Anda di halaman 1dari 39

BAB I 1.

4 Prasyarat
Dalam pembuatan makalah ini mahasiswa harus mengikuti syarat pembuatan
PENDAHULUAN
makalah yang sudah ditentukan dari Dosen mata kuliah elemen mesin yaitu Bapak
Mustafa, ST., MT. Mahasiswa juga dilarang meng-copy paste materi atau menjiplak.
1.1 Latar Belakang
Laju pertumbuhan modernisasi dinegara-negara maju dan berkembang, banyak
menuntut kebutuhan manusia disegala bidang.Dengan banyaknya tuntutan ini 1.5 Uraian

mendorong generasi bangsa untuk terus maju mengembangkan hal-hal baru dengan Elemen mesin merupakan ilmu yang mempelajari bagian-bagian mesin dilihat

Ilmu Pengetahuannya dan Teknologinya.Sejumlah sejarah mengenai para ilmuwan antara lain dari sisi bentuk komponen, cara kerja, cara perancangan dan perhitungan

yang telah berhasil menciptakan penemuan-penemuan yang sangat bermanfaat kekuatan darikomponen tersebut.

untuk dunia saat ini hingga berhasil dikembangkan lebih maju lagi atau biasa Dasar-dasar yang diperlukan untuk dapat mempelajari dan mengerti tentang

disebut lebih modern.Tujuan pengembangan teknologi ini agar dapat menghasilkan elemen mesin

lebih banyak dan dapat memenuhi kebutuhan pasar modern.Sejumlah penemuan dan permasalahannya antara lain berkaitan dengan:

telah diwujudkan dalam karya nyata, khususnya permesinan baik mesin Sistem gaya

konvensional maupun mesin non konvensional, serta konstruksi mesin/ Tegangan dan regangan

bangunan.Khususnya dalam makalah ini hanya membahas mengenai Perencanaan Pengetahuan bahan

Elemen Mesin dan Tegangan Serta Regangan. Gambar teknik


Proses produksi
1.2 Tujuan Umum
Sebagai contoh :
Pembaca (mahasiswa) mengerti materi makalah elemen mesin ini.
Dari gambar mobil di bawah ini, dapatkan diidentifikasi elemen mesin apa saja
yang membentuk satu unit mobil secara keseluruhan ?
1.3 Tujuan Khusus
Setelah pembacaan makalah selesai atau pembuatan makalah selesai diharapkan
1. Mahasiswa dapat mengerti atau menguasai materi makalahnya
2. Mahasiswa dapat mengerti kekurangan dan kelebihan dalam
perencanaan elemen mesin

1
Turbin : air, uap, gas : (pesawat terbang, kapal laut, kereta api, dll).
Motor listrik (AC, pompa air, kompresor, dll)
Motor Bakar Bensin dan Diesel (mobil, sepeda motor, kereta diesel,
generator listrik.
Kincir angin (pompa, generator listrik)
Mesin-mesin lain : crane, lift, katrol, derek, alat-alat berat, mesin pendingin, mesin
pemanas, mesin produksi, dll.
Mesin-mesin tersebut terdiri dari berbagai jenis dan jumlah komponen pendukung
yang
berbeda-beda

1.5.2 Sistem Gaya


Gaya merupakan aksi sebuah benda terhadap benda lain dan umumnya ditentukan
oleh titik tangkap (kerja), besar dan arah.
Sebuah gaya mempunyai besar, arah dan titik tangkap tertentu yang digambarkan
dengan anak panah. Makin panjang anak panah maka makin besar gayanya.

1.5.3 Resultan Gaya


Sebuah gaya yang menggantikan 2 gaya atau lebih yang mengakibatkan pengaruh
yang sama terhadap sebuah benda, dimana gaya-gaya itu bekerja disebut dengan
resultan gaya.
1.5.1 Mesin
Gabungan dari berbagai elemen mesin yang membentuk satu sistem kerja.
1.5.4 Metode untuk mencari resultan gaya :
Mesin-mesin penggerak mula:
1. Metode jajaran genjang (Hukum Paralelogram)

2
Metode jajaran genjang dengan cara membentuk bangun jajaran genjang dari
dua gaya yang sudah diketahui sebelumnya. Garis tengah merupakan R gaya.

2. Metode Segitiga

CATATAN
Penggunaan metode segitiga dan poligon gaya, gaya-gaya yang dipindahkan harus
mempunyai :besar, arah dan posisi yang sama dengan sebelum dipindahkan.
3. Metode Poligon Gaya Untuk menghitung besarnya R dapat dilakukan secara grafis (diukur) dengan skala
gaya
yang telah ditentukan sebelumnya.

3
1.5.5 Komponen Gaya
Gaya dapat diuraikan menjadi komponen vertikal dan horizontal atau mengikuti
sumbu x dan y.
FX adalah gaya horisontal, sejajar sumbu x dan FY adalah gaya vertikal, sejajar
sumbu y.
1.5.7 Hukum-Hukum Dasar
1. Hukum Paralelogram
- Dua buah gaya yang bereaksi pada suatu partikel, dapat digantikan dengan satu
gaya (gaya resultan) yang diperoleh dengan menggambarkan diagonal jajaran
genjang dengan sisi kedua gaya tersebut.
- Dikenal juga dengan Hukum Jajaran Genjang
2. Hukum Transmisibilitas Gaya
Kondisi keseimbangan atau gerak suatu benda tegar tidak akan berubah jika gaya
Jika terdapat beberapa gaya yang mempunyai komponen x dan y, maka resultan
yang bereaksi pada suatu titik diganti dengan gaya lain yang sama besar dan
gaya dapat dicari dengan menjumlahkan gaya-gaya dalam komponen x dan y.
arahnya tapi bereaksi pada titik berbeda, asal masih dalam garis aksi yang sama.
Dikenal dengan Hukum Garis Gaya
RX = FX
3. Hukum I Newton
RY = FY
Bila resultan gaya yang bekerja pada suatu partikel sama dengan nol (tidak ada
gaya), maka partikel diam akan tetap diam dan atau partikel bergerak akan tetap
1.5.6 Aturan Segitiga: bergerak dengan kecepatan konstan. Dikenal dengan Hukum Kelembaman
4. Hukum II Newton Bila resultan gaya yang bekerja pada suatu partikel tidak sama
dengan nol artikel tersebut akan memperoleh percepatan sebanding dengan

