodilatasi lumen arteri
spiralis dapat meningkatkan 10 kali lipat aliran darah ke uteroplasenta.
2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel
a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada
preeklamsia terjadi kegagalan remodelling arteri spiralis yang
menyebabkan terjadinya vasokontriksi dan berdampak pada plasenta
menjadi iskemik. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan radikal bebas yaitu salah satunya adalah radikal hidroksil
yang bersifat toksik, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh
darah. Radikal hidroskil akan merusak membran sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh dann mengubahnya menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak akan menyebabkan kerusakan pada membran sel,
nukleus, dan produksi antioksidan.
b. Disfungsi endotel
Akibat sel endotel terpapar peroksida lemak, makan terjadilah
kerusakan endotel dan terjadi disfungsi endotel. Endotel yang utuh
memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan respon otot
polos pembuluh darah terhadap agonis dengan cara melepaskan nitrit
oksida. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat menghasilkan lebih
sedikit nitrit oksida dan prostglandin, peningkatan endotelin, gangguan
keseimbangan protein angiogenik dan antiangiogenik, serta menyekresi
substansi yang memacu koagulasi, serta meningkatkan sensitivitas
terhadap vasopresor. Semua gangguan ini akan menyebabkan
vasokontriksi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan faktor
koagulasi.
Nitrit oksida merupakan vasodilator poten yang disintesis oleh L-
arginin sel endotel. Inhibisi sintesis nitrit oksida meningkatkan tekanan
arteri rerata, menurunkan laju jantung, dan meningkatkan sensitivitas
terhadap vasopresor.
Prostaglandin endotel (PGE2) pada preeklampsia menurun dan
berefek pada peningkatan sensitivitas terhadap Angiotensin II. Efek ini
dimediasi oleh fosfolipase A2, dan pada waktu yang bersamaan juga
terjadi sekresi tromboksan A2 oleh trombosit, dan rasio prostasiklin :
tromboksan A2 menurun.
Endotelin-1 (ET-1) merupakan vasokonstriktor dan isoform utama
yang dihasilkan oleh endotel, dan kadarnya samgat meningkat pada
wanita yang mengalami hipertensi dalam kehamilan. Pemberian MgSO4
pada preeklampsia menyebabkan penurunan kadar ET-1.
Pada saat terjadi hipoksia, terjadi peningkatan faktor antiangiogenik yang
berlebihan yaitu :
1) Soluble Fms-like tyrosin kinase 1 (sFlt-1), menyebabkan inaktivasi
dan penurunan kadar PIGF dan VEGF bebas di a
2) Soluble endoglin (sEng), menyebkan hambatan terhadap ikatan
TGF dengan reseptornya sehingga menurunkan vasodilatasi yang
bergantung nitrit oksida endotelial
3. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin
Pada kehamilan normal, respon imun tidak menolak adanya hasil
konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan karena adanya human
leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam modulasi
sistem imun. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin
dari lisis oleh sel NK ibu.
Selain itu, HLA-G mempermudah invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua
ibu. Pada keadaan hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan HLA-G
sehingga menghambat invasi trofoblas ke lapisan desidua dan merangsang
produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi serta terjadi
Immune-Maladaption.
4. Teori Adaptasi Kardiovaskular
Pada kehamilan normal, terjadi penekanan kepekaan terhadap vasopresir
karena pengaruh prostaglandin dan prostasiklin pada sel endotel pembuluh
darah. Pada perempuan dengan hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan
daya refrakter pembuluh daran dan peningkatan kepekaan terhadap vasopressor.
5. Teori Genetik
Faktor genetik berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan secara familal jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah
terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia, 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklampsia, sedangkan hanya 8% anak
menantu yang mengalami preeklampsia.
6. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa penelitian menunjukkan beberapa zat dapat mencegah
terjadinya preeklampsia, seperti minyak ikan yang mengandung asam lemak tak
jenuh yang tinggi, serta defisiensi kalsium meningkatkan risiko terjadinya pre-
eklampsia atau eklampsia.
7. Teori Stimulasi Inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi daraj merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam keadaan normal
sehingga reaksi inflamasi yang terjadi masih dalam batas normal. Sedangkan
pada preeklampsia, terjadi stress oksidatif sehingga jumlah sisa debris trofoblas
juga semakin meningkat dan terjadi peningkatan respon inflamasi. Respon
inflamasi ini akan mengaktivasi endotel dan sel-sel makrofag, sehingga terjadi
reaksi inflamasi sistemik yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada
ibu.

