Anda di halaman 1dari 10

1.

Uji farmakologi diabetes (in vivo)


a. Model Hewan Uji DM (Agung Endro Nugroho, 2006, Jurnal Review
Animal Models Of Diabetes Mellitus : Pathology And Mechanism Of
Some Diabetogenics, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada)
Contoh hewan uji dm tipe i adalah spontaneous animal models atau
model tikus dm tipe 1 secara genetik antara lain tikus letl (long evans
tokushima lean), tikus tipe c57 bl/6j, tikus wistar tipe bio-breeding (bb),
mencit atau tikus diabetes non-obese (nod), kelinci new zealand putih,
anjing tipe keeshond dan hamster cina (huijberts, 1994; rowland dan
bellush, 1989; rees dan alcolado, 2005). Pada tikus diabetes non-obese
(nod), kondisi sel-sel langerhans pankreas mengalami kerusakan
(nekrosis, vakuolisasi) apabila dibandingkan tikus kontrol (normal).
Kerusakan sel tersebut menunjukkan terjadi kerusakan/degradasi pada
sel langerhans pankreas. Pada kondisi tersebut, limfosit dapat
merembes ke langerhans pankreas. Hal itu mengindikasikan bahwa telah
terjadi proses autoimun pada sel langerhans pankreas tersebut.
Kejadian terakhir tersebut mirip dengan patofisiologi dm 1 pada
manusia.
Contoh hewan uji dm tipe ii adalah tikus ob/ob (defisiensi leptin),
tikus db/db (defisiensi leptin), tikus zucker (fa/fa) obese, tikus diabetic
torri, tikus gurun obese, mencit tipe c57 bks db, mencit tipe c57 bl ob,
mencit tipe kk & kkay, tikus tipe gotokakizaki (gk), tikus nagoya
shibatayasuda (nsy) dan psammomomys gerbils. Pemberian makanan
kaya akan fruktosa pada tikus selama lebih dari 2 bulan akan
menginduksi resistensi insulin. Dengan diabetogenik, pemberian
senyawa toksin streptozotosin dosis 90 mg/kg bb secara i.p. Pada tikus
neonatal akan menginduksi dm tipe 2 pada usia 6 minggu atau lebih.
(shafrir dan mosthaf, 1999; harvey dan ashford, 1998; huijberts, 1994;
rowland dan bellush, 1989).

b. Metode-Metode Pengujian DM
1. Metode uji toleransi glukosa
Uji toleransi terhadap glukosa oral dapat dipengaruhi oleh
banyak variabel fisiologik. Penderita harus berada dalam status gizi
yang baik, tidak boleh makan salisilat, diuretik, antikonvulsan,
steroid atau obat kontrasepsi oral, tidak boleh merokok, makan dan
minum selain air selama 12 jam sebelum uji dilakukan. Kekurangan
karbohidrat dapat mengganggu toleransi terhadap glukosa
(Widmann, 1989).
Cara diagnosa DM yang paling mudah adalah mendapatkan
kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl atau 150 mg/dl pada
dua kali pemeriksaan atau lebih. Hiperglikemia setelah puasa,
kadang glukosa darah sewaktu lebih dari 120 mg/dl merupakan
gejala khas untuk DM. Uji toleransi terhadap glukosa hanya berguna
untuk diagnosis bila kadar gula darah puasa atau post prandial
meragukan atau bila ada glukosuria yang tidak jelas sebabnya
(Widmann, 1989).
Prinsip metode Kelinci yang telah dipuasakan selama lebih
kurang 20-24 jam, diberikan larutan glukosa per oral setengah jam
sesudah pemberian sediaan obat yang diuji. Pada awal percobaan
sebelum pemberian obat, dilakukan pengambilan cuplikan darah
vena lateralis dari masing-masing kelinci sejumlah 0,5 ml sebagai
kadar glukosa darah awal. Pengambilan cuplikan darah vena diulangi
setelah perlakuan pada waktu-waktu tertentu (Anonim, 1993).
2. Metode uji diabetes aloksan
Prinsip metode Induksi diabetes dilakukan pada mencit yang
diberi suntikan aloksan monohidrat dengan dosis 70 mg/kg bb.
Penyuntikan dilakukan secara intravena 19 pada ekor mencit.
Perkembangan hiperglikemia diperiksa setiap hari. Pemberian obat
antidiabetik secara oral dapat menurunkan kadar glukosa darah
dibandingkan terhadap mencit kelompok kelompok perlakuan positif
(Anonim, 1993).
c. Penginduksi DM (mekanisme) (Agung Endro Nugroho, 2006, Jurnal
Review Animal Models Of Diabetes Mellitus : Pathology And
Mechanism Of Some Diabetogenics, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada)
Aloksan
Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil) merupakan
senyawa hidrofilik dan tidak stabil (Gambar 1). Waktu paro pada suhu
37C dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang
lebih rendah. Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara
intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan
biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah
2-3 kalinya (Szkudelski, 2001; Rees dan Alcolado, 2005).