4
besarnya gaya resultan dan dalam arah yang sama dengan arah gaya resultan
tersebut. Jika F diterapkan pada massa m, maka berlaku : F = m . a 1.5.9 Simbol Satuan
5. Hukum III Newton
Gaya aksi dan reaksi antara benda yang berhubungan mempunyai besar dan garis
aksi yang sama, tetapi arahnya berlawanan. Aksi = Reaksi
6. Hukum Gravitasi Newton
Dua partikel dengan massa M dan m akan saling tarik menarik yang sama dan
berlawanan dengan gaya F dan F , dimana besar F dinyatakan dengan :

1.5.8 Sistem Satuan


Mengacu pada Sistem Internasional (SI)
Kecepatan : m/s
Gaya : N
Percepatan : m/s2
Momen : N m atau Nmm
Massa : kg
Panjang : m atau mm
Daya : W
Tekanan : N/m2 atau pascal (Pa)
Tegangan : N/mm2 atau MPa
BAB II
dll STUDI PUSTAKA

5
Tegangan (stress) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai gaya persatuan luas
penampang.

F : gaya (N)
A : luas penampang (mm2)
a. Tegangan tarik (t) : tegangan akibat gaya tarik
b. Tegangan geser () : tegangan akibat gaya geser.

Tegangan
Salah satu masalah fundamental dalam mechanical engineering adalah
menentukan pengaruh beban pada komponen mesin atau peralatan. Hal ini sangat
essensial dalam perancangan mesin karena tanpa diketahuinya intensitas gaya di Gambar 4.1 Konsep intensitas gaya dalam sebuah benda yang mendapat beban
dalam elemen mesin, maka pemilihan dimensi, material, dan parameter lainnya Definisikan vektor tegangan (Stress vector)
tidak dapat dilakukan. Intensitas gaya dalam pada suatu benda didefinisikan sebagai
tegangan(stress). Gambar 4.1 menunjukkan sebuah benda yang mendapat beban
dalam bentuk gaya-gaya. Untuk mengetahui intensitas gaya di dalam benda maka
..(4.1)
dapat dilakukan dengan membuat potongan imaginer melalui titik O. Untuk
Vektor tegangan ini adalah intensitas gaya pada seluruh penampang dan
menjaga prinsip kesetimbangan, tentu pada penampang potongan imajiner tesebut
arahnya tidak harus sama antara satu dengan yang lain. Dari definisi ini jelas bahwa
terdapat gaya-gaya dalam yang bekerja. Kalau penampang imaginer tersebut dibagi
tegangan pada suatu elemen mesin terjadi karena adanya beban yang bekerja pada
menjadi elemen-elemen yang sangat kecil A, maka pada masing masing A
elemen tersebut.
tersebut akan bekerja gaya dalam
sebesar F.
4.2. Pengaruh Beban Terhadap Kondisi Tegangan

6
Dalam analisis elemen mesin masing-masing jenis beban perlu dipelajari
pengaruhnya terhadap tegangan, regangan, maupun deformasi yang ditimbulkan.
Berdasarkan lokasi dan metoda aplikasi beban serta arah pembebanan, beban dapat
diklasifikasikan menjadi :beban normal, beban geser, beban lentur, beban torsi,
danbeban kombinasi. Pengaruh jenis-jenis pembebanan tersebut terhadap
tegangan, regangan maupun defleksi elemen mesin dapat ditentukan secara analitik
untuk komponen yang sederhana.Sedangkan untuk komponen yang kompleks,
dapat digunakan metoda numerik maupun metoda eksperimental.

4.2.1. Kasus I : Beban uniaksial


Pembebanan uniaksial pada suatu elemen mesin sering terjadi pada suatu
elemen mesin seperti ditunjukkan pada gambar 4.2.Tegangan yang terjadi pada
Gambar 4.2 Distribusi tegangan normal akibat beban uniaksial
elemen yang mendapat beban uniaksial adalah tegangan normal yang arahnya
selalu tegak lurus penampang.Distribusi tegangan normal akibat ganya uniaksial Untuk kondisi elastis linear, karakteristik beban dan deformasi pada beberapa jenis

dapat diasumsikan terdistribusi secara seragam. Formula sederhana untuk material ditunjukkan pada gambar 4.3

menghitung tegangan normal akibat beban uniaksial adalah

.(4.2)

dengan P = beban uniaksial dan A = luas penampang tegak lurus arah beban

Gambar 4.3 Karakteristik beban deformasi benda elastis linear

7
4.2.2. Kasus II : Beban torsi
Dari definisi tegangan dan regangan maka hubungan tegangan regangan elemen
Beban torsi akan menimbulkan efek puntiran atau deformasi sudut
yang mengalami beban uniaksial dapat diformulasikan menjadi Hukum Hooke satu
(angular deformation) seperti ditunjukkan pada gambar 4.5. Poros adalah salah satu
dimensi.
contoh elemen mesin yang mengalami beban puntir.Tegangan yang terjadi akibat
beban torsi adalah tegangan geser dengan distribusi yang bervariasi linear dari titik
.(4.3)
tengah penampang ke permukaan.
Perpindahan yang terjadi pada elemen yang mengalami beban uniaksial
Tegangan geser yang terjadi pada suatu elemen poros pada jarak r dari sumbu
diilustrasikan pada gambar 4.4. Formulasi untuk menghitung perpindahan dapat
dan diakibatkan adanya torsi T, diformulasikan sebagai berikut :
dilakukan dari definisi deformasi = uB uA dan dengan menggunakan hukum
Hooke, maka dapat diturunkan bahwa
.(4.5)
J adalah momen inersia polar, besarnya tergantung pada dimensi dan bentuk

.(4.4) penampang.Nilai J untuk berbagai macam penampang bisa dilihat pada tabel 4.1.