PATOFISIOLOGI
Manifestasi klinis yang terjadi akibat preeklampsia antara lain sebagai berikut
(Prawirohardjo, 2011; Cunningham, 2009) :
1. Sistem Kardiovaskular
Gangguan pada sistem kardiovaskular berkaitan dengan peningkatan
preload dan afterload jantung, serta aktivasi endotel dan ekstravasasi cairan
intravaskuler ke dalam ruang ekstrasel. Hal ini berakibat pada peningkatan
tekanan darah, penurunan volume plasma, dan hemokonsentrasi. Normalnya,
pada keadaan hamil, volume plasma meningkat dari 3000 mL menjadi 5000
mL. Peningkatan tertinggi volume plasma terjadi pada umur kehamilan 32-34
minggu. Pada preeklampsia, terjadi penurunan volume plasma antara 30%-40%
dibandingkan dengan orang normal, yang disebut hipovolemia. Hipovolemia
diimbangi dengan vasokontriksi, sehingga terjadi hipertensi. tidak dapat
tercapai. Selain itu, terjadi hemokonsentrasi yang disebabkan karena
vasokontriksi generalisata yang mengikuti aktivasi endotel dan kebocoran
plasma ke ruang interstisial karena bertambahnya permeabilitas. Pada saat
persalinan, akan terjadi penurunan hematokrit yang berat.
Perempuan dengan preeklampsia sangat sensitif terhadap pemberian
cairan intravena yang terlalu cepat dan banyak, serta sensitif terhadap
kehilangan darah pada saar persalinan/ Oleh karena itu, observasi cairan yang
masuk ataupun keluar harus ketat.
2. Darah dan Koagulasi
Pada preeklampsia, terjadi gangguan koagulasi seperti trombositopenia.
Terjadi pula peningkatan aktivasi trombosit dengan peningkatan degranulasi,
pelepasan tromboksan A2 dan penurunan masa hidup. Selain itu juga terjadi
hemolisis akibat kerusakan pembuluh darah dan eritrosit, peningkatan koagulasi
yang ditandai dengan peningkatan konsumsi faktor VIII, peningkatan kadar
fibrinopeptida A dan B dan produk degradasi fibrin, serta penurunan kadar
antitrombin III, protein C dan S.
3. Homeostasis Volume
Pada keadaan kehamilan normal, kadar renin, angiotensi II =, angiotensin
1-7, dan aldosteron dalam plasma meningkat. Sedangkan pada preeklampsia,
kadarnya berkurang. Selain itu, terjadi peningkatan kadar peptida natriuretik
atrial yang merangsang kontraktilitas jantung. Pada wanita dengan
preeklampsia juga terjadi proteinuria, dan penurunan tekanan onkotik,
hipoalbuminemia sehingga menyebabkan terjadinya edema.
4. Ginjal
Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh :
a. Menurunkan aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi
oliguria, anuria, dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Hal ini
menyebabkan peningkatan asam urat darah 5 mg/mL, peningkatan kadar
kreatinin serum 1 mg/mL.
b. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas
membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan
proteinuria.
c. Terjadi Glomerular Cappilary Endotheliosis akibat sel endotel
membengkak disertai deposit fibril.
d. Gagal ginjal akut yang terjadi karena nekrosis tubulus ginjal. Bila
sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi
nekrosis korteks ginjal yang bersifat ireversibel.
e. Vasospasme pembuluh darah menyebebkan kerusakan intrinsik jaringan
ginjal
5. Elektrolit
Pada preeklampsia, kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, yaitu
menurun, kecuali apabila diberikan diuretik banyak, retriksi konsumsi garam,
atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuertik. Kadar kalium dan
natrium juga sama, sehingga tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan dan
tidak perlu retiksi konsumsi garam.
Pada preeklampsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan asam dan bsa. Pada waktu terjadi kejang eklampsia,
kadar bikarbonat menurun disebabkan karena timbulna asidosis laktat dan
kompensasi hilangnya CO2.
6. Hepar
Perubahan pada hepar disebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan
perdarahan. Apabila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan
terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat
meluas hingga ke bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma.
Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium dan
dapat menimbulkan ruptur hepar.
7. Otak
Penurunan aliran darah ke otak menyebabkan terjadinya iskemia dan
infark jaringan, serta gangguan permeabilitas sehingga menyebabkan gangguan
autoregulasi dan bermanifestasi pada berbagai kelainan yang berhubungan
dengan otak, antara lain nyeri kepala dan skotoma, kejang, kebutaan dan edema
otak.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

