Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma menjadi penyebab paling sering kematian ibu. Meskipun angka


kematian ibu karena penyebab lain seperti infeksi, perdarahan, hipertensi, dan
tromboemboli, telah menurun selama bertahun-tahun, jumlah kematian ibu karena
trauma penetrasi, bunuh diri, pembunuhan dan kecelakaan kendaraan bermotor
meningkat secara stabil. Terkadang luka terjadi pada 6 sampai 7% dari semua
pasien hamil.Penetrasi account trauma bagi sebanyak 36% dari kematian
ibu.Dalam kasus luka tembak pada perut hamil, kematian ibu secara keseluruhan
rendah (3,9%).Kematian janin, di sisi lain, tinggi, berkisar antara 40 dan 70%.8

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kekerasan dimana


terjadi intimidasi yang begitu berlebihan, kekerasan fisik, kekerasan seksual,
ekonomi, dan atau kebiasaan yang menyiksa yang dilakukan oleh seseorang
kepada pasangan hidupnya. Studi yang dilakukan oleh World Health Organization
(WHO) di 11 negara menemukan bahwa presentase dari wanita yang mengalami
kekerasan seksual oleh pasangannya berada sekitar 6 % di Jepang hingga 59% di
Ethiopia.2 Menurut National Coalition Against Domestic Violence (NCADV)
perempuan yang berumur 20-24 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi
mengalami kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga terutama kekerasan yang
terjadi pada perempuan dapat memberikan konsekuensi terhadap kesehatan fisik
dan mental korban, seperti : luka fisik dan disabilitas, kehamilan tak diinginkan
dan aborsi, komplikasi kehamilan dan kelahiran termasuk BBLR, infeksi menular
seksual termasuk HIV, fistula ginekologik traumatik, depresi dan ansietas,
gangguan makan dan tidur, penggunaan alcohol dan obat-obat terlarang, dll.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TRAUMA PADA KEHAMILAN

1. DEFINISI

Trauma, pembunuhan,dan kekerasan serupa merupakan penyebab utama


kematian pada wanita muda.Menurut American College of Obstetricans and
Gynecologist (1998), 1 dari 12 kehamilan berkaitan dengan trauma fisik.Memang
kematian terkait cedera merupakan kausa morbiditas ibu yang tersering dijumpai
di Cook Country, New York City, Utah, dan North Carolina.1
Pada 3 bulan pertama umur kehamilan sering trauma yang terjadi
menimbulkan abortus dan reaksi izoimunisasi yakni percampuran darah janin dan
ibu yang ber-rhesus negatif yang dapat menyebabkan masalah pada kesehatan ibu
dan janinnya. Pada trisemester kedua, kehamilan sudah makin nampak, dinding
rahim masih tebal serta terbentuk cairan amnion yang kesemuanya bisa
melindungi janin dari pengaruh trauma. Resiko yang mungkin muncul adalah
sulosio plasenta (robek atapun lepasnya ikatan tali pusat janin dari bagian dinding
rahim) dan terjadi tercemarnya darah ibu oleh darah anak yang berbeda rhesus
serta cairan kandungan yang masuk ke aliran darah ibu (emboli cairan amnion).
Pada 3 bulan terakhir kehamilan, justru dinding rahim makin tipis dan
posisi kandungan makin menonjol ke permukaan dinding perut. Hal ini lebih
memberikan resiko pada janin untuk terkena cedera langsung, baik karena trauma
tumpul atau pun luka tusuk. Di samping itu kandungan yang semakin membesar
akan menyebabkan tekanan atau hambatan pada aliran darah balik melalui vena
besar di bawahnya (vena cava compression).Benturan yang terjadi pada dinding
panggul ibu juga dapat menimbulkan perdarahan hebat berasal dari rusaknya
struktur vaskuler rahim di dalamnya.4
Beberapa perubahan fisiologis yang menyertai yang terkadang
mengecohkan dan menyimpangkan interpretasi para tenaga medik, misalnya pada
peningkatan cairan plasma, kenaikan komponen darah seperti leukosit dan
menurunnya nilai hematokrit. Sehingga penunjukan nilai lab yang sudah mulai
signifikan memberi arti sebetulnya sudah terjadi gangguan serius pada janin si
ibu. Pula pada penilaian terhadap respirasi, nadi dan tekanan darah bisa
dipengaruhi oleh perobahan hormonal dan vena cava compression pada kehamilan
yang sudah besar yang menyebabkan aliran darah balik ke jantung menurun. Tapi
demikian, prinsip-prinsip tata cara pertolongan terhadap ibu hamil yang
mengalami trauma tidak berbeda dengan wanita tanpa kehamilan. Yakni dengan
mendahulukan penyelesaian masalah di jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi atau
problem perdarahan. Lalu bagaimana dengan penanganan dalam hubungannya
dengan keselamatan si janin ?

Patokannya adalah dengan melakukan resusitasi atau menstabilkan kondisi


si ibu seoptimal mungkin. Hal itu sudah akan menambah jaminan keselamatan
janin yang dikandungnya. Evaluasi pengaruh trauma terhadap keadaan janin salah
satunya bisa diketahui dengan memonitor denyut nadi janin. Bagitu juga perlu
perhatian sungguh-sungguh terhadap kondisi janin jika si ibu mengalami kasus
seperti perdarahan melalui vagina, solusio plasenta, nyeri yang tiba-tiba di bagian
bawah perut, nyeri yang hebat di seluruh perut sebagai tanda terjadinya robekan
lapisan rahim serta kejang-kejang disertai hipertensi sebagai tanda-tanda terjadi
eklampsia. Sudah barang tentu semua kejadian di atas sekali pun diawali dengan
kejadian trauma sebelumnya, harus menghubungi dokter Ahli Kandungan untuk
mengevaluasi dan penanganan pasien lebih lanjut.4

Jadi untuk dokter yang bertugas di UGD, ketika mendapatkan pasien


wanita umur 20 hingga 40 tahun yang mengalami trauma dalam kondisi tidak
sadar atau tidak mendapat keterangan lebih lanjut harus dianggap dulu sedang
hamil sebelum terbukti tidak. Pada kehamilan di atas 6 bulan atau lebih, jangan
lupa menempatkan pasien sedikit dimiringkan ke kiri pada saat melakukan
pemeriksaan serta tindakan guna mencegah tekanan terhadap aliran darah
baliknya. Prinsip resusitasi tidak berbeda seperti pasien lainnya dan harus
konsultasikan pasien ke dokter Spesialis Kandungan untuk kasus-kasus serius
yang diprediksi berpengaruh pada perkembangan janin si ibu.4

Walaupun kecelakaan lalu lintas, jatuh dan pembunuhan jelas merupakan


sumber trauma yang penting pada kehamilan, lebih jauh lagi bentuk truma
tersering adalah yang melibatkan penganiayaan fisik atau kekerasan atau
penganiayaan rumah tangga (Eisenstat dan Bancroft, 1999; Kurzel dkk,
2000).Yang menarik, Dietz dkk (1999) melaporkan bahwa wanita yang secara
psikologis dan fisik teraniaya pada masa anak-anak sering mengalami kehamilan
pertama yang tidak di inginkan.1