Gambar 4.4 Gaya dan perpindahan pada elemen yang mengalami beban uniaksial

8
.(4.7)
Tabel 4.1 Sifat penampang

Gambar 4.5 Poros penampang lingkaran dengan panjang L dan jari-jari a, diputar
dengan torsi T

Elemen yang diberi beban torsi akan mengalami tegangan geser sebesar
yang akan mengakibatkan terjadinya regangan geser sebesar , hubungannya seperti
pada formulasi Hukum Hooke untuk tegangan geser berikut : = G..(4.6)
dengan G=modulus geser,

Deformasi sudut yang diakibatkan adanya torsi bisa dilihat pada gambar
4.6. Besarnya adalah :

9
4.2.3. Kasus III : Beban bending

Contoh sederhana pembebanan bending pada beam ditunjukkan pada


gambar 4.7.Tegangan yang terjadi pada pembebanan momen bending M yang
diakibatkan oleh beban P adalah tegangan normal dan tegangan geser. Besarnya
tegangan normal yang terjadi bervariasi semakin membesar menjauhi sumbu netral
dan besarnya adalah:

.(4.8)
y adalah jarak titik yang ditinjau dari sumbu netral, I adalah momen inersia,
sedangkan A adalah luas penampang melintang beam. Nilai I untuk berbagai macam
penampang bias dilihat pada tabel 4.1.

Gambar 4.6 Sebuah poros dengan panjang L yang diberi beban torsi T Gambar 4.7 Beam dengan beban bending

10
keling seperti pada gambar 4.10. Diasumsikan beban geser terdistribusi merata pada
Tegangan normal dan tegangan geser akibat beban bending ditunjukkan
bidang kerja, sehingga tegangan yang terjadi pada bidang itu nilainya seragam:
pada gambar 4.8.Beban bending mengakibatkan terjadinya regangan seperti pada
gambar 4.9. Besar regangan pada elemen beam berjarak y dari sumbu netral adalah :

Gambar 4.8 Beam dengan beban bending

Gambar 4.10 Paku keling yang dibebani dengan beban geser

.(4.9) Tegangan geser yang diakibatkan adanya beban P pada sebuah paku keeling
dengan luas penampang A, diformulasikan sebagai berikut :
Gambar 4.9 Regangan yang terjadi pada beam

4.2.4. Kasus IV : Beban geser

Beban geser akan menimbulkan tegangan geser pada bidang yang sejajar .(4.10)
dengan arah bekerjanya beban. Beban geser bisa ditemui pada elemen mesin paku

11
Khusus pada pembebanan transversal pada beam, seperti pada gambar 4.11,
akan terjadi kombinasi tegangan bending dan tegangan geser. Dari gambar 4.12 di atas, besarnya tegangan geser dihitung :

(4.11)

dengan b adalah tebal penampang. dM/dy adalah gaya geser pada setiap titik, V,
sehingga :
Gambar 4.11 Pembebanan pada beam

.(4.12)

.(4.13)

Untuk beam dengan penampang persegi panjang :

.(4.14)

Gambar 4.12 Segmen beam

12
Sehingga :
.(4.17)

.(4.15)

Tegangan geser bervariasi seperti pada gambar 4.13. Pada y1=h/2, =0. Pada
y1=0,max=Vh2/8I. Untuk penampang persegi panjang, I=bh3/12, sehingga :

.(4.16)

Gambar 4.14 Komponen tegangan pada bidang x-y

Komponen tegangan yang bekerja tegak lurus terhadap bidang disebut tegangan
normal, sedangkan komponen yang bekerja dalam arah bidang kerja disebut
tegangan geser.
Jika potongan imajiner dilakukan untuk bidang-bidang yang lain maka
akandidapatkan elemen tegangan 3 dimensi seperti ditunjukkan pada gambar 4.15.
Komponen-komponen tegangan yang lengkap untuk tiga dimensi adalah merupakan
tensor orde 2.Tensor tegangan untuk elemen tiga dimensi dapat dituliskan dalam
bentuk matrik pada persamaan 4.18.
Gambar 4.13 Distribusi tegangan geser pada beam persegi panjang

4.3. Tensor Tegangan 3D

Vektor tegangan T yang bekerja pada bidang potongan imajiner dapat diuraikan
sebagai berikut :

13
Untuk tegangan bidang x-y, tensor tegangan dapat disederhanakan menjadi

. (4.19)

.(4.18)
Gambar 4.15 Komponen tegangan tiga dimensi

Subskrip untuk tegangan normal adalah menandakan arah


tegangan.Sedangkan untuk tegangan geser subskrip pertama menandakan bidang
kerja tegangan, dan subskrip kedua menandakan arah tegangan. Konvensi tanda
untuk tegangan adalah sebagai berikut :
Tegangan normal berhaga positif jika arahnya keluar dari bidang (tarik),
dan berharga negatif untuk sebaliknya
Tegangan geser berharga positif jika : Gambar 4.16 Elemen tegangan bidang (plane stress x-y)
Pada bidang positif searah sumbu positif
Pada bidang negatif searah sumbu negatif. 4.5. Tegangan Utama

Untuk menentukan kekuatan suatu elemen mesin maka diketahui


4.4. Tegangan Bidang (Plane Stress)
teganganmaksimum yang terjadi pada elemen tersebut.Nilai atau besar suatu
Umumnya elemen mesin mengalami kondisi tegangan tiga dimensi, tetapi
tegangan pada elemen tegangan sangat tergantung pada orientasi dari sistem
untukbeberapa kasus terdapat elemen yang bisa diidealisasikan dengan kondisi
koordinat. Pada suatu orientasi tertentu terdapat kondisi dimana tegangan normal
tegangan dalam bidang dua dimensi. Untuk kondisi plane stress ini, semua tegangan
berharga maksimum dan
tegak lurus bidang berharga nol (z = xz = yz = 0). Contohnya adalah elemen
pelat yang mendapat beban pada bidang pelat sendiri, tegangan pada elemen tipis
seperti straingage, dll.

