Ari
Bagian/SMF Mikrobiologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr.Kariadi
A. PENDAHULUAN
Ileus post operatif merupakan salah satu komplikasi operasi. Gejala ileus post operatif
meliputi distensi abdomen, mual, muntah, gangguan flatus atau buang air besar. Ileus post
operatif merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Cannon dan Murphy pada tahun
1906. Obstruksi usus merupakan salah satu komplikasi yang umum dan fatal terjadi setelah
obstruksi. Secara umum, penyebab ileus disebabkan oleh obstruksi mekanis (sumbatan), usus
yang adinamik, terjadinya iskemik mesenteric dan pseudoobstruksi. Sehingga diagnosis kerja
dan diagnosis banding mengarah kepada ileus obstruktif, ileus paralitik atau Sindrom Ogilvie.
Kondisi ini biasanya terjadi pada hari ke 2–12 setelah operasi. Sindrom Ogilvie adalah
kondisi bedah langka yang ditandai dengan obstruksi akut dan dilatasi besar pada usus besar
tanpa adanya penyebab mekanis. Sindrom Ogilvie dapat membawa tingkat kematian setinggi
45% dan jika tanda dan gejala tidak cepat dikenali, terjadi perforasi usus, peritonitis feses
Selain obstruksi usus, Operasi bedah Caesar juga dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi post partum seperti infeksi luka operasi, selulitis, infeksi puerperalis atau
1
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar lebih memahami peran mikrobiologi
klinik dalam penanganan kasus infeksi pasca SCTP terkait diagnosis, penatalaksanaannya
serta pencegahannya.
2
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
ldentitas Ny.DDU
No. RM/CM C712071
Alamat Jl. Tempurkali, RT 001/RW 001, Wonogiri, Jawa Tengah
Status Menikah
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
DPJP dr. Rachmad Rizal Budi Wicaksono Sp.OG
Tanggal Masuk RS 15/09/2018
Tanggal Keluar RS 25/09/2018
Biaya BPJS Non PBI
ANAMNESA
Keluhan Utama : Perut membesar sejak 3 hari
Pasien rujukan dari RS Banyumanik seorang wanita 29 tahun, P2A0, pasca SCTP 6 hari yang
lalu, saat ini mengeluh perut membesar sejak 3 hari ini.
3
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran Composmentis (GCS = E4M6V5 = 15)
Kondisi Umum Baik
TD 100/70mmHg
Tanda Vital
HR 80 x/mnt isi/tegangan cukup
RR 20x/mnt
T 36,7˚ C
TB : 1,47 m; BB = 70 Kg
BMI = (BB/[TB]2)= (70/2,1609) = 32,4 kg/m2
Mata : Sklera ikterik (-/-), Conjungtiva palpebra pucat (-/-),pupil isokor ϴ 3mm,
mata cekung (-/-), bibir kering (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : JVP tidak meningkat, trakea ditengah,
Thorax :
I = statis : hemitoraks kanan=kiri
dinamis : hemitoraks kanan=kiri
Pulmo Pa = stem fremitus kanan=kiri
Pe = Sonor kedua lapangan paru
A = Suara dasar vesikuler pada lapang paru, Suara tambahan (-)
I = IC tidak tampak
Pa = IC teraba di SIC V pd 2 cm medial LMCS
Cor
Pe = konfigurasi jantung dbn
A = SJ I dan II murni, gallop (-), murmur (-)
I : tampak membuncit, tegang, tampak bekas luka operasi
A : bising usus (+) menurun
Abdomen
Pa : TFU tidak teraba, nyeri andomen regio suprapubis
Pe : redup
PPV : Lochea sanguelenta berbau
ASI : engorgement (-/-)
Ekstremitas Sup Inf
Sianosis : -/- -/-
Edema : -/- -/-
4
Cap refill : <2”/<2” -/< 2”
Akral dingin : -/- -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
PEMERIKSAAN 15/9/2018 SATUAN NILAI NORMAL
Hemoglobin 13,4 g/dL 12-16
Hematokrit 40 % 37-47
Eritrosit 4,96 10^6/ul 3.80-5.20
Leukosit 22,3 10^3/uL 4.8-10.8
Trombosit 345 10^3/uL 150-450