2. EPIDEMIOLOGI

Trauma terjadi pada sekitar 6% -7% dari seluruh kehamilan dan


merupakan penyebab utama kematian bagi ibu hamil.Morbiditas dan mortalitas
yang berhubungan dengan pasien ini tergantung pada mekanisme cedera, usia
gestasi janin dan tingkat keparahan trauma.5
Tabrakan kendaraan bermotor lebih dari separuh dari semua luka yang
diderita oleh pasien trauma hamil. Salah satu faktor yang secara langsung dapat
mempengaruhi hasil pasien hamil ketika terlibat dalam tabrakan kendaraan
bermotor adalah penggunaan hambatan yang tepat. Untuk menjadi benar
terkendali, seorang wanita hamil harus mengenakan sabuk pangkuan ditempatkan
pas melawan pinggulnya di bawah perutnya dan harus memanfaatkan
pengekangan bahu antara payudaranya.Benar ibu hamil dibatasi adalah setengah
kemungkinan mengalami perdarahan vagina atau melahirkan setelah tabrakan
kendaraan bermotor sebagai perempuan yang tak terkendali.Kematian janin akibat
tabrakan kendaraan bermotor adalah tiga sampai empat kali lebih mungkin terjadi
jika ibu tak terkendali.Tingkat keparahan tabrakan dapat mempengaruhi hasil ibu
dan janin, bahkan jika pasien benar diamankan.Kematian ibu adalah penyebab
utama kematian janin setelah tabrakan kendaraan bermotor.5
Kesalahan lain adalah mekanisme umum dari cedera selama kehamilan.
Wanita hamil, terutama setelah minggu ke-20 mereka, cenderung untuk jatuh,
karena ligamen panggul mereka mengendur, perut mereka menonjol dan pusat
mereka perubahan gravitasi.Kejadian cedera sering dikaitkan dengan bagaimana
pasien jatuh dan kekuatan musim gugur.Sekitar 2% dari wanita hamil
mempertahankan pukulan berulang ke perut karena mereka jatuh lebih dari sekali.
Wanita yang jatuh beresiko untuk kontraksi uterus prematur yang dapat
mengakibatkan pengiriman.5
Wanita hamil, terutama remaja, rentan terhadap kekerasan fisik yang dapat
mengakibatkan berbagai luka, biasanya melibatkan perut dan alat kelamin.
ekerasan dalam rumah tangga membawa risiko tinggi morbiditas untuk pasien
hamil dan janin.Sekitar 4% sampai 17% dari semua wanita hamil akan mengalami
kekerasan fisik, meskipun sebagian besar kasus kekerasan tidak dilaporkan.Paling
sering, pelaku kekerasan fisik adalah suami pasien atau pacar, 64% wanita yang
sebelumnya mengalami pelecehan laporan peningkatan serangan ketika mereka
hamil.
Luka tembak dan luka tusukan merupakan penyebab yang paling sering
menembus trauma pada populasi ini. Trauma tembus perut sendiri menyumbang
sekitar 36% dari kematian ibu secara keseluruhan. Karena organ-organ perut
wanita itu didorong ke atas oleh rahim tumbuh, ia sangat rentan terhadap usus,
hati atau luka limpa akibat penetrasi trauma pada perut bagian atas, namun, jika
cedera lebih rendah, itu menimbulkan luka mendalam lebih sedikit untuk ibu,
yang terlindung oleh rahim, tetapi menimbulkan risiko lebih tinggi bagi
perkembangan janin. Trauma penetrasi langsung ke rahim memiliki tingkat
kematian 67% janin.5

3. KLASIFIKASI TRAUMA

3. 1. TRAUMA TUMPUL
3. 1. 1. PENGANIAYAAN FISIK.
Diperkirakan bahwa 5 juta wanita setiap tahun mengalami serangan fisik
oleh pasangan pria nya American College of Obstetricans and Gynecologist
(1999).Yang lebih mengerikan adalah bahwa wanita hamil tidak kebal terhadap
kekerasan semacam itu.Dalam sebuah survey melalui surat baru-baru ini, Horan
dkk (1998) memastikan bahwa anggota ACOG secara rutin menapis 27 % wanita
tidak hamil untuk kekerasan rumah tangga pada kunjungan pertama.Walaupun
hanya sepertiga dari para dokter ini yang pernah mendapat instruksi mengenai
kekerasan rumah tangga saat menjadi residen, dua pertiga telah belajar melalui
pendidikan berkelanjutan.1
Sebagian besar data mengenai subyek ini berasal dari institusi
public.Sebagai contoh, sepertiga cedera wanita hamil yag dirawat di University of
Mississipi Medical Center mengalami luka yang disengaja (Polee dkk,
1996).McFarlane dkk (1992) serta Berenson dkk (1991) menanyakan wanita-
wanita yang mengunjungi klinik-klinik umum dan melaporkan bahwa hampir
seperempat mengalami penganiayaan fisik atau seksual selama
kehamilan.Cokkinidess dkk (1999) mendapatkan bahwa 11% dari 6000 wanita
hamil melaporkan kekerasan fisik.Yang penting, hal ini berkaitan dengan
kemiskinan,pendidikan yang rendah, dan penggunaan tembakau dan
alkohol.Kurzel dkk (2000) melaporkan bahwa pemakaian obat terlarang berkaitan
dengan separuh dari kasus-kasus penganiayaan wanita hamil.Faktor-faktor resiko
serupa juga dilaporkan dari dua studi unit darurat multisentra tentang wanita tidak
hamil (Grisso dkk, 1999 ; Kyriacou dkk, 1999).1

Wanita yang mengalami penganiayaan fisik cenderung dating terlambat


untuk perawatan prenatal, itupun kalau dating.Resikonya mengalami persalinan
preterm dan korioamnionitis dua kali lipat dari pada wanita hamil kontrol
(Berenson dkk, 1994).Wanita yang mengalami penganiayaan selama hamil juga
beresiko lebih besar melahirkan bayi berat lahir rendah serta menjalani seksio
sesarea (Curry dkk, 1998 ; Parker, 1994).1
Faktor-faktor resiko untuk penganiayaan fisik pada kehamilan secara
umum dibagi menjadi tiga kategori (Stewart dan Ceccuti, 1993). Instabilitas
Sosial mencakup faktor-faktor seperti usia muda, tidak menikah, cerai, atau hidup
terpisah, tingkat pendidikan yang rendah atau menganggur dan kehamilan yang
tidak direncanakan.Gaya hidup yang tidak sehat mencakup diet yang buruk,
penyalahgunaan zat termasuk tembakau, alkohol, dan obat terlarang, serta
masalah emosi.1
Masalah kesehatan fisik mencakup penyakit medis akut dan kronik serta
penggunaan obat-obat dengan resep.Sayangnya, wanita hamil yang teraniaya
cenderung tetap tinggal bersama penganiayaan, dan 60% melaporkan serangan
fisik sebanyak dua kali atau lebih selama hamil (McFarlane dkk, 1992).Wanita
yang mengalami penganiayaan yang emosi.Akhirnya, Stewart (1994) mengamati
adanya peningkatan kecenderungan penganiayaan fisik pada beberapa bulan
pertama setelah kelahiran.1

3. 1. 2. PENGANIAYAAN SEKSUAL
Menurut Federal Bureau of Investigation (1998), hampir 10.000
pemerkosaan dengan kekerasan pada wanita hamil dilaporkan pada tahun
1997.Secara umum dianggap bahwa hanya 10 sampai 20 % serangan seksual yang
dilaporkan.Satin dkk (1991) membahas lebih dari 5.700 kasus serangan seksual
terhadap wanita yang terjadi di Dallas Country selama 6 tahun, dan mendapatkan
bahwa 2 % kornan adalah wanita hamil.Trauma fisik terkait lebih jarang dijumpai
daripada korban perkosaan yang tidak hamil, dan hanya sepertiga serangan terjadi
setelah kehamilan 20 minggu.Dari segi forensik, pengumpulan bukti tidak
mengalami perubahan.
Satin dkk (1992) juga mewawancarai 2404 wanita pascapartum dan
mendapatkan bahwa prevalensi kontak seksual paksa seumur hidup adalah 5%.
Dibandingkan dengan bukan korban, korban perkosaan memperlihatkan
peningkatan insidens penyakit menular seksual, infeksi saluran kemih, vaginitis,
pemakaian obat, dan rawat inap berulang.Berenson dkk (1992) melaporkan bahwa
8% wanita dewasa muda yang hamil mengalami serangan seksual.Salah satu
anggota keluarga adalah pelakunya pada 46 % kasus, dan pasangan atau pacar
pada 33 %.1
Pentingnya penyuluhan psikologis untuk korban pemerkosaan dan
keluarganya tidak dapat dianggap remeh.Selain perhatian terhadap cedera fisik
dan psikologis, pajanan penyakit menular seksual juga perlu dipikirkan.Pada
Tabel.1 diperlihatkan rekomendasi yang dianjurkan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (1998).

