Anda di halaman 1dari 41

Dasar Imunologi

TIK : mengetahui dan mampu menjelaskan


pengertian imunologi
fungsi sistem imun
bagaimana respon imun
Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis imun
antigen dan antibody
Sistem komplemen
sel-sel sistem imun
Reaksi hipersensitivitas

Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang


mempelajari respons tubuh, terutama respons kekebalan, terhadap
penyakit infeksi.Pada tahun 1546, Girolamo Fracastoro mengajukan
teori kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi
terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari
satu individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil
sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum
dapat diidentifikasi.
1. Edwar Jenner
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang
dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah, bila ia telah
terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak saat itu,
mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum
diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang
imunologi tidak akan maju bila tidak diiringi dengan kemajuan
dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan
ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi
meningkat dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi.
Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai setelah Louis
Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi
dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman
(germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan
diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885.Hasil karya
Pasteur ini kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin
selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang di bidang
imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbiditas
dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
2. Robert Koch
Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab
penyakit tuberkulosis. Dalam rangka mencari vaksin terhadap
tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin (1891) yang
merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap
kuman tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux
(1908) dipakai untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada
anak.Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan diagnosis penyakit
pada anak.Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921
oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus
Calmette-Guerin).Kemudian diketahui bahwa tidak hanya
mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan
yang tidak hidup pun dapat menginduksi kekebalan.
3. Alexander Yersin Dan Roux
Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885,
Von Behring dan Kitasato menemukan antitoksin difteri pada
binatang (1890). Sejak itu dimulailah pengobatan dengan serum
kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam
pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum
kebal ini di kemudian hari berkembang menjadi pengobatan dengan
imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari
manusia.
4. Clemens von pirquet
Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan
akibat pemberian serum ini. Dua orang dokter anak, Clemens von
pirquet dari Austria dan Bela Shick dari Hongaria melaporkan pada
tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal
berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar,
dan eritema yang dinamakan penyakit serum (serum sickness).
Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet dan Paul Portier (1901)
menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul
dengan menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan
yang terjadi adalah keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga
dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan). Mulailah
imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat
pemberian toksin atau antitoksin. Clemens von pirquet dari Austria
(1906) memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini.Pada
tahun 1873 Charles Blackley mempelajari penyakit hay fever, yaitu
penyakit dengan gejala klinis konjungtivitis dan rinitis, serta melihat
bahwa ada hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari
(pollen).Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer (1910), penyakit ini
dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphylaxis).
Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati
penyakit hay fever dengan cara terapi imun yaitu menyuntikkan
serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit. Dasarnya pada waktu itu
dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan
agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih
dipakai untuk mengobati penyakit alergi terhadap antigen tertentu
yang dikenal dengan cara desensitisasi. Akan tetapi mekanisme
yang sekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi
penghambat (blocking antibody).
Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet
(1915) melakukan uji gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis
penyakit alergi pada anak. Talbot (1914), seorang dokter anak,
dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara asma anak
dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji
intrakutan, dan melaporkan juga bahwa faktor keturunan
memegang peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, Shick
juga memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan
seseorang terhadap kuman difteri, sehingga makin banyak
fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak.
Pada tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi
(strange disease) terhadap sekumpulan penyakit alergi yang secara
klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever, asma, dermatitis,
dan mempunyai predisposisi diturunkan.Mulailah ilmu alergi-
imunologi diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi
klinis.Rackemann (1918) melihat bahwa sebagian besar asma pada
anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan asma tipe
ekstrinsik.Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang
menimbulkan sensitisasi kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui
serum penderita.Memang pada waktu itu mekanisme alergi yang
tepat belum diketahui.Kini berkat penelitian yang telah dilakukan,
proses selular dan molekular yang terjadi pada penyakit alergi dapat
dijabarkan.Berbagai macam bentuk kelainan klinis berdasarkan
reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan, terutama dengan
bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan dan
diagnosis penyakit.
Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji
diagnostik yang memakai fenomena imun berkembang lagi dengan
uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit sifilis.Pada
tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum
penderita demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan
disusul dengan golongan darah rhesus oleh Levine dan Stenson
(1940) , maka kelainan klinis berdasarkan reaksi imun semakin
dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat
dijabarkan dengan istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939,
141 tahun setelah penemuan Jenner, Tiselius dan Kabat
menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam
spektrum globulin gama yang kemudian dinamakan imunoglobulin
(Ig). Dengan cara imunoelektroforesis diketahui bahwa
imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG, IgM,
IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-
masing kelas tersebut mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter
dan Edelman menemukan struktur imunoglobulin, dan tahun 1969
Edelman pertama kali melaporkan urutan asam amino molekul
imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang dianggap
berperan pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh
Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan
kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan
mengenai regulasi sintesis IgE, dengan harapan dapat
menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.
5. Metchnikof
Pada tahun 1883, Metchnikof sebenarnya telah mengatakan bahwa
pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi
leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit
infeksi.Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi
fagositosisnya.Beliaulah yang menemukan sel makrofag.Sekarang
kita mengetahui bahwa sel makrofag aktif berperan pada imunitas
selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper dan
Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem
limfosit terdiri atas 2 populasi, yaitu populasi yang
perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan limfosit
T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa
fabricius dan dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum
dapat dibedakan antara limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan
dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan jaringan,
sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.

PENGERTIAN
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis
yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme.
Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan
melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika
sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga
berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang
menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam
tubuh.Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel
tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan
meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.

FUNGSI SISTEM IMUN


Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit dengan
menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi
asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk
ke dalam tubuh, Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak
untuk perbaikan jaringan, Mengenali dan menghilangkan sel yang
abnormal. Dan Sasaran utama yaitu bakteri patogen dan
virus.Leukosit merupakan sel imun utama (disamping sel plasma,
makrofag, dan sel mast).

