Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

KULIAH LAPANGAN

4.1 PENDAHULUAN

4.1.1 Latar Belakang

Latar belakang diadakannya kuliah lapangan (fieldtrip) geologi ini adalah untuk
meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang materi-materi geologi (secara teori) yang telah
diberikan dalam perkuliahan, yaitu tentang batuan dan mineral. Sehingga, diharapkan mahasiswa
dapat mengetahui bagaimana bentukbentuk fisik dari suatu singkapan,bagaimana karakteristik
suatu batuan serta bagaimana proses terjadiannya batuan dan mineral itu sendiri dialam.
Teori dasar yang diberikan di dalam perkuliahan pada umumnya bersifat ideal sehingga lebih
mudah dimengerti dan dibayangkan. Namun pada kenyataan di lapangan, apa yang diamati
tidaklah semudah yang penulis bayangkan. Sehingga,diperlukan suatu penelitian lebih lanjut dan
secara langsung mengenai kenampakan objek-objek geologi batuan dan mineral agar didapatkan
suatu pemahaman yang diharapkan. Penelitian secara langsung ini dapat dilakukan melalui
kuliah lapangan (fieldtrip). Selain itu, penelitian di lapangan merupakan penelitian yang
sesungguhnya. Karena pada dasarnya, sebuah teori terlahir karena adanya penelitian dari alam.
Sehingga untuk membuktikan serta membandingkan kebenaran dari hasil teori yang telah ada,
maka kuliah lapangan (fieldtrip) ini perlu dan mutlak untuk dilakukan. Sehingga, mahasiswa
tidak hanya memahami teori dengan menerima materi tersebut secara mentah saja. Namun,
mahasiswa dituntut untuk mampu menganalisa dengan baik apabila dihadapkan secara langsung
di lapangan.

4.1.2 Tujuan

Kegiatan Kuliah Lapangan Geologi yang dilaksanakan pada tanggal 30 31 Juni 2015 ini
bertujuan untuk :

1. Menerapkan teori-teori tentang materi pembelajaran Sedimentologi, Prinsip Stratigrafi


dan Paleontologi.
2. Mendeskripsi penampang batuan termasuk facies batuan maupun formasi batuan yang
terdapat.
3. Pengenalan penggunaan alat-alat geologi seperti peta, loupe, palu, kompas, GPS, dsb.
4. Pengukuran Strike/Dip lapisan.
5. Ploting pada peta kontur.
6. Pengukuran Penampang Stratigrafi

4.1.3 Waktu Penelitian


Kuliah Lapangan Geologi dilakukan yang dilaksanakan pada tanggal 30 31 Juni 2015
di daerah Sumata Barat tepatnya dari bukit Pagias Sawahl unto. Perjalanan di mulai dari
kampus Universias Islam Riau pada pukul 00.00 WIB menuju lokasi stasiun pertama yaitu Bukit
Pagias dan tiba pada pukul 08.00 WIB. Untuk Stasiun 2,3 dan 4 itu berdekatan degan demikian
bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Kemudian dilanjutkan ke stasiun 4 dengan lokasi Kampung
Atar tiba pada pukul 11.30 WIB. Kemudian makan siang dahulu. Kemudian dilanjutkan ke
stasiun 5 dengan lokasi sungai setangkai, tiba pada waktu 15.00 WIB, kemudian dilakukan
hingga selesai pengamatan.
Dan akhirnya kegiatan kuliah lapangan selesai lalu pulang menuju Pekanbaru dan tiba
pada pukul 04.00 WIB.

4.1.4 Lokasi

Kuliah Lapangan Geologi dilaksanakan di Sawahlunto, dengan 12 stasiun pengamatan yang


terdiri dari :

1. Stasiun Pengamatan I : Bukit Pagias


2. Stasiun Pengamatan II : Bukit Pagias
3. Stasiun Pengamatan III : Bukit Pagias
4. Stasiun Pengamatan IV : bukit pagias
5. Stasiun Pengamatan V : pemandian air panas, bukit pagias
6. Stasiun Pengamatan VI : kampung atar
7. Stasiun Pengamatan VII : sungai setangkai
8. Stasiun Pengamatan VIII : sungai selo
9. Stasiun Pengamatan IX : daerah selo, singkapan chevron
10. Stasiun Pengamatan X : sawahlunto
11. Stasiun Pengamatan XI : daerah jalan lintas sawahlunto - sijunjung
12. Stasiun Pengamatan XII : penangkaran buaya