1. Preeklampsia Ringan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia
didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg
untuk sistolik dan 90 mmHg untuk diastolik pada dua kali pemeriksaan yang
berjarak 15 menit dengan menggunakan lengan yang sama) yang baru terjadi
pada kehamilan diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan
organ dan atau proteinuri (protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes
urin dipstick > positif 1). Salah satu gejala dan gangguan lain yang dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia yaitu (ACOG, 2013 ;
POGI, 2016):
a. Trombositopenia
Trombosit < 100.000 /mikroliter
b. Gangguan ginjal
Kreatinin serum > 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin
serum pada kondisi tidak ada kelainan ginjal lainnya
c. Gangguan liver
Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen
d. Edema paru
e. Didapatkan gejala neurologis
Stroke, nyeri kepala, gangguan visus, dan gangguan neurologis lainnya
f. Gangguan sirkulasi uteroplasenta
Oligohidroamnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan
adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
2. Preeklampsia Berat
Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukan kondisi pemberatan
preeklampsia atau preeklampsia berat adalah salah satu dibawah ini (ACOG,
2013 ; POGI, 2016):
a. Hipertensi berat
Tekanan darah sekurang kurangnya 160 mmHg untuk sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan yang berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia
Trombosit < 100.000 /mikroliter
c. Gangguan ginjal
Kreatinin serum > 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin
serum pada kondisi tidak ada kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver
Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen
e. Edema paru
f. Didapatkan gejala neurologis
Stroke, nyeri kepala, gangguan visus, dan gangguan neurologis lainnya
g. Gangguan sirkulasi uteroplasenta
Oligohidroamnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan
adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

PENATALAKSANAAN
1. MANAJEMEN EKSPEKTATIF ATAU AKTIF
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki
luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu (POGI, 2016).
a. Perawatan ekspektatif pada preeklampsia tanpa gejala berat
Manajemen ekspektatif ini direkomendasikan pada kasus preeklampsia
tanpa gejala berat dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan
evaluasi maternal dan janin yang lebih ketat. Evaluasi ketat yang
dilakukan berupa (POGI, 2016):
1) Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
2) Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu di poliklinik
3) Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
4) Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala setiap 2 kali
dalam seminggu
5) Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan Doppler velocimetry terhadap arteri umbilikikal
direkomendasikan untuk dilakukan
Bagan 1. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia tanpa gejala berat

b. Perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat


Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat
dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu
dan janin stabil. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga
direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang
adekuat dengan tersedianya perawatan intensif bagi maternal dan
neonatal. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif
preeklampsia berat, pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk
membantu pematangan paru janin. Pasien dengan preeklampsia berat
direkomendasikan untuk melakukan rawat inap selama melakukan
perawatan ekspektatif (POGI, 2016).

Bagan 2. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat

Terdapat pula kriteria terminasi kehamilan pada keadaan preeklampsia


berat, yaitu (POGI, 2016):
1) Kriteria maternal
a) Hipertensi berat yang tidak terkontrol
b) Gejala preeklampsia berat yang tidak berkurang (nyeri kepala,
pandangan kabur, dan sebagainya)
c) Penurunan fungsi ginjal progresif
d) Trombositopenia persisten atau HELLP syndrome
e) Edema paru
f) Eklampsia
g) Solusio plasenta
h) Persalinan atau ketuban pecah
2) Kriteria janin
a) Usia kehamilan 34 minggu
b) Pertumbuhan janin terhambat
c) Oligohidroamnion persisten
d) Profil biofisik < 4
e) Deselerasi variable dan lambat pada NST
f) Doppler arteri umbilikalis menunjukan reversed end diastolic
flow
g) Kematian janin

2. PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT UNTUK MENCEGAH KEJANG


Sejak tahun 1920an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia
di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada
preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian
eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal
(Duley, 2005 ; POGI, 2016 ; Sibai, 2005).
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah
satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi
dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain
sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi
dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-
metil-D-Aspartat (NMDA) di otak. Apabila NMDA ini teraktivasi karena
asfiksia, akan terjadi masuknya ion kalsium ke dalam neuron sehingga terjadi
kerusakan sel dan terjadi kejang (Duley, 2005 ; POGI, 2016 Sibai, 2005).
Magnesium sulfat ini direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
eklampsia. Magnesium sulfat juga direkomendasikan sebagai profilaksis
terhadap eklampsia pada pasien preeklampsia berat. Apabila dibandingkan
dengan diazepam atau fenitoin untuk pencegahan terjadinya kejang/eklampsia
atau kejang berulang, magnesium sulfat tetap menjadi pilihan utama mengingat
angka mortalitas dan morbiditas dari magnesium sulfat lebih kecil bila
dibandingkan dengan kedua obat tersebut (Duley, 2005 ; POGI, 2016 Sibai,
2005).
Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek samping minor
yang lebih tinggi seperti rasa hangat (pasien mengeluhkan kepanasan), flushing
(sensasi hangat disertai eritema di kulit karena vassodilatasi pembuluh darah),
nausea atau muntah, kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi.
Efek samping ini merupakan penyebab utama wanita menghentikan pengobatan
(Duley, 2005 ; POGI, 2016 Sibai, 2005).
Guideline RCOS merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4
gram selama 5 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemelihataan 1-2 g/jam
selama 24 jam post partum atau setelah kejang terakhir kecuali apabila terdapat
alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan
produksi utin, reflex patella, frekuensi nafas dan saturasi oksigen penting
dilakukan saat memberikan magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 gram bolus
dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang (Duley, 2005 ; POGI, 2016
Sibai, 2005).