JENIS-JENIS SISTEM IMUN

1. Sistem imun non spesifik,natural atau sudah ada dalam tubuh


(pembawaan )
Merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam melawan
mikroorganisme.Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan
terhadap mikroorganisme tertentu.
Terdiri dari:
a) Pertahanan fisik/mekanik
Kulit, selaput lendir , silia saluran pernafasan, batuk, bersin akan
mencegah masuknya berbagai kuman patogen kedalam tubuh. Kulit
yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak
oleh asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.
b) Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit,
kel kulit, telinga, spermin dalam semen, mengandung bahan yang
berperan dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. asam HCL
dalam cairan lambung , lisozim dalam keringat, ludah , air mata dan
air susu dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram
positif dengan menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga
mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat
antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.
Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman
gram negatif dan hal tersebut diperkuat oleh komplemen.Laktoferin
dan transferin dalam serum dapat mengikat zan besi yang
dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas.
c) Pertahanan humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan tubuh
secara humoral. Bahan-bahan tersebut adalah:
Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri
dan parasit karena:
Komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri
Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke
tempat bakteri
Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan
bakteri memudahkan makrofag untuk mengenal dan
memfagositosis (opsonisasi).
Interferon
Adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel manusia
yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons
terhadap infeksi virus.Interveron mempunyai sifat anti virus dengan
jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga
menjadi resisten terhadap virus.Disamping itu, interveron juga
dapat mengaktifkanNatural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi
virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada
permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang
kemudian membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat
dicegah.

C-Reactive Protein (CRP)


Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan
komplemen.CRP dibentuk oleh badan pada saat infeksi.CRP
merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x atau
lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut.
CRP berperanan pada imunitas non spesifik, karena dengan bantuan
Ca++ dapat mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak
bakteri dan jamur.

d) Pertahanan seluler
Fagosit/makrofag dan sel NK berperanan dalam sistem imun non
spesifik seluller.
Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis
tetapi sel utama yang berperaan dalam pertahanan non spesifik
adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel
polimorfonuklear seperti neutrofil.
Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan
sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa
tingakt sebagai berikut:
Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh dan
mencerna. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis
sebagai respon terhadap berbagai factor sperti produk bakteri dan
factor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen.Antibody
seperti pada halnya dengan komplemen C3b dapat meningkatkan
fagosistosis (opsonisasi). Antigen yang diikat antibody akan lebih
mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian dihancurkan. Hal
tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari
immunoglobulin pada permukaan fagosit.
Natural Killer cell (sel NK)
Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak
mempunyai cirri sel limfoid dari siitem imun spesifik, maka karenan
itu disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel poplasi ketiga.
Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel
neoplasma dan interveron meempunyai pengaruh dalam
mempercepat pematangan dan efeksitolitik sel NK.

2. Sistem imun spesifik atau adaptasi


Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing.Benda asing
yang pertama kali muncul dikenal oleh sistem imun spesifik
sehingga terjadi sensitiasi sel-sel imun tersebut. Bila sel imun
tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka
benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian
akan dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya
mengahancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya,
maka sistem itu disebut spesifik.sistem imun spesifik dapat bekerja
sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya, tetapi
umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi,
komplemen , fagosit dan antara sel T makrofag.
Sistem imun spesifik ada 2 yaitu;
a) Sistem imun spesifik humoral
Yang berperanan dalam sistem imun humoral adalah limfosit B atau
sel B. sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Bila sel B
dirangsang oleh benda asing maka sel tersebut akan berproliferasi
dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat menbentuk zat
anti atau antibody. Antibody yang dilepas dapat ditemukan didalam
serum.Funsi utama antibody ini ialah untuk pertahanan tehadap
infeksi virus, bakteri (ekstraseluler), dan dapat menetralkan
toksinnya.

b) Sistem imun spesifik selular


Yang berperanan dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit
T atau sel T. sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama dari
sel B. factor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam
peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat memberikan
pengaruhnya terhadap diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan
sel B , sel T terdiri atas beberapa sel subset yang mempunyai fungsi
berlainan. Fungsi utama sel imun spesifik adalah untuk pertahanan
terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan
keganasan.

Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut:g


Alamiah
Pasif
Imunitas alamiah pasif ialah pemindahan antibody atau sel darah
putih yang disensitisasi dari badan seorang yang imun ke orang lain
yang imun, misalnya melalui plasenta dan kolostrum dari ibu ke
anak.
Aktif
Imunitas alamiah katif dapat terjadi bila suatu mikoorgansme secara
alamiah masuk kedalam tubuh dan menimbulkan pembentukan
antibody atau sel yang tersensitisasi.

Buatan
Pasif
Imunitas buatan pasif dilakukan dengan memberikan serum,
antibody, antitoksin misalnya pada tetanus, difteri, gangrengas,
gigitan ular dan difesiensi imun atau pemberian sel yang sudah
disensitisasi pada tuberkolosis dan hepar.
Aktif
Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan dengan vaksinasi melalui
pemberian toksoid tetanus, antigen mikro organism baik yang mati
maupun yang hidup.

RESPONS IMUN
Tahap :
Deteksi dan mengenali benda asing, Komunikasi dengan sel lain
untuk berespons, Rekruitmen bantuan dan koordinasi respons dan
estruksi atau supresi penginvasi

2.6 ANTIGEN DAN ANTIBODI


1. Antigen
a) Pengertian
Antigen molekul asing yang dapat menimbulkan respon imun
spesifik dari limfosit pada manusia dan hewan.Antigen meliputi
molekul yang dimilki virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing
parasit.Molekul antigenic juga ditemukan pada permukaan zat-zat
asing seperti serbuk sari dan jaringan yang dicangkokkan. Sel B
dan sel T terspesialisasi bagi jenis antigen yang berlainan dan
melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling
melengkapi (Baratawidjaja 1991: 13; Campbell,dkk 2000: 77).

b) Letak Antigen
Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan
normal, sistem kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya
sendiri.Sehingga dapat dikatakan antigen merupakan sebuah zat
yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi
antibodi.Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat
juga berupa molekul Iainnya.Permukaan bakteri mengandung
banyak protein dan polisakarida yang bersifat antigen, sehingga
antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel
kanker, dan racun.