14
. (4.21)
Dengan

Gambar 4.17 Tegangan utama


tiga dimensi

semua tegangan geser berharga nol. Kondisi ini disebut dengan Principal stress
atau tegangan utama. Nilai tegangan utama dan orientasinya dapat ditentukan dari
persamaan karakteristik berikut : Setelah nilai tegangan utama didapatkan (p1, p2, p3) maka arah orientasi
tegangan utama (nx, ny, nz) dapat dihitung dengan memasukkan nilai tegangan
utama ke persamaan (4.20). Arah ketiga tegangan utama pasti saling tegak lurus.
Tegangan geser maksimum atau sering disebut tegangan utama geser
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

. (4.20)
(4.23)

dimana nx, ny, nz adalah arah cosinus vektor n (normal terhadap principal plane). dan orientasi tegangan utama adalah

Supaya persamaan (4.20) memiliki solusi maka determinant matrik koefisien


haruslah bernilai nol. Dengan demikian maka nilai tegangan utama dapat dihitung
(4.24)
dari akar persamaan pangkat tiga berikut

15
Langkah-langkah untuk menggambar Lingkaran Mohr (lihat gambar 4.19)
adalahsebagai berikut :

Gambar 4.18 Tegangan utama dua dimensi

Sedangkan tegangan geser maksimum untuk kasus dua dimensi juga dapat
disederhanakan menjadi :

.. (4.25)

4.6. Lingkaran Mohr

Untuk memberikan gambaran kondisi tegangan pada berbagai arah dalam


bentuk grafis, Otto Mohr (1914) memperkenalkan Mohrs Circle.Lingkaran Mohr
ini sangat reperestatif untuk kondisi tegangan dua dimensi.Sedangkan untuk kasus
tiga dimensi, lingkaran Mohr cukup kompleks kecuali untuk kasus-kasus tertentu
seperti misalnya saat salah satu tegangan utama berhimpit dengan salah satu sumbu
koordinat.
Gambar 4.19 Konstruksi Lingkaran Mohr dan hubungannya dengan state of stress

16
4.7. Konsentrasi Tegangan

Adanya diskontinuitas geometri pada elemen mesin seperti lubang, fillet,


notch,inclusi dan lain-lain akan menaikkan nilai tegangan yang terjadi disekitar
diskontinuitas tersebut. Gambar 4.20 menunjukkan distribusi tegangan disekitar
pelat yang berlubangdan diberi beban tarik. Diskontinuitas ini sering disebut stress
raiser dan kenaikan nilai tegangan ini diberi istilah stress concentration (konsentrasi
tegangan). Parameter yang digunakan untuk merepresentasikan konsentrasi
tegangan adalah Faktor Konsentrasi
Tegangan (Kc) dengan definisi : Gambar 4.20 Distribusi Tegangan disekitar pelat berlubang yang mendapat beban
tarik

Untuk memudahkan penggunaan aspek kosentrasi tegangan oleh para


engineer dalam perancangan elemen mesin, faktor konsentrasi tegangan telah dibuat
(4.27)
dalam bentuk grafik. Grafik konsentrasi tegangan pertama dibuat oleh Peterson
(1951).Parameter-parameter geometri dibuat dalam varibel non
Nilai tegangan maksimum yang terjadi pada bagian diskontinuitas sangat sulit dimensional.Beberapa grafik faktor konsentrasi tegangan yang umum digunakan
untukdihitung secara analitik.Metoda yang umum untuk analisis tegangan pada dalam perancangan elemen mesin untuk berbagai pembebanan ditunjukkan pada
stress raiseradalah metoda numerik (Finite Element method, Boundary Element gambar 4.21-4.24.
Method), dan metoda ekperimental seperti photoelastic, straingage dan lain-lain.

17
Gambar 4.21 Faktor konsentrasi tegangan untuk pelat berlubang

18
Gambar 4.22 Faktor konsentrasi tegangan untuk pelat dengan fillet Gambar 4.23 Faktor konsentrasi tegangan untuk pelat beralur

19
Gambar 4.24 Faktor konsentrasi tegangan pada fillet untuk poros

20
TEGANGAN BENDING DAN TORSI
Kadang-kadang elemen mesin menerima torsi murni atau bending murni,
atau kombinasi tegangan bending dan torsi. Kita akan membahas secara detail
mengenai tegangan ini pada halaman berikut ini.
3.1 Tegangan Geser Torsi
Ketika bagian mesin menerima aksi dua kopel yang sama dan berlawanan dalam
bidang yang sejajar (atau momen torsi), kemudian bagian mesin ini dikatakan
menerima torsi. Tegangan yang diakibatkan oleh torsi dinamakan tegangan geser Gambar 3.1 Tegangan geser torsi

torsi.Tegangan geser torsi adalah nol pada pusat poros dan maksimum pada Dengan = Tegangan geser torsi pada permukaan luar poros atau Tegangan geser
permukaan luar. maksimum.
r = Radius poros,
Perhatikan sebuah poros yang dijepit pada salah satu ujungnya danmenerima torsi T = Momen puntir atau torsi,
pada ujung yang lain seperti pada Gambar 3.1. Akibat torsi, setiap bagian yang J = Momen inersia polar,
C = Modulus kekakuan untuk material poros,
terpotong menerima tegangan geser torsi. Kita akan membahas tegangan geser torsi l = Panjang poros,
adalah nol pada pusat poros dan maksimum pada permukaan luar. Tegangan geser = Sudut puntir dalam radian sepanjang l.
Catatan:
torsi maksimum pada permukaan luar poros dengan rumus sebagai berikut: 1. Tegangan geser torsi pada jarak x dari pusat poros adalah:

2. Dari persamaan (3-1) diperoleh:

Untuk poros pejal berdiameter d, momen inersia polar J adalah:

21
Dalam praktik keteknikan, bagian-bagian mesin dari batang struktur yang
mengalami beban statis atau dinamis yang selain menyebabkan tegangan bending
pada bagian penampang juga ada tipe tegangan lain seperti tegangan tarik, tekan
dan geser.
Untuk poros berlubang dengan diameter luar d dan diameter dalam d , momen Balok lurus yang mengalami momen bending M seperti pada Gambar 3.2 di
o i
inersia polar J adalah: bawah ini.