Struktur kimia aloksan

Aloksan secara cepat dapat mencapat pankreas, aksinya diawali


oleh pengambilan yang cepat oleh sel Langerhans. Pembentukan
oksigen reaktif merupakan faktor utama pada kerusakan sel tersebut.
Pembentukan oksigen reaktif diawali dengan proses reduksi aloksan
dalam sel Langerhans. Aloksan mempunyai aktivitas tinggi terhadap
senyawa seluler yang mengandung gugus SH, glutation tereduksi
(GSH), sistein dan senyawa sulfhidril terikat protein (misalnya SH-
containing enzyme). Hasil dari proses reduksi aloksan adalah asam
dialurat, yang kemudian mengalami reoksidasi menjadi aloksan,
menentukan siklus redoks untuk membangkitkan radikal superoksida.
Reaksi antara aloksan dengan asam dialurat merupakan proses yang
diperantarai oleh radikal aloksan intermediet (HA) dan pembentukan
compound 305. Radikal superoksida dapat membebaskan ion ferri
dari ferinitin, dan mereduksi menjadi ion ferro. Selain itu, ion ferri juga
dapat direduksi oleh radikal aloksan. Radikal superoksida mengalami
dismutasi menjadi hidrogen peroksida, berjalan spontan dan
kemungkinan dikatalisis oleh superoksida dismutase. Salah satu target
dari oksigen reaktif adalah DNA pulau Langerhans pankreas.
Kerusakan DNA tersebut menstimulasi poly ADP-ribosylation, proses
yang terlibat pada DNA repair. Adanya ion ferro dan hidrogen
peroksida membentuk radikal hidroksi yang sangat reaktif melalui
reaksi fenton (Wilson et al., 1984; Szkudelski, 2001; Walde et al.,
2002).
Faktor lain selain pembentukan oksigen reaktif adalah gangguan
pada homeostatis kalsium intraseluler. Aloksan dapat meningkatkan
konsentrasi ion kalsium bebas sitosolik pada sel Langerhans pankreas.
Efek tersebut diikuti oleh beberapa kejadian : influks kalsium dari
cairan ekstraseluler, mobilisasi kalsium dari simpanannya secara
berlebihan, dan eliminasinya yang terbatas dari sitoplasma. Influks
kalsium akibat aloksan tersebut mengkaibatkan depolarisasi sel
Langerhans, lebih lanjut membuka kanal kalsium tergantung voltase
dan semakin menambah masuknya ion kalsium ke sel. Pada kondisi
tersebut, konsentrasi insulin meningkat sangat cepat, dan secara
signifikan mengakibatkan gangguan pada sensitivitas insulin perifer
dalam waktu singkat. Selain kedua faktor tersebut di atas, aloksan juga
diduga berperan dalam penghambatan glukokinase dalam proses
metabolisme energi (Szkudelski, 2001; Walde et al., 2002).
Streptozotosin
Streptozotosin (STZ) atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3- nitrosoureido)-
D-gluko piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat
digunakan untuk menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada
hewan uji. Struktur kimia streptozotosin dapat dilihat pada gambar 2.
Dosis yang digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 untuk intravena
adalah 40-60 mg/kg, sedangkan dosis intraperitoneal adalah lebih dari
40 mg/kg BB. STZ juga dapat diberikan secara berulang, untuk
menginduksi DM tipe 1 yang diperantarai aktivasi sistem imun. Untuk
menginduksi DM tipe 2, STZ diberikan intravena atau intraperitoneal
dengan dosis 100 mg/kg BB pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran,
pada 8-10 minggu tikus tersebut mengalami gangguan respon terhadap
glukosa dan sensitivitas sel terhadap glukosa. Di lain pihak, sel dan
tidak dipengaruhi secara signifikan oleh pemberian streptozotosin
pada neonatal tersebut sehingga tidak membawa dampak pada
perubahan glukagon dan somatostatin. Patofisiologis tersebut identik
pada DM tipe II (Bonner-Weir et al., 1981; Szkudelski, 2001; Jackerott
et al., 2006; Tormo et al., 2006).