c) Karakteristik
Karakteristik antigen yang sangat menentukan imunogenitas respon
imun adalah sebagai berikut:
Asing (berbeda dari self )
Pada umumnya, molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat
imunogenik, jadi untuk menimbulkan respon imun, molekul harus
dikenal sebagai nonself.
Ukuran molekul
Imunogen yang paling poten biasanya merupakan protein berukuran
besar.Molekul dengan berat molekul kurang dari 10.000 kurang
bersifat imunogenik dan yang berukuran sangat kecil seperti asam
amino tidak bersifat imunogenik.
Kompleksitas kimiawi dan struktural
Jumah tertentu kompleksitas kimiawi sangat diperlukan, misalnya
homopolimer asam amino kurang bersifat munogenik dibandingkan
dengan heteropolimer yang mengandung dua atau tiga asam amino
yang berbeda.
Determinan antigenic (epitop)
Unit terkecil dari antigen kompleks yang dapat dikat antibody
disebut dengan determinan antigenic atau epitop.Antigen dapat
mempunyai satu atau lebih determinan. Suatu determinan
mempunyai ukuran lima asam amino atau gula.
Tatanan genetic penjamu
Dua strain binatang dari spesies yang sama dapat merespon secara
berbeda terhadap antigen yang sama karena perbedaan komposisi
gen respon imun.
Dosis, cara dan waktu pemberian antigen
Respon imun tergantung kepada banyaknya natigen yang diberikan,
maka respon imun tersebut dapat dioptmalkan dengan cara
menentukan dosis antigen dengan cermat (termasuk jumlah dosis),
cara pemberian dan waktu pemberian (termasuk interval diantara
dosis yang diberikan)

d) Pembagian Antigen
Secara fungsional
Imunogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa).
Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil.
Pembagian antigen menurut epitop
Unideterminan, univalent yaitu hanya satu jenis determinan atau
epitop pada satu molekul.
Unideterminan, multivalent yaitu hanya satu determinan tetapi dua
atau lebih determian tersebut ditemukan pada satu molekul.
Multideterminan, univalent yaitu banyak epitop yang bermacam-
macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan
protein).
Multideterminan, multivalent yaitu banyak macam determinan dan
banyak dari setiap macam pada satu molekul (antigen dengan
berat molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi).
(Baratawidjaja 1991: 14)

Pembagian antigen menurut spesifisitas


Heteroantigen, yaitu antigen yang terdapat pada jaringan dari
spesies yang berbeda.
Xenoantigen yaitu antigen yang hanya dimiliki spesies tertentu.
Alloantigen (isoantigen) yaitu antigen yang spesifik untuk individu
dalam satu spesies.
Antigen organ spesifik, yaitu antigen yang dimilki oleh organ yang
sama dari spesies yang berbeda.
Autoantigen, yaitu antigen yang dimiliki oleh alat tubuh sendiri
(Baratawidjaja 1991: 14-15; Sell : 910).

Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T


T dependent yaitu antigen yang memerlukan pengenalan oleh sel T
dan sel B untuk dapat menimbulkan respons antibodi.Sebagai
contoh adalah antigen protein.
T independent yaitu antigen yang dapat merangsang sel B tanpa
bantuan sel Tuntuk membentuk antibodi. Antigen tersebut berupa
molekul besar polimerik yang dipecah di dalam badan secara
perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, ficoll, dekstran, levan,
dan flagelin polimerik bakteri.(Baratawidjaja 1991: 15).

Pembagian antigen menurut sifat kimiawi


Hidrat arang (polisakarida)
Hidrat arang pada umumnya imunogenik.Glikoprotein dapat
menimbulkan respon imun terutama pembentukan antibodi.Respon
imun yang ditimbulkan golongan darah ABO, mempunyai sifat
antigen dan spesifisitas imun yang berasal dari polisakarida pada
permukaan sel darah merah.
Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila
diikat oleh protein carrier.Lipid dianggap sebagai hapten, sebagai
contoh adalah sphingolipid.
Asam nukleat
Asam nukleat tdak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila
diikat oleh protein carrier.DNA dalam bentuk heliksnya biasanya
tidak imunogenik.Respon imun terhadap DNA terjadi pada penderita
dengan SLE.
Protein
Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umunya
multideterminan univalent.(Baratawidjaja 1991: 15)

e) Reaksi Antigen dan Antibodi


Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi bermolekul
kecil yang bisa masuk ke dalam tubuh.Substansi kecil tersebut bisa
menjadi antigen bila dia melekat pada protein tubuh kita yang
dikenal dengan istilah hapten. Substansi-substansi tersebut lolos
dari barier respon non spesifik (eksternal maupun internal),
kemudian substansi tersebut masuk dan berikatan dengan sel
limfosit B yang akan mensintesis pembentukan antibodi.
Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen, sel-sel-B
menghasilkan molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung
pada membran plasma untuk berfungsi sebagai reseptor
antigen.Sebuah antigen merangsang sel untuk membuat dan
menyisipkan dalam membrannya molekul immunoglobulin yang
memiliki daerah pengenalan spesifik untuk antigen itu. Setelah itu,
limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang
sama. Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu
respon imun sekunder yang segera terjadi dan meningkatkan titer
antibodi yang beredar sebanyak 10 sampai 100 kali kadar
sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya
bereaksi dengan antibodi disebut antigenisitas.Kesanggupan
molekul antigen untuk menginduksi respon imun disebut
imunogenitas.

Terdapat berbagai kategori Interaksi antigen-antibodi, kategori


tersebut antara lain:
Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya
antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama
epitop.
Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di
antaranya:
Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian
antigen menimbulkan efect yang merugikan.Contohnya adalah
dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini
berinteraksi dengan sel yang rentan.
Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau
transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama
membentuk gumpalan
Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran
terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di
larutan dan akhirnya mengendap.
Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen
mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga
memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen
tersebut.
Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi
serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa
dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel
sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui
proses lisis membran plasmanya.
Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari
interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi
penderitanya.