4.2 Dasar Teori

4.2.1 Regional Sumatera Barat


Gambar 2.1. peta geologi regional sumatera tengah

Geologi Regional Sawahlunto

Seacara umum geologi daerah ini berupa perbukitan yang memanjang dari arah barat laut
Tenggara dengan ketinggian berkisar antara 200- 900 meter di atas permukaan laut.Kota
Sawahlunto terletak pada formasi sawahlunto, batuan yang terbentuk pada zaman Eochen sekitar
40-60 juta tahun yang lalu. Para ahli geologi erpendapat bahwa kepulauan nusantara yang kita
kenal sekarang ini terbentuk sekitar 4 juta tahun yang lalu. Mereka menduga ketika formasi
sawahlunto terbentuk, pulau Sumatra belum ada seperti yang kita kenal saat ini.

Batuan dari zaman pra- terisier yang terangkat ke pemukaan dengan cara struktur garben
lalu diendapkan dengan batuan-batuan sedimen yang berumur terisier pada cekugan dan
menghasilkan batuan intrusi terisier. Hasil erosi dari batuan intrusi terbawa dan mengendap di
sekitar aliran sungai lalu menghasilkan endapan alluvial. Satuan batuan tersebut terdiri dari:

1)Batu Gamping Argit


2)Batu Granit
3)Konglomerat
4)Batu Lempung- Batu Pasir
5)Batu Lempung- Batu Lanau
6)Batu Pasir
7)Tufa Batu Apung

Dari bentuk topografi yang berkembang dapat ditafsirkan bahwa daerah ini dipengaruhi
oleh aktifitas tektonik baik lipatan maupun sesar. Hal ini dapat dilihat dari bentuk sungai yang
Menyiku, menandakan bahwa sungai tersebut terbentuk akibat terjadinya celah atau rekahan
yang relative merupakan zona lemah. Kemudian air mengerosi sepanjang rekahan. Perbukitan
yang terjadi menggambarkan daerah ini telah terjadi pengangkatn dan keudian terbentuk lipatan.

Tanah formasi sawahlunto mengandung butiran pasir yang dapat mengalirkan air. Akan
tetapi berdasarkan penampang geologi ombilin diduga air tersebut lolos ke tempat yang lain.
Aspek geologi yang sangat perlu mendapat perhatian sangat serius dalam perencanaan dan
pengembangan kota Sawahlunto adalah sesar dan Gempa.

Fisiografi

Menurut Tobler (1922) dalam van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Sumatera
Tengah dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu Dataran Aluvial Pantai Timur, Cekungan
Tersier Sumatera Tengah, Zona Depresi Tengah dari Daerah Barisan, Pegunungan Barisan
Depan, Sekis Barisan atau Daerah Barisan Timur, Daerah Dataran Tinggi Barisan, Dataran
Aluvial Pantai Barat.

Sebagai perkembangan lebih lanjut dari pembagian Tobler (1922), van Bemmelen (1949)
membagi fisiografi daerah Sumatera Tengah, yaitu Zona Pegunungan Tiga Puluh, Zona Sesar
Semangko, Zona Pegunungan Bukit Barisan, Zona Dataran Rendah dan Zona Dataran
Bergelombang (Gambar 2.2)

Gambar 2.2. Peta Zona Fisiografi Sumatera Tengah (van Bemmelen, 1949).

Stratigrafi Regional

Daerah penelitian terletak pada subcekungan Sinamar merupakan subcekungan bagian


timur dari cekungan Ombilin. Subcekungan Sinamar yang berada di timur dan subcekungan
Talawi yang berada di barat merupakan dua bagian subcekungan dari cekungan Ombilin , yang
secara struktural dipisahkan oleh sesar berarah relatif utara-selatan sesar Tanjung Ampalu. Selain
secara struktural pembagian subcekungan ini juga didasarkan atas batuan penyusun dari kedua
subcekungan tersebut. Subcekungan Talawi disusun oleh endapan berumur Paleogen, sedangkan
subcekungan Sinamar disusun oleh endapan berumur Neogen (Situmorang, dkk., 1993, Hastuti,
dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).

Secara stratigrafi, berdasarkan dari resume para peneliti terdahulu (Koesoemadinata dan
Matasak, 1981, Koning, 1985, Situmorang, dkk., 1991, Yarmanto dan Fletcher, 1993, Barber,
dkk., 2005) cekungan Ombilin memiliki batuan dengan umur Pra-Tersier (Perm dan Trias)
hingga batuan berumur Kuarter (Gambar 2.3) dengan deskripsi dari tiap-tiap formasi yang ditulis
oleh para peneliti terdahulu yang ditunjukkan pada (Gambar 2.4).

