Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada
prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa
tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan
mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri
dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta
perawatan pasca anestesi.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total yaitu
hilangnya kesadaran secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada daerah
tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh) dan anestesi
regional yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh
blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen
anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.
Tumor jaringan lunak atau Soft Tissue Tumor adalah suatu benjolan atau
pembengkakan abnormal yang disebabkan pertumbuhan sel baru.
Pemilihan jenis anestesi untuk Soft Tissue Tumor ditentukan berdasarkan
usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta
keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Mengingat soft
tissue tumor merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan general anestesi,
sehingga perlu kewaspadaan terhadap komplikasi yang ditimbulkannya

1
merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Adapun
komplikasi yang terdapat pada teknik general anestesi seperti mual, muntah,
sakit tenggorokan, menggigil, dan butuh waktu dalam pengembalian fungsi
mental normal. Terkait dengan kondisi hipotermia yang gawat (jarang terjadi)
dimana kondisi otot yang terkena paparan beberapa zat anestesi umum dapat
menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi hiperkarbia, asidosis
metabolik, dan hiperkalemia.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 29 tahun
Alamat : Wonorejo 2/14 Alas Tuo Kebak Kramat
Diagnosis Pre Op : Soft tissue tumor regio dorsum inferior
Tindakan Op : Eksisi
Tanggal Masuk : 19 Mei 2015
Tanggal Operasi : 20 Mei 2015

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Benjolan pada punggung belakang

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSUD Karanganyar untuk melakukan operasi


pengambilan benjolan pada punggung belakang sejak 3 bulan, tidak
nyeri dan tidak bertambah besar.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat makan makanan tidak berserat : diakui

4. Riwayat Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal

C. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis

3
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign :
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 80 x/ menit
- Frekuensi Nafas : 22 x/ menit
- Suhu : 36,5 o C
Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), nafas cuping
hidung (-)
Leher
Retraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-), JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-/-)
Thoraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Redup
Auskultasi : Bunyi jantung I-II irama regular, bising
jantung (-)
Paru
Inspeksi : simetris, tidak ada ketinggalan gerak di
paru, dan tidak ditemukannya retraksi intercostae.
Palpasi : Fremitus sama depan dan belakang
Perkusi :
Depan Belakang
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi :
Depan Belakang
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan: Whezing (-/-) , ronkhi (-/-)
Abdomen :

4
Inspeksi : Bentuk abdomen sejajar dengan
dada,tidak ada darm contour, tidak ada darm steifung, ada
luka bekas operasi
Auskultasi : Peristaltic usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Clubbing finger tidak ditemukan
Tidak ditemukan edema.
Akral hangat

+ +
b. Status Lokalis + +
Regio Dorsum Inferior
Benjolan dengan konsistensi kenyal lunak, mobile, tidak nyeri
tekan, dengan diameter 3 cm

2. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Darah Rutin

Hemoglobin 15,4 14.0 18.0


Leukosit 7.080 4000 - 10.000
Trombosit 278000 150000 -300000
CT 04.30 menit 2-8 menit
BT 2 menit 1-3 menit
Kreatinin 0,96 0,8-1,1
Ureum 22,7 10-50
Glukosa Sewaktu 87 70-150

3. Kesimpulan Konsul Anestesi


Seorang perempuan usia 29 tahun dengan diagnosis soft tissue tumor
yang akan dilakukan tindakan operasi eksisi. Hasil laboratorium darah
dalam batas normal.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA :I
4. Laporan Anestesi Pasien
- Diagnosis pra-bedah : Soft tissue rumor regio dorsum inferior
- Diagnosis post-bedah : Post OP eksisi

5
- Jenis pembedahan : Minor

Status Anestesi

Persiapan Anestesi
1. Persetujuan operasi tertulis
2. Puasa 8 jam pre operatif
3. Jenis anestesi : General Anestesia
4. Teknik Anestesi : TIVA (Total Intravenous Anesthesia)
5. Induksi : Propofol
6. Obat yang diberikan : Cefuroxime, Ketoprofen.
7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit, cairan,
perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi
anestesi.
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan.
Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
Premedikasi : Ondancetron 1 amp