MCH 27 Pg 27.00-32.00
MCV 80,6 fL 76-96
MCHC 33,5 g/dL 29-36
RDW 15,5 % 11.60-14.80
MPV 8,8 fL 4.00-11.00
Kimia Klinik
GDS 100 Mg/dL 80-160
SGOT 34 U/L 15-34
5
SGPT 20 U/L 15-60
Ureum 58 mg/dL 15-39
Kreatinin 1,0 mg/dL 0.60-1.30
Elektrolit mmol/L
Natrium 135 mmol/L 136-145
Kalium 3.7 mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 94 mmol/L 98-107
Koagulasi
Plasma Prothrombin Time (PPT)
Prothrombin Time 10,2 Detik 9,4-11,3
PPT kontrol 10,7 Detik
Partial Thromboplastin Time (PTTK)
Thromboplastin Time 40,7 Detik 27,7-40,2
APTT kontrol 33,1 Detik
Pemeriksaan Hematologi
Imunoserologi
Prokalsitonin 2.73 ng/ml
6
(risiko tinggi untuk sepsis berat atau syok sepsis)
Pemeriksaan Mikrobiologi
Hasil kultur (15 September 2018)
Hasil Kultur A : TIdak ada pertumbuhan kuman
Hasil Kultur B : Tidak ada pertumbuhan kuman
7
Tigecycline <=0.5 S
Nitrofurantoin <=16 S
Trimethoprim/Sulfamethoxazole >=320 R
Fosfomycin S
Cefoperazone sulbactam S
Pemeriksaan Radiologi :
Klinis : ileus paralitik dd/Obstruktif, Ogilvie syndrome
Kesan :
Gambaran ileus paralitik
ASSESMENT:
P2A0 29 Tahun
Pasca SC T incision H-6 a.i bekas SC, letak lintang, partus prematurus
Ileus dd/paralitik, obstruktif
Febris Puerperalis ec susp endometritis
8
- Paracetamol 500 mg po
- Inj. Neostigmine (extra)
- Inj. Ceftriaxone 2 gram/24 jam
- Inj. Metronidazole 200 mg/8 jam
- Inj. Gentamicin 80 mg/12 jam
Usul : kultur darah, kultur lochea
Konsul TS bedah
Konsul TS Interna
9
FOLLOW-UP
10
A : P2A0, 29 tahun
pasca SC T incision a.i bekas SC, letak lintang, partus prematurus H-7 Pengawasan KU, TFU, TV, PPV, ASI, BAB, BAK
ileus paralitik
Susp. Ogilvie syndrome
Febris puerperalis ec susp endometritis
11
ASI : (+/+) Kultur lochea TS mikrobiologi
BAB dan BAK spontan
Raber
A : P2A0, 29 tahun TS interna : sudah tidak ada tatalaksana
pasca SC T incision a.i bekas SC, letak lintang, partus prematurus H- TS bedah : mobilisasi
12 Diet TS Gizi
ileus paralitik perbaikan ASI eksklusif, mobilisasi aktif
Susp. Ogilvie syndrome
Riwayat febris puerperalis ec susp endometritis Pengawasan KU, TFU, TV, PPV, ASI, BAB, BAK
Hypokalemia
12
C. PEMBAHASAN
Pasien wanita usia 29 tahun dengan diagnosa P2A0 pasca SC T incision a.i bekas SC,
inpartu kala I, letak lintang H-6 dengan Ileus paralitik, suspek sindroma Ogilvie dan demam
puerperalis.
Pasien memiliki riwayat SC pada anak pertama 4 tahun yang lalu. Pasien post SC pada
tanggal 9 September 2018 a.i bekas SC, letak lintang dan partus prematurus. Pasien dirawat 3
hari pasca operasi dan mulai ada keluhan, 12 september 2018 pasien mengeluh perut
membesar dan terasa nyeri. Perut dirasakan semakin hari semakin membesar. Keluhan
disertai dengan mual kadang muntah. Pasien juga mengeluhkan buang air besar dan kentut
terakhir 2 hari yang lalu. Pasien demam dan nyeri pada perut. Buang air kecil dalam batas
normal.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum baik, komposmentis, dengan tanda
vital dalam batas normal, dari inspeksi abdomen tampak perut membuncit, tampak tegang,
dengan bising usus menurun dan tinggi fundus uteri tidak teraba. Pengeluaran pervaginam
berupa lochea sanguelenta berbau. Dari pemeriksaan penunjang darah rutin, didapatkan
leukositosis dengan jumlah leukosit 22.300/uL, peningkatan ureum dan neutofil segmen
meningkat. Kemudian dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen dan didapatkan hasil
gambaran ileus paralitik.
