Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul Upacara Adat Perkawinan Masyarakat
Aceh tepat pada waktunya. Penyusunan makalah ini diperuntukkan demi
memenuhi tugas mata kuliah Adat dan Budaya Aceh. Makalah ini berisi
tentang tahaan-tahapan perkawinan adat masyarakat Aceh. Penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
ikut serta berpartisipasi dan memberikan dukungannya dalam penyelesaian
makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan,
karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman. Oleh
karena itu kami memohon maaf apabila dalam penulisan dan pengerjaan
makalah ini terdapat kesalahan atau ketidaksempurnaan. Kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun sebagai bahan perbaikan
dimasa yang akan datang. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak dikemudian hari.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................

A. Latar Belakang ................................................................................

B. Rumusan Masalah .........................................................................

C. Tujuan .............................................................................................

D. Manfaat ..........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................

A. Arti dan Hukum Perkawinan ...........................................................

B. Peralatan dan Bahan-Bahan Upacara Perkawinan ...........................

C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara Perkawinan ....................

D. Tahapan dan Proses Upacara Perkawinan .......................................

E. Nilai-Nilai Upacara Perkawinan .....................................................

BAB IV PENUTUP ......................................................................................

A. Kesimpulan ....................................................................................

B. Saran ..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upacara perkawinan merupakan salah satu rangkaian upacara yang


dilaksanakan dalam siklus kehidupan orang Aceh. Perkawinan menempati
posisi yang penting dalam tata pergaulan masyarakat Aceh. Perkawinan
merupakan proses penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan, tak jarang
masyarakat menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dalam
hidupnya. Karena itulah, adat-istiadat Aceh mengatur upacara perkawinan.
Upacara perkawinan adat Aceh bukan proses ritual belaka. Upacara ada
perkawinan Aceh mengandung berbagai makna filosofis. Secara biologis,
perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas seksual antara laki-laki
dan perempuan sekaligus memperoleh keturunan. Hampir semua kelompok
adat di Aceh jarang membicarakan motif biologis karena menganggapnya
tabu. Meskipun motif tersebut hidup dalam kesadaran masyarakat.
Perkawinan akhirnya menyangkut dua hal. Di satu pihak, norma adat dan
agama melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Di pihak
lain, norma adat Aceh memberikan tekanan kepada orang tua untuk
menikahkan anaknya, bila anaknya sudah sampai waktunya (kematangan
seksual) yang dalam bahasa Aceh disebut tro umu (T. Syamsuddin et. al,
1978/1979: 40-42). Selain kebutuhan biologis perkawinan juga berfungsi
secara sosial. Pasangan yang baru saja menikah akan hidup bersama dalam
satu ikatan, dan ikatan tersebut diakui dan sepakati oleh anggota-anggota
masyarakat. Keluarga baru tersebut dituntut untuk bekerja sama dengan
keluarga saudara mereka, kadang juga keluarga sanak kerabat mereka
dalam mengasuh rumah tangga. Prinsip-prinsip tersebut berlaku di semua
kelompok adat di Aceh

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalahnya adalah


sebagai berikut:

1. Apa pengertian dan hukum perkawinan?

2. Apa saja peralatan dan bahan-bahan upacara perkawinan?


3. Kapan dan dimana tempat pelaksanaan perkawinan?

4. Bagaimana tahapan dan proses upacara perkawinan?

5. Apa saja nilai-nilai upacara perkawinan?

C. Tujuan berdasarkan permasalahan diatas, yang menjadi tujuan


dari makalah ini

adalah :

1. Untuk mengetahui arti dan hukum pernikahan.

2. Untuk mengetahui peralatan dan bahan-bahan upacara perkawinan.

3. Untuk mengetahui waktu dan tempat pelaksanaan upacara perkawinan.

4. Untuk mengetahui tahapan dan proses perkawinan

5. Untuk mengetahui nilai-nilai perkawinan


BAB II PEMBAHASAN

A. Arti dan Hukum Pernikahan

1. Arti Pernikahan

Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki


persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia kata nikah berarti
berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat
asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia
yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan
teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat
memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang
dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk
mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup
berumah tangga. Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah SAW.
bersabda: Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT
dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: Akan tetapi aku shalat, tidur,
berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka
perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku. (HR. Al-Bukhari dan
muslim)

2. Hukum Pernikahana.
Hukum Asal Nikah adalah Mubah Menurut sebagian besar ulama,
hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan.
Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun
demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan,
hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.