Gambar 3.2 : Tegangan bending pada balok lurus.


Ketika balok menerima momen bending, bagian atas balok akan memendek
3. Istilah (C.J) dinamakan kekakuan torsi (torsional rigidity) dari poros.
akibat kompresi dan bagian bawah akan memanjang akibat tarikan. Ada
4. Kekuatan poros berarti torsi maksimum yang ditransmisikan oleh poros. Jadi
permukaan yang antara bagian atas dan bagian bawah yang tidak memendek
desain sebuah poros untuk kekuatan, persamaan diatas bisa digunakan.
dan tidak memanjang, permukaan itu dinamakan permukaan netral (neutral
Daya yang ditransmisikan oleh poros (dalam watt) adalah:
surface).Titik potong permukaan netral dengan sembarang penampang balok
dinamakan sumbu netral (neutral axis).

Distribusi tegangan dari balok ditunjukkan dalam Gambar 3.2. Persamaan


Dengan T = Torsi yang ditransmisikan dalam N-m, dan bending adalah :
= kecepatan sudut dalam rad/s.

3.2 Tegangan Bending dalam Balok Lurus

22
Yang mana, M = aksi momen bending pada bagian yang diberikan,
= tengan bending,
I = Momen inersia dari penampang terhadap sumbu netral,
y = Jarak dari sumbu netral ke arsiran,
1. Diagram Tegangan Regangan
E = Modulus elastisitas material balok, Secara umum hubungan antara tegangan dan regangan
R = Radius kelengkungan balok. dapat dilihat pada diagram
tegangan regangan berikut ini :
Dari persamaan di atas, rumus tegangan bending adalah:

Karena E dan R adalah konstan, oleh karena itu dalam batas elastis, tegangan pada
sembarang titik adalah berbanding lurus terhadap y, yaitu jarak titik ke sumbu
netral.
Juga dari persamaan di atas, tegangan bending adalah:

Rasio I/y diketahui sebagai modulus penampang (section modulus) dan


dinotasikan Z.

Gambar 1. Diagram Tegangan Regangan

Keterangan :
Regangan
A : Batas proposional
B : Batas elastis
Regangan (strain) merupakan pertambahan panjang suatu C : Titik mulur
struktur atau batang akibat pembebanan. D : y : tegangan luluh
E : u : tegangan tarik maksimum

23
F : Putus

Dari diagram tegangan regangan pada Gambar 1 di atas,


terdapat tiga daerah kerja
Menurut Hukum Hooke tegangan sebanding dengan
sebagai berikut :
regangan, yang dikenal dengan
Daerah elastis merupakan daerah yang digunakan deformasi aksial :
dalam desain konstruksi mesin.
Daerah plastis merupakan daerah yang digunakan
untuk proses pembentukan material.
Daerah maksimum merupakan daerah yang Thomas Young (1807) membuat konstanta kesebandingan
digunakan dalam proses pemotongan material. antara tegangan dan regangan yang dikenal dengan Modulus
Young (Modulus Elastitas) : E
Dalam desain komponen mesin yang membutuhkan kondisi Variasi hukum Hooke diperoleh dengan substitusi regangan
konstruksi yang kuat dan ke dalam persamaan tegangan.
kaku, maka perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Daerah kerja : daerah elastis atau daerah konstruksi
mesin.
Beban yang terjadi atau tegangan kerja yang timbul
harus lebih kecil dari tegangan yang diijinkan.
Konstruksi harus kuat dan kaku, sehingga diperlukan
deformasi yang elastis yaitu kemampuan material
untuk kembali ke bentuk semula jika beban dilepaskan.
Perlu safety factor (SF) atau faktor keamanan sesuai
dengan kondisi kerja dan jenis material yang
digunakan.
Syarat yang harus dipenuhi dalam pemakaian persamaan di
2. Modulus Elastisitas (E) atas adalah sebagai berikut :
Perbandingan antara tegangan dan regangan yang berasal Beban harus merupakan beban aksial
dari diagram tegangan Batang harus memiliki penampang tetap dan
regangan dapat dituliskan sebagai berikut : homogen

24
Regang tidak boleh melebihi batas proporsional Pasangan roda gigi pada tingkat kecepatan pertama ini terdiri dari

pinion yang terletak pada poros input dan roda gigi yang terletak pada poros

kedua. Jarak antara poros transisi dan poros output direncanakan sebesar 80

mm. Penerusan daya dan putaran dari poros transisi sebesar 8,45 KW / 8500

rpm ke poros kedua dilakukan oleh pasangan roda gigi ini yang bersifat

reduksi dengan perbandingan transmisinya sebesar 6,6 yang data ini

didapatkan pada bab sebelumnya.