2. Antibodi
a) Pengertian
Antibodi adalah protein immunoglobulin yang disekresi oleh sel B
yang teraktifasi oleh antigen.Antibodi merupakan senjata yang
tersusun dari protein dan dibentuk untuk melawan sel-sel asing
yang masuk ke tubuh manusia.Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B,
sekelompok prajurit pejuang dalam sistem kekebalan. Antibodi akan
menghancurkan musuh-musuh penyerbu.

b) Fungsi
Untuk mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen.
Membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu
menghancurkannya.

c) Sifat Antibodi
Antibodi mempunyai sifat yang sangat luar biasa, karena untuk
membuat antibodi spesifik untuk masing-masing musuh merupakan
proses yang luar biasa, dan pantas dicermati. Proses ini dapat
terwujud hanya jika sel-sel B mengenal struktur musuhnya dengan
baik. Dan, di alam ini terdapat jutaan musuh (antigen).Dia
mengetahui polanya berdasarkan perasaan. Sulit bagi seseorang
untuk mengingat pola kunci, walau cuma satu, Akan tetapi, satu sel
B yang sedemikian kecil untuk dapat dilihat oleh mata, menyimpan
jutaan bit informasi dalam memorinya, dan dengan sadar
menggunakannya dalam kombinasi yang tepat.

d) Proses Pembentukan Antibodi


Antibodi terbentuk secara alami di dalam tubuh manusia dimana
substansi tersebut diwariskan dari ibu ke janinnya melalui
inntraplasenta.Antibody yang dihasilkan pada bayi yang baru lahir
titier masih sangat rendah, dan nanti antibody tersebut berkembang
seiring perkembangan seseorang.
Pembentukan antibody karena keterpaparan dengan antigen yang
menghasilkan reaksi imunitas, dimana prosesnya adalah:
Misalnya bakteri salmonella. Saat antigen (bakteri salmonella)
masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan meresponnya karena itu
dianggab sebagai benda asing. karena bakteri ini sifatnya
interseluler maka dia tidak sanggup untuk di hancurkan dalam
makrofag karena bakteri ini juga memproduksi toksinsebagai
pertahanan tubuh. Oleh karena itu makrofag juga memproduksi APC
yang berfungsi mempresentasikan antigen terhadap limfosit.agar
respon imun berlangsung dengan baik.Ada dua limfosit yaitu limfosit
B dan limfosit T.

e) Klasifikasi Antibodi
IgG (Imuno globulin G)
IgG merupakan antibodi yang paling umum. Dihasilkan hanya dalam
waktu beberapa hari, ia memiliki masa hidup berkisar antara
beberapa minggu sampai beberapa tahun. IgG beredar dalam tubuh
dan banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus.
Mereka mengikuti aliran darah, langsung menuju musuh dan
menghambatnya begitu terdeteksi.Mereka mempunyai efek kuat
anti-bakteri dan penghancur antigen.Mereka melindungi tubuh
terhadap bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang
terkandung dalam racun.
Selain itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan
bakteri serta musuh mikroorganis yang masuk ke dalam sel-sel dan
kulit.Karena kemampuannya serta ukurannya yang kecil, mereka
dapat masuk ke dalam plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari
kemungkinan infeksi. Jika antibodi tidak diciptakan dengan
karakteristik yang memungkinkan mereka untuk masuk ke dalam
plasenta, maka janin dalam rahim tidak akan terlindungi melawan
mikroba. Hal ini dapat menyebabkan kematian sebelum lahir.
Karena itu, antibodi sang ibu akan melindungi embrio dari musuh
sampai anak itu lahir.
IgA (Imuno globulin A)
Antibodi ini terdapat pada daerah peka tempat tubuh melawan
antigen seperti air mata, air liur, ASI, darah, kantong-kantong udara,
lendir, getah lambung, dan sekresi usus.Kepekaan daerah tersebut
berhubungan langsung dengan kecenderungan bakteri dan virus
yang lebih menyukai media lembap seperti itu. Secara struktur, IgA
mirip satu sama lain. Mereka mendiami bagian tubuh yang paling
mungkin dimasuki mikroba.Mereka menjaga daerah itu dalam
pengawasannya layaknya tentara andal yang ditempatkan untuk
melindungi daerah kritis.
Antibodi ini melindungi janin dari berbagai penyakit pada saat
dalam kandungan. Setelah kelahiran, mereka tidak akan
meninggalkan sang bayi, melainkan tetap melindunginya. Setiap
bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan ibunya, karena IgA
tidak terdapat dalam organisme bayi yang baru lahir. Selama
periode ini, IgA yang terdapat dalam ASI akan melindungi sistem
pencernaan bayi terhadap mikroba. Seperti IgG, jenis antibodi ini
juga akan hilang setelah mereka melaksanakan semua tugasnya,
pada saat bayi telah berumur beberapa minggu.
IgM (Imuno globulin M)
Antibodi ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada
permukaan sel B. Pada saat organisme tubuh manusia bertemu
dengan antigen, IgM merupakan antibodi pertama yang dihasilkan
tubuh untuk melawan musuh.Janin dalam rahim mampu
memproduksi IgM pada umur kehamilan enam bulan. Jika musuh
menyerang janin, jika janin terinfeksi kuman penyakit, produksi IgM
janin akan meningkat. Untuk mengetahui apakah janin telah
terinfeksi atau tidak, dapat diketahui dari kadar IgM dalam darah.
IgD (Imuno globulin D)
IgD juga terdapat dalam darah, getah bening, dan pada permukaan
sel B. Mereka tidak mampu untuk bertindak sendiri-sendiri.Dengan
menempelkan dirinya pada permukaan sel-sel T, mereka membantu
sel T menangkap antigen.
IgE (Imuno globulin E)
IgE merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah.Antibodi
ini bertanggung jawab untuk memanggil para prajurit tempur dan
sel darah lainnya untuk berperang.Antibodi ini kadang juga
menimbulkan reaksi alergi pada tubuh. Karena itu, kadar IgE tinggi
pada tubuh orang yang sedang mengalami alergi.
2.7 SISTEM KOMPLEMEN
Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari
seperangkat kompleks protein yang satu dengan lainnya sangat
berbeda.Pada kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi darah
dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui
dua jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur
klasik dan jalur alternatif.Aktivasi sistem komplemen menyebabkan
interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik
aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen.Aktivasi
sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan
tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan
mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau
bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks
antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan
terjadi kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.
Komplemen
Unsur pokok sistem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan
komponen protein yang terdapat di dalam serum.Protein-protein ini
dapat dibagi menjadi protein fungsional yang menggambarkan
elemen dari berbagai jalur, dan protein pengatur yang menunjukkan
fungsi pengendalian.
Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel
hepatosit, dan juga oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam
sirkulasi darah. Komplemen C l juga dapat di sintesis oleh sel epitel
lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit
mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu
terjadinya aktivasi.
Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan
huruf C: Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan
sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara
kerjanya
Komponen C3 mempunyai fungsi sangat penting pada aktivasi
komplemen, baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.
Konsentrasi C3 jauh lebih besar dibandingkan dengan fraksi lainnya,
hal ini menempatkan C3 pada kedudukan yang penting dalam
pengukuran kadar komplemen di dalam serum. Penurunan kadar C3
di dalam serum dapat dianggap menggambarkan keadaan
konsentrasi komplemen yang menurun. Juga penurunan kadar C3
saja dapat dipakai sebagai gambaran adanya aktivasi pada sistem
komplemen.
AKTIVASI KOMPLEMEN
Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur
klasik dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui suatu proses
enzimatik yang terjadi secara berantai, berarti produk yang timbul
pada satu reaksi akan merupakan enzim untuk reaksi berikutnya.
Caranya ialah dengan dilepaskannya sebagian atau mengubah
bangunan kompleks protein tersebut (pro enzim) yang tidak aktif
menjadi bentuk aktif (enzim). Satu molekul enzim yang aktif
mampu mengakibatkan banyak molekul komplemen berikutnya.
Cara kerja semacam ini disebut the one hit theory.
Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik
maupun jalur alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan
dan pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c) pengakhiran
kerja berantai dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel
(mekanisme terakhir ini seringkali juga disebut kompleks serangan
membran) (lihat Gambar 5-1) .
Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan
kompleks antigen-antibodi, sedangkan aktivasi jalur alternatif
dimulai dengan adanya ikatan antara C3b dengan berbagai zat
aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan
memacu terbentuknya jalur serangan membran yang akan
mengkibatkan lisisinya dinding sel antigen (lihat Gambar 5-2).
Aktivasi komplemen jalur klasik
Seperti telah dibutkan diatas, aktivasi komplemen melalui jalur
klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.

1. Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi


melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan
penghambatan C3 konvertase.

2. Aktivitas C1 inhibitor.Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1


inhibitor (C1 INH).Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat
pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi
akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.

3. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase


dihambat oleh beberapa regulator.
C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe
1 (CR1) dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah
terbentuknya C4b2b (C3 konvertase).Disamping itu kedua reseptor
ini bersama dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat
meningkatkan potensi faktor I dalam merusak C4b.
Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan
C4b sehingga mencegah terbentulmya C4b2b.
Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi
tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik
(C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM.
Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus
menerus dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan
H2O2 ataupun dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di
dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan
C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B
membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi
C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada keadaan
normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak
terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat
diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya
dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat
dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar 5-3 ) .
Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat
dan melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya
menjadi banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3
menjadi banyak pula, dan terjadilah aktivasi komplemen
selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa mikroorganisme,
polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi
komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif.
Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4,
IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur
alternatif.
Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel
pada sel sasaran.Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel
sasaran tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada
permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan
mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan
C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini
suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb;
oleh karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur
properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b akan terlindungi dari
proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.
Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah
lingkaran aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan
berikatan pada permukaan membran sel. Komplemen C5 akan
berikatan dengan C3b yang berada pada permukaan membran sel
dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah
menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada
jalur altematif (kompleks serangan membran).

FUNGSI BIOLOGIK PROTEIN KOMPLEMEN


Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi
dalam dua golongan besar, 1) lisis sel sasaran oleh kompleks
serangan membran, dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang
terbentuk selama aktivasi.

1. Sitolisis Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran)


yang berfungsi adalah C5-C9.Mekanisme ini sangat penting bagi
pertahanan tubuh melawan mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat
melalui jalur alternatif maupun jalur klasik.

2. Sifat biologik aktif


Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis
Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b
mungkin merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi
bakteri dan jamur secara sistemik Fagositosis ini juga lebih
meningkat bilamana bakteri disamping berikatan dengan
komplemen juga berikatan dengan antibodi IgG atau IgM.
Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada reseptor spesifik
yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan
opsonisasi, tetapi juga memacu untuk terjadinya fagositosis.

