Anda di halaman 1dari 7

Prostaglandin pada Penyakit Jantung Bawaan

Sebelum penggunaan prostaglandin (PGE1) banyak bayi dengan ductus arteriosus dependent
congenital heart disease (CHD) yang dilahirkan di rumah sakit selain tertiary care centers
meninggal pada saat transportasi ke inter-hospital. Perkembangan pada bidang pembedahan
jantung neonatal meningkatkan pentingnya diagnosis cepat dan stabilisasi bayi dengan CHD.
Angka keselamatan bayi dengan CHD meningkat pada sepuluh tahun terakhir. Mungkin
pengunaan dini PGE1 merupakan salah satu faktor penting untuk memberikan kestabilan klinis
untuk pembedahan. Terapi dengan PGE1 dapat mempertahankan fungsi cardiovaskuler sampai
prosedur pembedahan dilakukan. Saat ini banyak rumah sakit tidak mempertahankan pasokan
PGE1 dikarenakan biaya dan penggunaan yang terbatas karena beberapa efek samping.

Farmakologi Ductus Arteriosis


Untuk membuktikan pentingnya terapi PGE1, dibutuhkan pengulasan kembali tentang fisiologi
ductus dan relevansi pada bayi dengan CHD. Pada janin ductus arteriosus menghubungkan
pulmonary artery dengan descending aorta. Prostaglandin endogen diproduksi pada saat gestasi
mempertahankan keutuhan ductus, mengakibatkan, sebagian besar aliran darah dari arteri
pulmonaris yang melewati ductus dengan melewati paru dan menuju langsung ke aorta dan
selanjutnya ke plasenta untuk oksigenisasi. Saat lahir, peningkatan oksigenisasi pada arteri dan
menurunan prostaglandin endogen, keduanya menstimulasi alterasi vakular yang menyebabkan
penutupan ductus. Prostaglandin eksogen seperti PGE1 dapat digunakan untuk mempertahankan
ductus pada neonatal dengan melewati defective vessel atau pencampuran oxygenated dan
unoxygented blood dibutuhkan untuk mempertahankan sirkulasi sistemik.
Ductus arteriosus yang konstiksi biasa sensitive terhadap PGE1 dengan efek dilasi pada
dosis dibawah dosis yang dapat mempengaruhi tekanan dan resistensi sistemik atau pulmonal.
Mempertahankan Ductus dengan infuse PGE1 dapat menyelamatkan janin dengan penyakit
jantung dengan karakteristik restriksi aliran darah pulmonal, poor arterial venous admixture dan
hipoperfusi sistemik.
Indikasi
a) Restriksi dari aliran darah pulmonal
Sebelum penggunaan PGE1 penanganan janin dengan pulmonary atresia atau
anomaly lain yang diasosiasikan dengan aliran darah pulmonal yang kurang merupakan
masalah mayor pada bagian neonatal cardiology. Pasien biasanya sangat sakit pada hari
awal kehidupan dengan ductus yang kontriksi dan dengan tidak adanya tindakan pasien
meninggal beberapa minggu setelah kehidupan. Pada kasus jarang ductus secara cepat
konstriksi dan aliran darah pulmonal berkurang secara nyata. Dikarenakan asidosis, janin
menjadi sangat sakit. Mayoritas bayi meninggal karena keterlambatan menuju rumah
sakit tersier. Bahkan yang sampai tepat waktu terlalu sakit untuk mendapatkan anestesi
dengan resiko prolong hipokemia.
Semenjak tahun 1970 penggunaan PGE1 untuk mempertahankan ductus telah
secara signifikan meningkatkan prospek bayi dengan CHD yang dikarakterisasi dengan
restriksi aliran darah pulmonal. Dilatasi ductus terlihat dengan peninkatan PO2 sebanyak
20 sampai 30 mmHg. Autograms selektif telah memperlihatkan dilatasi yang lebar dari
ductus menit setelah infuse PGE1 dengan prescribed dosage.
Keadaan bayi meningkat secara klinis dan sejak hipoksemia dan asidosis sudah
dikoroeksi, pertinent diagnostic studies dapat diimplemantasikan dan pasien dapat
dikirim ke tertiary care centre dalam keadaan stabil. PGE1 memperlihatkan dilatasi
pulmonary vascular bed dan PGE1 infusi dapat meningkatkan kualitas aliran darah
pulmonal dengan mereduksi resitensi vaskuler pulmonal. Bayi ebih dari 96 jam
memperlihatkan efek yang kurang responsive dibandingkan bayi yang lebih muda. Pasien
dengan arterial PO2 terendah sebelum infuse memperlihatkan respon terbaik. Beberapa
pasien menggunakan PGE1 selama beberapa hari atau bahkan minggu sampai
pemenuhan ventrikel kanan membaik. Kemanjuran PGE1 meningkatkan kualitas aliran
darah pulmonal dievaluasi dengan perubahan PaO2 satu jam setelah pemberian PGE1.
Pada evaluasi di USA, terlihat bahwa rerata peningkatan PaO2 meningkat dari 26.7
menjadi 38.5 mmHg setelah infuse PGE1. Bayi dengan PaO2 awal kurang dari 20 mmHg
mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan dengan bayi dengan paO2 awal
lebih dari 40 mmHg. Jika peningkatan PaO2 sebanyak 10 mmHg dikonsiderasi sebagai
peningkatan kualitas yang bermakna, bayi dengan umur kurang dari 96 jam menunjukan
respon yang lebih baik secara klinis dibandingakan dengan bayi dengan umur lebih dari
96 jam.
b) Poor arterio-venous admixture
Pasien dengan transposisi arteri dan septum ventrikel yang intak pada periode
neonates awal menunjukan hipksia berat. Tindakan yang biasa dilakukan untuk
