Anda di halaman 1dari 73

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................1
KEGAWATDARURATAN KULIT.........................................................................................2
MACAM-MACAM KEGAWATDARURATAN PADA PENYAKIT KULIT.......................2
A. NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK..........................................................................3
B. SINDROM STEVENS JOHNSON.................................................................................5
C. ERITEMA MULTIFORME............................................................................................9
D. ERITRODERMA..........................................................................................................11
E. ANGIOEDEMA............................................................................................................15
F. ERITEMA NODUSUM LEPROSUM..........................................................................16
G. PEMFIGUS VULGARIS..............................................................................................18
H. PURPURA (VASKULITIS)..........................................................................................21
I. STAPHYLOCOCCUS SCALDED SKIN SYNDROME..................................................25
DERMATOSIS VESIKOBULOSA KRONIK.....................................................................28
A. PEMFIGUS...................................................................................................................28
1. PEMFIGUS VULGARIS..............................................................................................29
2. PEMFIGUS ERITEMATOSA......................................................................................34
3. PEMFIGUS FOLIASEUS............................................................................................35
4. PEMFIGUS VEGETANS.............................................................................................36
B. PEMFIGOID BULOSA................................................................................................37
C. DERMATITIS HERPETIFORMIS...............................................................................42
D. CHRONIC BULLOUS DISEASE OF CHILDHOOD.................................................47
E. PEMFIGOID SIKATRISIAL........................................................................................48
F. PEMFIGOID GESTATIONIS.......................................................................................49
DERMATOSIS ERITROSKUAMOSA...............................................................................52
A. PSORIASIS...................................................................................................................52
B. PARAPSORIASIS........................................................................................................56
C. DERMATITIS SEBOROIK..........................................................................................59
D. PITIRIASIS ROSEA.....................................................................................................68
E. ERITRODERMA..........................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................75

1
KEGAWATDARURATAN KULIT

Kegawat daruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang
pada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak,
kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat
berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah
sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah dan membatasi
cacat serta meringankan penderitaan penderita.
Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-orang di sekitar korban.
Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab penanganan yang salah justru dapat
berakibat kematian atau cacat tubuh.Pertolongan selanjutnya diberikan setelah penderita tiba
di rumah sakit, dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis yang mempunyai
kompetensi untuk melakukan tindakan pada kasus tersebut.
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu kasus
kegawat daruratan. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan yang cepat dan
tepat agar tidak menimbulkan kecacatan sampai kematian.
MACAM-MACAM KEGAWATDARURATAN PADA PENYAKIT KULIT.
Di klinik tidak jarang kita menemukan kasus-kasus emergensi yang memerlukan
penanganan segera dan tepat. Kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut:
1. Nekrolisis Epidermal Toksik,
2. Sindrom Stevens Johnson,
3. Eritema Multiforme,
4. Eritroderma,
5. Angioedema,
6. Eritema Nodosum Leprosum
7. Pemfigus Vulgaris,
8. Purpura-Vaskulitis
9. Staphylococcus Scalded Skin Syndrome.

A. NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK


Definisi

2
N.E.T ialah penyakit berat, gejala kulit yang terpenting ialah epidermolisis
generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium dan mata.
Sindrom
Sindrom Lyell
Epidemiologi
Dibandingkan dengan SSJ, penyakit ini lebih jarang, hanya 2-3 kasus setiap tahun.
Umumnya pada orang dewasa sama dengan SSJ.
Etiologi
Etiologi sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah 80-95%
dari semua pasien. Penyebab yang lain yaitu analgetik/antipiretik, kortikosteroid, dilantin,
klorokuin, sefriakson, jamu, dan aditif.
Patogenesis
Tentang imunopatogenesis sama dengan SSJ yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik)
menurut Coomb dan Gel. Gambaran klinisnya bergantung pada sel sasaran (target cell).
Gejala utama pada NET ialah epidermolisis karena sel sasarannya ialah epidermis. Gejala
atau tanda yang lain dapat menyertai NET. Bergantung pada sel sasaran yang dikenai,
misalnya terjadi leukopenia bila sel sasarannya leukosit, dapat terjadi purpura bila trombosit
menjadi sel sasaran.
Gejala klinis
NET merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena
gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip SSJ yang berat.
Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit berat dengan
demam tinggi, kesadaran menurun. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata
kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat
disertai lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan
sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan dapat juga terjadi di
orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada SSJ.
Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terdapat dari
dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya
epidermolisis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada kulit yang eritemtosa, yaitu jika
kulit ditekan dan di geser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada
tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya
pasien berbaring. Pada sebagian para pasien kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan

3
purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis). Kadang-
kadang terjadi perdarahan di traktus gastrointestinal.

Komplikasi
Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya
ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis.
Histopatologi
Pada stadium dini tampak vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal sepanjang perbatasan
dermal-epidermal. Sel radang di dermis hanya sedikit terdiri atas limfohistiosit. Pada lesi
yang telah lanjut terdapat nekrosis eosinofilik sel epidermis dengan pembentukan lepuh
subepidermal.
Diagnosis Banding
Diagnosis NET tidak cukup sulit secara klinis. Kelainan kulit yang utama ialah
epidermolisis mirip kombustio dan pasien tampak sakit berat. NET mirip SSJ. Perbedannya
pada SSJ tidak terdapat epidermolisis seperti pada NET. Keadaan umum NET lebih buruk
dari SSJ. Perbedaan yang lain pada Staphylococcus Scalded Skin Syndrom.Gambaran
klinisnya sangat mirip karena juga terdapat epidermolisis, tetapi selaput lendir jarang dikenai.
Penyebab S.S.S.S ialah Staphylococcus aureus,biasanya pada anak di bawah usia 5 tahun.
Mulai kelainan kulit di muka, leher, aksila, dan lipat paha disertai leukositosis. Gambaran
histopatologinya juga berbeda, pada SSSS letak celah di stratum granulosum, sedangkan pada
NET di subepidermal.
Pengobatan
Obat yang tersangka menyebabkan alergi segera dihentikan. Cara pengobatannya
mirip pengobatan pada SSJ yang berat, namun dosis kortikosteroid untuk NET lebih tinggi.
Umumnya deksametason 40 mg sehari iv dosis terbagi. Bila setelah dua hari diobati dengan
cara tersebut, masih juga timbul lesi baru hendaknya dipikirkan kemungkinan alergi terhadap
obat yang diberikan pada waktu rawat inap.

4
Sebagai pengobatan topikal dapat digunakan sulfadiazin perak (krim dermazin,
silvadene). Perak dimaksudkan sebagai astringen dan mencegah/mengobati infeksi oleh
kuman Gram negatif, Gram positif dan Candida, sedangkan sulfa untuk kuman Gram positif.
Efek samping sulfadiazin perak ialah neutropenia ringan dan reversibel, sehingga tidak perlu
dihentikan.
Prognosis
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit,
prognosisnya buruk. Jadi luas kulit yang dikenai mempengaruhi prognosisnya. Juga bila
terdapat purpura yang luas dan leukopenia. Ruiz Maldorado menggunakan istilah nekrosis
epidermal diseminata akut tipe 1,2, dan 3. Tipe 2 dan 3 dapat disamakan dengan nekrolisis
epidermal toksik. Angka kematian tipe 2 ialah 37,5% dan tipe 3 ialah 60%, rata-rata 48,7%.

B. SINDROM STEVENS JOHNSON


Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai
berat;kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.
Sinonim
Eritema multiforme mayor, namun yang lazim Sindrom Stevens-Johnson (SSJ).
Epidemiologi
Insiden SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3% per juta
populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Hal
tersebut berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada
dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut.
Etiologi
Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi,
vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi. Kausa yang lain amoksisilin,
kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.
Patogenesis
Penyakit ini sama dengan NET disebabkan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik)
menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung
kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi
keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5

5
meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8
pada epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II. Sel
langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis meningkat.
Gejala Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum
begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat
disertai gejala prodormal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorok.
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata.
a. Kelainan kulit
Kelainan terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk
yang berat kelainannya generalisata.
b. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan
anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di
mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga
terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis dapat
menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring
dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas.
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80 % diantara semua kasus; yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.

Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya : nefritis
dan onikolisis.

6
Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, yang didapati sekitar 16 %
diantara seluruh kasus yang datang berobat. Komplikasi yang lain ialah kehilangan
cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok. Pada mata terjadi kebutaan karena
gangguan lakrimasi.
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, penyebabnya
kemungkinan karena infeksi bakterial. Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena alergi.
Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.
Histopatologi
Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan
berupa:
1. Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Diagnosis Banding
Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias
kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena NET dianggap sebagai bentuk parah SSJ,
maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi
diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET.
Pada NET keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ. Sebagai diagnosis banding ialah
NET. Penyakit ini sangat mirip SSJ. Pada NET terdapat epidermolisis generalisata yang tidak
terdapat pada sindrom SSJ. Perbedaan lain biasanya keadaan umum pada NET lebih buruk.

7
Pengobatan
Obat yang tersangka sebagai kausanya dihentikan, termasuk jamu dan aditif. Jika
keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison
30-40 mg sehari. Bila keadaan umum buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat
dan cepat dan pasien harus dirawat inap. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan
tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan
4-6 x 5 mg sehari.
Seorang pasien SSJ yang berat, harus segera dirawat inap dan diberikan deksametason
6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan
membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi.
Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai
5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan
keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari;sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara.
Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan
deksametason karena termasuk golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk
golongan kerja lama namun harganya lebih mahal. Tapering off hendaknya dilakukan cepat
karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit
autoimun (endogen), misalnya pemfigus.
Sebaiknya kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik
ialah kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dilutus dengan kasa steril
selama jam untuk menghindari kontaminasi. Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu,
maka imunitas pasien akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik.
Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang
rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah
sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg
iv. Klindamisin dengan dosis 2 x 600 mg iv sehari, seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi
protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa kadar elektrolit
dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCL 3 x 500 mg per os.

8
Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan
nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di
tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
dekstrose 5%, NaCl 9% dan RL berbanding 1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.
Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat
diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah
(whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi
buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal. Indikasi pemberian transfusi
darah pada SSJ dan NET yang dilakukan ialah :
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum
ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40 mg
sehari.
2. Bila terdapat purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
mg sehari iv.
Prognosis
Kalau kita bertindak tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat
purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk
dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian.

C. ERITEMA MULTIFORME
Definisi
Eritema multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-
kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan gambaran khas
bentuk iris. Pada kasus berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral.
Sinonim
Herpes iris, dermatostomatitis, eritema eksudativum multiforme.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Faktor-faktor penyebabnya selain alergi
terhadap obat sistemik adalah perdangan oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik,
misalnya sinar matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti keadaan hamil atau haid, dan
penyakit keganasan. Pada anak-anak dan dewasa muda, erupsi biasanya disertai dengan
infeksi, sedangkan pada orang dewasa disebabkan oleh obat-obat dan keganasan.

9
Gejala Klinis
Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dan erupsi lokal kulit dan selaput lendir
sampai bentuk berta berupa kelainan multisistem yang dapat menyebabkan kematian.
Didapati 2 tipe dasar :
1. tipe makula-eritema
Erupsi timbul mendadak, simetrik dengan tempat predileksi di punggung tangan,
telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan selaput lendir. Pada keadaan berat
dapat juga mengenai badan. Lesi menjadi tidak serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-
3 minggu. Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri dari 3 bagian, yaitu
bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh
lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.
2. tipe vesikobulosa
Lesi mula-mula berupa makula, papul, dan urtika yang kemudian timbul vesikobulosa
di tengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir.

Pengobatan
Pada kasus ringan diberi pengobatan simtomatik, meskipun sedapat-dapatnya perlu
dicari penyebabnya. Pada penyakit ini biasanya dapat diberikan pengobatan kortikosteroid
per oral, misalnya berupa prednison 3 x 10 mg sehari.
Prognosis
Kedua tipe eritema multiforme sering rekuren, terutama kasus-kasus yang disebabkan
oleh virus herpes simpleks. Biasanya penyakit ini berjalan ringan dan sembuh sesudah 2-3
minggu.

D. ERITRODERMA
Definisi
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema universalis
(90%-100%), biasanya disertai skuama. Bila eritemanya antara 50%-90% dinamakan pre-

10
eritroderma. Pada definisi tersebut yang mutlak harus ada ialah eritema sedangkan skuama
tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma karena alergi obat secara sistemik, pada
mulanya tidak disertai skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama.
Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas, karena bercampur dengan
hiperpigmentasi..
Sinonim
Dermatitis eksfoliativa sebenarnya tidak tepat karena skuamanya berlapis-lapis.
Epidemiologi
Jumlah pasien semakin bertambah seiring dengan meningkatnya insidens psoriasis.
Patofisiologi
Patofisiologi ertitroderma belum jelas, yang dapat diketahui adalah akibat suatu agent
dalam tubuh, maka tubuh bereaksi berupa pelebaran pembuluh darah kapiler yang universal.
Kemungkinan berbagai sitokin berperan. Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah
yang menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah.
Akibatnya pasien merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi
hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin meningkat dapat
menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga meningkat.
Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator
dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat
sebanding dengan laju metabolisme basal.
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2 permukaan kulit atau lebih sehari
sehingga menyebabkan kehilangan protein. Hipoproteinemia dengan berkurangnya albumin
dan peningkatan relatif globulin terutama globulin merupakan kelainan yang khas. Edema
sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang ekstravaskuler.
Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku berupa kerontokan
rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung bulan dapat
terjadi perburukan keadaan yang progresif.
Gejala Klinis
I.Eritroderma akibat alergi obat biasanya secara sistemik.
Untuk menentukannya diperlukan anamnesis yang teliti; yang dimaksudkan alergi obat
secara sistemik ialah masuknya obat ke dalam badan dengan cara apa saja, misalnya
melalui mulut, melalui hidung, dengan cara suntikan/infus, melalui rektum dan vagina.
Selain itu, alergi dapat pula terjadi karena obat mata, obat kumur, tapal gigi, dan
melalui kulit sebagai obat luar.

11
Waktu mulai masuknya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit bervariasi dapat
segera sampai 2 minggu. Bila ada obat lebih daripada satu yang masuk ke dalam badan
yang disangka sebagai penyebabnya ialah obat yang paling sering menyebabkan alergi.
Gambaran klinisnya seperti telah disebutkan ialah eritema universal. Bila masih akut
tidak terdapat skuama, pada stadium penyembuhan baru timbul skuama.
II. Eritroderma akibat perluasan penyebab kulit
Pada penyakit tersebut yang sering terjadi ialah akibat psoriasis dapat pula karena
dermatitis seboroik pada bayi (penyakit Leiner), oleh karena itu hanya kedua penyakit
tersebut yang akan dijelaskan.
1. Eritroderma karena psoriasis (psoriasis eritrodermik)
Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena 2 hal : disebabkan oleh
penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat, misalnya
pengobatan topikal dengan ter dengan konsentrasi yang terlalu tinggi. Pada
anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita psoriasis.
Penyakit tersebut bersifat menahun dan residif, kelainan kulit berupa skuama
yang berlapis-lapis dan kasar di atas kulit yang eritematosa dan sirkumskrip.
Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi
psoriasis dapat ditemukan kelainan lebih eritematosa dan agak meninggi
daripada di sekitarnya dan skuama di tempat itu lebih tebal. Kuku juga perlu
dilihat, dicari apakah ada pitting nail berupa lekukan miliar, tanda ini hanya
menyokong dan tidak patognomonis untuk psoriasis. Jika ragu-ragu, pada
tempat yang meninggi tersebut dilakukan biopsi sekali tidak cukup dan harus
dilakukan beberapa kali.
2. Penyakit Leiner
Sinonim penyakit ini ialah eritroderma deskuamativum. Etiologinya belum
diketahui pasti, tetapi umumnya penyakit ini disebabkan oleh dermatitis
seboroika yang meluas, karena pada para pasien penyakit ini hampir selalu
terdapat kelainan yang khas untuk dermatitis seboroik. Usia penderita antara 4
minggu sampai 20 minggu. Keadaan umumnya baik, biasanya tanpa keluhan.
Kelainan kulit berupa eritema universal disertai skuama yang kasar.
III. Eritroderma akibat keganasan penyakit sistemik
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan kelainan kulit berupa
eritroderma. Jadi setiap kasus yang tidak termasuk golongan I dan II harus dicari
penyebabnya, yang berarti harus diperiksa secara menyeluruh (termasuk pemeriksaan
laboratorium dan sinar X toraks), apakah ada penyakit alat dalam dan harus dicari
pula, apakah ada infeksi pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat

12
leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bakterial yang
tersembunyi yang perlu diobati. Termasuk di dalam golongan ini adalah sindrom
Sezary.

