Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filariasis
2.1.1 Definisi
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan
penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria, yang hidup di
saluran dan kelenjar getah bening (sistem limfatik) dan dapat menyebabkan gejala
klinis akut dan atau kronis. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk
(Depkes RI, 2005).
2.1.2 Penyebab
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu :
a. Wuchereria bancrofti
Penyakit filariasis akibat Wuchereria bancrofti disebut Wuchereriasis atau
Filariasis bancrofti. Hospesnya adalah manusia dan vektornya adalah nyamuk Culex
pipianfatigans, di perkotaan nyamuk Aedes, dan Anopheles di daerah pedesaan. Cara
infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva stadium 3. Morfologi
cacing dewasa bentuknya seperti benang, warna putih susu. Cacing jantan panjangnya
40 mm, ekor melingkar mempunyai 2 spikula, warna putih, sedangkan cacing betina
panjangnya 65 100 mm, ekor lurus, ujung tumpul.
b. Brugia malayi
Penyakit filariasis akibat Brugia malayi disebut Brugiasis atau Filariasis
malayi. Hospesnya adalah manusia, anjing, kucing dan kera. Vektornya adalah
nyamuk Anopheles. Cara infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung
larva stadium 3. Morfologi cacing dewasa bentuknya halus seperti benang, warnanya
putih susu, cacing betina panjangnya 55 mm, ekor lurus, sedangkan cacing jantan
ukurannya lebih kecil dari cacing betina (23 mm) dan ekornya melengkung ke arah
ventral.
c. Brugia timori
Penyakit filariasis akibat Brugia timori disebut Brugiasis atau Filariasis
timori. Hospesnya adalah manusia dan vektornya adalah nyamuk Anopheles
barbirostis. Cara infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva
stadium 3. Morfologi cacing dewasa bentuknya halus seperti benang berwarna putih
susu. Cacing betina panjangnya 40 mm dan ekornya lurus sedangkan cacing jantan
ukurannya lebih kecil dari cacing betina (23 mm) dan ekornya melengkung ke arah
ventral.
2.1.3 Daur Hidup
Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Filaria
Daur hidup cacing filaria yaitu ketika insekta (nyamuk) menghisap darah
yang mengandung mikrofilaria, dalam beberapa jam kemudian mikrofilaria
menembus dinding usus tengah nyamuk mencari jalan ke otot toraks dan mengalami
metamorfosis dari bentuk larva ke bentuk filarial. Beberapa minggu kemudian
mikrofilaria memasuki tahap infeksius. Ketika nyamuk kembali menggigit manusia,
terjadi pemindahan larva yang infeksius melalui kulit ke hospes yang baru. Di sini
larva tumbuh jadi dewasa.
Periodisitas mikrofilaria dalam darah bervariasi tergantung pada spesiesnya.
Periodisitas nokturna adalah karakteristik pada mikrofilaria Wuchereria bancrofti di
belahan bumi sebelah barat. Mikrofilaria umumnya ditemukan di malam hari,
jumlahnya bertambah mencapai maksimum di malam hari dan kemudian bersarang
sampai minimum pada tengah hari. Mikrofilaria berada pada siang hari dalam
pembuluh darah paru-paru, jantung dan otot, dalam aorta dan karotid. Pada malam
hari mikrofilaria bermigrasi ke saluran darah perifer.
2.1.4 Patologi dan Simptomatologi
Simptom filarial disebabkan oleh cacing dewasa, baik yang hidup, mati dan
mengalami degenerasi. Mikrofilaria yang berada sekitar satu tahun setelah infeksi
tidak memperlihatkan patologi atau sedikit sekali. Cacing dewasa berada dalam
saluran limfe yang berdilatasi atau dalam sinus jaringan limfe.
Kemungkinan hasil infeksi filariasis dapat diklasifikasikan menjadi 3 bentuk :
a. Filariasis Asimptomatik
Di daerah endemik, anak-anak mudah terserang. Mereka mempunyai
mikrofilaria dalam darahnya tanpa simptom. Pada waktu cacing dewasa mati dan
mikrofilaria menghilang maka pasien bebas dari infeksi.
b. Filariasis Inflammatory
Infeksi filaria inflammatory adalah suatu fenomena alergi yang disebabkan
karena sensitivitas terhadap produk cacing-cacing hidup atau mati. Kelenjar limfe
genetalis yang terutama menderita efeknya. Pada pria umumnya terjadi limfangitis
akut dari korda spermatika (funikulitis) dengan penebalan atau pembesaran korda dan
lembut, epididimis, orokhitis dan oedem skrotum. Kadang-kadang terjadi serangan
akut yang serupa dan berlangsung dalam interval beberapa bulan atau lebih lama pada
pasien, dengan atau tanpa terjadinya elephantiasis. Biasanya efeknya menunjukkan
anggota badan jadi merah, panas dan sakit.
c. Filariasis Obstruktif (penyumbatan)
Elephantiasis adalah hasil akhir yang dramatis pada filariasis. Filariasis
obstruktif tumbuh perlahan-lahan biasanya berlangsung bertahun-tahun dengan
infeksi yang terus menerus. Pada stadium kronis reaksi seluler dan oedem ditempati
kembali oleh hyperplasia fibroblastic, absorpsi dan pergantian tempat parasit oleh
jaringan granulasi proliferatif dan menyebabkan berbagai pelebaran limfe. Protein
tinggi (high protein) mengisi limfe, karena stimulasi pertumbuhan kulit dan jaringan
ikat kolagen dan secara berangsur-angsur dalam periode beberapa tahun. Efek
pembengkakan bertambah keras dan terjadi elephantiasis kronis.
Penyumbatan duktus torasikus atau saluran limfe median abdominal dapat
membawa efek terhadap skrotum dan penis dari pasien pria dan genita luar dari
wanita. Elephantiasis umumnya memengaruhi atau memberi efek pada kaki dan
genitalia. Berat elephantiasis pada skrotum dapat mencapai 25 kg.

2.1.5 Gejala dan Diagnosis Klinis


Apabila seseorang terserang filariasis akut, maka gejala yang tampak adalah :
a. Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, demam dapat hilang bila si
penderita istirahat dan muncul lagi setelah si penderita bekerja berat.
b. Pembengkakan kelenjar getah bening sehingga terlihat bengkak di daerah
lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
c. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan merasa panas.
