Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

KONJUNGTIVITIS VERNALIS

Oleh :
Ruthsuyata Siagian
1518012204

Perseptor :
dr. Yulkhaizar, Sp.M.
dr. Yuda Saputra, Sp. M.

KEPANITERAAN KLINIK SMF MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016

I. PENDAHULUAN

Konjungtivitis merupakan radang pada konjungtiva atau radang selaput lendir


yang menutupi belakang kelopak dan bola mata. Konjungtivitis dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, klamidia, alergi toksik seperti konjungtivitis vernal, dan
moluscum contangiosum (Ilyas, 2010). Konjungtivitis vernalis dikenal juga
sebagai catarrh musim semi dan konjungtivitis musiman atau konjungtivits
musim kemarau, adalah suatu peradangan bilateral konjungtiva yang berulang
menurut musim, sebagai akibat reaksi hipersensitif tipe I dengan gambaran
spesifik hipertropi papil di canal tarsus dan limbus. Terdapat dua tipe
konjungtivitis vernal yaitu tipe palpebral dan tipe limbal (Vaughan, 2010;
Katelaris, 2003).

Insidens penyakit ini berkisar antara 0,1-0,5% diantara penyakit mata lainnya dan
meningkat terutama pada musim kemarau. Penyakit ini umumnya terjadi pada
anak berusia antara 3-25 tahun, dan lebih sering pada laki-laki (Vaughan, 2010;
Bielory, 2000; Pucci et al., 2002; Ilyas, 2010). Lebih dari sembilan puluh persen
pasien memiliki riwayat atopi pada dirinya maupun anggota keluarganya.
Patogenesis dan etiologi penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa
peneliti menghubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV (Pucci et al.,
2002; Foundation of the American Academy of ophthalmology clinical approach
to immune-related disorders of the external eye, 2001; Katelaris, 2003).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan palpebra didapatkan


hipertrafi papiler, cobble stone. Konjungtiva bulbi warna kecoklatan dan kotor.
Pada limbus didapatkan Horner Trantas dots pemeriksaan laboratorium atau
kerakan konjungtiva atau getah mata didapatkan sel-sel eosinofil dan eosinafil
granul. Penatalaksanaan fase akut diberikan kortikosteroid, pada kasus berat dapat
juga diberikan anti histamin dan steroid (Vaughan, 2010; Reyes et al., 2010; Wade
et al., 2012). Tatalaksana adekuat untuk mencegah terjadinya kekambuhan sampai
saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Namun umumnya setelah 2
sampai 10 tahun akan terlihat resolusi gejala secara spontan (Katelaris, 2003).

2
3
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Konjungtiva
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan
dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata
(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva
bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak
mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus,
konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan
membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan,
2010).

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva (Riordan-Eva, 2000).

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk
pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama
(oftalmik) nervus trigeminus (Riordan-Eva, 2000).

4
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi, dengan
mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitasi lakrimasi,
dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme
imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA (Sihota dan Tandon, 2007).

Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup
besar yaitu (Kanski dan Jack, 2003):
1. Penghasil musin
a. Sel goblet yang terletak dibawah epitel dan paling banyak
ditemukan pada daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle yang terletak sepanjang sepertiga atas dari
konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari
konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz yang mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria.

Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena
suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang
rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata
bukan merupakan medium yang baik (Sihota dan Tandon, 2007).

II.2 Konjungtivitis Vernal


II.2.1 Definisi
Konjungtivitis vernalis adalah konjungtivitis akibat reaksi hipersensitivitas
(tipe I) yang mengenai kedua mata dan bersifat rekuren. Penyakit ini
ditandai dengan papil besar dengan permukaan rata pada konjungtiva tarsal,

5
denga rasa gatal berat, sekret gelatin yang berisi eosinofil atau graula
eosinofil, pada kornea terdapat keratitis, neovaskularisasi, dan tukak
indolen. Secara histologik, penonjolan ini adalah suatu hiperplasi dan
hialinisasi jaringan ikat disertai proliferasi sel epitel dan serbukan sel
limfosit, sel plasma dan sel eosinofil (Ilyas, 2010).

II.2.2 Klasifikasi
Terdapat dua bentuk utama konjungtivitis vernalis (yang dapat berjalan
bersamaan), yaitu :
1. Bentuk palpebra terutama mengenai konjungtiva tarsal superior.
Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Cobble Stone) yang diliputi
sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edem,
dengan kelainan kornea lebih berat dari tipe limbal. Secara klinik, papil
besar ini tampak sebagai tonjolan besegi banyak dengan permukaan
yang rata dan dengan kapiler di tengahnya.
2. Bentuk Limbal hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat
membentuk jaringan hiperplastik gelatin, dengan Trantas dot yang
merupakan degenarasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel
limbus kornea, terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil (Ilyas,
2010).