Sindrom Sezary
Penyakit ini termasuk limfoma, ada yang berpendapat merupakan stadium dini
mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan dengan
infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke dalam CTCL (Cutaneous T-Cell
Lymphoma). Yang diserang adalah orang dewasa, mulainya penyakit pada pria rata-
rata berusia 64 tahun, sedangkan pada wanita 53 tahun.
Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universal
disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat pula infiltrat pada kulit dan
edema. Pada sepertiga hingga setengah para pasien didapati splenomegali,
limfadenopati superfisial, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris dan
plantaris, serta kuku yang distrofik.
Pada pemeriksaan laboratorium sebagian besar kasus menunjukkan leukositosis
(rata-rata 20.000/mm), 19% dengan eosinofilia dan limfositosis. Selain itu terdapat
pula limfosit atipik yang disebut sel Sezary. Sel ini besarnya 10-20, mempunyai sifat
yang khas, diantaranya intinya homogen, lobular, dan tak teratur. Selain terdapat
dalam darah, sel tersebut juga terdapat dalam kelenjar getah bening dan kulit. Untuk
menentukannya memerlukan keahlian khusus. Biopsi khas, yakni terdapat infiltrat
pada dermis bagian atas dan terdapatnya sel Sezary. Disebut sel Sezary, jika jumlah
sel Sezary yang beredar 1000/mm3 atau lebih atau melebihi 10 % sel-sel yang beredar.
Bila jumlah sel tersebut di bawah 1000/mm3 dinamai sindrom pre-Sezary.
Pengobatan
Pada eritroderma golongan I obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan.
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan
oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat,

13
umumnya dalam beberapa hari-beberapa minggu. Pada golongan II akibat perluasan penyakit
juga dapat diberikan kortikosteroid. Dosis mula prednison 4 x 10 mg-4 x 15 mg sehari. Jika
setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak
perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan
dengan ter pada psoriasis, maka obat tersebut harus dihentikan.
Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin. Lama penyembuhan
golongan II ini bervariasi beberpa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti
golongan I. Pada pengobatan dengan kortikosteroid jangka lama, yakni jika melebihi 1 bulan
lebih baik digunakan metilprednisolon daripada prednison dengan dosis ekuivalen karena
efeknya lebih sedikit.
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang baik. Dosis
prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrom Sezary pengobatannya terdiri atas kortikoteroid
(prednison 30 mg sehari atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik, biasanya
digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari.
Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama
mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk
mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema misalnya dengan salap lanolin 10 % atau
krim urea 10 %.
Prognosis
Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik,
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan dengan
golongan yang lain. Pada eritroderma yang belum diketahui penyebabnya, pengobatan
dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, pasien akan mengalami ketergantungan
kostikosteroid.
Sindrom Sezary prognosisnya buruk, pasien pria umumnya akan meninggal setelah 5
tahun, sedangkan pasien wanita 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit
berkembang menjadi mikosis fungoides.

E. ANGIOEDEMA
Definisi
Angioedema ialah urtika yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada
dermis, dapat di submukosa, atau di subkutis, juga dapat mengenai saluran napas, saluran
cerna, dan organ kardiovaskular.
Epidemiologi

14
Sering dijumpai pada semua umur. Ditemukan 49% bersama-sama dengan
angioderma, dan 11% angioderma saja.
Etiologi
Angioedema dapat diakibatkan pengaktifan complemen pathway. Kemungkinan
dapatan atau herediter. Bentuk herediter dapat dilihat pada dua autosomal dominan yang
jarang. Tipe I sebesar 85% pada kasus herediter disebabkan oleh berkurangnya kuantitas
inhibitor mencegah perubahan bentuk C1 ke C1 esterase.
Gambaran Klinis
Karakteristik angioedema adalah serangan cepat onsetnya sedang dan bengkak, dapat
solitair dan multiple dan umumnya melibatkan wajah, bibir, lidah, faring, dan laring. Jika
mengenai kulit dan mukosa membran dapat menyebabkan pelebaran sampai beberapa
centimeter. Sebagai tambahan selain dapat juga mengenai kulit meliputi tangan, lengan, kaki,
alat kelamin, bokong. Biasanya tidak sakit, umumnya menimbulkan rasa gatal dan dapat
terlihat eritema. Pelebaran khas terjadi 24 sampai 72 jam.

F. ERITEMA NODUSUM LEPROSUM


Terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula BL, berarti makin tingkat
multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Secara imunopatologis, E.N.L
termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara M.
Leprae + antibodi (Ig M, IgG) + komplemen kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog
dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain.
Dengan terbentuknya kompleks imun ini, makan E.N.L termasuk di dalam golongan penyakit
kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi
dapat terbentuk. Ternyata bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih
tinggi daripada tipe tuberkuloid.

15
Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah basil jauh lebih banyak
daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini
dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem
komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya
dapat melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan
adanya proteinuria. E.N.L dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat
diterangkan secara imunologik pula. Perlu ditegaskan bahwa pada E.N.L tiddak terjadi
perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe
borderline (Li, BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang
peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS.
Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui dengan pasti, diperkirakan ada
hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada
tempat-tempat basil M.leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara
mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Tipe lepra yang
borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS.
Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan
SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas. Satu saja gejala sudah cukup,
terutama adanya gejala neuritis akut sangat menentukan pemberian pengobatan
kortikosteroid.

16
Kalau diperhatikan kembali reaksi E.N.L dan reversal secara klinis, E.N.L dengan lesi
eritema nodosum sedangkan reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini penting membantu
menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus. Kalau ada berarti
reaksi nodular atau E.N.L. Jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau
reaksi borderline.
Pengobatan E.N.L
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari. Ada
kemungkinan timbul ketergantungan kortikosteroid, ENL akan timbul kalau obat tersebut
dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan
kortikosteroid terus-menerus.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai antireaksi ENL,
tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin
berat makin tinggi dosisnya, antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada
kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL.
Keuntungan lain dapat dipakai sebagai usaha lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah
satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi
berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi masih bersifat reversible,
meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan.
Pengobatan reaksi reversal
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan
pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya
neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis
yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi
ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus

17
diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk
reaksi reversal kurang efektif.

G. PEMFIGUS VULGARIS
Definisi
Pemfigus adalah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit
dan membrana mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat
proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap komponen
desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam sirkulasi
darah.
Epidemiologi
Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus).
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras.
Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan
(dekade ke-4 dan ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak.
Etiologi
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
autoantibodi juga dapat disebabkan oleh obat (drug-induced pemphigus), misalnya D-
penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus
foliaseus (termasuk pemfigus eritematosus) atau pemfigus vulagaris. Pada pemfigus tersebut
secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus yang sporadik, pemeriksaan
imunofluoresensi langsung pada kebanyakan kasus positif, sedangkan pemeriksaan
imunofluoresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif.
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik jinak maupun yang maligna, dan
disebut sebagai pemfigus paraneoplastik. Pemfigus juga dapat ditemukan bersama-sama
dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus eritematosus sistemik, pemfigoid
bulosa, miastenia gravis, dan anemia pernisiosa.
Patogenesis
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat sangat khas, yakni :
1. Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis)
2. Adanya antibodi Ig G terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan
keratinosit yang sedang berdiferensiasi
Lepuh pada P.V. akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen P.V. Antigen ini
merupakan transmembran glikoprotein dengan berat molekul 160 kD untuk pemfigus

18
foliaesus dan berat molekul kD untuk pemfigus vulgaris yang terdapat pada permukaan sel
keratinosit.
Target antigen pada P.V. yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein 3, sedangkan
yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada pemfigus foliaseus
target antigennya ialah desmoglein 1.
Desmoglein ialah salah satu komponen desmosom. Komponen yang lain, misalnya
desmoplakin, plakoglobin, dan desmokolin. Fungsi desmososm ialah meningkatkan kekuatan
mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.
Pada penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas IgG1 dan
IgG4, tetapi yang patogenetik ialah IgG4. Pada pemfigus juga ada faktor genetik, umumnya
berkaitan dengan HLA-DR4.
Gejala Klinis
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit
kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang
disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai pioderma pada kulit
kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat
berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula generalisata.
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lendir
konjungtiva, hidung, farings, larings, esofagus, uretra, vulva, dan serviks. Kebanyakan
penderita menderita stomatitis aftosa sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Lesi di mulut ini
dapat meluas dan dapat mengganggu pada waktu penderita makan oleh karena rasa nyeri.
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit yang
terkelupas tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa
dan generalisata. Tanda Nikolskiy positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara
mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara
dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula
akan meluas karena cairan yang di dalamnya mengalami tekanan.
Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering mengeluh nyeri pada
kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut.

19
Histopatologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel
epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan percobaan Tzanck
positif. Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan
diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop elektron dapat diktahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan
segmen interselular. Juga dapat dilihat perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai
peristiwa sekunder.
Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa.
Dermatitis herpetiformis dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik,
keluhannya sangat gatal, ruam polimorf, dinding vesikel/bula tegang dan berkelompok, dan
mempunyai tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa,
keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata.
Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula di subepidermal,
sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak di intraepiderma dan terdapat akantolisis.
Pemeriksaan imunofluoresensi pada pemfigus menunjukkan IgG yang terletak
intraepidermal, sedangkan pada dermatitis herpetiformis terdapat IgA berbentuk granular
papilar.
Pengobatan
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Sering digunakan
prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi tergantung pada berat ringannya
penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus
yang berat.

Prognosis

20
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita dalam
tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan ketidakseimbangan elektrolit.
Pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosisnya lebih baik.

H. PURPURA (VASKULITIS)
Definisi
Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah ke kulit (eritrosit) dan selaput lendir
(mukosa), dengan manifestasi berupa makula kemerahan yang tidak hilang pada penekanan.
Purpura secara perlahan-lahan mengalami perubahan warna, mula-mula merah kemudian
menjadi kebiruan, disusul warna coklat kekuningan dan akhirnya memudar dan menghilang.
Menurut ukuran besarnya dibedakan atas :
Petekie, purpura superfisial berukuran miliar atau dengan diameter kira-kira
berukuran 3 mm, mula-mula berwarna merah kemudian menjadi kecoklatan
seperti karat besi.
Ekimosis, ukurannya lebih besar dan letaknya lebih dalam daripada petekie, berwarna
biru kehitaman.
Sugulasio, bila ukuran purpura numular.
Hematoma, bila darah terkumpul di jaringan membentuk tumor dengan konsistensi yang
padat.
Histopatologi
Adanya ekstravasasi eritrosit, biasanya disertai adanya vaskulitis.

Purpura dengan inflamasi


Vaskulitis leukositoklastik (purpura anafilaksis)
Disebut juga purpura alergik. Kelainan ini diakibatkan karena reaksi antigen
antibodi di dekat endotel pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan
permeabilitas pada dindingnya dan dilatasi pembuluh darah. Klinis didapatkan adanya
purpura yang dapat diraba, eritema, edema, urtikaria, dan bula. Tempat predileksi
adalah tempat yang berhubungan dengan tekanan hidrostatik. Apabila kelainan

21
terbatas disebut sebagai purpura simpleks. Bilamana disertai nyeri sendi dinamai
sindrom SCHONLEIN, dan bila disertai gejala saluran cerna serta saluran kemih
disebut sindrom HENOCH.
Histopatologik terlihat adanya infiltrat selular yang mengelilingi pembuluh
kapiler. Apabila reaksinya berat, maka terlihat kerusakan pada sebagian atau seluruh
pembuluh darah yang mengakibatkan nekrosis dan ulserasi.
Sindrom HENOCH-SCHONLEIN ini sering dijumpai pada anak berumur 3-10
tahun. Infeksi virus merupakan faktor pencetus, begitu pula infeksi bakteri dan alergi
terhadap makanan, aspirin, zat warna azo, dan benzoat yang dibubuhkan pada
makanan . Pada pemeriksaan imunologi ditemukan peningkatan kompleks IgA dan
IgG.
Pengobatan dengan kortikosteroid cukup berhasil, analgesik dan antispasmodik
secara simtomatik cukup menolong.
Krioglobulinemia campuran (vaskulitis neutrofilik)
Krioglobulin adalah imunoglobulin yang mengendap pada suhu dingin dan
mencair lagi pada suhu panas. Ada dua jenis, yaitu krioglobulinemia monoklonal dan
campuran (multikomponen). Krioglobulinemia campuran merupakan imunokompleks
IgG dan IgM, dapat ditemukan pada lupus eritematosus sistemik dan artritis
reumatoid, infeksi hepatitis B, dan vaskulitis leukositoklastik. Secara klinis dijumpai
adanya purpura yang dapat diraba, artarlgia, dan glomerulo nefritis.
Pitiriasis likenoides et varioliformis akuta (Mucha Haberman)
Keadaan akut ini sering dikenal sebagai penyakit MUCHA HABERMAN, klinis
terdapat erupsi kulit yang luas terutama di badan ditandai dengan papul-papul yang
berkembang menjadi papulonekrotik disertai perdarahan dan meninggalkan bekas
sikatriks ringan.
Gambaran histopatologik terdapat infiltrat perivaskular terutama dengan sebukan
sel mononuklear, meluas sampai ke papila dan epidermis, terdapat pula parakeratosis
dan akantosis, serta sel-sel Malphigi mengalami degenerasi.
Purpura pigmentosa kronik (vaskulitis limfositik)
a. Purpura anularis telangiektoides (MAJOCHI)
Kelainan ini mengenai usia dewasa muda, tetapi juga dapat pada semua
golongan umur, tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. Lesi dimulai dengan
makula eritematosa karena dilatasi kapilar pada seluruh tubuh. MACKE
(1955) manyatakan terdapat tiga fase paenyakit, yaitu fase talengiektasis
diikuti timbulnya titik merah hitam di tepi lesi. Lesi secara perlahan-lahan
meluas berukuran 1-2 cm. Penyembuhan dimulai dari bagian tengah sehingga

22
membentuk lesi anular. Lesi anularis akan bersatu membentuk arkus yang
sirsinar. Lesi ini akan menetap beberapa tahun dan akan meninggalkan atrofi.
b. Dermatosis pigmentosa progresif (SCHAMBERG)
Kelainan ini berupa dermatosis yang kronik dimulai dengan lesi merah
kecoklatan disebabkan adanya endapan hemosiderin, di kulit tampak bercak-
bercak merah disebut cayene pepper, terutama pada anggota badan bagian
bawah. Pada umumnya lesi timbul tanpa disertai rasa gatal. Kelainan ini
menetap selama bertahun-tahun meninggalkan bercak hiperpigmentasi. Hasil
pemeriksaan laboratorium tidak menunjkkan adanya kelainan.
c. Dermatosis purpura pigmentosa likenoides (GOUGEROT dan BLUM)
Lebih dikenal dengan nama sindrom GOUGEROT-BLUM. Biasanya timbul
pada usia sekitar 40-60 tahun. Lokalisasi di mana saja, tersering di tungkai
berbentuk papul likenoid yang bersatu membentuk plakat, lesi dapat simetris
dan menetap, dan mempunyai warna yang bermacam-macam. Seringkali
dihubungkan dengan penyakit liken aureus.
Gambaran histopatologik menunjukkan bagian atas dermis bersebukan sel
radang menahun limfosit dan hemosiderin, dan terdapat pula proliferasi
sendotel pembuluh darah.
Secara klinis berbeda dengan SCHAMBERG, terutama karena adanya papul
likenoides.
d. Purpura ekzematoid (DOUCAS dan KAPENTANIS)
Keadaan ini terdapat pada ekstremitas bagian bawah, biasanya gatal, ditandai
adanya papul, skuama, dan likenifikasi. Purpura eksematoid, pigmentosa
purpura di ekstremitas bawah, dan itching purpura sulit dibedakan dengan
SCHAMBERG. Karena itu keempatnya secara klinis lebih baik disebut
sebagai purpura pigmentosa kronika.
Gambaran histologik menunjukkan inflamasi, dilatasi kapiler, ekstravasasi
eritrosit, dan endapan hemosiderin. Purpura ekzematoid berbeda dengan
purpura pigmentosa kronik yaitu purpura stasis atau disebut pula
akroangiodermatitis, yakni kelainan yang diesbabkan oleh insufisiensi
vaskular. Lesi terutama pada ekstremitas bagian bawah menjalar ke dorsum
pedis dan jari-jari kaki. Pada tungkai banyak terdapat variasi. Lesi berupa
makula eritematosa, kuning sampai kecoklatan karena adanya hemosiderin.
Sering disertai edema, sklerosis, ulserasi, dan tanda-tanda insufisiensi
vaskular lainnya.