Gejala klinis filariasis kronis yaitu berupa pembesaran yang menetap
(Elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, dan buah zakar (elephantiasis
skroti). Diagnosis klinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis darah
yang diambil malam hari. Menurut metode ini akan ditemukan mikrofilaria.
2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan
Prinsip pencegahan filariasis adalah melakukan pengobatan massal pada
penduduk yang hidup di daerah endemis filariasis, pengobatan terhadap pendatang
yang berasal dari daerah non endemik filariasis dan pengendalian nyamuk yang
menjadi vektor penularnya sesuai dengan daerah targetnya. Selain itu, memperbaiki
lingkungan agar bebas vektor serta mencegah gigitan nyamuk, menggunakan
repellent atau kelambu waktu tidur juga dapat meningkatkan upaya pencegahan
penyebaran penyakit ini.
Untuk pengobatan, obat yang pada saat ini banyak digunakan untuk filariasis
bancrofti adalah DEC dengan dosis 3x2mg/kg berat badan/hari, selama 4 minggu.
Pemberian DEC hanya ditujukan untuk mengobati tahap mikrofilaria, tahap filariasis
akut, untuk mengobati kiluria, limfedema, dan tahap awal elephantiasis. Pengobatan
dengan antihistamin serta pemberian obat-obat simptomatik, analgetik dan antipretik
dapat diberikan sesuai dengan keluhan penderita dan gejala penyakit yang terjadi.
Apabila telah terjadi hidrokel atau elephantiasis yang lanjut, penanganan filariasis
hanya dapat dilakukan melalui pembedahan.
2.2 Program Eliminasi Filariasis (Depkes RI, 2005)
Eliminasi filariasis adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis
sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Program eliminasi filariasis di Indonesia dilaksanakan dengan
pengobatan massal filariasis dan penatalaksanaan kasus filariasis.
Pengobatan massal filariasis adalah pemberian obat kepada semua penduduk
di daerah endemis filariasis dengan DEC, Albendazole dan Paracetamol sesuai
takaran, setiap tahun sekali minimal selama 5 tahun berturut-turut, yang bertujuan
untuk menghilangkan sumber penularan dan memutuskan mata rantai penularan
filariasis, sedangkan tatalaksana kasus filariasis adalah pengobatan dan perawatan
penderita klinis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan
membatasi kecacatan. Perawatan penderita lebih ditekankan pada perawatan mandiri
dan seumur hidup.
Adapun tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020, sedangkan
tujuan khusus dari program eliminasi filariasis adalah menurunnya angka mikrofilaria
(Mf rate) menjadi kurang dari 1% dan mencegah serta membatasi kecacatan karena
filariasis.
2.2.1 Kebijakan
Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional program
pemberantasan penyakit menular. Pelaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia
dilaksanakan dengan menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari
WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi
kecacatan serta mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara.
Adapun satuan lokasi pelaksanaan (Implementation Unit) eliminasi filariasis adalah
kabupaten/kota.
2.2.2 Strategi
Stategi yang digunakan yaitu (1) Memutuskan rantai penularan filariasis
melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis; (2)Mencegah dan membatasi
kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis; (3) Pengendalian vektor
secara terpadu; (4) Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara; (5)
Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian.
2.2.3 Kegiatan Pokok
Meningkatkan Promosi, yaitu (1) Meningkatkan pengetahuan, sikap dan
prilaku masyarakat, perorangan atau lembaga kemasyarakatan, agar berperan aktif
dalam upaya eliminasi filariasis dan (2) Pengembangan pesan promosi yang
mendukung peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya
eliminasi filariasis
Pengembangan Sumber Daya Manusia Filariasis, yaitu (1) Memperkuat
kemampuan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program eliminasi
filariasis, baik melalui pendidikan, pelatihan, sosialisasi, distribusi informasi dan
penyelenggaraan seminar eliminasi filariasis dan (2) Prioritas pendidikan dan
pelatihan tenaga profesional adalah tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga
epidemiologi, tenaga entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan daerah.
Menyempurnakan Tata Organisasi, yaitu (1) Pembentukan Task Force
Eliminasi Filariasis dan Kelompok Kerja Eliminasi Filariasis di pusat dan daerah; (2)
Pengembangan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor; (3) Penyempurnaan
pedoman pelaksanaan program eliminasi filariasis; (4) Mendorong terbentuknya
lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) peduli filariasis.
Meningkatkan Kemitraan, yaitu dengan (1) Inventarisasi dan merumuskan
kerjasama lembaga mitra; (2) Prioritas kerjasama antara program eliminasi filariasis
dengan program pemberantasan kecacingan, kusta, pengendalian vektor dan program
lain yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas program eliminasi filariasis;
(3) Prioritas kerjasama antar sektor adalah program Usaha Kesehatan Sekolah
terutama dalam rangka penemuan kasus dan pengobatan massal, serta lembaga mitra
pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, media massa, dan lain sebagainya; (4)
Kerjasama dengan lembaga donor nasional dan internasional serta dunia usaha.
Meningkatkan Advokasi, yaitu (1) Meningkatkan advokasi para penentu
kebijakan untuk mendapatkan dukungan komitmen, tersusunnya peraturan
perundangan, serta terlaksananya program eliminasi filariasis dengan dukungan
anggaran, sumber daya manusia, dan sarana penunjang lainnya yang memadai serta
penggerakan semua potensi yang ada di pusat dan daerah; (2) Prioritas advokasi
adalah para menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan terkait, Gubernur, Bupati,
Walikota, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, badan dan dinas terkait
di provinsi dan kabupaten/kota, Komisi Kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota,
pimpinan lembaga sosial kemasyarakatan, dunia usaha, media massa dan lembaga
donor.
Pemberdayaan Masyarakat, yaitu (1) Menumbuhkembangkan norma
kemasyarakatan yang berdaya guna dan mandiri dalam upaya eliminasi filariasis; (2)
Pemberdayaan masyarakat diutamakan dalam penemuan dan perawatan penderita
klinis filariasis serta pelaksanaan pengobatan massal filariasis dengan sasaran
prioritas pemberdayaan adalah penderita dan keluarganya, tokoh masyarakat, guru,
tenaga kesehatan (medis dan paramedis praktek swasta), penyandang dana lokal dan
masyarakat luas.