3. ANTIHIPERTENSI
Keuntungan dan resiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan
sampai sedang (tekanan darah 140-159 mmHg/90-109 mmHg), masih
controversial. European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik 140
mmHg atau diastolik 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestational
(dengan atau tanpa proteinuria), pasien dengan superimposed preeclampsia,
hipertensi gestational, hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ subklinis
pada usia kehamilan berapapun. Pada keadaan lain, pemberian antihipertensi
direkomendasikan bila tekanan darah 150/95 mmHg (Montan, 2004 ; POGI,
2016).
a. Calcium channel blocker
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah
digunakan sejak decade terakhir untuk mencegah persalinan preterm
(tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Nifedipin selain berperan sebagai
vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan
meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol yang tidak
berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak
yang berguna pada preeklampsia berat. Regimen yang direkomendasikan
adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 30 menit, dengan dosis
maksimum 30 mg. penggunaan berlebihan calcium channel blocker
dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini
disebabkan hipotensi relative setelah pemberian calcium channel blocker
(Montan, 2004 ; POGI, 2016).
Kombinasi nifedipin dan magnesium sulfat menyebabkan hambatan
neuromuscular atau hipotensi berat hingga kematian maternal.
Dibangingkan nifedipin, nikardipin (dosis awal 5mg/jam diberikan
melalui infus, kemudian dititrasi 2,5 mg/jam tiap 5 menit hingga
penurunan tekanan arterial rata-rata 25% tercapai) bekerja lebih selektif
pada pembuluh darah di miokardium, dengan efek samping takikardia
yang lebih rendah. Efek penurunan tekanan darah pada hipertensi berat
dan efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan nikardipin dan
labetalol adalah sama, meskipun penggunaan nikardipin menyebabkan
penurunan tekanan darah sistolik dan diastolic yang lebih besar bermakna
(Alex, 2005 ; Montan, 2004 ; POGI, 2016).
b. Beta-blocker
Atenolol merupakan Beta-blocker kardio selektif (bekerja pada reseptor
P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, terutama apabila digunakan untuk jangka waktu yang lama
selama kehamilan atau diberikan pada trimester pertama, sehingga
penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian antihipertensi lainnya
tidak efektif (Alex, 2005 ; Montan, 2004 ; POGI, 2016).
c. Metildopa
Metildopa merupakan obat antihipertensi yang paling sering digunakan
wanita hamil dengan hipertensi kronis. Metildopa digunakan sejak tahun
1960 dan memiliki safety margin yang luas (paling aman). Walaupun
metildopa bekerja terutama pada system saraf pusat, namun juga memiliki
sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan
darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal
relative tidak berpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi,
mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik
dan drug-induced hepatitis (Alex, 2005 ; Montan, 2004 ; POGI, 2016).
Metildopa biasa digunakan dengan dosis awal 250-500 mg per oral 2 atau
3 kali sehari dengan dosis maksumum 3 gram per hari. Efek obat
maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12
jam sebelum dieksresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan
metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1
gram tiap 6 jam untuk hipertensi krisis. Metildopa dapat menembus
plasenta pada jumlah tertentu dan dapat disekresikan melalui ASI (Alex,
2005 ; Montan, 2004 ; POGI, 2016).
Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat
atau tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg. Target
penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110
mmHg. Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short
acting, hidralazine dan labetalol parenteral. Alternative pemberian
antihipertensi yang lain adalah nitrogliserin, metildopa, dan labetalol (Alex,
2005 ; Montan, 2004 ; POGI, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
ACOG. 2013. HIPERTENSION IN PREGNANCY. Task Force on Hypertension in
Pregnancy. American College of Obstetricians and Gynecologist.
Alex, C. Mary A. 2005. Acute hypertensive emergencies in pregnancy. Crit Care
Med. 2005;33:S307-S12.
Cunningham, F.G., et al. 2009. Obstetri William Volume 2. Jakarta : EGC
Duley, L. 2005. Evidence and practice : the magnesium sulphate story. Clinical
Obstetrics and Gynaecology. 2005;19(1):57-74
Montan, S. 2004. Drug used in hypersensitive disease in pregnancy. Curr Opin Obstet
Gynecol. 2004;16:111-5
POGI. 2016. DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PREEKLAMSIA. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran
Sibai, BM. 2005. Magnesium sulphate Prophylaxis in Preeclampsia: Evidence From
Randomized Trials. Clinical Obstetrics and Gynaecology. 2005;48 478-88.

Anda mungkin juga menyukai