Anda di halaman 1dari 11

C.

Anestesi pada resiko tinggi


1. Kriteria resiko tinggi
Pasien yang akan menjalani operasi tidak selalu datang dengan keadaan
yang baik (organ dalam keadaan baik), oleh karena itu sangatlah diperlukan
adanya penilaian yang tepat sebelum dilakukan tindakan anestesi. System
scoring merupakan salah satu cara untuk menentukan tingkat resiko dari
masing-masing pasien yang akan menjalani operasi. Beberapa sistem scoring
yang sudah mendunia adalah (McConachie, 2009):
a. Status ASA (American Society of Anesthesiologist)
Klasifikasi status fisik ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1941
dengan 7 kategori, kemudian pada tahun 1963 dilakukan suatu perubahan
jumlah kategori dengan jumlah 5 kategori yang masih dipakai hingga saat
ini. Pengkategorian status ASA dapat dilihat pada tabel berikut
(McConachie, 2009).

Kategori Tingkat
Definisi
ASA Mortalitas
I Pasien sehat 0-0,3
Pasien dengan penyakit sistemik ringan tanpa
II 0,3-1,4
limitasi fungsional
Pasien dengan penyakit sistemik berat disertai
III 1,8-5,4
limitasi fungsional
Pasien dengan penyakit sistemik berat dan
IV 7,8-25,8
keadaan mengancam nyawa
Pasien yang dicurigai tidak dapat bertahan
V 9,4-57,8
dalam 24 jam atau tanpa operasi
Nominasi tambahan untuk menandai pasien
E
dengan keadaan emergensi
Tabel 2.1 Status ASA dan tingkat mortalitas tiap kategori

Menurut Wolters et al. klasifikasi status ASA ini dapat digunakan pula
sebagai suatu alat pregiksi luaran dan komplikasi pasca operasi dari
pasien. terdapat beberapa factor yang berhubungan dengan peningkatan
kategori status ASA, seperti (McConachie, 2009):
1) Jumlah kehilangan darah saat operasi
2) Durasi operasi
3) Durasi ventilasi paska operasi
4) Luka paska operasi dan infeksi saluran kemih
5) Lamanya waktu tinggal/rawat di ICU atau rumah sakit
6) Jumlah komplikasi paru dan jantung
7) Kematian selama masa perawatan
Beberapa variabel yang dianggap penting dalam memprediksi
komplikasi dari suatu oeprasi berupa tingginya kategori status ASA,
pasien yang menjalani operasi mayor, dan pasien yang menjalani operasi
emergensi. Banyak penelitian retrospektif dan beberapa penelitian
prospektif yang telah menunjukan adanya korelasi antara status ASA dan
angka mortalitas selama operasi, dan penelitian-penelitian ini
menganjurkan dan membenarkan penggunaan status ASA sebagai suatu
predictor luaran pasien pasca operasi (McConachie, 2009).

b. Indeks resiko kardiak Goldmans


Indeks resiko kardiak Goldmans pertama kali dipublikasikan pada tahun
1977 dan sudah diketahui sebagai suatu metode untuk menilai tingkat
resiko pasien. indeks resiko kardiak Goldmans dapat dilihat pada tabel
berikut (McConachie, 2009).

Kriteria Poin
Riwayat Usia > 70 5
Infark miokard dalam 6 bulan terakhir 10
penyakit
Pemeriksaa S3 gallop atau distensi vena jugular 11
Stenosis katup aorta 3
n fisik
EKG Adanya kelainan hasil EKG 7
>5 PVC per menit atau sebelum operasi 7
Status pO2 < 60 atau pCO2 > 50 mmHg 3
K < 3,0 atau HCO3 < 20 mmol/L
Generalis
Urea > 18 mmol/L atau Cr > 240 mol
Kadar AST (SGOT) abnormal
Tanda penyakit kronik hepar
Pasien yang dirawat bukan karena penyakit
kardiak
Operasi Intraperitoneal, Intrathoraks, Aorta 3
Emergensi 4
Total poin 53
Tabel 2.2 Indeks resiko kardiak Goldmans