Ketoprofen 2 amp

Fentanyl 1 amp
Medikasi : Propofol 10cc

O2 3 liter/menit
Teknik anestesi : * Pasien dalam posisi miring kiri

* Cek infuse pasien, mesin anestesi


serta sistem sirkuitnya dan gas
anestesi yang akan digunakan

* O2, N2O dan agent sudah disiapkan


(dibuka)

* Menyiapkan stetoskop, kanul


oksigen

6
* Setelah obat premedikasi dan
induksi masuk, kita memastikan
pasien sudah dalam keadaan tidur

* Mengawasi pola napas pasien, bila


tampak tanda-tanda hipoventilasi
berikan napas bantuan intermiten
secara sinkron sesuai dengan irama
napas pasien, pantau denyut nadi dan
tekanan darah
* Setelah operasi selesai, pelepasan
monitoring alat serta kanul oksigen
Respirasi : Spontan
Posisi : Miring
Jumlah cairan yang : Tutofusin 500 Ml
masuk

Perdarahan selama : 60 cc
operasi
Pemantauan selama anestesi :

Mulai anestesi : 09.00


Mulai operasi : 09.15
Selesai anestesi : 09.45
Selesai operasi : 09.30
Durasi Operasi : 20 Menit

Monitoring selama operasi.

Waktu Tekanan Nadi SpO2 Keterangan

7
darah
09.00 135/83 93 99 Terpasang infuse
tutofusin
09.00 139/89 93 99 General anestesi
dilakukan
09.15 133/83 88 99 Pelaksanaan Operasi
09.20 131/81 82 99
09.25 128/79 82 99
09.30 125/76 80 99

1. Di Ruang Recovery
- Jam 09.45 : pasien dipindahkan ke recovery room dalam posisi
telentang, pasien dalam kondisi mengantuk, dilakukan monitoring
tanda vital, infuse RL, diberikan O2 3 liter per menit.
Tekanan darah : 120/80 mmHg; Nadi : 80x/menit, Suhu : 36C
- Jam 10.00 : pasien dalam kondisi stabil baik, dipindahkan ke
Bangsal Kantil 1

Monitoring Pasca Anestesi

Waktu Tekanan Nadi RR Keterangan


Darah
09.45 120/80 80 20 O2 3 L/mnt, Monitoring
tanda Vital
09.50 120/80 81 20 Monitoring tanda Vital
09.55 120/80 80 20 Monitoring tanda Vital
10.00 120/80 80 20 Monitoring tanda Vital
Aldrette Score 10

2. Instruksi Pasca Anestesi

a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun
<100 mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan
metoclopramide. Bila kesakitan, berikan Ketorolac 1 ampul.
b. Lain-lain

8
Analgetik dan antibiotik sesuai dengan terapi bedah
Puasa sampai dengan flatus
Post operasi, cek Hb, bila < 10mg/dL dilakukan transfuse
sampai Hb10
Kontrol balance cairan
Monitor vital sign

BAB III

9
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Umum (General Anestesi)


1. Definisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara
sentral yang dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk
amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien yang
dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan
ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan
pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan
rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan
fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik,
analgetik, dam relaksasi otot.
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara
inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat
dimana akan dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah
bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik,
tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional
mungkin lebih tepat.
2. Metode
Pemberian anestesi umum dapat dilihat dari cara pemberian obat,
terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum :
a. Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parenteral baik intravena
maupun intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi
yang singkat atau untuk induksi anestesi. Obat anestesi yang sering
digunakan adalah :

Pentothal

10
Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis
permulaan 4-6 mg/kg BB danselanjutnya dapat ditambah sampai
1 gram.
Penggunaan :
- Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.
- Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi,
insisi abses.
Ketalar (Ketamine)
Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50
mg/cc.Dosis: IV 1-3 mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit
setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.
Penggunaan :
- Operasi-operasi yang singkat
- Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah
b. Perectal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan
selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan
diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaanmata,
telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi
dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan
inhalasi pada bayi dan anak-anak. Syaratnya adalah:
- Rectum betul-betul kosong
- Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

c. Per inhalasi
Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-
paru, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan
narkose.