Struktur kimia streptozotosin

STZ menembus sel Langerhans melalui tansporter glukosa


GLUT 2. Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel
pankreas. Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea
mengakibatkan kerusakan pada sel pankreas. STZ merupakan donor
NO (nitric oxide) yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel
tersebut melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan
cGMP. NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel.
Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang
mempunyai peran tinggi dalam kerusakan sel pankreas. Pembentukan
anion superoksida karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan
aktivitas xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs
dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP
mitokondria yang terbatas selanjutnya mengakibatkan pengurangan
secarea drastis nukleotida sel pankreas (Akpan et al., 1987;
Szkudelski, 2001).
Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan
substrat untuk enzim xantin oksidase (sel pankreas mempunyai
aktivitas tinggi terhadap enzim ini), lebih lanjut meningkatkan produksi
asam urat. Xantin oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion
superoksida aktif. Dari pembangkitan anion superoksida, terbentuk
hidrogen peroksida dan radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif
tersebut adalah penyebab utama kerusakan sel pankreas.
Kerusakan DNA akibat STZ dapat mengaktivasi poli ADP-
ribosilasi yang kemudian mengakibatkan penekanan NAD+ seluler,
selanjutnya penurunan jumlah ATP, dan akhirnya terjadi penghambatan
sekresi dan sintesis insulin. Selain itu, kalsium berlebih yang
kemungkinan dapat menginduksi nekrosis, tidak mempunyai peran
yang signifikan pada nekrosis yang diinduksi STZ (Akpan et al., 1987;
Szkudelski, 2001).
d. Pengukuran Kadar Glukosa (Evennia, 2012, Efek Pemberian Susu
Kacang Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) Terhadap Kadar Glukosa
Darah Mencit Putih Jantan Galur Ddy Yang Dibebani Glukosa,
Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat).
1. Metode Reduksi Tembaga
Pengukuran glukosa darah didasarkan atas kemampuan glukosa
mereduksi ion Cu2+ menjadi ion Cu+ . Dalam larutan alkali panas,
ion Cu+ dapat membentuk Cu2O yang dapat dideteksi dengan
beberapa metode, antara lain metode Folin-Wu (reduksi
fosfomolibdat) dan metode Somogyi-Nelson (reduksi
arsenomolibdat). Prinsip kedua metode ini ialah reduksi oleh ion
Cu+ yang membentuk kompleks molibdenum berwarna biru.
Metode lainnya ialah metode neocuprine yang didasarkan pada
prinsip bahwa neocuprine (2,9-dimetil-1,10-fenantrolin) dapat juga
direduksi oleh ion Cu+ membentuk kompleks berwarna. Metode
reduksi tidak spesifik karena terdapat substansi lain dalam darah
yang bersifat mereduksi (Hanson, 1993; Kaplan, 1989; Pilsum dan
Roon, 1986).
2. Metode o-toluidin
Prinsip analisis metode ini ialah kondensasi o-toluidin yang
merupakan amin aromatis primer dengan gugus aldehid dari
glukosa dalam asam asetat glasial panas untuk membentuk
campuran setimbang dari glikosilamin dan basa Schiff. Darah
terlebih dahulu dipresipitasi dengan asam trikloroasetat. Filtrat
yang bebas protein ditambahkan reagen o-toluidin dalam asam
asetat glasial, kemudian dipanaskan pada suhu 100oC selama 10
menit dan didinginkan hingga suhu kamar. Dengan adanya panas
dan asam, o-toluidin bereaksi dengan glukosa membentuk
kompleks berwarna biru-hijau, di mana intensitas warna yang
terbentuk sebanding dengan konsentrasi glukosa. Absorbansi
diukur dengan menggunakan spektrofotometri pada panjang
gelombang 630 nm. Aldoheksosa lain, seperti manosa dan
galaktosa, serta aldopentosa dapat juga bereaksi dan membentuk
kompleks berwarna dengan o-toluidin. Adapun penambahan tiourea
ke dalam reagen o-toluidin dapat meningkatkan stabilitas reagen
(Cardosi, 2006; Dubowski, 2008; Hanson, 1993; Pilsum dan Roon,
1986).
3. Metode Enzimatik
Glukosa dapat ditentukan kadarnya secara enzimatik,
misalnya dengan penambahan enzim glukosa oksidase (GOD).
Dengan adanya oksigen atau udara, glukosa dioksidasi oleh enzim
menjadi asam glukuronat disertai pembentukan H2O2. Enzim
peroksidase (POD) mengakibatkan H2O2 membebaskan O2 yang
mengoksidasi akseptor kromogen yang sesuai serta memberikan
warna yang sesuai pula. Kadar glukosa darah ditentukan
berdasarkan intensitas warna yang terjadi, diukur secara
spektrofotometri. Berdasarkan intensitas warna tersebut berbanding
lurus dengan glukosa yang ada (Indriati, 1986). Reaksi
pembentukan warna pada penentuan kadar glukosa darah dengan
metode enzimatik tertera seperti Gambar.