Nikah yang hukumnya Sunnah Sebagian besar ulama berpendapat


bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan
bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Quran dan hadits hanya
merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits
tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua
amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika
hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah
mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah

Nikah yang hukumnya wajib Nikah menjadi wajib menurut pendapat


sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits
sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits
riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., Barang siapa yang
tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab
dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib.

Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut
jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah.
Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT.
Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut. Dari Aisyah ra., Nabi saw.
besabda: Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka
akanmendatangkan harta bagimu. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)

Nikah yang hukumnya makruh hukum nikah menjadi makruh apabila


orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan atau
hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah
tanggungannya.

Nikah yang hukumnya haram nikah menjadi haram bagi seseorang


yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya. Dalam
sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda: Barangsiapa yang tidak
mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya
terhadap prempuan akan berkurang. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
B. Peralatan dan Bahan-Bahan Upacara Perkawinan

Ada beberapa peralatan yang harus disediakan dalam upacara


perkawinan adat Aceh yang digunakan pada waktu melamar, upacara
menjelang peresmian perkawinan, dan upacara peresmian perkawinan.
Peralatan ini disediakan oleh kedua belah pihak, yaitu pengantin laki-laki dan
perempuan. Bahan dan peralatan yang dibutuhkan, yaitu:

a. Mas Kawin

Mas kawin (jenamee) merupakan sejumlah uang yang harus diserahkan


pihak pengantin laki-laki (linto baro) kepada pihak pengantin perempuan
(dara baro) sesuai ketentuan agama dan adat-istiadat.

b. Uang Hangus

Uang hangus yaitu uang tanda ikat diserahkan oleh pihak laki-laki
bersamaan dengan penyerahan mas kawin. Jumlah uang ditetapkan secara
musyawarah pada saat linto baro melamar.

c. Makanan, Pakaian, dan Perhiasan

Beberapa jenis makanan diperlukan pada waktu pelaksanaan upacara


mengantar tanda. Beberapa jenis makanan yang diperlukan dalam upacara,
misalnya ketan kuning, bolu, dodol, dan makanan untuk jamuan pesta.
Selain itu, peralatan yang harus dibutuhkan seperangkat pakaian lengkap
ditambah peralatan mandi, dan berbagai perhiasan.

C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara Perkawinan

Penentuan waktu upacara peresmian perkawinan (resepsi) dilakukan


oleh linto baro dan dara baro melalui perantara. Penentuan waktu
berdasarkan pada hari dan bulan yang dianggap baik oleh masyarakat Aceh
dan kemampuan ekonomi kedua pihak. Biasanya upacara peresmian
perkawinan dilaksanakan setelah masa panen agar tidak membebani pihak-
pihak yang bersangkutan. Pesta perkawinan dilaksanakan di dua tempat,
yaitu di rumah orang tua linto baro dan oran tua dara baro. Namun, upacara
bersanding dua dilaksanakan di rumah mempelai perempuan.

D. Tahapan dan Proses Upacara Perkawinan

Ada beberapa tahapan dalam upacara perkawinan Aceh sejak


persiapan hingga setelah perkawinan. Tahapan-tahapan tersebut mempunyai
tata cara masing-masing. Menurut Cut Intan Elly Arby (1989: 5-6), beberapa
tahap perkawinan adat Aceh adalah:

1. Persiapan Menuju Perkawinan

a). Jak Keumalen

Jak Keumalen artinya mencari calon istri/suami. Jak Keumalen


dilakukan melalui dua cara. Pertama, dilakukan langsung oleh orang tua laki-
laki; atau, kedua, dilakukan oleh utusan khusus. Maksud Jak Keumalen ialah
menjajaki kehidupan keluarga calon pengantin. Biasanya beberapa orang
dari pihak mempelai pria datang bersilaturahmi sambil memperhatikan calon
mempelai perempuan, suasana rumah, dan perilaku keluarga tersebut
Setelah kunjungan, keluarga calon mempelai pria bertanya kepada pihak
orang tua perempuan, apakah putrinya sudah mempunyai calon suami. Bila
sambutannya baik dan jawaban ya, tahapan selanjutnya adalah Jak Ba
Ranub. Jak Keumalen dilakukan karena pada silam hubungan laki-laki dan
perempuan adalah tabu. Selain peran orang tua yang begitu dominan
terhadap anak, termasuk urusan jodoh.

b). Jak Ba Ranub

Setelah melewati tahap Jak Keumalen , berikutnya adalah upacara Jak


Ba Ranub atau upacara meminang calon pasangan. Dalam acara ini, orang
tua linto baro mengirim utusan untuk membawa sirih, kue, dan lain-lain ke
keluarga dara baro . Melalui utusan tersebut, keluarga linto baro
mengungkapkan maksud mereka pada dara baro. Bila ia menerima, keluarga
dara baro kemudian melakukan musyawarah. Bila seluruh keluarga
menyetujui, proses selanjutnya adalah Jak Ba Tanda. Tapi, kalau ternyata
keluarga dara baro tidak setuju, keluarga dara baro akan menjawab dengan
alasan dan cara yang baik.

c). Jak Ba Tanda


Jak Ba Tanda adalah upacara memperkuat tanda jadi. Pihak calon
pengantin laki-laki akan membawa sirih lengkap dengan makanan kaleng,
seperangkat pakaian yang disebut lapek tanda, dan perhiasan emas. Barang-
barang tersebut ditaruh dalam talam atau dalong yang dihias
sedemikian rupa. Di rumah dara baro, talam tersebut dikosongkan kemudian
diisi kue-kue sebagai balasan dari keluarga dara baro. Pembahasan mas
kawin (jeulamei ), uang hangus (peng angoh), rencana hari dan tanggal
perkawinan, serta jumlah undangan dan jumlah rombongan pihak pengantin
laki-laki dilakukan pada upacara ini.

2. Upacara Menjelang Perkawinan

Sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, ada beberapa upacara yang


mendahuluinya, di antaranya:

a). Malam Peugaca

Malam peugaca adalah malam menjelang upacara pesta perkawinan


(meukerejia). Pada malam peugaca inilah biasanya upacara keselamatan
(peusijuk ) untuk kedua mempelai. Upacara ini biasanya dilakukan di malam
hari selama 3 hingga 7 hari. Busana yang dikenakan calon pengantin
perempuan tidak ditentukan. Upacara keselamatan pada malam peugaca
disebut peusijuk gaca. Upacara ini dipimpin oleh sesepuh adat (nek maja),
dan dimulai oleh ibu calon pengantin perempuan, kemudian dilanjutkan
keluarga terdekat. Upacara ini dilaksanakan pagi hari, dengan harapan agar
kehidupan kedua mempelai kelak terus meningkat dan mudah mendapatkan
rezeki. Selain itu, makna dari upacara peusijuk adalah bentuk permohonan
kepada Allah agar kedua mempelai hidup bahagia di dunia dan akhirat.

b). Memotong atau Meratakan Gigi (Koh Gilo)

Saat ini upacara Koh Gilo sudah jarang dilakukan sebab kesadaran
masyarakat akan bahaya pengikiran gigi semakin meningkat. Pada zaman
dahulu, menjelang perkawinan gigi calon pengantin wanita harus diratakan
dengan alat pengikir gigi. Upacara ini dilaksanakan setidaknya 7 hari
sebelum upacara pesta perkawinan dilaksanakan. Menurut penilaian orang
zaman dulu, pemotongan gigi ini akan membuat kesan lebih cantik pada
calon pengantin perempuan. Selain itu, sebagai tanda bahwa perempuan itu
sudah bersuami.
c). Memotong Rambut Halus Bagian Dahi (Koh Andam)