II.2.3 Etiologi
Etiologi konjungtivitis vernalis sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Beberapa faktor penyebab diduga adalah reaksi alergi yang dapat
disebabkan oleh satu atau lebih allergen seperti serbuk sari, debu, tungau
debu rumah, bulu kucing, makanan, faktor fisik berupa panas sinar matahari
atau angin. Konjungtivitis vernalis sering terjadi pada anak-anak, biasanya
dimulai sebelum masa pubertas dan berlangsung 5-10 tahun (Bonini, 2000;
Ilyas, 2010).

II.2.4 Patofisiologi
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi
terutama dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi
hipersensitivitas tipe I merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi
pada konjungtivitis vernalis. Pemeriksaan histopatologik dari lesi di

6
konjungtiva menunjukkan peningkatan sel mast, eosinofil dan limfosit pada
subepitel dan epitel (Bielory, 2000; Bonini 2000).

Dalam perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel dan penumpukan kolagen akan


membentuk papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa penyakit ini
bukan murni disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat,
melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV. Hiperreaktivitas non spesifik
juga mempunyai peran dalam penyakit ini (Bonini, 2000). Faktor lain yang
berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast (Bielory, 2000).

Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE


spesifik terhadap antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut.
Antibodi IgE berperan sebagai homositotropik yang mudah berikatan
dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini pada
permukaan sel mast dan basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi
dan dilepaskannya mediator-mediator kimia seperti histamin, slow reacting
substance of anaphylaxis, bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic
factor, dan faktor-faktor agregasi trombosit. Histamin adalah mediator yang
berperan penting, yang mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan
hipersekresi pada mata. Keadaan ini ditandai dengan gejala seperti mata
gatal, merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat sekret yg
bersifat mukoid (Bonini, 2000; Bielory 2000).

Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai


karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen dengan IgE pada
permukaan sel mast, maka mediator kimia yang terbentuk kemudian akan
dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinofil yang
dapat menyebabkan inflamasi di jaringan konjungtiva (Bielory, 2000;
Katelaris, 2003). Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit
T yang telah tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen
tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi infiltrasi
limfosit dan monosit (makrofag) serta menimbulkan indurasi jaringan pada
daerah tersebut (Munazir dan Suyoko, 2008). Setelah paparan dengan

7
alergen, jaringan konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma,
eosinofil dan basofil (Bonini, 2000).

Bila penyakit semakin berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan
terjadi sintesis kolagen baru sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada
lempeng tarsal. Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh ikatan
alergen IgE, tetapi dapat juga disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5
yang dikeluarkan oleh sel limfosit. Selanjutnya mediator tersebut dapat
secara langsung mengaktivasi sel mast tanpa melalui ikatan alergen IgE.5
Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva selain disebabkan oleh rangsangan
spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, misal
rangsangan panas sinar matahari, angin (Bielory, 2000; Bonini, 2000;
Katelaris, 2003).

II.2.5 Manifestasi klinis


Tahap awal konjutngtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam
fase ini terjadi pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang
ditutup oleh satu lapis sel epithel dengan degenerasi hyalin serta pseudo
membran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi
stroma oleh sel-sel PMN, eosinafil, basofil dan sel mast (Reyes et al., 2010;
Wade et al., 2012).

Tahap lanjut akan dijumpai sel-sel mononuclear serta limfosit, makrofag.


Sel mast dan eosinafil terdapat dalam jumlah besar dan terletak superfisial,
sebagian besar sel mast dalam kondisi terdegranulasi. Fase vaskuler dan
seluler akan segera diikuti oleh deposisi kolagen, dan peningkatan
vaskularisasi, hiperplasi jaringan ikat terus meluas membentuk giant papil
(Vaughan, 2010; Wade et al., 2012).

Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terus menerus pada mata, mata
sering berair, rasa terbakar atau seperti ada benda asing di mata. Gejala
lainnya fotofobia, ptosis, sekret mata berbentuk mukus seperti benang tebal
berwarna hijau atau kuning tua. Konjungtivitis vernalis dapat terjadi pada
konjungtiva tarsalis atau limbus, atau terjadi bersamaan dengan dominasi
pada salah satu tempat tersebut (Bonini, 2000, Ilyas, 2010; Vaughan, 2010).

8
Pada konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil
cobblestone yang menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil.
Sedangkan pada limbus dijumpai satu atau lebih papil berwarna putih yang
disebut sebagai trantas dots, yaitu terdiri dari tumpukan sel-sel eosinofil.
Apabila penyakit meluas sampai kornea, disebut sebagai
keratokonjungtivitis vernalis (KKV) dan digolongkan ke dalam penyakit
yang lebih berat, karena dapat menyebabkan penurunan visus (Bonini, 2000;
Ilyas, 2010; Vaughan, 2010).