Pembentukan Senyawa Berwarna Merah (kuinonimin) dari


Substansi Awal Glukosa dengan Reagen GOD PAP (Chaplin, 1996,
cit Rezeki, 2005).
4. Metode Heksokinase
Glukosa difosforilasi dengan adanya ATP dalam reaksi
yang dikatalisis oleh heksokinase. Glukosa-6-fosfat kemudian
dioksidasi menjadi 6-fosfoglukonat dengan adanya NAD+ dalam
reaksi yang dikatalisis oleh glukosa-6-fosfat dehidrogenase.
Selama oksidasi, jumlah ekimolar dari NAD+ direduksi menjadi
NADH yang memiliki kromofor pada panjang gelombang 340 nm
dan diukur dengan menggunakan spektrofotometer.
5. Glukometer Teknologi utama
glukometer terletak pada strip uji. Strip uji mengandung
enzim, koenzim, mediator, dan indikator dalam sebuah lapisan
kering dan mengkonversi kadar glukosa dalam sebuah sinyal yang
dapat terbaca oleh meter. Enzim yang digunakan ialah
oksidoreduktase, dan mengoksidasi glukosa menjadi
glukonolakton. Elektron yang dihasilkan kemudian ditransfer ke
molekul glukosa oksidase peroksidase Efek pemberian mediator
teroksidasi, sehingga mengkonversi bentuk teroksidasi menjadi
bentuk tereduksi. Mediator tereduksi kemudian mengirimkan
elektron ke elektroda untuk pengukuran elektrokimia atau ke suatu
molekul indikator yang dapat membentuk warna (Hones, Muller,
dan Surridge, 2008)
6. Metode Glukosa Dehidrogenase Enzim glukosa dehidrogenase
mengkatalisis oksidasi glukosa menjadi glukonolakton dengan
adanya NAD+ . Jumlah mol NADH yang dihasilkan ekivalen
dengan jumlah mol glukosa yang teroksidasi dan diukur pada
panjang gelombang 340 nm (Kaplan, 1989).
e. Desain Pengujian
Desain pengujian yang digunakan adalah metode rancangan acak
lengkap. Mencit dibagi secara acak ke dalam 5 kelompok, yaitu
kelompok kontrol normal, kontrol pembanding, dan 3 kelompok variasi
dosis bahan uji. Penentuan jumlah mencit dalam setiap kelompok
dihitung berdasarkan rumus Federer: (n-1) (t-1) 15, dengan n
menunjukkan jumlah ulangan minimal dari tiap perlakuan dan t
menunjukkan jumlah perlakuan. Dalam uji digunakan 5 kelompok (t=5),
sehingga jumlah ulangan minimal dari tiap kelompok (n) ialah:
(n-1) (t-1) 15 (n-1)
(5-1) 15 (n-1)
(4) 15
4n-4 15
4n 19
n 4,75
Dalam uji ini, jumlah ulangan tiap kelompok yang digunakan ialah
sebanyak 5, sehingga untuk 5 kelompok, diperlukan sebanyak 25 ekor
mencit. Mencit dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam dengan tetap
diberi minum, kemudian diambil sampel darah dari vena ekor dan
diukur kadar glukosa darah puasa. Kadar glukosa darah puasa yang
didapat dinyatakan sebagai kadar glukosa darah awal (T0). Segera
setelah pengukuran, kelompok kontrol normal diberikan CMC,
kelompok kontrol pembanding diberikan suspensi misalnya Metformin,
dan ketiga kelompok dosis masingmasing diberikan berturut-turut
misalnya sebanyak 0,325 g, 0,65 g, dan 1,3 g kedelai/20 g BB. Tiga
puluh menit kemudian, kadar glukosa darah diukur kembali dan
dinyatakan sebagai kadar glukosa darah 30 menit setelah perlakuan
(T30). Segera setelah pengukuran, mencit dibebankan glukosa sebanyak
2 g/kg berat badan mencit. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan
kembali pada menit ke-30, 60,
f. Analisis Data (Dahlan dalam Evennia, 2012, Efek Pemberian Susu
Kacang Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) Terhadap Kadar Glukosa
Darah Mencit Putih Jantan Galur Ddy Yang Dibebani Glukosa,
Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat).
Kadar glukosa darah dianalisis secara statistik menggunakan SPSS
19. Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk dan uji homogenitas
menggunakan uji Levene. Bila terdistribusi normal dan homogen, maka
dilanjutkan dengan analisis ANOVA satu arah untuk melihat ada atau
tidaknya perbedaan antar kelompok. Bila terdapat perbedaan yang
bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil. Bila tidak
terdistribusi normal atau tidak homogen, maka dilanjutkan dengan uji
non parametrik, yaitu uji Kruskal-Wallis, untuk melihat ada atau
tidaknya perbedaan antar kelompok. Bila terdapat perbedaan yang
bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Dahlan, 2011).
2. Uji farmakologi diabetes (in vitro)
a. Metode-metode pengujian DM
b. Pengukuran aktivitas
c. Desain Pengujian
d. Analisis Data

Anda mungkin juga menyukai