penanganan anomaly di atas adalah arterial switch operation pada minggu pertama
sampai kedua kehidupan.
PGE1 digunakan pada janin yang sakit untuk memastikan kelangsungan paten
dari duktus, prosedur ini penting sebelum dilakukan pembedahan (operasi). Pada rumah
sakit tertentu balloon atrial septostomy (BAS) dilakukan untuk memastikan pencampuran
darah pada tahap arterial. Sebagai tambahan dari BAS, prostaglandin dianjurkan untuk
mendorong terjadinya ductal shunting, akan tetapi, juga menyebabkan peninkatan
kerentanan jaringan ductus yang dapat menjadi factor komplikasi dalam surgical ligation
of ductus saat melakukan operasi atrial/arterial.
Telah diamati bahwa perfusi PaO2 janin dengan transposisi lebih rendah
walaupun peningkatan PaO2 relatif sama dengan janin lain dengan penurunan aliran
darah pulmonal. Freed et al melaporkan bayi dengan umur lebih dari 4 hari dengan berat
lahir lebih dari 4 Kg tidak meiliki peningkatan PaO2 yang secara klinis signifikan.
c) Ductal Dependent systemic blood flow
Bayi dengan beragam bentukan dari hypoplastic left heart syndrome, termasuk
aortic atresia, critical aortic stenosis, interrupted aortic arch dan juxtaductal coarctation of
the aorta yang parah bertergantungan dengan patensi dari ductus untuk dapat bertahan
hidup pada periode awal neonatal. Kontriksi ductus mengakibatkan cardiac output
sistemik yang rendah, shock, asidosis dan kematian. Infusi prostaglandin memungkinkan
bayi untuk bertahan untuk periode yang lebih lama, yang memungkinkan dilakukan
perbaikan (operasi). PGE1 memperbaiki tekanan dan aliran darah pada descending aortic
pada bayi dengan gangguan pada aortic arch of juxtaductal coarctation dan penutupan
ductus arteriosus. Pada penelitian dimana PGE1 diinfusi pada 107 bayi dengan duct
dependent systemic flow, dimana ductus dianggap tertutup pada katerasisasi cardia
sebelum infusi PGE1 pembukaan kembali tidak memungkinkan, tidak memandang umur.
Penutupan ductus secara ireversibel, asidosis dan collapse biasanya dihubungkan dengan
angka kesuksesan yang lebih kecil dari infuse PGE1. Hasil yang lebih baik lebih banyak
terjadi pada bayi dengan duktus yang kontriksinya parsial. Secara klinis ini terefleksikan
dengan peningkatan perfusi dari anggota gerak bawah, peningkaan pengeluaran urin dan
metabolic acidemi yang menurun. Juga telah diobservasi bahwa bayi sianotik
mendapatkan respon maksimal kurang lebih 30 menit setelah infuse dimana respon
maksimal terjadi setelah 1.5 jam lebih lama pada bayi dengan acyanotic congenital heart
disease.
d) Refractory Severe Hypertension
Infusi PGE1 adalah terapi alternative yang memungkinkan untuk bayi dengan idiopathic
arterial calcification complicated by sever hypertension refractory.
Terapi Prostaglandin
Dikarenakan prostaglandin dimetabolisme secara cepat infusi harus dilakukan
secara terus menerus. Lebih dari dua per tiga bagian dari prostaglandin dimetabolisme
saat melewati paru untuk pertama kali, dan metabolit diekskresikan lewat ginjal dalam 24
jam. Oleh karena itu, agent harus diinfusi melewati pump delivery system dengan infuse
intravenous pertama sebesar 0.05 micrograms/kg/min walaupun untuk menghindari efek
samping dosis yang lebih rendah ( 0.005-0.01 micograms/kg/min) dianjurkan dengan
efektifitas yang sama. Duktus yang secara fungsional tertutup tapi secara anatomis dapat
terbuka kembali dapat merespon terhadap prostaglandin, akantetapi, hasil yang lebih baik
telah terbuktikan ketika agent digunakan sedini mungkin agar bayi tidak mengalami
hypoxemia. Penurunan respon dari duktus terhadap infuse PGE1 setelah 96 jam mungkin
terjadi dikarenakan penutumas anatomis sempurna atau penutupan fungsional yang
ireversibel dikarenakan kurang respon dari reseptor prostaglandin dikarenakan umur.
Akantetapi pasien dengan cyanotic CHD pernah memberi respon terhadap agent pada
umur 36 hari.
Terdapat laporan, bayi baru lahir, menggunakan hanya prostaglandin E2 untuk
memperbaiki perfusi paru atau ginjal dengan membuka ductus arteriosus. Diagnosis dari
bayi tersebut adalah pulmonary atresia, hypoplastic left heart syndrome, transposition of
the great arteries with or without ventricular septal defect, coarctation of the aorta and
tetralogy of fallot. Dosis infusi prostaglandin E2 yang digunakan adalah 0.1
microgram/kg bb/min dan terus diturunkan dengan melihat pO2 kapiler. Pemberian
prostaglandin E2 secara oral juga pernah dilakukan. Efektifitas dan simplisitas dari
pemberian PGE2 oral memiliki keuntunggan lebih dibandingkan dengan pemberian
intravenous apalagi pada pemberian dengan jangka waktu yang lama. Durasi dari
pengobatan berada dalam jangka 15 menit sampai 37 hari. Terjadi peningkatan pO2
kapiler pada pengobatan prostaglandin E2, peningkatan pO2 kapiler berkorelasi negative
dengan pO2 awal sebelum pengobatan, tapi tidak bergantungan dengan umur bayi.