Memperluas Jangkauan Program, yaitu (1) Melaksanakan tahapan kegiatan
eliminasi filariasis agar tercapai tujuan eliminasi filariasis tahun 2020; (2) Perluasan
jangkauan program eliminasi filariasis dengan pendekatan kepulauan, pendekatan
lintas batas administrasi pemerintahan, dan pendekatan kawasan epidemiologi
filariasis; (3) Melaksanakan upaya pengendalian vektor secara terpadu, terutama
dengan program pemberantasan malaria dan demam berdarah dengue.
Memperkuat Sistem Informasi Strategis, yaitu (1) Mengembangkan sistem
surveilans eliminasi filariasis yang mampu mendukung perencanaan, pengendalian
dan evaluasi program eliminasi filariasis; (2) Mengembangkan sistem surveilans
eliminasi filariasis kabupaten/kota yang terintegrasi dalam sistem surveilans eliminasi
filariasis provinsi dan nasional serta dalam sistem surveilans epidemiologi kesehatan;
(3) Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia.
2.2.4 Pengorganisasian
Pengorganisasian dilaksanakan agar semakin memperkuat kemampuan unitunit
pelaksana program eliminasi filariasis di pusat dan daerah dengan tugas pokok
dan fungsi yang jelas.
Pada pengorganisasian di pusat, Kementerian Kesehatan merupakan
pengendali utama program eliminasi filariasis di pusat yang mempunyai tugas
sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan nasional eliminasi filariasis; (2)
Menetapkan tujuan dan strategi nasional eliminasis; (3) Melaksanakan pengendalian
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program eliminasi filariasis dengan
memperkuat komitmen dan mobilisasi sumber daya yang ada; (4) Memperkuat
kerjasama antar program di lingkungan Kementerian Kesehatan, kerjasama antar
Departemen/Kementerian serta kerjasama lembaga mitra lainnya secara nasional,
juga bilateral antar negara dan lembaga internasional; (5) Menyediakan obat yang
dibutuhkan dalam rangka pengobatan massal filariasis, terutama DEC, Albendazole
dan Paracetamol; (6) Menyusun dan menetapkan pedoman umum dan teknis program
eliminasi filariasis nasional; (7) Melaksanakan pelatihan nasional eliminasi filariasis,
terutama pelatihan fasilitator pelatihan teknis operasional eliminasi filariasis; (8)
Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di
provinsi; (9) Melaksanakan penelitian dalam pengembangan metode eliminasi
filariasis yang lebih efektif dan efesien; (10) Membentuk National Task Force (NTF)
eliminasi filariasis yang bertugas memberi masukan kepada pemerintah terhadap
aspek kebijakan dan aspek teknis eliminasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan
eliminasi filariasis serta advokasi dan sosialisasi para penentu kebijakan di pusat
maupun daerah; (11) Membentuk Kelompok Kerja Eliminasi Filariasis; (11) Unit
Pelaksana Teknis Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit
Menular (BTKL-PPM) melaksanakan tugas surveilans epidemiologi dan
laboratorium eliminasi filariasis regional.
Pada pengorganisasian di provinsi, Dinas Kesehatan Provinsi merupakan
pengendali utama program eliminasi filariasis di tingkat provinsi yang mempunyai
kewenangan tugas sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan eliminasi filariasis
provinsi; (2) Menetapkan tujuan dan strategi eliminasi filariasis di tingkat provinsi;
(3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program
eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen, mobilisasi sumber daya provinsi;
(4) Memperkuat kerjasama lintas program dan lintas sektor serta kerjasama lembaga
mitra kerja lainnya di provinsi; (5) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis
program eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (6) Melaksanakan pelatihan eliminasi
filariasis di provinsi, terutama pelatihan fasilitator pelatihan teknis operasional
eliminasi filariasis; (7) Melaksanakan pemetaan dan penetapan daerah endemis
filariasis serta survei evaluasi pengobatan masal filariasis; (8) Membentuk Provincial
Task Force eliminasi Filariasis.
Pada pengorganisasian di kabupaten/kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
merupakan pengendali utama program eliminasi filariasis di tingkat kabupaten/kota
yang mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan
eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (2) Menetapkan tujuan dan strategi eliminasi
filariasis di tingkat kabupaten/kota (3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi program eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen,
mobilisasi sumber daya kabupaten/kota; (4) Memperkuat kerjasama lintas program
dan lintas sektor serta kerjasama lembaga mitra kerja lainnya di kabupaten/kota; (5)
Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di
puskesmas, rumah sakit dan laboratorium daerah; (6) Melaksanakan pelatihan
eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (7) Melaksanakan evaluasi cakupan POMP
filariasis dan penatalaksanaan kasus klinis kronis filariasis di daerahnya; (8)
Membentuk District Task Force eliminasi filariasis; (9) Mengalokasikan anggaran
biaya operasional dan melaksanakan POMP filariasis; (10) Mengalokasikan anggaran
dan melaksanakan pengobatan selektif, penatalaksanaan kasus reaksi pengobatan, dan
penatalaksanaan kasus klinis filariasis; (11) Mengkoordinir dan memastikan
pelaksanaan tugas puskesmas sebagai pelaksana operasional program eliminasi
filariasis kabupaten/kota.
2.2.5 Langkah-langkah Eliminasi
a. Pentahapan Kabupaten/Kota
1. Penemuan Kasus Klinis Filariasis
Setiap kabupaten/kota mengumpulkan data kasus klinis filariasis yang
dilakukan pemutakhiran secara teratur setiap akhir tahun. Data ini merupakan data
dasar penetapan endemisitas daerah, lokasi survei data dasar (baseline survey),
penetapan prioritas daerah, pelaksana kegiatan penatalaksanaan kasus klinis filariasis
dan evaluasi program eliminasi filariasis.
Secara operasional, penemuan kasus klinis filariasis dilaksanakan oleh
puskesmas dengan melaksanakan kegiatan (1) Kampanye penemuan dan
penatalaksanaan kasus klinis filariasis; (2) Mendorong penemuan dan pelaporan
kasus oleh masyarakat, kepala desa, PKK, guru dan pusat-pusat pelayanan kesehatan;
(3) Pemeriksaan dan penetapan kasus klinis filariasis; (4) Perekaman dan pelaporan
data kasus klinis filariasis.