Gambar 2.3. Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi Koesomadinata dan Matasak
(1981), Koning (1985), Situmorang, dkk.(1991), Yarmanto dan Fletcher (1993), Barber, dkk.
(2005).
Gambar 2.4. Deskripsi dari tiap formasi kompilasi dari Koesomadinata dan Matasak (1981),
Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991).

Untuk mempermudah penjelasan, penulis merujuk kepada satu tata nama satuan
litostratigrafi, yaitu yang dibuat oleh Koesomadinata dan Matasak (1981), yang dijelaskan dari
tua ke muda sebagai berikut.

A. Batuan Pra-Tersier

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), batuan Pra-Tersier merupakan batuan yang
mendasari cekungan Ombilin. Batuan ini tersingkap di bagian barat dan timur dari cekungan.

Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian barat cekungan terdiri dari:

1. Formasi Silungkang

Terdiri dari litologi batuan vulkanik batugamping koral. Batuan vulkanik terdiri dari lava
andesitik, basaltik serta tufa. Umur formasi ini adalah Permo- Karbon berdasarkan kandungan
fosil Fusulinida pada batu gamping.

2. Formasi Tuhur

Terdiri dari litologi batusabak, anggota serpih dan anggota batugamping.Umur formasi ini
adalah Trias.

Seluruh batuan ini kemudian diintrusi oleh Granit Lassi, yang berumur 200 juta tahun yang
lalu (Katili,1962 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).
Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian timur cekungan terdiri dari:

1. Formasi Kuantan terdiri dari litologi batugamping Oolit yang mengalami rekristalisasi,
marmer, batusabak, filit serta kuarsit yang berkembang secara lokal.Umur dari formasi
ini adalah Trias (Kastowo dan Silitonga,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981)

Formasi Kuantan di intrusi oleh granit masif dari Formasi Sumpur (Musper, 1930
dalamKoesoemadinata dan Matasak, 1981) yang berumur 200 juta tahun yang lalu
(Obradovich,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

B. Batuan Tersier

Batuan Tersier cekungan Ombilin dapat dibagi menjadi enam formasi menurut
Koesomadinata dan Matasak (1981), sebagai berikut.

1. Formasi Brani

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Brani terdiri dari


konglomeratberwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil sampai kerakal, dengan beraneka
ragam jenis fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak dan argilit, granit, kuarsit,
arkosic gritsand yang berbutir kasar, massif dan umumnya tidak berlapis. Umur formasi
ini berdasarkanhubungan yang menjemari dengan Formasi Sangkarewang diduga Paleosen
hingga Eosen. Formasi Brani diperkirakan diendapkan sebagai endapan kipas aluvial.

2. Formasi Sangkarewang

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang terdiri dari


serpihberlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam, plastis, gampingan
mengandung material karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan
berupa lapisan- lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen
kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam, matriks lempung terpilah buruk
mengandung mika dan material karbon dan terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan
batupasir ini menunjukan pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa polen umur dari formasi
ini diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam Koesomadinata dan Matasak,
1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen Atas (Himawan, 1991 dalam
Situmorang, dkk.,1991), berumur Paleosen-Eosen (Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen-
Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993), berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan,
1989, Howells, 1997 dalam Barber, 2005). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981)
berdasarkan hubungannya dengan Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang berdasarkan
analisa polen Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen diperkirakan
Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi Sangkarewang diperkirakan terendapkan
pada lingkungan danau.
3. Formasi Sawahlunto

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terdiri dari sekuen
serpihberwarna abu-kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa
berwarna abu-kecoklatan dan dicirikan dengan hadirnya batubara. Serpih umumnya karbonan.
Batupasir memiliki ciri sekuen menghalus ke atas, memiliki struktur sedimen berlapis silang-
siur, ripple lamination dan dasar erosi tegas yang menunjukkan suatu sekuen point bar. Batubara
umumnya berselingan dengan batulanau berwarna kelabu dan lempung karbonan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) Formasi Sawahlunto ini berumur Eosen
berdasarkan analisa polen yang menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen, sedangkan menurut
Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991) dan Bartman dalam Yarmanto dan Fletcher
(1993) berdasarkan analisa polen, umur formasi ini diperkirakan Oligosen hingga Miosen Awal.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), hadirnya serpih karbonan, batubara,