Tabel .1 Petunjuk untuk profilaksi Penyakit Menular Seksual pada Korban


Penyerangan Seksual

Profilaksis Regimen Alternatif


N.Gonorhoe Seftriakson 125 mg IM, Sefiksim 400 mg,
dosis tunggal atau
dosis tunggal Spektinomisin 2 g IM
dosis tunggal
C.Trachomatis Azitromisin 1 g po, Basa eritromisin 500
mg po 2x sehari
dosis tunggal selama 7 hari atau
Amoksisilin
500 mg po 3x sehari
selama 7 hari
T.Vaginalis Metronidazol 2 g po,
dosis tunggal
Hepatitis B Dosis pertama vaksin hepatitis
di ulangi pada 1-2 dan 4-6 bulan
Virus Imunodefisensi Pertimbangkan pemeriksaan dan
manusia kemungkinan profilaksis retro virus

3. 1. 3. KECELAKAAN LALU LINTAS


Menurut National Highway Traffic Safety Administration (1998), kematian lalu
lintas merupakan penyebab utama kamatian perempuan berusia 8 sampai 28
tahun.Sebagian besar kasus trauma tumpul yang cukup berat selama kehamilan
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dan penyerangan langsung (Connolly
dkk, 1997, Pak dkk, 1998).Kecelakaan mobil merupakan penyebab tersering dari
kematian ini, yang dapat dicegah dengan menggunakan sabuk pengaman tiga
titik.Memang, Pearlman dkk (2000) mendapatkan bahwa pemakaian sabuk
pengaman yang benar serta keparahan tabrakan merupakan predicator terbaik
hasil ibu-janin.Meski demikian, Pearlman dan Phlipis (1996) mendapatkan bahwa
sepertiga wanita tidak menggunakan nya dengan benar saat hamil.Demikian juga,
Tyroch dkk (1999) melaporkan bahwa walaupun 86 % menggunakan sabuk selagi
hamil, hampir separuh dari mereka salah mengenakannya.

Efek penggunaan kantung udara (airbags) pada pengemudi atau penumpang yang
hamil belum banyak dilaporkan.Sims dkk (1996) melaporkan tiga wanita trimester
ketiga yang kantung udara di isi pengemudinya mengembang setelah tabrakan
dengan kecepatan 10 sampai 20 mil/jam.Mereka melaporkan tidak terjadi
cedera.Schultze dkk (1998) melaporkan solusio plasenta 20% yang menyebabkan
lahir mati janin 28 minggu pada wanita yang kantung udaranya mengembang
setelah tabrakan 40 mil/jam.Yang lebih sedikit diketahui adalah tentang efek
kantung udara di pintu atau di sisi penumpang.1

3. 1. 4. TRAUMA TUMPUL LAINNYA


Sebagian dari kausa umum trauma tumpul adalah jatuh dan penyerangan yang
parah (Luger dkk, 1995).Bentuk-bentuk trauma tumpul yang lebih jarang adalah
cedera ledakan atau cruh injury (Awwad dkk, 1994).Cedera intra-abdomen yang
serius merupakan hal yang dikhawatirkan dan mungkin berkaitan dengan
peningkatan mencolok vaskularitas panggul dan abdomen, perdarahan
retroperitoneum lebih sering dijumpai dibandingkan dengan pada wanita tidak
hamil.Sebaliknya, cedera usus lebih jarang karena efek protektif dari uterus yang
berukuran besar.Mungkin juga terjadi cedera diafragma, lien, hati dan ginjal
(Flick dkk, 1999 ; Icely dan Chez, 1999).1

3. 1. 5. SOLUSIO PLASENTA TRAUMATIK


Terlepasnya plasenta kemungkinan disebabkan oleh deformasi miometrium elastic
di sekeliling plasenta yang relative tidak elastic (Crosby dkk, 1968).Solusio
menjadi penyulit pada 1 sampai 6% cedera minor dan sampai 50% cedera
mayor (Goodwin dkk, 1990 ; Pearlman dkk, 1990).Reis dkk (2000)
mendapatkan bahwa solusio lebih sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas
dengan kecepatan lebih dari 30 mil/ jam.1

Pada banyak kasus, temuan pada solusio traumatic serupa dengan solusio plasenta
pada umumnya.Stetler dkk (1992) mengulas pengalaman kami denga 13 wanita
yang mengalami hal tersebut di Parkland Hospital dan melaporkan bahwa
walaupun 11 memperlihatkan nyeri tekan uterus, hanya lima yang mengalami
perdarahan pervaginam.Temuan-temuan umum lainnya adalah kontraksi uterus,
tanda-tanda gangguan janin misalnya takikardia janin, deselerasi lambat, dan
asidosis, serta kematian janin.Karena solusio plasenta yang disebabkan oleh
trauma mungkin tersamar, insiden koagulopati berat terkait mungkin lebih tinggi
dibandingkan dengan solusio non traumatic.
Kettel dkk (1988) menekankan bahwa solusio mungkin tersamar dan tidak
menyebabkan nyeri tekan atau spontan uterus serta perdarahan.Menurut Pearlman
dkk (1990), deteksi aktivitas kontraksi uterus dengan menggunakan pemantauan
ekektronik dapat mengisyaratkan adanya solusio.Apabila digunakan tokolitik,
obat tersebut dapat menyamarkan gambaran klinis solusio plasenta.1
3. 1. 6. RUPTUR UTERI
Hal ini jarang terjadi pada trauma tumpul dan dijumpai pada kurang dari 1%
kasus parah.Kelainan ini biasanya disebabkan oleh tumbukan langsung oleh suatu
gaya yang cukup besar.Temuan-temuan mungkin serupa dengan temuan pada
solusio plasenta, sedangkan perburukan keadaan ibu dan janin segera
tampak.Dash dan lupetin (1991) melaporkan satu kasus kehamilan 24 minggu
yang diagnosis rupture traumatic uterusnya dipastikan dengan CT scan.1

3. 1. 7. PERDARAHAN JANIN-IBU
Apabila trauma menimbulkan gaya yang cukup besar pada abdomen, dan terutama
apabila plasenta mengalami laserasi, dapat terjadi perdarahan janin-ibu yang
mengancam nyawa (Pritchard dkk, 1990).Pada 10 sampai 30 % kasus trauma,
sedikit banyak dijumpai perdarahan dari sirkulasi janin ke ibu (Goodwin dan
Breen, 1990 ; Pearlmen dkk, 1990).Namun, pada 90% kasus-kasus ini perdarahan
yang terjadi kurang dari 15 ml.Kami menjumpai tiga kasus perdarahan masif janin
ke ibu pada delapan wanita dengan solusio traumatik.

