Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prinsip-prinsip dan teknik yang digunakan pada suatu terapi perilaku


(behavior therapy) sangat banyak didasarkan pada teori-teori belajar. Teori-teori
ini membentuk dasar untuk berbagai macam penanganan yang telah didukung
oleh penelitian serta sering digunakan dalam praktek klinis. Contoh penanganan
yang telah dikenal dengan baik di kalangan ilmu kesehatan jiwa, yaitu
penanganan yang berasal dari pendekatan perilaku meliputi pelatihan ketegasan
(assertiveness training), pelatihan interaksi orangtua-anak, paparan dan
pencegahan respon untuk gangguan obsesif-kompulsif, desensitisasi sistematis
untuk fobia, manajemen stres, token ekonomi, dan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem-solving skills training).1,2,3
Pendekatan perilaku melibatkan pemikiran tentang gejala klinis sebagai
perilaku yang dapat dipelajari dan mengembangkan program pengobatan yang
dapat membantu pasien untuk mempelajari cara-cara baru dalam berperilaku (dan
kadang-kadang berpikir). Selain itu, pendekatan perilaku juga melibatkan suatu
upaya untuk mengurangi gejala yang dialami pasien dan upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup mereka. Untuk mengembangkan rencana terapi
perilaku (behavior therapy) yang tepat, sangat penting untuk menggunakan
strategi penilaian perilaku agar dalam merumuskan konseptualisasi kasus, yang
kemudian menuntun pada perlunya pemilihan teknik terapi yang khusus.1,2
Terapi perilaku tidak selalu melibatkan pencocokan sederhana dari
gangguan dan teknik terapi atau penanganan, meskipun upaya untuk memilih
pendekatan yang tepat juga terjadi dalam konteks literatur ilmiah, yaitu memilih
dari pendekatan-pendekatan terapi yang telah dibuktikan efektivitasnya dalam uji
klinis acak. Komponen kunci lain dari pendekatan perilaku melibatkan identifikasi
ukuran hasil yang dapat dinilai dari waktu ke waktu untuk mengevaluasi
efektivitas pengobatan dan tingkat perubahan yang terjadi pada pasien dengan
gangguan-gangguan psikiatri tertentu.1,3

1
Penanganan perilaku untuk gejala psikiatri telah ada setidaknya sejak abad
pertama, ketika Pliny menggunakan jenis terapi keengganan (aversion therapy)
untuk mengubah perilaku minum dengan menempatkan laba-laba di bagian bawah
gelas peminum. Prosedur perilaku ini juga digunakan oleh Alexander Maconochie
pada awal abad ke-19 ketika ia membentuk token ekonomi dimana para tahanan
diberikan poin untuk perilaku positif pada koloni di Pulau Norfolk, Australia.
Namun, aplikasi formal dari prinsip pembelajaran (misalnya, pengkondisian
klasik, pengkondisian operan, dan teori-teori pembelajaran sosial) dan gerakan ke
arah pendekatan perilaku untuk pengobatan perilaku abnormal muncul pada tahun
1920-an.1
Terapi perilaku terdiri dari banyak intervensi yang berbeda dan melibatkan
beragam jenis program pengobatan. Selain itu, terapi perilaku menggabungkan
teknik perilaku-kognitif dan telah terbukti berkhasiat dalam terapi berbagai jenis
gangguan kejiwaan. Meskipun terdapat teknik-teknik dan perawatan secara luas,
namun, semua variasi penanganan atau terapi perilaku memiliki asumsi dasar atau
prinsip-prinsip tertentu.1,4
Perilaku maladaptif diperoleh melalui pembelajaran, sesuai dengan
prinsip-prinsip yang sama dan mengatur pembelajaran pada perilaku adaptif.
Perilaku tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan melalui pengondisian klasik,
pengkondisian operan, dan proses belajar. Ahli terapi perilaku menggunakan
model-model pembelajaran untuk menjelaskan bagaimana perilaku maladaptif dan
adaptif (pikiran dan perasaan) mengembangkan dan menciptakan strategi yang
dapat membantu pasien untuk mengubah perilaku serta meningkatkan fungsi
hidupnya. Meskipun beberapa pola perilaku jelas memiliki mekanisme genetik
atau neurobiologis yang signifikan (misalnya, gangguan kognitif yang dihasilkan
akibat keterbelakangan mental, demensia, cedera otak traumatis), ahli terapi
perilaku berfokus pada peran mempelajari sejarah atau riwayat pasien.1,3
Terapis perilaku kontemporer sering mempertimbangkan peran
pembelajaran dalam konteks faktor predisposisi, beberapa di antaranya mungkin
termasuk pengaruh berdasarkan biologis seperti genetika, temperamen, dan
keadaan fisiologis. Meskipun ahli behaviorisme awal, hanya terfokus pada
dampak dari variabel lingkungan, perilaku terapis pada saat ini sering mencari

2
interaksi antara indiviu dan situasi, untuk mengidentifikasi bagaimana pola
perilaku maladaptif tersebut dipelajari. Misalnya, isyarat-isyarat sosial tertentu
(misalnya, berbicara lantang di kelas, memberikan laporan buku secara lisan) akan
lebih mudah dikondisikan untuk memperoleh kecemasan pada anak dengan
temperamen introvert.1,3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Terapi Perilaku (Behavior Therapy)

Pada awal tahun 1920-an, laporan yang tersebar tentang penerapan


prinsip-prinsip pembelajaran untuk penanganan gangguan perilaku mulai
bermunculan, tetapi laporan-laporan tersebut memiliki sedikit efek pada arus
utama psikiatri dan psikologi klinis. Sebelum tahun 1960-an, terapi perilaku
muncul sebagai pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk gangguan
kejiwaan (perilaku). Pada waktu itu, terapi perilaku muncul secara independen di
tiga benua. Joseph Wolpe dan rekan-rekannya di Johannesburg, Afrika Selatan,
menggunakan teknik Pavlov untuk menghasilkan dan menghilangkan neurosis
eksperimental pada kucing. Dari penelitian ini, Wolpe mengembangkan teknik
desensitisasi sistematis, prototipe dari banyak prosedur perilaku yang saat ini
digunakan untuk pengobatan kecemasan maladaptif akibat rangsangan yang dapat
dikenali di lingkungan.5,