khususnya batupasir yang bertipe point bar menunjukkan lingkungan pengendapan dari formasi
ini merupakan suatu dataran banjir dengan sungai yang berkelok dimana batubara terdepositkan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto terletak selaras di atas
Formasi Brani dan secara setempat juga terletak selaras dengan Formasi Sangkarewang dan juga
diperkirakan menjemari dengan Formasi Sangkarewang di beberapa tempat. Menurut Cameron,
dkk (1981) dalam Koning (1985) proses pengangkatan dan erosi yang berhubungan dengan
tektonik sesar mendatar terjadi pada saat pengendapan Formasi Sawahlunto. Proses hiatus ini
menurut Koning (1985) ditemukan tersingkap di beberapa tempat dan sebagai bukti adanya
ketidakselarasan bersudut pada beberapa hasil seismik pada pinggir cekungan.Menurut
Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto memiliki ketebalan 274 meter.
Sedangkan, menurut Koning (1985) berdasarkan sumur bor, tebal formasi ini 170 meter.

4. Formasi Sawah Tambang

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh sekuen
massifyang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang secara
setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar,
sebagian besar konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah sangat buruk,
menyudut tanggung, keras dan masif. Ciri sekuen Formasi Sawahtambang terdiri dari siklus-
siklus atau seri pengendapan dimana setiap siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian
dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan paralel laminasi dengan
sekuen yang menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan terdapat lensa-lensa batupasir
yang bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya berskala besar dan memiliki bentuk
gelombang (trough crossbedded). Secara setempat, pada bagian bawah Formasi Sawahtambang,
terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang membentuk unit tersendiri
yaitu sebagai Anggota Rasau. Sedangkan, pada bagian atas formasi ini dengan sisipan lapisan-
lapisan batulempung dengan kandungan laminasi batubara yang terjadi secara setempat,
membentuk unit sendiri, yaitu Anggota Poro.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terletak selaras di atas Formasi
Brani dan memiliki hubungan selaras dan menjari dengan Formasi Sawahlunto di beberapa
tempat. Menurut Cameron, dkk. (1981) dalam Koning (1985) berdasarkan pemetaan
lapanganyang telah dilakukan oleh Cameron, dkk. menunjukkan antara Formasi Sawahtambang
dengan Formasi Sawahlunto memiliki hubungan ketidakselarasan bersudut. Sedangkan, menurut
Situmorang, dkk (1991) secara keseluruhan antara Formasi Sawahlunto dan Formasi
Sawahtambang memiliki hubungan menjari berdasarkan lingkungan pengendapan dari kedua
formasi tersebut yang merupakan sistem sungai, yang mana Formasi Sawahtambang memiliki
lingkungan pengendapan sungai teranyam pada bagian fasies proksimal yang berubah secara
lateral menjadi fasies distal yang membentuk endapan sungai berkelok dari Formasi Sawahlunto.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) umur dari formasi ini berdasarkan posisi
stratigrafi di bawah Formasi Ombilin dan hubungan yang selaras di atas Formasi Sawahlunto
diperkirakan berumur Oligosen. Menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991)
berdasarkan analisa polen formasi ini juga menunjukan berumur Oligosen.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) dan Situmorang, dkk. (1991), formasi ini
diendapkan pada lingkungan sistem sungai teranyam.

Menurut Whateley dan Jordan (1989) dan Howells (1997) dalam Barber, dkk. (2005)
sumber sedimen dari Formasi Sawahtambang ini berasal dari barat cekungan Ombilin. Menurut
Barber, dkk. (2005) proses pengendapan dari Formasi Sawahtambang ini bersamaan dengan
pengangkatan dari Bukit Barisan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahtambang memiliki


ketebalan antara 625 meter sampai 825 meter, dan menunjukan terjadinya penebalan dari utara
cekungan ke arah selatan. Sedangkan, menurut (Koning, 1985) berdasarkan sumur bor tebal
formasi ini 1420 meter.