Koh Andam adalah upacara memotong bulu-bulu halus di bagian wajah


dan kuduk dara baro agar kelihatan lebih bersih. Upacara ini mengandung
makna menghilangkan hal-hal yang kurang baik pada masa lalu dan
menggantikannya dengan hal-hal yang baik pada masa yang akan datang.
Upacara Koh Andam dilakukan ketika perempuan dara baro dalam keadaan
suci (sedang tidak haid). Bulu dan rambut yang telah dicukur tadi
dimasukkan kedalam kelapa gading atau kelapa hijau yang diukir dan masih
ada airnya. Kelapa ukiran yang berisi rambut tadi ditanam di bawah pohon
rindang. Ini mengandung harapan agar mempelai perempuan selalu tegar
dan berpikiran tenang ketika menghadapi masalah.

d). Upacara Peumano

Peumano Dara Baro artinya memandikan calon mempelai perempuan.


Sebelum masuk pada Upacara peumano, biasanya juga dilakukan peusijuk.
Upacara peumano mengandung makna bahwa calon dara baro sudah
dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus. Namun, upacara ini bukan
hanya untuk mempelai perempuan saja. Calon pengantin laki-laki juga
menjalani Upacara peumano. Calon mempelai, baik perempuan maupun laki-
laki, dimandikan oleh orang tua mereka, tetua adat yang taat, dan beberapa
keluarga terdekat. Jumlah mereka harus ganjil. Selama upacara, calon
pengantin dibacakan doa-doa agar menjelang perkawinan mereka dalam
keadaan suci lahir dan batin. Dalam upacara itu, mempelai dipayungi dan
diarak menuju pemandian. Para pengiring membaca shalawat dan kadang-
kadang diselingi lantunan syair. Syair tersebut merupakan sanjungan kepada
keluarga atau nasihat bagi mempelai. Pada zaman dulu, Upacara Peumano
mempunyai makna yang sakral, sehingga upacara itu dilaksanakan dengan
khidmat. Pada saat itu, upacara ini hanya dilakukan oleh kaum bangsawan,
dan hanya diikuti oleh keluarga terdekat. Tata cara pelaksanaan upacara ini
berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Perkembangan
tersebut terlihat misalnya pada penambahan tarian dari daerah Aceh Barat,
yaitu tarian Pho.

e). Khatam Quran

Upacara ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa perempuan calon


pengantin adalah orang yang shalihah. Upacara Khatam Quan ini menjadi
bukti betapa kuat agama Islam mewarnai kebudayaan Aceh. Bagi
masyarakat Aceh, agama merupakan faktor penting dalam jodoh dan
perkawinan. Upacara ini dipimpin oleh seorang guru ngaji setempat.
Pelaksanaan upacara diawali dengan pembacaan doa-doa keselamatan.
Sebelum membaca ayat terakhir dalam Quran, pengantin perempuan
disuapi ketan dan tumpo yang telah tersedia. Setelah upacara selesai, calon
dara baro menyalami dan mengucapkan terima kasih serta meminta maaf
atas kesalahan yang ia lakukan. Pada kesempatan itu, ia juga meminta restu
kepada guru ngajinya. Setelah semua proses upacara dengan guru ngaji
selesai, dilanjutkan Upacara Khatan Quran di hadapan orang tua dan
keluarga terdekat.

Calon pengantin perempuan didampingi sang guru ngaji. Setelah acara


selesai, keluarga akan menyerahkan telur, bereteh , beras, padi, dan uang
sekadarnya kepada guru ngaji. Ini merupakan wujud terima kasih dari calon
mempelai atas ilmu yang telah diberikan oleh guru ngaji.