Perdarahan ini tampaknya disebabkan oleh solusio plasenta karena biasanya tidak
terjadi perdarahan janin ke dalam ruang antarvilus.Perdarahan janin lebih
mungkin disebabkan oleh robekan atau fraktur plasenta akibat peregangan.Pada
tiga kasus perdarahan janin yang masif di atas, dua diakibatkan oleh laserasi
plasenta dan bayinya lahir mati.1

3. 1. 8. CEDERA JANIN
Menurut Kissinger dkk (1991), risiko kematian janin akibat trauma cukup
bermakna apabila terjadi cedera fetoplasenta langsung, syok ibu, fraktur panggul,
cedera kepala ibu, atau hipoksia.Walaupun cedera dan kematian janin jarang
terjadi, banyak laporan kasus manarik yang menyajikannya.Cedera tengkorak dan
otak janin adalah yang tersering.Cedera-cedera ini lebih mungkin terjadi apabila
kepala sudah cakap, dan panggul ibu mengalami fraktur akibat tumbukan (Palmer
dan Sparrow, 1994).Sebaliknya, cedera kepala janin, mungkin akibat countercoup,
dapat terjadi pada puncak kepala yang belum cakap atau presentasi selain puncak
kepala.Weyerts dkk (1992) melaporkan bahwa seorang neonates dengan
paraplegia dan kontraktur yang disebabkan oleh suatu kecelakaan lalu lintas
beberapa bulan sebelum lahir.1

3. 2. TRAUMA TEMBUS
Luka tusuk dan tembakan merupakan cedera tembus yang tersering dijumpai dan
mungkin diakibatkan oleh penyerangan yang parah, usaha bunuh diri, atau upaya
untuk melakukan abortus.Insidens cedera visera akibat trauma tembus hanyalah
15 sampai 40% dibandingkan dengan 80 sampai 90% pada orang tidak
hamil.Apabila uterus mengalami luka tembus, janin lebih besar kemungkinannya
mengalami cedera lebih serius dibandingkan dengan ibunya.Memang walaupun
janin mengalami cedera pada dua pertiga kasus semacam ini, cedera visera pada
ibu hanya dijumpai pada 20%.Awwad dkk, (1994) melaporkan pengalaman unik
dengan luka tembus kecepatan tinggi pada uterus hamil yang dikumpulkan selama
16 tahun perang saudara di Lebanon.Diantara 14 wanita, dua meninggal, tetapi
keduanya bukan merupakan akibat langsung cedera intra-abdomen.

Tiga hal yang dapat diamati adalah :


1.Apabila luka masuk terletak di punggung atau abdomen atas, akan terjadi cedera
visera.
2.Apabila luka masuk terletak di anterior dan di bawah fundus uterus, tidak
dijumpai cedera visera pada keenam wanita tersebut.
3.Kematian perinatal terjadi pada separuh kasus dan disebabkan oleh syok ibu,
cedera utero plasenta, atau cedera langsung pada janin.
Karena usus didorong ke atas oleh uterus membesar, menembus luka pada bagian
atas perut lebih mungkin untuk dihubungkan dengan beberapa cedera
gastrointestinal.Organ yang terlibat dalam penurunan frekuensi usus kecil, hati,
usus, dan perut. Selama trimester ketiga, luka pada kuadran bawah perut hampir
secara eksklusif melibatkan rahim.Hal ini mungkin menguntungkan bagi ibu
karena rahim dan cairan ketuban menyerap sebagian besar energi rudal,
mengakibatkan kerusakan kurang ke organ lain.Jika rahim terlibat dalam
menembus trauma, cedera janin dapat terjadi pada 60 sampai 90% kasus.Luka
tembak ke rahim membawa kematian pada 7 sampai 9% dan kematian janin
sekitar 70%.Kematian janin adalah lebih tinggi jika cedera ini disebabkan sebelum
37 minggu kehamilan.7

Ketika mengevaluasi jalur peluru, radiografi (pandangan anteroposterior dan


lateral) dari dada dan perut, dengan pintu masuk dan luka keluar yang ditandai
dengan klip kertas dapat membantu para dokter.Beberapa kontroversi keluar tapi
pendapat yang berlaku pada saat ini adalah bahwa wanita hamil dengan luka
tembak pada perut umumnya harus menjalani celiotomy wajib.Stab luka pada
perut dikelola sama pada pasien hamil dan tidak hamil jika tanda-tanda cedera
intra-abdomen jelas hadir (shock, tanda-tanda peritoneal, pengeluaran isi) atau
investigasi positif.7

3. 3. CEDERA SUHU
Walaupun Parkland hospital adalah pusat luka bakar utama di Amerika Serikat,
kami jarang menjumpai wanita hamil yang mengalami luka bakar parah.Prognosis
janin pada luka bakar buruk.Biasanya wanita yang bersangkutan mengalami
persalinan spontan dalam beberapa hari sampai seminggu, dan sering melahirkan
bayi yang sudah meninggal.Faktor-faktor yang
berperan adalah hipovolemia, cedera paru, septikemia, dan keadaan katabolik
berat yang diakibatkan oleh luka bakar.1

3. 4. KEJUTAN LISTRIK
Laporan-laporan kasus terdahulu mengisyaratkan bahwa kejutan listrik berkaitan
dengan mortalitas janin yang tinggi.Namun, dalam sebuah studi kohort prospektif,
Einarson dkk, (1997) memperlihatkan hasil perinatal yang setara pada 31 wanita
yang terpajan dibandingkan dengan control wanita hamil normal.Mereka
menyimpulkan bahwa arus listrik yang lazim di Amerika Utara, yaitu 110 volt,
lebih aman dari pada arus 220 volt seperti terdapat di Eropa.Fish (2000)
menguraikan efek neurologis dan vascular dari cedera tersambar petir.(1)
Perawatan prioritas yang sama ketika mengelola hamil dan tidak hamil membakar
korban. Pemeliharaan volume intravaskuler normal, menghindari hipoksia, dan
pencegahan infeksi adalah penting.Silver cream sulfadiazin harus digunakan
hemat karena risiko kernicterus terkait dengan penyerapan sulfonamida. 7

Dalam kasus luka bakar listrik, kematian janin tinggi 73% bahkan dengan agak
rendah arus listrik karena kurangnya janin resistensi terhadap sengatan listrik. Hal
ini mungkin berhubungan dengan fakta bahwa janin mengambang dalam cairan
ketuban dengan tahanan rendah untuk saat ini. Tidak peduli seberapa sepele
cedera mereka mungkin tampak, pemantauan janin dan penilaian USG yang
ditunjukkan untuk semua korban yang mengandung sengatan listrik.7
Gambar 2: Manajemen yang paling bijaksana dari kedua ibu dan janin yang
terlibat dalam trauma adalah untuk mengambil pendekatan proaktif.

Gambar 3 : Setelah pasien bergerak, tempat handuk bawah


sisi kanan papan untuk roll pasien ke kiri.Hal ini mencegah sindrom hipotensif
terlentang.
4. KOMPLIKASI TRAUMA DENGAN ASOSIASI

Trauma untuk wanita hamil, apakah berat atau kecil, dapat memiliki efek yang
signifikan pada kesehatan ibu dan janin.Diperkirakan bahwa 1% hingga 3% dari
trauma ringan yang melibatkan wanita hamil hasil hilangnya janin, 41% dari janin
mati ketika ibu mengalami cedera yang mengancam nyawa.Berikut adalah
beberapa komplikasi yang paling sering dihasilkan dari cedera trauma kepada
pasien hamil: 5

4. 1. KONTRAKSI UTERUS
Kontraksi rahim, yang terjadi pada 39% pasien trauma hamil, bisa berkembang
menjadi buruh prematur.Frekuensi, kekuatan dan durasi kontraksi harus dinilai,
dimonitor dan didokumentasikan di seluruh perawatan pasien.Meskipun tidak
semua kemajuan kontraksi rahim menjadi pekerja, praktisi harus menilai pasien
untuk tanda-tanda dan gejala yang terkait dengan pengiriman, termasuk
memeriksa lubang vagina untuk bukti mahkota.

4. 2 .PREMATUR TENAGA KERJA


Prematur tenaga kerja didefinisikan sebagai buruh yang terjadi sebelum minggu
ke-38 kehamilan, terlepas dari penyebabnya.Kelangsungan janin akan ditentukan
sebagian oleh usia kehamilan tersebut.Untuk setiap kesempatan hidup di luar
rahim, janin biasanya harus gestasi paling sedikit 24 minggu.Hal ini
memungkinkan untuk pertumbuhan diterima organ janin, tetapi tidak menjamin
kelangsungan hidup setelah trauma.Janin lama dapat tetap di dalam rahim,
semakin baik peluang yang bertahan hidup.Faktor risiko, di luar trauma, yang
berkaitan dengan persalinan prematur termasuk penyakit jantung, hipertensi, pre-
eclampsia, eclampsia, diabetes, merokok, plasenta previa, abruptio plasenta,
infeksi dan kelainan fisik.
4. 3. ABORSI SPONTAN
Luka trauma dapat mengakibatkan aborsi spontan jika luka terjadi sebelum
minggu ke-20 kehamilan.Tanda-tanda paling umum dan gejala yang berhubungan
dengan aborsi spontan karena trauma termasuk rasa sakit perut atau kram dan
perdarahan vagina.