3. Modulus Geser (G)
Modulus geser merupakan perbandingan antara tegangan
Penerusan daya dan putaran akan berlangsung dengan baik apabila
geser dengan regangan geser.
ukuran dari roda gigi yang direncanakan mampu untuk meneruskan daya dan

putaran yang direncanakan. Berikut ini adalah langkah-langkah perhitungan

dimensi dari roda gigi, pemilihan bahan roda gigi dan pemeriksaan

keamanan pemakaian roda gigi.

a. Diameter jarak bagi sementara pinion dan roda gigi (d0)


Gambar 2. Gaya Geser
Diameter jarak bagi sementara pinion dan roda gigi dapat dihitung
PERENCANAAN KOMPONEN dengan menggunakan persamaan (1.1)

1. Perhitungan Pasangan Roda Gigi Pada Tahapan


Reduksi Awal

25
b. Jumlah gigi dari pinion dan roda gigi (z)

Berdasarkan daya pada poros ini maka modul untuk roda gigi ini

dapat diperoleh diagram pemilihan modul. Dari diagram tersebut modul

untuk roda gigi ini dipilih sebesar 1,5. Dengan demikian jumlah gigi dari

pinion dan roda gigi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (1.2)

yaitu:
Gambar 3.1 Diagram pemilihan modul roda gigi lurus

Dengan mengetahui jumlah gigi, maka kita dapat mengetahui besar


diameter jarak bagi sebenarnya dapat dihitung dengan menggunakan
Jumlah gigi dari pasangan roda gigi adalah 14 dan 93 persamaan (1.3) sebagai berikut:

26
H = 2 x m + ck = 2x 1,5 + 0.25= 3,25 mm

c. Diameter kepala ( dk)


Diameter kepala dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
f. Factor bentuk gigi (Y)
(1.4) sebagai berikut:
Tabel 3.2 Faktor bentuk gigi
dk1 = (z1+ 2)m = (14 + 2) x 1,5 mm = 24 mm
Jumla Y Jumlah Y Jumlah Y
h Gigi Gigi
dk2 = (z2+ 2)m = (93 + 2) x 1,5 mm = 142,5 mm
Gigi
10 0,201 19 0,314 43 0,396
11 0,226 20 0,320 50 0,408
d. Diameter kaki ( df ) 12 0,245 21 0,327 60 0,421
13 0,261 23 0,333 75 0,434
Diameter kaki dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1.5) 14 0,276 25 0,339 100 0,446
15 0,289 27 0,349 150 0,459
sebagai berikut: 16 0,295 30 0,358 300 0,471
17 0,302 34 0,371 batang
ck = 0,25 x 1,5 = 0,375 mm. 18 0,308 38 0,383 gigi 0,484

df1 = ( z1 2 )m 2 x ck = ( 14 2) x 1,5 2 x 0,375 = 17,25 mm

df2 = ( z2 2 )m 2 x ck = ( 93 2) x 1,5 2 x 0,375 = 135,75 mm Y1 = 0,162

Y2 = 0,413

e. Tinggi gigi ( H )

Tinggi giogi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1.6)

sebagai berikut:

27
g. Kecepatan keliling roda gigi ( v)
Kecepatan rendah
Kecepatan keliling dari roda gigi dapat dihitung dengan mengunakan

persamaan (1.7) sebagai berikut: Kecepatan sedang

Kecepatan tinggi

Berdasarkan tabel 3.3 diatas maka untuk roda gigi reduksi ini, factor

koreksinya dapat digunakan persamaan:

h. Factor koreksi terhadap kecepatan ( fc )

Semakin tinggi kecepatannya, semakin besar pula variasi beban atau

tumbukan yang terjadi, oleh karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap gaya

yang terjadi pada roda gigi. Factor koreksi dapat dilihat pada tabel dibawah i. Gaya tangensial roda gigi
ini Gaya tangensial roda gigi dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan (1.8) sebagai berikut:

Ft = 102Pd / v = (102 x 0,4) / 1,42 = 28,7 kg

Tabel 3.3 Faktor dinamis j. Bahan roda gigi

28
Bahan roda gigi dapat kita pilih berdasarkan tabel 3.4. Berdasarkan

tabel tersebut bahan untuk:

Pinion ; FC30 B = 30 kg / mm2 HB = 200 a = 13 kg / mm2

Roda gigi ; FC25 B = 25 kg / mm2 HB = 160 a = 11 kg / mm2

Berdasarkan pemilihan bahan untuk pasangan roda gigi reduksi ini

maka beban lentur yang diizinkan adalah (Fb) :

Fb = a x m x Y x fv

F b1 = 13 x 1,5 x 0,162 x 0,68 = 2,1 kg

Fb2 = 11 x 1,5 x 0,413 x 0,68 = 4,6 kg

Tabel 3.4 tegangan lentur yang diizinkan pada bahan roda gigi

29
k. Lebar roda gigi (b) Diameter
jarak bagi
Lebar roda gigi didapat dengan mengunakan persamaan (1.10): 21,05 138,9 10,52 69,47
sementara
mm mm mm mm
pinion dan
b =Ft / Fmin roda gigi (do)

= 28,7 kg / 6,45 kg/mm = 4,45 mm, dibulatkan menjadi 5 mm. Jumlah gigi
14 93 4 23
(Z)

Diameter
l. Pemeriksaan keamanan jarak bagi 139,5
21 mm 12 mm 68 mm
sebenarnya mm
b / m = 5 / 1,5 = 3,3 kontruksi aman (do)

d / b = 21 / 5 = 4,2 kontruksi aman Diameter 142,5


24 mm 24 mm 75 mm
kepala (dk) mm
Dengan demikian roda gigi reduksi ini adalah aman untuk digunakan. Diameter kaki 17,25 135,75 61,5
4,5 mm
(df) mm mm mm
Dengan menggunakan cara perhitungan seperti di atas, hasil perhitungan dari
Tinggi gigi (H) 6,75 6,75
dua tingkat kecepatan dapat dilihat pada Tabel 3.5 dan dengan 3,25 mm 3,25 mm
mm mm

mengasumsikan jarak poros kedua dengan poros output adalah 40 mm. Faktor bentuk
0,162 0,413 0,087 0,333
gigi (Y)
Tabel 3.5 Ukuran-ukuran roda gigi
Kecepatan
0,13 0,13
Tingkat kecepatan keliling roda 1,4 m/s 1,44 m/s
m/s m/s
gigi (v)
I II
Keterangan Faktor koreksi
Roda Roda terhadap 0,68 0,68 0,96 0,96
Pinion Pinion
Gigi Gigi kecepatan (fv)