11
a. N2O
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian,
tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti
halotan.
b. Induksi halotan
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran
N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau
campuran N2O : O2 = 3 : 1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien
batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau
sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks
baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan
menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah.
c. Induksi enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
d. Induksi isofluran
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap

12
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
e. Induksi sevofluran
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi
karena pasien jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan
konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan
halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara
inspirasi masuk ke dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli paru
akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang
disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi
masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi
darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan. Dengan
sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau
organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan
jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau
jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian
akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau
jaringan lain.
Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paruparu. Ekskresi
bisa dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya. N 2O diekskresi
dalam bentuk asli lewat paru. Faktor yang mempengaruhi anestesi
antara lain :
a. Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).
b. Faktor sirkulasi
c. Faktor jaringan.
d. Faktor obat anestesi.
3. Stadium anestesi

13
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa
penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman
anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi
kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan,
gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada
penderita yang mendapat anestesi ether1.
a. Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai
sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium
ini operasi kecil bisa dilakukan.
b. Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini
penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar,
refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk
atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini
diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan
selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan
penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa
dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,
persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat.
Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase
pemulihan dari anestesi.
c. Stadium III
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai
paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:
Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola
mata. Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan
abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks

14
cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur,
volume tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai
terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai
melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang
dan tonus otot makin menurun.
Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai
paralise seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan
abdominal lebih dorninan dari torakal karena terjadi paralisis
otot interkostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya menjadi
hilang, lakrimasi negafif, reflex laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi
paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi
flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani
negative.

d. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut
stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan
hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure
dan dikuti dengan circulatory failure.
4. Persiapan Anestesia Umum
Praktek anestesi yang aman dan efisien memerlukan personil
bersertifikat, obat-obatan dan peralatan yang tepat, serta keadaan pasien
yang optimal.

15
a. Persyaratan minimum untuk anestesi umum
Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum
termasuk ruang yang cukup terang dengan ukuran yang memadai,
sebuah sumber oksigen bertekanan (paling sering di pipa); perangkat
hisap yang efektif; monitor yang sesuai dengan standar ASA
(American Society of Anesthesiologist) , termasuk denyut jantung,
tekanan darah, EKG, denyut nadi oksimetri, kapnografi, suhu, dan
konsentrasi oksigen terinspirasi dan dihembuskan dan zat anestesi
yang diaplikasikan.
Selain ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk memasukkan
zat anestesi. Alat yang sederhana seperti jarum dan jarum suntik, jika
obat harus diberikan sepenuhnya intravena. Dalam sebagian besar
keadaan, ini berarti membutuhkan tersedianya sebuah mesin yang
memungkinkan untuk mengetahui pemasukkan gas dan memelihara
anestesi tetap berjalan.
b. Menyiapkan pasien
Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang paling
efisien adalah pasien ditinjau oleh orang yang bertanggung jawab
untuk memberikan anestesi dengan baik sebelum tanggal operasi.
Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan laboratorium
yang tepat, perhatian terhadap kondisi medis pasien yang terbaru
atau yang sedang berlangsung, diskusi dari setiap reaksi sebelumnya
yang merugikan pribadi atau keluarga untuk anestesi umum,
penilaian status fungsional jantung dan paru, dan rencana anestesi
yang efektif dan aman. Hal ini juga berfungsi untuk meredakan
kecemasan dari pembedahan yang tidak diketahui oleh pasien dan
keluarga mereka. Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan
untuk optimasi pasien pada waktu perioperatif.
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi
memungkinkan pelaksana anestesi untuk fokus secara khusus pada
kondisi saluran napas yang diharapkan, termasuk membuka mulut,
gigi longgar atau bermasalah, keterbatasan dalam rentang gerak
leher, anatomi leher, dan presentasi Mallampati (lihat di bawah).

16
Dengan menggabungkan semua faktor, rencana yang sesuai untuk
intubasi dapat diuraikan dan langkah tambahan, jika perlu, dapat
diambil untuk mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi
video, atau berbagai intervensi sulit terhadap saluran napas lainnya 1.
c. Manajemen jalan napas
Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan
napas, meliputi kondisi dibawah ini :
1) Rahang yang kecil atau mundur
2) Gigi rahang atas yang menonjol
3) Leher yang pendek
4) Ekstensi leher terbatas
5) Pertumbuhan gigi yang buruk
6) Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
7) Trauma pada wajah
8) Fiksasi antar-gigi
9) Penggunaan cervical collar yang keras

d. Persiapan Pre-anestesia
Persiapan mental dan fisik pasien
1) Anamnesis
a) Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan
pekerjaan
b) Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang
mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesia seperti
penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru kronik,
penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit
ginjal.
c) Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat
anestesi.
d) Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa
kali dan selang waktunya, serta apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu.