23
Gambaran histologik pada purpura stasis terutama tampak proses yang lebih
dalam sampai ke dermis, pada dermis tampak fibrosis, dilatasi kapiler, dan
endapan hemosiderin.
Purpura infeksiosa (meningokok, gonokok, M.leprae, riketsia)
Lebih sering terjadi kerusakan vaskular baik langsung atau melalui reaksi alergi.
Terdapat kelainan laboratorium, yaitu trombositopenia. Infeksi tersering adalah oleh
meningokok, yang mengakibatkan terjadinya sepsis, endokarditis bakterial, infeksi
virus, misalnya morbili. Purpura dapat timbul ssebagai gejala prodorma.
Purpura akibat alergi obat
Berbagai obat dapat menimbulkan purpura. Contohnya :
Obat yang menekan sumsum tulang, misalnya : benzol dan nitrogen mustard.
Obat yang merusak sumsum tulang, misalnya : kloramfenikol
Obat yang merusak/menimbulkan trombositopenia, misalnya : kina dan sedermid.
Obat-obat lain yang juga dapat menyebabkan purpura, antara lain : fenobarbital,
yodida, streptomisin, salisilat, tolbutamid, klorpropamid, dan antimetabolik.
Pemeriksaan Laboratorium Untuk Diagnostik
Pemeriksaan ini sangat penting untuk mencari penyebab, kelainan, apakah kelainan
terletak pada vaskular, gangguan pembekuan, dan trombosit. Pemeriksaan tersebut ialah :
Waktu perdarahan, fragilitas kapiler, waktu pembekuan, waktu retraksi bekuan, jumlah
trombosit, waktu protrombin, waktu rekalsifikasi, waktu fibrinogen dalam plasma, waktu
serum protrombin, tromboplastin generation test, tes fibrinolisin, tes antikoagulan.
Pengobatan
Pemberian obat harus berhati-hati karena obat-obat pun dapat menimbulkan purpura.
Kelainan vaskular sekunder dapat pula terjadi akibat trauma mekanis, infeksi, penyakit
sistemik dan metabolik, misalnya diabetes melitus, faktor imunologik, toksik, dan karsinoma.
Beberapa obat seperti penggunaan vitamin C, vitamin K, transamin, atau anaroksil masih
dianjurkan. Pada keadaan tertentu diperlukan transfusi dan splenektomi.

I. STAPHYLOCOCCUS SCALDED SKIN SYNDROME.


Definisi
S.S.S.S ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri yang
khas ialah terdapatnya epidermolisis.
Sinonim
Dermatitis eksfoliativa neonatorum
Epidemiologi

24
Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun, pria lebih banyak daripada
wanita.
Etiologi
Etiologinya ialah diantaranya Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55, dan atau
faga 71.
Patogenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga.
Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik yang beredar diseluruh tubuh sampai
pada epidermis dan menyebabkan kerusakan, karena epidermis merupakan jaringan yang
rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab.
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin. Pada anak-
anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna, karena itu umumnya penyakit
ini terdapat pada golongan usia tersebut. Jika penyakit ini menyerang orang dewasa diduga
karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau terdapat gangguan imunologik, termasuk yang
mendapat obat imunosupresif.
Gejala Klinis
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran napas bagian
atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul mendadak pada muka,
leher, ketiak, dan lipat paha kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48
jam akan timbul bula-bula besar berdinding kendur. Jika kulit yang tampaknya normal
ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberi tanda Nikolskiy positif.
Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran
kulit sehingga tampak daerah-daerah erosif. Akibat epidermolisis tersebut, gambarannya
mirip kombustio. Daerah-daerah tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi
deskuamasi. Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa yang tidak mengelupas terjadi
dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai, tetapi mukosa jarang diserang.
Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.

25
Komplikasi
Meskipun S.S.S.S dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi, misalnya
selulitis, pneumonia, dan septikemia.
Pemeriksaan Bakteriologi
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas dapat dilakukan
pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai tipe kuman, karena S.S.S.S
disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu. Pada kulit tidak didapati kuman
penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin.
Histopatologi
Pada S.S.S.S terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh intraepidermal, celah
terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh sering mengandung sel-sel
akantolitik, epidermis sisanya tampak utuh tanpa disertai nekrosis sel.
Diagnosis Banding
Penyakit ini sangat mirip N.E.T. Perbedaannya, S.S.S.S umumya menyerang anak di
bawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit di muka, leher, aksila, dan lipat paha;mukosa
umumnya tidak dikenai, alat-alat dalam tidak diserang, dan angka kematiannya lebih rendah.
Kedua penyakit tersebut agak sulit dibedakan, oleh karena itu hendaknya dilakukan
pemeriksaan histopatologik secara frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena
prinsip terapi kedua penyakit tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada letak celah, pada
S.S.S.S di stratum granulosum, sedangkan pada N.E.T di subepidermal. Perbedaan lain, pada
N.E.T terdapat sel-sel nekrosis di sekitar celah dan banyak terdapat sel radang.
Pengobatan
Berbeda dengan pengobatan pada N.E.T maka kortikosteroid tidak perlu diberikan.
Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih derivat penisilin hendaknya yang juga efektif bagi
Staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase, misalnya kloksasilin dengan dosis 3 x
250 mg untuk orang dewasa sehari per os. Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50
mg sehari per os. Obat lain yang dapat diberikan ialah klindamisin dan sefalosporin generasi
I. Topikal dapat diberikan sufratulle atau krim antibiotik.
Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah setahun, yang berkisar
antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya keseimbangan cairan/elektrolit
dan sepsis.

26
DERMATOSIS VESIKOBULOSA KRONIK

Berbagai penyakit kulit yang manifestasi kliniknya ditandai terutama oleh adanya
vesikel dan bula, antara lain adalah penyakit yang dermatitis vesikobulosa kronik, yang
termasuk golongan ini ialah :
1. Pemfigus
2. Pemfigoid Bulosa
3. Dermatitis Herpetiformis
4. Chronic Bullous Disease of childhood
5. Pemfigoid Sikatrisial
6. Pemfigoid Gestationis
Di dalam referat ini kita akan membahas satu persatu penyakit ini secara sistematis,
baik dari definisi, etiologi, pathogenesis, gejala klinis, serta penatalaksanaannya.

A. PEMFIGUS
Definisi
Istilah Pemfigus, berasal dari kata pemphix (Yunani) yang berarti lepuh atau
gelembung, merupakan kelompok penyakit berbula kronik, menyerang kulit dan membrane
mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal, dimana akibat dari
autoantibodi yang secara langsung menyerang permukaan keratinosit yang mengakibatkan
hilangnya adhesi antara keratinosit melalui proses yang disebut akantolisis. Dan secara
imunopatologik ditemukan antibody terhadap komponen desmosom pada permukaan
keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun yang bebas di dalam sirkulasi darah.2
Pemfigus dapat terjadi pada semua usia namun yang paling sering adalah usia
pertengahan. Pemfigus dapat ditemukan di seluruh dunia, namun insiden lebih tinggi di
kalangan Yahudi.
Secara garis besar bentuk pemfigus dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu pemfigus vulgaris,
pemfigus eritematous, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Menurut letak dan celah
pemfigus di bagi menjadi 2 yaitu di suprabasal ialah pemfigus vulgaris dan pemfigus
vegetans, dan di stratum granulosum ialah pemfigus eritematous dan pemfigus foliaseus.
Semua penyakit tersebut memberikan gejala yang khas yaitu pembentukan bula yang kendur
pada kulit yang terlihat normal dan mudah pecah, pada penekanan, bula tersebut meluas
(tanda Nikolski positif), Akantolisis selalu positif, dan adanya antibody tipe IgG terhadap
antigen interselular di epidermis yang dapat ditemukan di dalam serum, meupun terikat di
epidermis.

27
1. PEMFIGUS VULGARIS
1.1 Epidemiologi
Pemfigus Vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus).
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras.
Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan
(dekade ke-4 dan ke-5) tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak. 1
Di India penyakit ini banyak mengenai anak-anak jika dibandingkan di Negara barat.
Di Negara-Negara timur seperti India, Cina, Malaysia, dan Timur Tengah kasus pemfigus
paliang umum adalah pemfigus blistering. Ras Yahudi terutama Yahudi Ashkenazi memiliki
peningkatan kerentanan terhadap PV. Di Afrika selatan, PV ini lebih sering pada bangsa India
dibanding pada bangsa kulit hitam dan berkulit putih. PV jarang sekali terjadi pada orang
barat.
1.2 Etiopatogenesis
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
autoantibody, juga dapat disebabkan oleh obat (drug induced pemphigus), misalnya D-
penisilamin dan kaptopril.
Pada penyakit ini, autoantibodi yang menyerang desmoglein pada permukaan
keratinosit membuktikan bahwa autoantibodi ini bersifat patogenik. Antigen PV yang
dikenali sebagai desmoglein 3, merupakan desmosomal kaderin yang terlibat dalam
perlekatan interselular pada epidermis. Antibodi yang berikatan pada domain ekstraseluar
region terminal amino pada desmoglein 3 ini mempunyai efek langsung terhadap fungsi
kaderin. Desmoglein 3 dapat ditemukan pada desmosom dan pada sel keratinosit. Dapat
dideteksi pada saat diferensiasi keratinosit terutamanya pada epidermis bawah dan lebih
padat pada mukosa bucal dan kulit kepala berbanding di badan. Hal ini berbeda dengan
antigen Pemfigus Foliaseus, desmoglein 1 yang ditemukan di pada epidermis dan lebih padat
pada epidermis atas. Pengaruh faktor lingkungan dan cara hidup individu belum dapat
dibuktikan berpengaruh terhadap PV, namun penyakit ini dapat dikaitkan dengan genetik
pada kebanyakan kasus.
Desmoligen ialah salah satu komponen desmosome. Komponen yang lain, misalnya
desmoplakin, plakoglobin, dan desmokolin. Fungsi desmosome ialah meningkatkan kekuatan
mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.
Tanda utama pada PV adalah dengan mencari autoantibody IgG pada permukaan
keratinosit. Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam mengurangi perlekatan antara

28
sel-sel keratinosit yang menyebabkan terbentuknya bula-bula, erosi dan ulser yang
merupakan gambaran pada penyakit PV.
Autoantibodi patologik yang menyebabkan terjadinya PV adalah autoantibodi yang
melawan desmoglein 1 dan desmoglein 3, yang mana hal ini menyebabkan terjadinya
pembentukan bula. Pemeriksaan mikroskopi imunoelektron dapat menentukan lokasi antigen
pada desmosom untuk kedua PV dan pemifigus Foliaseus, yang lebih sering pada perlekatan
sel-sel pada epitel bertanduk.

Gambar 1. Adhesi sel epidermis

1.3 Gejala klinis


Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit
kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang
disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai pioderma pada kulit
kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder.
Semua selaput lender dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lender
konjungtiva, hidung, farings, larings, esophagus, uretra, vulva, dan serviks. Kebanyakan
penderita menderita stomatitis aftosa sebelum di diagnosis pasti ditegakkan. Lesi mulut ini
dapat meluas dan menggangu pada waktu penderita makan oleh karena rasa nyeri.
Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula
generalisata. Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit yang
terkelupas tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa
dan generalisata. Tanda Nikolski positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui
tanda tersebut ada dua yaitu dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit
tersebut akan terkelupas atau dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan
yang di dalamnya mengalami tekanan.
Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering mengeluh nyeri pada
kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut.

29
1.4 Histopatologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula Intraepidermal suprabasal dan sel-sel
epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan percobaan Tzanck
positif. Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan
diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop elektron dapat diketahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan
segmen interselular. Juga dapat dilihat perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai
peristiwa sekunder.

30
1.5 Imunologi
Pada tes imunofloresensi langsung didapatkan antibodi interselular tipe IgG dan C 3.
Pada tes imunofloresensi tidak langsuog didapatkan (antibodi pemfigus tipe IgG). Tes yang
pertama lebih terpercaya daripada tes kedua, karena telah menjadi positif pada permulaan
penyakit, sering sebelum tes kedua menjadi positif, dan tetap positif pada waktu yang lama
meskipun penyakitnya telah membaik.
1.6 Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis PV diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
lengkap. Lepuh dapt dijumpai pada berbagai penyakit sehingga dapat mempersulit dalam
penegakkan diagnosis. Perlu dilakukan pemeriksaan manual dermatologi untuk membuktikan
adanya tanda Nikolski yang menunjukkan adanya PV. Untuk mencari tanda ini, dokter akan
dengan lembut menggosok daerah kulit normal di dekat daerah yang melepuh dengan kapas
atau jari. Jika memiliki PV, lapisan atas kulit akan cenderung terkelupas. Tanda ini tampaknya
adalah patognomonik karena hanya ditemukan pada pemfigus dan Nekrolisis Epiderma
Toksik.
Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain :
1. Biopsi Kulit dan patologi anatomi
Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di
bawah mikroskop. Pasien yang akan di biopsi sebaiknya pada pinggir lesi yang masih
baru dan dekat dari kulit yang normal. Gambaran histopatologi utama adalah adanya
akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang lain
2. Imunofloresensi
2.1 Imunofloresensi langsung
Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan flouresens.
Pemeriksaan ini dinamakan direct immunoflourescence (DIF). DIF menunjukan
deposit antibodi imonureaktan lainnya secara in vivo, misalnya komplemen. DIF
biasanya menunjukan IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang di dalam
maupun sekitar lesi.
2.2 Imunofloresensi tidak langsung
Antibodi terhadap keratinosit dideteksi melalui serum pasien. Pemeriksaan ini
ditegakkan jika pemeriksaan imunofloresensi langsung dinyatakan positif. Serum
penderita mengandung autoantibodi IgG yang menempel pada epidermis dapat

31
dideteksi dengan pemeriksaan ini. Sekitar 80-90% hasil pemeriksaan ini dinyatakan
sebagai penderita PV.
1.7 Diagnosis banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa.
Dermatitis herpetiformis dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik,
keluhannya sangat gatal, fuam polimorf, dinding vesikel/bula tegang dan berkelompok, dan
mempunyai tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa,
keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata.
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemphigus vulgaris karena keadaan umumnya baik,
dinding bula tegang, letaknya disubepidermal, dan terdapat lgG linear.
1.8 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Kortikosteroid
yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison
bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada
pula yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasi dengan
adjuvant yang kuat yaitu sitostatik.
Sitostatik diberikan, bila :
- Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respons
- Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes mellitus, katarak, dan
osteoporosis
- Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan.
Obat sitostatik untuk pemphigus adalah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat,
danmikofenolat mofetil.
2. Non medikamentosa
Pada pemberian terapi dengan dosis optimal, tetapi pasien masih merasakan
gejala-gejala ringan dari penyakit ini. Maka perawatan luka yang baik adalah sangat
penting karena ia dapat memicu penyembuhan bula dan erosi. Pasien disarankan
mengurangi aktivitas agar resiko cedera pada kulit dan lapisan mukosa pada fase aktif
penyakit ini dapat berkurang. Aktivitas-aktivitas yang patut dikurangi adalah olahraga
makan dan minum yang dapat mengiritasi rongga mulut (makanan pedas, asam, keras,
dan renyah).
1.9 Prognosis

