A. Pengertian
American heart association (AHA), mendefinisikan penyakit
jantung koroner adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri
jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung. Penumpukan
plak pada arteri koroner ini disebut dengan aterosklerosis. (AHA,
2012).
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaan dimana
terjadi penimbunan plak pembuluh darah koroner. Hal ini
menyebabkan arteri koroner menyempit atau tersumbat.arteri koroner
merupakan arteri yang menyuplai darah otot jantung dengan
membawa oksigen yang banyak.terdapat beberapa factor memicu
penyakit ini, yaitu: gaya hidup, factor genetik, usia dan penyakit
pentyerta yang lain. (Norhasimah,2010).
Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang terutama
disebabkan karena peyempitan arteri koronaria akibar proses
aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Penyakit
Jantung Koroner (PJK) adalah keadaaan dimana terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan otot jantung atas oksigen
dengan penyediaan yang di berikan oleh pembuluh darah koroner.
B. Etiologi
Etiologi penyakit jantung koroner adalah adanya penyempitan,
penyumbatan, atau kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan
atau penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menghentikan
aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan nyeri. Dalam
kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa darah dapat
hilang. Hal ini dapat merusak sistem pengontrol irama jantung dan
berakhir dan berakhir dengan kematian. (Hermawatirisa, 2014)
Awalnya penyakit jantung di monopoli oleh orang tua. Namun,
saat ini ada kecenderungan penyakit ini juga diderita oleh pasien di
bawah usia 40 tahun. Hal ini biasa terjadi karena adanya pergeseran
gaya hidup, kondisi lingkungan dan profesi masyarakat yang
memunculkan tren penyakitbaru yang bersifat degnaratif. Sejumlah
prilaku dan gaya hidup yang ditemui pada masyarakat perkotaan
antara lain mengonsumsi makanan siap saji yang mengandung kadar
lemak jenuh tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja
berlebihan, kurang berolahraga, dan stress. (Hermawatirisa, 2014)
Faktor resiko yang berkaitan dengan penyakit jantung koroner
dapat di golongkan secara logis sebagai berikut:
1. Sifat pribadi Aterogenik.
Sifat aterogenik mencakup lipid darah, tekanan darah dan
diabetes melitus. Faktor ini bersama-sama berperan besar dalam
menentuak kecepatan artero- genensis.
2. Kebiasaan hidup atau faktor lingkungan yang tak di tentukan
semaunya.
Gaya hidup yang mempredisposisi individu ke penyakit
jantung koroner adalah diet yang terlalu kaya dengan kalori, lemak
jenuh, kolesterol, garam serta oleh kelambanan fisik, penambahan
berat badan yang tak terkendalikan, merokok sigaret dan penyalah
gunaan alkohol.
Faktor yang Dapat Dimodifikasi
1. Merokok
2. Aktivitas fisik
3. Diet
4. Dislipidemia
5. Obesitas
6. Hipertensi Penyakit
7. Diabates Melitus
Jantung
Koroner
Faktor yang tidak Dapat Dimodifikasi
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Ras
4. Riwayat keluarga/ keturunan
Penyimpangan KDM
Atherosclerosis dan/atau
spasme pembuluh darah koroner
Perfusi Hipoksia
jaringan Jantung kekurangan O2
tidak
Metabolisme anaerob
Tekanan paru-paru
(-) informasi
Intolerans
Sesak nafas i aktivitas
Persepsi yang salah
Gangguan Kurang
pertukaan pengetah
gas
Kecemasa
C. Patofisiologi n
Penyakit jantung koroner dan miocardial infark merupakan
respons iskemik dari miokardium yang di sebabkan oleh penyempitan
arteri koronaria secara permanen atau tidak permanen. Oksigen di
perlukan oleh sel-sel miokardial, untuk metabolisme aerob di mana
Adenosine Triphospate di bebaskan untuk energi jantung pada saat
istirahat membutuhakn 70 % oksigen. Banyaknya oksigen yang di
perlukan untuk kerja jantung di sebut sebagai Myocardial Oxygen
Cunsumption (MVO2), yang dinyatakan oleh percepatan jantung,
kontraksi miocardial dan tekanan pada dinding jantung.