Obstruksi usus merupakan salah satu komplikasi yang umum dan fatal setelah operasi
saesar atau pembedahan obstetri ginekologi lain. Dahulu angka mortalitas berkisar 40-60 %,
namun sekarang ini, angka mortalitas telah menurun walaupun masih berkisar antara 10
hingga 20% untuk semua pasien yang mengalami obstruksi pada usus kecil. Pseudo-obstruksi
atau sindroma Ogilvie didefinisikan sebagai penyakit akut, ditanda dengan distensi dari usus
besar. Seperti ileus, itu terjadi didefinisikan karena tidak adanya gangguan mekanik. Pseudo-
obstruksi terbatas pada usus besar saja, sedangkan ileus melibatkan baik usus kecil dan usus
besar. Usus besar kanan terlibat dalam klasik pseudo-obstruksi, yang biasanya terjadi pada
pasien yang terbaring lama di tempat tidur dengan gambaran penyakit ekstraintestinal serius
atau pada pasien trauma. Berikut merupakan tabel yang membedakan antara Ileus obstruktif,
paralitik dan pseudo-obstruktif atau Sindroma Ogilvie.
13
Pada pasien ini, telah dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen untuk menyingkirkan
diagnosis banding ileus obstruksi, paralitik atau Sindroma Ogilvie. Dari pemeriksaan tersebut
didapatkan gambaran coiling spring yang menunjukkan adanya ileus paralitik. Kemudian
pasien diberi tatalaksana perbaikan keadaan umum, cairan, pemasangan NGT dan rectal tube
untuk dekompresi, antikolinergik yaitu neostigmine injeksi, kemudian pemeriksaan lab darah rutin,
GDS, elektrolit.
Selain obstruksi usus, Operasi bedah Caesar juga dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi post partum seperti infeksi luka operasi, selulitis atau infeksi puerperalis.3
Infeksi biasanya didapat ketika operasi baik secara eksogen (dari udara, dari alat kesehatan,
dokter bedah dan petugas petugas lainnya), maupun endogen dari mikroorganisme pada kulit
yang diinsisi. Infeksi mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan
antibiotik yang diberikan. Berikut adalah beberapa mikroorganisme yang dilaporkan menjadi
penyebab infeksi pasca bedah Caesar.
Tabel 1. Mikroorganisme yang dilaporkan sebagai penyebab infeksi daerah operasi pasca
bedah caesar yang dilakukan secara multicenter di Inggris, tahun 2009
14
Patogen dominan adalah kokus gram positif aerobik (kelompok B streptokokus, enterococci,
dan spesies staphylococcal), coc positif gram anaerob (peptococci dan peptostreptococci
spesies), basil gram negatif aerobik (Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, dan spesies
Proteus), dan basil gram negatif anaerobik (spesies Bacteroides dan Prevotella).4
Sebagian besar tindakan pada kasus obstetri menyebabkan kontaminasi bakteri.
Tindakan - tindakan obstetri di klasifikasikan sebagai “clean-contaminated” bahkan ketika
pasien tidak memiliki infeksi aktif sebelum dilakukan operasi. Operasi bedah caesar
dikatakan prosedur yang “clean-contaminated” bila prosedur yang di jadwalkan tanpa adanya
ruptur membran amnion dan/atau tanda – tanda persalinan, serta dikatakan prosedur yang
“contaminated” bila prosedurnya dilakukan secara emergensi dengan adanya tanda – tanda
persalinan dan/atau ruptur membran amnion..
Semua wanita yang akan dilakukan tindakan bedah caesar baik yang emergensi
maupun elektif harus diberikan antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik untuk tindakan bedah
caesar adalah cephalosporin generasi pertama,dosis tunggal yang diberikan secara intravena
15 – 60 menit sebelum dilakukan dilakukan insisi. Jika prosedur operasi lebih dari 3 jam atau
estimasi kehilangan darah lebih besar dari 1500 ml, maka wajib diberikan antibiotik
profilaksis setelah 3 – 4 jam dari pemberian antibiotik profilaksis awal. (level rekomendasi 1-
A).
Endometritis Postpartum
Gejala yang dialami pasien seperti demam subfebris, nyeri abdomen bagian bawah,
pengeluaran pervaginam berupa lochea sanguelenta berbau serta ditemukan leukositosis
dengan jumlah 22.300/uL mengindikasikan telah terjadi infeksi pada endometrium yang
disebut sebagai endometritis post partum. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari
lochea dan darah pasien, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kepekaan antibiotik sebagai
panduan dalam penatalaksaan terapi. Sebagai terapi empiris diberikan antibiotik seftriakson
sambil menunggu hasil kultur dan kepekaan antibiotik.