4. 4. ABRUPTIO PLASENTA
Abruptio plasenta adalah salah satu cedera yang paling umum, biasanya
berhubungan dengan trauma tumpul, dan menyumbang 50% -70% dari kerugian
janin.Plasenta abruptio adalah pemisahan parsial atau lengkap dini plasenta dari
dinding rahim.Ketika perpisahan terjadi, pertukaran gas normal antara ibu dan
janin akan terhambat, menyebabkan hipoksia janin.Pemisahan ini juga daun
pembuluh rahim dan plasenta terkena, menyebabkan perdarahan
intrauterin.Perdarahan rahim dapat terjadi dengan atau tanpa kehadiran perdarahan
vagina, tergantung pada lokasi janin dalam saluran vagina dan apakah darah yang
terperangkap di belakang margin plasenta utuh.Sekitar 63% kasus plasenta
abruptio melibatkan trauma tidak memiliki pendarahan eksternal.Tanda dan gejala
yang berhubungan dengan kondisi ini adalah sakit perut ibu, nyeri rahim,
pendarahan vagina dan hipovolemia.

4. 5. RUPTURE UTERINE
Pecah rahim adalah peristiwa langka yang terjadi pada kurang dari 1% dari pasien
trauma hamil, namun merupakan salah satu yang paling fatal bagi ibu dan
janin.Penyebab paling umum dari rahim pecah parah memaksa trauma tumpul
pada perut, yang sering terjadi dari kecelakaan kendaraan ketika serangan panggul
rahim, yang menyebabkan pecah.Beberapa pecah rahim juga melibatkan penetrasi
trauma.Pecah rahim sering muncul dengan kejutan ibu dan janin teraba di dalam
perut.

4. 6. MENEROBOS TRAUMA
Karena rahim pasien telah tumbuh dalam ukuran selama kehamilan, dapat
membantu melindungi organ-organ perut dari penetrasi cedera, namun
menempatkan janin pada resiko yang lebih besar untuk cedera langsung.Usus dan
cedera perut terjadi lebih sering pada perut bagian atas dan dapat menyebabkan
cedera lebih besar untuk ibu, trauma langsung ke perut bagian bawah dapat

mengakibatkan cedera lebih atau kematian janin.Luka ke rahim dapat


menghasilkan morbiditas 93% untuk janin.

4. 7. FRAKTUR PANGGUL
Patah tulang panggul, paling sering akibat trauma tumpul pada perut, adalah
kekhawatiran lain. Seiring dengan perdarahan yang signifikan dalam area
retroperitoneal, ibu mungkin mengalami cedera kandung kemih, uretra atau usus.
Patah tulang panggul ibu secara signifikan meningkatkan kerentanan janin untuk
cedera kepala, yang menyumbang 25% kematian janin. Pasien dengan cedera
panggul dapat hadir dengan nyeri panggul dan tanda-tanda dan gejala
hipovolemia.5

4. 8. PERDARAHAN DAN SHOCK


Perdarahan selama kehamilan dapat mengakibatkan kontak dari salah satu kondisi
di atas atau dari cedera lainnya.Pendarahan, baik internal maupun eksternal, harus
dicurigai dan dinilai setelah adanya trauma pada pasien hamil.Perubahan
kardiovaskular selama kehamilan dapat membuat sulit untuk mendeteksi tanda-
tanda dan gejala yang berhubungan dengan hipotensi ibu dan syok.Kehilangan
darah akut mengakibatkan hipovolemia disembuyikan oleh vasokonstriksi ibu dan
takikardia.Vasokonstriksi parah dampak aliran darah uterus sekitar 30%,
umumnya mengakibatkan hipoksia janin dan bradikardi.Shock sering merupakan
penyebab kematian untuk kedua janin dan ibu.Adalah penting bahwa
mengantisipasi shock dan hipotensi ibu dan tidak hanya mengandalkan perubahan
tanda vital untuk agresif mengelola pasien. Jika tanda-tanda tradisional dan gejala
syok hipovolemik yang dipamerkan, kematian janin dapat setinggi 85%.

4. 9. HENTI JANTUNG-PARU
Penangkapan kardiorespirasi dalam wanita hamil merupakan ancaman signifikan
terhadap kelangsungan hidup janin.Diperkirakan bahwa 41% dari janin mati
ketika sang ibu menderita luka yang mengancam jiwa, dan banyak lagi terjadi
dengan serangan jantung.Sulit untuk menilai janin di lapangan, sehingga
manajemen agresif ibu perlu meningkatkan kelangsungan hidup janin.Meskipun
kemungkinan janin ibu bertahan penangkapan cardiopulmonary karena trauma
yang miskin, upaya rescuscitative harus disediakan untuk pasien yang lebih dari
24 minggu

hamil, kecuali diminta melakukan sebaliknya oleh kontrol medis.Fasilitas


penerima harus diberitahu sebelumnya sehingga staf dapat mempersiapkan bagian
darurat.5

5. PENATALAKSANAAN TRAUMA

Dengan sedikit pengecualian, prioritas terapi ditujukan kepada wanita hamil


seperti halnya pada pasien tidak hamil.Tujuan utama adalah evaluasi dan
stabilisasi cedera ibu.Perhatian kepada penilaian janin selama evaluasi akut dapat
mengalihkan perhatian dari cedera ibu yang mungkin mengancam nyawa.1

Diterapkan prosedur-prosedur dasar untuk resusitasi, termasuk penyediaan


ventilasi dan penghentian perdarahan disertai terapi untuk hipovolemia dengan
kristaloid atau produk darah.Salah satu aspek penting dalam penatalaksanaan
adalah defleksi uterus berukuran besar menjauhi pembuluh-pembuluh besar
untuk mengurangi efek pembuluh-pembuluh tersebut pada penurunan
curah jantung.Hoff dkk (1991) mencacat bahwa kematian janin berkaitan dengan
keparahan cedera ibu.Mereka menemukan keterkaitan erat kadar bikarbonat serum
yang rendah dengan kematian janin.Biester dkk (2000), mendapatkan bahwa
Revised Trauma Score tidak prediktif untuk gangguan hasil kehamilan.1

Setelah resusitasi darurat, evaluasi dilanjutkan untuk mencari fraktur, cedera alat
dalam, sumber perdarahan, serta cedera uterus dan janin.Apabila di indikasikan,
harus dilakukan lavase peritoneum terbuka pada wanita hamil.Pada sebagian besar
kasus, cedera tembus harus di evaluasi dengan menggunakan radiografi.Karena
respon klinis terhadap iritasi peritoneum menumpuk selama kehamilan, untuk
trauma abdomen dilakukan pendekatan agresif hingga laparotomi
eksplorasi.Eksplorasi merupakan keharusan untuk luka tembak abdomen, tetapi
untuk luka tusuk tertentu sebagian orang menganjurkan pengawasan ketat.1

5. 1. SEKSIO SESAREA
Kaharusan melakukan seksio sesarea untuk melahirkan janin hidup bergantung
pada beberapa faktor.Laparotomi itu sendiri bukan indikasi untuk
histerektomi.Beberapa pertimbangan mencakup usia gestasi, keadaan janin, luas
cedera uterus, dan apakah uterus yang besar menghambat terapi atau evaluasi
cedera intra-abdomen yang lain.1