Pada waktu yang sama, kelompok penelitian di Institut Psikiatri


Universitas London, khususnya Hans Jurgen Eysenck dan M. B. Shapiro,
menekankan pentingnya pendekatan empiris dan eksperimental untuk memahami
dan mengobati pasien secara individual dengan menggunakan paradigma
eksperimental kasus dan teori belajar modern. Asal dari ketiga terapi perilaku itu
merupakan pekerjaan-pekerjaan yang diilhami oleh penelitian dari seorang
psikolog Harvard yaitu B. F. Skinner. Murid-murid dari Skinner mulai
menerapkan teknologi pengkodisiannya, yang dikembangkan pada laboratorium
pengkondisian hewan untuk diterapkan manusia dalam latar klinis.5

Penanganan perilaku untuk gejala psikiatri telah ada setidaknya sejak abad
pertama, ketika Pliny menggunakan jenis terapi keengganan (aversion therapy)
untuk mengubah perilaku minum dengan menempatkan laba-laba di bagian bawah
gelas peminum. Prosedur perilaku ini juga digunakan oleh Alexander Maconochie
pada awal abad ke-19 ketika ia membentuk token ekonomi dimana para tahanan
diberikan poin untuk perilaku positif pada koloni di Pulau Norfolk, Australia.

4
Namun, aplikasi formal dari prinsip pembelajaran (misalnya, pengkondisian
klasik, pengkondisian operan, dan teori-teori pembelajaran sosial) dan gerakan ke
arah pendekatan perilaku untuk pengobatan perilaku abnormal muncul pada tahun
1920-an.5
Pada tahun 1920, kasus klasik "Little Albert" diterbitkan. Kasus ini
menunjukkan penerapan prinsip-prinsip pengkondisian klasik dengan memperoleh
atau mempelajari rasa takut. Dalam varian dari paradigma pengkondisian Pavlov
yang terkenal, Albert dikondisikan untuk takut terhadap tikus putih ketika batang
baja dipukul bersama-sama di atas kepalanya dan pada saat yang sama tikus putih
dimumculkan di depannya. Setelah lima pemasangan dari suara keras dan tikus
putih, Albert menunjukkan tanda-tanda tertekan dan ketakutan. Prinsip-prinsip ini
juga sama-sama diterapkan pada ketakutan yang tidak dikondisikan atau dipelajari
pada anak lain seperti Peter yang takut terhadap tikus, kelinci, dan benda-benda
berbulu lainnya. Untuk dekondisi rasa takut, kelinci dikurung dan secara bertahap
dipindahkan lebih dekat ke arah Peter ketika ia sedang memakan makanan
favoritnya. Pemasangan yang bertahap dan berulang dari kelinci dan makanan
yang menyenangkan menyebabkan pengurangan tanda-tanda ketakutan pada
Peter.1
Empat belas tahun kemudian, set penelitian yang lain menunjukkan
penggunaan teknik bell-dan-pad untuk mengobati enuresis atau gangguan
mengompol. Pendekatan pengobatan ini juga mengandalkan prinsip-prinsip
pengkondisian klasik. Lonceng (buzzer) ditanamkan pada sebuah pad di tempat
tidur dan anak akan terdengar setiap kali pad tersebut basah akibat anak
mengompol. Pasangan pad yang dibasahi dan bunyi bel mengkondisikan anak
untuk bangun pada saat kandung kemih terdistensi (onset buang air kecil) dan
terjadi kontraksi otot sfingter kandung kemih. Pada akhirnya, anak belajar untuk
terbangun pada sensasi penuh dari kandung kemih tanpa perlu lagi menggunakan
lonceng / bel.1
Pada pertengahan 1950-an, sejumlah perkembangan dalam psikiatri dan
psikologi menyebabkan ekspansi yang signifikan dalam penekanan pada
penanganan perilaku. Prinsip pengkondisian operan dipelajari oleh B. F. Skinner
dan rekan-rekannya serta mulai diterapkan pada pengobatan gangguan kejiwaan.

5
Skinner dan kawan-kawan secara resmi mengkritik pandangan psikoanalitik yang
dominan dari gangguan kejiwaan dan penanganannya, serta menawarkan alternatif
perspektif modifikasi perilaku sebagai pendekatan yang layak untuk mengubah
perilaku pada orang dengan keterbelakangan mental atau penyakit mental yang
serius (misalnya, skizofrenia).1
Penelitian didasarkan pada prinsip-prinsip pembelajaran yang
menyebabkan pengembangan sistem token ekonomi. Sistem tersebut memang
awalnya digunakan dalam latar rawat inap untuk memotivasi pasien agar
mengubah perilakunya dalam menanggapi berbagai konsekuensi. Dalam sistem
ini, token (misalnya, poin, bintang, chip) yang diperoleh untuk perilaku tertentu
dapat kemudian ditukar dengan penguatan-penguatan lainnya seperti makanan
atau waktu menonton televisi.1,4

B. Prinsip-Prinnsip pada Terapi Perilaku (Behavior Therapy)

Istilah perilaku dalam terapi perilaku mengacu pada suatu tindakan dan
tanggapan seseorang yang dapat diamati. Terapi perilaku melibatkan upaya-upaya
untuk mengubah perilaku pasien sehingga disfungsi yang dialami pasien tersebut
dapat berkurang dan berdampak pada terjadi peningkatan kualitas hidup (quality
of life). Terapi perilaku mencakup pada metodologi yang disebut sebagai analisis
perilaku (behavior analysis), untuk pemilihan strategis untuk agar dapat
mengubah perilaku seseorang, dan teknologi-teknologi yang membawa perubahan
perilaku, seperti tindakan memodifikasi anteseden, konsekuensi atau memberikan
instruksi. Terapi perilaku tidak hanya mempengaruhi dalam layanan kesehatan
mental, tetapi berada di bawah domain kedokteran perilaku yang luas dimana
terapi ini juga telah membuat terobosan dalam spesialisasi medis atau kedokteran
lainnya.1,3,5

Terapi perilaku merupakan aplikasi klinis dari prinsip-prinsip yang


dikembangkan dalam teori pembelajaran. Psikologi perilaku atau yang disebut
sebagai behaviorisme, muncul pada awal abad ke-20 sebagai reaksi terhadap
metode introspeksi yang mendominasi psikologi pada waktu itu. John B. Watson,
bapak dari ilmu behaviorisme, awalnya mempelajari psikologi pada hewan. Latar