Anafilaksis dan kemotaksis


C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu
sel mast dan sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang
dapat meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos
vaskular.Reseptor C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast,
sel basofil, otot polos dan limfosit.Reseptor C5a terdapat pada
permukaan sel mast, basofil, netrofil, monosit, makrofag, dan sel
endotelium.
Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot
polos menyebabkan kontraksi otot polos tersebut.Untuk mekanisme
ini C5a adalah yang paling poten dan C4a adalah yang paling
lemah.
C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a;
oleh karena C5a juga mempunyai reseptor yang spesifik pada
permukaan sel-sel fagosit maka C5a dapat menarik sel-sel fagosit
tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda asing atau
jaringan yang rusak; proses ini disebut kemotaksis. Juga setelah
melekat C5a dapat merangsang metabolisme oksidatif dari sel
fagosit tersebut sehingga dapat meningkatkan daya untuk
memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut
Proses peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan
terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk
terjadinya proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau
benda asing tersebut; proses ini disebut peradangan.
Pelarutan dan eliminasi kompleks imun
Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi,
dan dapat meningkat secara dramatis bilamana terdapat
peningkatan antigen.Kompleks imun ini bilamana berlebihan dapat
membahayakan oleh karena dapat mengendap pada dinding
pembuluh darah, mengaktivasi komplemen dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Pembentukan kompleks imun bilamana
berlebihan, tidak hanya membutuhkan Fab dari imunoglobulin tetapi
juga interaksi dengan Fc. Oleh karena itu pengikatan komplemen
pada Fc immunoglobulin suatu kompleks imun dapat membuat
ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi lemah.
Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan
ini, sistem komplemen dapat meningkatkan fungsi fagosit.Fungsi ini
terutama oleh reseptor yang terdapat pada permukaan
eritrosit.Kompleks imun yang beredar mengaktifkan komplemen dan
mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada antigen. Kompleks
tersebut akan berikatan dengan reseptor pada permukaan eritrosit.
Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel
fagosit dalam limpa dan hati (sel Kupfer) dapat membersihkan
kompleks imun yang terdapat pada permukaan sel eritrosit tersebut.
REGULASI
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu
1) komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada
dalam bentuk yang tidak stabil sehingga bila tidak berikatan dengan
komplemen berikutnya akan rusak, 2) adanya beberapa inhibitor
yang spesifik misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor H, 3)
pada permukaan membran sel terdapat protein yang dapat merusak
fragmen komplemen yang melekat.
Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2
fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3
konvertase.
1. Aktivitas C1 inhibitor Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1
inhibitor (C1 INH).Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat
pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi
akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.
2. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase
dihambat oleh beberapa regulator.
C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe
1 (CR1) dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah
terbentuknya C4b2b (C3 konvertase).Disamping itu kedua reseptor
ini bersama dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat
meningkatkan potensi faktor I dalam merusak C4b.
Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan
C4b sehingga mencegah terbentulmya C4b2b.
Regulasi jalur alternatif
Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa
protein dalam sirkulasi maupun yang terdapat pada permukaan
membran.
Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan Bb untuk berikatan
dengan C3b. Juga CR1 dan DAF dapat berikatan dengan C3b
sehingga berkompetisi dengan faktor B. Dengan adanya hambatan
ini maka pembentukan C3 konvertase juga dapat dihambat.Faktor I,
menghambat pembentukan C3bBb; dalam fungsinya ini faktor I
dibantu oleh kofaktor H, CR1 dan MCP.Faktor I memecah C3b dan
yang tertinggal melekat pada permukaan sel adalah inaktif C3b
(iC3b), yang tidak dapat membentuk C3 konvertase, selanjutnya
iC3b dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.
Penyakit Dalam Sistem Komplemen
Penyakit pada manusia yang berkaitan dengan sistem komplemen
dapat terjadi oleh karena dua keadaan.Pertama adalah adanya
defisiensi dari salah satu protein komplemen atau protein
regulator.Kedua, suatu sistem komplemen yang normal diaktifkan
oleh stimulus yang tidak normal seperti mikroorganisme yang
persisten atau suatu reaksi autoimun.
Defisiensi protein regulator Pada beberapa keadaan dapat terjadi
defisiensi protein regulator, baik yang larut maupun yang berikatan
pada membran sel. Edema angioneurotik herediter (HANE) adalah
suatu keadaan yang disebabkan oleh defisiensi C l INH. Manifestasi
klinis kelainan ini adalah edema pada muka, ekstremitas, mukosa
laring, dan saluran cerna yang akan menghilang setelah 24 sampai
72 jam. Pada serangan berat disamping gangguan saluran cerna
juga dapat terjadi obstruksi saluran nafas.Mediator yang berperan
dalam kelainan ini adalah C3a, C4a, dan C5a yang bersifat sebagai
anafiltoksin.Di samping itu oleh karena fungsi C l INH juga
merupakan regulator kalikrein dan faktor XII, maka kemungkinan
aktivasi faktor ini juga memegang peran.Defisiensi regulator jalur
alternatif yang larut (faktor H dan I) sangat jarang terjadi. Akibat
defisiensi ini C3 akan diaktifkan terus menerus. Pasien dengan
antibodi ini sering menderita glomerulonefritis yang mungkin
disebabkan oleh kurang adekwatnya pembersihan kompleks imun
dari sirkulasi dan mengendap pada membran glomerulus ginjal.
Defisiensi genetik Defisiensi genetik fragmen jalur klasik dan
alternatif meliputi C1q, C1r, C1s, C4, C2, C3, properdin, dan faktor
D. Defisiensi fragmen awal dari jalur klasik biasanya berhubungan
dengan penyakit autoimun seperti glomerulonefritis dan lupus
eritematosus sistemik (LES). Yang terbanyak dijumpai pada manusia
adalah defisiensi C2.Lebih dari seperdua dari pasien dengan
defisiensi C2 dan C4 menderita LES.Pasien dengan defisiensi C2 dan
C4 tidak menunjukkan kenaikan frekuensi terkena infeksi.Defisiensi
C3 biasanya berhubungan dengan sering terjadinya infeksi bakteri
piogen yang fatal.Hal ini mungkin menunjukkan pentingnya peran
C3 pada opsonisasi, peningkatan fagositosis, dan penghancuran
mikroorganisme.Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemungkinan
fungsi utama dari jalur klasik adalah untuk eliminasi kompleks imun
dan jalur altematif untuk eliminasi bakteri.
Defisiensi komplemen Defisiensi dalam sistem komplemen dapat
terjadi pada jalur klasik, altematif, kompleks serangan membran,
atau pada protein regulator.Defisiensi ini dapat terjadi sejak lahir,
atau didapat setelah lahir oleh karena terdapatnya mutasi gen.
Defisiensi fragmen kompleks serangan membran Defisiensi fragmen
kompleks serangan membran yang mencakup C5, C6, C7, C8 dan
C9 menyebabkan tidak terdapatnya kemampuan untuk melisis
organisme asing. Tetapi kenyataan yang menarik pada pasien
dengan defisiensi kompleks serangan membran, hanya mendapat
infeksi sistemik yang berat dengan bakteri neiseria intraselular
termasuk N. meningitidis dali N. gonorrhoeae. Tetapi oleh karena
jumlah sampel pasiennya hanya sedikit, belum dapat disimpulkan
bahwa kompleks serangan membran terutarna penting untuk
pertahanan terhadap organisme tersebut.