II.2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis dan
laboratorium:
1. Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat atopi, keluhan rasa gatal
yang terus menerus pada mata, mata sering berair, rasa terbakar atau
seperti ada benda asing di mata, fotofobia, ptosis, sekret mata berbentuk
mukus seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning tua.

2. Pemeriksaan pada palpebra didapatkan hipertrofi papiler, cobble stone,


giants papilae. Pada konjungtiva bulbi warna merah kecoklatan dan
kotor pada fissura interpalpebralis. Pada limbus didapatkan Horner-
Trantas dots.

3. Hasil pemeriksaan laboratorium atau kerakan konjungtiva atau getah


mata didapatkan sel-sel eosinofil dan eosinofil granul. Hasil uji kulit
umumnya positif terhadap alergen tertentu, terutama serbuk bunga,
debu rumah, tungau debu rumah; namun kadang-kadang uji kulit dapat
memberikan hasil yang negatif (Reyes et al., 2010; Vaughan, 2010;
Wade et al., 2012).

9
Gambar 2. Horner-Trantas dots pada konjungtivis vernal dan Papilla
batu bata (Vaughan, 2010).

II.2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding konjungtivitis vernalis adalah konjungtivitis alergika
musiman, keratokonjungtivitis atopik, dan giant papillary conjungtivitis.
Pada konjungtivitis alergi musiman, bersifat akut, mereda saat musim
dingin, terdapat edem konjungtiva, jarang disertai perubahan pada kornea.
Pada keratokonjungtivitis atopik tidak ada perbedaan usia atau jenis
kelamin, adanya sekret yang jernih, letak kelainan lebih sering di palpebra
inferior, tidak terdapat eosinofil pada scraping konjungtiva, Pada giant
papillary conjunctivitis kelainan juga terdapat di konjungtiva tarsal superior
namun dengan ukuran diameter papila yang lebih dari 0,3 mm, penyebab
tersering iritasi mekanik yang lama terutama karena penggunaan lensa
kontak (Bonini, 2000).

II.2.8 Penatalaksanaan
Pada umumnya konjungtivitis vernalis dapat sembuh sendiri setelah 2 10
tahun. Tujuan pengobatan penyakit ini untuk menghilangkan gejala dan
menghindari efek iatrogenik yang serius dari obat yang diberikan
(kortikosteroid). Prinsip pengobatan bersifat konservatif. Tatalaksana
konjungtivitis vernalis berdasarkan beratnya gejala dan tanda penyakit,
yaitu:
1. Terapi utama
Terapi utama konjungtivitis vernal adalah dengan desensitisasi
alergen, kompres dingin pada mata dan menggunakan kacamata
hitam dan Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau
pindah ke tempat berhawa dingin (Bonini, 2000; Ilyas, 2010).

2. Terapi topikal
Pemberian vasokonstriktor topikal dan antihistamin topikal dapat
mengurangi gejala kemerahan dan edem pada konjungtiva.
Pemberian klomorin topikal sebagai stabilisator sel mast yaitu
natrium kromoglikat 2% atau sodium kromolyn 4% atau iodoksamid
trometamin dapat mencegah degranulasi dan lepasnya substansi

10
vasoaktif, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid
topikal. Pemakaian iodoksamid dikatakan mempunyai efek yang
lebih baik dibandingkan dengan natrium kromoglikat 2% maupun
sodium kromolyn 4% (Pucci et al., 2002; Ilyas, 2010).

Bila obat-obatan topikal seperti antihistamin, vasokonstriktor, atau


sodium kromolyn tidak adekuat maka dapat dipertimbangkan
pemberian kortikosteroid topical tetes dan salep namun tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama. Pemberian siklosporin untuk
menghambat aksi interleukin 2 pada limfosit T dan menekan efek sel
T dan eosinofil, terbukti bermanfaat menurunkan gejala dan tanda
penyakit ini. Siklosporin topikal 2% dan mitomisin-C topikal 0,01%
digunakan untuk kasus berulang yang tidak dapat diobati dengan
natrium kromoglikat atau steroid. Antibiotik dapat diberikan apabila
terdapat tukak unuk mencegah infeksi sekunder, biasanya
dikombinasi dengan sikloplegik (Pucci et al., 2002; Katelaris, 2003;
Ilyas, 2010).

3. Terapi sistemik
Pengobatan dengan antihistamin sistemik bermanfaat untuk
menambah efektivitas pengobatan topikal. Kortikosteroid sistemik
diberikan bila ada indikasi khusus yaitu inflamasi berat pada kornea
dan konjungtiva, bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan
(Bonini, 2000).