6
belakang ini membuat sebuah lompatan konseptual yang kecil untuk berpendapat
bahwa psikologi harus berfokus pada gejala atau fenomena yang tampak secara
terbuka (yaitu, tingkah laku yang dapat dilihat secara terang-terangan). Menurut
pemikiran ilmu behavioristik, oleh sebab isi dari pikiran /mental tidak dapat
diamati secara terbuka, maka tidak dapat dikenakan suatu penyelidikan ilmiah
yang ketat. Akibatnya, para ahli behaviorisme mengembangkan fokus pada
perilaku yang dapat terlihat atau teramati dengan jelas dan pengaruh-pengaruh
lingkungan yang ada.1,3,5

Sekarang ini, sekolah-sekolah perilaku terus memberikan fokus pada


perilaku yang dapat dilihat. Pandangan perilaku berbeda dari pandangan kognitif
bahwa peristiwa fisiklah yang mengendalikan perilaku dan bukan peristiwa-
peristiwa mental. Menurut behaviorisme, fenomena mental atau spekulasi
mengenai keadaan ini memiliki sangat sedikit atau bahkan tidak memiliki
kepentingan ilmiah.5

1. Masalah Teoritis pada Terapi Perilaku

Terapi perilaku terdiri dari banyak intervensi yang berbeda dan beragam
program pengobatan, yang menggabungkan teknik perilaku (dan kognitif) dan
telah terbukti berkhasiat pada terapi berbagai jenis gangguan kejiwaan. Meskipun
terdapat teknik-teknik dan perawatan secara luas, namun, semua variasi
penanganan atau terapi perilaku memiliki asumsi dasar atau prinsip-prinsip
tertentu.1,6
Perilaku maladaptif diperoleh melalui pembelajaran, sesuai dengan
prinsip-prinsip yang sama dan mengatur pembelajaran pada perilaku adaptif.
Perilaku tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan melalui pengondisian klasik,
pengkondisian operan, dan proses belajar. Ahli terapi perilaku menggunakan
model-model pembelajaran untuk menjelaskan bagaimana perilaku maladaptif dan
adaptif (pikiran dan perasaan) mengembangkan dan menciptakan strategi yang
dapat membantu pasien untuk mengubah perilaku serta meningkatkan fungsi
hidupnya. Meskipun beberapa pola perilaku jelas memiliki mekanisme genetik
atau neurobiologis yang signifikan (misalnya, gangguan kognitif yang dihasilkan

7
akibat keterbelakangan mental, demensia, cedera otak traumatis), ahli terapi
perilaku berfokus pada peran mempelajari sejarah atau riwayat pasien.1,6
Terapis perilaku kontemporer sering mempertimbangkan peran
pembelajaran dalam konteks faktor predisposisi, beberapa di antaranya mungkin
termasuk pengaruh berdasarkan biologis seperti genetika, temperamen, dan
keadaan fisiologis. Meskipun ahli behaviorisme awal, hanya terfokus pada
dampak dari variabel lingkungan, perilaku terapis pada saat ini sering mencari
interaksi antara indiviu dan situasi, untuk mengidentifikasi bagaimana pola
perilaku maladaptif tersebut dipelajari. Misalnya, isyarat-isyarat sosial tertentu
(misalnya, berbicara lantang di kelas, memberikan laporan buku secara lisan) akan
lebih mudah dikondisikan untuk memperoleh kecemasan pada anak dengan
temperamen introvert.1,7
Pada terapi perilaku, tidak perlu untuk mengidentifikasi penyebab atau
motif yang mendasari perilaku maladaptif. Dalam model terapi perilaku, perilaku
maladaptif dipandang sebagai masalah yang harus diperlakukan dan tidak melihat
tanda-tanda gangguan yang mendasarinya. Meskipun terapis perilaku sekarang
mempertimbangkan berbagai proses internal (misalnya, pikiran, rangsangan
fisiologis) sebagai bagian dari target untuk penilaian dan pengobatan, mereka
tidak mencari proses motivasi yang mendasari suatu penyakit. Terapis perilaku
kontemporer melihat proses internal sebagai perilaku yang dapat diukur (dengan
catatan pemikiran, penilaian fisiologis), bertentangan dengan pendekatan
psikoanalitik atau psikodinamik yang lebih tradisional dan melihat gejala sebagai
manifestasi dari proses penyakit yang mendasarinya secara lebih dalam diaman
hal tersebut tidak dapat diukur. Misalnya, seorang terapis perilaku akan melihat
gangguan kecemasan sosial sebagai konstelasi gejala yang meliputi rasa takut/
kecemasan dalam situasi sosial, evaluasi harapan negatif (misalnya, "Orang-orang
akan berpikir pembicaraan saya sangat tidak bagus"), menghindari situasi sosial
(misalnya, tidak menghadiri pertemuan sosial, tidak berbicara keras-keras di
kelas), dan rangsangan fisiologis (ketika berpikir tentang atau memasuki suatu
situasi sosial).1,6,7
Seorang terapis psikodinamik mungkin menganggap kecemasan sosial
sebagai tanda dari proses penyakit yang lebih rumit dan tidak sadar bahwa hal ini

8
terletak pada hubungan awal anak dengan pengasuhnya (misalnya,
hubungan/attachment kedekatan yang tidak aman dan pengalaman penolakan
pada awal kehidupan). Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa terapis perilaku
mengabaikan faktor sejarah atau perkembangan manusia. Terapis perilaku
memeriksa riwayat pasien untuk memdapatkan informasi tentang perkembangan
gejala saat ini, tetapi fokusnya adalah untuk memperoleh informasi tentang
sejarah awal pembelajaran perilaku (misalnya, model apa yang ada di lingkungan
awal dari seseorang? perilaku apa yang diperkuat?) dan bukan pada identifikasi
proses motivasi atau penyakit yang mendasarinya.1,8
Prinsip-prinsip belajar dapat digunakan untuk memodifikasi perilaku
maladaptif. Prinsip yang sama dan mengarahkan pada akuisisi perilaku maladaptif
dapat digunakan untuk mengubah perilaku tersebut. Intervensi dan penanganan
difokuskan pada menghilangkan perilaku maladaptif dan memperoleh perilaku
yang baru (dan cara berpikir yang baru) untuk dapat memperbaiki suatu gangguan
kejiwaan dan gejalanya. Pasien dapat mempelajari cara-cara baru untuk
menanggapi situasi tertentu, dan anggota keluarga (misalnya, orang tua dari anak-
anak, pasangan, anak-anak dewasa) dapat belajar untuk membentuk perilaku
seseorang ke arah yang lebih adaptif. Tentu saja, oleh karena perilaku dapat
dimodifikasi sebagai hasil dari pembelajaran, tidak berarti bahwa perilaku tersebut
awalnya diperoleh dengan cara yang sama atau bahwa semua gangguan kejiwaan
dan gejala akan berespon terhadap suatu pendekatan terapi perilaku.1,9,10
Terapis perilaku kontemporer tentu mempertimbangkan peran faktor
biologis dalam modifikasi perilaku bermasalah dan mengakui bahwa banyak
gangguan kejiwaan dan gejalanya (misalnya, skizofrenia, gangguan bipolar,
depresi berat) juga membutuhkan pengobatan biologis. Namun, terapis perilaku
kemudian melihat mekanisme belajar untuk meningkatkan fungsi dan respon
terhadap obat-obatan yang diberikan. Misalnya, terapi kognitif-perilaku (CBT)
telah digunakan untuk membantu pasien-pasien dengan skizofrenia dan gangguan
bipolar agar dapat belajar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan,
mengurangi adanya halusinasi pendengaran, mengidentifikasi dan mengelola
tanda-tanda awal dari eksaserbasi gejala dan kekambuhan, serta meningkatkan
fungsi interpersonal dari pasien-pasien tersebut.1,11