5. 2. PEMANTAUAN ELEKTRONIK
Seperti pada banyak penyakit ibu yang akut atau kronik lainnya, kesejahteraan
janin dapat mencerminkan status ibu, sehingga pemantauan janin adalah tanda
vital lain untuk membantu mengevaluasi tingkat cedera ibu.Bahkan apabila
keadaan ibu stabil, pemantauan elektronik mungkin dapat memprediksikan
solusio plasenta.Pearlman dkk, (1990) melaporkan tidak terjadi solusio apabila
kontraksi uterus lebih jarang daripada 10 menit dalam 4 jam setelah trauma.Yang
penting, 20 % wanita yang kontraksinya lebih sering mengalami solusio
plasenta.Pada kasus-kasus ini, sering dijumpai kelainan rekaman dan mencakup
takikardia dan deselerasi lambat pada janin.Conolly dkk (1997), melaporkan tidak
terjadi gangguan hasil pada wanita yang rekaman pemantauannya normal.1

Karena solusio plasenta pascatrauma biasanya terjadi secara dini, pemantauan


janin dimulai sesegera setelah kondisi ibu distabilkan.Lama pemantauan pasca
trauma yang harus dilakukan belum diketahui pasti.Menurut Goodwin dan dan
Breen (1990), periode pengamatan selama 2 sampai 6 jam sedah memadai apabila
tidak ada lagi tanda-tanda buruk seperti kontraksi, nyeri tekan uterus, atau
perdarahan.Pemantauan tampaknya layak dilanjutkan selama masih ada kontraksi
uterus, pola frekuensi denyut jantung janin yang tidak menyakinkan, perdarahan
pervaginam, nyeri tekan atau iritabilitas uterus, cedera serius pada ibu, atau
pecahnya selaput ketuban.Pada kasus-kasus yang sangat jarang, solusio plasenta
terjadi beberapa hari setelah trauma.1

5. 3. PERDARAHAN JANIN-IBU
Penerapan rutin uji Kleihauer-Betke uji yang setara pada wanita hamil korban
trauma masih diperdebatkan (Pak dkk, 1998).Tidak jelas apakah penerapan uji-uji
tersebut secara rutin dapat memodifikasi gangguan hasil akhir yang disebabkan
oleh anemia janin, aritmia jantung, dan kematian.Dalam suatu kajian retrospektif
terhadap 125 wanita hamil dengan trauma tumpul yang dirawat di sentra trauma
derajat I, uji Kleihauer-Betke memperlihatkan sensitivitas 56 %, spesifisitas 71 %
dan keakuratan 27 %.

Para peneliti ini menyimpulkan bahwa uji ini tidak banyak bermanfaat dalam
lingkup trauma akut, dan pemantauan elektronik atau ultrasonografis terhadap
janin, atau keduanya, lebih bermanfaat dalam mendeteksi penyulit pada janin atau
yang terkait kehamilan.Dupre dkk (1993) mencapai kesimpulan serupa, dan
walaupun mereka mendapatkan bukti adanya perdarahan janin-ibu tidak memiliki
makna prognostik.Demikian juga, Connolly dkk, (1997) melakukan 289 uji
Kleihauer-Betke pada cedera traumatik pada wanita hamil dan hanya pada satu
kasus penatalaksanaanya terpengaruhi.1

Bagi wanita yang D-negatif, pemberian immunoglobulin anti-D perlu


dipertimbangkan.Hal ini tidak diperlukan apabila uji untuk perdarahan janin
negative.Isoimunisasi masih tetap dapat terjadi apabila perdarahan janin-ibu
melebihi 15 ml sel janin.Aspel penting lain pada perawatan pasien trauma yang
hamil adalah memastikan bahwa imunisasi tetanus masih aktif.1

5 .4. KONTRAKTUR KULIT


Setelah luka bakar serius di abdomen, kontraktur kulit yang terbentuk dapat terasa
nyeri pada kehamilan berikutnya dan bahkan mungkin mengharuskan
dilakukannya dekompresi bedah dan autograph kulit split-thickness.Widgerow
dkk (1991) melaporkan bahwa pada dua wanita pembebasan secara bedah tanpa
menutup defek yang terbentuk memberi hasil memadai.Mc.Cauley dkk (1991)
menindaklanjuti tujuh wanita dengan luka bakar berat yang melingkari tubuh pada
usia rerata 7,7 tahun.Seluruh dari 14 kehamilan dilahirkan aterm tanpa penyulit
berat.Hilang atau rusaknya puting payudara dapat menimbulkan masalah dalam
menyusui.1

5. 5. ELEKTRONIK PEMANTAUAN JANIN


Pemantauan janin elektronik terus-menerus setelah trauma adalah standar saat
perawatan dengan janin yang layak.Monitoring dimulai sesegera mungkin setelah
stabilisasi ibu, karena sebagian kerusakan plasental terjadi segera setelah trauma.

Sesekali kontraksi rahim adalah penemuan yang paling umum setelah trauma pada
wanita hamil.Kontraksi ini kadang-kadang tidak berhubungan dengan hasil janin
yang merugikan dan menyelesaikan dalam beberapa jam dalam 90 persen
kasus.Terjadinya delapan atau lebih kontraksi rahim per jam selama lebih dari
empat jam, bagaimanapun, adalah berhubungan dengan plasenta.Dengan
kerusakan plasental setelah trauma, ada sampai 75% angka 67 kematian
janin.Jika plasenta signifikan terjadi, janin yang layak harus dikirim segera.Dalam
analisis kasus tingkat kematian pada wanita hamil yang telah plasenta setelah
trauma, 69% kematian janin yang dicegah oleh persalinan sesar.

Bradycardia atau terlambat deselerasi berulang-ulang tidak responsif terhadap


resusitasi intrauterin juga membutuhkan pengiriman segera janin jika ibu stabil.

Durasi ideal untuk pemantauan janin elektronik tidak jelas.Sebuah protokol yang
digunakan secara luas, didasarkan pada studi prospektif dari 60 pasien di lebih
dari 20 minggu usia kehamilan.Protokol ini memiliki kepekaan dari 100 persen
untuk memprediksi hasil yang merugikan dalam waktu empat jam.Dalam studi
prospektif, 70% pasien yang dibutuhkan lebih dari empat jam pemantauan janin
karena kontraksi lanjutan (empat atau lebih per jam), nilai laboratorium abnormal,
atau perdarahan vagina, tapi semua pasien habis pada akhir empat atau 24 jam
memiliki hasil yang sama dibandingkan dengan pasien kontrol tanpa ada luka.
Jika takikardi janin hadir atau-stress test non reaktive, pemantauan biasanya
berlangsung selama 24 jam, tapi belum ada penelitian ada untuk mendukung atau
menolak praktek ini. Beberapa ahli menyarankan berkepanjangan pemantauan
janin elektronik pada pasien dengan mekanisme tinggi risiko cedera.Mekanisme
ini berisiko tinggi termasuk pejalan kaki dengan mobil, dan kecepatan kendaraan
bermotor tinggi yang hancur.Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan
pemantauan janin elektronik rutin selama lebih dari 24 jam setelah trauma
noncatastrophic.