32
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita dalam
tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan ketidakseimbangan elektrolit.
Pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosisnya lebih baik.
2. PEMFIGUS ERITEMATOSA
2.1 Gejala Klinis
Keadaan umum penderita baik. Lesi mula-mula sedikit dan dapat berlangsung
berbulan-bulan, sering disertai remisi. Lesi kadang-kadang terdapat di mukosa. Kelainan kulit
berupa bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama dan krusta di muka menyerupai
kupu-kupu sehingga mirip lupus eritematosus dan dermatitis seboroika. Hubungannya dengan
lupus eritematosus juga terlihat pada pemeriksaan imunofloresensi langsung. Pada tes
tersebut didapati antibodi di interseluler dan juga di membrana basalis. Selain di muka, lesi
juga terdapat di tempat-tempat tersebut selain kelainan yang telah disebutkan juga terdapat
bula yang kendur. Penyakit ini dapat berubah menjadi pemfigus vulgaris atau foliaseus.1,3
2.2 Histopatologi
Gambaran histopatologiknya identik dengan pemfigus foliaseus. Pada lesi yang lama,
hiperkeratosis folikular, akantosis, dan diskeratosis stratum granulare tampak prominen.1
2.3 Diagnosis banding
Selain dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa, penyakit ini mirip lupus
eritematosus dan dermatitis seboroika. Pada lupus eritematosus, kecuali eritema dan skuama
juga terdapat atrofi, telangiektasia, sedangkan skuamanya lekat dengan kulit. Di samping itu
terdapat sumbatan keratin dan biasanya tidak ada bula.
2.4 Pengobatan
Pengobatannya dengan kortikosteroid seperti pada pemfigus vulgaris, hanya dosisnya
tidak setinggi seperti pada pengobatan pemfigus vulgaris. Kortikosteroid yang paling banyak
digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi bergantung pada
berat ringannya penyakit, Dosis patokan prednison 60 mg sehari.
2.5 Prognosis
Penyakit ini dianggap sebagai bentuk jinak pemfigus, karena itu prognosisnya lebih
baik daripada pemfigus vulgaris.
3. PEMFIGUS FOLIASEUS
3.1 Definisi
Pemfigus foliaseus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik dengan
karakteristik ada lesi krusta.
3.2 Gejala klinis

33
Umumnya terdapat pada orang dewasa, antara umur 40 - 50 tahun. Gejalanya tidak
seberat pemfigus vulgaris. Perjalanan penyakit kronik, remisi terjadi temporer. Penyakit
mulai dengan timbulnya vesikel/bula, skuama dan krusta dan sedikit eksudatif, kemudian
memecah dan meninggalkan erosi. Mula-mula dapat mengenai kepala yang berambut, muka,
dan dada bagian atas sehingga mirip dermatitis seboroika. Kemudian menjalar simetrik dan
mengenai seluruh tubuh setelah beberapa bulan. Yang khas ialah terdapatnya eritema yang
menyeluruh disertai banyak skuama yang kasar, sedangkan bula yang berdinding kendur
hanya sedikit, agak berbau. Lesi di mulut jarang terdapat.
3.3 Histopatologi
Terdapat akantolisis di epidermis bagian atas di stratum granulosum. Kemudian
terbentuk celah yang dapat menjadi bula, sering subkorneal dengan akantolisis sebagai dasar
dan atap bula tersebut.
3.4 Diagnosis banding
Karena terdapat eritema yang menyeluruh, penyakit ini mirip eritroderma.
Perbedaannya dengan eritroderma karena sebab lain, pada pemfigus foliaseus terdapat bula
dan tanda Nikolski positif. Kecuali itu pemeriksaan histopatologik juga berbeda.
3.5 Pengobatan
Pengobatannya dengan kortikosteroid, kortikosteroid yang paling banyak digunakan
ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi bergantung pada berat
ringannya penyakit, Dosis patokan prednison 60 mg sehari.
3.6 Prognosis
Hasil pengobatan dengan kortikosteroid tidak sebaik seperti pada tipe pemfigus yang
lain. Penyakit akan berlangsung kronik.
4. PEMFIGUS VEGETANS
4.1 Definisi
Pemfigus vegetans ialah varian jinak pemfigus vulgaris dan sangat jarang ditemukan.
4.2 Klasifikasi
Terdapat 2 tipe ialah :
1. Tipe Neumann
2. Tipe Hallopeau (pyodermite vegetante)
4.3 Gejala kinis
1. Tipe Neumann

34
Biasanya menyerupai pemfigus vulgaris, kecuali timbulnya pada usia lebih
muda. Tempat predileksi di muka, aksila, genitalia eksterna, dan daerah Intertrigo
yang lain.
Yang khas pada penyakit ini ialah terdapatnya bula-bula yang kendur, menjadi
erosi dan kemudian menjadi vegetatif dan proliferatif papilomatosa terutama di daerah
intertrigo. Lesi oral hampir selalu ditemukan. Perjalanan penyakitnya lebih lama
daripada pemfigus vulgaris, dapat terjadi lebih akut, dengan gambaran pemfigus
vulgaris lebih dominan dan dapat fatal.
Histopatologi Tipe Neumann
Lesi dini sama seperti pada pemfigus vulgaris, tetapi kemudian timbul
proliferasi papil-papil ke atas, pertumbuhan ke bawah epidermis, dan terdapat abses-
abses intraepidermal yang hampir seluruhnya berisi eosinofil.
2. Tipe Hallopeau
Perjalanan penyakit kronik, tetapi dapat seperti pemfigus vulgaris dan fatal.
Lesi primer ialah pustul-pustul yang bersatu, meluas ke perifer, menjadi vegetatif dan
menutupi daerah yang luas di aksila dan perineum. Di dalam mulut, dalam terlihat
gambaran yang khas ialah granulomatosis seperti beludru.
Histopatologi Tipe Hallopeau
Lesi permulaan sama dengan tipe Neumann, terdapat akantolisis suprabasal,
mengandung banyak eosinofil, dan terdapat hiperplasi epidermis dengan abses
eosinofilik pada lesi yang vegetatif. Pada keadaan lebih lanjut akan tampak
papilomatosis dan hiperkeratosis tanpa abses.

35
4.4 Pengobatan
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Kortikosteroid yang
paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi
bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari.
4.5 Prognosis
Tipe hallopeau, prognosisnya lebih baik karena berkecenderungan sembuh.

B. PEMFIGOID BULOSA
1. Definisi
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh
adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan
erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi
memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat
terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit atau di varian atipikal, di mana
bula biasanya tidak ada. Dalam kasus ini, penegakan diagnosis PB memerlukan tingkat
pemeriksaan yang tinggi untuk kepentingan pemberian pengobatan awal yang tepat. Antigen
target pada antibodi pasien yang menunjukkan dua komponen dari jungsional adhesi
kompleks-hemidesmosom ditemukan pada kulit dan mukosa.
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen
komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibody IgG
yang terikat pada basement membrane zone.
Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan
tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal." Antibodi
(imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen hemidesmosomal PB
dan ini menarik sel-sel peradangan (kemotaksis).
2. Epidemiologi
Sebagian besar pasien dengan Pemfigoid Bulosa berumur lebih dari 60 tahun .
Meskipun demikian, Pemfigoid Bulosa jarang terjadi pada anak-anak, dan laporan di sekitar
awal tahun 1970 (ketika penggunaan immunofluoresensi untuk diagnosis menjadi lebih luas)
adalah tidak akurat karena kemungkinan besar data tersebut memasukkan anak-anak dengan

36
penanda IgA, daripada IgG, di zona membran basal. Tidak ada predileksi etnis, ras, atau jenis
kelamin yang memiliki kecenderungan terkena penyakit Pemfigoid Bulosa. Insiden
Pemfigoid Bulosa diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman.
3. Etiologi
PB adalah contoh dari penyakit yang dimediasi imun yang dikaitkan dengan respon
humoral dan seluler yang ditandai oleh dua self-antigen: antigenPB 180 (PB180, PBAG2 atau
tipe kolagen XVII) dan antigen PB 230 (PB230atau PBAG1.
Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi
autoantibodi pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui. Sistem imun tubuh kita
menghasilkan antibodi untuk melawan bakteri, virus atau zat asing yang berpotensi
membahayakan. Untuk alasan yang tidak jelas, tubuh dapat menghasilkan antibodi untuk
suatu jaringan tertentu dalam tubuh. Dalam Pemfigoid Bulosa, sistem kekebalan
menghasilkan antibodi terhadap membran basal kulit, lapisan tipis dari serat menghubungkan
lapisan luar kulit (dermis) dan lapisan berikutnya dari kulit (epidermis). Antibodi ini memicu
aktivitas inflamasi yang menyebabkan kerusakan pada struktur kulit dan rasa gatal pada kulit.
4. Patogenesis
Pemfigoid Bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imunseluler dan
humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal.
Antigen P.B. merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal,
diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z. (basal membrane zone) epitel gepeng
berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan membrana basalis,
strukturnya berbeda dengan desmosom.
Terdapat 2 jenis antigen P.B. ialah yang dengan berat molekul 230 kD disebut PBAgl
(P.B. /Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih
banyak ditemukan daripada PB180.
Terbentuknya bula akibat komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik dan
alternatif kemudian akan dikeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi
pemisahan epidermis dan dermis.
Autoantibodi pada PB terutama IgG1, kadang-kadang IgA yang menyertai IgG.
Isotipe IgG yang utama ialah IgG1 dan IgG4, yang melekat pada kompelemen hanya IgG1.
Hampir 70% penderita mempunyai autoantibodi terhadap B.M.Z dalam serum dengan kadar
yang sesuai dengan keaktivasi penyakit, jadi berbeda dengan pemfigus.

37
Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigus bulosa
terjadi dalam lamina lucida, di antara membrane basalis dan lamina densa. Terbentuknya bula
pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya tarikan filament dan hemidesmosom.
Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibody terhadap antigen
Pemfigoid Bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik komplemen.
Aktifasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-
produk sel menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor
kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast mengakibatkan
pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel inflamasi dominan di membran
basal pada lesi Pemfigoid Bulosa, menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen
ekstraselular dari PBAG2, yang mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula
5. Diagnosa
1. Gambaran Klinis

Fase Non Bulosa

Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit non-


bulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai parah
atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau urtikaria, ekskoriasi yang
dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan. Gejala non-spesifik ini bisa
ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit.

Fase Bulosa

Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada kulit
normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama dengan urtikaria dan infiltrat
papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang,
diameter 1 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari,
meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola distribusi
simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan dan tungkai bawah, termasuk
perut. Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiper- dan hipopigmentasi serta,
yang lebih jarang, miliar. Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien.
Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang
terpengaruh. Pada sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia darah perifer.

38
Perjalanan penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita baik.
Penyakit PB dapat sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul lagi secara
sporadik, dapat generalisata atau tetap setempat sampai beberapa tahun. Rasa gatal
kadang dijumpai, walaupun jarang ada. Tanda Nikolsky tidak dijumpai karena tidak
ada proses akantolisis. Kebanyakan bula ruptur dalam waktu 1 minggu, tidak seperti
pemfigus vulgaris, ia tidak menyebar dan sembuh dengan cepat.

Lesi kulit

Eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula.
Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang
eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal
maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa
dan arciform.

Tempat Predileksi
Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah.

39
6. Histopatologi
Kelainan yang dini pada Pemfigoid Bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan
dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinophil.
7. Imunologi
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita
di B.M.Z. (Basement Membrane Zone).
Pewarnaan Immunofluorescence langsung (IF) menunjukkan IgG dan biasanya juga
C3, deposit dalam lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler dari epidermis
8. Diagnosis banding
Penyakit ini dibedakan dengan NacrumNhi vulgaris dan dermatitis herpetiformis.
Pemfigus vulgaris (PV), adalah sebuah penyakit autoimun yang serius,dengan bulla, dapat
bersifat akut ataupun kronis pada kulit dan membrane mukosa yang sering berakibat fatal
kecuali diterapi dengan agen imunosupresif. Penyakit ini adalah prototype dari keluarga /
golongan NacrumNhi, yang merupakan sekelompok penyakit bula autoimun akantolitik.
Gambaran lesi kulit pada NacrumNhi vulgaris didapatkan bula yang kendur di ataskulit
normal dan dapat pula erosi. Membran mukosa terlibat dalam sebagian besar kasus.
Distribusinya dapat dibagian mana saja pada tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat
gambaran akantolisis suprabasalis. Pada pemeriksaan imunopatologi, diperoleh IgG dengan
pola interseluler.
Pada dermatitis herpetiformis, sangat gatal, ruam yang utama ialah vesikel
berkelompok, terdapat IgA tersusun granular.

9. Pengobatan
Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam kombinasi dengan
agen lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau tetracycline.Obat-obat ini biasanya
dimulai secara bersamaan, mengikuti penurunan secara bertahap dari prednison dan agen

40
steroid setelah remisiklinis tercapai. Kasus ringan mungkin hanya memerlukan kortikosteroid
topikal. Methrotrexate mungkin digunakan pada pasien dengan penyakit berat yang tidak
dapat bertoleransi terhadap prednison. Dosis prednisolon 40-60 mgsehari, jika telah tampak
perbaikan dosis di turunkan perlahan-lahan. Sebagiankasus dapat disembuhkan dengan
kortikosteroid saja.
10. Prognosis
Kematian jarang dibandingkan dengan NacrumNhi vulgaris, dapat terjadi remisi
spontan.

C. DERMATITIS HERPETIFORMIS
1. Definisi
Dermatitis herpetiformis (D.H) adalah penyakit menahun dan residif, ruam bersifat
polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa
sangat gatal.
Empat temuan yang digunakan untuk mendukung diagnosis DH adalah papulovesikel
pruritus atau papula ekskoriasi pada permukaan ekstensor, infiltrasi netrofil pada papilla
dermis disertai formasi vesikel pada epidermal-dermal junction, deposisi granular IgA pada
papilla dermis pada kulit normal di sekitar lesi, respon kulit tetapi bukan penyakit kulit akibat
terapi Dapson.
2. Epidemiologi
Dermatitis herpetiformis biasanya terjadi pada penduduk Eropa Utara. Jarang terjadi
pada penduduk Afrika-Amerika dan Asia. Berdasarkan studi di Finlandia (1978), tingkat
prevalensi DH adalah 10,4/100.000 orang dan insidensi per tahun adalah 1,3/100.000 orang.
Onset penyakit ini terjadi sekitar umur 40 tahun, tapi dapat terjadi pada umur 2-90 tahun.
Anak-anak dan remaja jarang mendapat penyakit ini. DH lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan wanita. Rasio pria : wanita adalah 2:1. Pada anak-anak lebih sering terjadi pada
anak perempuan dibandingkan laki-laki. Dari 1979 sampai 1996, insidensi familial DH di
Finlandia dipelajari secara prospektif. DH didiagnosis pada 1018 pasien dan 10,5% pada satu
atau lebih keturunan pertama.
Pada tahun 1987, studi prevalensi DH di US hanya dilakukan di Utah dan prevalensi
yang ditemukan adalah 11,2/100.000 orang, menggambarkan lebih dominan terjadi pada
keturunan Eropa Utara. Insidensi selama tahun 1978 sampai 1987 adalah 0,98/100.000 orang
per tahun. Onset umur rata-rata pada laki-laki adalah 40,1 tahun dan wanita 36,2 tahun. Rasio
pria : wanita adalah 1,44:1. Pada studi banding lain di Utah, prevalensi DH lebih tinggi
didapatkan pada keturunan pertama yang diketahui pasien DH. Temuan ini berhubungan
dengan HLA yang mendukung predisposisi NacrumN terhadap sensitivitas gluten.

41
Prevalensi terjadinya dermatitis herpetiformis pada populasi bangsa Caucasian yaitu
10-39 per 100.000 orang. Dermatitis herpetiformis acr terjadi pada semua umur, tapi yang
tersering pada umur 30 40 tahun.
3. Etiologi
Etiologinya belum diketahui pasti. Di antara penderita DH, 77%-87% memiliki
antigen HLA B8 dan 90% memiliki antigen HLA DW3. Antigen permukaan ini ditandai oleh
gen yang terikat dekat gen respon imun sehingga terdapat peningkatan respon imun terhadap
berbagai antigen termasuk self. DH merupakan akibat dari respon imun yang terlalu aktif
terhadap antigen yang ada secara alamiah.
Petanda HLA ini dihubungkan dengan penyakit autoimun yang yang lain dan
merupakan petanda seorang pasien dengan respon imun berlebih terhadap beberapa antigen
dan dapat menjelaskan kompleks imun yang terjadi secara perlahan. DH lebih sering terjadi
pada anggota keluarga.
Gluten, merupakan protein yang terdapat pada gandum, seperti sereal, memprovokasi
terjadinya DH. Iodin oral juga memperberat penyakit ini.
4. Patogenesis
Pengetahuan yang ada saat ini tentang patogenesis DH didasarkan pada sejumlah
observasi klinis dan laboratorium. Sampai saat ini, sebuah model binatang dari gangguan ini
belum dikembangkan. Beberapa hal yang berkaitan dengan patogenesis DH adalah :
Hubungan genetik yang sangat kuat dengan HLA DQ * genotipe, 0501 A1 B1 *02 (yang
mengkode heterodimers HLA-DQ2) dan juga gen non-HLA yang tidak teridentifikasi.
Beberapa derajat gluten-sensitive enteropathy pada biopsi usus kecil di hampir semua
pasien, disertai dengan stimulasi sistem imun mukosa usus.
Deposit butiran IgA di dermis pars papilare kulit (ini sangat penting untuk diagnosis dan
terjadi pada tempat peradangan akhirnya).
Infiltrasi neutrofil di papilla dermis.
Perbaikan gejala yang sangat baik dengan terapi dapson dan memburuknyagejala dengan
konsumsi iodida anorganik.
Pada D.H. tidak ditemukan antibodiNIgA terhadap NpapilaN dermis yang
bersirkulasi dalam serum. Komplemen diaktifkan melalui jalur alternative. Fraksi aktif C5a
bersifat sangat kemotaktik terhadap N eosinofil.
Sebagai antigen mungkin ialah gluten, dan masuknya antigen mungkin di usus halus,
sel efektomya ialah NacrumNhil. Selain gluten juga yodium dapat mempengaruhi timbulnya

42
remisi dan eksaserbasi. Tentang hubungan kelainan di usus halus dan kelainan kulit belum
jelas diketahui.