9
Fokus penanganan perilaku yaitu pada faktor-faktor yang mempertahankan
perilaku saat ini. Sebagaimana dicatat sebelumnya, terapis perilaku sering
memperoleh informasi tentang masa lalu pasien untuk memahami bagaimana
mempelajari riwayat-riwayat pasien yang berkaitan dengan kesulitan saat ini
(misalnya, apa pola belajar awal yang memainkan peran dalam predisposisi pasien
untuk mengalami kesulitan saat ini?). Namun, bahkan lebih penting adalah
pemahaman tentang bagaimana proses lingkungan (dan internal) mempertahankan
perilaku saat ini. Intervensi kemudian berfokus untuk memodifikasi faktor-faktor
lingkungan dan mengajarkan cara-cara baru kepada pasien dalam berinteraksi
dengan lingkungan dan orang-orang lain serta untuk mengurangi perilaku, pikiran,
dan perasaan yang menimbulkan masalah. Penekanan pada perilaku saat ini agak
berbeda dengan penanganan psikoanalitik dan psikodinamik yang lebih
tradisional, dimana penyelidikan variabel riwayat dan gejala pasien merupakan
wawasan pusat.1,5,12
Terapis harus memiliki pengetahuan tentang literatur ilmiah yang relevan
dengan pasien yang mereka sedang tangani. Terapis perilaku (dan terapis kognitif-
perilaku) menempatkan nilai tinggi pada menggunakan teknik penilaian dan
pengobatan yang telah ditunjukkan memiliki efikasi dalam literatur ilmiah.
Meskipun penggunaan teknik ini dapat bervariasi, tergantung pada pasien tertentu,
terapis perilaku menggunakan literatur empiris untuk memandu pilihan mereka
untuk metode pengobatan. Kebanyakan terapis perilaku telah dilatih dalam suatu
model praktisi ilmuwan atau sarjana dokter, yang keduanya mengajarkan nilai-
nilai dalam mengintegrasikan perhatian perawatan klinis dan ilmu pengetahuan.
Ini merupakan tanggung jawab profesional terlatih untuk mempertahankan adanya
pengetahuan mendalam mengenai literatur ilmiah dan untuk menawarkan
pengobatan yang optimal kepada pasien mereka.1,3
Hal ini penting, untuk menetapkan tujuan pengobatan terukur dan hasil
ukuran tertentu. Komponen penting lainnya dari ilmu dan praktek pendekatan
terpadu dalam terapi perilaku melibatkan kerja sama dengan pasien untuk
menetapkan tujuan yang terukur dan mengevaluasi hasil pengobatan. Menetapkan
tujuan akan membantu dalam membuat rencana pengobatan (yaitu, menentukan
perilaku apa yang harus ditargetkan dan dalam rangka apa) serta untuk

10
menentukan apakah pengobatan telah efektif atau tidak (yaitu, menentukan
apakah perilaku, pikiran, perasaan yang diidentifikasi telah berubah dalam cara
yang diharapkan). Dalam tahap ini, sebagian besar terapis perilaku menggunakan
ukuran hasil obyektif sebagai bagian dari praktek klinis mereka, pertama untuk
menilai keparahan gejala dan konten pada awal pengobatan dan kemudian untuk
mengevaluasi apakah perubahan yang terjadi sesuai dengan yang diharapkan
(misalnya, Apakah keparahan depresi meningkat? Apakah perilaku bermasalah
menjadi kurang sering?).1
Tanpa ukuran yang objektif, sulit bagi terapis dan pasien untuk
mengevaluasi apakah perubahan substansial telah terjadi, mengingat bias dalam
mengingat dan adanya persepsi gejala sebelumnya. Berbagai alat penilaian telah
tersedia dan dapat diberikan pada awal pengobatan serta pada interval waktu
berikutnya untuk menilai telah sejauh mana perubahan perilaku di daerah yang
diidentifikasi. Pasien dan terapis bersama-sama dapat melacak gejala dari waktu
ke waktu untuk mengevaluasi kemajuan dan memodifikasi tujuan / intervensi jika
diperlukan. Dengan cara ini, terapis perilaku mengambil pendekatan empiris tidak
hanya untuk berdasarkan wawasan literatur ilmiah yang relevan, tetapi juga
berkaitan dengan suatu kerja sama dengan setiap pasien.1,3,5

C. Pelatihan Pasien dalam Terapi Perilaku

1. Desensitisasi sistematis

Desensitisasi sistematis dikembangkan oleh Wolpe, desensitisasi sistematis


didasarkan pada prinsip perilaku counterconditioning (pengkondisian sebaliknya),
dimana seseorang mencoba mengatasi kecemasan maladaptif yang ditimbulkan
oleh situasi atau objek dengan justru mendekati situasi atau objek yang ditakuti
tersebut secara bertahap pada keadaan psiko-fisiologis yang menghambat
kecemasan.1,5

Dalam desensitisasi sistematis, pasien mencapai keadaan relaksasi yang


lengkap dan kemudian terkena stimulus yang memunculkan respon kecemasan.
Reaksi negatif dari kecemasan dihambat oleh keadaan santai atau relaksasi dan ini
disebut sebagai proses inhibisi timbal balik (reciprocal inhibition). Daripada