2. Penentuan Endemisitas Filariasis di Kabupaten/Kota
Daerah endemis filariasis menjadi prioritas penyelenggaraan eliminasi
filariasis di kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Penentuan endemisitas filariasis di
kabupaten/kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (1) Kabupaten/kota
yang memiliki kasus klinis filariasis melaksanakan survei mikrofilaria (Survei Darah
Jari) di desa dengan jumlah kasus klinis filariasis terbanyak. Mf rate 1% atau lebih
merupakan indikator kabupaten/kota endemis filariasis; (2) Kabupaten/kota yang
terdapat kasus klinis filariasis, berdekatan atau berada di antara dua daerah endemis
filariasis dan memiliki geografi serta budaya masyarakat yang kurang lebih sama
dengan daerah endemis filariasis ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis
filariasis; (3) Penentuan kabupaten/kota endemis ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur.
3. Survei Data Dasar Sebelum Pengobatan Massal Filariasis
Kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis
filariasis dan akan melaksanakan pengobatan massal perlu melakukan survei data
dasar di minimal 2 desa berdasarkan jumlah kasus klinis terbanyak.
4. Pengobatan Massal Filariasis
Pengobatan massal dilakukan pada semua penduduk kabupaten/kota, sekali
setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut. Pengobatan massal dapat dilakukan
serentak pada seluruh wilayah kabupaten/kota atau secara bertahap per kecamatan
sesuai dengan kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk
kegiatan pengobatan massal. Pengobatan massal secara bertahap harus dapat
diselesaikan di seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar infeksi
tidak terjadi.
5. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring cakupan pengobatan massal dilaksanakan setiap tahun setelah
pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilaksanakan sebelum
pengobatan massal tahun ketiga dan kelima.
6. Sertifikasi Eliminasi Filariasis
Setifikasi dilakukan setelah pengobatan massal tahun kelima. Sertifikasi
adalah penilaian untuk menentukan apakah kabupaten/kota telah berhasil
mengeliminasi filariasis.
7. Penatalaksanaan Kasus Klinis
Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan terhadap semua kasus klinis
ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan. Penatalaksanaan kasus
dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan.
8. Penatalaksanaan Kasus Asimptomatis
Setiap orang sehat yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat
pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak menjadi
sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya.
9. Pengendalian Vektor
Pengendalian nyamuk sebagai vektor penular filariasis dilaksanakan untuk
memutus rantai penularan. Dilaksanakan secara terpadu dengan pengendalian vektor
penyakit malaria, demam berdarah dan pengendalian vektor lainnya.
Kabupaten/kota endemis rendah filariasis adalah kabupaten/kota yang terdapat
penderita filariasis
b. Pentahapan Provinsi
1. Provinsi bertugas untuk menentukan endemisitas filarias
kabupaten/kota yang ada diwilayahnya yang diharapkan selesai tahun 2006
2. Provinsi mendorong perluasan pelaksanaan eliminasi filariasis sehingga
semua kabupaten/kota endemis filariasis melaksanakan program eliminasi.
Pada tahun 2014, semua
melaksanakan pengobatan massal
3. Melaksanakan kerjasama lintas batas kabupaten/kota
Mf rate <1%.
kabupaten/kota endemis filariasis telah selesai
c. Pentahapan Nasional
1. Mendorong perluasan jangkauan program ke seluruh provinsi.
2. Mendorong kerjasama lintas batas antar provinsi.
3. Mendorong kerjasama lintas batas dengan negara lain.
4. Pada tahun 2014, semua kabupaten/kota endemis filariasis telah
melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima.
5. Prasertifikasi eliminasi filariasis dilakukan tahun 2015 2020.
Secara skematis, agenda eliminasi filariasis Indonesia dapat dilihat pada tabel
berikut :
d. Pendekatan Perluasan Program
Pendekatan ini perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya reinfeksi daerah
yang sudah eliminasi.
1. Pendekatan kepulauan. Perluasan jangkauan program eliminasi filariasis
dilakukan dengan mengutamakan pelaksanaan pengobatan massal secara
serentak pulau per pulau.
2. Pendekatan lintas batas. Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan
daerah yang berbatasan langsung dengan daerah yang sedang melaksanakan
pengobatan massal.
3. Pendekatan blok. Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan blok
per blok daerah yang mempunyai kesamaan geografis, budaya, mobilitas
penduduk atau secara epidemiologi mudah terjadi penularan.
2.2.6 Sumber Dana dan Sarana
Pemerintah pusat dan daerah menggalang setiap sumber pendanaan
pemerintah, lembaga kemasyarakatan, kerjasama antarnegara dan lembaga
internasional. Adapun sumber dana dan sarana dalam program eliminasi filariasis
yaitu :
a. Biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal filariasis di kabupaten/kota,
puskesmas dan penggerakan masyarakat bersumber dari alokasi anggaran di
kabupaten/kota dan kerjasama di kabupaten/kota.
b. Pengadaan obat-obatan dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis
bersumber dari pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk obat DEC dan
Paracetamol, dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk obat Albendazole.
c. Alokasi anggaran dan pelaksanaan pengobatan selektif, penatalaksanaan
reaksi pengobatan massal filariasis bersumber dari anggaran pemerintah
kabupaten/kota.
d. Pemetaan, survei cakupan pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi
mikrofilaria bersumber dari alokasi anggaran pemerintah provinsi.
e. Untuk penatalaksanaan kasus klinis filariasis, biaya operasional dan logistik
obat serta sarana penunjang lainnya bersumber dari alokasi anggaran
pemerintah kabupaten/kota.
2.2.7 Indikator Kinerja
Indikator kinerja program eliminasi filariasis adalah sebagai berikut :
a. Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis.
b. Persentase kasus yang ditangani per tahun (> 90%).
2.3 Pengobatan Massal Filariasis (Depkes RI, 2005)
Dalam rangka eliminasi filariasis, tujuan pengobatan massal adalah untuk
memutus transmisi filariasis dengan menurunkan Mf rate menjadi <1% dan
menurunkan kepadatan rata-rata mikrofilaria.
Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap semua penduduk
yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi pengobatan untuk sementara ditunda
bagi (1) anak-anak berusia kurang 2 tahun; (2) Ibu hamil; (3) Orang yang sedang
sakit berat; (4) Penderita kasus kronis filariasis sedang dalam serangan akut; (5)
Balita dengan marasmus atau kwashiorkor.