Gru Skor Komplikasi mengancam Kematian (%)


p nyawa (%)
I 0-5 0,7 0,2
II 6-12 5 1,5
III 13-25 11 2,3
IV 26-53 22 56
Tabel 2.3 Penilaian resiko
Banyak jumlah penulis yang berniat untuk menambahkan dan
memperbaharui indeks resiko kardiak Goldmans ini. Pada tahun 1986
Detsky et al. mempublikasi indeks resiko kardiak yang dimodifikasi,
dimana ia menambahkan beberapa kondisi klinis untuk indeks resiko ini
seperti (McConachie, 2009):
1) Angina kelas III dan IV berdasarkan Canadian cardiovascular society
2) Angina unstable
3) Riwayat edema paru

c. Indeks resiko kardiak Lees


Indeks resiko kardiak Leess (direvisi) merupakan sistem scoring yang
paling sering digunakan dan diperkenalkan pertama kali oleh Lee et al.
pada tahung 1999. Indeks ini dibuat berdasakarn populasi 4000 pasien
dan mengindentifikasi komplikasi mayor kardiak dalam populasi yang
menjalani operasi non-jantung yang tidak emergensi. Indeks resiko
kardiak Lees dapat dilihat dalam tabel berikut (McConachie, 2009).

Faktor resiko Kriteria inklusi


Penyakit jantung iskemik Infark miokard
Abnormalitas gelombang Q
Angina pectoris
Penggunaan nitrat
Hasil positif pada uji stress
Gagal Jantung Riwayat
Pemeriksaan fisik
Foto rontgen thoraks
Penyakit serebrovaskular Stroke
Transient iskemik attack
Diabetes mellitus tipe 2
Kadar Kreatinin > 177 mol
Operasi dengan resiko tinggi Operasi aneursima aorta abdominal
Operasi thoraks
Operasi abdominal
Tabel 2.4 Indeks resiko kardiak Leess

Kategori Jumlah faktor Proporsi dalam Komplikasi


kelas populasi (%) kardiak (%)
I 0 36 0,4
II 1 39 1,1
III 2 18 4,6
IV 3 atau lebih 7 9,7
Tabel 2.5 penilaian indeks resiko kardiak Lees
Komplikasi kardiak mayor meliputi infark miokard, edema paru,
ventrikel fibrillation atau cardiac arrest, dan gagal jantung. Keuntungan
dari sistem ini berupa (McConachie, 2009):
1) Hanya memiliki 6 faktor prognostic
2) Variabelnya simple
3) Bergantung pada ada atau tidaknya variabel, bukan memprediksi
keparahan dari penyakit yang dialami
4) Dapat dihubungkan dengan form evaluasi pre operatif

d. Sistem APACHE
APACHE merupakan akronim dari Acure Physiology and Chronic Health
Evaluation. APACHE II dan III merupakan suatu sistem scoring yang
digunakan di ICU, namun penggunaannya dirasa kurang tepat untuk
menilai resiko pre operatif. Hal ini disebabkan oleh varibel penilaiannya
meliputi 12 parameter fisiologis pada 24 jam pertama, serta usia dan
riwayat status kesehatan sebelumnya (McConachie, 2009).

e. Possum
Possum merupakan akronim dari Physiological and Operative Severity
Score for the Enumeration of Mortality and Morbidity. Possum dibuat dan
dikembangkan oleh Copeland et al. pada tahun 1991 untuk tujuan audit
rumah sakit. Scoring possum membutuhkan 12 variabel fisiologis, dan
scoring possum ini dirasa kurang tepat untuk menilai tingkat resiko pre
operatif pasien (McConachie, 2009).

Penilaian pre operatif ini ditujukan unutk meminimalisir morbiditas dan


mortalitas dari pasien. terdapat tiga pertanyaan yang perlu diingat dalam
menilai keadaan pasien (McConachie, 2009):
a. Apakah status medis dan fisiologis pasien sudah optimal?
b. Apabila belum optimal, apakah status pasien dapat ditingkatkan?
c. Apabila tidak, haruskan operasi tetap dilaksanakan? Dengan kata lain
apakah resiko tidak mengoperasi pasien lebih rendah apabila
dibandingkan dengan resiko mengoperasi pasien.
Penilaian pre operatif seharusnya bisa mengidentifikasi pasien yang
memiliki resiko tinggi terhadap gagal organ pre atau post operasi. Pasien
pasien seperti ini dirasa sangatlah membutuhkan monitoring tambahan dan
perawatan di ICU setelah oeprasi dengan tujuan untuk monitoring fungsi
organ dan penatalaksanaannya terkait kebutuhan pasien (McConachie,
2009).