11
menggunakan situasi aktual atau objek yang menimbulkan ketakutan, pasien dan
terapis menyiapkan daftar bergradasi atau hierarki adegan yang merangsang
kecemasan dan berhubungan dengan ketakutan pasien. Keadaan relaksasi yang
dipelajari dan adegan yang merangsang kecemasan secara sistematis dipasangkan
dalam terapi perilaku ini. Dengan demikian, desensitisasi sistematis terdiri dari
tiga langkah yaitu:1,5

-Pelatihan relaksasi

-Konstruksi hirarki

-Desensitisasi rangsangan.

a. Pelatihan relaksasi

Relaksasi menghasilkan efek fisiologis yang berlawanan pada orang-orang


yang mengalami kecemasan: denyut jantung yang lambat, peningkatan aliran
darah perifer, dan stabilitas neuromuskular. Berbagai metode relaksasi telah
dikembangkan. Beberapa metode seperti yoga dan Zen, telah dikenal selama
berabad-abad. Sebagian besar metode relaksasi tersebut menggunakan apa yang
disebut sebagai relaksasi progresif. Relaksasi progresif dikembangkan oleh
seorang psikiater bernama Edmund Jacobson. Pasien merelaksasikan kelompok
otot utama dalam urutan tertentu yang dimulai dengan kelompok otot kecil dari
kaki dan beregerak naik ke atas atau sebaliknya.1,5

Beberapa dokter menggunakan hipnotis untuk memfasilitasi relaksasi atau


menggunakan latihan untuk memungkinkan pasien untuk berlatih relaksasi
sendiri. Citra mental adalah metode relaksasi dimana pasien diinstruksikan untuk
membayangkan sendiri tempat-tempat yang santai dan berhubungan dengan
kenangan-kenangan yang menyenangkan. Gambaran tersebut memungkinkan
pasien untuk memasuki keadaan atau pengalaman santai yang disebut Herbert
Benson sebagai respons relaksasi. Perubahan fisiologis yang terjadi selama
relaksasi merupakan kebalikan dari perubahan fisiologis pada orang-orang akibat
rspons terhadap stres adrenergik dan merupakan bagian dari emosi. Ketegangan
otot, laju respirasi, denyut jantung, tekanan darah, dan konduktansi kulit

12
mengalami penurunan. Suhu jari dan aliran darah ke jari-jari biasanya mengalami
peningkatan meningkat. Proses relaksasi menyebabkan terjadinya peningkatan
variabilitas dalam pola atau laju pernapasan, detak jantung, dan indeks tonus
parasimpatis.1,5,13

Relaksasi sebagai terapi yang berdiri sendiri dapat dipergunakan untuk


mengatasi masalah-masalah sehari-hari seperti mengatasi kemarahan, nyeri kepala
tegang, insomnia, disfungsi seksual (ejakulasi dini), depresi, dan membantu
mengurangi kecemasan. Namun demikian, terapi relaksasi tidak tepat digunakan
pada pasien yang memiliki riwayat penyakit asma bronkial oleh sebab penurunan
aktivitas simpatik dapat menimbulkan resistensi pada jalan napas.14

b. Konstruksi Hirarki

Ketika membuat sebuah hirarki, dokter menentukan semua kondisi yang


dapat menimbulkan kecemasan, dan kemudian pasien membuat daftar hirarki
sebanyak 10 sampai 12 adegan dalam rangka mencapai kecemasan yang semakin
meningkat. Sebagai contoh, hirarki akrofobia dapat dimulai dengan
membayangkan pasien berdiri di dekat jendela di lantai kedua dan diakhiri dengan
berada di atap sebuah bangunan 20 lantai, bersandar pada penjaga rel dan melihat
lurus ke bawah. Tabel 1 memberikan contoh dari konstruksi hirarki karena takut
air dan ketinggian.5

Tabel 1. Contoh Konstruksi Hierarki (dari yang kurang menakutkan sampai


yang paling menakutkan): Takut Terhadap Air5

1. Mandi di rumah dengan gayung.


2. Mandi di rumah menggunakan pancuran air (shower).
3. Pergi ke bagian yang dangkal dari kolam renang.
4. Mulai berenang pada bagian yang dangkal dari kolam renang.
5. Melompat pada kolam renang yang dangkal.
6. Mulai berenang pada bagian kolam yang lebih dalam (menengah).
7. Mulai berenang ke bagian yang dalam.
8. Melihat orang melompat dari papan berenang yang tinggi.

13
c. Desensitisasi dari Stimulus
Langkah akhir disebut sebagai desensitisasi dimana pasien melalui secara
sistematis daftar situasi atau objek dari kecil sampai yang paling memprovokasi
terjadinya kecemasan sambil dalam berada keadaan relaksasi atau tenang. Tingkat
dimana pasien maju melalui daftar ditentukan oleh tanggapan mereka terhadap
rangsangan. Ketika pasien dengan jelas dapat membayangkan adegan yang
memprovokasi kecemasan sebagian hirarki dalam keadaan tenang, maka mereka
akan mengalami kecemasan yang kecil dalam menghadapi situasi kehidupan nyata
yang sesuai.1,5
Pada desentisasi sistematis juga dapat digunakan obat ajuvan. Dokter telah
menggunakan berbagai obat untuk mempercepat relaksasi, tetapi obat tersebut
harus digunakan secara hati-hati dan hanya oleh dokter yang terlatih serta
berpengalaman dalam potensi efek samping. Barbiturat natrium methohexital
(Brevital) atau diazepam (Valium) dapat diberikan secara intravena dalam dosis
yang lebih rendah (subanesthetic). Jika Rincian prosedural diikuti dengan
seksama, hampir semua pasien menemukan bahwa prosedur ini menyenangkan,
dengan beberapa efek samping yang tidak menyenangkan. Keuntungan dari
desensitisasi farmakologis yaitu bahwa pelatihan awal pada tahap relaksasi dapat
dipersingkat, hampir semua pasien dapat mengalami relaksasi secara adekuat, dan
penanganan atau terapi itu sendiri tampaknya untuk berlanjut lebih cepat jika
dibandingkan tanpa adanya obat-obatan.5
Terapi perilaku dalam hal ini desentisasi sistematis seharusnya diterapkan
sesuai dengan indikasi. Desensitisasi sistematis terbaik diterapkan dalam kasus
stimulus perangsang kecemasan yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Fobia,
obsesi, kompulsi, dan gangguan seksual tertentu telah berhasil diobati dengan
teknik terapi perilaku ini.1,5