2.8 SEL-SEL SISTEM IMUN

1. Sel-Sel Sistem Imun Nonspesifik


Sel sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah
agen pencetus pernah atau belum pernah dijumpai.Reaksinya pun
tidak perlu diaktivasi terlebih dahulu seperti pada sistem imun
spesifik.Lebih jauh lagi respon imun non spesifik merupakan lini
pertama pertahanan terhadap berbagai faktor yang
mengancam.Sel-sel yang berperan dalamnsistem imun nonspesifik
adalah sel fagosit, sel nol, dan sel mediator.
a) Sel Fagosit
Sel fagosit terbagi dua jenis, yaitu fagosit mononuclear dan fagosit
polimorfonuklear.Fagosit mononuclear terdiri dari sel monosit dan
sel makrofag, sedangkan fagosit polimorfonuclear terdiri dari
neutrofil dan eusinofil.

Sel Monosit dan Sel Makrofag


Persentase sel monosit dalam sel darah putih berkisar 5 %. Monosit
bersirkulasi dalam darah hanya selama beberapa jam, kemudian
bermigrasi ke dalam jaringan, dan berkembang menjadi makrofaga
(macrophage) besar (pemangsa besar). Makrofaga jaringan, yang
merupakan sel-sel fagositik terbesar, adalah fagosit yang sangat
efektif dan berumur panjang.Sel-sel ini menjulurkan kaki semu
(psedopodia) yang panjang yang dapat menempel ke polisakarida
pada permukaan mikroba dan menelan mikroba itu, sebelum
kemudian dirusak oleh enzim-enzim di dalam lisosom makrofaga itu.
Beberapa makrofaga bermigrasi ke seluruh tubuh, sementara yang
lain tetap tinggal secara permanen dalam jaringan tertentu: dalam
paru-paru (makrofaga alveoli), hati (sel-sel Kupfer), ginjal (sel-sel
mesangial), otak (sel-sel mikroglia), jaringan ikat (histiosit), dan
pada limpa, nodus limfa, serta jaringan limfatik. Mikroorganisme,
fragmen mikroba, dan molekul asing yang memasuki darah
menghadapi makrofaga ketika mereka terjerat dalam bangun limpa
yang mirip dengan jarring, sementara yang berada dalam cairan
jaringan mengalir ke dalam limfa dan disaring melalui nodus limfa.
Namun, beberapa mikroba telah mengevolusikan mekanisme untuk
menghindari perusakan oleh sel fagositik.Beberapa bakteri
mempunyai kapsul bagian luar yang tidak dapat ditempeli
makrofaga.Contoh bakteri tersebut adalah Mycobacterium
tuberculosis, yang bersifat resisten terhadap perusakan oleh lisosom
dan bahkan dapat bereproduksi di dalam makrofaga.

Sel Neutrofil
Neutrofil merupakan sel fagosit yang berasal dari sel bakal myeloid
dalam sumsum tulang.Jumlahnya sekitar 60-70% dari semua sel
darah putih (leukosit).Neutrofil adalah fagosit pertama yang tiba,
diikuti oleh monosit darah, yang berkembang menjadi makrofaga
besar dan aktif.Sel-sel yang dirusak oleh mikroba yang menyerang
membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil dari darah
untuk datang. Neutrofil itu akan memasuki jaringan yang terinfeksi,
lalu menelan dan merusak mikroba yang ada disana. (Migrasi
menuju sumber zat kimia yang mengundang ini disebut
kemotaksis).Di dalam neutrofil terdapat enzim lisozim dan laktoferin
untuk menghancurkan bakteri atau benda asing lainnya yang telah
difagositosis.Setelah memfagositosis 5-20 bakteri, neutrofil mati
dengan melepaskan zat-zat limfokin yang mengaktifasi makrofag.
Biasanya, neutrofil hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam
karena neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika mereka
merusak penyerang asing.

Sel Eusinofil
Sama seperti sel fagosit lainnya, sel eosinofil berasal dari sel bakal
myeloid.Ukuran sel ini sedikit lebih besar daripada neutrofil dan
berfungsi juga sebagai fagosit.Eosinofil berjumlah 2-5% dari sel
darah putih.Peningkatan eosinofil di sirkulasi darah dikaitkan dengan
keadaan-keadaan alergi dan infeksi parasit internal (contoh, cacing
darah atau Schistosoma mansoni). Walaupun kebanyakan parasit
terlalu besar untuk dapat difagositosis oleh eosinofil atau oleh sel
fagositik lain, namun eosinofil dapat melekatkan diri pada parasit
melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan
yang dapat membunuh banyak parasit. Selain itu, eosinofil juga
memiliki kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam jaringan
yang memiliki reaksi alergi.Kecendrungan ini disebabkan oleh faktor
kemotaktik yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang
menyebabkan eosinofil bermigrasi kearah jaringan yang meradang.
Sel fagosit terutama makrofag dan neutrofil; memiliki peran besar
dalam proses peradangan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut sel
fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun
spesifik lainnya.
b) Sel Nol
Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi tidak
mengandung petanda seperti pada permukaan sel B dan sel T. Oleh
karena itu disebut sel nol. Sel ini beredar dalam pembuluh darah
sebagai limfosit besar yang khusus, memiliki granular spesifik yang
memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal,
seperi sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan
penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler.Sel
jenis khusus mirip limfosit yang diproduksi di dalam sumsum tulang
ini juga tersedia di limpa, nodus limfa, dan timus dan merupakan 10
% 20 % bagian dari limfosit perifer.Bentuknya lebih besar dari
limfosit B dan limfosit T.
c) Sel Mediator
Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil, sel mast, dan
trombosit.Sel tersebut disebut sebagai mediator dikarenakan
melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam sistem imun.
Sel basofil dan sel mast
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan
diduga juga dapat berfungsi sebagai fagosit.Sel basofil secara
struktural dan fungsional mirip dengan sel mast, yang tidak pernah
beredar dalam darah tapi tersebar di jaringan ikat di seluruh
tubuh.Awalnya sel basofil dianggap berubah menjadi sel mast
dengan bermigrasi dari sistem sirkulasi, tapi para peneliti
membuktikan bahwa basofil berasal dari sumsum tulang sedangkan
sel mast berasal dari sel prekursor yang terletak di jaringan ikat.Ada
dua macam sel mast yaitu terbanyak sel mast jaringan dan sel mast
mukosa.Yang pertama ditemukan di sekitar pembuluh darah dan
mengandung sejumlah heparin dan histamine.Sel mast yang kedua
ditemukan di slauran cerna dan napas.Proliferasinya dipacu IL-3 dan
IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit.Baik sel basofil maupun
sel mast memiliki reseptor untuk IgE dan karenanya dapat
diaktifkan oleh alergen spesifik yang berkaitan dengan antibodi
IgE.Kemudian bila terdapat alergen spesifik berikutnya yang
bereaksi dengan antibodi, maka perlekatan keduanya menyebabkan
sel mast atau basofil rupture dan melepaskan banyak sekali
histamin, bradikinin, serotonin, heparin, substansi anafilaksis yang
bereaksi lambat, dan sejumlah enzim lisosomal.Bahan-bahan inilah
yang menyebabkan manifestasi alergi.Selain itu keduanya pun
dapat membentuk dan menyimpan heparin dan histamin.
Trombosit
Trombosit adalah fragmen sel yang berasal dari megakariosit besar
di sumsum tulang belakang. Trombosit berperan dalam pembatasan
daerah yang meradang, dimana apabila terpajan ke tromboplastin
jaringan di jaringan yang cedera maka fibrinogen, yang telah
diaktifkan melalui proses berjenjang yang melibatkan pengaktifan
suksesif faktor-faktor pembekuan, diubah menjadi fibrin. Fibrin inilah
yang membentuk bekuan cairan interstitiumdi ruang-ruang di
sekitar bakteri dan sel yang rusak.