Gandum diproses oleh enzim pencernaan menjadi peptide gliadin, yang kemudian
diangkut secara utuh melintasi epitel mukosa. Dalam lamina propria, jaringan
transglutaminase (TG2) melakukan deamidasi residu glutamin dalam peptida gliadin dan
menjadi kovalen cross-linked untuk peptida gliadin melalui obligasi isopeptidyl (terbentuk
antara glutamin-gliadin dan residu lisin TG2). Sel Thelper (CD4+) dalam lamina propria
mengenali peptida gliadin deamidasi dibawaoleh molekul HLA-DQ2 atau -DQ8 pada
antigen-presenting sel, yangmengakibatkan diproduksinya sitokin Th1 dan matrix
metaloproteinase yangmenyebabkan kerusakan sel epitel mukosa dan remodeling jaringan.
Selain itu, selB TG2-spesifik mengambil kompleks TG2-gliadin dan mempresentasikan pada
selT helper gliadin-spesifik, yang merangsang sel B untuk memproduksi IgA anti-TG2. IgA
anti-TG2 yang melintas dalam sirkulasi bereaksi dengantransglutaminase epidermis (TG3)
dan membentuk kompleks imun. Deposisi kompleks imun IgA-TG3 di papila dermis kulit
menyebabkan kemotaksis neutrofil, pembelahan proteolitik dari lamina lucida, dan timbulnya
lesi subepidermal.
5. Gejala klinis
D.H. mengenai anak dan dewasa. Perbandingan pria dan wanita 3:2, terbanyak pada
umur dekade ketiga. Mulainya penyakit biasanya perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan
residif Biasaya berlangsung seumur hidup, remisi sponta terjadi pada 10 15% kasus.

43
Keadaan umum penderita baik. Keluhannya sangat gatal. Tempat predileksinya ialah
di punggung, daerah sacrum, bokong, daerah ekstensor di lengan atas, sekitar siku, dan lutut.
Ruam berupa eritema, papulovesikel, dan vesikel/bula yang berkelompok dan sistemik.
Kelainan yang utama ialah vesikel, oleh karena itu disebut herpetiformis yang berarti
seperti herpes zoster Vesikel-vesikel tersebut dapat tersusun arsinar atau sirsinar. Dinding
vesikel atau bula tegang.

6 Kelainan intestinal
Pada lebih dari 90% kasus D.H didapati spectrum histopatologik yang menunjukan
enteropati sensitive terhadap gluten pada jejunum dan ileum. Kelainan yang didapat
bervariasi dari infitrat mononuclear ( limfosit dan sel plasma) di lamina propia dengan atrofi
vili yang minimal hingga sel-sel epitel mukosa usus halus yang mendatar. Sejumlah 1/3 kasus
disertai steatore. Dengan diet bebas gluten kelainan tersebut akan membaik.
7. Histopatologi
Terdapat kumpulan neutrofil di papil dermal yang membentuk mikroabses neutrofilik.
Kemudian terbentuk edema papilar, celah subepidermal, dan vesikel multiokular dan
subepidermal. Terdapat pula eosinofil pada infiltrat dermal, juga di cairan vesikel.

8. Diagnosis banding
D.H. dibedakan dengan pemfigus vulgaris V (P.V.), pemfigoid bulosa, dan Chronic
Bulous Diseases of Childhood (C.B.D.C.).
Pada P.V. keadaan umumnya buruk, tak gatal, kelainan utama ialah bula yang
berdinding kendur, generalisata, dan eritema bisa terdapat atau tidak. Pada gambaran

44
histopatologik terdapat akantolisis, letak vesikel intraepidermal. Terdapat IgG di stratum
spinosum.
P.B. berbeda dengan D.H. karena ruam yang utama ialah bula, tak begitu gatal, dan
pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat IgG tersusun seperti pita di subepidermal.
C.B.D.C. terdapat pada anak, kelainan utama ialah bula, tak begitu gatal, eritema
tidak selalu ada, dan dapat berkelompok atau tidak. Terdapat IgA yang linear.
9. Pengobatan
Terapi yang utama pada pasien DH adalah dengan diet bebas gluten. Ini melibatkan
penghapusan gandum dan makanan yang terbuat dari biji-bijian dari diet pasien DH.
Mungkin diperlukan dua atau lebih tahun untuk deposit IgA bawah kulit untuk benar-benar
jelas.
Diet gluten-free (GF) adalah komitmen seumur hidup dan tidak boleh dimulai
sebelum ada diagnosis pasti DH. Memulai diet tanpa pemeriksaan lengkap tidak
disarankan dan kemudian membuat diagnosis sulit. Tes untuk mengkonfirmasi DH bisa
negatif jika seseorang berada di diet GF untuk jangka waktu tertentu. Untuk diagnosis yang
valid, gluten perlu dikonsumsi kembali oleh pasien selama beberapa minggu sebelum
pemeriksaan lengkap. DH adalah suatu penyakit keturunan autoimun sehingga konfirmasi
DH akan membantu generasi mendatang sadar akan risiko dalam keluarga.
Obat pilihan untuk DH ialah preparat sulfon, yakni DDS (diaminodifenilsulfon).
Pilihan kedua yakni sulfapiridin.
Dapsone
Dosis DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari. Jika ada perbaikan akan
tampak dalam 3-4 hari. Bila belum ada perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Efek
sampingnya ialah agranulositosis, anemia hemolitik, dan methemoglobinemia.
Kecuali itu juga neuritis perifer dan bersifat hepatotoksik. Dengan dosis 100 mg
sehari umumnya tidak ada efek samping. Yang harus diperiksa adalah kadar Hb,
jumlah leukosit, dan hitung jenis, sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika
klinis menunjukkan tanda-tanda anemia atau sianosis segera dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Jika terdapat defisiensi G6PD, maka merupakan
kontraindikasi karena dapat terjadi anemia hemolitik. Bila telah sembuh dosis
diturunkan perlahan-lahan setiap minggu hingga 50 mg sehari, kemudian 2 hari
sekali, lalu menjadi seminggu 1x.
Sulfapiridin

45
Sulfapiridin sukar didapat karena jarang diproduksi sebab efek toksiknya lebih
banyak dibandingkan dengan preparat sulfa yang lain. Obat tersebut kemungkinan
akan menyebabkan terjadinya nefrolithiasis karena sukar larut dalam air. Efek
samping hematologic seperti pada dapson, hanya lebih ringan. Khasiatnya kurang
dibandingkan dapson. Dosisnya antara 1-4 gram sehari.
10. Prognosis
Sebagian besar penderita akan mengalami D.H. yang kronis dan residif.

D. CHRONIC BULLOUS DISEASE OF CHILDHOOD


1 . Definisi
Selain pemfigoid bulosa dan dermatitis hepetiformis rupanya ada bentuk peralihan
antara keduanya yang disebut dermatosis linear IgA. Umumnya penyakit ini terdapat pada
anak dan disebut C.B.D.C oleh karena itu istiah tersebut dipakai sebagai judul.
C.B.D.C. ialah dermatosis autoimun yang biasanya mengenai anak usia kurang dari 5
tahun ditandai dengan adanya bula dan terdapatnya deposit IgA linear yang homogen pada
epidermal basement membrane.
2. Etiologi
Belum diketahui pasti. Sebagai pencetus ialah infeksi dan antibiotik, yang sering ialah
penisilin.
3. Gejala klinis
Penyakit mulai pada usia sebelum sekolah, rata-rata berumur 4 tahun. Keadaan umum
tidak begitu gatal. Mulai penyakitnya dapat mengalami remisi dan eksaserbasi. Kelainan kulit
berupa vesikel atau bula, terutama bula, berdinding tegang di atas normal atau eritematosa,
cenderung bergerombol dan generalisata. Lesi tersebut sering tersusun anular disebut sluster
jewels configuration. Mukosa dapat dikenali. Umumnya tidak didapati enteropati seperti pada
dermatitis herpetiformis.

4. Diagnosis Banding
Sebagai diagnosis banding ialah dermatitis herpetiformis (D.H.) dan pemfigoid
bulosa. Pada D.H. penyakit berlangsung sehingga dewasa jarang pada umur sebelum 10
tahun. Lesi yang utama ialah vesikel, sangat gatal dan didapati IgA berbentuk granular serta

46
biasanya didapati enteropati. Mulainya penyakit pada C.B.D.C. lebih mendadak daripada
D.H., biasanya tidak terdapat H.L.A.-B8. Mengenai pengobatan, pada D.H. memberi respons
dengan sulfon, sedangkan CBDC dapat memberi respon atau tidak sama sekali
5. Pengobatan
Biasanya memberi respons yang cepat (dengan sulfonamida, yakni dengan
sulfapiridin, A dosisnya 150 mg per kg berat badan sehari. Dapat pula dengan DOS atau
kortikosteroid atau kombinasi. Diet bebas gluten seperti pada D.H. tidak perlu.

E. PEMFIGOID SIKATRISIAL
1. Definisi
Pemfigoid sikatrisial (P.S.) ialah dermatosis autoimun bulosa kronik yang terutama
ditandai oleh adanya bula yang menjadi sikatriks terutama dimukosa mulut dan konjungtiva.
2. Epidemiologi
Penyakit ini jarang ditemukan.
3. Gejala klinis
Keadaan umum penderita baik. Berbeda lengan pemfigoid bulosa, P.S. jarang
mengalami remisi. Kelainan mukosa yang tersering ialah mulut (90%), disusul oleh
konjungtiva (66%), dapat juga di mukosa lain, misalnya hidung, farings, tarings, esofagus,
dan genitalia. Permulaan penyakit mengenai mukosa bukal dan gingiva, palatum mole dan
durum biasanya juga terkena, kadang-kadang lidah, uvula, tonsil, dan bibir ikut terserang.
Bula umumnya tegang, lesi biasanya terlihat sebagai erosi. Lesi di mulut jarang meng-ganggu
penderita makan.
Simtom okular meliputi rasa terbakar, air mata yang berlebihan, fotofobia, dan sekret
yang mukoid. Kelainan mata ini dapat diikuti simblefaron, dan berakhir dengan kebutaan
disebabkan oleh kekeruhan kornea akibat kekeringan, pembentukan jaringan parut oleh
trikiasis, atau vaskularisasi epitel kornea.
Mukosa hidung dapat terkena dan dapat mengakibatkan obstruksi nasal. Jika farings
terkena, dapat terjadi pembentukan jaringan parut dan stenosis tarings. Esofagus jarang
terkena, pernah dilaporkan terjadinya adesi dan penyempitan yang memerlukan dilatasi. Lesi
di vulva dan penis biasanya berupa bula atau erosi, sehingga dapat mengganggu aktivitas
seksual. Kelainan kulit dapat ditemukan pada 10 -30% penderita, berupa bula tegang di
daerah inguinal dan ekstremitas, dapat pula generalisata. Jarang sekali timbul kelainan tanpa
disertai lesi di membran mukosa.
5. Diagnosis banding

47
Pada permulaan perjalanan penyakit, P.S. dibedakan dengan pemfigus vulgaris, liken
planus oral, eritema multiforme, penyakit Behcet, dan ginggivitis deskuamativa. Bila terdapat
manifestasi alat lainnya, seperti kelainan mata, maka diagnosisnya tidak sulit. Pemeriksaan
imunofluoresensi dari lesi di mulut dapat menyokong diagnosis.
6. Pengobatan
Hasil pengobatan penyakit ini kurang memuaskan. Kortikosteroid sistemik mungkin
merupakan obat terbaik, dengan prednison dosisnya 60 mg.Oleh karena terbentuk jaringan
parut dan sekuele lainnya, steroid sistemik untuk jangka waktu yang lama mungkin
mempunyai alasan yang tepat, meskipun ada efek sampingnya.Obat imunosupresif, termasuk
metotreksat, siklofos-famid, dan azatioprin pernah dicoba, hasiinya menguntungkan pada
sebagian penderita, se-dangkan pada sebagian penderita yang lain hanya memperiihatkan
sedikit kemajuan.

F. PEMFIGOID GESTATIONIS
1. Definisi
Pemfigoid getationis (P.G.), adalah dermatosis autoimun dengan ruam polimorf yang
berkelompok dan gatal, timbul pada masa kehamilan, dan masa pascapartus.
2. Etiologi
Etiologinya ialah autoimun. Sering bergabung dengan penyakit autoimun yang lain,
misalnya penyakit Grave, vitiligo, dan alopesia areata.

3 Epidemiologi
Hanya terdapat pada wanita pada masa subur. Insidensnya menurut Kolodny, 1 kasus
per 10.000 kelahiran.
4 Gejala klinis
Gejala prodromal, kalau ada, berupa demam malese, mual, nyeri kepala, dan rasa
panas dingin silih berganti. Beberapa hari sebelum timbul erupsi dapat didahului dengan
perasaan sangat gatal seperti terbakar.
Biasanya tertihat banyak papulo-vesikel yang sangat gatal dan berkelompok. Lesinya
polimorf terdiri atas eritema, edema, papul, dan bula tegang. Bentuk intermediate juga dapat
ditemukan, misalnya vesikel yang kecil, plakat mirip urtika, vesikel berkelompok, erosi. dan
krusta. Kasus yang berat menunjukkan semua unsur polimorf, tetapi terdapat pula kasus yang

48
ringan yang hanya terdiri atas beberapa papul eritematosa, plakat yang edematosa, disertai
gatal ringan.
Tempat predileksi pada abdomen dan ekstremitas, termasuk telapak tangan dan kaki
dapat pula mengenai seluruh tubuh dan tidak si metrik. Selaput lendir jarang sekali terkena.
Erupsi sering disertai edema di muka dan tungkai. Kalau melepuh pecah, maka lesi akan
menjadi lebih merah; dan terdapat ekskoriasi dan krusta. Sering pula diikuti radang oleh
kuman. Jika lesi sembuh akan meninggalkan hiperpigmentasi, tetapi kalau ekskoriasinya
dalam akan meninggalkan jaringan parut. Kuku kaki dan tangan akan mengalami lekukan
melintang sesuai waktu terjadinya eksaserbasi. Kadang-kadang didapati leukositosis dan
eosinofilia sampai 50%.

5. Pengobatan
Tujuan pengobatan ialah menekan terjadi nya bula dan mengurangi gatal yang timbul.
Hal ini dapat dicapai dengan pemberian prednison 20 - 40 mg per hari dalam dosis terbagi
rata.
Takaran ini perlu dinaikkan atau diturunkan sesuai dengan keadaan penyakit yang
meningkat pada waktu melahirkan dan haid, dan akan menurun pada waktu nifas.1
6. Prognosis
Komplikasi yang timbul pada ibu hanyalah rasa gatal dan infeksi sekunder. Kelahiran
mati dan kurang umur akan meningkat. Jika penyakit timbul pada masa akhir kehamilan
maka akan lama sembuh dan seringkali timbul pada kehamilan berikutnya

49
DERMATOSIS ERITROSKUAMOSA

Dermatosis eritroskuamosa merupakan penyakit kulit yang ditandai terutama oleh


adanya eritema dan skuama. Eritema merupakan kelainan pada kulit berupa kemerahan yang
disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah kapiler yang bersifat reversibel. Skuama
merupakan lapisan dari stratum korneum yang terlepas dari kulit. Maka, kelainan kulit yang
terutama terdapat pada dermatosis eritroskuamosa adalah berupa kemerahan dan
sisik/terkelupasnya kulit.
Dermatosis eritroskuamosa terdiri dari beberapa penyakit kulit yang digolongkan di
dalamnya, antara lain: psoriasis, parapsoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, dan
eritroderma.