17
e) Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi
jalannya anestesi misalnya merokok, alkohool, obat-obat
penenang atau narkotik.
2) Pemeriksaan fisik
a) Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama dan
pasca bedah.
b) Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
c) Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak
nafas, tanda-tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi
palsu, trismus, persendian temporo mandibula.
d) Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu
atau ortopnu, sianosis, hipertensi
e) Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang
dapat membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga
dapat menyebabkan regurgitasi.
3) Pemeriksaan laboratorium : darah rutin, urin rutin, pemeriksaan
radiologi, dan lainnya.
e. Perencanaan anastesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada
operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
f. Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang berasal dari The American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
- ASA 1: pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia
- ASA 2: pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
- ASA 3:pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas
- ASA 4:pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat
- ASA 5:pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
- Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

18
g. Persiapan pada hari operasi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT.
Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6
jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak
puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi
lambung.
Pengosongan kandung kemih
Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
Pemeriksaan fisik ulang
Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori
lainnya.
Premedikasi secara intramuskular - 1 jam menjelang operasi
atau secaraintravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi1
h. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas
atropindan hiosin
Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin
Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
Mengurangi isi lambung
Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya tracurium,
sulfas atropine
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :
Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin

19
Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya
diazepam dan midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-
15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia
Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital
Antikolinergik, misal atropine dan hiosin
Antihistamin, misal prometazine
Antasida, misal gelusil
H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine.
Ranitidine diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi
i. Persiapan induksi
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS
:
a. S : Scope (stetoskop, laringoskop)
Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut
lebih luas serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi
epiglotis, pita suara dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
- Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada
laringoskopi dewasa.
- Blade lurus.
b. T : Tube (pipa endotraceal, LMA)
- Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung
ke dalam trakea.
- Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari
ventilasi face mask atau intubasi ET. Kontraindikasi
pemasangan LMA pada pasien-pasien dengan resiko aspirasi
isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan dukungan
ventilasi mekanik jangka waktu lama. LMA terdiri dari 2
macam : :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.

20
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas
standar dan lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya
berhubungan dengan esofagus
c. A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka,
pipa oropharing)
- Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah
dari dinding belakang faring. Alat ini berguna pada pasien
yang masih bernapas spontan, alat ini juga membantu saat
dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit
pipa endotrakheal (ETT)

Gambar 1. Oral pharyngeal airway Gambar 2. Nasopharyngeal airway


- Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat
bantu jalan napas orofaring atau apabila secara tehnis tidak
mungkin memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya
trismus, rahang mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).
- Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan
udara/gas anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke
jalan nafas pasien

21
Gambar 3. Face Mask Anesthesia

d. T : Tape (plaster)
Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi
supaya tidak terlepas
e. I : Introducer (stilet/ forceps Magill)
Stilet (mandren) digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi
(Mc gill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal
atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
f. C : Connection
Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi
dengan sungkup muka, serta penghubung-penghubung yang lain,
g. S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara
menyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
j. Cara memberikan anestesi
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan
obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk
operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja.
Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus dengan dosis
tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan.
Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi.
Pada operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila
relaksasinya kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak
bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen

22
maka usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang
memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan. Keadaan relaksasi
bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang relaksasi
salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan
mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat.
Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis
obat anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga
menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan
ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang
sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital
sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar
tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita
dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan
analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle
relaxant) tehnik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant,
maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau
mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak
dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa),
tanpa dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian,
karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya tergantung dari
pengendalian pelaksana anestesi, karena itu balance anestesi juga
disebut dengan tehnik respirasi kendali atau control respiration.
Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam
keadaan terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka
ada beberapa keuntungan antara lain :
- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat
dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi
inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun
sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita
yang tidak sadar.
- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa
melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam

23
darah sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak.
Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah
untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka
mempermudah tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy)
tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga dapat
mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak
kita tergantung keperluan. Dengan demikian berdasar
respirasinya, anestesi umum dibedakan dalam 3 macam yaitu:
- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.
- Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi:
pernafasanpenderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.
- Assisted Respirasi : penderita bernafas spontan tetapi masih kita
berikan sedikit bantuan

Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena,


maka disebut anestesi intravena total (total intravenous
anesthesia/TIVA). Bila induksi dan maintenance anestesi
menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile
Inhalation and Maintenance Anesthesia)1
5. Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi
diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi
inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen
dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka
oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat
anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara
ekspirasi.
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga
berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan
tekanan parsiel obat anestesi inhalasi didalamdarah. Maka terjadilah

24
difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli.
Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi
makin meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi ke
dalam darah.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat
oksigenisasi) difusi kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar
oksigen di dalam darah meningkat, menggantikan posisi obat anestesi
yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam
darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain
akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme
dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga
berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obatanestesi di
dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat
anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya
dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu
sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa
endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET).
Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi
spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya
tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam
mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu
antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi
dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam. Pada

25
penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan
setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya
penderita dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu
memberikan obat antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas
sudah adekuat bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle
relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan ekstubasi setelah penderita
sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan
kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif
tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan
menggunakan alat nerve stimulator.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrettes score,
nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara
ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi :
Hal yang dinilai Nilai
1. Kesadaran:
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0

2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk 2
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan 1
Apnoe 0

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi


Perbedaan +- 20 2
Perbedaan +- 50 1
Perbedaan lebih dari 50 0

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas


2
perintah:
1
4 ekstremitas
0
2 ekstremitas
Tidak dapat

5. Warna kulit

26
Normal 2
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik 1
Cyanotic 0

B. Soft Tissue Tumor


1. Definisi
Soft tissue atau jaringan lunak merupakan semua jaringan nonepitel
selain tulang, tulang rawan, otak dan selaputnya, sistem saraf pusat, sel
hematopoietik, dan jaringan limfoid. Tumor jaringan lunak umumnya
diklasifikasikan berdasarkan jenis jaringan yang membentuknya,
termasuk lemak, jaringan fibrosa, otot dan jaringan neurovaskular.
Namun, sebagian tumor jaringan lunak tidak diketahui asalnya. Tumor
(berasal dari tumere bahasa Latin, yang berarti "bengkak"), merupakan
salah satu dari lima karakteristik inflamasi. Namun, istilah ini sekarang
digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan jaringan biologis yang
tidak normal. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas
(malignant) atau jinak (benign). Tumor jaringan lunak atau Soft Tissue
Tumor (STT) adalah suatu benjolan atau pembengkakan abnormal yang
disebabkan pertumbuhan sel baru.
2. Anatomi dan Histologi
Menurut jaringan embrional manusia terdapat 3 lapisan, yaitu :
a. Ektoderm : berkembangbiak menjadi epitel kulit dengan
adneksanya, neuroektoderm, yaitu sel otak dan saraf.
b. Endoderm : berkembang menjadi epitel mukosa, kelenjar, parenchim
organ visceral.
c. Mesoderm : berkembang menjadi jaringan ikat, jaringan lemak,
tulang rawan, tulang, otot polos, otot serat lintang, jaringan
hematopoietik (sum-sum tulang dan jaringan limfoid), pembuluh
darah, dan pembuluh limfe.
Jaringan lemak
Jaringan lemak adalah jenis jaringan ikat khusus yang terutama
terdiri atas sel lemak (Adiposit). Pada pria dewasa normal, jaringan

