ALOD
ALOD
PENDAHULUAN
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang subyektif dan tidak
menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial,
atau menggambarkan kondisi terjadi terjadinya kerusakan. Penyebab utama
absensi pekerja dan siswa di sekolah adalah nyeri dan gangguan
muskuloskeletal. Di Malaysia, prevalensi keluhan nyeri pada praktik dokter dan
klinik adalah sebesar 31.9%. Setiap tahunnya, terdapat penambahan individu baru
yang didiagnosis nyeri kronik sebesar 10%. Walters menemukan bahwa nyeri
yang paling banyak dikeluhkan pasien adalah nyeri kepala, yaitu sebanyak 40%,
diikuti nyeri pada bagian punggung 39% dan nyeri di leher 31%. Sebanyak 66%
pasien dengan nyeri kepala mengalami hal ini selama lebih dari tiga bulan dan
mempengaruhi aktivitas sehari-hari sebesar 11%, sedangkan nyeri punggung dan
leher sebanyak 81% bertahan lebih dari tiga bulan dan berdampak sebesar 32%
terhadap aktivitas hidup sehari-hari. Nyeri pada punggung dan leher seringkali
dikaitkan dengan nyeri radikuler.1
Nyeri radikuler adalah nyeri yang diakibatkan oleh keadaan radikulopati
yang berpangkal pada radiks saraf dan menjalar ke daerah persyarafan radiks
yang terkena, dimana daerah ini sesuai dengan kawasan dermatom. Sebanyak
80% penduduk di negara-negara industri pernah mengalami nyeri punggung
bawah. Di Amerika Serikat prevalensinya dalam satu tahun berkisar antara 15%-
20% sedangkan insidensi berdasarkan kunjungan pasien baru ke dokter adalah
14,3%.2 Data epidemiologik mengenai nyeri punggung bawah di Indonesia belum
ada. Diperkirakan 40% penduduk Jawa Tengah berusia diatas 65 tahun pernah
menderita nyeri pinggang dan prevalensinya pada laki-laki 18,2% dan pada wanita
13,6%. Besarnya pengaruh nyeri terhadap produktivitas kerja dan tingginya
prevalensi nyeri ini menyebabkan penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai
patofisiologi, cara mendiagnosis dan penatalaksanaan nyeri dan nyeri radikuler.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nyeri
2.1.1. Definisi Nyeri
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP) nyeri adalah
pengalaman sensorik dan emosional yang subyektif dan tidak menyenangkan
terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.1
Menurut British Pain Society nyeri adalah pengalaman emosional yang
terjadi di otak tidak seperti sentuhan, rasa, penglihatan, penciuman, ataupun
pendengaran, yang merupakan suatu pertanda adanya kerusakan potensial yang
terjadi dalam tubuh.2
2
dari 1 bulan dan kurang dari 6 bulan. Selanjutnya, nyeri kronik merupakan nyeri
yang durasinya lebih dari 6 bulan dan berdasarkan etiologinya nyeri kronik dapat
dibedakan menjadi nyeri yang tidak berhubungan dengan kanker (benign/non-
malignant pain) dan nyeri yang berhubungan dengan kanker (malignant cancer).
Ada satu klasifikasi nyeri lagi yaitu nyeri akut berulang, merupakan rasa nyeri
yang memiliki pola dan menetap beberapa waktu yang terjadi karena episode
nyeri yang terisolasi, contoh dari tipe nyeri ini adalah sakit kepala, gangguan
motilitas gastrointestinal, penyakit sendi degeneratif, gangguan vaskular dan
kolagen.4,5
2.1.2.3. Nyeri Berdasarkan Penyebab
Nyeri dibagi menjadi 4 berdasarkan penyebabnya yaitu nyeri somatik,
viseral, neuropatik (yang sering disebut deafferentation pain), dan psikosomatik.