30
Gaya
313,8 313,8
tangensial 28,7 kg 28,7 kg
kg kg Daya maksimum yang diperlukan 0,8-1,2
roda gigi (Ft)
Daya normal 1,0-1,5
Bahan FC30 FC25 FC30 FC15
(Sumber : Sularso, Elemen Mesin)
Lebar roda
5 mm 5 mm 30 mm 30 mm
gigi (b)

Untuk daya rencana (


Pd ) :
4.2 Poros dan Spline

1. Poros input Pd =f c . P (kW)

Daya yang besar mungkin diperlukan pada saat start atau


Dimana :
mungkin juga beban yang terus berkerja setelah start, maka

f c ) yang Pd = daya rencana


dalam perencanaan ini diambil faktor koreksi (

terdapat pada tabel 3.1 fc = faktor koreksi

= 1.0 ( daya maksimum yang diperlukan ).


Tabel 3.1 faktor koreksi daya yang akan ditransmisikan,
P = daya yang ditransmisikan (kW)
fc

= 0,37 kW
Daya yang akan ditransmisikan fc
Maka daya rencana :
Daya rata-rata yang diperlukan 1,2-2,0

31
= 1360 rpm

Pd = 1.0 x 74,97

Maka momen yang terjadi :


= 0,37 kW
0,37
T = 9,74 x 105
x
1360

Momen puntir terjadi karena adanya putaran poros akan


mengalami puntiran atau momen puntir (T). Pada poros yang = 264,98 Kg.mm

memindahkan daya sebesar P = 0,37 kW, pada putaran n = 1360


Dalam perencanaan ini bahan yang dipilih untuk poros input adalah
rpm, maka pada poros momen puntir sebesar:
batang baja karbon yang difinis dingin (sering dipakai untuk poros) yang

lambangnya S55C (Tabel 3.6) yang tegangan tariknya (B) sebesar 66


Pd
T = 9,74 x 105 n kg/mm2 dan faktor keamanan Sf1 adalah 6,0.

Dimana : Tabel 3.6 Baja karbon untuk kontruksi mesin dan baja batang yang ditarik dingin untuk

poros
T = momen puntir yang terjadi
Perlakuan Kekuatan
Standar dan macam Lambang Keterangan
Pd panas tarik(kg/mm2)
= daya rencana (kW) S30C Penormalan 48
S35C 52
Baja karbon
S40C 55
konstruksi mesin (JIS
= 0,37 kW S45C 58
G 4501)
S50C 62
S55C 66
n = putaran poros (rpm) Batang baja yang S35C-D - 53 Ditarik dingin,
difinis dingin S45C-D - 60 digerinda,

32
dibubut,
atau gabungan
S55C-D - 72
antara hal-hal
tersebut
=
Sumber: Sularso, K Suga, DPDP Elemen Mesin,1997, hal 3

= 7,89 mm
Pengaruh ini dimasukkan dalam perhitungan yang dinyatakan dengan

Sf2, pada perencanaan ini faktor Sf2 diambil sebesar 2,0, dari data-data diatas
Tabel 3.7 Faktor momen puntir
dapat ditentukan tegangan geser yang diizinkan (a) dapat diketahui dengan
Cara pembebanan Kt
menggunakan persamaan (2.11) sebagai berikut: Beban dikenakan secara halus 1,0
Terjadi sedikit kejutan 1,0 1,5
Beban dikenakan dengan kejutan dan tumbukan besar 1,5 3,0
Sumber: Sularso, K Suga, DPDP Elemen Mesin,1997, hal 8

kg/mm2

faktor momen puntir Kt diambil sebesar 1 (Tabel 3.7), sementara itu Tabel 3.8 Faktor koreksi untuk momen lentur
Cara pembebanan Cb
Diperkirakan akan pemakaian dengan beban lentur 1,2 2,3
faktor koreksi untuk momen lentur Cb diambil sebesar 2 (Tabel 3.8). Semua
Diperkirakan tidak terjadi beban lentur 1,0
Sumber: Sularso, K Suga, DPDP Elemen Mesin,1997, hal 8
faktor ini akan digunakan dalam perhitungan diameter poros dengan

memakai persamaan (2.12) sebagai berikut berikut: Diameter poros harus dipilih dari Tabel 3.9, dari tabel tersebut
1/ 3
ds=
[ 5,1
a
. Kt . Cb. T
] didapatkan bahwa diameter 7,89 mm tidak terdapat dalam tabel, oleh karena

itu diameter poros dipilih sebesar 8 mm.

33
Tabel 3.9 Diameter poros Sebuah poros aman digunakan apabila tegangan geser yang diizinkan yang
4 10 *22,4 40 100 *224 400 Keterangan : dikoreksi lebih besar dari tegangan geser yang dihitung atas dasar poros
24 (105) 240
11 25 42 110 250 420
260 440 1 Tanda* menyatakan bahwa bilangan
4,5 *11,2 28 45 *112 280 450 tanpa alur pasak, faktor Cb dan Kt.
12 30 120 300 460 yang bersangkutan dipilih dari bilangan
*31,5 48 *315 480
5 *12,5 32 50 125 320 500 standar
130 340 530
35 55 2 Bilangan didalam kurung hanya dipakai
*5,6 14 35,5 56 140 355 560
(15) 150 360
untuk bagian dimana akan dipasang
6 16 38 60 160 380 600 bantalan gelinding
(17) 170
*6,3 18 63 180 630
19 190
20 200
22 65 220
7 70
*7,1 71
75
8 80 Berdasarkan perhitungan diatas maka poros yang telah dihitung adalah aman
85
9 90
95 dan layak untuk digunakan.