Endometritis terjadi pada endometrium dan miometrium tetapi dapat berkembang
melewati uterus, menyebabkan abses, peritonitis, dan tromboflebitis pelvis. demam nifas
dibagi menjadi dua yaitu early onset (dalam 24-48 jam) dan late onset (> 48 jam)
postpartum.5 Demam sering menjadi tanda pertama, dengan nyeri tekan uterus, perdarahan,
dan lokia berbau busuk sebagai tanda-tanda tambahan. Kondisi ini dapat berkembang
menjadi sepsis tidak ditangani dengan terapi yang adekuat. Diagnosis sebagian besar tetap
15
klinis, karena modalitas pencitraan seperti USG belum terbukti meningkatkan akurasi
diagnostik.5
ACOG menyatakan bahwa agen yang direkomendasikan sebagai terapi profilaksis
terhadap endometritis postpartum adalah sefalosporin generasi pertama seperti cefazolin, 1 g
intravena, atau ampisilin 1 hingga 2 g secara intravena. Cefazolin memiliki keuntungan
seperti waktu paruh yang lebih lama dan risiko yng lebih rendah terhadap terjadinya reaksi
alergi, tetapi lebih memungkinkan munculnya enterococci dalam kasus di mana terapi
profilaksis telah gagal. Jika infeksi kemudian berkembang, agen yang digunakan dalam
profilaksis tidak boleh digunakan untuk mengobati infeksi.6
Pada kelahiran sesar, laporan mencatat bahwa tidak ada rejimen yang lebih unggul
daripada gentamisin, 1,5 mg per kg dicampur dengan klindamisin 900 mg, dalam larutan
intravena yang sama, diberikan setiap delapan jam. Ampisilin dapat diberikan dalam keadaan
khusus, seperti pada pasien dengan bukti syok septik atau ketika dicurigai infeksi
enterococcal. Namun bila hasil kultur sudah didapatkan, terapi disesuaikan dengan uji
sensitifitas atau kepekaan antibiotik.7
Selama perawatan, pasien juga menunjukkan tanda infeksi berupa endometritis.
Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur darah, kultur lochea, pengecatan dari cairan vagina
yaitu pengecatan gram dan jamur, serta pemeriksaan kepekaan antibiotik. Dari pemeriksaan
kultur tidak ditemukan adanya pertumbuhan kuman. Dari pengecatan gram didapatkan
Kuman bentuk batang gram positif dan Kuman bentuk batang gram negative. Dari
pemeriksaan sensitifitas antibiotik terhadap bakteri Escherichia coli, dan didapatkan hasil
ESBL (Extended-Spectrum Beta Lactamase) dengan beberapa rejimen antibiotik yang
resisten. Antibiotik yang masih sensitive adalah Ampicillin/ sulbactam, piperacillin/
tazobactam, ertapenem, meropenem, amikasin, gentamisin, Ceftazidime, cefepim, fosfomycin
dan Cefoperazone sulbactam. Kemudian dipilih antibiotik yang masih sensitive sebagai terapi
yaitu Injeksi cefoperazone sulbactam 1 gram/12 jam, Inj Metronidazol 500mg/8jam, Inj
16
Gentamicin 80 mg/12 jam, dan simpotamik parasetamol 500 mg.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Kammen BF, Levine MS, Rubesin SE, Laufer I. Adynamic ileus after caesarean section
mimicking intestinal obstruction: findings on abdominal radiographs. Br J Radiol 2000;73:951-5.
2. Bragg D, El-Sharkawy AM, Psaltis E, Maxwell-Armstrong CA, Lobo DN. Postoperative ileus:
Recent developments in pathophysiology and management. Clin Nutr 2015;34:367-76.
3. Jaiyeoba O. Postoperative infections in obstetrics and gynecology. Clin Obstet Gynecol
2012;55:904-13.
4. Cunningham FG LK, Bloom SL, Hauth JC, et al. Puerperal infection. In: Cunningham FG, Bloom
SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY, editors. (eds). Williams obstetrics, 23rd ed New York, NY: McGraw-
Hill, 2010, pp. 661–672.
5. CMACE. Saving Mothers' Lives: Reviewing maternal deaths to make motherhood safer:
2006–2008. BJOG: Int J Obstet Gynaecol 2011; 118: 1–203.
6. Mackeen AD, Packard RE, Ota E, Speer L: Antibiotic regimens for postpartum endometritis.
Cochrane Database Syst Rev (2):CD001067, 2015. doi: 10.1002/14651858.CD001067.pub3.
7. Mulic-Lutvica A, Axelsson O. Postpartum ultrasound in women with postpartum
endometritis, after cesarean section and after manual evacuation of the placenta. Acta Obstet
Gynecol Scand 2007; 86: 210–217.
8. Amanda M, Tipton, Stephen A. Wound Infection in the obese pregnant woman. Seminars in
perinotology 2011;344 - 349.
9. Gynecologists ACoOa. Prophylactic antibiotics in labor and delivery. ACOG practice bulletin
number 47, October 2003.
18