2.3.1 Jenis Obat dan Cara Pemberian
Jenis obat yang diberikan dalam pengobatan massal filariasis yaitu :
a. Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
DEC mempunyai pengaruh yang cepat terhadap mikrofilaria. Dalam beberapa
jam mikrofilaria di sirkulasi darah mati. Cara kerja DEC adalah melumpuhkan otot
mikrofilaria sehingga tidak dapat bertahan di tempat hidupnya dan mengubah
komposisi dinding mikrofilaria menjadi lebih mudah dihancurkan oleh sistem
pertahanan tubuh hospes. DEC juga dapat menyebabkan matinya sebagian cacing
dewasa. Cacing dewasa yang masih hidup dapat dihambat perkembangbiakannya
selama 9 12 bulan.
Setelah diminum, DEC dengan cepat diserap oleh saluran cerna dan mencapai
kadar maksimal dalam plasma darah setelah 4 jam dan akan dieksresikan seluruhnya
melalui urin dalam waktu 48 jam.
b. Albendazole
Albendazole dikenal sebagai obat yang digunakan dalam pengobatan cacing
usus (cacing gelang, cacing kremi, cacing cambuk dan cacing tambang). Albendazole
juga dapat meningkatkan efek DEC dalam mematikan cacing filaria dewasa dan
microfilaria tanpa menambah reaksi yang tidak dikehendaki. Di daerah endemis
filariasis, seringkali prevalensi cacing usus cukup tinggi, sehingga penggunaan
Albendazole dalam pengobatan massal filariasis juga akan efektif mengendalikan
prevalensi cacing usus.
c. Obat Reaksi Pengobatan
Untuk mengatasi adanya reaksi pengobatan digunakan Parasetamol, CTM,
Antasida doen, salep antibiotika, infus set, cairan infus ringer laktat, antibiotika oral,
vitamin B6, kortikosteroid injeksi, adrenalin injeksi.
Cara pemberian obat massal menggunakan obat DEC, Albendazole dan
Paracetamol diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun. DEC diberikan 6
mg/KgBB, Albendazole 400 mg untuk semua golongan umur dan Paracetamol 10
mg/KgBB sekali pemberian. Sebaiknya obat diminum sesudah makan dan di depan
petugas.
2.3.2 Perencanaan Pengobatan Massal di Kabupaten/Kota
a. Menyiapkan Data Dasar dan Menghitung Kebutuhan Obat Serta
Logistik Lainnya
Persiapan yang perlu dilakukan yaitu (1) Melaksanakan survei data dasar
sebelum pengobatan massal di dua desa dengan jumlah kasus terbanyak. Survei ini
dilaksanakan sesuai dengan metode survei darah jari; (2) Menyiapkan data jumlah
penduduk di tiap desa menurut golongan umur; (3) Menghitung kebutuhan obat dan
logistik lainnya.
b. Pertemuan Koordinasi Kabupaten/Kota
Tujuan pertemuan koordinasi kabupaten/kota yaitu mendapatkan kesepakatan
dengan puskesmas untuk melaksanakan pengobatan massal. Peserta terdiri dari
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan program terkait serta kepala puskesmas
dan pengelola program filariasis puskesmas. Materi bahasan yaitu tinjauan ulang
Universitas Sumatera Utara
30
program eliminasi filariasis dan rencana pengobatan massal filariasis, meliputi jumlah
sasaran, jumlah TPE, kebutuhan obat dan bahan serta sarana, pendanaan pengobatan
massal. Waktu pelaksanaan adalah dua bulan sebelum pengobatan massal.
c. Advokasi Kabupaten
Tujuannya adalah memperoleh dukungan pelaksanaan pengobatan massal
serta menjelaskan reaksi pengobatan dan memperoleh dukungan politis dan dana
pengobatan massal tahun berikutnya. Sasaran adalah Bupati/walikota, Bappeda,
DPRD, Dinas terkait, Camat, PKK, Ormas dan pengelola media massa. Waktu
pelaksanaan dua bulan sebelum pengobatan massal di kabupaten/kota.
Metode yang digunakan yaitu (1) Pertemuan dengan bupati/walikota dan
camat untuk melaporkan rencana kegiatan pengobatan massal filariasis; (2) Rapat
koordinasi kabupaten/kota dan kecamatan dan pertemuan-pertemuan lainnya yang
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan advokasi dan sosialisasi tersebut; (3) Membuat
surat instruksi bupati/walikota tentang pelaksanaan pengobatan massal kepada camat
dan dinas terkait (dinas pendidikan, dinas informasi, badan pemberdayaan
masyarakat, dan lain-lain).
d. Pertemuan Koordinasi Kecamatan
Peserta terdiri dari camat, lintas sektor terkait, kepala puskesmas, kepala
desa/lurah, Toma, Toga, LSM dan Ormas. Bahan yang diperlukan yaitu kit media
penyuluhan filariasis. Waktu pertemuan koordinasi dilaksanakan selama satu hari, 1-2
minggu sebelum pelatihan TPE (Tenaga Pelaksana Eliminasi).
e. Sosialisasi
Tujuan yaitu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat
tentang pengobatan massal filariasis sehingga semua penduduk melaksanakan
pengobatan (cakupan pengobatan massal tinggi) dan menyikapi dengan benar apabila
apabila terjadi reaksi pengobatan. Waktu yaitu selama satu bulan terus menerus
menjelang pengobatan massal.
Sasaran adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, LSM, dan masyarakat
umum, dengan metode (1) Menyelenggarakan pertemuan sosialisasi pengobatan
massal; (2) Penyuluhan langsung; (3) Sosialisasi di tempat-tempat umum, institusi
pendidikan, tempat kerja, posyandu; (4) Penyuluhan tidak langsung; (5) Media
elektronik (radio, tv, film, vcd, dll); (6) Media cetak (poster, leaflet, stiker, koran,
dll).
f. Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) Filariasis
Setiap TPE bertanggung jawab untuk 20-30 KK (100-150 orang) tergantung
kondisi daerah masing-masing. Setiap TPE mendapat 1 paket bahan pelatihan yang
terdiri dari buku pedoman TPE, kit media penyuluhan filariasis, kartu pengobatan,
formulir pelaporan pengobatan massal TPE dan alat tulis.