2. Paparan Terapeutik Bertingkat (Therapeutic-Graded Exposure)

Paparan terapi bertingkat memiliki kemiripan dengan metode desensitisasi


sistematis, kecuali dalam hal pelatihan relaksasi tidak terlibat dan pengobatan
biasanya dilakukan dalam konteks kehidupan nyata. Ini berarti bahwa individu

14
harus dibawa dalam kontak dengan stimulus peringatan untuk mempelajari bahwa
tidak ada konsekuensi berbahaya yang akan terjadi. Paparan ini bertingkat
menurut hirarki. Pasien yang takut kucing, misalnya, mungkin secara bertahap
melihat gambar-gambar kucing. Pada tahapa bertingkat selanjutnya pasien mulai
memegang dan mengelus seekor kucing sampai fobia kucing tersebut berkurang
dan bahkan menghilang.5

3. Flooding

Flooding (kadang-kadang disebut sebagai ledakan/implosion) ditemukan


mirip dengan paparan bertingkat dalam hal melibatkan terapis untuk mengekspos
atau memaparkan pasien ke objek ditakuti secara in vivo namun tidak ada hirarki.
Flooding didasarkan pada premis bahwa melarikan diri dari pengalaman yang
merangsang kecemasan dapat memperkuat kecemasan melalui pengkondisian.
Dengan demikian, dokter dapat memadamkan kecemasan dan mencegah perilaku
penghindaran terkondisi dengan tidak membiarkan pasien untuk melarikan diri
situasi yang menyebabkan ketakutan atau kecemasan tersebut. Dokter mendorong
pasien untuk menghadapi situasi takut secara langsung, tanpa penumpukan
bertahap, seperti dalam desensitisasi atau paparan bertingkat.1,5,15
Tidak ada latihan relaksasi yang digunakan, seperti dalam desensitisasi
sistematis. Pasien mengalami rasa takut, yang secara bertahap mereda setelah
beberapa waktu. Keberhasilan prosedur ini tergantung pada membuat pasien tetap
dalam situasi ketakutan sampai mereka menjadi tenang dan memperoleh adanya
rasa penguasaan. Menarik diri secara cepat (premature withdrawing) dari situasi
atau secara cepat mengakhiri adegan dianggap setara dengan melarikan diri yang
kemudian dapat memperkuat kecemasan terkondisi dan perilaku penghindaran
serta menghasilkan kebalikan dari efek yang diinginkan.5,15
Dalam varian terapi ini yang disebut imaginal flooding, objek atau situasi
yang ditakuti dihadapkan hanya pada imajinasi dan tidak dalam kehidupan nyata.
Banyak pasien menolak fooding karena adanya ketidaknyamanan psikologis yang
terlibat. Terapi ini juga kontraindikasi ketika kecemasan yang intens akan
berbahaya bagi pasien (misalnya, orang-orang dengan penyakit jantung atau

15
adaptasi psikologis yang rapuh). Teknik ini bekerja paling baik pada pasien-pasien
yang mengalami fobia spesifik.1,5

4. Pemodelan Peserta (Participant Modeling)

Dalam pemodelan peserta, pasien mempelajari perilaku baru dengan


imitasi, terutama dengan pengamatan, tanpa harus menangani perilaku sampai
mereka merasa siap. Sama halnya dengan ketakutan irasional yang dapat
diperoleh dengan belajar, mereka dapat mempelajarinya dengan mengamati model
takut dalam menghadapi objek yang ditakuti. Teknik ini telah berguna pada anak-
anak dengan fobia yang ditempatkan dengan anak-anak pada usia dan jenis
kelamin sama dalam mendekati objek atau situasi yang ditakuti. Pada orang
dewasa, terapis dapat menggambarkan kegiatan takut dengan cara yang tenang
dan pasien dapat mengidentifikasinya.5,16
Terapis juga dapat melakukan aktivitas menguasai takut bersama dengan
pasien. Kadang-kadang hierarki kegiatan dapat dibuat, dengan aktivitas yang
merangsang kecemasan setidaknya sedang ditangani terlebih dahulu. Teknik
participant modeling telah berhasil digunakan pada pasien-pasien yang
mengalami agoraphobia dengan seorang terapis menemani pasien masuk ke dalam
situasi yang ditakuti. Dalam varian dari prosedur ini, dikenali latihan perilaku
(behavior rehearsal) dimana masalah kehidupan nyata dioberikan di bawah
pengamatan atau pengarahan seorang terapis.1,5

5. Paparan terhadap Stimuli dalam Realitas Virtual (Komputer)

Kemajuan teknologi komputer telah memungkinkan untuk menyajikan


isyarat lingkungan pada realitas virtual untuk penanganan pemaparan. Efek
menguntungkan dari terapi ini telah dilaporkan pada paparan realitas virtual dari
pasien dengan fobia ketinggian (akrofobia), takut terbang, fobia laba-laba, dan
claustrophobia (takut pada ruang tertutup). Banyak penelitian eksperimental yang
sedang dilakukan di di bidang terapi ini. Salah satu model menggunakan tiruan
virtual dari pasien yang berjalan melalui supermarket ramai dan ada juga tiruan-

16
tiruan lain (termasuk salah satu terapis) sebagai cara untuk menaklukkan
agoraphobia.5,17

6. Pelatihan Ketegasan (Assertiveness Training)

Ketegasan ini didefinisikan sebagai perilaku asertif yang memungkinkan


seseorang untuk bertindak dalam kepentingan nya sendiri, untuk berdiri untuk
dirinya atau dirinya sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya untuk
mengekspresikan perasaan jujur secara nyaman, serta an untuk melaksanakan hak-
hak pribadi tanpa menyangkal hak orang lain. Dua jenis situasi yang sering untuk
panggilan perilaku asertif:1,5
(1) Menetapkan batasan teman atau kerabat yang memaksa
(2) Situasi komersial, seperti melawan promosi penjualan atau menjadi
gigih ketika ada barang yang kembali rusak.
Awal program pelatihan ketegasan cenderung mendefinisikan perilaku
secara spesifik sebagai tegas atau tidak tegas (nonassertive). Sebagai contoh,
individu didorong untuk menegaskan diri mereka sendiri jika seseorang
menyerobot antrian di depan mereka saat mengantri di kasir supermarket.
Perhatian yang semakin meningkat sekarang ini diberikan kepada konteks, yaitu,
perilaku asertif dalam situasi-situasi ini sangat tergantung pada keadaan atau
situasi yang dihadapi.5