Jantung yang normal dapat dengan mudah menyesuaikan
terhadap peningkatan tuntutan tekanan oksigen dangan menambah
percepatan dan kontraksi untuk menekan volume darah ke sekat-
sekat jantung. Pada jantung yang mengalami obstruksi aliran darah
miocardial, suplai darah tidak dapat mencukupi terhadap tuntutan
yang terjadi. Keadaan adanya obstruksi letal maupun sebagian dapat
menyebabkan anoksia dan suatu kondisi menyerupai glikolisis aerobic
berupaya memenuhi kebutuhan oksigen.
Penimbunan asam laktat merupakan akibat dari glikolisis aerobik
yang dapat sebagai predisposisi terjadinya disritmia dan kegagalan
jantung. Hipokromia dan asidosis laktat mengganggu fungsi ventrikel.
Kekuatan kontraksi menurun, gerakan dinding segmen iskemik
menjadi hipokinetik.
Kegagalan ventrikel kiri menyebabkan penurunan stroke volume,
pengurangan cardiac out put, peningkatan ventrikel kiri pada saat
tekanan akhir diastole dan tekanan desakan pada arteri pulmonalis
serta tanda-tanda kegagalan jantung.
F. Diagnosis
Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan
diagnosis pasti. Diagnosis yang tepat amat penting, jika diagnosis PJK
telah dibuat terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai
kemungkinan akan dapat mengalami infark jantung atau kematian
mendadak. Dokter harus memilih pemeriksaan yang perlu dilakukan
terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang
maksimal dengan resiko dan biaya yang seminimal mungkin. Berikut
ini cara-cara diagnostik:
1. Anamnesis
Anamnesis berguna mengetahui riwayat masa lampau seperti
riwayat merokok, usia, infark miokard sebelumnya dan beratnya
angina untuk kepentingan diagnosis pengobatan (Anonim, 2009).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan sebagai acuan pada
PJK adalah denyut jantung, tekanan darah, suhu tubuh dan
kecepatan respirasi (Majid, 2007).
3. Laboratorium
Pada pasien angina stabil sebaiknya dilakukan pemeriksaan
profil lipid seperti LDL, HDL, kolesterol total, dan trigliserida untuk
menentukan faktor resiko dan perencanaan terapi. Selain
pemeriksaan diatas dilakukan pula memeriksaan darah lengkap
dan serum kreatinin. Pengukuran penanda enzim jantung seperti
troponin sebaiknya dilakukan bila evaluasi mengarah pada
sindrom koroner akut (Anonim, 2009).
4. Foto sinar X dada
X-ray dada sebaiknya diperiksa pada pasien dengan dugaan
gagal jantung, penyakit katup jantung atau gangguan paru.
Adanya kardiomegali, dan kongesti paru dapat digunakan
prognosis (Anonim, 2009).
5. Pemeriksaan jantung non-invasif
a. EKG merupakan pemeriksaan awal yang penting untuk
mendiagnosis PJK.
b. Teknik non-invasi penentuan klasifikasi koroner dan teknik
imaging (computed tomografi (CT) dan magnetic resonance
arteriography. Sinar elektron CT telah tervalidasi sebagai alat
yang mampu mendeteksi kadar kalsium koroner (Anonim,
2009).
6. Pemeriksaan invasif menentukan anatomi koroner
a. Arteriografi koroner adalah Pemeriksaan invasif dilakukan bila
tes non invasif tidak jelas atau tidak dapat dilakukan. Namun
arteriografi koroner tetap menjadi pemeriksaan fundamental
pada pasien angina stabil. Arteriografi koroner memberikkan
gambaran anatomis yang dapat dipercaya untuk identifikasi
ada tidaknya stenosis koroner, penentuan terapi dan
prognosis (Anonim, 2009).
G. Penatalaksanaan Terapi
Terapi didasarkan pada pengetahuan tentang mekanisme,
manifestasi klinis, perjalanan alamiah dan patologis baik dari sisi
selular, anatomis dan fisiologis dari kasus PJK. Pada prinsipnya terapi
ditujukan untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat, intensif dan
mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard akut
atau kematian mendadak.
Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia tahun
2009 obat yang disarankan untuk penderita PJK adalah :
a. Golongan Nitrat
Mekanisme kerja golongan nitrat vasodilatasi, menurunkan
pengisian diastolik, menurunkan tekanan intrakardiak dan
meningkatkan perfusi subendokardium. Nitrat kerja pendek
penggunaan sublingual untuk profilaksis, nitrat kerja panjang
penggunaan oral atau transdermal untuk menjaga periode bebas
nitrat. Nitrat kerja jangka pendek diberikan pada setiap pasien
untuk digunakan bila terdapat nyeri dada. Dosis nitrat diberikan 5
mg sublingual dapat diulang tiga kali sehari (Anonim, 2009).
b. Golongan Penyekat (beta bloker)
Terdapat bukti-bukti bahwa pemberian beta bloker pada
pasien angina yang sebelumnya pernah mengalami infark
miokard, atau gagal jantung memiliki keuntungan dalam
prognosis. Berdasarkan data tersebut beta bloker merupakan obat
lini pertama terapi angina pada pasien tanpa kontraindikasi
(Anonim, 2009). Beta bloker dapat menimbulkan efek samping
berupa gangguan pencernaan, mimpi buruk, rasa capek, depresi,
reaksi alergi blok AV, dan bronkospasme. Beta bloker dapat
memperburuk toleransi glukosa pada pasien diabetes juga
mengganggu respon metabolik dan autonomik terhadap
hipoglikemik (Anonim, 2000). Dosis beta bloker sangat bervariasi
untuk propanolol 120-480/hari atau 3x sehari 10-40mg dan untuk
bisoprolol 1x sehari 10-40mg.
c. Golongan antagonis kalsium
Mekanisme kerja antagonis kalsium sebagai vasodilatasi
koroner dan sistemik dengan inhibisi masuknya kalsium melalui
kanal tipe-L. Verapamil dan diltiazem juga menurunkan
kontraktilitas miokardium, frekuensi jantung dan konduksi nodus
AV. Antagonis kalsium dyhidropyridin (missal: nifedippin,
amlodipin, dan felodipin) lebih selektif pada pembuluh darah
(Anonim, 2009). Pemberian nifedipin konvensional menaikkan
risiko infark jantung atau angina berulang 16%, Penjelasan
mengapa penggunaan monoterapi nifedipin dapat menaikkan
mortalitas karena obat ini menyebabkan takikardi refleks dan
menaikkan kebutuhan oksigen miokard (Anonim, 2006). Dosis
untuk antagonis kalsium adalah nifedipin dosis 3x5-10mg,
diltiazem dosis 3x30-60mg dan verapamil dosis 3x 40-80mg.
d. Obat antiplatelet
Terapi antiplatelet diberikan untuk mencegah trombosis
koroner oleh karena keuntungannya lebih besar dibanding
resikonya. Aspirin dosis rendah (75- 150mg) merupakan obat
pilihan kebanyakan kasus. Clopidogrel mungkin dapat
dipertimbangkan sebagai alternative pada pasien yang alergi
aspirin, atau sebagai tambambahan pasca pemasangan sent,
atau setelah sindrom koroner akut. Pada pasien riwayat
perdarahan gastrointestinal aspirin dikombinasi dengan inhibisi
pompa proton lebih baik dibanding dengan clopidogrel. Untuk
Clopidogrel dengan dosis 75 mg satu kali sehari (Anonim, 2009)
Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan tromboksan
A2 dengan cara menghambat siklooksigenase dalam platelet
(trombosit) melalui 17 asetilasi yang ireversibel. Kejadian ini
menghambat agregasi trombosit melalui jalur tersebut. Sebagian
dari keuntungan dapat terjadi karena kemampuan anti
inflamasinya dapat mengurangi ruptur plak (Anonim, 2006).
e. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I)
ACE-I merupakan obat yang telah dikenal luas sebagai obat
antihipertensi, gagal jantung, dan disfungsi ventrikel kiri. Sebagai
tambahan, pada dua penelitian besar randomized controlled
ramipril dan perindopril penurunan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular pada pasien penyakit jantung koroner stabil tanpa
disertai gagal jantung. ACE-I merupakan indikasi pada pasien
angina pectoris stabil disertai penyakit penyerta seperti hipertensi,
DM, gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, dan pasca
infark miokard. Pada pasien angina tanpa disertai penyakit
penyerta pemberian ACE-I perlu diperhitungkan keuntungan dan
resikonya (Anonim, 2009). Dosis untuk penggunaan obat
golongan ACE-I untuk captopril 6,25-12,5 mg tigakali sehari. Untuk
ramipril dosis awal 2,5 mg dua kali sehari dosis lanjutan 5 mg
duakali sehari, lisinopril dosis 2,5-10 mg satu kali sehari (Lacy et
al, 2008).
f. Antagonis Reseptor Bloker
Mekanisme dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa-
senyawa ini merelaksasikan otot polos sehingga mendorong
vasodilatasi, meningkatkan eksresi garam dan air di ginjal,
menurunkan volume plasma, dan mengurangi hipertrofi sel.
Antagonis reseptor angiotensin II secara teoritis juga mengatasi
beberapa kelemahan ACEI (Oates and Brown, 2007). Antagonis
reseptor bloker diberikan bila pasien intoleran dengan ACE-I
(Anonim, 2009). Dosis untuk 18 valsartan 40 mg dua kali sehari
dosis lanjutan 80-160mg, maximum dosis 320 mg (Lacy et
al,2008).
g. Anti kolesterol
Statin menurunkan resiko komplikasi atherosklerosis sebesar
30% pada pasien angina stabil. Beberapa penelitian juga
menunjukkan manfaat statin pada berbagai kadar kolesterol
sebelum terapi, bahkan pada pasien dengan kadar kolesterol
normal. Terapi statin harus slalu dipertimbangkan pada pasien
jantung koroner stabil dan angina stabil. Target dosis terapi statin
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
sebaiknya berdasarkan penelitian klinis yang telah dilakukan dosis
statin yang direkomendasi adalah simvastatin 40 mg/hr,
pravastatin 40 mg/hr, dan atorvastin 10 mg/hr. Bila dengan dosis
diatas kadar kolesterol total dan LDL tidak mencapai target, maka
dosis dapat ditingkatkan sesuai toleransi pasien sampai mencapai
target (Anonim, 2009). Statin juga dapat memperbaiki fungsi
endotel, menstabilkan plak, mengurangi pembentukan trombus,
bersifat anti inflamasi, dan mengurangi oksidasi lipid. Statin
sebaiknya diteruskan untuk mendapatkan keuntungan terhadap
kelangsungan hidup jangka panjang (Anonim, 2006).
Kontraindikasi pasien dengan penyakit hati yang aktif, pada
kehamilan dan menyusui. Efek samping miosis yang reversibel
merupakan efek samping yang jarang tapi bermakana. Statin juga
menyebabkan sakit kepala, perubahan nilai fungsi ginjal dan efek
saluran cerna (Anonim, 2000).
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
PENYAKIT JANTUNG KORONER
A. Pengkajian
1. Identitas
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, suku bangsa,
pekerjaan, pendidikan, alamat, tanggal MRS dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Pasien pjk biasanya merasakan nyeri dada dan dapat
dilakukan dengan skala nyeri 0-10, 0 tidak nyeri dan 10 nyeri palig
tinggi. Pengakajian nyeri secara mendalam menggunakan
pendekatan PQRST, meliputi prepitasi dan penyembuh, kualitas
dan kuatitas, intensitas, durasi, lokasi, radiasi/ penyebaran, onset.
3. Riwayat kesehatan lalu
Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien
antara lain apakah klien pernah menderita hipertensi atau diabetes
millitus, infark miokard atau penyakit jantung koroner itu sendiri
sebelumnya. Serta ditanyakan apakah pernah MRS sebelumnya.
4. Riwayat kesehatan sekarang
Dalam mengkaji hal ini menggunakan analisa systom PQRST.
Untuk membantu klien dalam mengutamakan masalah keluannya
secara lengkap. Pada klien PJK umumnya mengalami nyeri dada.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji pada keluarga, apakah didalam keluarga ada yang
menderita penyakit jantung koroner. Riwayat penderita PJK
umumnya mewarisi juga faktor-faktor risiko lainnya, seperti
abnormal kadar kolestrol, dan peningkatan tekanan darah.
6. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan sangat
mendukung untuk mengetahui masalah pada klien dengan
gangguan sistem kardiovaskuler. Pemeriksaan ini meliputi :
1) Inspeksi bnetuk dada
Untuk melihat seberapa berat gangguan sistem
kardiovaskuler. Bentuk dada yang biasa ditemukan adalah :
a) Bentuk dada thoraks phfisis (panjang dan gepeng)
b) Bentuk dada thoraks en bateau (thoraks dada burung)
c) Bentuk dada thoraks emsisematous (dada berbentuk
seperti tong)
d) Bentuk dada thoraks pektus ekskavatus (dada cekung
ke dalam)
e) Gerakan pernapasan : kaji kesimetrisan gerakan
pernapasan klien
2) Palpasi rongga dada
a) Melihat adanya kelainan pada dinding thoraks
b) Menyatakan adanya tanda penyakit paru dengan
pemeriksaan sebagai berikut :
c) Gerakan dinding thoraks saat inspirasi dan ekspirasi
d) Getaran suara : getaran yang terasa oleh tangan
pemeriksa yang diletakkan pada dada klien saat klien
mengucapkan kata kata.
3) Perkusi
a) Teknik yang dilakukan adalah pemeriksa meletakkan
falang terakhir dan sebagaian falang kedua jari tengah
pada tempat yang hendak diperkusi. Ketukan ujung jari
tengah tangan kanan pada jari kiri tersebut dan lakukan
gerakan bersumbu pada pergelangan tangan. Posisi
klien duduk atau berdiri.
4) Auskultasi
Suara napas normal
a) Trakeobronkhial, suara normal yang terdengar pada
trakhea seperti meniup pipa besi, suara napas lebih
keras dan pendek saat inspirasi.
b) Bronkovesikuler, suara normal di daerah bronkhi, yaitu di
sternum atas (torakal 3 4)
c) Vesikuler, suara normal di jaringan paru, suara napas
saat inspirasi dan ekspirasi sama.
b. B2 (Blood)
1) Inspeksi
a) Inspeksi adanya parut pascapembedahan
jantung. Posisi parut dapat memberikan petunujuk
mengenai lesi katup yang telah dioperasi
b) Denyut apeks : posisinya yang normal adalah pada
interkostal kiri ke 5 berjarak 1 cm medial dari garis
midklavikula.
2) Palpasi
Tujuannya adalah mendeteksi kelainan yang tampak
saat inspeksi. Teknik yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Palpasi dilakukan dengan menggunakan telapak tangan,
kemudian dilanjutkan dengan tekanan yang sedikit
keras.
b) Pemeriksa berdiri di kanan klien, minta klien duduk
kemudian berbaring telentang. Pemeriksa meletakkan
tangan di prekordium, samping sternum dan lakukan
palpasi denyut apeks.
c) Berikan tekanan yang lebih keras pada telapak tangan.
Kemudian tangan ditekan lebih keras untuk menilai
kekuatan denyut apeks.
d) Lanjutkan dengan melakukan palpasi denyut apeks
menggunakan ujung jari telunjuk dan tengah. Palpasi
daerah prekordial di samping sternum
e) Kaji denyut nadi arteri, tarikan dan getaran denyutan.
Palpasi denyut apeks :
a) Normal pada interkosta ke 5 (2 3 cm medial garis
midklavikula). Dapat tidak teraba bila klien gemuk,
dinding toraks tebal, emfisema dan lain lain.
b) Meningkat bila curah jantung besar misalnya pada
insufisiensi aorta/mitral.
Impuls Parasternal dapat teraba bila pangkal telapak
tangan diletakkan tepat pada bagian kiri dari sternum
dengan jari jari agak terangkat sedikit dari dada.
Thrill ; Aliran darah yang turbulen menimbulkan murmur
jantung saat auskultasi, terkadang dapat teraba. Murmmur
yang teraba ini disebut thrill. Prekordium harus dipalpasi
menggunakan telapak tangan secara sistematik untuk
menentukan adanya thrill.
