Anda di halaman 1dari 6

PENANGANAN FARMAKOLOGIS

PADA KASUS DEMAM REMATIK

MELIUS MAULOKO
NPM: 1506800716
KELAS A EKSTENSI 2015

A. UNTUK MEMAHAMI PROSES PENGOBATAN, TERLEBIH DAHULU KITA LIHAT


PROSES PATOFISIOLOGI DEMAM REMATIK

B. FARMAKOLOGI KLIEN DENGAN DEMAM REMATIK


1. DIURETIKA
Efek obat ini adalah meningkatkan pengeluaran urine sehingga bisa menurunan
preload jantung. Indikasi diuretika: gagal jantung kongestif, edema paru, hipertensi.

Golongan diuretika dibagi atas empat golongan:

a. Golongan Thiazid: Thiazide, chlorthalidon.


b. Golongan Diuretika Loop of Hennle : Furosemide.
c. Golongan diuretika hemat kalium: Spironolactone
d. Golongan diuretika osmotic : Manitol, Gliserol.

Dosis diuretika tergantung efek diuresis yang dikehendaki, Efek sampingnya adalah
dehidrasi, hipokalemia, dan/ atau hiponatremia

Peran perawat: mengobservasi intake dan output cairan secara ketat, cek kadar
elektroit secara berkala atau sesuai indikasi, meimbang berat badan klien setiap hari
atau menilai derajat edema.

2. DIGOKSIN
Obat golongan ini diberikan dengan tujuan untuk mempertahankan denyut ventrikel
saat fase istirahat jantung (repolarisasi).

Indikasi: Distrimia Supraventrikular (Atrial Flutter, Atrial Fibrilasi, atau Atrial


Tachycardia). Dosis : biasanya 0,125 0,25 mg/hari tergantung pada usia, berat badan
dan fungsi ginjal.

Efek sampingnya Dapat menimbulkan toksisitas pada pasien yang mengalami


hipokalemia

Peran perawat:

a. Cek irama dan frekuensi denyut jantung sebelum pemberian. Jika denyut jantung
kurang dari 60 bpm atau didapatkan gejala mual atau muntah, maka pemberian
b. Pantau secara ketat kadar digitalis.
c. Hati-hati terhadap klien yang mengalami hipokalemia atau gagal ginjal.

3. Beta blocker
Obat golongan ini adalah obat yang bekerja memblokir reseptor sehingga
mengurangi aktivitas sistem otonom simpatis. Jika bekerja pada reseptor sehingga
mempunyai efek pada miokard berupa hal-hal sebagai berikut:
1. Menurunkan daya kontraktilitas miokard.
2. Memperlambat penyaluran impuls dari SA node ke AV node (kronotropik negatif)
sehingga menurunkan denyut jantung.

Jika bekerja pada reseptor 2 akan mempunyai mempunyai efek pada otot polos
bronkial (bronkokonstriksi) dan vaskuler perifer (vasokonstriksi perifer).

Mekanisme kerja golongan ini adalah sebagai berikut:


1. Kardioselektif (efek kerja obat hanya pada miokard).
2. Non kardioselektif (efek kerja obat pada bronkus dan pembuluh darah perifer).

Efek samping yang dapat timbul saat mengkonsumsi obat ini adalah AV Block,
bronkospasme, gagal jantung, depresi.

Hal-hal yang harus diperhatikan perawat adalah sebagai berikut:

1. Periksa tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, EKG, rontgen toraks).
2. Hindari hipotensi postural.
3. Waspada dan awasi gejala gagal jantung.

4. ANTIKOAGULAN (Heparin atau Syntrom)

Efek yang dapat timbul saat mengkonsumsi obat golongan inni adalah menghambat
pembekuan darah.

Dosis yang dapat digunakan adalah:

1. Heparin : IV bolus 2000 IU, drip 1000 IU/jam atau sesuai dengan hasil APTT.
2. Syntrom 2-20 mg/ hari atau sesuai dengan waktu pembekuan.
3. Anti-agregasi Platelet (antiplatelet): Asam Salisilat (Aspirin/ Aspilet) dengan dosis
50-300 mg/ hari.