2. Teknik anestesi yang digunakan


a. Regional dan lokal anesthesia
Teknik anestesi lokal banyak digunakan untuk pasien dengan resiko
tinggi operasi. Teknik ini bisa digunakan sendirian atau dikombinasikan
dengan gerenal anestesi untuk memberikan anesthesia dan analgesia pada
saat operasi ataupun post operasi. Bermacam-macam anestesi lokal
digunakan untuk keadaan ini, dimulai dengan teknik yang simple (wound
infiltration) hingga blok saraf pada regional anesthesia (McConachie,
2009).
Blok saraf telah disarankan untuk memberikan efek anesthesia dalam
prosedur yang menggunakan banyak area tubuh. Keuntungan dari teknik
anestesi lokal dan regional yaitu teknik ini dapat menghindari general
anesthesia dan dapat mengurangi dosis yang dibutuhkan untuk anestesi.
Hal ini dapat menurunkan resiko komplikasi, terutama infeksi saluran
pernapasan, mual muntah, dan nyeri paska operasi. Komplikasi kardiak
seperti hipotensi dapat diturunkan ketika menggunakan teknik regional
anestesi namun masih terdapat beberapa perdebatan di kalangan para ahli
mengenai hal ini (McConachie, 2009).
b. Spinal dan epidural anesthesia
Teknik anestesi ini sangatlah sering dilakukan dan berkaitan dengan
efek samping. Salah satu efeknya adalah hipotensi akrena blockade saraf
aferen simpatis. Aferen simpatis berasal dari akar serabut saraf
torakolumbal anterior sampai L2. Blockade yang dilakukan dibawah
lokasi ini tidak akan menyebabkan hipotensi yang signifikan dan
blockade yang lebih tinggi dari lokasi ini berkaitan dengan peningkatan
kejadian hipotensi. Teknik anestesi spinal yang memiliki onset cepat
cenderung menyebabkan hipotensi yang lebih sering apabila
dibandingkan dengan teknik anestesi epidural, dimana teknik ini memiliki
onset bertahap sehingga dapat dikontrol dengan cara pemberian yang
perlahan. Efek samping lain yang berkaitan dengan kedua teknik ini
berupa nyeri kepala, nyeri punggung, hematoma epidural, abses epidural,
dan resiko kerusakan serabut saraf (McConachie, 2009).
3. Obat anestesi yang digunakan
a. Agen anestesi lokal
Terdapat sejumlah agen anestesi lokal yang tersedia sekarang ini,
seperti amino ester tersier atau amid yang bekerja pada sel serabut saraf
dan menghambat transfer ion sodium antar membran. Agen ini akan
menyebabkan gangguan potensial aksi. Berbagai serabut saraf dapat
dipengaruhi oleh konsentrasi agen anestesi lokal, dimana serabut sensori
nyeri, tempetarur dan perabaan cenderung lebih terpengaruh dalam
konsentrasi rendah apabila dibandingkan dengan serabut motorik. Hal ini
menunjukan bahwa tidaklah mungkin melakukan blockade serabut saraf
tanpa blockade serabut motorik (McConachie, 2009).
Penggunaan agen anestesi lokal dapat mempengaruhi beberapa
jaringan eksitarotik dan dapat memberikan efek pada berbagai sistem
organ, terutama pada sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular. Pada
sistem saraf pusat, neuron inhibitorik akan cenderung lebih terpengaruh
apabila dibandingkan dengan neuron eksiratorik. Hal ini akan
menyebabkan munculnya termor, kelelahan dan kejang apabila dosis yang
diberikan terlalu tinggi. Pusat pengaturan pernapasan juga dapat
terpengaruhi karena penggunaan dosis yang terlalu tinggi, diawali dengan
peningkatan respirasi sampai dengan depresi napas (McConachie, 2009).
Efek pada sistem kardiovaskular mencakup efek pada jantung itu
sendiri dan efek perifer. Hampir semua agen anestesi lokal (selain kokain
yang bekerja sebagai vasokonstriktor) bekerja sebagai vasodilator yang
miliki efek pada arteriol, dimana bupivacaine merupakan agen yang
memiliki efek terkecil terhadap vasodilatasi ini. Agen anestesi lokal ini
juga bekerja langsung pada jaringan eksitatorik jantung, sehingga akan
terjadi peningkatan priode refraksi, memanjangnya waktu konduksi, serta
depresi eksitabilitas miokardium (McConachie, 2009).
b. Agen vasokontriktor
Agen anestesi lokal dapat dikombinasikan dengan vasopressor.
Penggunaan agen vasokonstiktor ini bertujuan untuk mengurangi efek
vasodilatasi yang dapat memeperlambat absorbsi sistemik dan
