Anda di halaman 1dari 11

Lembar Tugas Mandiri

Modul Respirasi 2015


Pemicu 4

Muhammad Yuke Prastyo / 1306376231

Kelompok 10

Terapi farmakologi Asma

Obat asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi


jalan napas, terdiri dari pengontrol dan pelega. 1,2

1. Pengontrol
Merupakan medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut
dengan pencegah.1
a. Glukokortikosteroid inhalasi1,2
Merupakan medikasi jangka panjang, paling efektif untuk
mengoontrol asma. Penggunaan steroid inhalasi berfungsi dalam
memperbaiki faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan, dan
memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi menjadi pilihan teapi
pengobatan asma persisten dan ditoleransi baik dan aman bila
diberikan pada dosis yang di rekomendasikan.
Apabila penggunaan steroid inhalasi tidak dapat mencapai
asma terkontrol, maka dianjurkan untuk menambah obat pengontrol
lainya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut.
Sebab, peningkatan dosis steroid tidak menghasilkan banyak
manfaat dalam mengontrol asma namun bahkan meningkatkan
risiko efek samping.
Efek samping dari steroid inhalasi bisa berupa efek samping
lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi
saluran napas atas. Namun semua efek samping tersebut bisa
dicegah dengan spacer, atau mencuci mulut dengan berkumur-
kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Obat ini akan
diabsorpsi secara sistemik melalui absorpsi obat di paru. Sehingga
risiko yang terjadi tergantung pada dosis dan potensi obat yaang
berkaitan dengan bioavabilitas, absorpsi di paru dan usus,
metabolisme di hati, dan waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di
paru dan usus. Sehingga, setiap obat steroid inhalasi memiliki
kemungkinan efek sistemik yang berbeda. Risiko sistemik ternyata
juga bergantung pada sistem penghantaran. Penggunaan spacer
diketahui dapat menurunkan bioavaibilitas sistemik dan
mengurangi efek samping sistemik untuk semua jenis
glukortikoisteroid inhalasi. Selain itu, penggunaan steroid tidak akan
menimbulkan tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi
ataupun gangguan metabolisme kalsium.

b. Glukokortikosteroid sistemik1,2
Obat ini diberikan secara oral maupun parenteral, sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau
selang hari), akan tetapi penggunaanya terbatas karena memilki
risiko sistemik. Sehingga perlu selalu diperhatikan indeks terapinya.
Steroid inhalasi jangka panjang lebih efektif penggnaannya
dibanding dengan steroid oral. Akan tetapi, steroid oral terpaksa
diberikan pada keadaan asma persisten berat yang tidak bisa
terkontrol dengan terapi maksimal dalam jangka waktu tertentu.
Steroid oral jangka panjang di indonesia, diberikan bila penderita
asma persisten sedang berat tetapi tidak mampu membeli steroid
inhalasi, namun untuk mengurangi efek samping sistemik ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perhatikan saat
penggunaan steroid oral, yaitu:
gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon
karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal,
waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
bentuk oral, bukan parenteral
penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari

penggunaan glukokortikosteroid oral atau parenteral jangka


panjang memiliki efek samping sistemik seperti, osteoporosis,
hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pitutiari hipotalamus,
katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan
otot. Selain itu, diperlukan supervisi ketat dalam pemberian steroid
oral pada penderita asma atau penyakit lainya, seperti TB paru,
infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan
GERD. Glukorkitikosteroid oral jangka panjang jug meningkatkan
risiko infeksi herpes zoster.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedrokomil sodium)1,2
Mekanisme yang pasti dari obat ini masih belum sepenuhnya
dipahami, tetapi diketahui dapat merupakan anti inflamasi
nonsteroid yang menghambat pelepasan mediator dari sel mast
melalui reaksi yang diperantarai IgE . pemberian obat ini secara
inhalasi sebagai pengontrol pada asma persisten ringan, studi klinis
menunjukan pemerian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal
paru dan gejalan asma, menurunkan hiperesnponsif jalan napas
walau tidak sefektif glukokortikosteroid inhalasi. Efek samping yang
ditimbulkan umunya minimal, seperti batuk atau rasa obat yang
tidak enak saat diinhalasi.
d. Metilsantin2
Teofilin merupakan bronkodilator yang memiliki efek ekstra
pulmonal seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan
dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada
kosentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui
mekanisme yang belum belum jelas pada kosentrasi rendah (5-10
mg/dl). Selain itu, teofilin juga diberikan sebagai bronkodilator
tambahan pada serangan asma berat. Sebagi pelega, teofilin atau
aminofilin oral diberikan bersama atau kombinasi dengan agonis
beta-2 kerja singkat.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai
pengontrol, berbagai studi memaparkan pemeberian jangka
panjang lama efektif mengontrol gejala dan meperbaiki faal paru.
Studi menunjukan metilstantin sebegai terapi tambahan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi efektif
mengontrol asma, meskipun disadari peran sebagai terapi
tambahan tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama. Namun tetap
bisa bisa menjadi pilihan karena harganya yang terjangkau.
Efek samping potensial dari obat ini apabila diberikan pada
dosis tinggi (10 mg/kgBB/ hari atau lebih), namun hal itu bisa
dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat.
Efek sampinya dapa berupa gatrointestinal nausea, takikardia,
aritmia, dan terjkadang merangsang pusat napas. Intoksikasi
teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di indonesia,
sering digunakan kombinasi oral teofilin dengan agonis beta-2 kerja
singkat sebagai bronkodilator. Dalam penggunaanya disarankan
memnonitor kadar teofilin atau aminofilin serum penderita dalam
pengobatan jangka panjang. Umunya efek toksis serius tidak
terjadi bila dalam kadar serum < 15 ug/ml, meski banya variasi
individual tetapi pada umumnya dalam pengonbatan jangka
panjang kadar teofilin serum 5-15 ug/ml adalah efektif dan tidak
menimbulkan efek samping. Selain itu terdapat beberapa keadaan
yang dapat mengubah metabolisme teofilin, yaitu demam, hamil,
penyakit hati, gagal jantung, merokok, dan interkasi dengan obat
lain yang dapat mempengaruhi dosis pemberian, misalnya
simetidin, kuinolon, dan makrolid
e. Agonis beta-2 kerja lama1,2
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmaterol dan
formoterol yang memilki waktu kerja lama (lebih dari 12 jam).
Agonis beta-2 memilki efek relaksasi otot polos, meningkatkan
pemberishan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh
darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan
basofil, terbukti pemberian jangka lama obat ini memiliki efek
inflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama memiliki
efek proktektif terhadap rangsangan bronkoknstriktor serta
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik ketimbang preparat
oral.
Agonis beta-2 perananya dalam etarpi sebagai pengontrol
bersama dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana sebaiknya
inhalasi agonis beta-2 kerja lama sebaiknya diberikan ketika dosis
standar glukokortikosteroid inhalasi gagal mengontrol dan sebelum
meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi dari dosis standar.
Karena, pengobatan jangka lama dengan agonis beta-2 tidak
mengubah inflamasi yang sudah ada, maka akan lebih baik
dikombinasikan dengan glokokortikosteroid inhalasi. Barbagai studi
menunjukan jika penambahan agonis beta-2 kerja lama (salmeterol
atau formoterol) pada asma yang tidak terkontrol dengan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi, akan
memperbaiki faal paru dan gejala, serta mengontrol asma lebih baik
daripada meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi 2 kali
lipat.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek
samping sistemik (rangasngan kardiovaskular, tremor otot rangka,
dan hipokalamia) yang lebih sedikit atau jarang daripada
pemeberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang
beredar di indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol
dan bambuterol. Mekanisme kerjanya hampir sama dengan agonis
beta-2 kerja lama inhalasi, hanya efek sampingnya lebih banyak,
seperti rangsangan kerdiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.
f. Leukotriene modifiers2
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-
lipoksigenas sehingga memblok sintesis semua leukotrin
(contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target. Mekanisme tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida, dan aktivitas. Selain bersifat bronkodilator,
juga terdapat efek anti inflamasi. Berbagai studi telah menunjukan
bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan
kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma
persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita
asma yang tidak terkontrol yang sudah diberikan
glukokortikosteroid inhalasi. leukotriene modifiers sebagai terapi
tambahan memang tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama.
Namun, kelebihan obata ini adalah sediaanya dalam bentuk oral
sehingga mudah diberikan. Obat ini beredar di indonesia adalah
zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping
masih jarang ditemukan, namun obat zileuton dihubungkan dengan
toksik hati sehingga harus dilakukan monitor fungsi hati pada
pemberianya.
2. Pelega
Prinsip kerjanya dengan mendilatasi jalan napasa melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, namun tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperresponsif jalan
napas.2
a. Agonis beta-2 kerja singkat1,2
Obat termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbulatin,
fenoterol, prokterol yang telah beredar di indonesia. Onset
kerjanya cepat, formoterol mempunyai onset cepat dan durasi
yang lama. Pemeberian daoat secara inhalasi atau oral,
pmeberian inhalasi akan memberikan efek yang lebih cepat
dengan efek samping yang minimal. Mekanisme kerja
sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran
napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah dan modulasi pelepasan mediator
dari sel mast.
Merupakan pilihan untuk terapi serangan akut dan sangat
bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma.
Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan untuk
mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan
penggunaan setiap hari merupakan pertanda perburukan asma
dan memerlukan terapi antiinflamasi. Begitu pula, jika gagal
melegakan jalan napas maka segera diberikan glukortikosteroid
oral.
Efek samping dapat berupa rangsangan kardiiovaskular,
tremor otot rangka, dan hipokalamia. Pemberian secara inhalasi
jauh lebih sedikit menimbulkan efek ketimbang pemberian oral.
b. Metilsantin1,2
Merupakan bronkodilator meski efek bronkodilatasinya lebih
lemah dibanding denga agonis beta-2 kerja singkat. Aminofilin
kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala
meski onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat.
Pemberian teofilin memilki manfaan untuk respiratory drive,
memperkuat fungsi otot pernapasan dan mempertahankan
respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat.
Teofilin memiliki potensi menimbulkan efek samping cukup
signifikan bila diberikan berbarengan dengan teofilin lepas
lambat sehingga jika terpakasa diberikan harus dipantau ketat
kadar teofilin dalam serum.
c. Antikolinergik1,2
Pemberianya secara inhalasi, mekanisme kerjanya memblok
efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Sehingga menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus kolinergik vagal intrisik, selain itu juga menghambat
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Efek
bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat denga
onsetnya dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek
maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat
ataupun tipe lambat serta tidak mempengaruhi inflamasi.
Termasuk dalam golongan obat ini adalah ipratropium
bromide dan tiotrpium bromide. Ipratropium bromide
mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2
kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan
menurunkan risiko perawatan rumah sakit. Sehingga sering kali
direkomendasikan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agonis
beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator awal serangat asma
berat atau pada asma yang kurang respons terhadap agonis
beta-2 saja, agar tercapai efek maksimal. Tidak dianjurkan untuk
pemberian jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega
pada penderita yang menunjukan efek samping terhadap agonis
beta-2 kerja singkat. Efek samping antikolinergik berupa rasa
kering di mulut dan rasa pahit.
d. Adrenalin2
Dapat diberikan sebagai pilihan pada asma eksaserbasi
sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau
tidak merespons dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian
secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia
lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian melalui
intravena bisa bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan
ketat (bedside monitoring).
Tabel 1. Pengobatan asma sesuai berat asma1