Indikasi dari obat golongan ini adalah bila ada ancaman terjadinya embolisasi
sistemik.

Efek samping yang dapat timbul dari mengkonsumsi obat tersebut adalah dapt terjadi
perdarahan.

Peran perawat: Cek faktor pembekuan sebelum, selama dan sesudah terapi, observasi
tanda perdarahan, menghindari trauma pada klien.

C. PEMBEDAHAN
Klasifikasi indikasi diagnosis prosedur terapi, sebagai berikut:
1. Kelas I : keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan umumm bahwa prosedur
atau pengobatan itu bermanfaat dan efektif.
2. Kelas II : keadaan di mana terdapat konflik / perbedaan pendapat tentang manfaat
atau efikasi dari suatu prosedur atau pengobatan.
a.II.a. bukti atau pendapat lebih kearah bermanfaat atau efektif.
b. II.b. kurang / tidak terdapat bukti adanya manfaat atau efikasi.
3. Kelas III : keadaan dimana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur
atau pengobatan itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus berbahaya.

Saat ini banyak berkembang teknik-teknik untuk mengoreksi deformitas katup mitralis.
Pasien dapat menjalani (1) valvotomi mitralis (valvulotomi), (2) penggantian katup
mitralis (3) perbaikan katup mitralis.

Mitral stenosis diindikasikan pada pasien dengan gejala fungsional New York Heart
Association (NYHA) grade II-IV.

Mitral valvulotomi dapat dilakukan dengan 2 teknik: PMBV dan bedah valvotomi.Katup
mitralis stenotik dapat diperlebar dengan pendekatan perkutan atau pembedahan
transventrikular.

Tindakan operasi transventrikular memisahkan daun katuap tepat pada tempa menyatunya
daun-daun katup disepanjang komisura.
Prosedur mitral meliputi:

1. Memasukkan satu atau dua buah kateter ke atrium kanan, malalui septum atrial ke
atrium kiri, melintasi katup mitral ke ventrikel kiri dan keluar ke dalam aorta.
2. Kateter dimasukkan dengan bimbingan kawat penunjuk yang diletakkan melalui tiap
kateter dan kemudian keteter diposisikan hingga balon melintang di katup mitral.
3. Balon kemudian dikembangkan dengan larutan angiografi cair. Bila digunakan dua
balon, mereka dikembangkan secara bersamaan.
4. Kelebihan dua balon adalah masing-masing lebih kecil dibanding satu balon besar
yang biasa digunakan, sehingga defek septum atrial yang terjadi juga lebih kecil.
5. Selain itu, saat balon dikembangkan katup mitral akan tertutup, sehingga
memungkinkan sebagian aliran darah mengalir ke depan selama periode
pengembangan balon.

Semua pasien akan mengalami regugitasi sampai tahap tertentu setelah prosedur ini.

Kemungkinan komplikasi lain meliputi perdarahan pada tempat masuk kateter, emboli
yang dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, dan defek septum atrial akibat
prosedur pintasan atrium kiri ke kanan meskipun hal ini jarang terjadi.

Keberhasilan pada pasien muda (<45 tahun) dengan katub yang kelenturan yang tinggi
sebesar 80-90% bertahan selama 3-7 tahun.

Oleh karena itu, PMBV menjadi prosedur pilihan pada pasien bila dapat dilakukan oleh
operator yang terampil pada pusat kedokteran.
REFERENSI

Kumar, V., Abbas, K., Aster, J. (2013). ROBBINS BASIC PATHOLOGY. Philadephia:
ELSEVIER SAUNDERS.

Morrow, D. (2006). CARDIOVASCULAR BIOMARKERS: Pathophysiology and Disease


Management. New Jersey: Humana Press Inc.

Whalen, K. (2015). Pharmacology. 6Th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.

Anda mungkin juga menyukai