Penyelenggaraan pelatihan diadakan 1 minggu sebelum pelaksanaan
pengobatan selama 1 hari. Pelatihan dilaksanakan berkelompok, dengan peserta 30
TPE per kelompok. Pelatih adalah petugas puskesmas terlatih. Adapun materi
pelatihan yaitu (1) Pengertian filariasis yang meliputi gejala dan tanda filariasis,
penyebab dan cara penularan filariasis, pengobatan massal filariasis, pengenalan
reaksi pengobatan, pencegahan filariasis; (2) Kegiatan TPE dalam pelatihan eliminasi
filariasis antara lain pengisian kartu pengobatan, praktek pengisian formulir,
pelaporan pengobatan massal, menyusun rencana kegiatan.
Adapun rencana kegiatan TPE yaitu (1) Menetapkan wilayah kerja TPE; (2)
Menetapkan lokasi dan waktu pemberian obat; (3) Sensus penduduk, pendataan kasus
kronis filariasis; (3) Penyuluhan pengobatan massal; (4) Menyiapkan obat-obatan; (5)
Menyiapkan pelaksanaan pengobatan massal, misalnya menyiapkan ruangan, bahan
administrasi, dan lain-lain.
2.3.3 Pelaksanaan Pengobatan Massal
a. Persiapan
Persiapan pelaksanaan pengobatan massal dilaksanakan oleh Tenaga
Pelaksana Eliminasi (TPE). Adapun kegiatan penyiapan masyarakat dilaksanakan
dengan penyediaan bahan, alat dan obat dan mengunjungi warga dari rumah ke rumah
di wilayah binaan TPE untuk (1) Memberikan informasi kepada masyarakat tentang
tempat, waktu dan berbagai hal (antara lain makan dulu sebelum minum obat)
mengenai filariasis dan pengobatan massal; (2) Mengisi kartu pengobatan dan
formulir sensus penduduk binaan; (3) Menyeleksi dan mencatat penduduk yang
ditunda pengobatannya; (4) Pendataan kasus kronis filariasis.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan pengobatan massal dilakukan oleh TPE dibawah pengawasan
petugas kesehatan di pos-pos pengobatan massal. Adapun kegiatan yang dilakukan
yaitu (1) Menyiapkan pos pengobatan massal, obat, kartu pengobatan dan air minum
(masing-masing penduduk dapat membawa air minum); (2) Mengundang penduduk
untuk datang ke pos pengobatan yang telah ditentukan; (3) Memberikan obat yang
harus diminum di depan TPE dengan dosis yang telah ditentukan dan mencatatnya di
kartu pengobatan; (4) Mengunjungi penduduk yang tidak datang dari rumah ke
rumah; (5) Mencatat jenis efek samping pengobatan massal di kartu pengobatan dan
melaporkannya kepada petugas kesehatan; (6) Membuat laporan.
Obat DEC dan Albendazole adalah obat yang aman dan memiliki toleransi
yang baik tetapi kadang-kadang dapat terjadi reaksi pengobatan terutama pada infeksi
Brugia malayi dan Brugia timori. Reaksi yang terjadi dapat berupa reaksi umum dan
reaksi lokal.
Reaksi umum terjadi akibat respon imunitas individu terhadap matinya
mikrofilaria, makin banyak mikrofilaria mati makin besar reaksi yang dapat terjadi.
Reaksi umum terdiri dari sakit kepala, pusing, demam, mual, menurunnya nafsu
makan, muntah, sakit otot, sakit sendi, lesu, gatal-gatal, keluar cacing usus, dan asma
bronkial. Reaksi umum hanya terjadi pada 3 hari pertama setelah pengobatan massal.
Reaksi yang ringan biasanya dapat sembuh sendiri tanpa harus diobati.
Reaksi lokal disebabkan oleh matinya cacing dewasa yang dapat timbul
sampai 3 minggu setelah pengobatan massal. Reaksi yang terjadi berupa nodul di
kulit skrotum, limfadenitis, limfangitis, epididimitis, abses, ulkus.
Hal yang paling penting dalam pengobatan massal adalah penjelasan dan
pemahaman mengenai reaksi kepada penduduk agar penduduk tidak merasa takut dan
tidak menolak untuk diobati pada tahap selanjutnya. Penatalaksanaan reaksi yang
tidak tepat akan memberikan dampak yang lebih buruk terhadap masyarakat di daerah
endemis sehingga dapat mengganggu jalannya Program Eliminasi Filariasis.
Dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis perlu dilakukan antisipasi
menghadapi kemungkinan terjadinya reaksi pengobatan dengan mengadakan (1)
Pemberitahuan kepada masyarakat bahwa reaksi pengobatan dapat terjadi namun
persentasenya kecil; (2) Tempat memperoleh pertolongan yang diperlukan bila terjadi
reaksi pengobatan; (3) Puskesmas tempat dilaksanakannya pengobatan massal
memiliki stok obat reaksi pengobatan yang cukup; (4) Persiapan para dokter praktek
dan petugas paramedis lainnya di daerah dimana pengobatan massal dilaksanakan
agar mampu mengobati reaksi pengobatan dan memberikan penjelasan yang tepat
seperti penjelasan bahwa obat diminum sesudah makan dan peringatan untuk tidak
memberikan obat pada sasaran yang ditunda pengobatannya.
Adapun jenis obat reaksi pengobatan massal filariasis yaitu (1) Paracetamol
500 mg untuk mengatasi demam, sakit kepala, pusing, sakit otot; (2) CTM 4 mg
untuk mengatasi alergi dan gatal-gatal; (3) Antasida Doen untuk mengatasi gejala
mual dan muntah-muntah; (4) Salep antibiotika untuk mengobati abses dan ulkus; (5)
Amoksilin 500 mg untuk mengobati abses dan ulkus.
Untuk mengantisipasi terjadinya reaksi pengobatan massal filariasis, maka
perlu dibentuk Komite Reaksi Pengobatan. Anggota Komite Reaksi Pengobatan
disesuaikan dengan kebutuhan, antara lain dapat terdiri dari dokter, ahli penyakit
dalam, ahli farmako klinik, ahli farmasi, epidemiologi, ahli parasit, ahli program
eliminasi filariasis, dan ahli hukum kesehatan.
Tugas Komite Reaksi Pengobatan yaitu (1) Memberikan rekomendasi
penggunaan obat dalam rangka pengobatan massal filariasis; (2) Menetapkan adanya
reaksi pengobatan pada suatu pengobatan massal filariasis; (3) Rekomendasi tindakan
yang perlu dilakukan dan antisipasinya.