5. Formasi Ombilin

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari serpih
ataunapal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila lapuk menjadi berwarna kelabu
terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk kedalam sekuen ini adalah lapisan-lapisan
batupasir yang mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu kehijauan, secara umum
terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada bagian bawah dari formasi ini terdapat
nodul-nodul batugamping dan lensa batugamping foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas
sisipan lapisan batupasir tufaan, diselingi oleh batulanau bersifat karbonan, mengandung
glaukonit dan fosil moluska. Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) napal dari formasi ini
mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut.Umur dari formasi ini diperkirakan
berumur Miosen Awal (Koesomadinata dan Matasak, 1981, Humpreys, dkk., 1991 dalam
Situmorang, dkk., 1991).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan fosil bentonik
serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan neritik
luar sampai batial atas. Menurut Howell (1997) dalam Barber, dkk. (2005) Formasi Ombilin
terendapkan pada lingkungan laut, yang terdiri dari batupasir halus, batulanau dan batulempung
yang sering kali karbonatan dengan batugamping secara setempat memiliki ketebalan 50 meter
sampai 100 meter yang termasuk ke dalam lentikuler koral dan batugamping alga. Batupasir
halus dengan fragmen dari batubara dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir pantai.
Proses pengendapan Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini terjadi akibat adanya proses
transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin yang berhubungan dengan fase transgressi pada
cekungan busur belakang Sumatra (Situmorang, dkk., 1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk.,
2005).

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak selaras di atas
Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di beberapa tempat. Sedangkan, Formasi
Ombilin terletak selaras di atas Formasi Sawahtambang. Menurut Koning (1985) antara Formasi
Ombilin dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan reflektansi
vitrinit terhadap kedalaman pada sumur bor di subcekungan Sinamar yang mengindikasikan
terdapatnya bagian Sawahtambang yang telah tererosi.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin memiliki ketebalan


antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning (1985) berdasarkan data seismik, tebal formasi
ini 2740 meter.

6. Formasi Ranau

Menurut van Bemmelen (1943) pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin,


didapatkanformasi berupa tufa yang disebut sebagai Tufa Ranau. Tufa ini dianggap menjadi
deposit volkanik berumur Pleistosen (Koesomadinata dan Matasak, 1981), sedangkan menurut
Bellon, dkk. (2004) dalam Barber, dkk. 2005 umur dari formasi ini diperkirakan antara 5,5
hingga 2,4 juta tahun yang lalu (Pliosen).

Adanya perbedaan urutan litostratigrafi terhadap umur dari tiap peneliti-peneliti


sebelumnya (Gambar 2.2), diakibatkan oleh sukarnya penentuan umur yang tepat dari tiap
formasi pada cekungan Ombilin bagian bawah yang berupa endapan darat. Penentuan umur
yangmemiliki rentang umum dari endapan-endapan darat tersebut, dibatasi oleh endapan
berlingkungan laut Formasi Ombilin yang terdapat foraminifera dari Miosen Awal, yang
memberikan batas umur paling muda untuk formasi-formasi yang lebih tua (Gambar 2.4).
Gambar 2.5. Kompilasi kumpulan fosil dari Koesomadinata dan Matasak (1981), Situmorang,
dkk.(1991) dan Yarmanto dan Fletcher (1993) dari formasi formasi di cekungan Ombilin.

Proses penambangan batubara pada saat ini terletak di bagian barat cekungan ombilin dan
terdapat pada formasi sawahlunto yang terdiri dari batu lempung ( clay stone ), batu pasir ( sand
stone ), dan batu Lanau ( silkstone ) dengan sisipan batubara. Formasi sawahlunto ini terletak
pada dua jalur yang terpisah yaitu jalur yang menjurus dari Sawahlunto sampai ke Sawahrasau
dan dari Tanah Hitam terus ke timur dan kemudian kea rah utara yang disebut Parambahan.

Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional

Perkembangan struktur pada cekungan Ombilin dikontrol oleh pergerakan Sistem Sesar
Sumatera yang membuat sesar tua yang telah terbentuk ditimpa oleh sesar yang lebih muda oleh
sistem sesar yang sama (Situmorang, dkk., 1991)

Menurut Situmorang, dkk.(1991) keseluruhan geometri cekungan Ombilin memanjang


dengan arah umum barat lauttenggara, dibatasi oleh sesar berarah barat laut-tenggara
Sitangkai di utara dan sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang lebih paralel terhadap
Sistem Sesar Sumatra (Gambar 2.6).
Gambar 2.6. Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatera Barat (Situmorang, dkk., 1991).

Menurut Situmorang, dkk. (1991) secara umum, cekungan Ombilin dibentuk oleh dua
terban berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-
selatan.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) secara lokal ada tiga bagian struktur yang bisa dikenal
pada cekungan Ombilin.