Nyeri somatik dan viseral merupakan kelompok nyeri nosiseptik. Nyeri somatik
biasanya perifer, bisa dilokalisasi dengan baik, konstan, dan sangat perih. Nyeri
viseral biasanya sulit dilokalisir jika di intra-abdomen namun nyeri bersifat
konstant, sakit, dan nyerinya merujuk ke daerah kulit. Nyeri neuropatik bersifat
seperti kesemutan, paroksismal tajam, dan terbakar. Nyeri psikosomatik ditandai
dengan nyeri di satu atau lebih situs anatomi yang merupakan fokus utama dari
klinis pasien dan hal tersebut dapat menimbulkan perhatian klinis. Nyeri
psikosomatik ini dipengaruhi oleh mood, depresi, dan motivasi. Tabel 1
memperlihatkan contoh-contoh nyeri somatik, viseral, dan neuropatik.6,4
Berdasarkan keterkaitan kanker, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri yang
berhubungan dengan kanker dan tidak berhubungan dengan kanker. Foley
mengklasifikasikan keadaan ini menjadi lima, yaitu pasien dengan nyeri akut yang
berhubungan dengan kanker, pasien dengan nyeri kanker yang berhubungan
dengan kanker yang disebabkan progresitifitas penyakit atau terapi, pasien dengan
nyeri kronis yang sudah ada sebelumnya baik terkait ataupun tidak dengan kanker,
pasien dengan riwayat ketergantungan zat kimia dan berhubungan dengan kanker,
dan pasien yang sekarat yang membutuhkan kenyamanan dalam meringankan
penyakitnya.
Tabel 1. Tipe Nyeri Berdasarkan Penyebabnya
3
Somatik Viseral Neuropatik
Fraktur Obstruksi usus Neuropati akibat
alkoholik dan nutrisi
Luka sayatan Konstipasi Poli atau mononeuropati
diabetic
Luka akibat suhu Endometriosis Tumor Pancoast
Luka akibat trauma Metastase Neuralgia postherpes
4
Gambar 4. Skala Nyeri Menurut Bourbanis
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang: Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat: secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.4
5
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis
dan ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada
thalamus. (orde 2)
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat
relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)
f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen
afektif nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan
respon motoris (termasuk withdrawl respon).
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang
pada level medulla spinalis
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat
algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit
eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain (tabel 2). Mediator-mediator ini dapat
menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.
6
Gambar 5. Lintasan somatosensoris. Traktus spinotalamik (nyeri, termal,
indra), dan sistem columnal-lemnicus posterior (raba,
tekanan, posisi sendi)6
Tabel 2. Zat-zat yang timbul akibat nyeri
Zat Sumber Menimbulkan Efek pada aferen
nyeri primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Seroronin Trombosis Mengaktifkan
++
Bradikinin Kininogen plasma Mengaktifkan
+++
Histramin Sel-sel mast Mengaktifkan
+
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak Sensitisasi
Substansi P Aferen primer Sensitisasi
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan
sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang
mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:
7
1. Tranduksi
Transduksi adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi
aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti
prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin,
asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor
nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent
A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum,
di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan
C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik
nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik
dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Transmisi adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C
serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls
nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua
dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri
mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih
besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat
(12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di
medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut
sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh
serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua
anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek
yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior
medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah
cedera dengan segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
8
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis
medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang
sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri.
PERCEPTION
MODULATION
TRANSMISSION
TRANSDUCTION
9
neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor
(nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal,
sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik,
termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai
polymodal nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh
serabut A di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain
melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang merupakan
polipeptida.
Proses terjadinya nyeri diawali dengan adanya sensitisasi. Sensitisasi dibagi
menjadi sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Pada sensitisasi perifer,
kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan terlepasnya zat-
zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast,
makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi
seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan
produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam
arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari
sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang
terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan
meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang
rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan
neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin
menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek
mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat
anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.9
Pada sensitisasi sentral, suatu stimulus noksius yang berkepanjangan
sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu
dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama
dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting
10
dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu
dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen
pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari nuron pertama.
Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat
memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order
neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific
neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut A dan
serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang
responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang
menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field,
sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya
persepsi nyeri.
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada
kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini
disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up ini dapat
menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain
dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf
pusat tidak bisa diibaratkan sebagai hard wired yang kaku tetapi seperti
plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau
inflamasi.10
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri.
Dewasa ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan
pada serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan
morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini
menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga
neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak
merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi
respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir,
terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak
bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-
11
perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan
perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai
hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan
pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada
ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah
sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak
menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi
sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan hubungan
antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious
dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan
terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan
sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.