Efek samping
Pada beberapa penelitian besar persentase terjadinya efek samping jatuh pada 21.5
sampai 53%. Efek samping yang biasa terjadi adalah cutaneous vasodilatation, apnoea atau
hipoventilasi, kejang, pyrexia dan diare. Akantetapi, penggunaan dengan dosis tepat, komplikasi
signifikan jarang terjadi. Flushing dilaporkan terjadi pada 10% pasien.
Saat mempertimbangkan penggunaan prostaglandin pada pasien, yang akan dilakukan
operasi manipulasi daerah duktus, penting untuk ahli bedah untuk mengetahui risiko terjadinya
induced rupture of the ductus. Telah dilaporkan bahwa mucopolysaccharides meninkat pada
ductus. Perubahan ini menimbulkna peningkatan kerentanan dari duktus dan struktur juxtaductal,
dengan demikian meningkatkan terjadinya spontaneous aneurysms dan rupture, atau robek atau
rupturnya aortic dan pulmonary jungtian saat dilakukannya operasi. Fragilitas duktus, arteri
pulmonal dan aorta yang tidak terjadi teramati pada ligasi dari duktus dengan infuse
prostaglandin E yang bertahan selama tujuh sampai sepuluh hari. Sebagai tambahan, pasien lain
yang menerima infuse prostaglandin E untuk enam hari dilaporkan mengalami aneurismal
fullness of the ductur arteriosus saat otopsi. Temuan histology dan pengalaman intraoperatif pada
penelitian ini menimbulkan kecurigaan bahaya dari rupture ductus arteriosus secara spontan
maupun saat operasi yang diikuti infuse prostaglandin yang lama.
Hiperpireksia dan apnoea yang terjadi pada 10-15% dari seluruh kasus adalah komplikasi yang
paling parah dari infuse prostaglandin. Keadaan ini berhenti pada saat infuse juga dihentikan.
Kejadian apnoea yang tiba-tiba membutuhkan intubasi dan ventilasi segera pada saat
pengobatan, oleh karena itu support ventilasi harus diadakan sebelum pengobatan PGE1. Apakah
apnoea terjadi karena pemberian pada dosis tertentu masih menjadi controversial akan tetapi
pada saat trial multicentre side efek, efek samping seperti apnoea, jitteriness dan pireksia tidak
terlihat sebagai efek samping yang berhubungan dengan jumlah dosis.
Penggunaan infusi prostaglandin dalam kurun waktu pendek dan panjang juga berkaitan dengan
cortical proliferation dari system skelet. Telah terjadi pada tujuh pasien yang teregristasi sampai
saat ini. Perubahan skeletal terjadi dalam kurun 9 hari dari pemberian prostaglandin dan juga
meliputi widened fontanelles, pretibial dan soft-tissue swellin dan swelling dari ekstrimitas atas
dan bawah. Reaksi ini dapat bertahan sampai 38 minggu setelah pengobatan dihentikan.
Konsentrasi alkaline phospat terjadi pada 4 kasus. Walaupun kasus diatas bukan merupakan
penelitian prospectif, evaluasi AP dapat memberikan arti pada monitoring neonatal yang
menjalani pengobatan prostaglandin. Periostitis diasosiasikan dengan sakit dan bengkak seluruh
tubuh pada pasien. Periostitis meningkat dengan infuse prostaglandin, setelah pemberian selama
6 minggu, periostitis menurun secara signifikan. Periostitis terlihat berpengaruh pada durasi
pemberian prostaglandin dibandingankan dosis pemberian. Kesadaran pada hal ini merupakan
hal yang penting tidak hanya untuk team caring tapi juga untuk konsultan paediactric
orthopaedist untuk menghindari infestigasi untuk infeksi, penyakit metabolic atau kekurangan
vitamin yang menyerupai prostaglandin induced periostitis.
Dua kasus gastric outlet obstruction yang berhubungan dengan prostaglandin induced gastric
foveolar hyperplasia, yang terjadi setelah infuse prostaglandin E1 untuk pengobatan hypoplastic
left heart syndrome juga pernah dilaporkan.