7. Pelatihan Keterampilan Sosial


Gejala negatif pada pasien dengan skizofrenia merupakan defisit perilaku
yang melampaui kesulitaan-kesulitan dengan ketegasan. Pasien-pasien ini
memiliki perilaku ekspresif yang tidak memadai dan stimulus kontrol sosial tidak
sesuai untuk perilaku mereka (yaitu, mereka tidak mengambil isyarat-isyarat
sosial). Demikian pula, pasien dengan depresi sering mengalami kekurangan
penguatan sosial karena kurangnya keterampilan sosial, dan pelatihan
keterampilan sosial telah ditemukan untuk memiliki efikasi atau khasiat untuk
menangani depresi.1,5,18

17
Pasien dengan fobia sosial juga sering tidak memperoleh keterampilan
sosial pada saat remaja. Bahkan, perilaku defensif sosial mereka (misalnya,
menghindari kontak mata, membuat pernyataan singkat, dan meminimalkan
pengungkapan diri) meningkatkan kemungkinan penolakan yang mereka takuti.
Program pelatihan keterampilan sosial untuk pasien dengan keterampilan tertutup
skizofrenia diterapkan dalam dalam bidang berikut:5
- Percakapan (conversation)
- Manajemen konflik
- Ketegasan (assertiveness)
- Hidup bermasyarakat (Comunity living)
- Persahabatan dan kencan
- Pekerjaan (work and vocasion)
- Manajemen pengobatan

Masing-masing keterampilan memiliki beberapa komponen. Misalnya,


keterampilan ketegasan termasuk membuat permintaan, menolak permintaan,
membuat keluhan, menanggapi keluhan, mengekspresikan perasaan
menyenangkan, meminta informasi, membuat permintaan maaf, mengekspresikan
rasa takut, dan menolak alkohol dan obat-obatan terlarang. Setiap komponen
melibatkan langkah spesifik. Sebagai contoh, manajemen konflik mencakup
keterampilan dalam negosiasi, kompromi, sikap tidak setuju yang bijak,
menanggapi tuduhan yang tidak benar, dan meninggalkan situasi yang penuh
dengan stres atau tekanan. Situasi dimana keterampilan manajemen konflik dapat
digunakan adalah ketika pasien dan teman memutuskan untuk pergi meneonton
film dan pilihan film mereka berbeda. Negosiasi dan kompromi, misalnya,
melibatkan langkah-langkah berikut:1,5
1. Jelaskan sudut pandang seseorang secara singkat.
2. Dengarkan sudut pandang orang lain.
3. Ulangi sudut pandang orang lain.
4. Sarankan kompromi.

18
8. Penguatan Positif (Positive Reinforcement)
Ketika respon perilaku diikuti oleh peristiwa yang umumnya
menguntungkan, seperti makanan, menghindari rasa sakit, atau pujian, respon
tersebut cenderung diperkuat dan terjadi lebih sering dari sebelumnya. Prinsip ini
telah diterapkan dalam berbagai situasi. Di bangsal rawat inap rumah sakit, pasien
dengan gangguan mental menerima hadiah untuk melakukan perilaku yang
diinginkan, seperti token yang dapat mereka gunakan untuk membeli barang-
barang mewah atau hak istimewa tertentu. Proses, yang dikenal sebagai token
ekonom, ditemukan dapat berhasil mengubah perilaku pasien.1,5
Terapi perilaku telah berhasil digunakan untuk berbagai gangguan dan
dapat dengan mudah diajarkan. Terapi ini membutuhkan waktu yang lebih sedikit
jika dibandingkian dengan terapi lain dan lebih murah untuk mengelolanya.
Meskipun berguna untuk gejala perilaku yang laus, metode ini tidak dapat
digunakan untuk mengobati daerah disfungsi yang global (misalnya, konflik
neurotik, gangguan kepribadian). Kontroversi tetap terus terjadi antara ahli-ahli
behavioris dan psikoanalis, yang ditunjukkan oleh pernyataan Eysenck ini: "Teori
belajar menganggap gejala neurotik hanya seperti kebiasaan belajar; tidak ada
neurosis yang mendasari gejala, tetapi hanya gejala itu sendiri. Menyingkirkan
gejala dan Anda telah mengeliminasi neurosis itu. Teori yang berorientasi pada
analitis, mengkritik terapi perilaku dengan mencatat bahwa penghapusan gejala
sederhana dapat menyebabkan substitusi gejala. Ketika gejala tidak dilihat sebagai
konsekuensi dari konflik internal dan penyebab inti dari gejala tidak ditangani
atau diubah, hasilnya adalah produksi gejala baru.1,5
Penelitian oleh Cuijpers dan kawan-kawan dilakukan pada tahun 2016
mengenai efek relatif terapi perilaku (behavior therapy) terhadap gangguan cemas
menyeluruh, gangguan kecemasan sosial dan gangguan panik. Cuijpers
mengemukakan bahwa terapi kognitif-perilaku (CBT) memiliki dampak positif
terhadap perbaikan pada gangguan-gangguan psikiatri tersebut. Selain itu terapi
perilaku-kognitif ditemukan cukup efektif dalam penanganan pasien-pasien
dengan gangguan depresi mayor, 19,20
BAB III
KESIMPULAN

19
Terapi perilaku melibatkan upaya-upaya untuk mengubah perilaku pasien
sehingga disfungsi yang dialami pasien tersebut dapat berkurang dan berdampak
pada terjadi peningkatan kualitas hidup (quality of life). Terapi perilaku mencakup
pada metodologi yang disebut sebagai analisis perilaku (behavior analysis), untuk
pemilihan strategis untuk agar dapat mengubah perilaku seseorang, dan teknologi-
teknologi yang membawa perubahan perilaku, seperti tindakan memodifikasi
anteseden, konsekuensi atau memberikan instruksi. Terapi perilaku tidak hanya
mempengaruhi dalam layanan kesehatan mental, tetapi berada di bawah domain
kedokteran perilaku yang luas dimana terapi ini juga telah membuat terobosan
dalam spesialisasi medis atau kedokteran lainnya.1,3,5