3. Pelaksanaan Perkawinan

Setelah berbagai upacara menjelang perkawinan selesai, pasangan


pengantin akan memasuki acara inti perkawinan yang disebut wo linto. Inilah
puncak acara yang dinanti-nantikan. Ini adalah upacara mengantarkan linto
baro ke rumah orang tua dara baro. Pada saat pelaksanaan upacara ini, dara
baro sudah siap dengan pakaian pengantin. Mempelai perempuan dibimbing
oleh dua pendamping di kanan dan kiri yang disebut peunganjo. Ketiganya
berjalan menghadap kedua orang tua untuk sungkem (semah ureung chik),
kemudian peunganjo membimbing dara baro ke pelaminan untuk menunggu
kedatangan linto baro dan rombongan. Linto baro melakukan hal yang sama
dengan dara baro . Setelah memakai busana pengantin, ia akan melakukan
sungkem kepada kedua orang tuanya untuk meminta doa restu. Setelah
melakukan sungkem linto baro berangkat ke rumah dara baro bersama
rombongan pengantar mempelai pria (peutren linto). Selama perjalanan
menuju rumah dara baro, rombongan melantunkan shalawat. Pihak keluarga
dara baro akan menjemput iring-iringan pengantin pria kira-kira 500 meter
dari rumah dara baro. Setelah kedua mempelai dan rombongannya bertemu,
pihak linto baro dan dara baro akan berbalas pantun (seumapa). Jika pihak
linto baro kalah dalam berbalas pantun tersebut, maka acara tidak dapat
dilanjutkan. Tapi, kalau pihak linto baro menang, maka dilanjutkan dengan
upacara tukar-menukar sirih oleh kedua orangtua dari pihak pengantin laki-
laki dan perempuan. Setelah memasuki pintu gerbang, linto baro diserahkan
kepada orang tua adat dari pihak dara baro. Mempelai laki-laki dipayungi
oleh satu atau dua pemuda dari pihak dara baro dan mereka akan beriringan
menuju rumah dara baro. Sebelum masuk rumah, linto baro dibimbing
pendamping (peunganjo) untuk membasuh kaki. Hal ini bermakna, untuk
memasuki jenjang rumah tangga harus suci lahir dan batin. Sementara dara
baro sudah duduk menanti di pelaminan. Ia kemudian dibimbing seorang ibu
pendamping (peunganjo) untuk menyambut linto baro dan melakukan
sungkem kepada mempelai pria. Ini merupakan tanda hormat dan
pengabdian. Linto baro menerima sambutan dara baro dengan penuh kasih
sayang, lalu menggenggam tangan dara baro sambil menyelipkan amplop
yang berisi uang yang melambangkan tanggung jawab untuk menafkahi
sang istri. Setelah itu, kedua mempelai disandingkan sebentar di pelaminan
sebelum dibimbing menuju suatu tempat khusus untuk bersujud kepada
kedua orang tua mempelai. Prosesi dimulai dari dara baro bersujud kepada
orang tua kemudian kepada kedua mertua. Linto baro mengikuti apa yang
dilakukan mempelai wanita. Lalu mereka dibimbing ke pelaminan untuk
dipeusijuek oleh keluarga. Mulai dari keluarga linto baro yang memberikan
uang dan barang berharga lainnya. Begitu juga sebaliknya. Jumlah anggota
keluarga yang melakukan peusijuek tidak boleh genap. Setelah pelaksanaan
upacara selesai, linto baro langsung pulang ke rumahnya. Setelah hari ke
tiga atau ke tujuh barulah linto baro diantar kembali ke rumah dara baro
untuk melaksanakan upacara hari ketiga (peulhe) atau ketujuh (peutujoh).
Upacara ini diawali dengan penanaman bibit kelapa yang dilakukan oleh woe
linto bersama dara baro. Selanjutnya, linto baro melakukan sujud kepada
mertua dan diberi pakaian ganti, cincin emas, dan lain-lain. Pihak woe into
juga membawa beberapa perangkat untuk dara baro yang berupa makanan
kaleng, kopi, teh, susu, dan berbagai perlengkapan dapur yang lain. Selain
itu, juga membawa beberapa bibit tanaman seperti bibit kelapa, bibit tebu,
dan sebagainya sesuai kemampuan keluarga wo linto .