mengurangi perdarahan pada daerah operasi (McConachie, 2009).
Adrenalin merupakan agen vasopressor yang paling sering digunakan
bersamaan dengan agen anestesi lokal. Selain berperan sebagai
vasokonstriktor, adrenalin dapat menyebabkan takikardia, hipertensi dan
kecemasan. Penggunaannya pada pasien usia lanjut yang memiliki
riwayat hipertensi dapat menyebabkan peningkatan resiko takikardia dan
hipertensi, akan tetapi penggunaan adrenalin ini cenderung memiliki efek
samping dan angka morbiditas serta mortalitas yang rendah. Felypressin
merupakan salah satu vasokonstriktor alternatif untuk menghindari efek
samping ini (McConachie, 2009).
c. Analgesik opioid
Analgesik jenis ini digunakan dalam teknik anestesi epidural untuk
meningkatkan efek analgesik dan dapat digunakan untuk menurunkan
konsentrasi dan dosis dari agen anestesi lokal. Analgesik opioid dapat
dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan
dosis sistemiknya, sehingga menurunkan efek depresi pernapasan dan
efek samping yang lainnya. Opioid yang diberikan secara spinal akan
bekerja lokal pada resptor opioid pada cornu dorsalis dan akan menyebar
ke sistem saraf pusat. Karena hal inilah depresi pernapasan dapat terjadi,
terutama dengan pemberian secara intrathecal. Onset kerja dari opioid
spinal sangatlah bergantung kepada kelarutan dalam lemak (McConachie,
2009).
Opioid epidural bekerja secara lokal pada spinal dan juga pada tingkat
supraspinal. Opioid epidural juga diabsorbsi kepada plexus vena epidural
dan hal inilah yang dicurigai berperan terhadap efek supraspinalnya.
Ketika diberikan secara epidural, agen lipofilik seperti fentanyl akan
diabsorbsi secara cepat oleh jaringan lemak disekitarnya dan melewati
lapisan duramater serta onsetnya cenderung l;ebih cepat apabila
dibandingkan dengan morfin yang cenderung memiliki tingkat kelarutan
lebih lebih rendah (McConachie, 2009).
Depresi pernapasan merupakan salah satu komplikasi dari opioid
spinal dan epidural dan mungkin muncul beberapa jam setelah pemberian
obat. Pemberian naloxone dapat menurunkan efek supraspinal dari opioid,
serta perlu diingat pula bahwa pruritus dan retensi urin dapat terjadi
ketika pemberian opiat dilakukan secara intratechal dan epidural
(McConachie, 2009).
d. Agen lain
Agen-agen ini biasa digunakan untuk augmentasi anestesi regional seperti
klonidin yang merupakan reseptor alfa agonis. Klonidin biasa digunakan
secara spinal dan epidural dan bekerja sebagai blok plexus brachialis dan
ekstremitas bagian bawah. Obat ini digunakan sebagai suatu kombinasi
dengan anestesi lokal untuk meningkatkan efek blockade agen anestesi
lokal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari penggunaan klonidin
yaitu (McConachie, 2009):
1) Penggunaan klonidin dapat menyebabkan hipotensi dan kebingungan
pada dosis rendah, sehingga penggunaannya pada pasien resiko tinggi
perlu diperhatikan.
2) Penggunaan klonidin dapat menurunkan retensi urin apabila
dibandingkan dengan opiate pada pemberian spinal dan epidural.
3) Ketika digunakan untuk blockade saraf, klonidin akan memperpanjang
dan meningkatkan efek dari agen anestesi lokal tanpa menyebabkan
hipotensi yang signifikan.
D. Perawatan pasca operasi pada pasien resiko tinggi
Monitoring pasca operasi yang rutin di ICU setelah pasien menjalani proses
pembedahan yang beresiko tinggi dapat meningkatkan keadaan umum pasien,
menurunkan kemungkinan komplikasi pasca operasi dan morbiditas serta
mortalitas pasien. Pada tahun 1999, American College of Critical Care
Medicine mempublikasikan suatu acuan untuk penerimaan pasien ICU. Dimana
terdapat suatu rentang skala yang diawali dengan 1 (pasien yang akan
menerima paling banyak keuntungan dari perawatan ICU) hinga 4 (pasien yang
tidak mendapatkan keuntungan sama sekali) (Sobol and Wunsch, 2011).
Kementrian kesehatan di Inggris mengajukan sebuah pengklasifikasian
kebutuhan pasien berdasarkan tingkat kebutuhan dari pasien itu sendiri.
Pengklasifikasian tersebut dapat dilihat di tabel berikut (McConachie, 2009).