Pengalaman dengan PGE1


Obat ini tersedia di india sejak April 1995. Penulis telah mecatatat hasil dari penggunaan PGE1
pada 61 bayi. Umur dari waktu awal infuse PGE1 dalam range 18 jam sampai 50 hari. 41
berumur lebih dari satu minggu, 18 berumur lebih dari 14 hari dan 2 berumur lebih dari satu
bulan. PGE1 dimulai dengan dosis awal 0.05 mcgm/Kg/min, diturunkan sampai 0.005-0.01
mcgm/Kg/min untuk maintenance. Hasil yang diinginkan terjadi pada seluruh bayi kecuali satu.
Indikasi penggunaan PGE1 adalah untuk meningkatkan aliran darah pulmonal pada 32 kasus
dengan atresia pulmonal, tricuspid atresia atau critical pulmonary stenonsis dengan atau tanpa
BT shunt. Indikasi lain adalah untuk meningkatkan aliran darah sistemik pada 15 kasuus dengan
coarctation of aorta, hupoplastic left heart or interrupted aortic arch, untuk memperbaiki
pencampuran dalam 12 kasus transpsisi great vesels dan untuk memperbaiki volume ventrikel
kiri dengan mempertahankan duktus terbuka di 2 kasus TGA dengan septum ventricular yang
intak. Kemanjuran obat dinilai dengan peningkatan SPO2. Peningkatan SPO2 >10% dalam 1 dan
setengah jam pertama pemberian prostaglandin dianggap baik untuk GPI dan III, dan penampak
nadi tungkai bawah pada GP II. Volume ventrikel kiri secara serial diukur mengunakan
echocardiography pada kasus dimana PGE1 diberikan in TGA-IVS setelah balloon atrial
septostomy (BAS). Obat ini sukses dalam 59 dari total 61 kasus. Rerata (range) dari peningkatan
SPO2 pada GP I adalah 33 +- 14 (28-43)% dan pada GP III adalah 21+-12(14-32)%. Kegalalan
terjadi pada bayi berumur 39 hari dengan Pat dan bayi berumur tujuh hari dengan COA dan gagal
ginjal. Efek samping termasuk apnoe terjadi pada 5(9%) dari 56 pasien bernafas normal. NEC
dan hiperpireksia terjadi dimana PGE1 digunakan dalam dosis yang lebih tinggi dari 0.2
mcgm/kg/min. Jitteriness terlihat; 1. 4 pasien meninggal 2. Berhubungan dengan PGE1, 1 karena
kegagalan pengobatan, 1 lagi karena efek samping. Prosedur definitive dilakukan pada 49 kasus
secara elektif. PGE1 digunakan dalam waktu sampai dengan 13 hari dengan keuntungan yang
berkelanjutan.
PGE1 adalah tambahan mayor pada pengelolaan medic, saat bahkan setelah operasi
paliatif atau korektif pada bayi dengan ductus arterious dependent heart disease. Walapun banyak
bayi yang didiagnosis lebih dari berumur 4 hari, PGE1 terlihat efektif dan oleh karena itu harus
digunakan tanpa memperhatikan umur untuk mendilatasi duktus arteriosus dan memperbaiki
perfusi.

Anda mungkin juga menyukai