27
lemak merupakan 15-20% dari berat badan, pada wanita normal 20-
25% dari berat badan.
Jaringan fibrosa
Jaringan ikat Fibrosa (Fibrosa) tersusun dari matriks yang
mengandung serabut fleksibel berupa kolagen dan bersifat tidak elastis.
Fibrosa ditemukan pada tendon otot, ligamen, dan simfisis pubis.
Fungsinya antara lain sebagai penyokong dan pelindung, penghubung
antara otot dan tulang serta penghubung antara tulang dan tulang.
Otot
Otot adalah sebuah jaringan dalam tubuh dengan kontraksi sebagai
tugas utama. Otot diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu otot lurik,
otot polos dan otot jantung. Otot menyebabkan pergerakan suatu
organisme maupun pergerakan dari organ dalam organisme tersebut.
- Otot lurik
Otot lurik bekerja di bawah kehendak (otot sadar) sehingga
disebut otot volunteer. Pergerakannya diatur sinyal dari sel saraf
motorik. Otot ini menempel pada kerangka dan digunakan untuk
pergerakan.
- Otot polos
Otot yang ditemukan dalam intestinum dan pembuluh darah
bekerja dengan pengaturan dari sistem saraf tak sadar, yaitu saraf
otonom.
- Otot jantung
Kontraksi otot jantung bersifat involunter, kuat dan berirama.

3. Klasifikasi Soft Tissue Tumor


No. Soft tissue tumor

Lipoma
1. Tumor Jaringan Lemak
Liposarkoma

2. Tumor dan Lesi Mirip-Tumor pada Fasilitis Nodularis


Jaringan Fibrosa
Fibromatosis
Fibromatosis

28
Superfisialis
Fibromatosis Profunda
Fibrosarkoma

Histiositoma Fibrosa
Dermatofibrosarkoma
3. Tumor Fibriohistiositik Protuberans
Histiositoma Fibrosa
Maligna

Rabdomioma
4. Tumor Otot Rangka
Rabdomiosarkoma

Leiomioma
Leiomiosarkoma
5. Tumor Otot Polos
Tumor otot polos dengan
potensi keganasan tidak
jelas

Hemangioma
Limfangioma
6. Tumor Vaskular Hemangioendotelioma
Hemangioperisitoma
Angiosarkoma

Neurofibroma
Schwannoma
7. Tumor Saraf Perifer
Tumor ganas selubung
saraf perifer

Tumor Sel Granular


Sarkoma Sinovium
8. Tumor yang Histogenesisnya Tidak Jelas Sarkoma bagian lunak
alveolus
Sarkoma Epitelioid

29
BAB IV

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam


ASA I karena penderita berusia 29 tahun dan tidak memiliki gangguan sistemik.
Selain itu dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan kelainan
organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia yang berarti. Berdasarkan diagnosis
bedah pasien yaitu soft tissue tumor, rencana operasinya adalah eksisi sehingga
jenis anestesi yang akan dilakukan adalah general anestesi karena membuat
pasien lebih tenang.
Obat-obatan premedikasi yang diberikan adalah ondancetron 1 ampul dan
ketoprofen 1 ampul. Ondansetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin
5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan
muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks
muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya.

30
Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang
bisa menyebabkan aspirasi pada pasien saat operasi. Ketoprofen adalah termasuk
dalam golongan obat anti inflamasi non steroid (AINS), derivat asam propionat.
Obat anti inflamasi non steroid merupakan obat yang mempunyai efek analgesik
(penghilang rasa sakit), antipiretik (penurun panas) dan antiinflamasi
(menghilangkan pembengkakan) dengan mekanisme kerjanya adalah
menghambat sintesa prostaglandin
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi general yaitu
propofol sebanyak 1 ampul. Kerja propofol adalah hipnotik murni, tidak
mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot. Melalui mekanisme pada
reseptor GABA di hippocampus, propofol menghambat pelepasan
acethylcholine pada hippocampus dan kortek prefrontal.
Teknik :
1. Pasien dalam posisi miring kiri
2. Cek infuse pasien, mesin anestesi serta sistem sirkuitnya dan gas anestesi
yang akan digunakan
3. O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka)
4. Menyiapkan stetoskop, kanul oksigen
5. Setelah obat premedikasi dan induksi masuk, kita memastikan pasien sudah
dalam keadaan tidur.
6. Mengawasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas pasien,
pantau denyut nadi dan tekanan darah.
7. Setelah operasi selesai, pelepasan monitoring alat serta kanul oksigen.
Pasien sudah tidak makan dan minum 8 jam, namun sudah di pelihara
kekurangan cairannya dengan memberikan cairan infus selama di bangsal.
Untuk kebutuhan selama operasi berlangsung :
BB = 70 kg
a. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 2 x 70 = 140 cc/jam
b. Stress operasi (ringan) 4cc/kgBB/jam = 4 x 70 = 280 cc/jam
c. Pengganti puasa = 8 x 140 = 1120 cc/jam
Perdarahan <20 % EBV tidak perlu transfusi, cukup diganti dengan
kristaloid
Pemberian Cairan :