Palpasi arteri karotis :Arteri karotis mudah dipalpasi
pada otot otot sternomastoideus. Hasil pemeriksaan ini
dapat memberikan banyak informasi mengenai bentuk
gelombang denyut aorta yang dipengaruhi oleh berbagai
kelainan jantung.
3) Perkusi
Pemeriksaan perkusi pada jantung biasanya jarang
dilakukan jika pemeriksaan foto rontgen toraks telah
dilakukan. Tetapi pemeriksaan perkusi ini tetap bermanfaat
untuk menentukan adanya kardiomegali, efusi perikardium,
dan aneurisma aorta. Foto rontgen toraks akan
menunjukkan daerah redup sebagai petunjuk bahwa
jantung melebar. Daerah redup jantung akan mengecil pada
emfisema.
4) Auskultasi
a) Katup Pulmonal ; Terdengar lebih jelas pada interkosta
ke 2 dan ke 3 kiri sternum
b) Katup aorta ; Terdengar lebih jelas pada sternum, lebih
rendah dan lebih medial daripada katup pulmonal
c) Katup mitral ; Terdengar lebih jelas pada sternum, dekat
batas atas sendi antara interkosta ke 4 dan sternum
d) Katup trikuspidalis ; Terdengar lebih jelas pada sternum,
sesuai garis penghubung proyeksi katup mitral dengan
sendi antara sternum dengan interkosta ke 5 kanan.
e) Auskultasi jantung
c. B3 (Brain)
1) Pemeriksaan kepala dan leher ; Pemeriksaan kepala
sebagai bagian pengkajian kardiovaskuler difokuskan untuk
mengkaji bibir dan cuping telinga untuk mengetahui adanya
sianosis perifer.
2) Pemeriksaan raut muka ; Bentuk muka : bulat, lonjong dan
sebagainya, Ekspresi wajah tampak sesak, gelisah,
kesakitan
3) Tes saraf dengan menyeringai, mengerutkan dahi untuk
memeriksa fungsi saraf VII
4) Pemeriksaan bibir ; Biru (sianosis) pada penyakit jantung
bawaan dan lainnya, Pucat (anemia)
5) Pemeriksaan mata ; Konjungtiva, Pucat (anemia), Ptekie
(perdarahan di bawah kulit atau selaput lendir) pada
endokarditis bakterial, Sklera (Kuning (ikterus) pada gagal
jantung kanan, penyakit hati dan lainnya), Kornea
d. B4 (Bladder)
Output urine merupakan indiktor fungsi jantung yang
penting. Penurunan haluaran urine merupakan temuan
signifikan yang harus dikaji lebih lanjut untuk menentukan
apakah penurunan tersebut merupakan penurunan produksi
urine (yang terjadi bila perfusi ginjal menurun) atau karena
ketidakmampuan klien untuk buang air kecil. Daerah
suprapubik harus diperiksa terhadap adanya massa oval dan
diperkusi terhadap adanya pekak yang menunjukkan
kandungkemih yang penuh (distensi kandung kemih).
e. B5 Bowel)
Pengkajian harus meliputi perubahan nutrisi sebelum atau
pada masuk rumah sakit dan yang terpenting adalah
perubahan pola makan setelah sakit. Kaji penurunan turgor
kulit, kulit kering atau berkeringat, muntah dan perubahan berat
badan.
Refluks hepatojuguler. Pembengkakan hepar terjadi akibat
penurunan aliran balik vena yang disebabkan karena gagal
ventrikel kanan. Hepar menjadi besar, keras, tidak nyeri tekan
dan halus. Ini daapt diperiksa dengan menekan hepar secara
kuat selama 30 60 detik dan akan terlihat peninggian vena
jugularis sebesar 1 cm.
f. B6 (Bone)
Pengkajian yang mungkin dilakukan adalah sebagai
berikut :
1) Keluhan lemah, cepat lelah, pusing, dada rasa berdenyut
dan berdebar
2) Keluhan sulit tidur (karena adanya ortopnea, dispnea
nokturnal paroksimal, nokturia dan keringat pada malam
hari)
3) Istirahat tidur : kaji kebiasaan tidur siang dan malam, berapa
jam klien tisur dalam 24 jam dan apakah klien mengalami
sulit tidur dan bagaimana perubahannya setelah klien
mengalami gangguan pada sistem kardiovaskuler. Perlu
diketahui, klien dengan IMA sering terbangun dan susah
tidur karena nyeri dada dan sesak napas
4) Aktivitas : kaji aktivitas klien di rumah atau di rumah sakit.