1.Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian dari sistem
sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh Sesar Sitangkai dan Sesar Tigojangko.
Sesar Tigojangko memanjang ke arah tenggara menjadi sesar Takung. Bagian selatan dari
cekungan dibatasi oleh Sesar Silungkang.

2.Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat pada timur laut dari
cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola tangga (step-like fault), dari utara ke
selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar Tanjung Ampalu. Perkembangan dari sesar
ini berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari pembentukan cekungan dan
terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan.
3.Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar antitetik mengiri dengan
komponen dominan dip-slip.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) pola struktur keseluruhan dari cekungan Ombilin


menunjukkan sistem transtensional atau pull-apart yang terbentuk di antara offset lepasan dari
Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-tenggara yang mana sistem sesar
yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan sistem sesar yang berarah baratlaut-tenggara.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) adanya fase ekstensional dan kompresional yang


ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena umum untuk cekungan Ombilin
yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan ini mengalami pergantian fase ekstensional
pada satu sisi yang diikuti oleh pemendekkan pada sisi yang lain.

Hastuti, dkk. (2001) mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang bekerja pada
Cekungan Ombilin yang mempengaruhi pola struktur pada Cekungan Ombilin (Gambar 2.7 dan
Gambar 2.8). Lima fase tektonik yang terjadi pada cekungan Ombilin menurut Hastuti, dkk.
(2001), yaitu:

-Fase tektonik pertama (F3grnt) berlangsung awal Tersier berupa fase tektonik ekstensif
bersamaan dengan terbentuknya sistem tarik pisah berarah baratlaut-tenggara yang merupakan
awal terbentuknya cekungan Ombilin. Bersamaan dengan membukanya cekungan, terbentuk
endapan kipas aluvium Formasi Brani menempati lereng-lerengtinggian batuan dasar dan
terbentuk endapan rawa Formasi Sangkarewang di bagian tengah cekungan.

-Fase tektonik ke dua (F4brn) berlangsung sejak Eosen berupa fase kompresif dengan
terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase kompresif dibeberapa tempat terdapat
daerah ekstensif yang menyebabkan penurunan dasar cekungan yang cepat dan diimbangi pula
oleh pengendapan sedimen yang seimbang, menyebabkan pelongsoran- pelongsoran endapan
aluvium Formasi Brani pada tepi cekungan dan sebagian masuk ke dalam endapan rawa Formasi
Sangkarewang, sehingga kedua formasi berhubungan menjari- jemari.

-Fase tektonik ke tiga berupa fase kompresif (F5swl). Fase ini mengakibatkan proses
pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai berkelok Formasi Sawahlunto. Di beberapa
tempat fase kompresif diikuti oleh fase ekstensif dengan terbentuknya endapan batubara di
daerah limpah banjir. Selain itu, pada fase ini terjadi pengaktifan kembali sesar- sesar yang sudah
terbentuk dan sesar minor berupa sesar naik yang terjadi bersamaan dengan pengendapan
Formasi Sawahlunto.

-Fase tektonik yang ke empat berupa fase kompresif (F6swtk) berarah relatif utara-
selatan. Akibat fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan baratlaut-tenggara yang
terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik dan sesar mendatar. Bersamaan dengan
fase ini (F6swtk) terjadi pula fase ekstensif (F6swte) berarah relatif baratlaut- tenggara yang
mengakibatkan dibeberapa tempat terjadi genangan rawa dan penumpukan sedimen yang
membentuk endapan tipis batubara.
-Fase tektonik yang ke lima berupa fase ekstensif (F7omben) yang berarah relatif utara-
selatan berlangsung sejak Miosen awal. Fase ini mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar berarah
barat-timur. Selain itu, fase ekstensif ini mengakibatkan terjadinya Sesar Tanjung Ampalu
berarah utara-selatan yang kemudian diikuti dengan fase genanglaut. Pada Miosen Akhir terjadi
fase kompresif (F7ombek) berarah relatif barat-timur yang menghasilkan sesar- sesar berarah
timurlaut-baratdaya dan sesar-sesar yang terbentuk awal aktif kembali.
Gambar 2.7. Tektonikstratigrafi cekungan Ombilin menurut penjelasan Hastuti, dkk.
(2001).Gambar 2.8. Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatera Barat
menurutHastuti, dkk.(2001). (A) Kapur-Tersier Awal (B) Paleosen (C) Miosen Awal (D) Plio-
Pleistosen.

Anda mungkin juga menyukai