12
antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat
reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan
sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif
lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan
penyekat reseptor NMDA11.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya
dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada
proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor
NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin
menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric
Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO
(Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi
normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik
yang akan merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas,
terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan
demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan mempunyai
peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri
akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya
mengurangi kemungkinan terjadinya wind-up. Idealnya, pemberian analgesik
telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh
dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi
penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama,
penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat,
adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha
mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif
telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam
mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
13
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma
adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip
dasar pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya
sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2),
sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat
dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika diberikan
secara sentral.
2.1.4. Sistem inhibisi terhadap Nyeri
Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan rasa nyeri. Hal ini dapat
terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornu dorsalis medulla spinalis. Ini
dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa
mekanisme, seperti yang akan dijelaskan pada bagian berikut.4
1. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.
Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi
interneuron inhibisi di kornu dorsalis.
2. Serat inhibisi desendens.
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :
a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus
c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal
Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon
nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga
lintasan ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini.
PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan
mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh
endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara
eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3. Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor
zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di
substansia gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis
medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan
14
mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di
substansia gelatinosa.
15
Gambar 15. Respon tubuh terhadap nyeri
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem
simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan
memberikan efek pada tubuh seperti:
1. Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek
segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida
mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan
kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan,
khususnya pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks
menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada
terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat
terjadi hipoventilasi.
2. Sistem kardiovaskuler
16
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi,
hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa
peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon
(ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi
dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal
cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung
akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk
keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard,
sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.
3. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam
lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas
usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual,
muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya
volume paru dan pulmonary dysfunction.
4. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih
dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.
5. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti
katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon
anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam
darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun,
menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal
ini mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses
glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan
negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis.
Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron,
angiotensin, dan hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi
air, dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler.
17
6. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis,
dan hiperkoagulopati.
7. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat
mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien
beresiko menjadi mudah terinfeksi.
8. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.
9. Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon
aldosteron berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa
retensi cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol
menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.8
18
2. Numerical Rating Scale (NRS)
Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang
dirasakan dari angka 0-10. 0menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10
menggambarkan nyeri yang hebat.
19
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk
menilai intensitas nyeri pada anak-anak.
20
Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan
dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?
Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri,
misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.
Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang
dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.
21
Terapi dengan frusemide
Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS
AINS harus digunakan dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada:
Pasien > 65 tahun
Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit
pembuluh darah ginjal
Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat
beta, cyclosporin, atau metoreksat.
Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi
ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.
Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam)
cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-
oksigenase 2 (COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya
minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal. Pemberian AINS dalam
jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada pemberian singkat
pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama
AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.
b. Obat analgetika narkotik
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat
didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut
dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma,
Delta dan Epsilon.
Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat
alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan
efek depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi. Efek samping
yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai muntah
serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh efek
toleransi dan ketergantungan. Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk
pemberian secara suntik, baik intra muskuler maupun intravena. Pemberian
intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural atau intra
tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid Fentanyl juga
tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau dengan patch
22
dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga tersedia dalam
kemasan supositoria.
Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail
dan ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke
instansi pengawas penggunaan obat-obat narkotika. Dengan ditemukannya
reseptor opioid didaerah kornua dorsalis medulla spinalis di tahun 1970 an, obat
ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang epidural atau kedalam ruang
intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang digunakan menjadi sangat
kecil, menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan durasi analgesia yang
sangat lama/panjang. Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau
intratekal, dapat dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase
atau adrenalin. Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang
sangat adekuat serta durasi yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan
menjadi sangat kecil.
23
Mulai
Ya
Ya
Tekanan darah
sistolik Tidak
Minta bantuan dokter
>100 mmHg
Ya
Ya
Gambar 14. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada
nyeri; 1 nyeri ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi:
0, bangun; 1, ngantuk kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur;
3, sukar dibangunkan. Morfin:berat 40-65 kg: 7,5 mg; berat 65-
100 kg: 10 mg : Naloxone:200 g iv, sesuai kebutuhan.