4. Terapi bedah dan radiasi


Terapi pembedahan dengan pengangkatan giant papil dan radiasi
diberikan ketika terapi medikamentosa telah diberikan secara
optimal tidak berhasil. Terapi bedah yang dapat dilakukan adalah
otograf konjungtiva dan krio terapi, namun kelemahan kedua terapi
ini dapat menyebabkan terjadinya sikatriks, trikiasis, defisiensi air
mata dan entropion. Keratotomi superfisial dapat dilakukan untuk
reepitelisasi kornea (Bonini, 2000; Ilyas, 2010).

II.2.9 Komplikasi

11
Komplikasi yang timbul dapat diakibatkan oleh perjalanan penyakitnya atau
efek samping pengobatan yang diberikan. Bila proses penyakit meluas ke
kornea, dapat terjadi parut kornea, astigmatisme, keratokonus, dan kebutaan.
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan glaukoma,
katarak dan infeksi bakteri sekunder (Bonini, 2000; Ilyas, 2010).

12
III. KESIMPULAN

Konjungtivitis vernalis adalah suatu peradangan bilateral konjungtiva yang


berulang menurut musim, sebagai akibat reaksi hipersensitif tipe I dan IV dengan
gambaran spesifik hipertropi papil di canal tarsus dan limbus. Terdapat dua tipe
konjungtivitis vernal yaitu tipe palpebral dan tipe limbal. Insidens penyakit ini
berkisar antara 0,1-0,5% diantara penyakit mata lainnya dan meningkat terutama
pada musim kemarau. Penyakit ini umumnya terjadi pada anak berusia antara 3-
25 tahun, dan lebih sering pada laki-laki.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis dan


laboratorium. Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat atopi, keluhan rasa gatal
yang terus menerus pada mata, mata sering berair, rasa terbakar atau seperti ada
benda asing di mata, fotofobia, ptosis, sekret mata berbentuk mukus seperti
benang tebal berwarna hijau atau kuning tua. Pemeriksaan pada palpebra
didapatkan hipertrofi papiler, cobble stone, giants papilae. Pada konjungtiva bulbi
warna merah kecoklatan dan kotor pada fissura interpalpebralis. Pada limbus
didapatkan Horner-Trantas dots. Pemeriksaan penunjang berupa pemerikasaan
laboratorium untuk mengetahui adanya eosinofil dan uji kulit untuk mengetahui
alergen penyebab penyakit.

Terapi konjungtivitis vernal adalah dengan Desensitisasi alergen, pemberian


vasokonstriktor, antihistamin, klomorin, kortikosteroid topical, siklosporin dan
antibiotik topikal. Pembedahan dan radiasi dilakukan apabila terapi
medikamentosa telah diberikan secara optimal tidak berhasil.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bielory L. 2000. Allergic and immunology disorders of the eye. Part II: ocular
allergy. J Allergy Clin Immunol.106(1):805-16.
Bonini S. 2000. Vernal keratoconjunctivitis revisited: a case series of 195 patients
with long-term follow up. Ophthalmol. 107:1157-63.
Foundation of the American Academy of ophthalmology clinical approach to
immune-related disorders of the external eye. Dalam: Thomas JL, Thomas
AD, M. Gilbert, penyunting. External disease and cornea. San Fransisco:
Foundation of the American Academy of Ophthalmology; 2001.
Ilyas S., 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Kanski dan Jack J. 2003. Conjunctiva. In: Kanski Jack J., ed. Clinical
Ophtalmology 5th ed: A Systemic Approach. UK: Butterworth-Heinemann.
Katelaris CH. 2003. Ocular allergy: Implications for the clinical immunologist.
Allergy Asthma Immunol. 90:23-7
Munazir Z, Suyoko D. 2008. Reaksi Hipersensitivitas. Dalam: Akib AAP, Munasir
Z, Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi Imunology Anak. Edisi ke 2.
Jakarta: IDAI.
Pucci N, Novembre E, Cianteronia, Lombardi E, Bernardini R, Caputo R, dkk.
2002. Efficacy and safety of cyclosporin eyedrops in vernal
keratoconjunctivitis. Ann Allergy Asthma Immunol. 89(1): 298-303.
Reyes NJ, Mayhew E, Chen PW, Niederkorn JY. 2010. NKT cells are necessary
for maximal expression of allergic conjunctivitis. Int Immunol. 22(8) : 627
636.
Riordan Eva, P., 2010. Anatomi & Embriologi Mata. In: Vaughan, Asbury.
Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.
Sihota dan tandon. 2007. Ocular manifestations of systemic disorders in Parsons
disease of the eye, twentieth edition. Elsvier: India.

14
Wade PD, Iwuora AN, Lopez L. 2012. Allergic Conjunctivitis at Sheikh Zayed
Regional Eye Care Center Gambia. J Ophtalmic Vis Res. 7(1) : 24 28 5.
Vaughan, Daniel G., 2010. Oftalmologi Umum edisi ke-10. Jakarta : Penerbit
Widya Medika.

15

Anda mungkin juga menyukai