A. PSORIASIS
Definisi
Psoriasis ialah sejenis penyakit kulit yang penderitanya mengalami proses pergantian
kulit yang terlalu cepat. Kemunculan penyakit ini terkadang untuk jangka waktu lama dan
berulang (kronik residif), penyakit ini secara klinis sifatnya tidak mengancam jiwa, tidak
menular tetapi karena timbulnya dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup serta menggangu kekuatan mental seseorang bila tidak dirawat
dengan baik.
Berbeda dengan pergantian kulit pada manusia normal yang biasanya berlangsung
selama tiga sampai empat minggu, proses pergantian kulit pada penderita psoriasis
berlangsung secara cepat yaitu sekitar 24 hari, (bahkan bisa terjadi lebih cepat) pergantian
sel kulit yang banyak dan menebal.
Sampai saat ini penyakit Psoriasis belum diketahui penyebabnya secara pasti,
sehingga belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan secara total penyakit ini.
Epidemiologi
Psoriasis dapat dijumpai di seluruh belahan dunia dengan angka kesakitan (insiden
rate) yang berbeda. Pada orang kulit putih lebih tinggi dibanding kulit berwarna. Sedangkan
dari segi umur, Psoriasis dapat mengenai semua usia, namun biasanya lebih kerap dijumpai

50
pada dewasa.
Etiologi
Penyebab Psoriasis hingga kini belum diketahui secara pasti. Diduga beberapa faktor
sebagai pencetus timbulnya Psoriasis, antara lain:
Faktor herediter (genetik).
Disebutkan bahwa seseorang beresiko menderita Psoriasis sekitar 34-39% jika salah
satu orang tuanya menderita Psoriasis, dan sekitar 12% jika kedua orang tuanya tidak
menderita Psoriasis.
Faktor psikis.
Sebagian penderita diduga mengalami Psoriasis karena dipicu oleh faktor psikis.
Sedangkan stress, gelisah, cemas dan gangguan emosi lainnya berperan menimbulkan
kekambuhan. Padahal penderita Psoriasis pada umumnya stress lantaran melihat bercak di
kulitnya yang tak kunjung hilang.
Faktor infeksi fokal.
Beberapa infeksi menahun (kronis) diduga berperan pada timbulnya Psoriasis.
Penyakit metabolik (misalnya diabetus melitus laten).
Faktor cuaca.
Pada beberapa penderita mempunyai kecenderungan membaik saat musim panas dan
kambuh pada musim hujan.
Silang pendapat seputar faktor-faktor pemicu timbulnya Psoriasis masih berlangsung.
Karenanya tak perlu heran jika kita mendengar berbagai perbedaan terkait pencetus Psoriasis.
Gambaran klinis
Pada tahap permulaan, mirip dengan penyakit-penyakit kulit dermatosis
eritroskuamosa (penyakit kulit yang memberikan gambaran bercak merah bersisik). Namun
gambaran klinis akan makin jelas seiring dengan waktu lantaran penyakit ini bersifat
menahun (kronis).
Gejala-gejala Psoriasis adalah sebagai berikut, awalnya, psoriasis ditandai dengan
bercak merah, kadang gatal, berbatas jelas yang tiba-tiba muncul di kulit, terutama di siku,
lutut, daerah tulang ekor (lumbosakral), kepala dan daerah genital. Di permukaan bercak
terdapat sisik (skuama) berwarna putih mirip mika atau putih keperakan, kering, berlapis,
kasar dan transparan.
Selanjutnya, bercak merah membesar, dan beberapa bercak bergabung membentuk
bercak yang lebih lebar. Bercak pada umumnya berbentuk bulat atau oval, berukuran satu

51
hingga beberapa sentimeter dan menetap dalam waktu yang lama. Selain di kulit, psoriasis
dapat mengenai kuku dan sendi (jarang).
Berdasarkan bentuk klinis, psoriasis dibedakan menjadi beberapa macam, yakni:
1. Psoriasis vulgaris
Bentuk ini ialah yang lazim ditemukan, karena itu disebut vulgaris. Dinamakan juga tipe
plak karena lesinya pada umumnya berbentuk plak. Tempat predileksinya seperti yang
telah diterangkan di atas.
2. Psoriasis pustulosa
Ada 2 pendapat mengenai psoriasis jenis ini, pertama dianggap sebagai penyakit
tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa,
bentuk lokalisata dan generalisata. Bentuk lokalisata, contohnya psoriasis pustulosa
palmo-plantar (Barber). Sedangkan bentuk generalisata, contohnya psoriasis pustulosa
generalisata akut (von Zumbusch).
a. Psoriasis pustulosa palmo-plantar (Barber)
Penyakit ini bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan atau telapak
kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-kelompok pustul kecil steril dan
dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai rasa gatal.
b. Psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch)
Sebagai faktor provokatif banyak, misalnya obat yang tersering karena
penghentian kortikosteroid sistemik. Obat lain contohnya, penisilin dan derivatnya
(ampisilin dan amoksisilin) serta antibiotik betalaktam yang lain, hidroklorokuin,
kalium jodida, morfin, sulfapiridin, sulfonamida, kodein, fenilbutason dan salisilat.
Faktor lain selain obat, ialah hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional,
serta infeksi bakterial dan virus.
Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang sedang atau telah menderita
psoriasis. Dapat pula muncul pada penderita yang belum pernah menderita psoriasis.
Gejala awalnya ialah kulit yang nyeri, hiperalgesia disertai gejala umum
berupa demam, malaise, nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada makin
eritematosa. Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan eritematosa
pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam timbul banyak pustul milier pada plak-
plak tersebut. Dalam sehari pustul-pustul berkonfluensi membentuk lake of pus
berukuran beberapa cm.
Kelainan-kelainan semacam itu akan berlangsung terus menerus dan dapat
menjadi eritroderma. Pemeriksaan laboratorium menunjukan leukositosis (dapat

52
mencapai 20.000/l), kultur pus dari pustul steril.
3. Psoriasis arthritis
Timbul dengan peradangan sendi, sehingga sendi terasa nyeri, membengkak dan kaku,
sama persis seperti gejala rematik. Pada tahap ini, penderita harus segera ditolong agar
sendi-sendinya tidak sampai terjadi keropos.
4. Psoriasis gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbul mendadak dan diseminata,
umumnya setelah infeksi streptococcus di saluran napas bagian atas sehabis influenza
atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu juga dapat timbul setelah
infeksi yang lain, baik bakterial maupun viral.
5. Psoriasis inversa
Disebut juga psoriasis fleksural karena mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor
sesuai dengan namanya.
6. Psoriasis eritroderma
Dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri
yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat
eritema dan skuama tebal universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-
samar, yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi.
Penatalaksanaan
Mengingat bahwa hingga kini belum dapat diberikan pengobatan kausal
(menghilangkan penyebabnya), maka pengobatan yang dilakukan adalah upaya untuk
meminimalisir keluhan, yakni:
1. Menekan atau menghilangkan faktor pencetus (stress, infeksi fokal, menghindari gesekan
mekanik, dll).
2. Mengobati bercak-bercak psoriasis.
Pengobatan topikal (obat luar: salep, krim, pasta, larutan) merupakan pilihan utama
untuk pengobatan psoriasis. Obat-obat yang lazim digunakan, antara lain:
Kortikosteroid (misalnya: triamsinolon asetonid, fluosinolon asetonid, betamethason
valerat, betamethason benzoat), Ter (misalnya, LCD 2-5%), antralin 0,1-0,8%,
Kalsipotriol, dll. Selain itu, pada beberapa penderita tertentu dilakukan pengobatan
penyinaran dengan ultraviolet.
Pengobatan sistemik (obat minum, suntikan). Cara ini dilakukan dengan berbagai
pertimbangan karena adanya kemungkinan efek samping yang ditimbulkannya pada
pemakaian jangka panjang. Obat-obat yang biasa digunakan diantaranya:

53
kortikosteroid, metotreksat (MTX), retinoid, siklosporin.
Pengobatan kombinasi, cara ini meliputi: kombinasi psoralen dengan penyinaran
ultraviolet (PUVA), kombinasi obat topikal dan sistemik.

Prognosis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini bersifat kronik
residif. Belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan secara total karena penyebab pasti
psoriasis belum diketahui. Namun, psoriasis dapat dikendalikan agar tidak mudah kambuh
dengan cara menghindari faktor-faktor pencetusnya.

B. PARAPSORIASIS
Definisi
Parapsoriasis adalah suatu kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema dan
skuama, pada umumnya tanpa keluhan dan berkembang secara perlahan-lahan dan kronik.
Tahun 1902, Brocq pertama kali menggambarkan 3 tanda utama yaitu Pityriasis lichenoides
(akut dan kronik), Parapsoriasis plak yang kecil dan Parapsoriasis plak yang luas
(parapsoriasis dan plak).
Pada umumnya parapsoriasis dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
Parapsoriasis gutata
Parapsoriasis variegata
Parapsoriasis en plaques
Parapsoriasis menggambarkan kelompok penyakit yang sulit dipahami dan dibedakan
gambaran klinisnya. Ada 2 bentuk umum: tipe plak kecil, yang biasanya bersifat ringan dan
tipe plak besar yang merupakan precursor dari cutaneous T-cell lymphoma (CTCL). Beberapa
pasien dengan parapsoriasis tipe plak kecil akhirnya berkembang menjadi CTCL.
Epidemiologi
Tidak ada data statistik tentang insiden dan frekuensi parapsoriasis. Pasien dengan
parapsoriasis plak besar bisa tidak diketahui bila terjadinya secara asimptomatik. Insiden
parapsoriasis bisa lebih besar dari insiden MF yang dilaporkan, yang mana kasusnya paling
banyak 3 kasus per juta populasi per tahun. Kematian telah dilaporkan pada parapsoriasis.
Morbiditas dibatasi dengan gejala yang masih minimal, untuk parasporiasis plak besar,
mortalitas bisa dihubungkan dengan progresifitas CTCL. Tahap patch MF bisa di dapat pada
tahap awal CTCL, dan harapan hidup selama 5 tahun lebih 90%. Harapan hidup jangka
panjang tidak berbeda dari populasi yang terkontrol.

54
Gambaran penyakit ini jarang terjadi pada orang kulit hitam. Distribusi geografi
berbeda. Hal ini umum terjadi pada bagian selatan daripada bagian utara Inggris dan jarang
ditemukan di Amerika. Psoriasis plak kecil banyak terdapat pada laki-laki. Rasio laki-laki
dengan perempuan 3:1. Untuk kedua parapsoriasis, kebanyakan terjadi pada umur
pertengahan, insiden puncaknya pada dekade kelima kehidupan.
Patogenesis
Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, pada
umumnya tanpa keluhan(kadang-kadang gatal ringan), perjalanannya perlahan-lahan dan
menahun. Namun, penyakit ini mempunyai tahap yang berbeda pada gangguan
lymphoproliferative yang berlanjut dari kronik dermatitis ke cutaneous T-cell lymphoma
(CTCL).
Parapsoriasis plak kecil merupakan proses reaktif dari sebagian besar sel T CD4+.
Pola genotip diobservasi pada parapsoriasis plak kecil sama dengan yang diobservasi pada
dermatitis kronik dan pola klonalitas sel T sama dengan respon sel T subset spesifik yang
telah distimulasi oleh antigen. Klone multiple dominant dapat dideteksi oleh reaksi rantai
polymerase (PCR) dari penggunaan gen reseptor sel-T, yang mendukung proses reaktif.
Limfosit tidak menunjukkan gambaran khas histologis untuk memperkirakan perubahan
terjadinya keganasan. Beberapa ahli percaya bahwa parapsoriasis plak kecil merupakan
lymphoma sel-T yang hancur; bagaimanapun, sampai saat ini belum ada bukti yang jelas,
seperti perubahan genetik (contohnya, mutasi TP53) yang diobservasi pada keganasan yang
lain yang terdapat untuk mendukung hal ini. Namun, pencarian untuk memverifikasi
hipotesis ini adalah identifikasi terbaru dari peningkatan aktivitas telomerase pada sel T dari
CTCL stadium awal, lymphoma stadium lanjut dan pada parapsoriasis, yang mana
aktivitasnya tidak terdapat pada sel-T normal.
Parapsoriasis plak besar merupakan gangguan inflamasi kronik, dan patofisiologinya
telah dispekulasi menjadi stimulasi antigen jangka panjang. Gangguan ini dihubungkan
dengan penggandaan sel-T dominan, salah satunya bisa terdapat diatas 50% dari infiltrasi sel-
T. Jika gambaran histologisnya benigna tanpa atipikal limfosit, klasifikasi dari parapsoriasis
plak besar dibuat. Jika terdapat atipikal limfosit, maka pasien bisa diklasifikasikan sebagai
CTCL tahap patch.
Gambaran klinis
Parapsoriasis Gutata
Lesi dari parapsoriasis gutata adalah makulopapul yang mirip dengan psoriasis gutata,

55
dengan skuama berwarna keabu-abuan. Tidak seperti psoriasis, parapsoriasis gutata tidak
berespon terhadap terapi antipsoriatik. Lesi muncul terutama pada badan, terjadi pada
umur berapa saja dan kedua jenis kelamin, dan bersifat kronik (bertahan sampai bulan
hingga tahun).
Parapsoriasis Likenoid
Parapsoriasis likenoid digambarkan dengan eritem, skuama, papul likenoid, terutama
pada badan, yang cenderung bergabung dan membentuk retiform appearance. Erupsi
lebih menyeluruh dibanding pada parapsoriasis gutata dan menyerang leher, badan, dan
lengan. Biasanya tidak terdapat pruritus, dan tidak mempengaruhi kesehatan pasien secara
umum.
Parapsoriasis en Plaque
Lesi dari parapsoriasis en plaque biasanya lebih besar dari parapsoriasis gutata atau
parapsoriasis likenoid. Lesinya rata dibandingkan psoriasis dan mungkin berhubungan
dengan poikiloderma pada tempat lain. Plak mencakup warna merah kekuningan sampai
kecoklatan dengan skuama yang berbatas tegas, dan terjadi biasanya terutama pada
badan, gluteus, dan paha.
Pemeriksaan Penunjang
Histopatologis parapsoriasis plak kecil menunjukkan infiltrat limfosit perivaskular
superfisial ringan dengan infiltrat inflamasi nonspesifik sel-T CD4+ dan CD8+.
Bagaimanapun, sebagian besar sel merupakan CD4+. Pada epidermis bisa menunjukkan
spongiosis ringan, hiperkeratosis fokal, krusta, parakeratosis dan eksositosis. Selalunya
polanya tidak terdiagnosis dan tidak spesifik. Limfositnya kecil dan tidak menunjukkan
gambaran atipikal.
Parapsoriasis plak besar, infiltrat inflamasi dermal superfisial sebagian besar adalah
limfosit. Beberapa limfosit junction epidermal-dermal dan limfosit tunggal dapat diobservasi
pada epidermis. Limfosit biasanya kecil dan tidak menunjukkan nuclei yang atipikal.
Pembuluh darah melebar, dan terdapat melanophages. Epidermis menunjukkan pendataran
rete ridges ketika terjadi atropi epidermal yang menonjol pada uji klinis. Terdapat achantosis
dari epidermis dan hiperkeratosis irregular dari lapisan cornified. Pada parapsoriasis plak
kecil tidak terdapat spongiosis.
Penatalaksanaan
Penyinaran dengan lampu ultraviolet merupakan terapi yang paling sering
mendatangkan banyak manfaat dan dapat membersihkan sementara ataupun menetap, atau

56
bahkan hanya meninggalkan scar yang minimal. Penyakit ini juga dapat membaik dengan
pemberian kortikosteroid topikal seperti yang digunakan pada pengobatan psoriasis.
Meskipun demikian hasilnya bersifat sementara dan sering kambuh. Obat yang digunakan
diantaranya : kalsiferol, preparat ter, obat antimalaria, derivat sulfon, obat sitostatik, dan
vitamin E.
Adapun pengobatan parapsoriasis gutata akut dengan eritromisin (40 mg/kg berat
badan) dengan hasil baik juga dengan tetrasiklin. Keduanya mempunyai efek menghambat
kemotaksis neutrofil.
Diagnosis banding
Sebagai diagnosis banding adalah ptiriasis rosea dan psoriasis. Psoriasis berbeda
dengan parapsoriasis, karena pada psoriasis skuamanya tebal,kasar, berlapis-lapis, dan
terdapat fenomena tetesan lilin dan Auspitz. Selain itu gambaran histopatologiknya berbeda.
Ruam pada pitiriasis rosea juga terdiri atas eritema dan skuama, tetapi perjalanannya
tidak menahun seperti pada parapsoriasis. Perbedaan lain adalah pada pitiriasis rosea susunan
ruam sejajar dengan lipatan kulit dan kosta. Pitiriasis rosea ditandai dengan suatu lesi yang
berukuran 2-10 cm. Biasanya pitiriasis rosea berawal sebagai suatu bercak tunggal dengan
ukuran yang lebih besar, yang disebut herald patch atau mother patch. Beberapa hari
kemudian akan muncul bercak lainnya yang lebih kecil. Bercak sekunder ini paling banyak
ditemukan di batang tubuh, terutama di sepanjang tulang belakang dan penyebabnya tidak
diketahui.
Komplikasi
Perkembangan dari dermatitis kontak berhubungan dengan penggunaan agen
kemoterapi. Mortalitas belum pernah dilaporkan pada small plaque parapsoriasis. morbiditas
terbatas pada gejala, yang hanya berefek minimal. Untuk large plaque parapsoriasis,
mortalitas mungkin berubungan dengan progresi ke MF (CTCL). Pada tingkatan tertentu dari
MF menunjukkan stage awal dari CTCL, dan tingkat survive lebih dari 90%.
Prognosis
Parapsoriasis secara khusus memiliki perjalanan penyakit yang kronik dan lama, kecuali
parapsoriasis en plaque yang berpotensi untuk menjadi mikosis fungoides, yang berpotensi
lebih fatal.