Apakah ada kesenjangan yang berarti misalnya
pembatasan aktivitas. Aktivitas klien biasanya berubah
karena klien merasa sesak napas saat beraktivitas.
7. Pemeriksaan penunjang
Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan
pemeriksaan penunjang diantaranya:
a. EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis,
rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat
bermanfaat.
b. Chest X-Ray (foto dada) Thorax foto mungkin normal atau
adanya kardiomegali, CHF (gagal jantung kongestif) atau
aneurisma ventrikiler (Kulick, 2014).
c. Latihan tes stres jantung (treadmill)
Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang
standar dan banyak digunakan untuk mendiagnosa PJK, ketika
melakukan treadmill detak jantung, irama jantung, dan tekanan
darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami
penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan
segmen depresi ST pada hasil rekaman.
d. Ekokardiogram
Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk
menghasilkan gambar jantung, selama ekokardiogram dapat
ditentukan apakah semua bagian dari dinding jantung
berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang
bergerak lemah mungkin telah rusak selama serangan jantung
atau menerima terlalu sedikit oksigen, ini mungkin
menunjukkan penyakit arteri koroner.
e. Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan
invasif minimal dengan memasukkan kateter (selang/pipa
plastik) melalui pembuluh darah ke pembuluh darah koroner
yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi
jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau
intravena ini dikenal sebagai angiogram, tujuan dari tindakan
kateterisasi ini adalah untuk mendiagnosa dan sekaligus
sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu kelainan.
f. Computerized tomography Coronary angiogram/CT Angiografi
Koroner adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
membantu memvisualisasikan arteri koroner dan suatu zat
pewarna kontras disuntikkan melalui intravena selama CT scan,
sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini juga
disebut sebagai ultrafast CT scan yang berguna untuk
mendeteksi kalsium dalam deposito lemak yang mempersempit
arteri koroner. Jika sejumlah besar kalsium ditemukan, maka
memungkinkan terjadinya PJK.
g. Magnetic resonance angiography (MRA)
Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering
dikombinasikan dengan penyuntikan zat pewarna kontras, yang
berguna untuk mendiagnosa adanya penyempitan atau
penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas
pemeriksaan kateterisasi jantung.
1. Penatalaksaan
Penatalaksanaan Menurut, Hermawatirisa,2014
a. Hindari makanan kandungan kolesterol yang tinggi
Kolesterol jahat LDL di kenal sebgai penyebab utana
terjadinya proses aterosklerosis, yaitu proses pengerasan
dinding pembuluh darah, terutama di jantung, otak, ginjal, dan
mata.
b. Konsumsi makanan yang berserat tinggi
c. Hindari mengonsumsi alcohol.
d. Merubah gaya hidup, memberhentikan kebiasaan merokok
e. Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan
memperbaiki kolateral koroner sehingga PJK dapat dikurangi,
olahraga bermanfaat karena memperbaiki fungsi paru dan
pemberian O2 ke miokard
f. Menurunkan berat badan sehingga lemak lemak tubuh yang
berlebih berkurang bersama-sama dengan menurunnya LDL
kolesterol
g. Menurunkan tekanan darah
h. Meningkatkan kesegaran jasmani
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan ateroskelorosis atau spasme
koroner
2. Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dan kebutuhan
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidakpahaman
proses dan pengobatan penyakit
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi konduksi
listrik
5. Ansietas berhubungan dengan ancaman kemati
E. Implementasi Keperawatan
F. Evaluasi Keperawatan
c. Hadits Anas bin Malik r.a. dari Nabi Saw, beliau bersabda:
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN PENDAHULUAN
PENYAKIT JANTUNG KORONER
OLEH :
INDHIRA PERMATA MUNARIS PUTRI S.Kep
14420150071
Kelompok II
Preceptor Lahan Preceptor Institusi
OLEH :
INDHIRA PERMATA MUNARIS PUTRI S.Kep
14420150071
Kelompok II
Preceptor Lahan Preceptor Institusi