31
Kebutuhan cairan selama operasi ringan 20 menit
= maintenance + stress operasi
= 140 + 280
= 420 cc/ jam
= 140 cc untuk 20 menit
Operasi berlangsung selama 20 menit, sehingga kebutuhan cairan pasien
adalah sebanyak 140 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah
perdarahan pada kasus ini yaitu sebanyak 60 cc. Menurut perhitungan,
perdarahan yang lebih dari 20 % Estimated Blood Volume (EBV) harus
dilakukan tindakan pemberian transfusi darah. Pada pasien ini, perkiraan
perdarahan adalah 100 cc, dimana EBV-nya adalah 4550 cc.

EBV perempuan dewasa= 65 cc/kgBB = 65 x 70 cc = 4550 cc

Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah 2,19 %

% EBV = 100/4550 x 100 % = 2,19 %

Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak
diperlukan tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (koloid 1flab)
sudah cukup untuk menangani banyaknya perdarahan.
Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai
berikut:
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 70x 2 cc = 140cc/jam
2. Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~ 20
tetes adalah 140/60 x 20 tetes = 46 tetes/menit
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post
operasi dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit
Dari hasil Aldrrete score di dapatkan :
Aldrete Score Point Nilai Pada Pasien
Motorik 4 ekstermitas 2
2 ekstremitas 1
- 0

32
Respirasi Spontan + batuk 2
Nafas kurang 1
- 0
Sirkulasi Beda <20% 2
20-50% 1
>50% 0
Kesadaran Sadar penuh 2
Ketika dipanggil 1
- 0
Kulit Kemerahan 2
Pucat 1
Sianosis 0
Total 10

Apabila total Aldrete score >8 pasien sudah dapat dipindah ke bangsal.
Pada saat malam hari post operasi.
Sistem Pernapasan
Respiratory Rate : 20 x/mnt
Sistem Sirkulasi
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/mnt
Sistem Saraf Pusat
GCS : 15
Sistem Perkemihan
Dalam batas normal
Sistem Pencernaan
Bising usus : 5x/mnt
Sistem Muskuloskeletal
Dalam batas normal

33
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ny. S, usia 29 tahun, berat badan 70 kg, tinggi badan 165 cm. Pasien
pada kasus ini didiagnosis dengan soft tissu tumor regio dorsum dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan pasien
berencana operasi pengambilan benjolan yang sudah ada 3 bulan. Untuk
rencana penatalaksanaan pasien ini dengan operatif, teknik operatif eksisi
dengan anestesi general.
Kebutuhan cairan selama operasi yaitu jumlah dari maintanance dan
stress operasi (140 + 280 = 420 cc) untuk 1 jam pertama karena pasien
hanya memerlukan 20 menit untuk operasi jadi hanya memerlukan cairan
140 cc, sedangkan cairan yang sudah diberikan saat operasi adalah 500 cc,
sehingga balance cairannya adalah +360cc. Selama proses operasi tidak
terjadi masalah gejolak hemodinamik.
Di ruang pemulihan (recovery room), vital sign pasien dalam batas
normal dan nilai aldrette score mencapai 10 sehingga pasien selanjutnya
bisa dipindahkan ke bangsal.
B. Saran
Persiapan preoperatif pada pasien perlu dilakukan agar proses
anestesi dapat berjalan dengan baik
Perhatikan kebutuhan cairan pasien saat berlangsungnya operasi
Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat
melihat keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.

34
DAFTAR PUSTAKA

dr. Gde Mangku, Sp.An. KIC, dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An.,
Editors; Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta.
2010.

Desai, A. General Considerations.


http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.

Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR., Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
FK UI. 2009; 2: 29-96

Pecci M., Kreher JB., Clavicle fracture. (Cited) January, 1st 2008. Available from
URL: http://www.aafp.org/afp/2008/0101/p.65.html

Rubino LJ., Clavicle Fracture. (Cited) March, 7th 2012. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1260953-overview#a0199.

Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC,
Jakarta, 2005,

35

Anda mungkin juga menyukai