C. DERMATITIS SEBOROIK
Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengenai daerah
kepala dan badan di mana terdapat glandula sebasea. Prevalensi dermatitis seboroik

57
sebanyak 1% - 5% populasi. Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ini
dapat mengenai bayi sampai dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi terjadi pada usia 3
bulan sedangkan pada dewasa pada usia 30-60 tahun.
Dermatitis seboroik dan Pityriasis capitis (cradle cap) sering terjadi pada masa kanak-
kanak. Berdasarkan hasil suatu survey terhadap 1116 anak-anak yang mencakup semua umur
didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki dan 9,5% pada
anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada anak usia tiga bulan, semakin bertambah umur
anaknya prevalensinya semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak ini menderita
dermatitis seboroik ringan.
Secara internasional frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan bentuk
ringan dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15 - 20% populasi.
Definisi
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh
berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial, didasari
oleh faktor konstitusi.
Etiologi
Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai macam
faktor seperti faktor hormonal, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor neurogenik diduga
berhubungan dengan kondisi ini. Menurut Djuanda (1999) faktor predisposisinya adalah
kelainan konstitusi berupa status seboroik.
Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi ini dapat mengenai
bayi, menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali setelah pubertas. Pada bayi
dijumpai kadar hormon transplansenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan
penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun.
Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan
proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal. Ragi genus ini
dominan dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid sebasea
(misalnya kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan bahwa Malassezia tidak
menyebabkan dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang berkaitan dengan
depresi sel T, meningkatkan kadar sebum dan aktivasi komplemen.
Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi
belum ada yang menyatakan alasan kenapa hal ini bisa terjadi.
Pada penderita gangguan sistem syaraf pusat (Parkinson, cranial nerve palsy, major
truncal paralysis) juga cenderung berkembang dermatitis seboroik luas dan sukar

58
disembuhkan. Menurut Johnson (2000) terjadinya dermatitis seboroik pada penderita tersebut
sebagai akibat peningkatan timbunan sebum yang disebabkan kurang pergerakan.
Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi tertentu,
seperti penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun dermatitis
seboroik hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita AIDS dapat
mencapai 85%. Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset dermatitis seboroik
(ataupun penyakit inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum diketahui.
Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seboroik. Obat-obat
tersebut adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine, cimetidin,
ethionamide, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium, methoxsalen, methyldopa,
phenothiazines, psoralens, stanozolol, thiothixene, dan trioxsalen.
Klasifikasi dan Manifestasi Klinik
Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang mengandung
kelenjar sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya simetris dan biasanya
melibatkan daerah berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan jenggot.
Adapun lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan nasolabial, kanalis auditoris external
dan daerah belakang telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik dapat mengenai
daerah presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti aksila, pusar, inguinal, infra mamae, dan
anogenital.
Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pada remaja dan dewasa
Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai skuama berminyak ringan
pada kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan nasolabial atau pada belakang
telinga. Skuama muncul pada kulit yang berminyak di daerah dengan peningkatan
kelenjar sebasea (misalnya aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan dan daerah infra
mamae), kadang-kadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe dermatitis seboroik
dapat ditemukan di dada yaitu tipe petaloid (lebih umum ) dan tipe pityriasiform (jarang).
Bentuknya awalnya kecil, papul-papul follikular dan perifollikular coklat kemerah-
merahan dengan skuama berminyak. Papul tersebut menjadi patch yang menyerupai
bentuk daun bunga atau seperti medali (medallion seborrheic dermatitis). Tipe
pityriasiform umumnya berbentuk makula dan patch yang menyerupai pityriasis rosea.
Patch-patch tersebut jarang menjadi erupsi.
Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya sebagai scalp scaling
(ketombe) atau eritema ringan pada lipatan nasolabial pada saat stres atau kekurangan

59
tidur.
2. Pada bayi
Pada bayi, dermatitis seboroik dengan skuama yang tebal, berminyak pada verteks kulit
kepala (cradle cap). Kondisi ini tidak menyebabkan gatal pada bayi sebagaimana pada
anak-anak atau dewasa. Pada umumnya tidak terdapat dermatitis akut (dengan dicirikan
oleh oozing dan weeping). Skuama dapat bervariasi warnanya, putih atau kuning. Gejala
klinik pada bayi dan berkembang pada minggu ke tiga atau ke empat setelah kelahiran.
Dermatitis dapat menjadi general. Lipatan-lipatan dapat sering terlibat disertai dengan
eksudat seperti keju yang bermanifestasi sebagai diaper dermatitis yang dapat menjadi
general. Dermatitis seboroik general pada bayi dan anak-anak tidak umum terjadi, dan
biasanya berhubungan dengan defisiensi sistem imun. Anak dengan defisiensi sistem
imun yang menderita dermatitis seboroik general sering disertai dengan diare dan failure
to thrive (Leiners disese). Sehingga apabila bayi menunjukkan gejala tersebut harus
dievaluasi sistem imunnya.
Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga:
1. Seboroik kepala
Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuning-
kuningan sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang dijumpai krusta yang
disebut Pitriasis Oleosa (Pityriasis steatoides). Kadang-kadang skuamanya kering dan
berlapis-lapis dan sering lepas sendiri disebut Pitiriasis sika (ketombe). Pasien
mengeluhkan gatal di kulit kepala disertai dengan ketombe. Pasien berpikir bahwa gejala-
gejala itu timbul dari kulit kepala yang kering kemudian pasien menurunkan frekuensi
pemakaian shampo, sehingga menyebabkan akumulasi lebih lanjut. Inflamasi akhirnya
terjadi dan kemudian gejala makin memburuk.
Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi alopesia dan
rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga. Bila meluas, lesinya dapat sampai
ke dahi, disebut Korona seboroik. Dermatitis seboroik yang terjadi pada kepala bayi
disebut Cradle cap.
Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga sensasi terbakar pada
wajah yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi nyata pada orang dengan kumis
atau jenggot, dan menghilang ketika kumis dan jenggotnya dihilangkan. Jika dibiarkan
tidak diterapi akan menjadi tebal, kuning dan berminyak, kadang-kadang dapat terjadi
infeksi bakterial.
2. Seboroik muka

60
Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain terdapat makula
eritem, yang diatasnya dijumpai skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Bila
sampai palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering dijumpai pada wanita. Bisa didapati di
daerah berambut, seperti dagu dan di atas bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering
dijumpai pada laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di
daerah jenggot disebut sikosis barbae.
3. Seboroik badan dan sela-sela
Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama, umbilicus, krural
(lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk makula eritema yang pada
permukaannya ada skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Pada daerah badan,
lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral. Di daerah
intertrigo, kadang-kadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi sekunder.
Diagnosis
1. Anamnesis
Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah ketombe/dandruft. Walaupun
demikian, masih terdapat kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap dandruft adalah
bentuk dermatitis seboroik ringan tetapi sebagian berpendapat lain.
2. Pemeriksaan fisik
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas relatif tegas.
Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai berminyak kekuningan, umumnya
tidak disertai rasa gatal.
Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal, krusta keras.
Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat menyebar ke kulit dahi,
belakang leher dan belakang telinga.
Distribusi mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti kulit kepala, dahi, alis
lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke daerah submental dapat
terjadi.
3. Histologis
Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik. Dapat ditemukan
hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan paraketatosis.
Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan penyakit sejenis. Pada
dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam skuama krusta pada sisi ostia follicular. AIDS
berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai parakeratosis, nekrotik keratinosites
dalam epidermis dan sel plasma dalam dermis. Ragi kadang tampak dalam keratinosites

61
dengan pengecatan khusus.

Diagnosis Banding
1. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik pada dewasa tampak pada fossa antecutabital dan poplitea. Bayi dapat
menderita dermatitis atopi predileksi terutama pada bagian tubuh tertentu (misalnya kulit
kepala, wajah, daerah sekitar popok, permukaan otot ekstensor) menyerupai dermatitis
seboroik. Akan tetapi dermatitis seboroik pada bayi memiliki ciri-ciri axillary patches,
kurang oozing dan weeping dan kurang gatal. Membedakannnya berdasarkan gejala klinis
karena kenaikan kadar immunoglobulin E pada dermatitis atopik tidak spesifik.
2. Kandidiasis
Pada pemeriksaan histologis kandidiasis menghasilkan pseudohifa.
3. Langerhans cell histiocytosis
Bayi jarang menderita Langerhans cell histiocytosis. Langerhans cell histiocytosis cirinya
seborrhoic dermatitis-like eruptions pada kulit kepala disertai demam.
4. Psoriasis
Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih seperti
mutiara dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang khusus untuk psoriasis. Tanda lain
dari psoriasi seperti pitting nail atau onycholysis distal dapat untuk membantu
membedakan.
5. Pitiriasis rosea
Pitiriaris rosea dapat terjadi eritem pada wajah menyerupai dermatitis seboroik. Meskipun
rosea cenderung melibatkan daerah sentral wajah tetapi dapat juga hanya pada dahi. Pada
pitiriasis rosea, skuamanya halus dan tak berminyak. Sumbu panjang lesi sejajar dengan
garis kulit.
6. Tinea
Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai kerion. Pada tinia kapitis
dan tine kruris eritem lebih menonjuo di pinggir dan pinggirnya lebih aktif dibandingkan
tengahnya (Hrahap, 2000). Tinea capitis, facei dan korporis dapat ditemukan hipa pada
pemeriksaan sitologik dengan potassium hydroksida.
Penatalaksanaan
Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi, keratolitik,
anti jamur dan pengobatan alternatif.

62
1. Obat anti inflamasi
Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala dengan steroid
topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya dapat berupa shampo
seperti fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan pada kulit
kepala atau krim pada kulit.
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal yang
pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat. Efek utama
penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek
vasokonstriksi, efek anti inflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek vasokonstriksi akan
mengakibatkan berkurangnya eritema. Adanya efek anti inflamasi yang terutama terhadap
leukosit akan efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses inflamasi
seperti dermatitis. Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena kortikosteroid
bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel.
Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid topikal satu atau
dua kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo. Steroid topikal potensi
rendah efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi terletak di daerah lipatan atau
dewasa pada persisten recalcitrant seborrheic dermatitis. Topikal azole dapat
dikombinasikan dengan regimen desonide (dosis tunggal perhari selama dua minggu).
Akan tetapi penggunaan kortikosteroid topikal ini memiliki efek samping pada kulit
dimana dapat terjadi atrofi, teleangiectasi dan dermatitis perioral.
Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim
pimecrolimus (Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko atropi
kutaneus. Inhibittor calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan telinga terlibat,
tetapi efeknya baru bisa dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu.
2. Keratolitik
Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik. Keratolitik yang
secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam salisiklik dan shampo zinc
pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti fungi, dapat
diberikan dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan rambutnya dengan
shampo tersebut selama lima menit agar shampo mencapai kulit kepala. Pasien dapat
menggunakannya juga untuk tempat lain yang terkena seperti wajah.
3. Anti fungi
Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan dermatitis
seboroik. Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua minggu, satu kali

63
sehari regimen desonide (Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik pada wajah.
Shampo yang mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat dipakai. Shampo
tersebut dapat diberikan dua sampai tiga kali seminggu. Ketokonazole (krim atau gel
foaming) dan terbinfin (Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal lainnya seperti
ciclopirox (Loprox) dan flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti inflamasi juga.
Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan topical
terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik.
4. Pengobatan Alternatif
Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil) merupakan minyak
essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan ditoleransi dengan baik jika
digunakan setiap hari sebagai shampo 5%.
Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot
Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi secara efektif dengan
memakai shampo tiap hari atau berselang satu hari dengan shampo anti ketombe yang
mengandung 2,5 persen selenium sulfide atau 1-2 persen pyrithione zinc. Alternatif lain
shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo sebaiknya mengenai kulit kepala dan daerah
jenggot selama 5 sampai 10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat dipakai
setelah itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat dikendalikan
frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua kali seminggu atau seperlunya.
Solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala.
Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat dihilangkan
dengan memberikan minyak mineral hangat atau minyak zaitun pada kulit kepala dan
dibersihkan dengan deterjen seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam
setelahnya.
Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan moistening kulit kepala
dan kemudian memberikan fluocinolone asetonid 0,01% dalam minyak pada malam hari
diikuti dengan shampo pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai dengan peradangan
bersih, kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai tiga kali seminggu. Solusio
kortikostreroid, losion atau ointment dipakai satu atau dua kali sehari di tempat fluocinolon
acetonid dan dihentikan pada saat gatal dan eritema hilang. Pemberian kortikosteroid dapat
diulang satu sampai tiga minggu sampai gatal dan eritemanya hilang dan kemudian dipakai
lagi jika diperlukan. Pemeliharaan dengan shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien
dianjurkan agar memakai steroid topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang
berlebihan dapat menyebabkan atrofi dan telangiectasi pada kulit.