Terapi perilaku merupakan aplikasi klinis dari prinsip-prinsip yang


dikembangkan dalam teori pembelajaran. Psikologi perilaku atau yang disebut
sebagai behaviorisme, muncul pada awal abad ke-20 sebagai reaksi terhadap
metode introspeksi yang mendominasi psikologi pada waktu itu. John B. Watson,
bapak dari ilmu behaviorisme, awalnya mempelajari psikologi pada hewan. Latar
belakang ini membuat sebuah lompatan konseptual yang kecil untuk berpendapat
bahwa psikologi harus berfokus pada gejala atau fenomena yang tampak secara
terbuka (yaitu, tingkah laku yang dapat dilihat secara terang-terangan). Menurut
pemikiran ilmu behavioristik, oleh sebab isi dari pikiran /mental tidak dapat
diamati secara terbuka, maka tidak dapat dikenakan suatu penyelidikan ilmiah
yang ketat. Akibatnya, para ahli behaviorisme mengembangkan fokus pada
perilaku yang dapat terlihat atau teramati dengan jelas dan pengaruh-pengaruh
lingkungan yang ada.1,3,5

Desensitisasi sistematis dikembangkan oleh Wolpe, desensitisasi sistematis


didasarkan pada prinsip perilaku counterconditioning (pengkondisian sebaliknya),
dimana seseorang mencoba mengatasi kecemasan maladaptif yang ditimbulkan
oleh situasi atau objek dengan justru mendekati situasi atau objek yang ditakuti
tersebut secara bertahap pada keadaan psiko-fisiologis yang menghambat
kecemasan.5

20
Dalam desensitisasi sistematis, pasien mencapai keadaan relaksasi yang
lengkap dan kemudian terkena stimulus yang memunculkan respon kecemasan.
Reaksi negatif dari kecemasan dihambat oleh keadaan santai atau relaksasi dan ini
disebut sebagai proses inhibisi timbal balik (reciprocal inhibition). Daripada
menggunakan situasi aktual atau objek yang menimbulkan ketakutan, pasien dan
terapis menyiapkan daftar bergradasi atau hierarki adegan yang merangsang
kecemasan dan berhubungan dengan ketakutan pasien. Keadaan relaksasi yang
dipelajari dan adegan yang merangsang kecemasan secara sistematis dipasangkan
dalam terapi perilaku ini. Dengan demikian, desensitisasi sistematis terdiri dari
tiga langkah yaitu: pelatihan relaksasi, konstruksi hirarki, dan desensitisasi
rangsangan.1,5

21
DAFTAR PUSTAKA

1 Stanley MA, Beidel DC. Behavior Therapy. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA,
Ruiz P, Kaplan HI, eds. Kaplan and Sadocks Comprehensive Textbook of
Psychiatry. 9th edition. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins. 2009.
Hal 1830-43.
2 Chambless DL, Ollendick TH. Empirically supported psychological
interventions: Controversies and evidence. Ann Rev Psychol. 2004: 1-5.
3 Persons, JB: Empiricism, mechanism, and the practice of cognitive-behavior
therapy. Behavior Therapy. 2005;36:107.
4 Hayes SC, Strosahl KD, Wilson KG. Acceptance and Commitment Therapy:
An Experiential Approach to Behavior Change. 1st Edition. New York:
Guilford. 2003. Hal 23-45.
5 Sadock BJ, Ruiz P. Behavior Therapy. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P,
Pataki CS, Sussman N, eds. Synopsis of Psychiatry. 11th edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer. 2015. Hal 674-80.
6 Hofmann SG, Asmundson GJG: Acceptance and mindfulness-based therapy:
New wave or old hat? Clin Psychol Rev. 2007;28:1.
7 Melbourne Academic Mindfulness Interest Group: Mindfulness-based
psychotherapies: A review of conceptual foundations, empirical evidence and
practical considerations. Aust N Z J Psychiatry. 2006;40:285.
8 Fjorback LO, Carstensen T, Arendt M, Ornbl E, Walach H, Rehfeld E, Fink
P. Mindfulness therapy for somatization disorder and functional somatic
syndromes: Analysis of economic consequences alongside a randomized trial.
Journal of Psychosom Res. 2013):41-48.
9 Harvey AG, Blanger L, Talbot L, Eidelman P. Comparative efficacy of
behavior therapy, cognitive therapy, and cognitive behavior therapy for
chronic insomnia: A randomized controlled trial. J Consult Clin Psychol.
2014:1-12.
10 Dimidjian S, Hollon SD, Dobson KS, Schmaling KB, Kohlenberg RJ:
Randomized trial of behavioral activation, cognitive therapy, and
antidepressant medication in the acute treatment of adults with major
depression. J Consult Clin Psychol. 2006;
11 Kingdon DC, Turkington D: Cognitive Therapy of Schizophrenia. 2nd edition.
New York: Guilford Press. 2005. Hal 24-46.

22
12 Harmon-Jones E. Anger and the behavioral approach system. Pers Indiv
Differ. 2003: 35-42.
13 Gilbert C. Clinical applications of breathing regulation-beyond anxiety
management. Behav Modif. 2003: 5-14.
14 Adikusomo A. Relaksasi. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, eds. Buku Ajar
Psikiatri. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2010. Hal 384-8.
15 Moulds ML, Nixon RD. In vivo flooding for anxiety disorders: Proposing its
utility in the treatment of posttraumatic stress disorder. Journal Anxiety
Disorders. 2006: 498-509.
16 Hanley GP, Iwata BA, McCord BE. Functional analysis of problem behavior,
a review. J Appl Behav Anal. 2003: 1-8.
17 Haug TT, Blomhoff S, Hellstrom K, Holme I. Exposure therapy and sertraline
in social phobia: 1-year follow-up of a randomized controlled trial. Br J
Psychiatry. 2003: 1-7.
18 Lejuez CW, Hopko DR, Hopko SD. A brief behavioral activation treatment for
depression. Behav Modif. 2001: 16-25.
19 Cuijpers P, Gentili C, Banos RM, Campayo JG, Botella C. Relative effects of
cognitive and behavioral therapies on generalized anxiety disorder, social
anxiety disorder, and panic disorder: A meta-analysis. Journal of Anxiety
Disorder. 2016: 79-89.
20 Cuijpers P, Cristea IA, Karyotaki E. How effective are cognitive behavior
therapies for major depression and anxiety disorders? A meta-analytic update
of the evidence. World Psychiatry. 2016: 245-58.

23

Anda mungkin juga menyukai