4. Upacara Setelah Perkawinan

Setelah perkawinan masih ada serangkaian upacara, yaitu Tueng Dara Baro.
Upacara Tueng Dara Baro merupakan upacara untuk mengundang dara baro
beserta rombongannya ke rumah mertua. Upacara ini dilaksanakan pada
tujuh hari setelah upacara wo linto . Pada waktu upacara ini, dara baro diarak
menuju rumah pengantin laki-laki dengan didampingi dua pengunganjo.
Rombongan pengantin perempuan ini juga membawa makanan dan kue-kue.
Cara penyambutan upacara ini hampir sama dengan upacara wo linto, tapi
tanpa prosesi berbalas pantun dan cuci kaki. Sampai di pintu masuk,
rombongan akan disambut keluarga laki-laki. Orangtua kedua belah pihak
kemudian melakukan tukar-menukar sirih. Di pintu masuk rumah, rombongan
ditaburi beras (breuh padi), bunga rampai, dan daun-daun sebagai tepung
tawar (on seunijuk). Setelah dara baro duduk di tempat yang telah
disediakan, ibu linto baro melakukan tepung tawar yang dilanjutkan dara
baro bersujud kepada orang tua linto baro. Orang tua linto baro kemudian
menyerahkan perhiasan yang ditaruh di dalam air kembang dalam suatu
wadah khusus. Pada upacara ini, dara baro menginap di rumah orang tua
linto baro selama tujuh hari dengan ditemani oleh satu atau dua peunganjo.
Tujuh hari kemudian, barulah dara baro diantar pulang. Dara baro juga
dibekali dengan beberapa perangkat pakaian, bahan makanan, dan uang. Di
rumah orang tua dara baro rombongan disambut dengan upacara jamuan
makan bersama yang menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara.

E. Nilai-nilai Upacara Perkawinan

Upacara perkawinan yang digelar oleh masyarakat Aceh mengandung


berbagai nilai yang baik untuk dilestarikan. Beberapa nilaiyang terkandung
dalam upacara adat tersebut adalah:

1. Nilai Tradisi

Upacara adat yang dilaksanakan dalam perkawinan bagi masyarakat Aceh


merupakan salah satu bentuk pelestarian tradisi. Rangkaian upacara
tersebut mengandung simbol dan makna tertentu yang mewakili cara
mereka memandang dunia dan kehidupan di dalamnya. Sebagian orang,
terutama yang bukan bagian dari budaya itu, mungkin akan beranggapan
bahwa rangkaian upacara adat di Aceh rumit dan panjang. Namun, tentu
saja, tidak begitu menurut masyarakatpenganut kebudayaan itu.

2. Nilai Religi

Pengaruh Islam pada kebudayaan Aceh sangat kuat. Hal ini tercermin dalam
pandangan dan perilaku dalam kehidupan. Perkawinan merupakan salah satu
ajaran dalam Islam. Sehingga melaksanakannya adalah ibadah.
Implementasi nilai-nilai ajaran agama dalam membangun keluarga yang baik
(sakinah) dapat dilakukan melalui perkawinan. Selain itu, perkawinan juga
menjadi sarana untuk mengimplementasikan nilai Islam dalam membina
hubungan antarsanak kerabat.
3. Nilai Sosial

Perkawinan mengandung fungsi sosial, yaitu sebagai suatu cara di mana


ikatan antara laki-laki dan perempuan diakui oleh masyarakat. Selain itu,
salah satu tujuan perkawinan bagi masyarakat Aceh adalah untuk
memperluas kaum kerabat dan mempererat hubungan yang sudah ada. Di
beberapa daerah tujuan ini berbeda-beda. Di Aceh Tamiang tujuan
perkawinan adalah untuk memperluas sistem perkauman yang disebut suku
sakat kaum biak, sedangkan bagi masyarakat Gayo tujuan perkawinan
adalah untuk memperkuat sistem kemargaan yang disebut belah atau
merge.

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

Pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan


seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Adapun hikmah-hikmah perkawinan
adalah dengan pernikahan maka akan memelihara gen manusia, menjaga
diri dari terjatuh pada kerusakan seksual dan lain-lain. Upacara adat
mengandung berbagai makna yang nilai-nilainya dapat kita petik pada masa
sekarang. Begitu pula dengan nilai-nilai dalam rangkaian upacara adat
perkawinan masyarakat Aceh. Selain mengandung makna pelestarian tradisi,
upacara adat masyarakat Aceh mengandung nilai.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo Intan,

Cut. 1989. Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta:

Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia Melati


dan Yayasan Insani.
T. Syamsuddin et. Al. 1978/1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah
Istimewa Aceh. Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah Istimewa Aceh.

Anda mungkin juga menyukai