Tabel 2. Rencana Pengobatan Serangan Asma berdasarkan Berat


Serangan dan Tempat Pengobatan2

Terapi farmakologi PPOK


1. Bronkodilator3
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat atau obata yang berefek panjang.
Macam-macam bronkodilator yang digunakan dalam penanganan
PPOK:
a. Golongan Antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir dengan
penggunaan maksimal 4 kali perhari
b. Agonis Beta 2
Sediaan dalam bentuk inhaler dapat digunakan untuk mengatasi
sesak, disamping peningkatan jumlah penggunaan sebagai
monitor timbulnya eksaserbasi. Obat ini juga digunakan sebagai
pemeliharaan dalam sediaan tablet yang memiliki efek jangka
panjang. Dalam bentuk nebilizer dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tetapi tidak disarankan untuk
penggunaan jangka panjang. Apabila dieberikan dalam bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c. Kombinasi Antikolirnergik dan Agonis Beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Selain itu, penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita.
d. Golongan Xantin
Diberikan dalam bentuk sediaan lepas lambat sebagai
pengobatan pemeliharan jangka panjang, terutama pada derajat
sedang dan berat. Bentuk tablest biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak, sementara bentuk suntikan bolus atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi akut. Dalam penggunaan jangka
panjang dari obat ini diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.
2. Antiinflamasi3
Antinflamasi diberikan jika terjadi eksaserbasi akut, baik dalam sediaan
oral atau intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi. Jenis obat
yang nisa dipilih adalah metilprednisolon atau prednisom. Selain itu dapat
diberikan dalam bentuk inhalasi jangka panjang bila terbukti terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dengan uji
kortikosteroid positif.
3. Antibiotika1,3
Antibiotik dapat diberikan jika memang terdapat indikasi infeksi pada
pasien, antibiotik yang biasa diberikan pada pasien PPOK terdiri dari lini I
(amoksilin dan makrolid) serta lini II (amoksisilin, asam klavulanat,
sefalosporin, dan florokuinolon). Apabila pasien sedang menjalani
perawatan di rumah sakit pilihan antibiotik yang dapat dipilih adalah
amoksilin dan klavulanat, sefalosporin generasi II dan III secara injeksi,
florokuinolon peroral dan bisa juga ditambahkan dengan anti
pseudomonas seperti aminoglikosida per injeksi, kuinolon per injeksi,
sefalosporin generasi IV per injeksi.
4. Antioksidan3
Antioksidan dipilih karena bisa mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki
kualitas hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada
eksaserbasi sering namun tidak dianjurkan untuk pemberian yang rutin.
5. Mukolitik3
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
memperbaiki perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum vicous, mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis
kronik, mukolitik juga tidak dianjurkan untuk pemberian rutin.
Tabel 3 . Pilihan Obat untuk PPOK3

Gambar 1. Alur
Tatalaksana PPOK Ringan,
Sedang dan Berat3

Terapi

Obstructive Sleep
Apnea

Penatalaksanaan yang tepat memelurkan diagnosis akurat terhadap


derajat dan penyebab OSA, pasien kasus OSA ringan hingga sedang dapat
diterapi secara simptomatis dengan menghindari faktor yang dapat
memperberat seperti alkohol, nikotin, sedatif, dan mengindari tidur terlentan
atau berbaring. Terapi farmakologi kurang efektif dalam tatalaksana OSA. Terapi
nonbedah yang efektif mempertahankan terbuknya jalan napas dan mencegah
kolaps sehingga tidak terjadi apnea yaitu dengan CPAP (pemberian tekanan
positif yang diikuti trakeostomi), Bi-level PAP (alat bantu respirasi non invansif),
Oral appliances (dengan mandibular repostioning device). Selain itu tindakan
bedah bisa dilakukan untuk mengurangi gejala obstruksi jalan napas, yaitu
dengan septoplasty, nasal polypectomy, tonsillectomy, turbiniplasty, dan
masih banyak lagi.4

DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. 5th
ed. Jakarta; Badan Penerbit FKUI: 2012
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.
H.8-24
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. ASMA : Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia; 2011. H.25-33
4. Vasey SC, Guilleminault C, strohl KP. Medical theraoy for
Obstructive sleep apneu task Force of the Standards of Practice.
Commitee of the American Academy of Sleep Medicine : 2006.
H.1046-43

Anda mungkin juga menyukai