24
Obat Maksimum Maksimum
untuk infiltrasi untuk anestesi
lokal pleksus
Lidocaine 3 mg/kg 4 mg/kg
(lignocaine)
Lidocaine 5 mg/kg 7 mg/kg
(lignocaine) dengan
adrenalin (epinefrin)
Bupivacaine 1,5 mg/kg 2 mg/kg
Bupivacaine dengan 2 mg/kg 3,5 mg/kg
adrenalin(epinefrin)
Prilocaine 5 mg/kg 7 mg/kg
Prilocaine dengan 5 mg/kg 8 mg/kg
adrenalin(epinefrin)
Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik.
Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang
diberikan intratekal hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara
intratekal. Obat anesthesia lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam
pembuluh darah. Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi.
Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik
sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan
menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya.
Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam
atau hari jika digunakan teknik kateter. Komplikasi bisa terjadi berupa:
Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi
pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang
menyertai blok saraf besar.
Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian
aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai
dari kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia
jantung dan henti jantung.
25
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti
WHO Three Step Analgesic Ladder yaitu:
Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti
NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka
diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara
intermiten.
Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat
yang lebih kuat.
Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi
dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada
transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses
modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan
pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol.
26
Gambar 14. Tangga dosis obat analgetik
Dari gambar tangga dosis di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi inisial
dilakukan pada dosis yang lebih tinggi, dan kemudian diturunkan pelan-pelan
hingga sesuai dosis analgesia yang tepat.
Farmakoterapi Tingkat II
Ibuprofen 200 mg 4-6 jam sekali
Sodium NaproksenAwalan 440 mg 8-12 jam sekali
Selanjutnya 220 mg
27
NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat VI
Nama Obat Dosis Jadwal
Tramadol 50-100 mg 4-6 jam
NYERI BERAT
Farmakoterapi Tingkat VII
Nama Obat Indikasi Mekanisme
Bila terapi non narkotik tidak efektif & terdapat riwayat terapi narkotik untuk nyeri
Morfin
3.
Analgesia Balans
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif
untuk mengatasi nyeri dengan intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu
mudah dapat dikerjakan. Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang
adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya
efek samping.
Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan
beberapa macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang
berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang
berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut
menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih
adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang
dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari.
28
Inhibisi Otak
desenden
NE/5HT
Th/ TCA
Th/
Lesi Tramadol
Reseptor Opioid
opioid GABAPENTIN
dll
Okskarbasepin
Medulla Lamotrigin
Spinalis Sensitisasi Ketamin
sentral Dextrome-
Sensitisasi perifer/ ion Na (NMDA, thorphan
GABAPENTIN Calcium)
Karbamasepin
Th/ Okskarbasepin
PHENYTOIN
Mexiletine
Lidocain, dll
Gambar 14. Skema Farmakoterapi pada analgesia balans
29
akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk
melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif
karena awitan dari sensari nyeri diketahui.
5. PCA (patient controlled administration)
Patient controlled Administration (PCA) merupakan metode yang saat ini
tengah popular dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia
parenteral harus diberikan lebih dari 24 jam. PCA ini begitu popular disana karena
selain menghindarkan dari injeksi intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat
dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien. Bisa menghasilkan manajemen nyeri
berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien mengendalikan nyerinya sendiri.
Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan nyeri
mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada :
Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan
efek samping.
Dana : pompa infus PCA mahal.
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas
dasar itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih
banyak ataupun lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah
ambang analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia
yang mereka butuhkan (selama masih dalam batasan terapi). Dosis bolus dan
waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan individu. Pasien harus mendapat
30
PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan
dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam infus
31
d. Analgesik
- Contoh: Tramadol (Ultram)
- Mekanisme Aksi : Menghambat jalur nyeri ascenden, merubah
persepsi serta respon terhadap nyeri, menghambat reuptake
norepinefrin dan serotonin
- Dosis: Dewasa : 50 100 mg per oral setiap 4 6 jam (4x1 hari) jika
diperlukan
e. Antikonvulsan
- Contoh: Gabapentin (Neurontin)
- Mekanisme Aksi : Penstabil membran, suatu analog struktural dari
penghambat neurotransmitter gamma-aminobutyric acid (GABA),
yang mana tidak menimbulkan efek pada reseptor GABA.
- Dosis: Dewasa : Neurontin
Hari ke-1 : 300 mg per oral 1x1 hari
Hari ke-2 : 300 mg per oral setiap 12 jam (2x1 hari)
Hari ke-3 : 300 mg per oral setiap 8 jam (3x1 hari)
32
BAB III
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34