Pemantauan elektronik janin terus-menerus lebih sensitif dalam mendeteksi


gangguan plasenta dari ultrasonografi, pemantauan berselang, sebuah elusi asam
tes (Kleihauer-Betke tes untuk menilai jumlah darah janin dalam serum ibu), atau
pemeriksaan fisik.Namun, pemantauan janin terus menerus mencegah kematian
beberapa perinatal.Hal ini paling berguna untuk menentukan status janin
meyakinkan dan pembuangan yang tepat.8

5. 6. ULTRASONOGRAFI

Ultrasonografi misses 50 sampai 80 persen dari kerusakan plasenta, tetapi dengan


cepat dan aman menentukan nada jantung janin, lokasi plasenta, usia kehamilan,
dan indeks cairan ketuban.Pemeriksaan USG sangat membantu dengan takikardi
ibu, ketika denyut jantung janin dan ibu mungkin sulit untuk membedakan dengan
Doppler. Berdasarkan data yang terbatas, hasil ultrasonografi obstetrik
kebanyakan yang diperoleh setelah trauma normal.Janin Sedikit bertahan ketika
ultrasonografi mendeteksi bukti trauma janinManfaat dari profil biofisik setelah
trauma tidak diketahui.8
Gambar 4.Ultrasonograpi dari sebuah janin dengan perdarahan ke dalam rongga
ketuban setelah trauma ibu.Janin ini tidak bertahan.8

Ketepatan ultrasonografi sangat tergantung pada pengalaman operator dan habitus


tubuh ibu. Pulsasi Ibu dapat meniru bradikardi janin atau menyebabkan gerakan
janin, menyebabkan pengiriman darurat yang tidak perlu dalam kasus kematian
janin.USG umumnya digunakan untuk meyakinkan ibu setelah trauma non-
bencana, namun praktik ini belum diteliti.8

5. 7. RESUSITASI JANTUNG-PARU
Untungnya, henti jantung jarang terjadi pada wanita hamil.Terdapat beberapa
pertimbangan khusu untuk resusitasi jantung paru (RJP) yang dilakukan pada
paruh kedua kehamilan.Pada wanita tidak hamil, kompresi jantung luar
menghasilkan curah jantung yang hanya 30% dibandingkan normal.Curah jantung
bahkan lebih kecil lagi pada kehamilan tahap lanjut, saat kompresi aortakava
akibat uterus yang membesar dapat mengurangi upaya resusitasi karena aliran
maju maupun aliran balik vena berkurang.
Oleh karena itu, upaya-upaya resusitasi lain perlu dibarengi dengan
penggeseran uterus.Penggeseran kelateral kiri dapat dilakukan secara manual
oleh salah satu anggota tim, dengan memiringkan meja operasi ke lateral, dengan
meletakkan sebuah bantalan dibawah paha kanan, atau dengan menggunakan
bantal resusitasi Cardiff.Ress dan Wills (1998) memperlihatkan dengan sebuah
manekin bahwa resusitasi dengan bantalan Cardiff sama efisiennya dengan
resusitasi dalam posisi telentang.1

Selama beberapa tahun terkahir, rekomendasi oleh banyak penulis adalah


melakukan seksio sesarea dalam 4 sampai 5 menit setelah dimulainya resusitasi
jantung-paru apabila janin sudah viable.Jelaslah terdapat korelasi terbalik antara
kelangsungan hidup neonates dengan fungsi saraf utuh dan interval antara henti
jantung sampai pelahiran pada wanita yang melahirkan melalui seksio sesarea
perimortem.Menurut Clark dkk (1997) 98% dari bayi yang dilahirkan sebelum 5
menit memiliki fungsi neurologis utuh.Dari 6 sampai 15 menit angkanya menjadi
83% dari 16 sampai 25 menit 33% ; dan 26 sampai 35 menit 25%.

Berdasarkan teori dan beberapa laporan kasus, pelahiran juga dapat meningkatkan
upaya resusitasi bagi ibu.Berdasarkan semua alas an tersebut, American College
of Obstetricans and Gynecologist (1998) menganjurkan agar seksio sesarea
dipertimbangkan pada kehamilan trimester ketiga dalam 4 menit setelah henti
jantung.Sayangnya, seperti ditekankan oleh Clark dkk (1997), tujuan-tujuan ini
jarang dapat dipenuhi dalam praktik sebenarnya.

6. PROGNOSIS

Dari kajian mereka, Polko dan McMahon (1998) menyimpulkan bahwa kehamilan
tidak mengubah hasil maternal dibandingkan dengan wanita hamil yang usianya
setara.Sejumlah peneliti melaporkan bahwa harapan hidup ibu dan janin setara
dengan presentase luas luka bakar.Secara umum, prognosis memperburuk apabila
luka bakar melebihi 40 sampai 50% luas permukaan tubuh.Sebagai contoh, angka
kematian ibu dan janin adalah 50% pada kelompok luka bakar 40 sampai 60%
dibandingkan dengan 11% kematian janin tanpa kematian ibu pada kelompok
dengan luas luka bakar 20 sampai 40%.Pada 170 wanita hamil dengan luas luka
bakar
yang dilaporkan pada tabel 2, seiring dengan terlampauinya batas luas luka bakar
sebesar 50%, morbiditas ibu-janin selalu melebihi 50%.1

Tabel.2 Mortalitas ibu-janin pada kehamilan 170 kehamilan dengan penyulit luka
bakar

Hasil akhir
Perinatal
Penelitian Luka Bakar Kematian
Kematian
(% LPTT) Ibu
Janin
Rayburn dkk. (1984) (n=30) <40 2/20
2/20
40.60 3/6 3/6
>60 3/4
4/4
Amy dkk (1985) (n=30) <40 0/17
2/17
40-50 0/3
2/3
>50 10/10
9/10
Rode dkk (1990) (n=33) <20 1/16
2/16
20-50 1/8
3/8
>50 6/9
8/9
Akhtar dkk (1994) (n=50) <40 0/12
1/12
40-60 3/6
3/6
>60 32/32
32/32
Mabrouk dan el-Feky (1997) <25 0/19
9/19
(n=27) >25 5/8
5/8
7. PENGELOLAAN WANITA HAMIL SETELAH TRAUMA
Gambar 5: Algoritma untuk manajemen dari wanita hamil setelah
8
trauma.
8. PENILAIAN DAN MANAJEMEN
Penilaian pra-rumah sakit dan manajemen pasien trauma hamil difokuskan pada
identifikasi, menjamin, memelihara dan mendukung fungsi-fungsi vital,
pernapasan jalan napas pasien dan sirkulasi.Tidak seperti darurat traumatis lain,
ada dua pasien yang harus dipertimbangkan oleh penyedia.Manajemen yang
paling bijaksana dari kedua ibu dan janin yang terlibat dalam trauma adalah untuk
mengambil pendekatan yang proaktif dan mengobati ibu agresif. Semua wanita
hamil yang telah menderita cedera, terlepas dari beratnya, harus dievaluasi oleh
dokter di gawat darurat.5

Gambar 6. Tindakan pada trauma

Manajemen pasien trauma pada kehamilan meliputi: 5


1.Spinal imobilisasi diperlukan untuk pasien hamil yang diduga mengalami cedera
tulang belakang.Pada pasien backboarded pada kehamilan lebih dari 20 minggu,
backboard perlu dimiringkan 15 sampai 30 ke sisi kiri dan diselenggarakan
dalam posisi itu sepanjang durasi perawatan Anda untuk membantu mencegah
sindrom hipotensif terlentang dan kompresi vena.
2.Membangun dan menjaga jalan napas terbuka.Jika pasien memiliki status
mental berubah, tidak responsif, atau karena alasan lain tidak dapat
mempertahankan jalan napas paten, buka