Setiap pelaksanaan pengobatan massal, kadang-kadang terjadi kejadian yang
tidak diinginkan yang berakibat fatal, mengancam jiwa, menyebabkan kecacatan, atau
pasien menderita kelainan kongenital, kanker atau dosis yang diberikan berlebihan
sehingga pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit, keadaan ini disebut Serious
Adverse Experience (SAE). Bila terjadi SAE, pasien harus segera dirujuk, dilakukan
tindakan yang diperlukan serta dicari penyebab terjadinya SAE. Kejadian ini harus
pula segera dilaporkan langsung ke pusat, sehingga dapat segera dilakukan
penyelidikan SAE lebih lanjut.
c. Pengorganisasian
Adapun tugas dan tanggung jawab pusat (Ditjen PPM&PL, Kemenkes RI)
yaitu : (1) Pengadaan dan pendistribusian obat pengobatan massal filariasis; (2)
Menyusun pedoman dan penggandaan master buku pedoman; (3) Pelatihan teknis
tenaga pelatih provinsi; (4) Bimbingan teknis; (5) Menggalang kemitraan nasional
dan internasional: (6) Memonitor dan mengevaluasi pengobatan massal.
Tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi yaitu (1) Penggandaan
buku pedoman dan bahan KIE; (2) Pelatihan teknis tenaga pelatih kabupaten/kota; (3)
Bimbingan teknis; (4) Menggalang kemitraan provinsi: (5) Memonitor dan
mengevaluasi pengobatan massal.
Tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yaitu (1)
Menganggarkan biaya operasional; (2) Penggandaan buku pedoman dan bahan KIE;
(3) Pelatihan teknis tenaga pengelola filariasis puskesmas; (4) Bimbingan teknis; (5)
Mendistribusikan logistik; (6) Menggalang kemitraan kabupaten/kota; (7) Memonitor
dan mengevaluasi pengobatan massal; (8) Penggerakan unit terkait dalam
pelaksanaan operasional pengobatan massal di kabupaten/kota (puskesmas, rumah
sakit, dan sebagainya).
Tugas dan tanggung jawab puskesmas yaitu (1) Pelatihan TPE; (2) Bimbingan
teknis; (3) Menggalang kemitraan kecamatan; (4) Melaksanakan pengobatan massal
dan tata laksana kasus; (5) Memonitor dan evaluasi hasil-hasil pengobatan massal dan
reaksi pengobatan; (6) Koordinasi dan penggerakan petugas puskesmas, terutama
tugas supervisi, pengawasan dan monitoring pengobatan massal dan reaksi
pengobatan.
d. Koordinasi Pelaksanaan Pengobatan
Dalam melaksanakan kegiatan pengobatan harus melibatkan program dan
sektor terkait di masing-masing jenjang administrasi.
e. Monitoring
Monitoring yang dilaksanakan oleh puskesmas yaitu (1) Memonitor
pelaksanaan pengobatan massal dan kejadian reaksi pengobatan; (2) Menghitung
persediaan, pemakaian, dan sisa obat.
Monitoring yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota yaitu (1) Memonitor hasil
pengobatan massal berdasarkan laporan puskesmas; (2) Menghitung persediaan,
pemakaian, dan sisa obat; (3)Menindaklanjuti rujukan puskesmas.
Monitoring yang dilaksanakan oleh provinsi yaitu (1) Memonitor pelaksanaan
pengobatan massal; (2) Memonitor hasil pengobatan massal bedasarkan laporan
kabupaten/kota; (3) Melaksanakan survei cakupan pengobatan massal; (4)
Menindaklanjuti reaksi pengobatan.
Monitoring yang dilaksanakan oleh pusat yaitu (1) Memonitor pelaksanaan
pengobatan massal; (2) Memonitor hasil pengobatan massal berdasarkan laporan
kabupaten/kota dan provinsi; (3) Melaksanakan survei cakupan pengobatan sesuai
kebutuhan pusat; (4) Merekapitulasi laporan hasil pelaksanaan eliminasi filariasis.
f. Evaluasi
Evaluasi pengobatan massal adalah bagian yang paling penting dalam
program eliminasi filariasis. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam
mengevaluasi pengobatan massal, yaitu (1) jumlah penduduk yang minum obat
(cakupan pengobatan) dan (2) Menurunnya prevalensi mikrofilaria.
Untuk mengevaluasi keberhasilan pengobatan massal di kabupaten/kota, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
1. Cakupan geografis. Cakupan geografis adalah persentase desa atau kelurahan
yang diobati dalam satu kabupaten/kota di setiap tahun pengobatan. Cakupan
ini dipergunakan untuk menilai apakah pengobatan massal telah dilaksanakan
di seluruh desa/kelurahan di kabupaten/kota yang endemis tersebut.
Cakupan ini dihitung dengan rumus :
Jumlah desa/kelurahan yang diobati x 100
Jumlah seluruh desa/kelurahan
2. Cakupan pengobatan. Cakupan pengobatan dapat menjelaskan jumlah
penduduk yang beresiko untuk diobati dan aspek epidemiologinya dibuat
setiap tahun, dengan perhitungan angka pencapaian pengobatan :
Jumlah penduduk yang meminum obatnya x 100
Jumlah seluruh penduduk di kabupaten
3. Angka keberhasilan pengobatan. Cakupan ini dapat menjelaskan efektivitas
pengobatan massal, dihitung dengan rumus :
Jumlah penduduk yang meminum obatnya x 100
Jumlah penduduk sasaran pengobatan massal
4. Survei cakupan. Tujuannya yaitu untuk menilai kebenaran cakupan
pengobatan massal berdasarkan laporan di kabupaten. Pelaksana survei adalah
provinsi atau badan yang independen dan dilaksanakan satu bulan setelah
pengobatan massal. Survei ini dilaksanakan satu kali setelah siklus pertama
pengobatan massal dengan metode kuesioner cluster survey.