2. Sel-sel Sistem Imun Spesifik


a) Sel T
Karakteristik Sel T
Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel sel ini harus berkontak
langsung dengan sasaran suatu proses yang dikenal sebagai
immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity,
imunitas seluler).
Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen.Di membran plasmanya,
setiap Sel T memiliki protein-protein reseptor unik.
Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut
disajikan di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda
identitas individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen asing
maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T
dapat mengikuti keduanya.
Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T
efektor.Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi sebagai cadangan
sel T pengingat yang siap merespon secara lebih cepat dan kuat
apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel tubuh.
Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing dalam
kombinasi dengan antigen jaringan individu itu sendiri, suatu
pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T berikutnya
Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen tertentu
sebelum sel T teraktivasi besiap untuk melancarkan serangan imun
seluler.

Subpopulasi sel T
Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari sel
klon sel T komplementer berproliferisai dan berdiferensiasi selama
beberapa hari, menghasilkan sejumlah besar sel T teraktivasi yang
melaksanakan berbagai respons imunitas seluler.Terdapat tiga
subpopulasi sel T, tergantung pada peran mereka setelah diaktifkan
oleh antigen.
Sel Tc (cytotocic)
Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen
asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan
sel cangkokan.
Sel Th (helper)
Berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi,
memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan (supresor)
yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag.
Sel Ts (supperssor)
Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T
sitotoksik dan penolong.Sebagian besar dati milyaran Sel T
diperkirakan tergolong dalam subpopulasi penolong dan penekan,
yang tidak secara langsung ikut serta dalam destruksi patogen
secara imunologik.Kedua subpopulasi tersebut disebut sel T
regulatorik, karena mereka memodulasi aktivitas sel B dan Sel T
sitotoksik serta aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag.
Sel Tdh (delayed hypersensitivity)
Merupakan sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel
inflamasi lainnya ketempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.Dalam fungsinya, sel Tdh sebenarnya menyerupai sel Th.

Limfokin
Dalam biakan sel limfosit T dapat ditemukan berbagai bahan yang
mempunyai efek biologic.Bahan-bahan tersebut disebut limfokin
dan dilepas sel T yang disensitisasi. Beberapa jenis limfokin yaitu:
interleukin, interferon, factor supresor, factor penolong , dan
sebagainya.

b) Sel B
Sel B merupakan 5-15 % dari jumlah seluruh limfosit dalam
sirkulasi.Fungsi utamanya ialah memproduksi antibodi.Sel B ditandai
dengan adanya immunoglobulin yang dibentuk didalam sel dan
kemudian dilepas, tetapi sebagian menempel pada permukaan sel
yang selanjutnya berfungsi sebagai reseptor antigen.Kebanyakan
sel perifer mengandung IgM dan IgD dan hanya beberapa sel yang
mengandung IgG, IgA, dan IgE, pada permukaannya.Sel B dengan
IgA banyak ditemukan dalam usus.Antibody permukaan tersebut
dapat ditemukan dengan teknik imunofluoresen.
2.9 REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi
berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II
hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif
cell-mediated (hipersensitif tipe lambat).Selain itu masih ada satu
tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory
hipersensitivity.Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan
Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi
suatu penyakit.Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat
mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme
akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

1. Reaksi Hipersentivitas Tipe I


Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang
timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen.Semula
diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap
parasit tertentu terutama cacing.Istilah alergi pertama kali
diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan
sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini allergen yang
masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan
dibentuknya Ig E.
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
a) Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.
b) Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik,
mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.
c) Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
bahan- bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.
IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera
diikat oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan mastosit
akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi
secara pasif apabila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan
ke dalam kulit atau sirkulasi orang normal.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II


Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena
dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel pejamu.Reaksi ini dimulai dengan antibodi
yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan
atau antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan
elemen jaringan tersebut.Kemudian kerusakan diakibatkan adanya
aktivasi komplemen atau sel mononuklear.Mungkin terjadi sekresi
atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid.Contoh reaksi tipe II
ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit
anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit
autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
a) Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune
adherence
b) Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang
mempunyai reseptor untuk Fc
c) Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III


Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang
terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan
atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan
komplemen.Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG
sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor
kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan
pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis
kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan
zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf,
yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan
kinin.
Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman
patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur
yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan
sendiri (penyakit autoimun).Infeksi dapat disertai dengan antigen
dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi
yang efektif.

4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV


Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell
mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau
reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh
terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada
permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan
mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang
mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang
mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di
permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa
jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler
(virus, mikrobakteri, dll).Protein atau bahan kimia yang dapat
menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi
sebagai carrier.Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang
oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang
telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus,
sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang
mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan
yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa
penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus
(variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis)
dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis)

Anda mungkin juga menyukai