saluran udara oleh dorongan rahang dan memanfaatkan alat mekanik dan intubasi
endotrakeal sebagaimana diarahkan oleh protokol Anda.Anda harus
mengantisipasi muntah dengan pasien dan suction tersedia.
3.Tentukan apakah pasien bernapas memadai dan suara nafas bilateral yang
hadir.Jika napas pasien tidak memadai, memberikan ventilasi tekanan positif
dengan oksigen aliran tinggi tambahan.Jika memadai, memberikan konsentrasi
tinggi oksigen melalui nonrebreather untuk mempertahankan SPO2 sebagai
mendekati 100% mungkin, bahkan jika pasien tidak menunjukkan tanda-tanda
atau gejala hipoksia.Ingat bahwa janin sangat rentan terhadap hipoksia.
4.Menilai sirkulasi pasien dan memeriksa pendarahan utama.Anda harus
mencurigai pendarahan internal bahkan jika tidak ada tanda-tanda atau gejala
yang jelas.Jika perdarahan vagina hadir, menyerap aliran darah dengan pad dan
jangan pack vagina.Jika pasien ada teraba denyut nadi, memberikan CPR dan
perawatan pernafasan seperti biasa untuk orang dewasa.
5.Mengantisipasi, mencegah dan mengobati syok.Ingat bahwa tanda-tanda biasa
dan gejala yang berhubungan dengan syok hipovolemik paling sering tidak akan
hadir pada pasien trauma hamil sampai lebih dari 30% dari total volume darah
hilang.Menunda pengobatan untuk penurunan nyata dalam tanda-tanda vital dapat
meletakkan kedua ibu dan janin beresiko.
6.Mendirikan dua besar menanggung infus dan infus Ringer laktat atau normal
saline untuk mempertahankan perfusi ibu dan janin.
7.Menyediakan pemantauan EKG kontinu untuk ibu.
8.Monitor detak jantung janin, jika mungkin.Denyut nadi kurang dari 110 denyut
per menit menunjukkan gawat janin yang signifikan.
9.Perlakukan dan mengelola setiap cedera yang mengancam nyawa lainnya.Ingat
bahwa sejumlah besar perawatan untuk luka lain dapat dilakukan dalam
perjalanan ke fasilitas penerima.
10.Transportasi cepat pasien ini ke fasilitas terdekat yang menerima
sesuai.Pastikan Anda memberitahukan fasilitas penerimaan sebelumnya sehingga
mereka dapat merakit sebuah tim trauma dan panggilan untuk dokter kandungan
dan dokter anak, jika perlu.

9. PENCEGAHAN

Meskipun kemajuan dalam pengelolaan trauma, tingkat kematian janin dan ibu
setelah cedera traumatis tidak menurun.Karena manajemen saat ini tidak sedikit
untuk mempengaruhi kematian, pencegahan adalah kunci untuk kelangsungan
hidup ibu dan janin meningkat.Kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan
dalam rumah tangga adalah penyebab dicegah umum trauma pada kehamilan.

Meskipun kecelakaan kendaraan bermotor bertanggung jawab atas sebagian ibu


luka parah dan kerugian janin dari trauma, wanita hamil memiliki tingkat rendah
penggunaan sabuk pengaman. Tempat duduk menggunakan sabuk pengaman yang
paling signifikan dimodifikasi faktor dalam penurunan dan janin cedera ibu dan
kematian setelah kecelakaan kendaraan bermotor.Sabuk pengaman terkendali
wanita yang berada dalam kecelakaan kendaraan bermotor memiliki angka
kematian janin yang sama dengan perempuan yang tidak dalam kecelakaan
kendaraan bermotor, namun tidak terkendali wanita yang berada di crash adalah
2,8 kali lebih mungkin untuk kehilangan janin mereka.

Perawatan Prenatal harus menyertakan sabuk pengaman instruksi-titik tiga.Sabuk


pengaman harus ditempatkan di bawah perut, pas di atas paha, dengan
memanfaatkan bahu ke sisi rahim, antara payudara dan atas garis tengah
klavikula.Sabuk pengaman ditempatkan langsung di atas rahim dapat
menyebabkan cedera janin.Airbag tidak harus dinonaktifkan selama kehamilan.

Karena banyak wanita tidak menyadari potensi plasenta tanpa bukti cedera ibu,
pasien hamil harus diinstruksikan untuk mencari perawatan segera setelah adanya
trauma tumpul.

Kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada sampai 25 persen wanita hamil,
namun dokter mendeteksi hanya 4 sampai 10 persen dari kasus.Hal ini penting
bagi dokter untuk layar semua pasien untuk kekerasan domestik dan menjadi
akrab dengan sumber daya masyarakat untuk membantu pasien yang mengalami
kekerasan domestik.Penapisan pasien yang lebih muda sangat penting, karena
mereka memiliki tingkat yang lebih tinggi dari kecelakaan kendaraan bermotor
dan kekerasan dalam rumah tangga.Sumber Daya bahan di ruang tunggu dan toilet
memungkinkan pasien untuk mengumpulkan informasi tanpa konfrontasi.8

BAB III
PENUTUP

Pasien trauma pada orang hamil menghadirkan tantangan yang unik karena
perawatan harus disediakan untuk dua pasien ibu dan janin.Perawatan pasien
trauma hamil dengan luka berat sering membutuhkan pendekatan multidisiplin
yang melibatkan dokter darurat, ahli bedah trauma, dokter kandungan, dan
neonatologist.Trauma adalah penyebab utama kematian ibu, akuntansi hingga
46% dari kasus kematian janin, bagaimanapun, adalah kejadian lebih umum dari
kematian ibu.Cedera langsung janin relatif jarang karena jaringan lunak ibu,
rahim, plasenta, dan cairan ketuban semua cenderung menyerap dan
mendistribusikan energi pukulan.
Trauma yang disebabkan oleh kecelakaan dan kekerasan adalah komplikasi umum
dan penting kehamilan, melibatkan 5-20% dari kehamilan. Trauma menyebabkan
kematian ibu di 46,5% dari 95 kasus, dan, dari kasus kematian traumatis, 34%
adalah karena kecelakaan, pembunuhan 57% untuk, dan 9% untuk bunuh diri.

Pada 3 bulan pertama umur kehamilan sering trauma yang terjadi menimbulkan
abortus dan reaksi izoimunisasi yakni percampuran darah janin dan ibu yang ber-
rhesus negatif yang dapat menyebabkan masalah pada kesehatan ibu dan janinnya.
Pada trisemester kedua, kehamilan sudah makin nampak, dinding rahim masih
tebal serta terbentuk cairan amnion yang kesemuanya bisa melindungi janin dari
pengaruh trauma. Resiko yang mungkin muncul adalah sulosio plasenta (robek
atapun lepasnya ikatan tali pusat janin dari bagian dinding rahim) dan terjadi
tercemarnya darah ibu oleh darah anak yang berbeda rhesus serta cairan
kandungan yang masuk ke aliran darah ibu (emboli cairan amnion). Pada 3 bulan
terakhir kehamilan, justru dinding rahim makin tipis dan posisi kandungan makin
menonjol ke permukaan dinding perut. Hal ini lebih memberikan resiko pada
janin untuk terkena cedera langsung, baik karena trauma tumpul atau pun luka
tusuk. Di samping itu kandungan yang semakin membesar akan menyebabkan
tekanan atau hambatan pada aliran darah balik melalui vena besar di bawahnya
(vena cava compression).Benturan yang terjadi pada dinding panggul ibu juga
dapat menimbulkan perdarahan hebat berasal dari rusaknya struktur vaskuler
rahim di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

1.F.Gary Cuningham. Obstetri Wiliams..[et al] ; alih bahasa, Andry Hartono,


Y.Joko Suyono,
Brahm U.Pendit ; editor edisis bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto...[et al],-
Ed.21 jakarta :
EGC, 2005.
2. Guyton, Arthur C. Buku ajar fisiologi Kedokteran / Arthur C.Guyton, John E
Hall ; alih
bahasa, Irawati... [et al] ; editor edisi bahasa Indonesia, Luqman Yanuar
Rachman... [et al], ---
.11,-- Jakarta : EGC, 2007.
3. Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri; Obstetri operatif, Obstetri Sosial / Rustam
Mochtar,
editor, Delfi Lutan, Ed 2Jakarta : EGC, 1998.
4. Trauma pada kehamilan; available at :
http://spesialisbedah.com/2008/12/trauma-pada-wanita-hamil/
5. Trauma pada kehamilan; available at : www.emsworld.com/print/EMS-
World/Beyond-The-Basics--Trauma-During- Pregnancy/1$9048
6. Trauma pada kehamilan; available at : http://medicalopaedia.com/emergency-
room/trauma-during-pregnancy/
7. Trauma pada kehamilan; available at :
http://www.trauma.org/archive/resus/pregnancytrauma.html
8.Trauma pada kehamilan; available at : www.aafp.org/afp/2004/1001/p1303.html

Anda mungkin juga menyukai