Tabel 3.11 Ukuran penampang spline

Sumber: Sularso, K Suga, DPDP Elemen Mesin,1997, hal 9 Cara kerja 6 spline 4 spline 10 spline

D = 0.90 D D = 0.85 D D = 0.01 D


Momen puntir yang bekerja pada poros, mengakibatkan terjadinya
Permanen W = 0.25 D W = 0.24 D W = 0.156 D
tegangan geser pada poros, dapat dihitung dengan mengunakan persamaan
h = 0.05 D h = 0.075 D h = 0.045 D
(2.13):
D = 0.85 D D = 0.75 D D = 0.56 D
pada putaran
W = 0.25 d W = 0.241 D W = 0.155 D
sebelum bekerja
kg/mm2 h = 0.075 D H = 0.125 D h = 0.07 D

34
D = 0.80 D D = 0.81 D Bahan yang digunakan untuk spline adalah sama dengan bahan poros, karena
Pada putaran
W = 0.25 D W = 0.156 D spline menyatu dengan poros.
ketika bekerja
h = 0.10 D H = 0.095 D

Sumber : Sularso. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen


Mesin. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987, hal 7 - Poros kedua

Poros kedua yang merupakan poros yang meneruskan daya yang di


Dalam perencanaan ini spline yang mengikat poros dan roda gigi
reduksi, kemudian di reduksi kembali untuk mendapatkan putaran output
direncanakan berjumlah 6 buah. Menurut Alex-Valance (Design of Machine
yang diinginkan, bekerja dengan daya 0,37 kW dan putaran yang bekerja
Member, 1951, hal 174), untuk spline berjumlah 6 buah dan pergeseran roda
pada poros ini adalah 206 rpm. Dalam perencanaan ini bahan yang dipilih
gigi berlangsung ketika poros sedang bekerja, maka hubungan antara
untuk poros kedua adalah batang baja yang ditarik dingin dengan
diameter poros dengan diameter spline adalah: ds = 0,80 x D (Tabel 3.11).
lambangnya S55C-D (Tabel 3.1) yang tegangan tariknya (B) sebesar 72

kg/mm2 dan faktor keamanan (Sf1) adalah 6,0.


Untuk poros ini ukuran spline yang diperlukan adalah sebagai berikut:
Pada perencanaan ini faktor Sf2 diambil sebesar 1,5, dari data-data
Diameter spline (D) = ds / 0,80 = 8 / 0,80 = 10 mm
diatas dapat ditentukan tegangan geser yang diizinkan (a ) untuk poros yaitu:
Lebar spline (w) = 0,25 x D = 0,25 x 10 = 2,5mm

Tinggi spline (l) = 0,10 x D = 0,10 x 8 = 0,8 mm

kg/mm2

35
Pembebanan yang akan dialami oleh poros dikenakan dengan sedikit
Sebuah poros aman digunakan apabila tegangan geser yang diizinkan yang
kejutan pada waktu pemindahan tingkatan kecepatan, oleh karena itu faktor
dikoreksi lebih besar dari tegangan geser yang dihitung atas dasar poros
momen puntir Kt diambil sebesar 1,5 (Tabel 4.8), sementara itu faktor
tanpa alur pasak, faktor Cb dan Kt.
koreksi untuk momen lentur Km diambil sebesar 1,5 (Tabel 4.9), karena poros

dibuat bertangga. Semua faktor ini akan digunakan dalam perhitungan

diameter poros dengan memakai persamaan berikut:

Berdasarkan perhitungan diatas maka poros yang telah dihitung adalah


Diameter poros 23,89 mm tidak terdapat dalam tabel, oleh karena itu
aman dan layak untuk digunakan.
diameter poros dipilih sebesar 24 mm.
Dalam perencanaan ini spline yang mengikat poros output dan roda

gigi direncanakan berjumlah 6 buah. Maka ukuran dari spline adalah sebagai
Momen puntir yang bekerja pada poros, mengakibatkan terjadinya tegangan
berikut:
geser pada poros sebesar:
Diameter poros (ds) = 0,80 x D

Diameter spline (D) = ds / 0,80 = 25 / 0.80 = 30 mm

Lebar spline (w) = 0,25 x D =0,25 x 30 = 7,50 mm


kg/mm2
Tinggi spline (h) = 0,10 x D = 0,10 x 30 = 3 mm

36
Bahan untuk spline adalah sama dengan bahan poros yaitu S55C-D, karena 9. Keamanan operasi

spline menyatu dengan poros. 10. Pemeliharaan dan perawatan

Prinsip-prinsip dasar perencanaan elemen mesin Tujuan perencanaan dan perancangan :


Untuk mengetahui jenis sambungan dalam teknologi permesinan, memahami
Perencanaan eleven mesin, pada dasarnya merupakan perencanaan bagian
mekanisme kerja dan mendeteksi bagian-bagian mesin, serta menguasai metode
(komponen), yang direncanakan dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan mekanisme
perhitungan kekuatan.
dari suatu mesin.
Dengan memperhatikan pertimbangan tersebut diatas, maka tahap-tahap
Dalam tahap-tahap perencanaan tersebut, pertimbangan-pertimbangan yang perlu
perencanaan totalnya yaitu sbb :
diperhatikan dalam memulai perencanaan eleven mesin meliputi :
1. Menentukan kebutuhan
1. Jenis-jenis pembebanan yang direncanakan 2. Pemilihan mekanisme
3. Beban mekanisme
2. Jenis-jenis tegangan yang ditimbulkan akibat pembebanan tsb.
4. Pemilihan material
3. Pemilhan bahan 5. Menentukan ukuran
6. Modifikasi
4. Bentuk dan ukuran bagian mesin yang direncanakan
7. Gambar kerja
5. Gerakan atau kinematika dari bagian-bagian yang akan direncanakan. 8. Pembuatan dan kontrol kualitas

6. Penggunaan komponen Standard

7. Mencerminkan suatu rasa keindahan (aspek esttica)

8. Hukum dan ekonoomis

37
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III
PERTANYAAN DAN JAWABAN

RANGKUMAN

38
DAFTAR PUSTAKA

39

Anda mungkin juga menyukai