64
Bayi sering terkena dermatitis seboroik, disebut cradle cap. Dapat mengenai kulit
kepala, wajah dan intertrigo. Daerah yang terkena dapat luas tetapi kelainan ini dapat sembuh
secara spontan 6-12 bulan dan tidak kambuh sampai dengan pubertas. Terapinya dapat
dengan memakai shampo antiketombe. Jika skuama mencakup daerah luas pada kepala,
skuama dapat dilembutkan dengan minyak yang disikan ke sikat rambut bayi kemudian
dibilas.
Penatalaksanaan pada wajah
Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan shampo yang efektif
untuk seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream ketokonazone 2%, diberikan 1-2 kali.
Hidrokortison 1% sering kali diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi
eritema dan gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen topikal untuk
dermatitis seboroik.
Penatalaksaan pada tubuh
Dapat diterapi dengan zinc atau shampo yang mengandung tar batu bara atau dengan
dicuci dengan sabun yang mengandung zinc. Sebagai tambahan dapat dipakai krim
ketokonazole 2 % dan atau krim kortikosteroid, losion atau solusion yang dipakai 1-2 kali
sehari. Benzoil peroksida dapat dipakai untuk dermatitis seboroik pada tubuh. Pasien harus
membilas secara menyeluruh setelah pemakaian zat tersebut.
Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat
Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif dengan terapi
topikal yang biasa dapat di terapi dengan isotretionoin. Isotretinoin dapat menginduksi
pengecilan glandula sebasea sampai dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum.
Isotretinoin juga dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1 0,3
mg/ kg BB/ hari dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya. Kemudian dosis pemeliharaan 5-
10 mg/ hari efektif untuk beberapa tahun. Akan tetapi isotretinoin memiliki efek samping
serius, yaitu teratogenik, hiperlipidemia, neutropenia, anemia dan hepatitis. Efek samping
mukokutaneus mencakup khelitis, xerosis, konjungtivitis, uretritis dan kehilangan rambut.
Penggunaan jangka panjang berhubungan dengan perkembangan diffuse idiopathic skeletal
hyperostosis (DISH).
Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai macam kombinasi
yang berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai: shampo anti ketombe, anti jamur dan steroid
topikal. Jika ini gagal dapat dipakai steroid topikal poten jangka pendek . Pilihan terapinya
mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti mometasone furoate (Elocon) atau
menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau steroid topikal kelas II seperti clobetasol

65
propionate (Temovate) atau fluocinonude (Lidex). Steroid topikal kelas III harus dipakai
lebih dulu, tetapi jika masih tidak resposif dapat menggunakan kelas I. Obat tersebut dapat
diberikan satu sampai dua kali sehari, bahkan untuk wajah, tetapi harus dihentikan setelah
dua minggu sebab terjadinya peningkatan efek samping. Jika pasien respon sebelum dua
minggu, obat harus di stop sesegera mungkin.
Sebagian besar kortikosteroid tersedia sebagai solusio, losion, kream dan ointment.
Penggunaan vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan kream sering
digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan ounment sering digunakan pada kulit
kepala. Umumnya pemakaian solusio kulit kepala lebih dipilih pada orang kulit putih dan
asia, untuk orang kulit hitam mungkin terlalu kering, ointment merupakan pilihan yang lebih
baik.
Edukasi
Penderita harus diberitahu bahwa penyakit berlangsung kronik dan sering kambuh.
Harus dihindari factor pencetus seperti stress emosional, makanan berlemak dan sebagainya.
Prognosis
Pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi penyakit ini agak sukar
disembuhkan.

D. PITIRIASIS ROSEA
Definisi
Pitiriasis rosea adalah salah satu penyakit kulit yang digambarkan oleh Camille
Melchior Gilbert (tahun 1860) sebagai penyakit kulit papulosquamous (Robert A Allen, MD),
yakni penyakit kulit dengan tanda bercak bersisik halus, berbentuk oval dan berwarna
kemerahan. Sementara Richard Lichenstein, MD, menyebutkan bahwa Pitiriasis rosea sudah
dikenal sejak lebih dari 2 abad yang lalu. Pitiriasis rosea bersifat self limited atau sembuh
sendiri dalam 3-8 minggu.
Etiologi
Penyebab pitiriasis rosea masih belum pasti, tetapi banyak gambaran klinis dan
epidemiologi yang menunjukkan bahwa agen penginfeksi bisa terlibat. Epidemik sejati belum
dilaporkan, dan kemungkinan bahwa pengalaman klinis terbaru dengan penyakit ini dapat
meningkatkan kecenderungan untuk mendiagnosa kasus-kasus selanjutnya bisa mengarah
pada kesan yang keliru bahwa penyakit ini menular. Akan tetapi, bukti epidemiologi yang
dilaporkan untuk keterlibatan infeksi (meskipun rendah) mencakup perjangkitan yang jarang
dalam keluarga atau rumah tangga, dengan fluktuasi musiman dan dari tahun ke tahun, bukti

66
statistik untuk pengelompokan dalam ruang dan waktu, dan kejadian yang lebih tinggi
diantara para ahli dermatologi dibanding para juru bedah telinga, hidung dan tenggorokan
dan ahli-dermatologi pra-spesialisasi. Riwayat alami penyakit, yakni lesi utama yang bisa
terdapat pada tempat inokulasi, erupsi sekunder menular setelah interval tertentu dan tidak
seringnya serangan kedua, menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan banyak penyakit yang
penyebabnya telah dipastikan infeksi. Gejala-gejala konstitusional ringan yang sesekali telah
dilaporkan dan bisa mendukung keterlibatan infeksi pada penyakit ini, tetapi tidak sering
ditemukan pada 108 pasien yang mengalami pitiriasis rosea dibanding dengan kontrol yang
jumlahnya sama. Perburukan kondisi yang menyertai terapi steroid oral ditemukan pada
beberapa kasus dan erupsi-erupsi mirip pitiriasis rosea telah dilaporkan setelah transplantasi
sumsum tulang, walaupun beberapa efek etiologi bisa terlibat pada situasi seperti ini.
Pencarian mikroorganisme yang kemungkinan terlibat terus berlanjut. Kecurigaan-
kecurigaan awal terhadap jamur, streptococci, spirochaetes dan Legionella belum dapat
dikuatkan, dan kebanyakan spekulasi sekarang ini berfokus pada etilogi virus. Berbagai
upaya untuk mengkulturkan virus dari kulit yang terkena tidak membuahkan hasil. Partikel-
partikel mirip virus yang dideteksi secara ultrastruktural beberapa tahun yang lalu dan
partikel-partikel mirip herpes virus yang baru-baru dilaporkan telah ditemukan pada 71% lesi
pitiriasis rosea. Keterlibatan dua herpes virus, HHV-6 dan HHV-7, telah diduga sebagai
penyebab untuk erupsi. DNA virus dilaporkan terdapat pada sel-sel mononuklear darah
perifer dan kulit berlesi dan kulit yang tidak terkena pada kebanyakan (80-100%) orang yang
mengalami pitiriasis rosea akut. HHV-7 dideteksi sedikit lebih sering dibanding HHV-6,
tetapi seringkali kedua virus ini ditemukan bersamaan. Akan tetapi, bukti untuk keberadaan
dan aktivitas HHV-6 atau HHV-7 juga ditemukan pada beberapa (10-44%) orang yang tidak
terkena, sehingga menunjukkan bahwa jika ada hubungan sebab-akibat, maka infeksi dengan
virus tidak selamanya mengarah pada penyakit. Tidak semua peneliti yang telah meneliti di
bidang ini menemukan adanya virus-virus ini pada pasien yang mengalami pitiriasis rosea
atau menemukan adanya hubungan meski hubungan yang tidak signifikan.
Ada beberapa laporan yang mengkaitkan erupsi-erupsi mirip pitiriasis rosea dengan
obat. Ruam-ruam yang disebabkan oleh arsenik, bismuth, emas dan metopromazin
tampaknya lebih besar kemungkinannya memiliki reaksi lichenoid atipikal. Obat-obat lain
yang terlibat mencakup antara lain metronidazol, barbiturat, klonidin, captopril dan ketotifen.
Pada beberapa laporan, kemiripan erupsi dengan pityriasis rosea tidak terlalu dekat, dan pada
beberapa laporan lainnya kemiripan yang kebetulan ini bisa menjelaskan hubungan tersebut.

67
Sehingga, meskipun beberapa erupsi obat bisa menyerupai kondisi ini, belum ada bukti
meyakinkan bahwa pityriasis rosea tipikal bisa disebabkan oleh obat.
Sementara ahli yang lain mengaitkan dengan berbagai faktor yang diduga
berhubungan dengan timbulnya Pitiriasis rosea, diantaranya:
Faktor cuaca hal ini karena Pitiriasis rosea lebih sering ditemukan pada musim semi dan
musim gugur.
Faktor penggunaan obat-obat tertentu seperti bismuth, barbiturat, captopril, merkuri,
methoxypromazine, metronidazole, D-penicillamine, isotretinoin, tripelennamine
hydrochloride, ketotifen, dan salvarsan.
Diduga berhubungan dengan penyakit kulit lainnya (dermatitis atopi, seborrheic
dermatitis, acne vulgaris) dikarenakan Pitiriasis rosea dijumpai pada penderita penyakit
dengan dermatitis atopik, dermatitis seboroik, acne vulgaris dan ketombe.
Gejala klinis
Tahap awal Pitiriasis rosea ditandai dengan lesi (ruam) tunggal (soliter) berbentuk
oval, berwarna pink dan di bagian tepi bersisik halus. Diameter sekitar 1-3 cm. Kadang
bentuknya tidak beraturan dengan variasi ukuran 2-10 cm. Tanda awal ini disebut herald
patch yang berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu. Rasa gatal ringan dialami
oleh sekitar 75 % penderita dan 25 % mengeluh gatal berat.
Tahap berikutnya timbul sekitar 1-2 minggu (rata-rata 4-10 hari) setelah lesi awal,
ditandai dengan kumpulan lesi (ruam) yang berbentuk seperti pohon cemara terbalik
(Christmas tree pattern). Tempat tersering (predileksi) adalah badan, lengan atas dan paha
atas. Pada tahap ini Pitiriasis rosea berlangsung selama beberapa minggu. Selanjutnya akan
sembuh sendiri dalam 3-8 minggu.
Selain bentuk ruam kemerahan bersisik halus, variasi bentuk yang tidak khas (atipik)
dapat dijumpai pada sebagian penderita Pitiriasis rosea, terutama pada anak-anak, berupa
urtikaria, vesikel dan papul.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan penemuan klinis. Pemeriksaan darah rutin tidak
dianjurkan karena biasanya memberikan hasil yang normal.
Diagnosis banding
1. Sifilis sekunder
Riwayat timbulnya chancre, tidak terdapat herald patch, lesi terdapat pada telapak tangan
dan kaki, dapat disertai oleh kondiloma lata, umumnya disertai keluhan sistemik dan
adanya limfadenopati. Apabila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan serologi

68
(VDRL) untuk menyingkirkan diagnosis sifilis sekunder.
2. Tinea korporis
Gambaran klinis mirip yaitu berupa eritema dan skuama di pinggir serta bentuknya
anular. Perbedaanny yaitu pada pitiriasis rosea rasa gatal tidak begitu berat jika
dibandingkan dengan tinea korporis, dan skuama pada tinea korporis lebih kasar. Untuk
memastikan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan KOH.
3. Dermatitis numularis
Lesi berbentuk bulat bukan oval, berupa vesikel atau papulovesikel yang
penyembuhannya dimulai dari tengah. Lesi lama berupa likenifikasi dan skuama. Untuk
memastikan diagnosis dapat dilakukan biopsy.
4. Psoriasis guttata
Plak umumnya lebih kecil dibandingkan plak pada pitiriasis rosea, skuama tipis,
diagnosis dipastikan dengan biopsy.
5. Pitiriasis likenoid kronis
Perjalanan panyakit yang berlangsung lebih lama, lesi lebih kecil, skuama lebih tipis,
tidak terdapat herald patch, dan lesi banyak ditemukan pada ekstremitas.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan bersifat simptomatis, untuk gatal dapat diberikan sedativa,
sedangkan sebagai obat topical dapat diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi mentol 1/2
1 %.
Edukasi
Walaupun Pitiriasis rosea bersifat self limited ( sembuh sendiri ), bukan tidak
mungkin penderita merasa risau dan sangat terganggu. Untuk itu diperlukan penjelasan
kepada penderita tentang penyakit yang dideritanya, antara lain:
Menjelaskan kepada penderita dan keluarganya bahwa Pitiriasis rosea akan sembuh
dalam waktu lama.
Lesi kedua rata-rata berlangsung 2 minggu, kemudian menetap selama sekitar 2 minggu,
selanjutnya berangsur hilang sekitar 2 minggu. Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa
Pitiriasis rosea berlangsung hingga 3-4 bulan.

E. ERITRODERMA
Eritroderma dianggap sinonim dengan Dermatitis Eksfoliativa, meskipun sebenarnya
mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kedua istilah tersebut (keduanya boleh
digunakan) dipakai untuk menggambarkan keadaan dimana sebagian besar kulit berwarna

69
merah, meradang dan berskuama.

Definisi
Terdapat beberapa definisi yang sering digunakan untuk menjelaskan eritroderma,
antara lain :
Eritroderma (dermatitis eksfoliativa) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya
eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama.
Eritroderma merupakan inflamasi kulit yang berupa eritema yang terdapat hampir atau di
seluruh tubuh.
Dermatitis eksfoliata generalisata adalah suatu kelainan peradangan yang ditandai dengan
eritema dan skuam yang hampir mengenai seluruh tubuh.
Dermatitis eksfoliata merupakan keadaan serius yang ditandai oleh inflamasi yang
progesif dimana eritema dan pembentukan skuam terjadi dengan distribusi yang kurang
lebih menyeluruh.
Etiologi
Berdasarkan penyebabnya , penyakit ini dapat dibagikan dalam 2 kelompok :
1. Eritroderma eksfoliativa primer
Penyebabnya tidak diketahui. Termasuk dalam golongan ini eritroderma iksioformis
konginetalis dan eritroderma eksfoliativa neonatorum.
2. Eritroderma eksfoliativa sekunder
a. Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya,
sulfonamide, analgetik / antipiretik dan tetrasiklin.
b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh, dapat terjadi pada liken planus, psoriasis,
pitiriasis rubra pilaris, pemfigus foliaseus, dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
Patofisiologi
Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum (lapisan kulit yang
paling luar) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler, hipoproteinemia dan
keseimbangan nitrogen yang negatif. Karena dilatasi pembuluh darah kulit yang luas,
sejumlah besar panas akan hilang jadi dermatitis eksfoliativa memberikan efek yang nyata
pada keseluruh tubuh.
Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama ( pelepasan lapisan tanduk dari
permukaan kulit sel-sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan sel-sel yang
baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai sisik / plak
jaringan epidermis.

70
Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme
imunologik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi
dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai
antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat / metaboliknya yang berupa hapten ini harus
berkojugasi dahulu dengan protein misalnya jaringan, serum / protein dari membran sel untuk
membentuk antigen obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai
antigen lengkap.
Manifestasi klinis
Eritroderma akibat alergi obat, biasanya secara sistemik. Biasanya timbul secara akut
dalam waktu 10 hari. Lesi awal berupa eritema menyeluruh, sedangkan skuama baru
muncul saat penyembuhan.
Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit yang tersering addalah psoriasis dan
dermatitis seboroik pada bayi (Penyakit Leiner).
- Eritroderma karena psoriasisDitemukan eritema yang tidak merata. Pada tempat
predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak
meninngi daripada sekitarnya dengan skuama yang lebih kebal. Dapat ditemukan
pitting nail.
- Penyakit Leiner (eritroderma deskuamativum)Usia pasien antara 4-20 minggu
keadaan umum baik biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritama seluruh
tubuh disertai skuama kasar.
- Eritroderma akibat penyakit sistemik, termasuk keganasan. Dapat ditemukan adanya
penyakit pada alat dalam, infeksi dalam dan infeksi fokal.
Pengobatan
1. Hentikan semua obat yang mempunyai potensi menyebabkan terjadinya penyakit ini.
2. Rawat pasien di ruangan yang hangat.
3. Perhatikan kemungkinan terjadinya masalah medis sekunder (misalnya dehidrasi, gagal
jantung, dan infeksi).
4. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti.
5. Berikan steroid sistemik jangka pendek (bila pada permulaan sudah dapat didiagnosis
adanya psoriasis, maka mulailah mengganti dengan obat-obat anti-psoriasis.
6. Mulailah pengobatan yang diperlukan untuk penyakit yang melatarbelakanginya.
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang
disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg- 4 x 10 mg.
Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis

71
mula prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak
perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan.
Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, maka obat tersebut
harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan etretinat. Lama
penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak
secepat seperti golongan I.
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang baik. Dosis
prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri atas kortikosteroid
dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari.
Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya
skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk
mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salep lanolin 10%.
Prognosis
Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik,
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan golongan
yang lain.
Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid
hanya mengurangi gejalanya, penderita akan mengalami ketergantungan kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

72
1. Wiryadi, Benny E., Dermatosis Vesikobulosa., Dalam: Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005.
2. Juanda, Adhi, Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, 2007, Edisi 5, , Dermatosis
Eritroskuamosa, 189-202, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
3. Hall JC, ed. sauers Manual of skin Disease. 8th edition. Lippincott Williams &
Wilkins.2000;232-36
4. Siregar. S.R. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta. 2004; 204-08.
5. Wojnarowska F et al. Immunobulosa disease. Burn T et al, ed. Rookstextbook of
dermatology. 7th edition. Australia : Blackwell publication ; 2004;2033-91.
6. Hert M, ed. Autoimmune disease of the skin : pathogenesis,diagnosis,management. 2nd
revised edition.Austria : Springer-verlag Wien; 2005;60-79.
7. James WD, Berger TG, Elston DM,eds. Andrews Disease of the Skin Clinical
Symptoms. 10th ed. Phildelphia.Saunders Elsevier;2006;581-93.

73

Anda mungkin juga menyukai