Tabel 2.2 Penilaian Hasil Cakupan Pengobatan Massal & Survei Cakupan di
Implementation Unit (IU)
Penemuan Yang harus diperhatikan Tindak Lanjut
Cakupan Cakupan geografis adalah Tergantung dari
pengobatan massal desa yang tidak diobati masalahnya, mungkin
dan cakupan survei Cakupan pengobatan dibutuhkan pengobatan
keduanya rendah massal massal di wilayah yang
pada tiap kelompok umur belum diobati
(<2th, 2-5th, 6-14th, dan Memperbaharui
>14th) adakah kelompok penggerakan di
umur yang tidak diobati masyarakat agar mau
Alasan penduduk sasaran minum obat filariasis
pengobatan yang tidak Memperbaharui motivasi
meminum obatnya dan kemampuan kader
Survei pengetahuan, sikap dalam memberikan obat
dan perilaku untuk menilai filariasis melalui training
permasalahan yang ada dan supervisi
Cakupan Kader tidak betul Memperbaharui motivasi
pengobatan massal melaporkan angka dan kemampuan kader
lebih tinggi dari penduduk yang minum obat dalam memberikan obat
cakupan survei Jumlah penduduk di IU dan filariasis melalui training
jumlah sasaran pengobatan dan supervisi
massal tidak betul atau telah Tanyakan kepada kader
berubah, atau penduduk dari apakah benar ada
luar IU juga meminum obat penduduk di luar IU yang
dan dicatat sebagai tercatat sebagai sasaran
penduduk di IU pengobatan massal di IU
yang dilaporkan kemudian
keluarkan penduduk
tersebut dari pencatatan
Cakupan Jumlah penduduk di luar IU Perbaiki data jumlah
pengobatan massal dan jumlah sasaran penduduk tersebut
lebih rendah dari pengobatan massal tidak
cakupan survei betul atau sudah berubah

Cakupan Sistem pencatatan sudah Pertahankan hasil


pengobatan massal baik pengobatan massal yang
dan cakupan survei Masyarakat dan kader telah sudah baik tersebut sampai
keduanya tinggi termotivasi dengan baik pengobatan tahun
Semua aparat yang terlibat berikutnya
dalam pengobatan massal
berada di tempat dan
bekerja dengan baik

g. Pencatatan dan Pelaporan


Dalam pelaksanaan pengobatan massal, perlu dilakukan pencatatan dan
pelaporan yang berguna untuk memberikan informasi hasil kegiatan sebagai bahan
masukan dalam mengambil kebijakan selanjutnya. Alur pelaksanaan pencatatan dan
pelaporan dalam pelaksanaan pengobatan massal dapat digambarkan sebagai berikut :
Filariasis
h. Penjadwalan Kegiatan POMP filariasis
Adapun penjadwalan kegiatan Pemberian Obat Massal Pencegahan filariasis
dapat dilihat pada tabel berikut :
No Jenis Kegiatan Waktu Penanggungjawa
Desa Kecamatan Kabupaten b
/Pelaksana
1 koordinasi H-2Bulan Dinkes
Kab
2 Advokasi H 1 bulan H-2Bulan Puskesmas ,Dinkes
Kab
3 Sosialisasi H2 H1 H 1 bulan Kades, Puskesmas,
s/d 7 minggu Dinkes Kab
hari

4 Persiapan TPE H 1 bulan Puskesmas


a. Pemilihan H 7 hari Puskesmas
TPE
b. Pelatihan TPE
5 Distribusi H1 H2 H 1 bulan Masing-masing
a. Bahan dan minggu minggu H 1 bulan
Peralatan H3 H2
b. Obat hari minggu
6 Penyiapan H5 Puskesmas
Masyarakat hari
7 Pelaksanaan H H Puskesmas
POMP Filariasis

8 Monitoring H+4 H + 4 jam Puskesmas


Reaksi POMP jam s/d s/d 3
Filariasis 3 hari minggu
9 Pemberian Obat H+1 H+2 H + 1 bulan Masing-masing
Kepada minggu minggu
Penduduk yang
Tidak Hadir
10 Pencatatan dan H + 10 H + 1 bulan H + 1 bulan Masing-masing
Pelaporan hari H + 1 bulan H + 1 bulan
a. Cakupan H+3
Pengobatan minggu
b. Reaksi

2.4 Fokus Penelitian


Berdasarkan teori yang telah diuraikan, maka
adalah :
fokus dalam penelitian ini
Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka dapat dirumuskan definisi fokus
penelitian sebagai berikut :
1. Kebijakan adalah kebijakan yang ditetapkan sebagai dasar/pedoman
pelaksanaan program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis.
2. Sumberdaya adalah sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan
program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis.
3. Advokasi adalah advokasi kepada Bupati Bengkalis, Bappeda, DPRD
Kabupaten Bengkalis, Camat, Pengelola Media Massa untuk memperoleh
dukungan pelaksanaan POMP filariasis.
4. Koordinasi adalah pertemuan koordinasi di setiap jenjang pemerintahan di
tingkat kabupaten, kecamatan dan desa untuk mendapatkan kesepakatan dan
persiapan pelaksanaan pengobatan massal filariasis.
5. Distribusi Logistik adalah pendistribusian obat, bahan dan peralatan yang
diperlukan dalam pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis.
6. Sosialisasi adalah penyebaran informasi kepada masyarakat tentang
pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis.
7. Persiapan TPE adalah persiapan Tenaga Pelaksana Eliminasi dalam
pelaksanaan POMP filariasis.
8. Penyiapan Masyarakat adalah pendataan dan penyiapan masyarakat sasaran
sebelum pelaksanaan POMP filariasis.
9. Pelaksanaan POMP filariasis adalah pelaksanaan pemberian obat serta
antisipasi reaksi pengobatan massal filariasis.
10. Monitoring Reaksi POMP filariasis adalah pengawasan terhadap reaksi
POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis.
11. Pemberian Obat Kepada Penduduk yang Tidak Hadir adalah upaya lanjutan
untuk memberikan obat kepada peduduk yang tidak hadir pada saat
pelaksanaan POMP filariasis untuk memaksimalkan cakupan pengobatan.
12. Pencatatan dan Pelaporan adalah pencatatan dan pelaporan untuk memberikan
informasi hasil kegiatan POMP filariasis.
13. Hambatan adalah masalah yang mengganggu pelaksanaan POMP filariasis.
14. Evaluasi cakupan POMP filariasis adalah evaluasi jumlah masyarakat
Kabupaten Bengkalis yang telah mendapatkan pengobatan pencegahan
filariasis setelah pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun

Anda mungkin juga menyukai