Tingkat Deskripsi
0 Pasien yang kebutuhannya dapat terpenuhi dengan perawatan di
bangsal rumah sakit saja.
1 Pasien dengan resiko penurunan keadaan umum yang kebutuhannya
dapat di penuhi di bangsal rumah sakit dengan perawatan para dokter
ahli.
2 Pasien yang membutuhkan observasi dan intervensi lebih detail
dengan/tanpa adanya satu gagal organ dimana pasien membutuhkan
bantuan alat untuk menjaga keadaannya.
3 Pasien yang membutuhkan bantuan alat pernapasan dengan adanya 2
atau gagal multi sistem organ.
Tabel 3.5 Pengklasifikasian kebutuhan pasien berdasarkan Kementrian
kesehatan Inggris
Apabila melihat pada pengklasifikasian ini, pasien dengan tingkat 2 dan 3
merupakan pasien yang memenuhi kriteria perawatan di ICU dengan catatan
bahwa (McConachie, 2009):
1. Pasien membutuhkan bantuan alat pernapasan untuk menunjang keadaannya.
2. Pasien membutuhkan bantuan dua atau lebih bantuan alat untuk menunjang
keadaanya (pasien yang mengalami gagal multipel organ).
3. Pasien dengan kerusakan organ yang bersifat kronik dan membutuhkan
bantuan alat untuk mencegah terjadinya kerusakan organ lain.

Dalam pengklasifikasian ini juga dijelaskan beberapa contoh pasien yang


sekiranya membutuhkan perawatan intensif di ICU seperti (McConachie,
2009):
1. Pasien yang membutuhkan ventilator setelah dilakukannya suatu operasi,
atau pasien yang keadaan hemodinamiknya tidak stabil paska operasi.
2. Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik dengan penyebab apapun.
3. Pasien yang membutuhkan terapi atau tatalaksana ensefalopati metabolic.
4. Pasien yang membutuhkan terapi atau tatalaksana gagal ginjal akut yang
tidak dapat diobati di unit terapi ginjal.
5. Pasien yang membutuhkan resusitasi dan optimisasi sebelum operasi.
DAFTAR PUSTAKA
McConachie, Ian. 2009. Anesthesia for the High Risk Patient 2 nd edition. Cambridge.
United Kingdom : Cambridge University Press. 302 pages.
Sobol, Julia. Hannah Wunsch. 2011. Triage of high-risk surgical patients for
Intensive Care. Critical Care. Springer-Verlag Berling Heidelberg 15:217

Anda mungkin juga menyukai